Love and Leashes (part 77)

“Pagi!” sapa Seungwan sembari merapikan selimut dan menata bantal yang ia gunakan untuk begadang semalaman.

“Pagi…” bisik Joohyun pelan yang langsung berjalan ke arah pantry yang menjadi satu dengan area dapur dan meja makan.

Matanya membelalak kaget saat ia melihat dua porsi sarapan sudah tersaji dengan kepulan asap tipis yang mengudara dari hidangan tersebut.

“Oh, right. Maaf ya gue nggak izin dulu. Tapi gue rasa izin pun pasti lo bolehin sih, lo dari kemaren belum makan kan?” ujar Seungwan santai yang kini sudah berjalan ke arah meja makan.

Apa yang Seungwan katakan tidaklah salah.

Joohyun memang belum menyantap apapun sejak kemarin siang. Namun hal ini membuat dirinya mengerutkan keningnya. Bagaimana Seungwan bisa tahu?

Melihat perubahan-perubahan ekspresi di wajah Joohyun membuat Seungwan menggelengkan kepalanya dan tertawa gemas.

Ia benar-benar harus berpikir ulang tentang alasan mengapa dahulu ia sangat takut akan sosok seniornya ini karena pada kenyataannya, Joohyun lebih mirip seperti seekor anak anjing yang membutuhkan perhatiannya ketimbang sosok senior galak yang selama ini ada di benaknya.

“Iya gue tau lo nggak makan dari kemaren. Pertama, lo nggak ikut makan siang sama sekali. Kedua, di pantry departemen kita, gue nggak ngeliat ada sisa makanan. Jisoo dan Sooyoung kan kemaren nggak di kantor, terus Mbak Taeyeon dia makan di luar dan gue gak sengaja ketemu pas balik abis makan jam siang. Artinya lo selama istirahat makan siang tuh cuma sendiri di departemen kita. Terus pas kemaren malem, gue liat piring lo masih banyak isinya. Mungkin kalopun lo makan, itu cuma satu-dua sendok.”

Seungwan menjelaskan itu semua dengan santai sembari menyeduh teh hangat. Ia menuangkan dua cangkir teh hangat dan menyodorkan salah satunya bagi Joohyun.

“Lo nggak suka kopi dan gak bisa minum kopi karena asam lambung. Lo nggak suka sarapan yang berat-berat, jadi tiap pagi lo cuma makan roti.” lanjut Seungwan.

Kerutan di dahi Joohyun semakin dalam.

“Lo nguntit gue?”

Seungwan menarik kursi yang ada tepat di seberang Joohyun dan mendudukan dirinya disana.

“Kalo iya, kenapa? Kalo nggak, kenapa?”

Sang junior tertawa saat melihat ekspresi kesal di wajah Joohyun, kemudian ia memilih untuk menyudahi aksi jahilnya pagi itu.

“Nggak kok. Gue nggak nguntit lo. Gue cuma inget kebiasaan lo aja dulu pas gue jadi intern di bawah lo, Mbak Joohyun.”

Joohyun mendengus kesal. Namun untuk saat ini ia memilih untuk mengurus perutnya yang sudah kelaparan terlebih dahulu.

Seungwan bisa ia urus nanti.

Di lain sisi, sang junior pun ikut menyantap sarapannya pagi itu. Ia memotong waffle buatannya dengan perlahan sembari sesekali memeriksa keadaan Joohyun.

“Stop ngeliatin gue.”

“Well, can’t help it.”

Joohyun menghela napasnya panjang. Ia menaruh garpu dan pisau yang sedari tadi ia gunakan, kemudian tangan kirinya menyeka rambut panjangnya kebelakang untuk sekedar memberinya jeda waktu berpikir.

Gerakan tangan Joohyun justru membuat Seungwan melihat kembali pergelangan tangan Joohyun yang agak kebiruan. Hal ini sontak membuat Seungwan tidak nyaman.

Ia telah membaca puluhan artikel tentang preferensi unik dari seniornya ini, namun dari semua artikel tersebut memberinya satu kata kunci yaitu consent. Kata-kata ini membuat Seungwan berpikir ulang apakah Joohyun terbelit dalam hubungan yang rumit ini karena kemauannya atau ia terjebak pada hubungan yang sudah tidak sehat.

Apalagi ia melihat bagaimana mantan kekasihnya itu memperlakukan Joohyun, bahkan di tempat umum sekalipun.

Seungwan meneguk teh hangatnya kemudian ia berdiri dari kursinya.

Joohyun melihat bagaimana Seungwan berjalan mondar-mandir di dapur apartemennya itu dan tak lama kemudian Seungwan menarik kursi kosong yang ada di sebelahnya.

“Tangan lo, siniin.”

Joohyun menatap Seungwan dengan heran, namun detik berikutnya Seungwan menarik tangan Joohyun untuk berada dalam penguasaannya.

“Gue nggak akan komentar apapun sama preferensi unik lo itu. Mbak Taeyeon udah cerita ke gue, mungkin belum semuanya tapi udah cukup buat gue sedikit paham.” ujar Seungwan membuka percakapan.

Sang junior dengan telaten membasahi kain bersih yang ia temukan di dapur kemudian menaruh beberapa es batu yang kemudian ia balut dengan kain bersih tadi. Perlahan ia tempelkan pada permukaan kulit Joohyun yang terlihat membiru.

Joohyun meringis pelan. Antara kaget karena suhu yang dingin dan karena sikap Seungwan saat ini.

“Rahasia lo aman sama gue. Cuma gue minta satu sama lo, jaga diri lo baik-baik. Kalo emang preferensi unik lo itu bahagia, then go on. Tapi kalau udah sampe bikin lo kayak gini, lo harus re-consider, Joohyun.”

Mata Joohyun bergerak kesana-kemari dengan perlahan, mulai dari posisi tangannya yang berada dalam penguasaan Seungwan dan wajah Seungwan yang terlihat sangat serius menangani luka di tangannya itu.

Lagi-lagi Joohyun harus meringis saat Seungwan menekan balutan es batu tersebut di titik yang terlihat berwarna biru keunguan.

“See, sakit kan? Luka kayak gini tuh biasanya belum sembuh tapi udah kena pressure lagi di tempat yang sama. Bahaya buat lo.”

Joohyun menunduk, menahan rasa dingin yang menjalar di pergelangan tangannya.

“Lo obatin gak ini? Minimal pake salep gitu? Kayaknya gue baca deh semalem ada yang namanya aftercare.” ujar Seungwan.

Ucapan tersebut sontak membuat Joohyun memukul lengan Seungwan dengan tangan kanannya yang tidak sedang dipegang oleh Seungwan.

“Kok gue dipukul?!” protes Seungwan.

“Ya abis lo ngomong seenaknya aja.”

“Lah, gue kan cuma tanya ke elo. Mantan lo itu ngelakuin aftercare nggak? Gue perasaan baca deh semalem, biasanya Master ngelakuin aftercare buat Sub-nya mereka setelah selesai.”

Wajah Joohyun merah padam. Ia sama sekali tidak membayangkan akan melakukan perbincangan seperti ini dengan Seungwan.

“Tck.. tapi kalau kayak gini lebamnya sih pasti nggak. Lo ganti Master deh, tinggalin aja tuh mantan lo. Nggak jago dia, nggak all-in.” ledek Seungwan sembari menatap mata Joohyun.

“Kayak lo tau aja Master yang jago gimana!” timpal Joohyun.

“Hmm… gue mikir dulu ya. Nih mantan lo tuh abusive, terus obsesi, terlalu pede, egois deh pokoknya. Lo yakin kalo kalian lagi berhubungan, itu semua dua arah? Bukan buat dia doang?”

Joohyun terdiam.

Ia tahu jawaban dari semua pertanyaan Seungwan, ia tahu persis.

Namun seperti apa yang sudah berkali-kali ia pikirkan, ia ragu apakah ia bisa benar-benar lepas dari Seulgi?

“Joohyun, gue nggak tau apakah Seulgi itu Master pertama lo apa gimana. Tapi gue bilang ya sama lo, di dunia ini nggak mungkin kan cuma lo, Seulgi, dan Taeyeon yang punya preferensi unik? Pasti ada orang lain di luar sana yang bisa cocok sama lo. Tinggal lo-nya aja mau nyari lagi atau nggak.”

Perhatian keduanya terpecah saat mereka mendengar suara ponsel Seungwan yang berdering.

Seungwan menoleh sejenak ke arah ponselnya, kemudian menatap Joohyun. Selanjutnya ia mengambil pergelangan tangan kanan Joohyun dan menelusuri telapak tangan Joohyun dengan jari telunjuknya membentuk segitiga dengan setiap kata yang ia lontarkan.

Intimacy, Passion, Commitment. Dapetin tiga itu dan lo bakal tau gimana indahnya rasa cinta itu sendiri.” ujar Seungwan yang kemudian menutup telapak tangan Joohyun seakan-akan meminta seniornya untuk tidak melepaskan tiga hal yang tadi ia sebutkan.

“Itu pasti Mbak Taeyeon yang udah bawel minta dijemput dibawah.” lanjut Seungwan.

“Gue ke bawah dulu, lo pegang ini es batu paling nggak lima menit lagi. Jangan kangen.” goda Seungwan yang kali ini mengacak rambut Joohyun pelan.

Sementara itu Joohyun hanya bisa terpaku di tempat duduknya. Ia menatap handuk basah yang saat ini sedang ia pegang.

Selama ia bersama dengan Seulgi, bisa dihitung dengan jari berapa kali mantannya itu melakukan aftercare untuknya dan bisa dihitung dengan jari pula berapa kali Joohyun merasakan perasaan yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata saat mendapatkan treatment tersebut.

Sedangkan Seungwan baru satu kali melakukan aftercare untuknya, itu pun Seungwan tidak menyadari hal ini, namun Joohyun sudah merasakan perasaan yang perlahan menyelimuti hatinya itu.

“Nggak, nggak. Ini semua gara-gara Taeyeon.”