OPPOSITE ATTRACTS (part 2)
Irene tiba di ‘rumah kecil’ mereka lebih cepat dari yang dijanjikan. Dari jauh sudah nampak tower apartemen yang sudah hampir satu tahun ini ia huni bersama Wendy.
Ia kembali memeriksa chat room antara dirinya dan Wendy, masih sama. Chat terakhir darinya masih belum mendapatkan balasan.
“Pak, hari ini Seungwan pergi nggak?” tanya Irene pada driver pribadinya yang selalu standby menunggu arahan darinya yang juga sesekali ia minta standby untuk mengantar jemput Wendy kalau-kalau sang pujaan hati butuh kendaraan pribadi.
“Hari ini pergi sama Ibu, non. Tadi nggak ketemu di kantor?”
“Hah? Emang tadi ke kantor?”
“Iya non. Tadi Non Seungwan sama Ibu ke kantor.”
Irene mengerutkan alisnya, ia tidak mempermasalahkan Wendy pergi tanpa mengabarinya, walaupun memang ia agak gemas juga. Wendy sudah janji akan selalu mengabarinya kemanapun ia pergi namun karena kali ini Wendy pergi bersama Bundanya, setidaknya hati Irene lebih tenang.
Masalahnya, ia sama sekali tidak tahu kalau Wendy mampir ke kantor. Mereka bahkan tidak membicarakan hal itu sama sekali.
“Lama tadi pak? Di kantornya?”
“Nggak sih non. Tadi ketemu Bapak, terus abis itu pergi makan siang sama bapak.”
“Kemana pak?”
“Itu non di tempat langganan bapak sama ibu.”
Tak bisa dipungkiri, Irene merasa bingung. Ia berusaha berpikir keras, kira-kira apa yang membuat suasana hati Wendy seburuk ini. Apakah Wendy melihat sesuatu di kantornya? Seingatnya ia tidak melakukan sesuatu di luar kebiasaannya. Atau terjadi sesuatu saat makan siang? Namun rasanya tidak mungkin, mengingat Wendy hanya makan bersama Ayah dan Bundanya.
Setibanya Irene di apartemen mereka, ia masih berpikir keras apa penyebab suasana hati Wendy yang tampaknya sedang buruk.
”Mampus gue, ini kenapa anak orang. Apa gue tanya Seulgi aja ya biasanya Sooyoung kalo ngambek kenapa?” batin Irene.
Mata Irene bergerak kesana kemari saat menemukan apartemennya itu sunyi senyap. Hanya ada suara sayup-sayup dari ruang tengah.
“Seungwan?” panggil Irene sembari berjalan ke arah suara.
Ia tertawa saat menemukan Wendy terlelap di sofa ruang tengah dengan posisi miring, bertumpu pada lengan kanannya sedangkan tangan kirinya meringkuk tepat di depan dada dengan posisi yg mengepal dan wajah yang cemberut.
Ah, kesayangannya sedang badmood.
”So cute.” ujar Irene pada dirinya sendiri.
Sang CEO duduk di lantai dan mensejajarkan dirinya dengan wajah Wendy. Ia mengelus kepala Wendy kemudian mencium pipinya pelan. Tadinya ia ingin mencolek-colek pipi Wendy, namun Irene yakin kalau ia melakukan itu yang ada Wendy bisa tambah marah.
“Bangun dong, saya udah di rumah nih.” bisik Irene.
Ia tersenyum saat melihat Wendy mengusap matanya beberapa kali sebelum ia menyadari bahwa saat ini Irene sudah ada di hadapannya.
“Halo” sapa Irene yang kemudian diikuti dengan kecupan singkat di bibir Wendy.
“Kamu ketiduran?” sambung Irene.
Wendy menganggukan kepalanya.
“Nungguin saya?”
“Nggak, nungguin tetangga.” jawab Wendy setengah mendengus.
Irene terbahak saat mendengar jawaban ketus dari Wendy. Apalagi saat ia melihat bahwa Wendy benar-benar kesal karena Irene menertawakan dirinya.
“Kamu nih kenapa?” tanya Irene yang masih penasaran.
Dahi Wendy mengkerut, alisnya hampir menyatu di tengah. “Aku kesel.”
Kalau boleh jujur, sebenarnya saat ini ia lelah sekali dan ingin segera beristirahat. Namun melihat Wendy yang uring-uringan seperti ini membuat Irene sangat penasaran. Jarang sekali Wendy menunjukkan sifat rewelnya, apalagi sampai merajuk. Biasanya, justru Irene yang terlihat ‘rewel’, sedangkan Wendy selalu terlihat cool.
“Mau peluk nggak?” tanya Irene dengan posisi lengan yang terbuka lebar, mempersilakan Wendy untuk memeluk dirinya.
Melihat tidak adanya pergerakan dari Wendy, akhirnya Irene mengambil inisiatif untuk memeluk Wendy dan menggoyangkan badan mereka ke kanan dan ke kiri.
“Kamu aneh banget, mau saya peluk padahal saya baru pulang kantor. Biasanya langsung nyuruh saya mandi.” goda Irene.
“Kalo cerewet aku lepas nih!”
“Yaudah, mau di lepas aja?”
“Bentar duluu iiiih!!”
Wendy langsung mengeratkan pelukan mereka saat ia merasakan Irene hendak menarik tubuhnya. Ia mendekap tubuh Irene dengan erat, menyandarkan wajahnya di lekukan leher dan bahu Irene. Dihirupnya aroma tubuh Irene yang memiliki efek menenangkan bagi dirinya.
Hari ini entah kenapa emosi Wendy bisa sangat mudah tersulut. Jujur ia sangat marah tadi siang dan hampir saja membatalkan acara makan siang dengan orang tua Irene saking badmood-nya. Bahkan ia berbohong pada Tuan dan Nyonya Bae saat ditanya mengenai Irene.
Tuan dan Nyonya Bae sudah meminta Wendy untuk menghubungi Irene agar anak sulung mereka ikut acara lunch hari itu. Yang ada Wendy justru berbohong dan mengatakan bahwa Irene tidak bisa ikut karena ada urusan penting yang harus diselesaikan. Padahal ia saja tidak menghubungi Irene sama sekali.
“Saya beneran gak tau ini kamu kenapa sih?” bisik Irene.
Hati Wendy luluh saat mendengar suara Irene yang benar-benar kebingungan. Dalam hatinya pun ia tahu bahwa Irene sama sekali tidak salah, hanya saja hari ini ia benar-benar kesal.
“Sayang?”
Wendy menghela napasnya panjang. Setiap kali Irene memanggilnya dengan ‘sayang’, hatinya selalu luluh. Call her exaggerating but Wendy can feel the sincerity and the honesty. It feels like Irene really mean it whenever she called her that.
Irene perlahan melepaskan pelukan mereka untuk melihat wajah Wendy dengan lebih jelas. Sementara itu Wendy bangkit dari posisi tidurnya dan menyandarkan dirinya pada sandaran sofa.
“Duduk sini.” ujar Wendy pelan sambil menepuk sisi yang kosong di sebelah kirinya.
“Kamu tuh marah kok dibawa tidur sih? Nanti ketemu monster di mimpi baru tau rasa.” goda Irene.
“Ih! Emangnya aku anak bayi?!”
“Lah kan emang? My baby?”
Wendy secara spontan tersedak. Bisa-bisanya Irene disaat seperti ini masih menggombali dirinya.
“Mau cerita nggak?” tanya Irene sambil mengelus kepala Wendy, kemudian menggenggam tangannya erat.
“Cerita apa emang?”
“Ya coba cerita kamu kenapa badmood gini? Terus coba cerita kok kamu ke kantor tapi nggak mampir ke ruangan saya?” tanya Irene langsung to the point.
Bukannya menjawab, Wendy justru menyandarkan badannya pada tubuh Irene.
“Lagi manja banget nih ceritanya? Sayang, kamu kenapa sih?”
Irene benar-benar bingung, hari ini kayak mereka lagi bertukar jiwa. Biasanya yang lebih banyak berbicara itu Wendy sedangkan ia lebih banyak berkomunikasi menggunakan gestur tubuh.
“Nggak papa.”
“Kalau nggak kenapa-kenapa, kamu nggak bakal minta saya cepet-cepet pulang. Terus ini sekarang lagi clingy banget gini kenapa hayo? Ini kita lagi tukeran jiwa ya jangan-jangan?”
Wendy akhirnya tertawa saat mendengar ucapan Irene dan menyadari bahwa saat ini sesungguhnya Irene sedang berusaha keras untuk memahami dirinya. Pasti Irene juga sedang kebingungan dengan sikapnya ini. Bisa saja Irene marah pada dirinya namun sikapnya yang sangat pengertian dan penuh kasih sayang justru membuat Wendy luluh.
Kalau dipikir-pikir, kekesalannya itu cukup konyol.
“Kalaupun menurut kamu nggak penting, tapi kamu sampe kesel loh. Artinya itu penting. Ayo cerita sini, biar kamu lega ya? Saya dengerin kok, sekonyol apapun itu menurut kamu.”
Wendy menatap Irene kaget. Apa Irene bisa baca pikirannya?
Irene tersenyum, “Your pretty eyes can’t lie Seungwan. Your expression can’t lie.”
Sang solois menghela napasnya. Kemudian ia memainkan jari jemari Irene yang sedari tadi ia genggam.
“I met some bitches today.”
“Oh? Di kantor?”
Wendy mengangguk. “Iya, tuh karyawan kamu tukang gosip.”
“Who? Ngomong apa sih?” tanya Irene masih bingung.
“Nggak tau siapa, just accidentally heard it pas aku beli minuman di ground floor. They talk trash about us.”
“Emang ngomong apa sampe bikin kamu kesel?”
“Awalnya mereka ngomongin kamu, muji-muji kamu, how fashionable you are. Nggak tau aja mereka kalo aku yang milihin baju.” gerutu Wendy.
“Terus mulai menjalar deh ke gosip lain, like how hot you were at an internal meeting. Terus ya mulai tuh mimpi mimpi gak jelas. Bilang mau lah jadi simpenan kamu, dasar karyawan genit pengen ku jait tau mulutnya” ujar Wendy masih marah-marah.
Sedangkan di lain sisi Irene berusaha menahan tawanya. Bukan ia tidak menghargai perasaan Wendy, namun Wendy tidak begitu sering menunjukan rasa jealousnya ditambah ekspresi wajah Wendy yang sangat comical membuat Irene rasanya ingin mencubit pipi Wendy.
“I see. Tapi kamu tau kan itu semua cuma gosip? I won’t choose any of them to be my partner for the rest of my life, I only want you.”
“I know… but that’s not what pissed me of Hyun.”
Ah… masih ada lagi rupanya.
Irene mengangguk, memberikan sinyal agar Wendy melanjutkan ceritanya.
“Terus mereka mulai ngulik-ngulik nggak jelas tau nggak. They keep talking about the day of your company’s anniversary. Mereka bilang I am just your trophy wife and that you are just using me for my fame while I use you for an infinite amount of money. They say I’m not worthy enough for you.”
“Okay… first you do get an infinite amount of money. That’s not totally wrong, Yerim juga sering bilang saya sugar mommy kamu….aww!”
Wendy menonjok perut Irene saat mendengar candaan yang keluar dari mulut Irene.
“Okay, bad jokes, sorry. Honey, we can’t control what people say about us. What matters is only you and me, right?”
“I know. Aku kayaknya mau dapet sih ini. Biasanya aku nggak segampang ini buat kepancing. Tapi nggak tau kenapa aku hari ini badmood banget. I truly feel offended. Mana mereka bilang kamu sama Kak Seul serasi lagi!”
“Hah?” kali ini Irene tak kuasa menahan tawanya.
“Kok ketawa sih?!”
“Lagi??”
“Ya iyalah! Emangnya tadi siang aku nggak liat kamu ngapain sama Kak Seul?!”
“Emang saya ngapain?”
“Sok lupa lagi tadi siang lendot-lendotan sambil pegangan tangan.” ujar Wendy pelan.
Mendengar ucapan Wendy, Irene berubah menjadi lebih serius. Tak jarang Wendy merasa jealous terhadap Seulgi dan ia tahu masih butuh waktu agar Wendy bisa sepenuhnya menghilangkan rasa jealousnya itu. Namun menurutnya wajar, karena hubungannya dengan Seulgi pun memang sangat dekat.
Irene menangkupkan tangannya di wajah Wendy namun yang lebih muda justru melakukan protes ringan dengan mengalihkan wajahnya dan menahan tangan Irene.
“Lihat saya ya? Okay love?” ujar Irene yang berusaha membuat ekspresi memelas.
Wendy tetap dalam diamnya. Namun perlahan gerak tubuhnya tidak sekeras yang sebelumnya.
“Jadi tadi siang kamu udah ke ruangan saya ya?” Ujar Irene membuka percakapan. Ia mengusap pipi Wendy lembut sambil merapikan poni yang menutupi wajah Wendy.
“Jangan ketawa ya, Seulgi itu jago mijet. Terus siang tadi anemia saya kambuh. Makanya saya minta dia mijetin tangan saya. Itu saya senderan ke Seulgi karena kepala saya pusing.” lanjut Irene
Tanpa diduga Wendy langsung memutar tubuhnya dan memperhatikan wajah Irene dengan saksama, “Kamu sakit??”
Irene menggeleng, “Cuma kurang istirahat aja.”
“Tuh kan! Kamu tuh kalo kerja makanya itung-itung dong!”
Ia sudah hampir membuka mulut namun dengan segera Irene mengurungkan niatnya. Wendy kini sudah menempelkan punggung tangannya di kening Irene, memeriksa suhu tubuhnya dan kini justru tangan Wendy lah yang memegang wajah Irene dengan halus.
“Kamu kalo sakit tuh bilang dong! Tadi siang makan nggak?”
“Makan kok. Tapi sayangnya nggak makan sama kamu sih, coba sama kamu pasti saya langsung sembuh.”
“Gombal!”
“Beneran, kan saya bisa dapet vitamin c?” ujar Irene yang langsung mencuri satu kecupan singkat di bibir Wendy.
“Ih! Kamu tuh sekarang kok jadi suka usil! Ketularan Yerim apa gimana sih?”
Irene hanya bisa senyam-senyum. Ia tidak mau membocorkan rahasia bahwa alasan utama ia pusing bukan karena kerjaan. Tapi pusing merancang the dream wedding yang Wendy inginkan.
“Kok kamu malah senyam-senyum sih?!”
“I love you.”
“IH! Ditanyain serius juga!”
“I’m smiling because I'm just thinking of how lucky I am to have you in my life.”
“Sana deh ah kamu! Lagi diajak ngomong serius malah ngegombal.” dengus Wendy kesal yang berdiri dan berjalan meninggalkan Irene menuju kamar mereka.
”alright….period it is.” batin Irene
“Wifey! Wait for me!” ujar Irene yang buru-buru mengejar Wendy
“Nggak mau. Aku mau mandi.”
“Gimana kalo kamu temenin saya mandi? Atau sekalian kita mandi bareng?” goda Irene.
Wendy tidak langsung menjawab. Namun Irene melihat bahwa Wendy menyembunyikan wajahnya, pertanda bahwa ia cukup malu. Baru saja sang CEO hendak membuka mulutnya lagi, namun sang pujaan hati sudah mengeluarkan kalimat yang cukup mengagetkannya.
“Cepetan. Lima menit gak masuk kamar mandi aku kunci.”
“W-what?”
“You heard me.” ujar Wendy sok cool padahal dalam hatinya ia juga malu dan grogi.
Mandi yang biasanya bisa Wendy selesaikan dalam kurun waktu 15 sampai 30 menit, hari itu berujung hampir satu jam lebih. Irene paham betul hari itu Wendy sedang butuh untuk diperhatikan lebih, apalagi setelah ia terang-terangan mengatakan bahwa hari ini dirinya mudah sekali badmood.
Irene sengaja memperlakukan Wendy bak tuan putri walaupun saat itu ia sudah cukup lelah. Semakin lama ia menduduki posisi CEO, semakin banyak hal yang menyita perhatian Irene. Bisa pulang sebelum matahari terbenam adalah suatu privilege yang semakin jarang ia dapatkan, bahkan tak jarang ia tiba di apartemen saat Wendy sudah terlelap dan keesokan harinya Wendy sudah berangkat sebelum Irene bangun.
Jadwal mereka berdua sangat tidak klop terutama saat Wendy juga sedang sibuk-sibuknya dengan pekerjaan mereka. Sehingga Wendy membuat satu rule yang harus Irene tepati.
No work on weekends, unless it’s really urgent.
Irene berjalan ke ruang tengah saat ia mendapati Wendy tidak ada di dalam kamar tidur mereka. Ia masih sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk saat ia melihat Wendy sedang sibuk di dapur.
”Beneran badmood anaknya.” tawa Irene dalam hati.
“Baking?” tanya Irene yang duduk di kursi meja makan, Wendy membelakangi dirinya.
“Nggak, ini aku masak buat kamu.”
Irene cuma bisa senyum senang. Ini salah satu sifat Wendy yang sangat ia suka. Wendy sangat perhatian terhadap dirinya, walau ia sendiri juga mungkin sedang lelah.
“Belom makan kan kamu?” tambah Wendy
“Belum hehe.”
“Aku bikin sop bening sama fish fillet.”
Irene menaruh handuk yang ia pegang di kursi dan beranjak dari kursi yang ia tempati. Kemudian ia memeluk Wendy dari belakang walaupun ia tahu konsekuensinya pasti Wendy akan ngomel karena per Wendy’s words, “It’s dangerous!”.
“Masih badmood nggak?”
“Menurut kamu gimana?”
Irene tertawa pelan, ia mencium leher Wendy singkat, “Masih sih ini. My baby hamster badmood kenapa lagi? Ini masih ada yang belum diceritain pasti.”
“Just… my bad habits of overthinking things.”
“I see, emang lagi mikirin apa?”
“Tadi siang ketemu Lucas.”
“Terus?”
“Sebenernya kita nggak sengaja ketemu, dia juga lagi makan di tempat aku makan sama orang tua kamu. Terus dia liat aku lagi sama orang tua kamu, pertamanya dia gak tau sih itu orang tua kamu tapi terus karena kita ngobrol jadinya dia tau deh. So he teased me about you then he told me that he never imagined I would end up with someone like you.”
“Someone like me?”
“Ya gitu, liat aja sendiri kita tuh beda banget tau. You like silence, I like crowds. You are a family type of woman, I was a single fighter. You like to stay at home, I like to go to parties, and so on.”
Irene hanya diam, memberikan ruang pada Wendy untuk berbicara. Ia juga membiarkan Wendy untuk sibuk memasak, a distraction that she needs whenever she talks about something serious.
“Lucas juga bilang jangan dengerin orang-orang yang masih suka ngomongin aku di agensi. He said that even though he never imagined I would end up with you, but he do think that you’re the one that I need. Well, terus dia bercanda sih bilang suruh aku bilang ke kamu buat tetep ngijinin aku minum-minum, supaya Lucas nggak kehilangan aku sebagai temen minum.
“Terus yang bikin kepikiran dimananya?”
“Aku jadi kepikiran sama ucapan orang-orang sih, apa emang aku segitu nggak cocok ya sama kamu? Mostly said that I’m not worthy enough of you. Nggak cuma Lucas, aku juga nggak nyangka bakalan bisa di tahap ini, sama kamu.”
Belum sempat Wendy memulai ucapannya lagi, Irene sudah memegang tangan Wendy dan mematikan kompor yang menyala. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Wendy lalu menautkan bibir mereka.
Sebuah ciuman lembut khas Irene.
Ia sedang menyalukan perasaannya lewat ciuman tersebut, menyatakan bahwa ia pun membutuhkan Wendy, menyatakan kalau ia pun beruntung bisa bersama Wendy seperti ini setelah apa yang mereka sempat lalui.
Setelah Irene mengakhiri tautan bibir mereka, ia sekilas mencium dahi, kemudian turun ke mata, pipi, dan berakhir di bibir Wendy lagi.
“Just because we are different, bukan berarti kamu nggak pantas sama saya. Emang saya pantas sama kamu? Saya juga punya sifat buruk kok. Coba you named it.”
“Suka ngatur.”
“O...kay. But in my defense itu buat kamu juga.” protes Irene.
“Nyebelin, suka ngegombal.”
“But you like it.”
“Tck, apa lagi ya. Oh kamu kaku banget. Suka susah diajak ngomong. Udah gitu suka jealous sama kerjaan aku.”
Irene tertawa, “Iya, iya saya akuin yang ini. See? Saya juga punya sikap-sikap yang bikin kamu kesel. I’m not a saint, Seungwan.”
Wendy tidak membalas ucapan Irene namun yang ada ia justru langsung memeluk Irene dengan erat, menyembunyikan wajahnya di dada Irene.
“Manja banget hari ini. Saya suka deh.” goda Irene
“Nyebelin kan.”
“Tapi kamu sayang.” timpal Irene. Ia hendak melepaskan pelukan mereka karena ingin melihat wajah Wendy.
“Diem dulu kayak gini.” pinta Wendy yang dikabulkan oleh Irene.
“I love you, you know? More than what you could Imagine. Bahkan saya nggak bisa jelasin seberapa besar saya sayang sama kamu. I wish you can see yourself the way I do. I admire you a lot. Jadi kalau ada orang yang ngomong aneh-aneh, kamu gak usah dengerin ya? Kamu kalau nggak percaya, bisa tanya Bunda atau Yerim deh betapa saya sayang sama kamu.”
Wendy tertawa pelan. Sebenarnya tanpa harus bertanya pada orang lain pun, ia tahu betapa Irene sangat menyayangi dirinya. Setelah dipikir-pikir, kenapa juga dia bisa sampai uring-uringan segininya? Pasti tadi sore Irene benar-benar bingung.
Well, on her defense, hari ini moodnya memang sangat jelek.
“Walaupun orang-orang bilang kita beda banget, but that’s the point. We can fill each other's weaknesses. Opposite attracts Wan and you keep pulling me into you.”