Photograph
31. Lost
“Winan?” panggil Irene dari pintu apartemen sembari melepas heels yang ia kenakan.
Beberapa detik berselang, Irene tidak mendapatkan jawaban apapun. Seingatnya, tadi Winan tidak izin pergi kemana-mana. Irene sudah hampir mengambil ponselnya untuk menelepon Winan saat matanya melihat sepatu putih milik Winan bertengger dengan rapi di rak sepatu.
“Winan? Kamu dimana?” panggil Irene sekali lagi, berharap kali ini Winan mendengar panggilannya.
Namun masih nihil.
Akhirnya Irene memutuskan untuk berjalan menuju ruang tengah, mencari kehadiran anak semata wayangnya. Sesampainya di ruang tengah, Ia masih tidak melihat kehadiran Winan disana. Bahkan posisi barang-barang yang ada di sofa panjang berwarna hitam itu masih sama seperti saat ia tinggalkan pagi tadi.
Kini hanya ada satu tempat dimana putrinya berada. Irene menoleh ke arah pintu kamar yang berada tepat di seberang pintu kamarnya. Kamar yang kini menjadi kamar milik Winan.
Tiba-tiba Irene merasa gugup. Ia tidak begitu yakin untuk memulai percakapan dengan Winan.
Nyalinya yang tadi sudah mantap untuk menemui Winan kini menciut. Apalagi tadi Wennys sudah memberikan peringatan padanya bahwa Winan kemungkinan besar masih marah padanya.
Irene mengurungkan niatnya untuk langsung bertemu dengan putrinya, kini kakinya justru berbelok berjalan ke arah ruang makan. Ia butuh menenangkan dirinya sejenak, mungkin dengan meneguk segelas wine bisa cukup memberikan ketenangan baginya.
Belum sempat ia membuka wine cellar, ekor matanya melihat dua buah kotak makan yang tersusun rapi di atas meja makan. Rasa penasarannya membawa Irene untuk membuka kotak tersebut dan mendapati ikan gurami bakar serta sayur bening tersaji di dalamnya.
Senyumannya merekah. Mungkin masih ada jalan baginya untuk memperbaiki hubungannya dengan Winan.
Irene melirik jam dinding yang terdapat di ruang makan tersebut.
Masih pukul 18.30.
Ia baru menyadari betapa ‘cepat’ ia pulang hari itu. Percakapannya dengan Wennys serta isi chat dari Winan-lah yang ‘memaksa’ Irene untuk pulang cepat. Sebenarnya chat Winan yang memiliki andil paling besar.
Mungkin Winan memang tidak secara gamblang memintanya untuk segera pulang, tapi Irene merasa bahwa dibalik chat yang terkesan dingin, tersirat keinginan Winan agar Irene cepat pulang dan menemani Winan di tempat yang cukup ‘asing’ bagi putrinya itu.
Irene menutup kembali kotak makan tadi dan menyusunnya seperti sedia kala. Perlahan ia melangkah ke kamar Winan dan berhenti saat ia sampai tepat di depan pintu yang terdapat tempelan glow in the dark bergambarkan bintang.
Ia tertawa sejenak mengingat sejarah dari hiasan tersebut.
Sejak ia pindah kesini, Winan sebenarnya hanya berkunjung ketika ia dipaksa oleh Wennys. Bahkan aturan untuk tinggal satu minggu bersama Wennys dan satu minggu bersama Irene pun adalah aturan yang dibuat oleh Wennys.
Winan harus dibujuk mati-matian oleh Wennys sebelum ia akhirnya luluh. Tetapi ia tetap saja tidak mau memindahkan sebagian barang-barangnya ke apartemen milik Irene. Hampir tidak ada jejak Winan di apartemen Irene.
Namun pada suatu waktu yang lebih tepat ia katakan sebagai kebetulan, Sena, sang terapis sekaligus temannya, berkunjung ke apartemen Irene saat Winan sedang menginap disana. Sebenarnya laki-laki itu hanya ingin mengembalikan payung milik Irene yang waktu itu ia pinjam.
Setelah kunjungan Sena malam itu sikap Winan langsung berubah menjadi dingin, ia melakukan mogok bicara pada Irene. Entah apa yang ada dipikiran Winan, keesokan harinya Winan meminta izin untuk kembali ke rumah mereka, rumah Wennys, untuk mengambil beberapa barangnya. Ia mengklaim bahwa kamar yang ia huni adalah miliknya dan menempelkan hiasan bergambar bintang di pintu kamarnya.
tok! tok!
Irene mengetuk pintu kamar Winan dua kali sebelum ia membuka pintu tersebut. Kekehan pelan keluar dari mulut Irene saat ia melihat Winan yang merebahkan tubuhnya di kasur.
Ia melihat earphone berwarna biru tersemat rapat di kedua telinga Winan. Pantas saja Winan tidak mendengar kedatangannya.
“Kalau Wennys lihat ini, kamu pasti kena omel.” ujar Irene yang tentu saja tidak didengar oleh Winan.
Saat ini Winan masih dengan seragam sekolahnya dan tas ransel yang dibiarkan tergeletak di lantai. Irene pun dapat melihat anak semata wayangnya sibuk bersama gawainya dengan wajah cemberut dan alis yang mengkerut, nyaris bertemu di tengah-tengah.
”Kamu kalau kayak gini mirip Wennys banget, Win.” batin Irene.
Sementara itu, Winan masih sibuk dengan gawai dan chatroom-nya dengan Karin. Ia sama sekali tidak menyadari kehadiran Maminya yang berdiri diambang pintu kamarnya
“Winan, kamu kalau lagi main handphone jangan terlalu serius gitu. Masa Mami pulang kamu nggak dengar? Bahaya, sayang.” ujar Irene. Kali ini ia menepuk kaki Winan.
Winan yang terkejut dengan kehadiran Irene, tanpa sengaja menjatuhkan ponselnya tepat di wajahnya. Ia merintih kesakitan sembari mengusap-usap batang hidungnya yang tertimpa ponsel.
“Mami! Jangan ngagetin dong!”
“Loh, Mami tadi udah panggil nama kamu. Tapi kamu yang nggak dengar Mami. Udah berapa kali diingetin kalau pakai earphone, volume lagunya jangan terlalu kencang. Kamu aja sampai nggak dengar kalau Mami masuk kamar.”
“Ya kan tadi aku kira Mami bakal lembur.”
Irene terdiam.
“Mami kenapa nyari aku?”
“Cuma mau lihat kamu aja.”
“Sekarang udah liat. Terus mau ngapain lagi?” tanya Winan masih dengan nadanya yang jutek.
“Kamu sibuk nggak?”
Winan menggeleng.
“Temenin Mami makan, mau?”
“Itu Winan udah beli makanan buat Mami, tinggal diangetin aja.”
“Iya, Mami tau. Tapi malam ini Mami mau makan bareng Winan, boleh?”
Mata Winan mengerjap beberapa kali.
Aneh.
Irene tidak pernah mengajukan permintaan yang demikian. Pun terakhir kali mereka menyantap hidangan bersama terjadi saat ulang tahun dirinya tahun ini, yang artinya sudah hampir satu tahun yang lalu.
Tawaran Irene hampir ditolak karena ia masih kesal saat mengingat Irene yang meninggalkan Wennys siang tadi di pengadilan. Namun saat manik matanya bertemu dengan iris cokelat tua milik Irene, ia melihat sosok Irene yang dirindukannya.
Winan bangkit dari posisi tiduran ke posisi duduk. Kemudian ia mengangguk ke arah Irene.
“Oke.”
Senyuman mengembang dengan otomatis di bibir Irene. Ternyata memulai percakapan dengan Winan tidak semustahil yang ia bayangkan.
“Mami tunggu di ruang makan ya? Kamu ganti baju dulu, Mami juga ganti baju dulu.”
“Kalau misal aku mau mandi dulu gimana, Mi? Kelamaan nggak?”
“It’s fine. Kamu mandi dulu aja, Mami juga mandi kalau gitu.”
“Deal.” jawab Winan dengan senyuman canggung yang ia berikan pada Irene.
Winan dan Irene menghabiskan waktu hampir satu jam untuk mandi dan membereskan barang-barang mereka sebelum keduanya duduk di meja makan. Irene-lah yang lebih dulu duduk disana, ia terlalu bersemangat.
Winan datang dengan hoodie berwarna abu dan sweat pants berwarna senada. Sama seperti Irene, Winan pun bukan tipe yang tahan udara dingin dan akhir-akhir ini kota mereka sering diguyur hujan, sama seperti malam itu.
“Kamu kedinginan?”
“Nggak sih Mi, belum.”
Irene mengangguk.
“Tunggu disitu aja, Winan yang ambil nasinya.” ujar Winan saat Irene hendak bangkit dari tempat duduknya.
Setelah itu tidak ada percakapan yang terjalin diantara keduanya. Winan terlalu fokus dengan ikan bakarnya dan Irene yang terlalu kikuk untuk memulai perbincangan. Satu hal yang menyita perhatian Irene, Winan berulang kali memeriksa ponselnya lalu menghela napas setelah ia melihat layar gawainya itu.
“Kamu nunggu dihubungin Mama kamu?”
Winan menggeleng.
“Karin. Dia nggak jawab chat terakhir aku, padahal dia sendiri gak suka kalau chatnya nggak dibales cepet.” dengus Winan.
Irene mengangguk pelan, sedikit canggung. Ia tidak tahu kira-kira harus bagaimana melanjutkan percakapan dengan Winan.
Apakah ia harus melanjutkan pembicaraan dengan menanyakan alasan kenapa Winan ingin chatnya segera dibalas atau justru ia harus menanyakan hubungan antara Winan dan Karin?
Dari dulu baik Winan dan Irene memang tidak terlalu banyak berbincang-bincang santai. Biasanya Wennys-lah yang lebih vokal dengan Winan sedangkan Irene lebih banyak menjadi pengamat.
Bukan Irene tidak menyayangi Winan, hanya saja ia selalu canggung jika harus mengekspresikan perasaannya dengan lisan. Irene lebih banyak mengekspresikan dirinya melalui perbuatan.
Wennys dan Winan paham betul akan sifat Irene ini. Tetapi hari ini Irene ingin berusaha lebih. Wennys tidak ada disisinya sekarang.
“Memang Karin chat apa? Kenapa kamu kesal gitu mukanya?”
Bibir Winan yang tadi sudah mengerucut, kini semakin mengerucut tajam. Alisnya pun semakin mengkerut. “Karin kayaknya suka orang Mi, tapi nggak mau cerita ke Winan.”
“Oh ya? Kok kamu tahu kalau Karin lagi suka sama seseorang? Dia cerita?”
“Nggak sih Mi, not directly. Karin bilang dia tau rasanya cemburu. Terus pas aku nanya sama siapa, dia nggak mau jawab. Biasanya kalau Karin ngehindar gini, artinya pertanyaanku tepat sasaran.”
Irene terkekeh, “I see, mungkin Karin belum siap cerita aja ke kamu. Jangan dipaksain, lagi pula Mami yakin nanti Karin pasti cerita ke kamu.”
“Gak bisa Mi, Karin tuh persis banget kayak Mami. Kalau nggak dipaksa gak bakal mau cerita.” potong Winan cepat.
“Kamu persis Wennys ya, Win. Kalau udah keras kepala kayak gini susah banget dikasih tau. Ada kalanya kamu harus mengambil satu langkah diam atau bahkan sedikit mundur supaya kamu bisa lihat keadaan orang lain, Win. Nggak semua masalah harus diselesaikan saat itu juga, kasih Karin ruang, okay Winan?”
Jawaban Irene membuat Winan terdiam sejenak, kepalanya mencerna ucapan Maminya barusan.
“Itu salah satu alasannya Mi?”
“Hm? Maksudnya?”
“Alasan Mami ninggalin Mama. Itu alasannya? Menurut Mami, Mama terlalu keras kepala dan Mami butuh ruang? Gitu? Tapi kenapa sampai harus cerai?”
Irene hanya tersenyum simpul. Ia membelai kepala Winan namun sang putri juga mengelak tak kalah cepat. Winan tidak ingin Irene menghindari percakapan ini.
“It’s much more complicated than that, Winan”
”Then makes me understand, Mi. Mami dan Mama selalu mikir Winan masih kecil. No, Mi. Winan udah gede.”
“Winan, malam ini Mami mau habisin waktu sama kamu tapi bukan untuk bahas ini.”
“Kalau Mami mau ngomong sama aku, aku cuma mau bahas masalah ini. Mami itu egois banget tau nggak?”
Irene menaruh sendok dan garpu yang sedari tadi ia genggam. Ia memilih untuk menatap Winan dengan lekat. Irene tahu bahwa Winan akan meledak kapan pun dalam waktu dekat namun ia tidak menyangka bahwa saat itu adalah sekarang.
“Tiap hari aku mikir, dimana yang salah? Tiap hari juga aku selalu berusaha meredam emosiku, Mi. Aku pengen marah tapi nggak tau sama siapa. Mama selalu belain Mami tapi Mami sendiri nggak pernah nunjukin usaha buat bela diri Mami. Yang ada di kepala aku jadinya ya semua ini salah Mami.” lanjut Winan saat ia melihat Irene yang terdiam.
“Marah aja ke Mami, it’s all my fault, Winan.”
“Bukan itu poinnya Mami!” bentak Winan. Perlahan air matanya jatuh membasahi pipinya.
“Mami nggak bisa jelasin ke kamu Winan.”
“Kenapa? Apa karena Mami selingkuh sama si Sena pebinor itu?!” serang Winan
“Winan! Stop! Mami nggak mau kamu lanjut ngomong kalau pakai emosi kayak gini. Mami dan Mama kamu nggak pernah didik kamu buat jadi kasar kayak gini.”
“See? Mami selalu ngambil pihak yang nggak seharusnya Mami bela.”
“Winan, Mami nggak memihak sama siapapun. Permintaan Mami sangat simpel, Mami cuma mau kamu nggak emosi dulu.”
“Okay, kalau aku udah nggak emosi, apa Mami mau bahas ini semua? Apa Mami mau jelasin ke aku? Nggak kan? Satu-satunya cara supaya aku dapet perhatian Mami ya dengan kayak gini Mi!”
Decitan suara kursi akibat Winan berdiri secara tiba-tiba menambah efek pertengkaran malam itu. Winan mengambil piringnya dengan kasar kemudian ia letakkan dengan separuh dibanting ke tempat cuci piring.
“Aku cuma pengen kita utuh kayak dulu, Mi.”