LOVE IS...
(part 3-2)
Sepasang ibu dan anak yang menghuni ruang kerja tersebut kini tengah terfokus menonton video yang menayangkan prosedur operasi.
Winata sendiri sebenarnya tidak menonton video tersebut dari awal karena ia memasuki ruang kerja Thena sekitar dua puluh menit yang lalu.
Ekspresi wajah Thena terlihat sangat datar, sementara itu ekspresi Winata berbanding terbalik. Ia sempat beberapa kali mendesis khawatir saat melihat pendarahan yang terjadi.
“Sumpah sih clumsy banget.” ujar Winata.
“Huh?”
“Itu murid bubu, clumsy banget. Aku bisa liat tangan dia geter.”
“Oh…kok kamu tau? Apa indikatornya?”
“Beda banget. Aku udah sering liat video bubu. Paling basic itu alat laparoskop dari tadi agak goyang nggak terkendali gitu.”
Thena mengangguk.
“Ini pertama kali dia coba teknik laparoskopi.”
“Ah I see.”
“Ngapain kamu ikut nonton disini?” tanya Thena yang masih berfokus pada layar televisi.
“Males ah nemenin Mami di halaman belakang.”
“Mami kamu ngapain?”
“Baca buku. Ntar aku disuruh ikutan baca terus jadi sharing session sama Mami.”
Thena tertawa pelan.
“Are you sure bukan karena kamu masih ngambek sama Tiffany? Nggak baik loh marah sama Ibu sendiri padahal besok mau turnamen.” ujar Thena yang menatap Winata sekilas sebelum kembali menatap layar televisi.
“Dih apaan?”
“Inget, restu di kaki Ibu.” goda Thena lagi.
“Ya Bubu juga Ibuku.”
“Ya ibumu dua.”
Winata memutar bola matanya. “Biarin deh besok aja minta restunya.”
“Tuh kan ngambek. Besok Bubu nggak bisa loh nonton kamu, jadi yang nonton cuma Tiffany. Gih minta restu, keburu expired ntar.”
“Lah bubu kemana?”
“Operasi.”
“Oh, makanya nonton video ini?”
Thena mengangguk, “Bubu masih mempertimbangkan buat ngajak ini anak, tapi agak deg-degan juga ya kalau dia masih kayak gini skillsnya.”
“Ajak aja, kesempatan kayak gini kan yang selalu ditunggu mereka? Bubu juga ada disana, jadi kalau ada apa-apa kan bisa di take-over Bubu.”
“Well, bener juga sih. Tapi Operasi besok itu operasi besar dan lama, Bubu butuh orang yang bisa bantu Bubu bukan yang bakal memberatkan bubu.”
“Bisa dia pasti bisa. Coba aja bubu telpon dia malam ini dan jelasin kasusnya, suruh dia belajar sekarang juga. Masih ada waktu kan?”
Thena mengangguk, “Well, akan bubu pertimbangin. Kok kita jadi ngomongin kerjaan bubu ya? Kamu tuh, coba ngambeknya udahan.”
“Kenapa juga aku ngambek?”
“Gara-gara Mami kamu nggak mau kasih lihat tugasnya Karina.”
Sudah hampir seminggu lebih semenjak batas akhir pengumpulan tugas literatur berlalu dan Winata masih belum mengetahui jawaban Karina atas tugas mereka. Hal ini membuat Winata melakukan protes besar-besaran karena menurutnya tindakan Karina tersebut adalah sebuah pengkhianatan.
Pasalnya menurut Winata, ia sudah memberitahukan isi tugasnya pada Karina. Bahkan ia menunjukkan secara rinci hasil miliknya.
Sementara itu dari sisi Karina, menurutnya ia tidak pernah meminta Winata untuk menunjukkan tugasnya sampai seperti itu dan merupakan haknya pula apabila ia tidak mau menunjukkan hasil kerjanya.
Karina tahu, Winata bukan ingin mencontek tugasnya. Sahabatnya itu hanya penasaran atas definisinya tentang Cinta. Namun Karina belum mau memberitahukan jawabannya pada Winata. Untuk itu, Karina sampai rela mendatangi Tiffany dan meminta Ibu dari Winata itu untuk merahasiakan jawaban miliknya karena Karina tahu Winata akan melakukan tindakan curang untuk melihat definisi miliknya.
Dugaan itu tidak salah.
Tepat tiga hari setelah Winata gagal mendapatkan jawaban dari Karina, di suatu malam hari ia mendatangi Tiffany dan Thena yang tengah menghabiskan quality time mereka dengan menonton film di ruang keluarga rumah mereka.
Tiffany yang sudah berjanji pada Karina, memutuskan untuk tidak meladeni aksi curang putrinya itu dan alhasil sampai sekarang Winata masih melakukan aksi mogok pada Maminya.
“Nggak ya, aku nggak ngambek.” dengus Winata.
Thena lagi-lagi tertawa. Melihat sikap Winata yang seperti ini seperti melihat dirinya sendiri.
“Ngapain bohong sih, kayak Bubu nggak kenal kamu aja? Lagian apa sih yang kamu minta dari Mami kamu?”
“Emang Mami nggak cerita?”
Thena menggeleng, “Mami cuma bilang dia udah janji sama Karina buat nggak bocorin apapun ke kamu. Udah gitu aja.”
Winata mendengus kesal. Lagi-lagi rencananya gagal.
Padahal niatnya selama beberapa hari ini selalu mengekori Thena adalah untuk mendapatkan bocoran, barangkali Maminya bercerita sesuatu kepada Bubunya.
“Aku ada tugas literatur.”
“Oh? Terus?”
“Awalnya disuruh nonton film gitu, terus dapet tugas paper intinya suruh definisiin apa itu cinta. Aku sama Karina awalnya udah janjian mau nunjukin tugas kita, tapi terus dia nggak nunjukin ke aku hasil akhirnya.”
“Oalah terus kamu mau cara curang gitu? Untung Karina pinter.” ledek Thena disambung dengan tawa.
“Oh, ya. Kamu jadinya daftar pertukaran pelajar itu nggak?” lanjut Thena.
Winata mengangkat bahunya.
“Win, Bubu bohong kalau bubu bilang bubu nggak pengen lihat kamu jadi dokter juga. Tapi dua puluh menit terakhir ini bikin bubu yakin kalau kamu nggak cocok jadi dokter.” tawa Thena lagi.
“Kok gitu?”
“Dua puluh menit terakhir, berapa kali kamu nahan napas? Berapa kali kamu gelisah cuma karena murid bubu sempet melakukan kesalahan-kesalahan kecil? Kamu pintar, itu bubu akui. Otak kamu sanggup buat jadi dokter. Tapi, hati kamu nggak sanggup.”
Winata terdiam.
“Win, Bubu dan Mami kamu sangat berterima kasih selama ini kamu tumbuh sebagai anak yang baik dan selalu berusaha membanggakan kami. Sekarang saatnya kamu untuk membahagiakan diri kamu sendiri, okay? Perlahan kamu nggak akan terus tinggal sama Bubu dan Mami, bukan kami usir ya. Tapi suatu saat nanti kamu pun akan tinggal sama keluarga kamu. Akan ada saat dimana kebahagiaan atau kepentingan Bubu dan Mami bukan menjadi prioritas kamu lagi dan mungkin sekarang adalah saat itu semua bermula.”
Thena mematikan video yang sedari tadi ia tonton kemudian memutar tubuhnya menghadap ke arah Winata. Ia tersenyum kemudian mengusap kepala Winata.
“Jawaban Bubu ini pasti telat banget, karena tugas kamu udah dikumpul. Tapi menurut bubu, Cinta itu adalah saat dimana kamu mau mengerti keadaan dan menghormati keputusan yang diambil oleh orang yang kamu kasihi. That’s how I love you, Winata and I learnt it from your mom.”
Winata dan Thena sama-sama tertawa untuk menutupi kenyataan bahwa keduanya sama-sama hampir menangis.
“Ew, nggak cocok banget ya Bubu ngomong gini.” tawa Thena.
“Tapi kata Mami, Bubu tuh jago banget kayak gini.”
“Oh ya jelas kalau itu.”
“Iya sih, siapa ya yang dulu pas aku masih SD bikin aku nangis gara-gara bilang lebih milih istrinya daripada anaknya sendiri.” cibir Winata.
Thena tertawa kencang.
Ia ingat betul peristiwa yang dimaksud oleh Winata. Waktu itu Tiffany mengajak Thena dan Winata untuk menonton suatu film di bioskop. Di akhir film tersebut tokoh utama kartun meninggal karena menyelamatkan anaknya.
Adegan ini membuat Winata menanyakan suatu pertanyaan kepada Thena.
“Kalau aku dan Mami tenggelam, Bubu milih nyelamatin siapa?”
Jawaban Thena sangat tidak terduga dan membuat dirinya dimarahi oleh Tiffany habis-habisan selama satu bulan penuh.
”Bubu jelas milih Mami lah! Dari awal Bubu nikah sama Mami ya karena Bubu memilih Mami untuk ada sama Bubu sampai Bubu mati nanti. Winata, kita nggak pernah bisa milih untuk punya orang tua yang seperti apa dan kita juga nggak bisa milih akan punya anak yang seperti apa. Tapi, kita bisa memilih siapa orang yang akan menemani kita sampai akhir hayat nanti.”
“Tapi kata-kata Bubu ada benernya sih.” ujar Winata tiba-tiba.
“Oh, kamu masih inget?”
Winata mengangguk. “Ya, kayak sekarang contohnya. Mana bisa aku milih punya orang tua yang lebih waras? Dapetnya malah kayak Bubu.”
“Heh, sialan!”
Decitan sepatu yang bergesekan dengan lantai kayu beradu dengan teriakan yel-yel suporter tim basket pada sore hari itu menjadi beberapa dari sekian banyak suara yang memenuhi indera pendengaran Karina.
Sore hari ini tim basket putri SMA Pelita akan berhadapan dengan tim basket putri SMA Kusuma. Kedua tim yang beberapa tahun ke belakang merupakan rival sengit, pada tahun ini harus saling bertemu di laga semifinal.
Tentu saja hal ini membuat seluruh tribun penonton pada sore hari itu menjadi padat pengunjung.
Seperti pada pertandingan-pertandingan terdahulu, Karina sudah duduk di bangku penonton sejak satu pertandingan sebelum waktu pertandingan yang akan dilakoni oleh sekolahnya.
Dan seperti yang sudah-sudah, Karina selalu memisahkan dirinya dari kawanan anak sekolahnya. Ia lebih memilih untuk membaur di tribun penonton umum daripada harus bersama-sama dengan teman-temannya.
Tepuk tangan meriah ia berikan pada saat pembawa acara meneriakkan nama sekolahnya serta nama sekolah lawan yang kemudian diikuti dengan satu per satu pemain keluar dari sudut kanan dan kiri stadium basket tersebut.
Hari ini tim basket sekolahnya menggunakan seragam berwarna merah dan dipimpin oleh Prima berlari memasuki lapangan pertandingan. Sontak hal ini membuat Karina mengernyitkan dahinya.
Kemana Winata?
Namun rasa penasarannya terbayar sudah saat melihat Winata berjalan memasuki lapangan di barisan terakhir bersama dengan manajer tim yang mendorong sebuah box container.
“Ah! Itu dia pemain yang gue tungguin!!!” pekik salah seorang penonton yang duduk beberapa kursi di samping Karina.
“Yang mana sih?”
“Itu loh, tim Pelita. Yang seragam merah. Nomor sebelas! Winata!”
Mendengar nama Winata disebut oleh orang asing, Karina dengan cepat melirik orang tersebut dan melakukan skrining singkat.
Yep, fans Winata.
“Udahan kali natap anak orang kayak gitu.”
Karina terperanjat saat ia mendengar suara Ningtyas tepat di telinganya.
“Ngagetin aja sih!”
“Ya abis salah siapa gue chat tapi nggak bales?” jawab Ningtyas santai dan langsung duduk di bangku yang tadinya sudah di-reserved oleh Karina dengan menaruh barang bawaannya disana.
Karina meringis, “Sorry gak kedengeran juga suara notifnya.”
Karina kemudian mengeluarkan kamera dari tasnya dan mengambil foto-foto Winata dan teman timnya. Di setiap foto yang ia ambil, Karina melihat dengan jelas sorot kebahagiaan di wajah Winata.
“Win, you’re the happiest when you’re here with your team doing basketball.” bisik Karina.
Tekatnya sudah bulat, mau atau tidak mau, ia akan memaksa Winata untuk mengikuti pertukaran pelajar tersebut. Bahkan jika perlu, ia akan memalsukan tanda tangan Winata dan mendaftarkan sahabatnya itu tanpa sepengetahuan Winata.
“Oh my god! Gila skillsnya Winata nih makin lama makin mateng aja! Gue ngikutin dari dia masih di SMP cuy!”
Bisik-bisik dari fans Winata kembali terdengar.
”Gue ngikutin Winata dari TK” batin Karina.
“Setuju sih, tahun lalu dia nggak dapet MVP karena emang dia mainnya belum se-clean sekarang dan masih ada si Anggia. Tapi tahun ini kan Anggia udah nggak main, pasti Winata sih MVP-nya.”
Karina mengangguk setuju. Tahun lalu Winata sempat terkena satu kali foul-out di laga semifinal yang membuat dirinya tidak bisa bermain di kuarter terakhir dan Anggia yang disebut-sebut oleh fans Winata itu pun memang memiliki kemampuan jauh lebih matang dibandingkan oleh Winata pada saat itu.
Ningtyas menyenggol lengan Karina pelan.
“Apaan?”
“Winata nyariin lo deh kayaknya.” tunjuk Ningtyas.
Hal seperti ini memang selalu terjadi karena Karina yang tidak mau duduk bersama dengan suporter sekolahnya dan Winata sendiri sudah sering protes pada Karina. Menurut Winata akan jauh lebih mudah baginya untuk menemukan Karina jika ia duduk di kerumunan anak sekolahnya daripada berbaur dengan penonton umum.
Namun Karina punya alasannya sendiri.
Ia tidak mau fokusnya terpecah antara menonton pertandingan Winata dengan tugasnya sebagai suporter.
“Mereka udah lari keliling belom sih? Gue nggak merhatiin.” tanya Karina.
“Belom, tadi baru stretching singkat. Ntar lo teriak aja kayak biasa.”
Tepat seperti biasanya, Winata berlari di luar lapangan menyusuri tiap sudut lapangan tersebut sambil sesekali mencari keberadaan Karina. Teman satu tim-nya pun tahu itu adalah ritual wajib yang dilakukan oleh Winata sembari mereka melakukan passing-passing dan shooting pemanasan.
“Wait wait tuh Winata lari muter kayak biasa! Aduh seneng deh bisa liat dari deket.”
Ningtyas menahan tawanya saat ikut mendengar gosip-gosip tetangga dan melihat reaksi Karina.
“Nggak usah jealous” bisik Ningtyas pada Karina.
“Gak ada yang jealous”
“Iya, rin ngomong tuh sama tembok.” timpal Giselle yang baru saja tiba beberapa saat lalu.
“Lo berdua nih kalo dateng bisa bersuara dikit nggak sih? Kaget banget gue anjir?”
“Woy ini stadion berisik banget ya gila! Bukan salah kita kalo lo selalu budeg karena udah selective hearing duluan. Fokus lo tuh cuma Winata, Winata, dan Winata.” balas Giselle.
Ningtyas kembali tertawa. Namun kali ini matanya memperhatikan Winata yang berlari semakin mendekati tribun yang ditempati oleh Karina, Ningtyas, dan Giselle.
“Winto!!!”
Teriakan Ningtyas sontak membuat Winata menoleh.
Hanya teman-teman terdekatnya yang suka memanggilnya dengan nama tersebut, nama yang seringkali disebutkan oleh Bu Sulis, guru matematika mereka yang selalu kesulitan mengucap nama ‘Winata’ sehingga seringkali berubah menjadi ‘Winto’.
Winata terlihat menoleh kesana kemari, berusaha mencari sumber suara.
“Winata!!” kali ini fans yang duduk dekat Karina kembali berteriak.
“Winto!! Karina disini Win!!” teriak Giselle yang tak mau kalah.
Senyuman Winata terlihat semakin lebar saat ia menemukan ketiga sahabatnya duduk di bangku penonton umum.
“Kok disini sih!”
“Karina tuh!” teriak Giselle.
“Karina!! Hehe kirain gamau dateng.” teriak Winata.
“Emangnya aku kayak kamu? Tukang ngambek!”
Winata menjulurkan lidahnya.
“Rin, kalo nanti aku berhasil three points dari tengah lapangan, kamu harus kasih tau aku isi tugasmu!”
“Menangin tuh pertandingan, baru aku kasih tau!” balas Karina
Winata mengacungkan jempolnya. Kemudian ia kembali berlari memutari lapangan, meninggalkan tribun penonton umum yang ditempati Karina.
Misi pertamanya hari ini sudah terlaksana.
Sepeninggalan Winata, gerombolan fans Winata kembali berbisik-bisik.
“Ih tu cewek kenal Winata?”
“Njir lo nggak tau?”
“Hah?”
“Itu Karina. Gatau deh dia apa hubungannya sama Winata tapi mereka deket banget.”
“Karina?? The Karina yang pernah disebut sama Winata pas dia dapet titel raising new comer tahun lalu?”
“Iya anjir. Wah, baru pertama gue ketemu orangnya langsung gini.”
Giselle dan Ningtyas saling menyikut Karina.
“Cie, terkenal cie.” goda Giselle.
“Uhhh, the Karina cieee.” timpal Ningtyas.
“Apaan sih basi lo berdua.”
“Halah, gitu juga lo seneng kan?”
Ningtyas dan Giselle tertawa kencang saat melihat telinga Karina berubah menjadi sangat merah.
Sementara itu Karina berusaha untuk menenangkan dirinya dan kembali mengambil gambar Winata.
“Winata!!”
Pertandingan hari itu selesai dengan kekalahan tim SMA Pelita. Dua pemain penting mereka mengalami cedera di pertandingan tadi dan alhasil tim mereka tidak bisa bermain secara maksimal.
Mengetahui seberapa penting pertandingan hari itu, Karina sedikit khawatir dengan keadaan Winata dan teman-teman timnya.
Kecewa? Sudah pasti.
Tetapi Karina lebih khawatir pada kondisi fisik Prima dan Adel yang tadi sampai tidak bisa mengikuti sisa pertandingan. Ia pun cukup khawatir tentang perasaan Winata. Ia tahu betul betapa Winata berharap ia bisa menjadi juara tahun ini.
Seusai pertandingan, Karina segera berlari keluar dari stadion dan memutar ke arah pintu masuk pemain. Sesampainya disana, ia telah melihat kerumunan tim basket sekolahnya dan melihat Winata terduduk di dekat Prima.
Tanpa menunggu lagi, Karina langsung berlari menuju Winata dan Prima serta memeluk Winata dengan erat.
“Gila tadi three point dari tengah lapangan keren banget!!!” ucap Karina dengan bangga, berusaha menghibur hati Winata.
“Dih Rin, mau aja sih meluk orang bau keringet.” goda Prima dengan kakinya yang dibalut perban.
Prima kemudian memberikan gestur pada Karina bahwa Winata sedang tidak baik-baik saja yang dibalas dengan anggukan pelan dari Karina.
“Win…” panggil Karina
“Anterin aku pulang nanti.” bisik Winata.
“Iya, aku anter.”
Sang pelatih kemudian memanggil seluruh anak didiknya dan memberikan kalimat-kalimat penyemangat serta sedikit evaluasi. Ia pun mengingatkan bahwa masih ada pertandingan perebutan juara 3 yang harus mereka lakoni tiga hari dari sekarang.
Sang pelatih juga memberikan motivasi dan berusaha untuk membakar semangat tim tersebut yang tentu saja dibalas dengan teriakan teriakan frustasi dan kemarahan dari tim mereka. Beberapa sudah terlihat bangkit dari kekalahan hari ini, namun tidak dengan Winata.
Kapten tim terlihat lebih diam dari biasanya. Namun ia tetap melakukan tugasnya, memberikan semangat dan mengatur timnya. Ia kemudian menawarkan untuk mengadakan latihan tambahan esok dan lusa untuk mempersiapkan tim mereka yang tentu saja disetujui oleh seisi tim.
Di perjalanan pulang, Winata masih terdiam. Hal ini membuat Karina khawatir, baru kali ini ia melihat Winata sangat terpukul atas kekalahannya.
Bahkan sesampainya mereka di rumah Winata, sang kapten masih terdiam.
“Makasih udah anterin aku ya, Rin.” senyum Winata singkat.
“Win?”
Winata tidak membalas panggilan tersebut secara verbal. Namun Karina tahu kalau Winata tengah mendengarkannya.
Karina mengubah posisi gigi mobilnya dari netral menjadi mode parkir. Ia kemudian menarik tuas rem tangan mobilnya.
“Jangan turun dulu.” ujar Karina cepat.
Ia kemudian mengambil tas kamera yang ia taruh di kursi belakang. Kemudian mencari-cari foto yang ingin ia tunjukkan pada Winata.
“Aku mau ngasih tunjuk ini ke kamu.” ujar Karina sembari menyodorkan kamera miliknya.
“Kamu paling bahagia waktu di lapangan dan aku harap, kamu bisa lihat sendiri betapa bersinarnya kamu di saat kamu bahagia. Kekalahan hari ini bukan akhir dari semuanya Win. Masih ada porseni kan? Aku sendiri nggak tau kenapa kamu sampai sesedih ini, biasanya kamu sedih kalau kalah tapi nggak kayak gini.” lanjut Karina.
Winata mengeraskan rahangnya. Menahan tangis yang sedari tadi sudah berada di pucuk matanya.
“A-aku….” Winata menghela napas panjang.
“Cerita Win, kalau itu bisa bikin kamu lega.”
“Aku ngerasa gagal. Tiga tahun berturut-turut tim kita selalu masuk final dan di tahun aku jadi Kapten, tim kita gagal masuk final. Orang-orang banyak yang berharap sama tim ini, mereka bilang tim tahun ini itu dream team sekolah kita. Tapi…”
“Tapi siapa yang sangka kalau Prima dan Adel cedera? Kamu nggak boleh nyalahin diri kamu sendiri Win.”
“Harusnya aku bisa Rin. Harusnya aku bisa.”
“Win, kamu sendiri yang bilang ke aku kalau Basket itu permainan tim bukan individu.”
Karina memilih untuk memeluk Winata sekali lagi.
“Aku masih dengan pendirianku. Kamu paling bahagia, paling bersinar pas kamu di lapangan.”
“I know…. I feel it too….”
“See?”
Karina melepaskan pelukan mereka kemudian mencubit pipi Winata.
“Udahan sedihnya, besok kamu latihan yang serius. Balas kekalahan kamu dengan dapetin itu gelar MVP. Aku yakin tahun ini kamu bisa dapet.”
Winata tertawa, “Itu sih kamu bias.”
“Sampe kamu dapet gelar itu, janji ke aku kamu daftar pertukaran pelajar ke Amerika itu.”
“Kalo aku nggak dapet?”
“Aku bakal berhenti maksa kamu buat daftar. Tapi nanti aku yang daftarin kamu langsung”
“Ih curang!”
“Biarin aja! Udah aku bilang, kamu paling bahagia waktu lagi di lapangan!”
Winata tertawa pelan, “Iya deh bawel.”
Setelahnya Winata mengambil barang-barang yang ia taruh di kursi penumpang belakang. Tepat sebelum ia keluar dari mobil Karina, Winata menoleh ke arah Karina. Ia tampak seperti memikirkan sesuatu sesaat.
Karina hampir bertanya pada Winata namun ia sudah keburu mematung saat Winata memberikan satu kecupan singkat di pipi Karina.
“Thank you Karina, you mean a lot to me.”
Winata kemudian buru-buru turun dari mobil Karina. Ia sendiri panik karena bagaimana bisa ia mencium pipi Karina seperti itu?
Selama ini hubungan mereka selalu berada di batas persahabatan walau keduanya sama-sama tahu bahwa ada hal-hal yang mereka lakukan dan melebihi batas tersebut. Namun dengan tindakan Winata seperti ini dan ucapan-ucapan yang ia berikan pada Karina selama satu bulan terakhir, Winata sudah mengakui secara gamblang bahwa dirinya menaruh perasaan lebih terhadap Karina.
Karina pun tahu akan hal ini.
Ia pun memiliki alasan mengapa dirinya melarang Winata untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan yang menjadi tugas literatur mereka.
Sang gadis berambut hitam legam yang masih terpaku di kursi pengemudi memegang dadanya, merasakan detak jantungnya yang berdetak sangat kencang.
“Winata sialan. Gue bisa gila kalau gini.”
Ia mengambil ponselnya, kemudian menekan tombol speed dial nomor satu.
”H-halo, Rin?”
“You.”
”Hah?”
“Tugas literatur Win, jawabanku itu You.”
”You?”
“Yes, Love is You.”