Photograph

52. The eyes see what they want to see

Winan memeriksa penampilan dirinya melalui pantulan kaca satu kali lagi. Ia mengangguk, memberikan approval pada dirinya.

Celana jeans, crop top, kemeja flanel dan rambut yang ia biarkan terurai merupakan pilihan gayanya hari ini. Sebenarnya bukan pilihan yang istimewa, bisa dibilang begitulah style yang biasanya ia pilih.

Ting!

Notifikasi ponsel Winan berbunyi, menandakan sebuah pesan yang baru saja masuk dari Karin yang meminta Winan untuk segera bersiap-siap karena sekitar sepuluh menit lagi ia akan tiba di apartemen milik Irene.

Sang putri semata wayang menarik napasnya, ia tahu Irene ada di ruang tengah atau setidaknya ada di sekitar sana. Sedari tadi ia mendengar suara-suara dari luar kamarnya, menandakan Maminya sudah beraktivitas hari itu.

Jujur saja Winan cukup terkejut, ia pikir Irene sudah pergi ke kantor. Awalnya ia berencana untuk pergi sepagi mungkin agar ia tidak perlu bertemu dengan Irene namun sepertinya semesta berencana lain karena ia bangun cukup kesiangan.

Maka dengan hati yang cukup berat, Winan melangkah keluar dari kamarnya. Toh cepat atau lambat ia memang harus segera bertemu dengan Maminya.

Winan membuka pintu kamarnya dengan sangat berhati-hati, ia tidak ingin membuat suara yang bisa mengalihkan perhatian Irene.

“Mau pergi nggak pamit?” tanya Irene yang membelakangi Winan.

Sang ibu satu anak itu sedang mencuci alat makan kotor yang sedikit menumpuk.

“Nggak kok.” elak Winan.

Irene berhenti mencuci piring untuk sejenak.

Winan tahu Irene pun sedang berusaha membuang waktu, mencari titik awal untuk memulai percakapan. Dilihatnya segala gerak-gerik Irene, mulai dari mengusap tangannya dengan sabun cuci tangan lalu ketika ia mengeringkan tangannya dengan handuk kecil hingga saat Irene menatapnya dengan tatapan yang sulit Winan artikan.

Otak Winan berusaha berpikir dengan cepat, kira-kira topik seperti apa yang harus ia lontarkan.

“Kamu mau ke-...”

“Sarapan aku mana? Karin bilang Mama tadi masak.”

Winan dapat melihat dengan jelas tatapan Irene yang berubah untuk sejenak serta gerakan mata Irene yang melirik ke arah tong sampah dan tempat cuci piring.

Ia mengerti, sangat mengerti.

“Serius Mi? Bahkan untuk hal sesimpel ini? Bahkan untuk hal yang niatnya baik, Mami buang? Mama made it for me too, it’s not only about you. Did you realize how selfish you are, Mi?