Photograph
9. Terakhir kalinya
Winandira menolehkan kepalanya kesana dan kemari, berusaha mencari keberadaan orang tuanya. Dirinya penasaran apakah hari ini kedua orang tuanya benar-benar akan datang?
Winan yang duduk di barisan kursi paling depan merasakan sebuah tepukan di pundaknya. Matanya bertemu dengan mata Karin, sahabatnya sejak kecil yang entah bagaimana bisa, selalu berakhir satu sekolah dan satu kelas dengannya. Karin duduk di barisan kedua, sedikit serong kiri dari posisi Winan duduk.
“Tenang Win, nyokap gue juga belum dateng.” ujar Karin mencoba menenangkan Winan.
“Gak bisa Rin, gue beneran deg-degan ini. Nyokap gue tadi pagi gak bilang apa-apa, cuma nanya ada dresscode khusus apa nggak, udah gitu doang.” jawab Winan yang mengingat-ingat ucapan Irene pagi tadi.
“Kaki lo diem kek, gue ngeliatnya risih banget. Lama-lama gue bilangin tante Wennys ya supaya lo disuruh les drum.” tambah Karin yang melihat kebiasaan Winan kala sahabatnya itu gugup. Kakinya akan bergerak tak karuan, seperti seorang drummer yang menginjak pedal bass drum berulang kali.
Karin memilih untuk duduk dibangku yang berada tepat di belakang Winan, ia akan duduk disana sampai orang tua Winan datang atau paling tidak sampai penghuni bangku yang ia tempati datang.
“Nyokap lo jadi dateng dua-duanya Win?”
“Hope so. Lo sendiri yang dateng siapa?”
“Nyokap gue. Bokap sibuk, kayak biasa.” jawab Karin santai, tangannya merogoh saku seragam sekolah yang ia kenakan kemudian mengambil ponsel miliknya.
Karin secara diam-diam mengambil foto Winan. Biasanya ia lebih suka mengambil foto dengan kamera profesional miliknya, tapi untuk urusan foto candid Karin akan mengandalkan ponsel miliknya.
“Liat deh Win, jelek banget.”
Winan melirik ke arah layar ponsel milik Karin yang disodorkan kepadanya. Matanya membulat kala ia menyadari bahwa foto yang tersaji adalah foto dirinya, barusan, dengan wajah yang ditekuk.
“Mirip daisy duck gak sih?” goda Karin lagi.
“Karin! Apus gak?!”
“Nggak mau.”
“Kariiiin!”
“Nggak ya Win. Ini harta karun gue, yang sewaktu-waktu bisa gue pake buat black mail lo.” jawab Karin sambil tertawa.
Winan berusaha mengambil ponsel milik Karin namun usahanya sia-sia karena Karin mengangkat ponselnya setinggi mungkin, yang tentu saja tidak bisa digapai oleh Winan.
“Karin Ayu! Apus!”
“Nggak mau Winandira.” jawab Karin masih sambil tertawa-tawa.
Tawa karin langsung terhenti tatkala ia melihat sosok Irene berjalan ke arah Winan dan dirinya berada. Jujur saja, diantara kedua orang tua Winan, Karin paling segan dengan Irene. Bisa dibilang ia terintimidasi oleh kehadiran Irene.
“P-pagi tante.”
Mendengar sapaan tersebut, Winan dengan segera memutar tubuhnya, menghadap ke arah Irene. Ia sempat menahan napasnya untuk beberapa saat, berharap hari itu Irene datang bersama Wennys. Namun harapannya hanyalah angan karena saat itu Irene datang seorang diri.
“Oh, pagi Karin.” Irene mengangguk pelan.
“Mami sendirian aja?”
“Kamu maunya mami sama siapa?”
Winan terdiam.
Akhirnya Winan hanya menggeleng pelan, kemudian menarik tangan Irene untuk duduk disamping kursi yang tadi ia tempati.
“Makasih mi udah dateng.”
“Emm, Win gue balik ke kursi gue deh. Nyokap gue juga bentar lagi sampe.” Karin kemudian mengangguk pelan ke arah Irene, “Saya duduk situ ya tante.”
Senyuman Winan mengembang dengan indah ketika matanya melihat sosok wanita yang sangat ia kenali. Seharusnya Winan kesal karena mama-nya tidak bisa hadir tepat waktu, tapi yang paling penting saat itu adalah kehadiran kedua orang tuanya. Wennys dengan balutan dress berwarna biru bermotif floral melambaikan tangannya ke arah Winan yang melangkah keluar dari aula sekolah tersebut.
“Congratulations baby!”
Biasanya Winan akan melayangkan protes pada Mamanya jika ia dipanggil baby secara terang-terangan di depan umum. Hey saat ini ia sudah menginjak kelas 1 SMA, siapa yang masih dipanggil baby oleh orang tuanya di umurnya saat ini? Hampir tidak ada.
“Mama dateng?!”
“Kan Mama udah janji.” tangan Wennys menepuk-nepuk pelan pipi Winan.
Entah mengapa saat itu Winan rasanya ingin menangis. Setelah sekian lama, akhirnya di hari ini ia bisa melihat kedua orang tuanya hadir disaat yang bersamaan hanya untuk dirinya. Mungkin Winan dua tahun yang lalu tidak akan menganggap hal ini sebagai sebuah kado yang sangat berharga, namun Winan yang sekarang benar-benar bersyukur dari lubuk hatinya yang terdalam.
Winan memberikan buket bunga yang ia dapatkan di podium tadi kepada Irene, kemudian piala hasil olimpiadenya ia serahkan pada Wennys. Kini dengan kedua tangannya yang tidak memegang benda apapun, Winan mengalungkan tangannya pada lengan Irene dan Wennys.
“Aku mau foto. Sekarang kita cari Karin.”
Mendengar ucapan Winan, kedua wanita yang akan berstatus mantan istri tersebut hanya bisa terdiam. Wennys sempat melemparkan pandangannya pada Irene, meminta persetujuan istrinya tersebut yang hanya dibalas anggukan kaku.
Ya, keduanya sudah berjanji.
Untuk Winandira, terakhir kalinya.