Photograph

39. Jalan

“Win…”

“Hmm?”

“Gimana perasaan lo sekarang?” tanya Karin sembari menatap wajah Winan.

Malam itu Karin dan Winan memutuskan untuk jalan-jalan keliling kota saja karena dari awal memang semuanya serba mendadak dan mereka pun tidak punya ide harus pergi kemana.

Setelah satu jam lebih mereka berkendara, Karin memilih untuk mampir ke salah satu drive thru masakan cepat saji favorit Winan dan memesan beberapa menu untuk sekadar mengisi perut mereka. Kemudian Karin kembali melajukan mobil milik kakaknya itu.

Awalnya Winan kira Karin hendak memulangkannya ke rumah Mama Wennys, namun ternyata Karin berkendara menuju pantai yang terdapat di kompleks perumahan Karin dan dirinya.

Sepanjang perjalanan menuju pantai, Karin hanya sesekali menanyakan pada Winan apakah sahabatnya itu kedinginan atau tidak dan membebaskan Winan untuk memutar lagu-lagu kesukaannya.

Di pantai pun mereka berdua hanya bercakap-cakap ringan sembari menghabiskan makanan yang tadi sudah dibeli. Karin sama sekali tidak menanyakan perihal masalah antara dirinya dan Maminya. Sahabatnya itu hanya menimpali ucapan-ucapan Winan dan membiarkan Winan yang menentukan topik pembicaraan mereka.

Merasakan dirinya ditatap oleh Karin, Winan menoleh sejenak untuk membalas tatapan tersebut. Namun tatapan Karin justru membuatnya salah tingkah. Yang lebih muda akhirnya mengalihkan pandangannya kembali, memilih untuk menatap bintang-bintang di langit sebelum ia mengangkat kedua bahunya, menanggapi pertanyaan Karin tadi.

“Campur aduk sih Rin. Jujur gue sekarang bingung mendefinisikan perasaan gue. Marah? Iya. Bingung? Juga iya. Sedih? Udah makanan sehari-hari.”

“Wajar Win, yang penting lo selalu cerita ya? Jangan dipendem sendirian.”

Winan mengangguk, “Jujur Rin, gue masih pengen ngomong sama Mami. Yang tadi masih belum tuntas. Tapi disisi lain bawaanya tiap liat Mami tuh gue pasti pengen marah.”

“Tadi lo berantem sama tante Irene?”

“Iya.. Aduh setelah gue pikir-pikir lagi, kok tadi gue emosi banget ya? Mana gue sampe naikin nada gue lagi.”

Tangan Karin perlahan naik ke pundak Wina, kemudian ia merangkul sahabatnya itu dari samping. “Yaudah nanti pas lo udah ngerasa lebih enak, lo minta maaf sama nyokap lo ya?”

Winan mengerucutkan bibirnya, “Ih yang ada tuh nyokap gue yang harusnya minta maaf ke gue. I mean, selama ini Mami tuh diem-diem menghanyutkan. Sumpah lo gatau betapa shock gue pas Mami drop the news to me.”

Karin mengangguk paham, membiarkan Winan meluapkan emosinya. Tangannya kembali mengusap pelan lengan Winan.

“Sini kalo mau nangis lagi, pundak gue dan baju gue siap buat nampung kesedihan lo.”

“Dih, sok tau banget sih. Siapa yang nangis?” ujar Winan menyangkal perkataan Karin namun perlahan ia sandarkan kepalanya di bahu Karin.

“Winan bawel, mata lo tuh tadi berkaca-kaca pas lo masuk mobil gue. Nggak usah bohong, nggak mempan kalo sama gue.”

“Pantesan ya lo tadi di mobil diem banget gitu. Sengaja nih maksudnya?”

“Nah itu tau.”

Winan meninju pinggang Karin pelan, “Sialan lo. Tapi makasih ya Rin. Seriusan ini gue.”

“Nggak gratis ya Win. Kayak biasa, temenin gue hunting foto.” tawa Karin. “By the way Win, mau denger saran gue nggak?”

“Apa?”

“Inget kata-kata Om Mario kan?”

“Mario Bros?”

“Serah lo ah, serius bentar sih. Itu loh, lo inget pepatah when there is a will, there is a way kan?”

“Iya tau.”

“Selama nyokap lo belom resmi cerai, menurut gue pasti ada jalan sih Win buat rujuk. Intinya kalo lo mau usaha, gue rasa sih pasti ada jalan.”

“Jalan apaan?”

“Ya jalan keluar dong, masa jalan buntu. Ih lo cakep-cakep suka henghong ya otaknya.”

Karin memejamkan matanya saat ia menyadari bahwa ia baru kelepasan memuji Winan cantik. Ia melirik sejenak ke arah Winan dan bernapas lega ketika ia tahu bahwa Winan tidak terlalu memperhatikan kalimatnya barusan.

“Kalo cuma jalan-jalan gimana Rin? Muter aja masalahnya disitu-situ doang.” tanya Winan. Air matanya mulai memenuhi pelupuk mata.

“Mungkin nyokap lo, tante Irene, lagi lost aja kali Win? Jadi lo sama tante Wennys yang harus usaha lebih. Terus nih no offense ya Win, lo emang beneran liat nyokap lo s word sama si buluk?”

“S word? Maksud lo selingkuh?”

“Iya itu, duh gak enak kan gue ngomongnya.”

“Nggak sih, amit-amit kalo sampe gue liat. Kalopun emang iya mereka s word itu, gue gak mau sampe liat sih Rin.”

“Nah kan Win, selama lo cerita ke gue juga gue kayak cuma tau cerita dari sisi Mama lo doang. Gue nggak pernah denger lo cerita dari sudut Mami lo, ngerti maksud gue kan?”

Winan mengangguk. Desahan napas panjang keluar dari mulutnya.

“Lo harus jadi penengah antara Mami lo sama Mama lo ya Win. Coba deh lo duduk tenang sama Mami lo, terus ngomong baik-baik. Kalo dari cerita lo kan Tante Irene tipe yang suka susah diajak ngomong karena canggung gitu kan?”

“Iya persis kayak lo.”

“Nah, tapi gue bisa cerewet tuh kalo sama lo. Tandanya apa?”

“Tandanya lo nyaman sama gue?” tanya Winan, kali ini ia mengangkat kepalanya dari bahu Karin untuk menatap wajah Karin.

“Nggak usah mulai dangdut.” ujar Karin cepat. Tangan kirinya ia gunakan untuk mendorong kepala Winan menjauh.

Baru saja Winan hendak membalas Karin, ponselnya berdering dengan cukup kencang. Winan menatap layar ponselnya namun ia memilih untuk tidak mengangkat telepon tersebut.

“Win, angkat dong.” ujar Karin saat ia mengintip nama yang tertera di layar ponsel milik Winan.

“Nggak deh Rin, gue takut hehe. Takut gue masih emosi dan takut dimarahin nyokap.”

“Kalo lo gini, malah makin dimarahin dong pas ntar balik?”

“Kan ada lo Rin. Nyokap gue mah kalo udah denger nama lo pasti langsung diem.”

“Idih, udah kayak freepass ya nama gue?”

“Lebih kayak anjing penjaga gitu nggak sih Rin? Jadi orang-orang takut?”

“Sialan!”


Ting! Tong! Ting! Tong!

Irene berjalan dengan terburu-buru menuju pintu masuk. Ia berharap bahwa yang menekan tombol bel adalah Winan. Irene sudah siap untuk berbicara panjang lebar namun ekspresi wajahnya seketika berubah saat ia mendapati Wennys berdiri tepat di depan pintu apartemennya.

“Win… Oh, Wen. Aku kira Winan.”

“Kalau Winan, dia nggak bakal mencet bel dong, Irene.” ujar Wennys kesal.

Irene mengangguk kikuk. Ia lupa kalau Wennys akan datang ke apartemennya. Selama ini Wennys tidak pernah benar-benar berkunjung ke apartemennya dengan alasan ingin menghargai privasi Irene. Malam ini adalah kali pertama.

Dengan sedikit canggung Irene mempersilakan Wennys untuk masuk dan menuntun mereka berdua untuk duduk di ruang tengah. Sesampainya mereka disana, mata Wennys secara otomatis mengedar ke seluruh ruangan.

Wennys yang notabenenya sangat memperhatikan tata letak dan isi perabot ruangan cukup terkejut dengan isi apartemen yang sangat simple, berbeda jauh dengan rumah mereka yang terkesan lebih ‘hangat’.

“Winan masih belum balas chat kamu?” tanya Wennys.

“Belum, Wen.”

“Astaga Tuhan, kalian kenapa? Tadi kenapa Winan bisa sampe pergi nggak izin?”

“Tadi kita berantem Wen. Sebenarnya lebih tepat untuk dibilang kalau Winan marah ke aku.”

“Terus kamu diem aja? Nggak usaha buat ngejar Winan? Nggak usaha buat ngajak dia ngomong lagi?”

Irene hanya terdiam.

“Irene, please. Ngomong Ren! Sesusah itu kah kamu buat buka diri kamu ke kami? Keluarga kamu sendiri?”

“Itu nggak penting sekarang Wen. Yang penting itu kita cari Winan.” elak Irene.

Sudah cukup baginya untuk membahas masalah yang sama, tadi dengan Winan dan kini dengan Wennys.

Wenny menghela napasnya panjang, “Itu penting, Irene. Kita berakhir kayak gini juga karena lack of communication kan?”

“Aku coba telepon Karin dulu, Winan biasanya kalau pergi-pergi pasti sama Karin. Kamu kesini naik mobil sendiri atau naik taksi?” potong Irene yang sengaja tidak menggubris ucapan Wennys barusan.

“Aku naik taksi. Mobilku lagi di bengkel.”

“Okay, nanti kita cari bareng-bareng. Kalau bisa kamu tolong telepon teman Winan yang lain? Aku cuma kenal Karin.”

Irene berdiri dari sofa yang ia tempati, berjalan ke arah kamarnya meninggalkan Wennys sendirian di ruang tengah untuk beberapa saat dan kembali dengan sebuah syal berwarna merah marun yang ia serahkan kepada Wennys.

“Aku tau kamu tahan dingin, tapi kalau lagi panik gini badan kamu suka drop. Make yourself warm, aku nggak mau asma kamu sampai kambuh. Also, nggak usah panik ya, Winan pasti baik-baik aja.” ujar Irene.

Selama kurang lebih tiga puluh menit Irene dan Wennys saling berbagi tugas untuk menghubungi beberapa teman-teman Winan yang sering kali Winan sebut namanya. Namun mereka tak kunjung mendapatkan jawaban dimana keberadaan Winan malam itu.

Irene dapat melihat dengan jelas keadaan Wennys yang semakin mengkhawatirkan Winan apalagi setelah Wennys menyadari bahwa saat itu sudah hampir tengah malam.

“Tenang, Wen. Aku yakin Winan baik-baik aja.”

“Mana bisa aku tenang, Irene. Kamu tau sendiri dia anaknya gampang sakit dan sekarang dia pergi sampai malam tanpa persiapan yang cukup.” ujar Wennys dengan suara yang sedikit bergetar.

“Kamu berhenti dulu, sekarang handphone kamu kasih ke aku atau kamu kasih nomor telepon yang belum kita hubungin dan biarin aku yang coba hubungin. Kamu istirahat dulu, tenangin diri kamu.”

No, Irene. Biar lebih cepet.” tolak Wennys.

Irene menggelengkan kepalanya. Tangannya dengan cepat menyambar ponsel yang berada dalam genggaman Wennys.

“Aku nggak mau kamu drop. Sekarang denger aku, okay? Kalau kamu nggak mau aku pakai ponsel kamu, that’s fine. Just give me the numbers, I’ll call them using mine. Tapi aku mau kamu istirahat. Kamu boleh duduk di sebelah aku dan denger teleponnya. Setuju?”

Fine. Pake aja handphone aku, temen-temen Winan ada yang udah simpen nomor aku. Takutnya kalau pakai nomor kamu, malah nggak diangkat karena dikira nomor asing. Kuncinya handphone aku tanggal pernikahan kita.”

Irene cukup terkejut dengan jawaban Wennys. Namun keterkejutannya tidak berhenti disana. Ia mendapati lockscreen dari ponsel Wennys adalah foto mereka berdua dan homescreen-nya adalah foto saat perayaan hari ibu di sekolah Winan beberapa hari yang lalu.

S-sorry, kalau kamu nggak nyaman nanti fotonya aku ganti.” ujar Wennys saat menyadari alasan Irene yang memandangi layar ponselnya untuk beberapa saat.

That’s fine. Ini handphone kamu, aku nggak punya hak untuk larang kamu.”

Jemari Irene segera menekan logo kontak dan mencari nama Gisella sesuai dengan intruksi Wennys. Sambungan telepon itu tidak langsung diangkat oleh pemilik nomor, namun keduanya tetap berusaha menunggu dengan sabar.

Irene hampir menekan tombol berwarna merah ketika suara seorang gadis menyapa pendengarannya. Dengan sigap ia memperkenalkan diri dan menjelaskan maksudnya saat itu.

Sementara itu Wennys yang duduk di sebelah Irene memperhatikan dengan saksama semua perubahan ekspresi serta nada dari Irene. Ekspresi yang sedikit lega terpampang jelas setelah Irene selesai menghubungi Gisella yang merupakan teman satu kelas Winan sekaligus teman satu grup paduan suara.

“Gisella bilang terakhir dia lihat Winan ngetweet dan memang ada indikasi kalau Winan mau pergi. Gisella bilang dia nggak tahu kemana atau sama siapa tapi kemungkinan besar sama Karin karena semua temen deketnya Winan lagi kumpul di rumah Gisella, cuma Karin dan Winan yang nggak ada. Dia bilang kalau udah bisa hubungin Winan, nanti bakal ngabarin kita lagi.” ujar Irene setelah menutup sambungan telepon dengan Gisella.

“Ren, coba kamu hubungin nomor Karin la-...”

“Mama?”

Wennys menoleh dengan cepat tatkala suara Winan memenuhi pendengarannya, Irene pun memberikan reaksi yang serupa. Keduanya mendapati Winan berjalan memasuki apartemen diikuti dengan Karin yang terlihat canggung.

Secepat kilat Wennys berdiri dan merengkuh Winan dalam pelukannya, lalu ia membolak-balikkan badan Winan seakan-akan mencari apakah ada suatu hal yang kurang dari putrinya itu.

“Kamu baik-baik aja?” tanya Wennys.

“Iya Ma. Winan baik-baik aja. Mama ngapain kesini? Kok nggak bilang Winan?”

Berbeda dengan Wennys, Irene justru menjadi marah saat ia melihat tidak ada satupun sikap merasa bersalah yang ditunjukkan oleh Winan. Putrinya itu justru bertingkah seakan-akan pergi tanpa izin adalah hal yang lumrah.

“Kemana aja kamu? Kabur kemana kamu?” tanya Irene datar, memotong pembicaraan antara Wennys dan Winan.

Emosi Winan yang awalnya sudah cukup mereda, kini justru kembali membara dengan pertanyaan yang diajukan oleh Irene.

“Apa sih Mi? Siapa yang kabur? Aku cuma pergi sebentar. Yang kabur kan Mami? Kabur dari pertanyaan yang sore tadi aku tanyain?”

“Kamu nggak merasa butuh minta maaf? Seenggaknya sama Mama kamu?” tanya Irene lagi.

“Bukannya Mami ya yang harusnya minta maaf ke Mama? Karena udah bikin Mama sakit hati dan nangisin Mami yang belom tentu masih sayang sama Mama?” balas Winan.

“Winandira! Mami nggak bahas itu sekarang! Mami bahas tentang sikap kamu yang kekanak-kanakan! Sebentar lagi kamu ulang tahun, harusnya kamu makin dewasa! Kamu tau nggak, Mama kamu jauh-jauh kesini karena khawatir sama kamu! Sekarang kamu nggak ada minta maaf sama sekali?! Mami nggak pernah ngajarin kamu kayak gitu, Winandira!” bentak Irene.

Semua orang yang berada di ruangan itu terkejut dengan volume suara Irene yang menggelegar, tak terkecuali dengan Winan yang menjadi subjek utama dalam percakapan tersebut. Saat itu memang bukan pertengkaran pertama antara dirinya dengan Irene, namun baru kali ini Irene membentak dirinya sekencang itu dan hal ini membuat Winan cukup terkejut.

“Bagus, Mami masih inget sebentar lagi aku ulang tahun. Tapi kado yang Mami kasih ke aku apa? Mami hancurin keluarga kita. Aku benci Mami.”

Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Winan. Setelahnya sang putri semata wayang pergi ke kamarnya dan membanting pintu dengan cukup kencang.

Karin yang terjebak dalam keributan keluarga Winan cuma bisa menatap Wennys dan Irene secara bergantian. Ia ragu apakah mengejar Winan dan berusaha menenangkan sahabatnya saat ini adalah pilihan yang tepat, mengingat kedua orang tua Winan ada di apartemen ini.

“Uh, t-tante.. Karin minta maaf karena tadi pergi sama Winan tanpa izin. Karin kira tadi Winan udah bilang, seenggaknya ke t-tante Wennys.” ujar Karin yang mencoba buka suara.

“Kalian tadi kemana?”

“T-tadi cuma muter aja, terus ke pantai yang deket rumah. W-winan kan suka ke pantai, jadi aku mikir kalau dia bisa lebih tenang setelah ke pantai.”

“Irene, udah cukup interogasinya, kasihan Karin. Yang penting mereka berdua pulang dalam keadaan baik.”

“Wen, kamu harus berhenti pampering Winan. Aku setuju, kita harus bersyukur Winan baik-baik aja tapi sikap Winan barusan gak bisa aku tolerir. Besok aku yang selesaikan masalahnya sama Winan, kamu nggak usah ikut campur dulu.” ujar Irene dengan nada yang jauh lebih melunak.

“Oh ya, malam ini kamu nginep aja disini, aku nggak menerima penolakan. Ini udah terlalu larut. Kamu bisa pakai kamar aku.” lanjut Irene pada Wennys, lalu lanjut menatap Karin. “Kamu juga nginep disini malam ini. Sudah terlalu malam, bahaya buat nyetir pulang. Nanti tante yang izin ke mama kamu.”