LOVE IS…
(part 1)
Cinta?
Apa itu cinta?
Tidak ada jawaban yang secara definite bisa menjelaskan dengan sempurna, apa itu cinta.
Tentu saja karena jawaban atas pertanyaan ini akan sangat-sangat bervariasi, tergantung pada siapa yang menjawab.
Tak terkecuali bagi dua insan yang saat ini bahkan tidak begitu mempertanyakan apa itu cinta?
Ya, Karina dan Winata, mereka bahkan tidak tahu atau mungkin lebih tepatnya tidak sadar bahwa Sang Cinta sebenarnya sedang berada di dekat mereka.
Pagi itu bahkan keduanya hanya lebih terfokus pada fakta bahwa mereka tengah riang gembira karena kelas literatur hari itu akan diadakan di ruangan paling nyaman seantero sekolah setelah perpustakaan, yaitu ruangan multimedia.
Satu per satu siswa berjalan memasuki ruang multimedia berukuran tujuh kali tujuh meter, ruangan yang akan menaungi mereka selama kurang lebih dua jam ke depan. Perbedaan suhu yang cukup drastis merupakan hal pertama yang menyapa mereka. Dingin AC menyapa dua puluh delapan siswa yang mayoritas masih berkeringat, sisa-sisa kelas olahraga pagi tadi.
Tentu saja mereka melenggang dengan suka cita memasuki ruangan tersebut, apalagi ruangan ini terkenal akan ‘ke-sakral-annya’. Sedikit informasi ruangan ini terkenal cukup sulit untuk dipinjamkan oleh pihak sekolah karena ruangan ini merupakan ruangan dengan fasilitas audio dan video paling mumpuni seantero sekolah.
Hanya acara-acara penting saja yang bisa menggunakan ruangan ini atau beberapa acara OSIS, itu pun harus melalui proses negosiasi yang panjang dengan Wakil Kepala Sekolah Bidang Sarana dan Prasarana. Itulah mengapa kelas ini sangat gembira ketika guru literatur favorit mereka mengabarkan bahwa hari itu pelajaran akan dilaksanakan di ruangan multimedia.
Seperti teman-temannya, Winata dan Karina pun berjalan memasuki ruangan dengan senyuman terpampang di wajah mereka.
Dengan dua alasan yang berbeda.
Winata yang gembira karena ia bisa ‘ngadem’ untuk setidaknya dua jam ke depan. Kelas olahraga barusan benar-benar menguras energinya dan membuat tubuhnya banjir keringat. Walaupun tadi ia sempat mandi setelah kelas olahraga, ia masih merasa sedikit gerah. Menjalani kelas literatur di ruang multimedia adalah nikmat baginya.
Sedangkan Karina gembira karena ia sangat menyukai mata pelajaran literatur ini. Ditambah guru yang mengajar mereka adalah guru terfavorit, versi dirinya. Jangan anggap Karina bias, namun Bu Tiffany memang tipikal guru favorit yang disenangi oleh hampir seluruh siswa di sekolah ini. Beliau adalah tipikal guru yang sangat mengikuti perkembangan atau trend jaman sehingga ia dapat bergaul dengan murid-muridnya dengan sangat baik.
Bu Tiffany juga merupakan guru yang memiliki pembawaan sangat santai dan ramah senyuman. Oh yang ini rahasia, menurut Karina, senyuman Bu Tiffany adalah senyuman paling cantik seantero negara ini bahkan seantero dunia.
Sedikit ralat, senyuman paling cantik ke-3. Nomor satu dan dua adalah milik orang tuanya.
Kembali pada Winata dan Karina, mereka berjalan memasuki ruangan multimedia dengan tas masing-masing.
Karina melangkah dengan membawa tas laptop dan tas kanvas berisikan baju olahraga miliknya. Ia memang tidak pernah membawa buku catatan karena sekolah mereka memang mengizinkan murid-muridnya untuk mengadopsi budaya paperless, sehingga Karina benar-benar mengandalkan laptopnya untuk kegiatan belajar.
Sedangkan sang gadis berambut pendek berjalan cukup jauh di belakang karina dengan lengan kirinya menggendong duffle bag yang berisikan baju olahraga pagi tadi dan baju basket untuk latihan sore nanti, serta botol minuman dan beberapa barang pribadi lainnya. Tangan kanannya menjinjing iPad miliknya.
Ningtyas menyikut lengan sahabatnya ketika ia melihat bahwa Karina sudah duduk di deretan tengah bangku barisan ketiga dari depan.
“Apa sih ning?”
“Kalo lo nggak cepet, itu bangku di sebelah Karina bakal diisi orang sih.” ujar Ningtyas menunjuk ke arah Karina dengan gerakan kepalanya.
Mendengar nama Karina disebut, Winata dengan cepat mencari keberadaan sahabatnya itu dan mendapati teman satu kelasnya, Joseph, sudah mengincar bangku kosong yang ada tepat di samping Karina.
Tangan kanan Winata segera menitipkan iPad miliknya pada Ningtyas dan setelahnya ia melempar duffle bag miliknya tepat ke arah bangku kosong tersebut. Tentu saja aksinya ini mengagetkan beberapa murid. Terdengar Karina, Joseph, dan beberapa murid lainnya terkesiap dengan adanya tas yang ‘melayang’ melewati kepala mereka.
“And three points made by Winata! Wohoooo!!”
Ningtyas menggeleng melihat sikap sahabatnya barusan. Winata benar-benar melempar tasnya untuk mencegah Joseph menempati bangku yang ada di samping Karina. Untung saja lemparan tadi tidak meleset, batin Ningtyas.
“Winata!” teriak Karina yang baru terbangun dari keterkejutannya.
Yang diteriaki hanya tertawa jahil dengan jari telunjuk dan jari tengah yang terangkat di udara.
“Sorry Jojo, Karinanya nggak available.” sambung Winata.
Joseph memicingkan matanya ke arah Winata untuk sesaat, namun ia dengan cepat mengubah ekspresinya saat menyadari Karina kini menatap ke arahnya.
“Ampun Capt!” kelakar Joseph.
“Sorry juga Capt, kalah cepet sih.” balas Winata cepat. Lagi-lagi memberikan kode pada laki-laki itu untuk menjauh.
Para murid saling melirik satu sama lain, menyadari ‘kompetisi abadi’ yang tercipta sejak pertama kali Winata dan Joseph masuk sekolah ini.
“Good morning everybody!!”
Winata dan Ningtyas terperanjat ketika mendengar suara menggelegar khas milik Bu Tiffany menyapa indra pendengaran mereka.
“Oh, what kind of tension here?” lanjut Bu Tiffany saat ia melihat tindak-tanduk canggung dari murid-muridnya itu.
Hari itu Bu Tiffany menggunakan kemeja berwarna baby blue dan celana berwarna pink muda. Ia berjalan dengan tas laptop yang dipeluk tepat di depan dadanya. Langkah kakinya terdengar mantap, menjajaki ruangan tersebut.
“Kalian berdua ngapain berdiri disini?” tanya Bu Tiffany saat melihat Winata dan Ningtyas masih berdiri di dekat pintu masuk.
“O-oh, iya ini kami mau duduk.” jawab Ningtyas cepat, ia menarik lengan sahabatnya itu.
“Sialan si Jojo. Ini semua gara-gara dia, gila ya itu orang udah tau Karina nggak minat sama dia. Masih aja mepet.” gerutu Winata yang dapat didengar jelas oleh Ningtyas.
“Ya kalo ceweknya kayak Karina nggak heran sih, ya nggak Win?” jawab Ningtyas dengan santai.
Wina duduk tepat di sebelah Karina, sedangkan Ningtyas mengisi bangku yang sudah sengaja dikosongkan oleh Giselle.
Melihat semua murid-muridnya sudah duduk dengan kondusif, Tiffany segera menyiapkan peralatannya hari itu. Ia menyambungkan sebuah flashdisk dengan komputer yang ada di ruang tersebut.
Tak lama berselang, seluruh murid dapat melihat dua folder berbeda yang terpampang di layar besar.
“Okay, Ibu baru dapat info dari guru olahraga kalian kalau tadi kalian baru ambil nilai ya?”
Terdengar teriakan serempak yang membenarkan pertanyaan barusan.
“Okay, Ibu tau kalian pasti lelah sekali. Jadi kelas hari ini akan jauh lebih santai.”
Terdengar kembali riuh dari mulut para siswa yang disambut tawa oleh Tiffany.
“Sekarang kalian yang pilih foldernya, yang sebelah kiri romeo and juliet sedangkan yang kanan titanic.”
Lagi-lagi ruangan itu dipenuhi kegaduhan. Masing-masing murid meneriakkan pilihan mereka.
Tiffany menggeleng, tangannya berusaha membuat tanda ‘T’ meminta kelas untuk hening sejenak. Sedangkan Karina terlihat menutup telinganya untuk menyelamatkan indera pendengarannya dari kegaduhan.
Melihat tingkah dua wanita ini membuat Winata memutar kedua bola matanya.
Sedikit heran dengan gurunya, karena sejauh yang ia tahu Bu Tiffany mampu berteriak sangat kencang yang bahkan bisa terdengar hingga dua lantai, tetapi kenapa sekarang ia tidak menggunakan suara kencangnya itu untuk membuat kondisi kelas lebih kondusif?
Lalu kenapa juga kelas mereka memilih Karina untuk menjadi ketua kelas? Well, Karina memang punya jiwa pemimpin tapi kelemahan terbesar Karina adalah sifatnya yang terlalu lembut. Ia hampir tidak pernah menaikkan nadanya apalagi berteriak pada teman-temannya yang sering kali berkelakuan layaknya kawanan gorila.
“WOY DIEM!” teriak Winata.
Lagi-lagi beberapa murid terkejut atas tindakan gadis berambut pendek itu. Namun, tak lama kemudian kelas tersebut memang menjadi lebih kondusif.
“Nah gini kan enak. Silakan bu ketua.” ujar Winata pada Karina.
“Uhm, kita voting aja ya teman-teman?” tanya Karina yang dijawab dengan anggukan kepala.
“Yang pilih kiri, boleh angkat tangan?”
Karina dengan cepat melihat ke seisi ruangan dan menghitung jumlah siswa yang memilih folder kiri. Setelah selesai, ia mempersilakan teman-temannya untuk menurunkan tangan mereka.
“Sekarang yang kanan, angkat tangan ya.”
Tiffany yang juga ikut melakukan penghitungan tersenyum ketika mendapati hasil voting tersebut memenangkan Romeo and Juliet.
“Okay, it’s been decided fair and square. Setelah ini kita akan lihat play yang sangat terkenal, kalian juga pasti ada yang sudah pernah baca naskahnya. Ibu minta kalian untuk tetap perhatikan play ini dan catat hal yang menurut kalian penting. Nanti di akhir jam pelajaran akan ada questionnaire yang harus kalian isi dan kumpulkan maksimal jam 23.59 hari ini. Paham?”
“Ya bu!!” teriak beberapa murid.
Berbeda dengan Karina, ia tidak sempat menanggapi pertanyaan Tiffany karena ia tiba-tiba merasakan seseorang menggenggam tangannya.
Karina mendapati tangannya digenggam oleh Winata, namun tersembunyi di balik flannel kotak-kotak hitam dengan garis abu-putih yang bertengger manis di atas paha Karina.
“Pijetin tangan aku dong, pegel.” rengek Winata.
“Ih? Emang aku nggak pegel? Lagian tadi kita ambil nilai lari keliling sekolah, yang dipake kaki kenapa yang pegel malah tangan?”
“Kariiiinaa”
“Nggak ah. Lagian ini ngapain flannel bau punya kamu ada disini?” omel Karina.
“Rok kamu kependekan. Kenapa sih suka banget pake rok yang dipendekin?” ganti Wina yang menggerutu.
“Apa sih dua sahabat ini berisik banget kayak orang pacaran.”
Winata melengos saat mendengar suara jahil yang datang dari Giselle.
“Diem deh Mamanya Gempi.”
Giselle dan Ningtyas menggelengkan kepala mereka saat mendengar balasan Winata dan ekspresi Karina yang terlihat malu.
Setelah ia menunjukkan kepalan tangannya pada Giselle, Winata menaruh kepalanya di atas meja dengan wajah menghadap ke arah Karina.
“Win! Jangan tidur!” bisik Karina memperingatkan sahabatnya itu.
“Emang nggak tidur kok.”
“Yaudah kalo gitu perhatiin layarnya!” omel Karina.
“Duh, Rin kamu udah berapa lama sih kenal aku? Kamu tau sendiri aku lebih ke audio ketimbang visual, kecuali urusan pasangan sih ya. Kalo itu visual duluan.” canda Winata.
Karina memutar bola matanya tepat setelah mendengar ucapan Winata dan kelakar ambigunya.
“Yaudah janji tapi perhatiin!”
“Iya baweeel.”
Tak sampai lima menit berselang, Karina kembali berbisik pada Winata.
“Gak usah liatin aku bisa nggak?” bisik Karina, takut terdengar teman-temannya.
“Cie salting.”
“Winata!” omel Karina lagi. Kali ini ia mencubit pinggang Winata.
“Aku nggak ngeliatin kamu Karina! Ini lagi nginget-nginget strategi basket!” elak Winata.
“Lah emang muka aku kayak lapangan basket?!”
“Iya, tuh jidat kamu lebar banget. Cocok jadi papan strategi.” goda Winata lagi.
Tanpa mereka sadari, guru favorit Karina kini sudah berdiri di belakang Winata dengan tangan yang terlihat di depan dadanya.
“Girls, I appreciate it if you pay attention to the screen and stop talking with each other. Okay Juliets?”
Suara Tiffany tidak hanya membuat keduanya berhenti berbicara, namun juga melahirkan semburat merah di pipi masing-masing.
Apa itu Cinta?
Mungkin untuk saat ini, bagi Karina dan Winata, Cinta adalah saat mereka berdua sama-sama merasakan perasaan malu dan menggelitik perut, ketika wajah mereka bersemu merah, namun keduanya nyaman dan tahu kalau mereka tidak masalah merasakan hal demikian.
Yang menjadi masalah, mereka mengkhawatirkan bagaimana perasaan sosok yang ada disampingnya?
Suara pintu yang ditutup diikuti dengan suara langkah yang cukup berisik menghiasi rumah dua tingkat, kediaman keluarga sang gadis berambut hitam legam.
Dengan terburu-buru ia melepaskan sepatunya dan menaruh sepatu converse hitam tersebut di lemari sepatu.
“Karina pulang!! Ma??”
Gadis berambut hitam legam itu melangkah memasuki rumahnya dengan perlahan. Ia memeriksa ruangan-ruangan yang ada di lantai satu, berusaha menemukan sosok orang tuanya yang seharusnya hari itu ada di rumah.
Tepat di belakang Karina terdapat Winata yang mengekor dengan sangat fasih. Ia sudah tahu harus menaruh sepatunya dimana, juga sudah sangat fasih dengan layout rumah tersebut.
“Dapur kali, Rin?” tanya Winata.
Ah benar juga. Karina langsung berputar arah dan bergerak menuju dapur, lagi-lagi dengan Winata yang mengekor di belakangnya.
“Mama??” panggil Karina sekali lagi.
“Kitchen, honey!”
Karina berjalan mengikuti arah suara dan mendapati Mamanya sedang menuangkan masakannya di atas sebuah piring putih lebar.
Ayam bumbu kecap.
Karina tersenyum lebar mendapati menu kesukaan dirinya tersaji dengan harum aroma yang sangat menggugah seleranya. Tiba-tiba ia merasa sangat lapar.
Namun tak lama keningnya mengkerut.
“Ayam hari ini? Mama kan nggak bisa makan ayam?” tanya Karina saat melihat hidangan yang tersaji.
“Gak apa-apa sayang. Mama kan nggak bisa makan ayam bukan karena alergi, tapi cuma lebih karena nggak suka aja. Lagian mama denger kamu dan mommy kamu dari kemarin ngomongin ayam terus. Kayaknya lagi pengen ayam ya kalian? Jadi yaudah hari ini mama masak ayam aja. Gimana sekolah kamu hari ini, sayang?” tanya Irene tanpa melihat ke arah Karina.
Karina mengangguk kegirangan, ia kemudian mengambil gelas yang ia isi dengan air mineral. “Ya kayak biasanya aja sih, Ma. Cuma hari ini lebih senggang sedikit, soalnya kelas jam terakhir kosong.
“Mau dibantuin nggak tante?” tanya Winata.
“Loh? Ada Winata rupanya! Duduk aja, sayang. Ini sebentar lagi selesai kok.”
Sang gadis berambut pendek mengangguk kemudian mengambil kursi tepat di seberang Karina. Kendati demikian, matanya tetap mengikuti gerakan Irene kesana kemari. Siap untuk mengulurkan bantuan jikalau dibutuhkan oleh Ibu dari Karina tersebut.
“Tumben kamu kesini jam segini, Win?”
“Iya tan, soalnya hari ini latihan dibatalin. Bubu sama Mami juga belum di rumah, aku males aja kalau di rumah sendirian.” jawab Winata yang kemudian berbalik bertanya, “Tante lagi off?”
Irene tersenyum dan mengangguk, “Tiga bulan ke depan tante off.”
“Iya lah harus! Kemarin udah syuting lama banget, sampe ke luar negeri segala.” ujar Karina.
“Film apa sih tan? Eh, film atau drama?”
Irene membawa piring hidangan dan menaruhnya di tengah meja makan. Ia tersenyum saat mendapati mangkuk nasi sudah tersaji sesuai dengan jumlah orang yang ada di ruang makan siang hari itu.
“Film, Win.”
“Mama jadi semacam agen gitu, Win. Bahkan pas masa-masa persiapan aja mama sampe ikut latihan taekwondo sama aku.” sambung Karina sembari mengambil beberapa potong ayam untuk dirinya dan untuk Winata.
Irene mengangkat alisnya saat melihat interaksi antara Karina dan Winata. Bagaimana Karina mengambilkan lauk untuk Winata dan Winata yang berjalan ke arah kulkas untuk mengambil botol jus jeruk bagi Karina. Keduanya bertingkah seakan-akan semuanya mengalir secara natural.
“Oh ya? Agen? Sampe latihan taekwondo? Wuih keren banget dong, tan? Kapan tuh tayangnya?” tanya Winata bertubi-tubi.
“Iya, intinya semacam agen rahasia gitu. Sisanya nggak bisa tante bocorin, nanti kamu nggak penasaran lagi. Tayangnya sekitar musim panas tahun ini, kalau sesuai rencana.”
“Agen rahasia?! Oh my god! That’s so sexy!! Undang aku dong tante ke premierenya! Aku kan fans setia Tante Irene!!” pekik Winata.
Irene yang mendapat pujian dari gadis SMA itu tertawa malu.
“Iya, nanti tante pastiin kamu dapet tiket undangannya.”
Melihat reaksi berlebihan dari sahabatnya, Karina menendang kaki Winata dengan cukup keras.
“Kariinaaa!!” pekik Winata kesakitan. Ia mengusap-usap tulang kakinya. “Ini aset gue buat turnamen, Rin!”
“Makan dulu makanya, gak usah berisik.”
Tingkah dua gadis di hadapannya mau tidak mamu membuat Irene tertawa puas.
“Anyway, gimana kabar orang tua kamu, Win?”
“Uhm, Bubu sibuk Seminar. Mami sibuk kayak biasa sih, tan.”
Irene mengangguk paham.
“Salam ya untuk Dokter Thena.”
Setelahnya tidak banyak percakapan yang terjalin di antara mereka. Hanya ada percakapan-percakapan ringan yang kebanyakan membahas tentang keseharian Karina dan Winata. Sang gadis yang mendaulat dirinya sebagai fans Irene pun sesekali melayangkan pertanyaan-pertanyaan pada sang Aktris.
“Kamu mau stay disini sampai jam berapa, Win? Kalau sampai malam, biar tante masakin makan malam sekalian.” tanya Irene yang tengah mencuci piring-piring kotor dibantu oleh Karina. Sedangkan Winata merapikan meja makan yang tadi mereka gunakan.
“Oh, nggak usah tante. Hari ini Mami ngajak makan malam di luar. Terima kasih tawarannya.”
“Yaudah, sana kalian ke kamarnya Karina aja atau kalau mau nonton di mini theatre juga boleh.”
“Okay. Kalau Mama butuh bantuan aku, panggil aja ya ma.”
Irene tersenyum, ia mengeringkan tangannya kemudian mengelus kepala Karina dan Winata serta tak lupa memberikan kecupan di pelipis anak semata wayangnya.
Kedua gadis itu kemudian undur diri dan menuju kamar Karina yang terletak di lantai dua.
Tanpa perlu disuruh, Winata sudah menaruh tasnya di dekat meja belajar milik Karina dan ia lepas pula kaos kaki yang sedari tadi ia gunakan. Tanpa diberikan instruksi apapun ia kemudian berjalan ke arah lemari milik Karina dan menginspeksi isi lemari tersebut.
“Rin, celana trainingku kamu taruh mana deh? Hoodie lakers aku juga mana?” tanya Winata saat tidak menemukan pakaiannya di lemari Karina.
“Training kamu ada di pintu paling kanan, rak kedua dari bawah. Untuk hoodienya…..hehe” kepala Karina menyembul dari balik pintu kamar mandi, “Sorry ya Win, hoodienya semalem aku pake tidur. Jadi kamu pinjem kaosku dulu aja deh.”
Winata memutar kedua bola matanya. “Kebiasaan!”
“Ya abis enak Win hoodienya, nyaman gitu.”
“Hmm...Yaudah sana buruan mandi. Gantian.”
Winata memang sudah mengenal Karina dengan sangat baik. Contohnya saja, Karina tidak perlu menjelaskan panjang lebar tentang ‘ritual’ untuk bisa masuk di kamarnya itu. Syarat utama untuk bisa masuk kamar Karina adalah harus bersih. Ya, harus bersih dari segala macam kotoran yang menempel pada tubuh setelah beraktivitas di luar.
Sembari menunggu Karina mandi, Winata mengamati koleksi-koleksi novel dan buku literatur-literatur lainnya. Ia tertawa pelan saat memikirkan bahwa sepertinya kedua orang tua mereka seperti memiliki anak yang tertukar.
Maminya yang sangat mencintai literatur, seharusnya memiliki anak seperti Karina.
Sedangkan Mommy Wendy, lebih cocok memiliki anak seperti Winata yang sangat gemar bermusik.
Usai mengamati satu per satu koleksi Karina, mata Winata tertuju pada gitar akustik yang ada di salah satu pojok kamar Karina bersama dengan sebuah upright piano yang nampaknya sudah agak lama tidak dimainkan oleh Karina.
Tertarik dengan kedua alat musik tersebut, Winata memilih untuk menggunakan piano milik Karina terlebih dahulu. Jari jemarinya dengan sangat terampil memainkan not demi not yang ia ingat dengan sangat baik dan tak lama setelahnya ia ikut bersenandung mengikuti lagu yang tengah ia mainkan.
Winata terlalu terlarut dalam permainannya sampai-sampai ia tidak mendengar Karina yang sudah berada tepat di belakangnya. Karina kemudian mengambil posisi duduk di sebelah kanan Winata dan secara tiba-tiba ikut memainkan nada demi nada yang ia ingat pula.
Sang gadis berambut pendek sempat terkejut sejenak namun seulas senyuman mengembang saat melihat Karina sudah duduk di sebelahnya dan ikut memainkan piano hitam tersebut bersama dengan dirinya.
“As expected, Winata.” tawa Karina seusai sesi duet mereka.
“Kamu juga not bad, masih sering main?” tanya Winata.
“Nggak, sejujurnya tadi aku cuma bener-bener berusaha inget apa yang dulu biasa kita mainin aja. Makanya tadi aku sempet salah beberapa kali kan?” jawab Karina merujuk pada masa kecil mereka dimana Karina dan Winata kursus pada satu tempat kursus musik yang sama.
Winata tertawa.
“Berarti inget nggak dulu pas kecil, abis main ini biasanya apa?”
Karina mengernyitkan alisnya, ia tidak ingat.
Winata lagi-lagi tertawa, rupanya hanya ia yang ingat.
“You ask me for a kiss on your cheek, Karina.”
Kamar milik Karina sore itu cukup ramai dengan suara petikan gitar yang dimainkan oleh Winata. Sahabatnya itu benar-benar menghabiskan waktunya hari itu dengan singgah di rumah miliknya.
Selepas kalimat yang cukup membuat dirinya salah tingkah, tentang bagaimana Karina dahulu selalu meminta ciuman di pipinya dari Winata, Karina bersikap sedikit canggung. Ia berusaha mengingat dengan keras apa memang betul demikian? Atau ini hanya satu dari sekian banyak tindakan jahil Winata yang sering menggoda dirinya?
Namun melihat sikap Winata yang biasa-biasa saja, Karina akhirnya memilih untuk tidak terlalu memikirkan ucapan Winata tadi.
Kini keduanya sudah bersih dan sudah wangi, sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Karina yang duduk di meja belajarnya dengan laptopnya yang menyala dan satu novel yang sedang ia baca minggu ini. Sementara Winata tidur terlentang di kasur Karina sembari memeluk gitar akustik milik gadis berambut hitam legam itu, memainkan beberapa lagu-lagu pop yang ia ingat chordnya.
“Rin…” panggil Winata, tangannya tetap memetik senar gitar dengan terampil.
“Hmm?”
“Jangan bilang sekarang kamu lagi ngerjain tugas literatur?” tanya Winata, kepalanya menengadah ke arah Karina.
“Niatnya sih, ini baru cari referensi aja.”
“Gila! Dikumpul aja masih dua minggu lagi?!”
Karina hanya mengangkat bahunya. Untuk urusan seperti ini, mereka memang dua orang dengan tipe yang berbeda.
“Winata…” kini ganti Karina yang memanggil.
“Apa?”
Alunan gitar akustik masih menemani indera pendengaran mereka.
“What do you think about love? What is Love?” tanya Karina, melontarkan pertanyaan yang menjadi inti dari tugas literatur mereka.
“Lagunya TWICE.” jawab Winata asal.
“Ih Winata! Serius!”
“Ya kalo aku serius, namanya aku ngerjain tugas literatur dong?”
Winata kini bangkit dari kasur dan mengembalikan gitar milik Karina pada tempat semula sembari diamati dengan lekat oleh Karina.
“Win, come on! Aku penasaran aja, menurut seorang Winata, Cinta itu apa?”
Yang dipaksa kini sudah tertidur kembali dengan posisi terlentang menatap langit-langit kamar Karina. Disana ia dapat melihat tempelan-tempelan glowing in the dark yang mereka tempel sewaktu di bangku Sekolah Menengah Pertama.
Winata ingat betul bagaimana mereka berdua kesulitan untuk meraih langit-langit kamar Karina walau sudah dibantu dengan tangga, namun mereka tetap menolak bantuan kedua orang tua Karina. To make it fair, Winata juga ingat bagaimana puasnya mereka saat berhasil menempel semua hiasan itu.
Pandangan Winata kemudian jatuh pada sosok Karina. Teman terdekat yang selalu hadir untuknya, begitupun Winata untuk Karina.
Sedikit canggung karena menyadari Karina masih menatapnya dengan lekat, Winata buru-buru mengalihkan pandangan matanya ke pigura besar yang menampilkan foto keluarga Karina.
Irene, Wendy, Karina.
Awalnya tidak banyak orang yang tahu bahwa Irene, Aktris papan atas negara ini, dan Wendy, Musisi yang sangat terkenal, sudah menikahi satu sama lain selama delapan belas tahun. Keluarga Winata adalah salah satu dari sedikit orang yang mengetahui hal ini sejak awal.
“Tergantung konteksnya.” jawab Winata singkat.
“Huh?”
“Menurut aku tergantung konteksnya. Ada cinta antara orang tua dan anak mereka, cinta antara teman yang bersifat platonik, dan cinta kepada pasangan dalam hal romantis.”
Karina mengangguk, benar adanya. Ia juga sudah memikirkan hal yang serupa.
“Aku cuma tahu dua dari tiga sih, Rin. Karena yang terakhir, aku belum yakin.”
Eh?
Alis mata Karina terangkat, ia tertarik dengan jawaban Winata.
“Cinta antara orang tua dan anak itu banyak bentuknya. Contohnya, Mama kamu rela masak ayam bumbu kecap yang notabenenya makanan kesukaan kamu sedangkan dia tahu dia nggak suka ayam, itu Cinta. Your mom, tante Wendy, sorry to remind you this, inget pas SMP? Uhm, that thing, itu pasti Cinta. Karena nggak mungkin dia mau mengorbankan semua jerih payahnya segampang itu kalau bukan karena Cinta, ya kan?” ujar Winata.
“And then these stars and moons.” ujar Winata menunjuk langit-langit kamar Karina. “Aku rela bantuin kamu susah payah nempel ini semua, padahal aku alergi debu. Itu karena aku sayang sama kamu, Rin. We were always there for each other, dari dulu. I know you’re my bestest best friend and I know you think like that too. Itu….juga Cinta, ya kan?”
Biasanya Karina dan Winata akan tertawa jika mereka membahas topik seperti ini. Mereka berdua bukan tipe yang senang mengungkapkan afeksi melalui kata-kata. Namun kali ini sepertinya mereka sepakat bahwa mereka butuh mengakui apa yang Winata ucapkan barusan ada benarnya.
“Yang terakhir...aku gak yakin sih, Rin. Bagiku, Cinta itu bisa kayak waktu aku ngelihat orang yang aku suka tersenyum lebar. Cinta itu bisa aja kayak waktu aku berbagi hal yang aku suka sama orang itu, supaya aku bisa lihat dia tersenyum.” ujar Winata.
Ia masih menatap langit-langit kamar yang berhiaskan bintang-bintang buatan. Sementara Karina justru menjadi penasaran dengan penjabaran Winata. Siapa ’orang itu’?
“Cinta itu bisa aja kayak aku yang ikutan merasakan hal yang sama seperti yang orang itu rasakan. Cinta itu bisa aja dalam bentuk aku yang selalu ngasih perhatian penuh untuk orang itu. Cinta itu bisa aja kayak aku berharap bisa selalu ada di dekat dia dan selalu ada buat dia, begitu juga sebaliknya. Well, kayak yang aku bilang tadi sih, aku masih belum yakin. Jadi ya bisa aja salah.”
Belum sempat Karina membuka mulutnya, ponsel Winata berdering kencang. Sang empunya menatap layar ponselnya kemudian menunjukkannya pada Karina.
“Well, this is my sign to go home.” ujar Winata.
Gadis itu bangkit dari kasurnya, kemudian mengambil barang-barangnya yang tertata rapi di dekat meja belajar milik Karina.
“Biar adil, let me know your definition of love okay? Nggak usah nganterin sampe bawah, aku bisa sendiri. Mending kamu lanjutin tuh tugas kamu, siapa tau bisa aku contek.” tawa Winata.
Sementara itu Karina hanya bisa mengangguk dan diam terpaku.
Winata baru saja menghadiahinya sebuah senyuman lebar dan ia menyukainya.
Lalu fakta bahwa jantungnya berdegup kencang karena Winata baru saja mengelus kepalanya, tandanya ia menyukai hal itu juga bukan?
Suara langkah kaki Winata menuruni tangga terdengar semakin samar, berbanding terbalik dengan suara degup jantungnya yang semakin terdengar jelas.
buk!
Karina menjatuhkan kepalanya di atas meja belajar. Entah mengapa perasaannya berkata bahwa tugas Bu Tiffany kali ini akan cukup menyulitkan dirinya.
”So, What is Love, Karina?”