LOVE IS…

(part 2)

Siang itu cuaca cukup cerah, tidak terlalu terik namun juga tidak mendung, sedikit berawan ditemani dengan angin semilir. Sangat cocok digunakan untuk tidur siang, apalagi jika rumah yang disinggahi memiliki halaman belakang yang luas dan teduh. Sayangnya hal ini tidak berlaku bagi Karina sekarang.

Si gadis SMA kini tengah termenung. Mungkin sekilas ia terlihat sedang memperhatikan Mamanya yang sedang mengurus bunga-bunga di halaman belakang, namun sejatinya isi kepala Karina sedang tak karuan. Jadwal ulangan mulai menumpuk, kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler pun mulai aktif kembali, jangan tanya tentang tugas karena hal ini sudah wajib adanya. Secara ringkas, hari-hari Karina mulai sibuk kembali.

“Kamu ngapain bengong jam segini?”

Irene melepas sarung tangan yang ia gunakan lalu duduk di sebelah Karina dan menuangkan dirinya secangkir teh dari teko yang sudah disiapkan oleh anaknya.

“Pusing, Ma.”

“Kalo sakit, istirahat. Kalo capek, ya istirahat juga.” ujar Irene dilanjut dengan tawa. “Emang pusing kenapa sih? Tumben sampe segininya?”

Karina menghela napasnya. Ia mengambil cangkir teh yang ada di tangan Irene lalu di taruhnya cangkir tersebut di atas meja. Kemudian sang anak semata wayang merebahkan kepalanya di paha Irene yang secara otomatis mengelus rambut Karina dengan penuh kasih sayang.

“Biasa sih ma sebenernya. Sekolah, Ekskul, Tugas.”

“Okay, yang bikin beda terus apa?”

“Ada satu tugas yang akhir-akhir ini bikin aku mikir ekstra.”

Irene menepuk pipi Karina pelan kemudian ia cubit dengan agak kencang, saking gemasnya ia pada putrinya itu.

“Ma! Sakit!!” protes Karina.

“Maaf, pipi kamu lucu banget deh. Mirip banget sama pipi mommy kamu, jadi pengen Mama gigit, boleh nggak?”

Mendengar pertanyaan Irene, Karina langsung bangkit dari posisinya dengan tatapan horor.

“Nggak mau! Mama tuh kalo gigit pipiku serius!”

Irene tersenyum dan kembali tertawa. Tangannya menarik bahu Karina, meminta agar putrinya kembali berbaring seperti sebelumnya.

“Bercanda, sayang. Tapi bagian yang Mama bilang pipi kamu lucu, itu beneran. Pipi kamu mirip Wendy, itu juga serius.”

“Mana ada! Orang-orang tuh bilangnya aku lebih mirip Mama daripada Mommy.”

“Gitu ya? Soalnya mereka nggak kenal kamu atau keluarga kita. Coba kamu tanya sama orang yang kenal kamu, pasti setuju sama Mama. Nggak percaya? Coba tanya Winata.”

Winata.

Sudah hampir seminggu sejak terakhir kali Winata mengunjungi rumahnya dan membicarakan tentang tugas mereka.

Sudah hampir seminggu pula kepala Karina dipusingkan dengan jawaban dari pertanyaan ’Apa itu Cinta?’ dan sampai sekarang ia masih belum mendapatkan jawaban yang memuaskan bagi dirinya.

Sudah hampir seminggu pula Karina memperhatikan tindak tanduk Winata di sekolah. Jujur saja, jawaban Winata minggu lalu cukup menarik perhatiannya. Apalagi menurut Karina jawaban Winata hampir seperti Winata yang tengah menjelaskan isi hatinya saat itu.

Selama ini Winata tidak pernah menunjukkan ketertarikannya pada laki-laki atau perempuan manapun. Ada, tapi semuanya adalah ’public figure’ yang Karina yakin bahwa ketertarikan yang Winata tunjukkan lebih pada rasa kagum bukan rasa…..tertarik pada pasangan.

“Bengong lagi kan.” Irene kembali mencubit pipi Karina.

Karina mengerucutkan bibirnya.

Winata nanti dulu, tugasnya nomor satu.

“Ma, bantuin jawab tugas ku dong?”

“Tugas apa?”

“Literatur.”

Irene menatap Karina keheranan. Putrinya sangat menyukai mata pelajaran tersebut dan tidak pernah meminta bantuan pada dirinya ataupun Wendy. Karina tidak pernah menunjukkan bahwa ia kesulitan dalam pelajaran tersebut. Bahkan Irene dan Wendy sudah yakin bahwa Karina nantinya akan memilih untuk masuk jurusan sastra. Jadi ucapan Karina barusan membuat Irene memusatkan perhatiannya pada Karina.

Mungkin putrinya memang sedang ‘stress’ menghadapi kehidupan sekolah dan kehidupan pribadinya, sampai-sampai sesuatu hal yang sangat ia cintai justru tidak bisa mengangkat beban pikirannya dan malah menjadi jangkar pemberat.

“Okay, Mama bantu apa?”

“What is Love?”

“Huh?”

“Itu tugas literatur ku. What is love? Pantesan aja Bu Tiffany ngasih tugas ini deadlinenya 2 minggu.” ujar Karina sembari menghela napas.

“Tiffany?”

Karina mengangguk.

“Kamu udah kepo-kepo jawaban temen-temen kamu? Giselle atau Ningtyas? Winata juga?”

“Udah. Ya jawabannya beda-beda semua, ma. Itu yang bikin aku pusing. Aku pusing banget mikir jawabannya karena aku tahu nggak ada jawaban benar atau salah, tapi aku belum menemukan jawaban yang paling mendekati sempurna menurutku.”

“Coba mama tanya, kenapa harus sempurna?”

“Ya, karena aku suka sama mata pelajaran ini ma! Aku nggak mau settled less than perfect.”

Irene tersenyum. Tangannya masih membelai kepala Karina.

“Then you got your answer, honey. Ketika kamu mencintai sesuatu, kamu akan berusaha semampu kamu untuk mendapatkan yang terbaik. You won’t settle for something that’s not perfect. Masalahnya, parameter sempurna itu sendiri juga bervariasi. Benar nggak?”

Karina mengernyitkan alisnya. Jawaban Irene agaknya mulai memicu otaknya untuk berpikir lebih jernih.

Mendapati putrinya kembali berpikir keras, Irene kembali menjahili Karina. Ia menyentuh pipi Karina berkali-kali menggunakan jari telunjuknya, sesekali dielus dan dicubit pula oleh Irene.

Kesal dijahili oleh Mamanya, Karina menghentikan tindakan Irene dan menggigit jari yang sedari tadi menjahilinya.

“Jorok!”

“Biarin aja! Mama nyebelin sih siang ini.”

Irene dan Karina tertawa terbahak-bahak. Sudah lama mereka tidak menghabiskan waktu berdua seperti ini sejak Irene disibukkan dengan proyek terakhirnya.

“Kepala kamu udah kayak mau meledak pasti, makanya yang ada disini…” Irene menunjuk pada pelipis Karina, “...tuangin dulu dalam bentuk tulisan. Ember yang penuh nggak akan bisa menampung air, sayang.”

Karina mengangguk.

“Ayo beres-beres yang disini. Hari ini Mommy kamu pulang cepet katanya. Dia ngajak kita jalan-jalan terus sekalian makan malam di luar.”

“Loh tumben?” tanya Karina.

Ia bangkit dari posisinya dan mengambil gelas serta teko yang ada di tangan Irene, “Biar Karina aja, ma.”

“Makasih ya, sayang. Menjawab pertanyaan kamu, soalnya pas valentine besok Mommy kamu ada kerjaan. Jadi makan-makannya di majuin dan hari ini yang paling pas. Kamu juga nggak ada jadwal les kan?”

Karina menggeleng. Ia mengekor di belakang Irene, berjalan ke dalam rumah mereka.

“Kok tumben sih Mama dan Mommy ngambil kerjaan pas valentine?”

“Loh, ini bukan kali pertama kok. Lagian Mommy kamu juga udah bilang dulu ke Mama sebelum terima offer-nya.”

“Maksud aku, kan biasanya pasangan-pasangan di luar sana pasti mau ngerayain Valentine barengan gitu.”

Irene tertawa, “Karena Mama sama Mommy kamu bukan pasangan normal.”

“Ih, serius ma!”

“Lah, iya. Ini mama serius. Kalau pengen menghabiskan waktu sama pasangan, kenapa harus nunggu momen tertentu? Walaupun kadang memang iya, ada rasa ingin sama kayak orang lain gitu kan? Tapi Mama dan Mommy udah dari dulu setuju kalau nggak semuanya harus dirayain bareng-bareng kayak orang lain. Nanti akan ada saatnya kamu tahu kalau relationship itu nggak harus melulu tentang romantis, ada yang namanya realistis juga.”

“Sounds like a headache.” bisik Karina.

“Intinya, give and take, win-win solution. Pasti kamu juga pernah kok ngalamin, cuma bukan dalam hal relationship aja. Yaudah sana kamu mending siap-siap, mama mau nyuci ini dulu baru siap-siap.”

Karina menuruti saran Irene. Ia mencium pipi Mamanya kemudian berjalan ke lantai dua menuju kamarnya.

Pembicaraan dengan Mamanya barusan cukup mencerahkan kepalanya.


L is for the way you look at me O is for the only one I see V is very, very extraordinary E is even more than anyone that you adore

And love is all that I can give to you Love is more than just a game for two Two in love can make it Take my heart and please don’t break it Love was made for me and you

Mobil sedan yang tengah melintasi jalanan ibu kota tersebut dipenuhi oleh lagu yang sengaja diputar oleh Wendy. Ia melirik ke arah Irene di setiap bait lagu yang dinyanyikannya, membuat pipi Irene merona merah walaupun tidak begitu jelas dilihat dengan pencahayaan yang minim.

Sudah delapan belas tahun mereka menikah, dua puluh tahun sejak pertama kali berkenalan, dan Irene tetap saja merasa malu saat Wendy menggodanya seperti ini. Perasaan senang dan bahagia itu tetap ada di dalam hatinya.

“Wen, stop deh. Malu tau ada anak kita di belakang.” tawa Irene.

“Loh kenapa? Emang Mommy nggak boleh kayak gini, Rin?”

“Boleh mom…” jawab Karina dengan suara malas, sengaja sedikit bercanda.

Sudah menjadi kebiasaan. Karina akan ditinggal Irene dan Wendy bermesraan. Kadang ada perasaan kesal, karena ia pun ingin diperhatikan. Tetapi lebih sering ia merasa bahagia melihat betapa harmonis kedua orang tuanya.

Seperti malam ini, keluarga mereka baru saja selesai pergi melihat sunset dari puncak bukit dan saat ini sedang dalam perjalanan menuju tempat makan yang sudah dipesan oleh Mommy Wendy.

Sejak berangkat dari rumah hingga saat ini, baik Irene maupun Wendy terus mempertunjukkan keromantisan mereka. Karina dapat melihat bagaimana Wendy menggenggam erat tangan Irene saat mereka menempuh jalan setapak untuk mencapai puncak bukit tempat tadi mereka menyaksikan sunset. Karina juga melihat bagaimana pandangan mata Irene tidak pernah lepas dari sosok Mommy-nya.

Dan hari ini Karina menyadari bahwa ia pun ingin memiliki hubungan seperti kedua orang tuanya.

“Tuh, anak kita aja bilang boleh. Sekarang coba kasih tau siapa yang ngelarang? Biar Karina yang maju paling depan!” ujar Wendy diikuti dengan tawa dari Irene yang juga memukul lengan Wendy pelan.

“Loh kok aku?!” saut Karina cepat saat mendengar namanya ikut terseret.

“Ya kan Mommy udah susah-susah nyuruh kamu les taekwondo sampe kamu sabuk hitam, buat apa nggak digunain?” jawab Wendy santai.

“Mommy lupa kalo Mama juga bisa taekwondo?”

Mulut Wendy membentuk huruf ‘o’ setelah mendengar ucapan Karina. “Bener juga kamu. Anyway, Mama kamu cerita katanya kamu lagi pusing karena tugas sekolah?”

“Yeah, but no worries. Aku udah ngikutin saran Mama tadi sore and it helps me a lot.”

“You sure, honey?”

“uhmm…”

Irene dan Wendy terkejut saat mereka mendapati wajah Karina menyembul di antara kursi mereka berdua. Perlahan tubuh Karina maju, berada di antara kursi pengemudi dan penumpang.

“Sayang, bahaya. Duduk yang bener.” protes Irene.

Dengan cepat Wendy menepuk paha Irene dan menoleh sekilas ke arah dua perempuan kesayangannya. “It’s okay, it’s okay. I got it.”

Tak lama kemudian kecepatan mobil mereka sedikit melambat.

“Kamu mau ngomong apa?” tanya Wendy.

“Aku tiba-tiba penasaran, cerita pertama kali Mama dan Mommy ketemu kayak gimana? Terus dari pertama ketemu bisa jadi deket tuh gimana?” tanya Karina, kepalanya menoleh ke arah Wendy dan Irene secara bergantian.

Pertanyaan Karina memicu tawa kecil dari mulut Wendy sedangkan Irene terlihat memalingkan wajahnya, malu.

“Kami pertama ketemu karena pekerjaan. Mommy emang yang pertama nyapa Mama kamu tapi for your information Mama kamu yang duluan deketin Mommy in romantic way.” jawab Wendy yang mendapat sebuah cubitan di pinggang, tentu saja dari Irene.

Flashback

Irene berjalan tergesa-gesa tepat di belakang manajernya. Sangat wajar, mengingat mereka berdua sudah telat hampir satu jam dari waktu yang dijanjikan sebelumnya. Sementara ia berjalan dengan tergesa-gesa, Irene sejujurnya masih berusaha untuk menenangkan perasaannya. Ia masih terlampau kesal dengan sikap tidak professional dari lawan mainnya. Bagaimana bisa Pria itu telat datang ke lokasi syuting dan tidak ada satu pun yang melayangkan protes kepadanya?

Keduanya kini berjalan memasuki lift yang sudah diisi oleh satu orang lainnya. Irene mengangguk singkat pada sosok wanita yang menggunakan turtleneck berwarna cokelat dipadankan dengan leather skirt berwarna hitam.

Mata Irene membulat saat ia melihat Wanita tadi menyodorkan sebuah tisu dan satu cup minuman kepadanya. Irene sudah hampir berburuk sangka bahwa sosok di dekatnya itu adalah salah satu fans atau bahkan paparazzi namun saat ia melihat tatapan mata wanita tadi, Irene yakin bahwa wanita tadi tidak peduli tentang status Irene saat ini.

”Tisu untuk menyeka keringat di kening dan cokelat hangat untuk membuat suasana hati lebih baik.” ujar wanita tadi yang kemudian keluar dari lift tersebut di lantai 3.

Irene tertawa saat melihat wanita tadi sempat memberikan gesture hormat padanya dengan sebuah kerlingan mata. Agaknya wanita tadi memang mengenali dirinya.

Flashback End

“Udah gitu doang? Pertama ketemu di lift?” tanya Karina.

“Iya, pertama kali ketemu di lift. Mommy kamu udah flirting duluan.”

“Hey! Itu bukan flirting! I just do you some favor! Kamu keliatan habis menjalani satu hari penuh kesialan, a total bad day. Jadi aku nggak sampai hati aja lihat perempuan cantik harus bersedih.” ujar Wendy.

Karina tergelak, “Okay-okay. Jadi itu ketemu buat apa?”

“Waktu itu Mama ada proyek drama gitu. Terus Mama harus nyanyiin salah satu OST-nya dan lagu itu kebetulan dibuat sama Mommy kamu.”

Karina mengangguk paham.

“Oh yang minta nomer telepon itu Mama kamu duluan loh. Awalnya alasan karena mau tanya-tanya masalah lagu, eh kebablasan jadi ngucapin selamat pagi, selamat siang, selamat malam. Udah kayak operator call center.” goda Wendy.

“Sumpah?!”

“Iy-.. aduh, babe it hurts!” protes Wendy pada Irene.

“Well, tapi yang pertama kali ngajak kencan itu Mommy kamu.”

“Kalo yang nembak pertama kali siapa?”

“Mama kamu tuh.”

“Sumpah?!” lagi-lagi Karina tidak percaya.

Selama ini Irene terlihat sebagai sosok yang lebih cool dan hampir tidak pernah merayu Wendy secara terang-terangan di depan Karina. Jadi wajar jika putri semata wayang mereka terkejut akan fakta ini.

“Ya abis Mama tuh kesel! Udah hampir satu tahun deket, tapi nggak ada kemajuan! Mama kan juga sempet insecure, jangan-jangan Mommy kamu cuma mainin perasaan Mama aja waktu itu.” bela Irene.

“Tapi yang propose itu Mommy kamu. Mama inget banget waktu itu Mommy kamu udah ada di apartemen Mama malem-malem pas Mama pulang habis syuting. Dia langsung ngajak Mama nikah.” lanjut Irene yang kemudian tertawa saat melihat wajah Wendy merah seperti kepiting rebus.

“Uhm, Karina penasaran deh Ma, Mom, kok berani sih dulu buat nikah? I mean no offense, tapi nikah kan bukan sekedar pacaran?”

“Simple Karina, it’s because I love her. Waktu itu satu-satunya alasan kenapa Mommy berani ngajak Mama kamu nikah, cuma karena Mommy nggak bisa bayangin gimana kehidupan Mommy tanpa Mama kamu. Plus, ini informasi tambahan, Mommy waktu itu jealous dan insecure banget sama lawan main Mama kamu.”

Love.

What is Love?

Karina kembali teringat akan tugasnya.

“Mom, what is love? Aku udah denger jawaban Mama siang tadi, ya nggak secara langsung sih but she kinds of explain to me.”

“Love? Itu satu kata beribu makna. Tapi kalau menurut Mommy, Cinta itu yang membuat kamu berani. Mommy berani ambil keputusan untuk menikah dengan Mama kamu, because I love her. Mama kamu berani ambil keputusan untuk mengandung kamu walaupun waktu itu sebenernya riskan banget untuk kesehatan dia sendiri, because she loves you…”

Wendy menoleh ke arah Irene dan tersenyum. Tiba-tiba sekelebat memori-memori masa lampau menghampiri ingatan Wendy. Bagaimana perjuangan hubungan mereka di awal-awal masa pernikahan. Lalu bagaimana perjuangan Irene di masa kehamilannya, yang bahkan sempat hampir keguguran. Wendy pun ingat bagaimana khawatirnya ia di hari persalinan.

As cliche as its sounds, Wendy berani melewati itu semua karena ia tahu rasa cintanya pada keluarga kecilnya mengalahkan rasa takutnya.

Mendapati jalanan di depannya cukup lengang, Wendy menoleh ke arah Irene dan mencari tangan istrinya. Digenggamnya tangan Irene dengan erat dan kemudian ia kecup sekilas sebelum akhirnya ia taruh tangan mereka berdua di atas pangkuannya.

Perlakuan Wendy sontak membuat hati Irene penuh dengan kebahagiaan. Hal-hal kecil seperti ini yang membuat Irene selalu ingat alasan mengapa ia berani untuk menerima pinangan Wendy delapan belas tahun yang lalu.

“Atau Mommy kamu yang tiga tahun lalu berani pasang badan untuk keluarga kita, it’s because she loves us.” tambah Irene tiba-tiba.

Ucapan Irene memicu setetes air mata mengalir dari pelupuk mata milik Karina. Ia ingat betul kejadian itu.

Dua tahun lalu, keluarga kecil yang disimpan rapat-rapat oleh Irene dan Wendy akhirnya bocor ke publik. Kehidupan mereka tiba-tiba terekspos padahal selama ini Irene dan Wendy selalu berhasil membungkam media. Benar saja, tak lama dari berita ‘mengejutkan’ ini menjadi konsumsi publik, keluarga Karina menerima ancaman-ancaman kematian hanya karena kondisi mereka yang berbeda dari mayoritas keluarga yang ada. Bagaimana Karina mendapat cibiran dan ancaman yang membuatnya cukup trauma.

Irene mengambil langkah cepat dengan mengumumkan bahwa ia akan non-aktif untuk sementara waktu. Sedangkan Wendy mengambil langkah ekstrim dengan mengumpulkan pengacara-pengacara terbaik untuk melindungi keluarganya. Entah berapa kali Wendy harus bolak balik dari firma hukum, kantor polisi, dan pengadilan dalam jangka waktu dua tahun. Mommy-nya benar-benar tidak memberikan ampun sedikitpun pada orang-orang yang mengusik keluarga mereka.

Sementara itu Karina terpaksa menjalani ’home-schooling’ selama satu setengah tahun dikarenakan ia yang masih takut untuk bertemu dengan orang-orang. Hanya Winata sosok yang secara konstan menemaninya selain kedua orang tuanya.

Winata-lah yang membantunya untuk secara perlahan berani menjalani kesehariannya dengan ‘normal’. Namun Karina juga ingat betul alasan utama mengapa ia memaksa dirinya untuk sedikit demi sedikit menjalani hari-harinya lagi.

Raut kesedihan dan penuh penyesalan yang sempat ia lihat di wajah Irene dan Wendy ketika mereka melihat keadaan Karina. Ia ingat betul bagaimana di suatu malam ia mendengar tangisan Irene yang berada dalam pelukan Wendy, yang sebenarnya juga tengah menangis dalam diam.

It’s because she loves them so she tried to be brave.

Karina menyeka air matanya kemudian ia menarik tangan Irene dari genggaman Wendy. Kini kedua tangannya masing-masing menggenggam tangan Irene dan Wendy. Tangan kiri menggenggam tangan mommy-nya dan tangan kanan menggenggam tangan mama-nya.

“Well, then I think I know what love is.” ujar Karina.

“Oh ya?” sahut Wendy.

“Yeah, thanks to you Mom and Mama. I think I know what love is.”