6. Pertemuan Pertama

Wening menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celananya. Ia menyandarkan tubuhnya malas pada dinding lift. Matanya secara otomatis melihat pantulan dirinya di dinding lift yang terbuat dari cermin.

Ia tertawa kecil.

Pakaiannya hari ini jauh dari kata-kata profesional. Celana jeans, kaos putih, dibalut dengan jaket jeans senada dengan celana yang ia kenakan. Jangan lupa dengan sepatu converse yang ia pakai. Rambutnya ia biarkan tergerai hari ini, tanpa ia blow sama sekali.

Sebuah aksi 'mogok' yang dilakukan oleh Sagala Wening. Ia harap saat Teira melihat style-nya hari ini, Teira paham bahwa ia tidak mau bekerja.

Hari ini hari liburnya! Jatah cuti yang sebenarnya pun seharusnya bukan cuti.

Tiga minggu bekerja tanpa henti, bahkan di hari sabtu dan minggu.

Menurutnya cukup adil jika timnya meminta cuti di hari senin ini untuk sekadar memenuhi kuota jam tidur mereka yang sudah terkuras habis selama tiga minggu kemarin.

Sejujurnya Wening cukup khawatir dengan keadaan timnya. Ia, Yesha, dan Meira sudah meneguk entah berapa banyak cangkir kopi dan minuman energizer demi melawan kantuk. Bahkan Meira sudah bercanda bahwa dirinya terkadang melihat makhluk-makhluk penunggu di kantor mereka.

Entah halusinasi atau juniornya itu benar-benar memiliki kemampuan sixth sense.

Yesha juga beberapa kali sempat berkata bahwa telinganya berdengung dan ia bisa merasakan detak jantungnya meningkat drastis.

Kalau ada berita tiga wanita ditemukan tewas di rumah masing-masing karena serangan jantung, Wening rasa itu adalah tim-nya.

Lift yang membawa Wening ke lantai dua puluh dua akhirnya tiba di tujuan.

Wening kembali menghela napasnya malas.

Apes sekali dirinya. Keluar dari lift, ia langsung bertemu dengan sekretaris Teira.

“Mba Sagala, sudah ditunggu di dalam.”

“Uhm, gue ke toilet dulu deh ya. Kebelet.” jawab Wening asal.

Sekretaris Teira hanya mengangguk. Ia juga tidak punya hak untuk memaksa Wening, yang notabenenya Senior Associate di kantor hukum tersebut, untuk segera memasuki ruang bosnya. Toh, klien mereka belum datang juga.

Dengan segera Wening berjalan ke arah toilet yang terletak di ujung lantai tersebut.

Ia menjatuhkan dirinya pada sofa yang terletak di dalam toilet mewah itu.

Maklum, lantai ini berisikan partner-partner kantor hukum mereka. Termasuk managing partner dan foreign consultant. Jadi kemewahan memang sudah lekat dengan lantai ini.

Sebuah helaan napas panjang dikeluarkan oleh Wening.

“Wen, kata gue lo habis ini ke dufan. Terus lo naik wahana sambil teriak-teriak. Kalo nggak dikit lagi lo bisa gila tau.” ujar Wening pada dirinya sendiri.

Ia bangkit dari sofa tadi kemudian menghidupkan keran wastafel. Entah, ia hanya mencari kesibukan saja. Setidaknya berlama-lama di dalam toilet ini masih lebih mending ketimbang ia harus segera memasuki ruangan Teira.

“Teira sumpah kalo lo ga beneran kasih gue bonus, gue resign. Kenapa lo gila kerja sih Teiraaaa!” dengus Wening lagi, entah pada siapa.

Tepat tak lama setelahnya, Wening dikejutkan dengan suara slot kunci bilik toilet yang terbuka.

Ia tiba-tiba teringat cerita Meira yang berkata bahwa ia pernah melihat sosok kuntilanak di kantor mereka. Walaupun waktu itu Meira bilang ia melihat hantu tersebut di lantai dua puluh, tetapi bisa saja kan hantu lantai itu bermigrasi ke lantai dua puluh dua?

Namun tentu saja pikiran gila nya itu hanya sebatas kegilaan yang dialami oleh orang yang kurang tidur.

Dari bilik paling ujung terlihat seorang wanita dengan balutan suits formal berwarna putih berjalan ke arah wastafel.

Old Money.

Itu kesan pertama yang didapatkan oleh Wening. Hal ini nampak dari barang-barang branded yang melekat pada tubuh wanita tersebut.

Selebihnya ia dapat menebak bahwa wanita tadi merupakan sosok yang tidak bisa ia anggap remeh.

Maka dari itu tubuhnya secara refleks mengangguk ramah sebagai bentuk sapaan.

Sayangnya niat baik tersebut tidak dibalas dengan tindakan serupa. Wanita tadi hanya meliriknya sekilas tanpa membalas sapaan tadi.

Suasana berubah menjadi canggung. Wening tidak tahu harus berbuat apa. Selebihnya ia merasa kesal. Sombong sekali manusia satu ini?

Wanita tadi selesai membasuh tangannya lebih dulu dari Wening. Ia kemudian meninggalkan toilet tersebut seakan-akan Wening tidak ada disana.

Setelah memastikan bahwa dirinya benar-benar sendirian di dalam toilet tersebut, Wening kemudian melontarkan sederet sumpah serapah pada wanita yang tidak ia kenal itu.

“Dasar orang kaya! Sombong banget tai! Kesini juga pasti karena lo ada masalah hukum kan?! Amit-amit gue punya klien kayak gitu!”

Wening memijat pelipisnya sesaat kemudian menarik napasnya panjang. Mencoba menata mood-nya yang kian memburuk.

Lima menit berselang, akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari toilet tersebut dan bergegas ke ruangan Teira.

Sesampainya disana, tepat seperti ucapan Yesha, seluruh tim sudah hadir.

Tiba-tiba ia teringat percakapannya dengan Sashi. Kenapa juga timnya semua perempuan.

Tanpa basa-basi, Wening mengambil tempat di paling ujung. Sisi terjauh dari Teira. Tentu saja aksi protesnya ini ditangkap dengan sempurna oleh Teira yang hanya mampu berdecak pelan sembari menggelengkan kepala.

“Kamu mau ngambek di depan junior-junior kamu?”

“Ini bukan ngambek ya kak. Gue hanya menjunjung hak-hak gue.”

“Terserah kamu deh Wen. Kita udah telat briefing, sekarang kalian baca cepet aja profil klien kita. Sambil jalan nanti aku jelasin. Jam 10 dia bakal dateng kesini.”

Secara otomatis semua perempuan yang ada disana melirik ke arah jam yang ada di ponsel mereka masing-masing. Waktu mereka kurang dari tiga puluh menit.

Tak lama berselang, sekretaris Teira membagikan satu bundel file kepada masing-masing pengacara yang duduk di ruangan itu. Tebal berkas mereka bervariasi.

Tentu saja berkas Wening, Sashi, dan Ninda paling tebal. Sedangkan berkas Karin, Meira, dan Gisha adalah yang paling tipis.

“Apaan nih balik ke style jaman baheula?” ujar Wening sarkas.

Biasanya file briefing akan ditampilkan di layar dan soft-file akan diunggah melalui teams mereka. Namun kali ini semua informasinya justru disajikan dalam bentuk hardcopy.

“Kalian skim dulu aja informasinya. Selebihnya, berkas itu nggak boleh keluar dari kantor ini. Yes, we go back to old style.”

Ucapan Teira sontak membuat semua orang yang ada di ruangan itu melirik pada sang partner.

“Fishy banget sih? Gue gak mau baca ini. Gue lagi cuti. Meira lo baca aja deh berkas lo kenceng-kenceng. Word per word. Kita go through pakai berkas junior aja.” ujar Wening.

Yang disebut namanya hanya melirik sejenak ke arah seniornya dan mendapati bahwa Wening serius dengan ucapannya. Meira kemudian menoleh ke arah Teira yang kemudian menganggukkan kepalanya.

“Kasus perceraian-…”

“Gue out.” potong Wening yang kemudian menatap Teira. “Kak, lo tau kan gue nggak mau ambil kasus perceraian? Sadis lo sama gue.”

Hening melanda ruangan tersebut.

Sebagian besar tidak memahami maksud Wening. Hanya Sashi dan Teira yang mengerti.

Sagala Wening selalu menolak kasus perceraian, bahkan ia sangat membenci kasus perceraian.

Alasannya?

Wening adalah korban broken home. Kedua orang tuanya sudah bercerai bahkan sejak ia duduk di bangku sekolah dasar.

Simple, ayahnya berselingkuh. Ibunya tidak tahan diselingkuhi berkali-kali. Siapa juga yang tahan?

Setelah kedua orangtuanya bercerai, Wening hidup dengan sang Ibunda. Hanya berdua. Susah senang mereka lalui bersama. Bahkan ketika Ibunya divonis mengidap kanker, mereka lalui berdua saja.

Terakhir ia mengetahui informasi tentang ayahnya, laki-laki itu sudah berkeluarga lagi.

Lucunya, Wening mengambil jalur pekerjaan yang sama persis dengan ayahnya. Bedanya, ayahnya itu pengacara litigasi. Pengacara kondang bahkan.

Laki-laki itu erat namanya dengan media. Keluar masuk pengadilan sudah jadi makanan sehari-hari.

Karena hal ini pula Wening memilih untuk menjadi corporate lawyer. Alasannya agar ia tidak pernah bertemu ayahnya di pengadilan.

“Wening, aku minta kamu profesional dulu. Setelah rapat pagi ini kita ngomong berdua. Meira, kamu bisa lanjut baca profil nya.” ujar Teira tegas.

Meira mengangguk mengiyakan. Kemudian ia kembali melanjutkan membaca baris demi baris informasi.

“Kasus perceraian Justicia Renata-…”

“Hah?! Ini Justicia Renata yang Itu?!” kini giliran Yesha yang memotong Meira.

Ujaran Yesha sebenarnya juga diamini oleh orang-orang lainnya yang sedang membolak-balikan halaman yang ada ditangannya.

“Iya, Justicia Renata yang itu.” ujar Teira.

“Dia mau cerai?! Wah gila, masuk headline news ini sih.” ujar Yesha.

“Siapa sih?”

“Kak beneran gatau Justicia Renata?” bisik Meira kepada Wening yang dijawab dengan gelengan kepala.

Sementara itu Sashi hanya bisa menggaruk kepalanya. Selama keributan-keributan tadi berlangsung, ia membaca berkas yang ada ditangannya dengan tekun.

Justicia Renata.

Anak bungsu dari orang terkaya kedua di negara ini sekaligus model internasional yang pernah menyabet peringkat sepuluh besar Miss Universe beberapa tahun silam.

Menikah dengan seorang aktor papan atas yang merupakan putra dari salah seorang menteri yang kini digadang-gadang akan mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilihan umum tahun depan.

Singkatnya, perceraian powerful couple dengan latar belakang keluarga yang tidak kalah powerful.

“Kak, tuduhannya disini suaminya selingkuh. Tapi bukti yang dikasih sama klien kita nggak kuat. Apalagi bokapnya si suami ini orang pemerintah yang cukup punya nama. Ini sama aja kita gali lubang kubur sendiri.” ujar Sashi yang akhirnya angkat suara.

“Rena bilang dia punya bukti tapi nggak semua orang bisa dia tunjukin buktinya. Hari ini kita cuma mau kick-off meeting aja sebenernya. Rena mau liat tim kita dulu baru setelahnya dia bakal buka informasi krusialnya.”

Wening menyilangkan tangannya di depan dadanya. Ia semakin tidak menyukai arah pembicaraan.

“Kalau gue nolak?”

“Feel free to leave then. Saya nggak butuh orang kayak kamu.”

Seketika penghuni ruangan tersebut terkejut ketika mendengar suara orang yang tidak familiar. Namun tidak lama kemudian, tim pilihan Teira meneguk ludah mereka.

Berdiri di pintu ruangan tersebut, sosok Justicia Renata.

Sementara itu Wening justru semakin malas dengan kasus ini. Ternyatanya Justicia Renata adalah sosok yang ia temui di toilet tadi.

“Wah gila, manusia congkak yang tadi di toilet?” bisik Wening pada dirinya sendiri.

“Kak Teira, kalau dia nggak mau ada di tim ini mending dikeluarin dari sekarang. Aku nggak butuh orang nggak profesional kayak dia yang bahkan mencaci maki bosnya di toilet.”

Wening dan Rena saling bertukar tatapan sinis. Sementara Teira hanya bisa memijat pelipisnya. Belum mulai saja sudah terjadi ketegangan seperti ini.

“Ren, ini tim terbaik aku. Kamu juga yang minta supaya semuanya harus perempuan, ya mereka ini orang-orangnya. Aku yang bakal hands-on di case ini. Kalau kamu keluarin Wen-…”

“Sagala. Let's be professional now. Dia klien kita kak, buat dia, saya ini Sagala.” potong Wening.

Sementara itu Sashi dan Yesha menghela napas mereka. Wening selalu seperti ini, membagi sisi profesionalnya dan sisi pribadinya. Tetapi kalau Wening sudah terang-terangan seperti ini, tandanya Wening sudah memasuki mode mogok kerja. Apalagi Wening tantrum di depan klien mereka.

“Okay, Sagala. Kalau kamu keluarin Sagala, penggantinya cuma ada laki-laki. Aku nggak bisa ngurangin jumlah orangnya Ren.” ujar Teira.

Ekspresi Rena tidak berubah sama sekali, begitu pula dengan Wening.

“Dia kan cuma junior, kenapa segitunya dipertahanin sih kak?” tanya Rena seakan-akan Wening tidak bisa mendengar ucapannya.

Yesha harus menahan tawanya ketika mendengar ucapan Rena. Kejadian seperti ini seringkali terjadi.

“Ren, Sagala itu-….”

“Madam, asal tau aja ya. Saya Senior Associate disini!”

Rena menaikkan alisnya. Matanya melihat tubuh Wening dari atas ke bawah. “Kak, mending dia dikeluarin aja deh. Senior tapi nggak profesional.”

“Pardon?!”

Tuhan….

Baru sekali ini Teira sudah dibuat pusing padahal pertempuran dengan musuh asli mereka masih jauh di depan.