Queendom Restaurant
115. Lean on Me
“Queen poppy percaya kalau semua trolls bisa hidup berdampingan. Maka dari itu dia memutuskan untuk berkelana-..”
“Bercelana?”
Seungwan tertawa kencang, “Bukan bercelana, tapi berkelana. Uhm, apa ya….Oh itu pergi bertualang.”
“Bertualang?”
“Iya!”
“Kayak dora?”
Lagi-lagi Seungwan tertawa mendengar ucapan Minjeong.
beep!
Ekspresi di wajah Minjeong berubah menjadi sangat cerah, seakan-akan seperti sebuah kota yang baru saja mendapatkan suplai listrik sehingga kini menjadi cerah terang benderang.
“MAMI!!!!” pekik Minjeong.
Si gadis mungil dengan sigap bangkit dari posisi tidurnya, sedikit kesulitan untuk keluar dari tenda buatan Seungwan, lalu berlari dengan kecepatan penuh ke arah pintu masuk.
“MAMI!!”
Minjeong kembali berteriak sembari berlari ke arah Joohyun. Gadis mungil itu menghambur tepat ke pelukan sang Ibu dan memeluk pinggang Joohyun dengan erat.
“Hey, sayang.” sapa Joohyun sembari balas memeluk putrinya dengan tak kalah erat.
Diciumnya puncak kepala Minjeong dengan hangat, wangi sampo stroberi menyapa indera penciuman Joohyun.
“Minjeong kangen, mi.”
“Iya, Mami juga kangen banget sama Minjeong. Ayo ini di lepas dulu, Mami nggak bisa jalan kalau gini.” ujar Joohyun pada putrinya yang masih bergelayut manja bak anak koala dengan induknya.
“Minjeong, sini dulu. Kasian Mami Joohyun kan capek baru pulang.” panggil Seungwan yang berusaha membantu Joohyun agar bisa terlepas dari pelukan Minjeong.
“Nggak mau! Nanti Mami pergi lagi.”
Baik Joohyun maupun Seungwan otomatis melempar pandang, sama-sama memahami kekecewaan yang tersirat dalam ucapan Minjeong.
“Mami janji nggak pergi lagi hari ini.”
“Bener ya?”
“Iya, sayang. Tapi Mami mau mandi dulu, Minjeong tunggu di tenda sama Wannie ya?” bujuk Joohyun.
“Tapi nanti Mami harus bacain Minjeong olls!” tawar Minjeong.
Joohyun menatap putrinya dengan bingung, namun Seungwan dengan cepat memahami maksud dari Minjeong barusan.
“Trolls, bukan olls.”
“Ahh, Trolls. Okay. Mami janji.”
Mendengarkan janji yang diucapkan oleh sang Ibu, perlahan Minjeong melepaskan pelukannya.
Joohyun mencium puncak kepala Minjeong satu kali lagi sebelum ia pergi menuju kamar tidurnya. Sementara itu, Minjeong masih dengan sigap memperhatikan gerak-gerik Joohyun, seakan-akan takut kalau Joohyun tiba-tiba memutuskan untuk pergi tanpa dirinya lagi.
“Minjeong, Mami Joohyun cuma mandi sebentar aja. Ayo kita balik ke tenda, tadi sampai mana ya ceritanya?” tanya Seungwan sembari mengangkat tubuh Minjeong dan mendekapnya dengan erat. Sementara itu Minjeong mengalungkan tangannya di leher Seungwan.
“Tadi Queen Poppy jadi dora!”
Lagi-lagi Seungwan dibuat tertawa oleh Minjeong, ia sudah tidak memiliki tenaga untuk membenarkan ucapan si gadis cilik. Sejak kapan Queen Poppy jadi dora? Well, mungkin di dunia imajinasi Minjeong, Queen Poppy dan Dora bertetangga.
“Yeah, Queen Poppy jadi dora. Uhm, terus Queen Poppy akhirnya pergi sama temannya.”
Seungwan terus melanjutkan kisah Trolls sembari melangkah menuju tenda mereka.
Joohyun dan Seungwan sama-sama tertawa kecil saat mendapati Minjeong tertidur pulas di dalam tenda buatan Seungwan tersebut. Si gadis mungil itu terlelap bersama dengan Mr. Frog yang ada di pelukannya.
Awalnya Minjeong sangat bersemangat ketika melihat Maminya sudah selesai mandi dan beres-beres. Ia langsung menarik Joohyun untuk ikut masuk ke tenda minimalis yang sudah dihuni oleh dirinya dan Wannie. Tentu saja Joohyun meladeni permintaan putrinya itu walau dengan sedikit kesusahan karena tenda tersebut sudah cukup penuh dengan adanya Seungwan dan Minjeong serta beberapa teman boneka milik Minjeong.
Namun sang gadis cilik mulai mengantuk saat Joohyun mengambil alih tugas Seungwan untuk membacakannya buku cerita. Suara Joohyun dan wangi tubuh Maminya itu membuat Minjeong menjadi sangat rileks dan perlahan fokusnya berkurang, hingga akhirnya ia terlelap.
Sementara itu Seungwan pun mengakui bahwa suara alto Joohyun dan fakta bahwa saat itu ia terdengar sedikit serak, merupakan combo yang mematikan baginya. Ia merasakan hal yang sudah cukup lama tidak ia rasakan.
Ya, Seungwan tahu ia menyukai Joohyun. Namun hari ini ia baru menyadari bahwa ia menginginkan semuanya dari Joohyun dan timbul perasaan posesif, ia tidak ingin membagi Joohyun dengan siapapun. Ia tidak ingin posisi kosong yang saat ini sedang berusaha untuk ia isi harus ditempati oleh orang lain.
Tidak boleh.
“Dia kecapekan banget kayaknya.” bisik Joohyun, membuyarkan lamunan Seungwan.
“Iya, pasti sih. Seharian ini main terus soalnya.” jawab Seungwan yang juga ikut berbisik dikarenakan posisi mereka yang kini tengah mengapit Minjeong.
Joohyun mengangguk, kemudian tersenyum. Tangannya masih bergerak naik dan turun, membelai surai hitam pendek milik Minjeong.
Lagi-lagi Seungwan dipaksa untuk menelan ludahnya saat ia melihat detil wajah segar Joohyun yang tidak tertutup riasan. Jika Joohyun sudah terlihat cantik saat menggunakan riasan wajah, menurut Seungwan wajah Joohyun terlihat sepuluh kali lebih menawan dengan tanpa riasan. Memang dengan tanpa riasan, Seungwan dapat melihat kantung mata yang ada di wajah Joohyun. Namun, entah mengapa menurut Seungwan justru wajah Joohyun terlihat lebih cerah dan menawan.
Seungwan benar-benar diuji ketenangannya. Apalagi karena tenda tersebut tidaklah luas, ia dan Joohyun harus berhadap-hadapan dengan jarak yang sangat minim.
“By the way, kamu udah makan belum?”
Joohyun menggeleng pelan. Ia memang belum menyantap hidangan apapun karena tadi seusai menyelesaikan masalah dengan pihak manajemen gedung tempat penyelenggara acara rilis produk terbaru Baeuty, Joohyun tidak sempat berpikir untuk makan. Di kepalanya ia hanya fokus ingin cepat kembali bersama putrinya. Jadi walaupun Joohyun sempat menemani Sooyoung untuk mencari restoran, Joohyun sama sekali tidak menyantap makanan apapun. Terlalu sibuk melihat update tentang Minjeong melalui chat-chat dari Seungwan dan beberapa tweet sang Chef.
“Astaga, ini udah malam, Hyun. Aku masakin nasi goreng ya? Sebelum kamu protes, aku nggak repot kok. Aku bakal masak yang simpel aja, yang penting kamu makan.”
“No, Seungwan. Kamu udah capek banget seharian harus sama Minjeong.”
“Joohyun, aku emang capek. Tapi kalau aku bisa bantu kamu sekali lagi, aku bakal tetep bantuin kamu. Mengabaikan kesehatan kamu bukan pilihan bijak, apalagi Minjeong masih sangat butuh kamu. Jadi, aku masakin ya? Kamu tunggu disini aja sama Minjeong, nanti kalau udah siap aku panggil.”
Seungwan tidak menunggu jawaban dari Joohyun, ia langsung bangkit dari posisinya untuk keluar dari tenda minimalis tersebut.
Sebenarnya alasan lain mengapa Seungwan sangat keras kepala untuk membuat makan malam bagi Joohyun karena ia tidak yakin dirinya sanggup untuk berada bersama Joohyun di ruang sempit seperti itu lebih lama lagi.
Perasaannya semakin liar dan tidak terkontrol.
Setelah Seungwan meninggalkan tenda mereka, Joohyun menghela napasnya. Ditariknya Minjeong agar bisa ia dekap dengan lebih erat. Putrinya sempat menggeliat pelan, namun saat ia mendengar suara Maminya, Minjeong kembali terlelap.
Tangan Joohyun kini bergantian membelai rambut putrinya dan mengusap punggung Minjeong. Sesekali diciumnya puncak kepala putrinya yang lagi-lagi membuatnya menghirup semerbak sampo stroberi.
Joohyun tersenyum saat mengingat bahwa Seungwan tidak berbohong. Sang Chef benar-benar membuat Minjeong mau mandi sore dengan iming-iming tenda ini. Ibu satu anak itu tertawa pelan saat ia harus membayangkan Seungwan yang kesulitan membantu Minjeong mandi.
Jujur saja, Joohyun pun sampai saat ini masih memiliki momen-momen dimana ia harus kesulitan saat memandikan Minjeong.
“Seungwan ngerawat kamu dengan baik ya, sayang?” bisik Joohyun pada Minjeong.
Mata Joohyun memperhatikan setiap lekuk tubuh putrinya, mulai dari pipi gembilnya, bibir mungil yang saat ini sedang cemberut, tangan Minjeong yang memegang baju bagian depan yang digunakan oleh Joohyun. Semuanya tak luput dari perhatian Joohyun.
Ia akui, Joohyun sangat terbantu dengan kehadiran Seungwan. Tanpa Seungwan saat ini, mungkin Minjeong sudah merajuk pada dirinya. Biasanya Minjeong akan mogok bicara pada Joohyun jika Joohyun harus bekerja di hari minggu, namun faktanya saat ini tidak demikian. Biasanya juga, Joohyun sudah ikut terlelap bersama Minjeong karena energinya sudah habis ia gunakan untuk bekerja dan mengurus Minjeong.
“Tidur yang nyenyak ya, sayang. Besok pagi Mami mau denger semua cerita kamu.” ujar Joohyun pelan sembari memberikan kecupan singkat di kepala Minjeong.
Perlahan mata Joohyun kian memberat, rasa lelahnya yang tertumpuk seharian mulai menjalari tubuhnya dan posisinya bersama Minjeong saat ini membuat tubuhnya berteriak meminta istirahat. Namun Joohyun berusaha keras untuk tetap terjaga. Ia malu jika Seungwan harus menemui dirinya terlelap di dalam tenda ini bersama Minjeong.
Tepat disaat matanya hampir tertutup, Joohyun mendengar suara alto milik Seungwan yang ia sendiri tidak pernah sadar bahwa suara Seungwan bisa serendah itu.
“Hey, dinner is ready. Makan dulu, ya?” bisik Seungwan.
Kedua orang dewasa itu harus berusaha susah payah agar tidak membangunkan Minjeong. Saat Joohyun berhasil keluar dari tenda, mukanya merah padam ketika mereka berdua mendengar suara ’krek’ dari tubuh Joohyun. Sendi-sendi tubuhnya baru saja mempermalukan dirinya di depan Seungwan.
“FYI, tadi badanku juga kretek kretek kayak gitu kok.” goda Seungwan yang dibalas oleh Joohyun dengan satu pukulan ringan di lengannya.
Sesampainya di meja makan, tidak ada percakapan diantara mereka berdua. Seungwan memilih untuk diam agar Joohyun bisa menikmati makan malamnya. Lagipula ia sudah cukup puas memandangi paras cantik milik Joohyun. Sementara itu, perlakuan Seungwan justru membuat Joohyun salah tingkah. Akhirnya ia pun memilih untuk lebih fokus pada nasi goreng buatan Seungwan agar ia tidak perlu menatap sang chef yang duduk di hadapannya.
Setelah selesai di meja makan, Joohyun dan Seungwan sama-sama sepakat untuk duduk di sofa ruang tengah. Mereka berdua enggan untuk kembali masuk ke tenda. Untungnya pintu masuk tenda menghadap tepat ke arah sofa yang mereka duduki, jadi dua orang dewasa itu pun masih bisa melihat keadaan Minjeong.
“Gimana tadi? Masalahnya selesai?” tanya Seungwan, berusaha untuk memecah keheningan.
Sebut dirinya tidak tahu malu, tapi jika ia boleh jujur, Seungwan sengaja mengulur-ulur waktunya agar ia bisa berada di kediaman Joohyun lebih lama lagi. Ia masih ingin menghabiskan waktunya bersama Minjeong dan Joohyun.
Walau mungkin ia bisa beristirahat dengan nyaman setelah seharian ini sibuk bersama Minjeong, namun kembali ke unit apartemennya bukan pilihan yang menarik.
“Selesai nggak selesai sih.” jawab Joohyun yang kemudian sedikit berdeham karena suaranya yang serak.
“Someone’s been screaming a lot I guess?”
Joohyun tertawa pelan, “Nggak bener-bener teriak sih. Cuma tadi emang cukup intens.”
“Pasti sih, suara kamu aja sampai serak banget gitu. Kamu ada jeruk nipis nggak? Aku buatin perasan jeruk nipis hangat ya? Kalo nggak tenggorokan kamu bakal sakit banget besok pagi.”
Seungwan sudah hampir bangkit lagi dari tempatnya duduk, namun ditahan oleh Joohyun.
“Stay, udah kamu juga butuh istirahat Seungwan. Aku udah ngerepotin kamu terlalu banyak. Tenang aja, aku nanti bakal buat juga kok perasan jeruk nipisnya. I can take care of myself, wan. Kamu nggak perlu terlalu hectic gini.”
Lagi-lagi jawaban itu.
Disaat Seungwan merasa bahwa mereka sudah cukup dekat, Joohyun selalu mengeluarkan pernyataan yang membuat Seungwan merasa bahwa ternyata mereka tidak sedekat itu. Seakan-akan Joohyun selalu menutup pintu masuk yang sudah mulai terbuka.
“Hyun, kamu nggak pernah ngerepotin aku. Kalau aku repot, aku nggak akan nawarin diri untuk bantu kamu. Dan satu hal lagi, aku tahu kamu bisa urus diri kamu sendiri. Kamu udah lakuin itu bahkan jauh sebelum kita kenal satu sama lain.”
Helaan napas panjang terdengar dari mulut Seungwan.
“Aku cuma mau bantu kamu dan Minjeong. Aku kira selama beberapa minggu ini kita udah cukup deket? Tapi setiap aku mikir kayak gitu, kamu selalu buat statement yang bikin aku ragu. Tell me if I’m wrong, hyun. I just……” Seungwan berhenti untuk sejenak.
“Please let me in, aku mau jadi bagian dari kehidupan kamu sama Minjeong.” bisiknya dengan sangat pelan.
Bola mata Joohyun membesar saat mendengar ucapan Seungwan. Mereka berdua sama-sama tahu maksud dari ucapan Seungwan.
Jujur saja, ini bukan kali pertama ia mendengar ucapan serupa. Tidak jarang Joohyun harus berakhir dengan kekecewaan setelah ia mengizinkan seseorang untuk masuk dalam kehidupannya dan Minjeong. Pengalaman-pengalaman pahit tersebut membuat Joohyun cukup selektif dalam setahun ini.
“M-maksud kamu?”
Pertanyaan Joohyun menyadarkan Seungwan akan kalimat yang baru saja terlontar dari mulutnya. Ia pun ikut panik saat ia sadar bahwa apa yang ada di kepalanya benar-benar ia ucapkan pada Joohyun.
”Shit, Seungwan! Kenapa frontal banget?! Damn!”
Namun nasi sudah menjadi bubur. Seungwan pun tahu bahwa saat ini adalah momen yang akan menentukan apakah esok ia masih bisa hadir dalam kehidupan Minjeong dan Joohyun atau justru malam ini adalah terakhir kalinya ia bisa menginjakkan kaki di unit apartemen tersebut.
“I like you, Joohyun. Kamu dan Minjeong. Aneh ya? Aku baru kenal kalian beberapa minggu ini, tapi jujur aku udah ngerasa kayak aku kenal kalian dari lama. Aku seneng saat harus sibuk sama Minjeong, aku seneng bisa bantu kamu, aku seneng lihat kamu dan Minjeong. Aku tahu mungkin ini kurang ajar, tapi aku pengen bisa kayak gini terus atau bahkan lebih.”
“Seungwan, kamu nggak sadar akan apa yang kamu ucapin barusan. Kamu nggak sadar konsekuensinya…”
Joohyun tahu, ia pun tertarik pada Seungwan. Tawaran Seungwan barusan sangat menarik bagi dirinya, namun apakah itu semua adil bagi Seungwan?
Seungwan tersenyum ke arah Joohyun. Well, jika ia akan ditolak oleh Joohyun maka lebih baik ia mengatakan semua yang ada di kepalanya saat ini juga.
“Joohyun, pertama kali aku ketemu kamu aku langsung suka sama kamu. Call me shallow, tapi aku emang jatuh hati karena kecantikan kamu. But then, aku jatuh hati lagi sama kamu karena sikap kamu, saat aku lihat kegigihan kamu sebagai single parent. I am amazed. Lalu aku jadi kenal Minjeong lebih jauh lagi dan kemudian aku pun jatuh hati sama Minjeong. Kalian berdua ada untuk satu sama lain dan kalian berdua sama-sama berusaha semaksimal mungkin untuk nggak bikin beban baru buat kalian.”
“Lalu aku jadi sadar, bahwa aku ingin ada untuk kalian juga. Selama aku beberapa kali dititipin Minjeong, aku juga ngetes diri aku sendiri apakah aku sanggup untuk ambil sebagian pekerjaan kamu untuk ngurus Minjeong. Surprisingly, I managed it. Walaupun emang trial and error banget.” tawa Seungwan.
“Joohyun I like you and I know Minjeong comes in one package along with you and all the other responsibilities. Also yes, I heard the story of your past lovers from Minjeong and I am so sorry about that.”
Rahang Joohyun mengeras setelah ia mendengar pidato panjang dari Seungwan barusan.
“Let me in, Joohyun. Kalaupun bukan seperti yang aku bayangin, at least let me be there buat kamu dan Minjeong.”
“Seungwan...kamu nggak sadar apa yang kamu tawarin buat aku itu too good to be true. Let’s stop this, okay?”
Seungwan menggeleng. “I am fully aware, Joohyun. Mungkin belum semua responsibilities, but I am willing to learn along the way.”
“Kenapa aku? Seungwan, kamu bisa dapat orang yang lebih dari aku. Kamu bisa menjalin hubungan dengan orang yang single dan tanpa baggage kayak aku, kenapa aku? I have lots of damage, Seungwan.”
Suara Joohyun sedikit bergetar. Entah karena ia merasa malu, marah, atau hanya sesimpel ingin menangis. Semua yang terlontar dari mulut Seungwan sudah pernah ia dengar dari mulut orang-orang lain yang tertarik pada dirinya dan mereka telah mengecewakannya.
Joohyun takut dan tidak rela jika Seungwan pada akhirnya juga harus mengecewakan dirinya. Seperti apa yang Seungwan ucapkan pada dirinya, Joohyun pun merasa demikian. Beberapa minggu ke belakang merupakan hari-harinya yang sangat menyenangkan. Kehadiran Seungwan memberikan warna baru bagi kehidupannya dan kehidupan Minjeong.
Seungwan menarik tubuh Joohyun dan mendekapnya erat, kemudian di elusnya punggung Joohyun dengan pelan.
“Mungkin iya kamu punya damage, tapi itu menurut kamu. Menurut aku, kamu adalah sosok yang sangat mengagumkan. Ada orang lain yang juga pasti punya pemikiran yang sama kayak aku, Minjeong contohnya. You are brave enough to embrace your damage and stand strong with it. You take all the responsibilities by yourself, Joohyun, and I want to bear those responsibilities with you. Satu hal lagi, Minjeong bukan baggage. She’s your little star, isn't she? Aku lihat gambaran kalian, you called her that dan aku setuju. Minjeong is the brightest star.” ujar Seungwan yang masih mendekap Joohyun.
Perlahan ia melepaskan pelukannya dari Joohyun. Ia cukup terkejut saat melihat air mata mengalir pelan dari pelupuk mata Joohyun membasahi pipinya. Seungwan tersenyum, tangannya kini menangkup wajah Joohyun. Ibu jari Seungwan menyeka air mata Joohyun.
“Joohyun, I’m so sorry kamu jadi harus dengar ini semua disaat kamu lelah seperti ini. Tapi well, itu semua udah terlanjur aku omongin. Please, jangan jadikan ini beban ya? Kalaupun kamu tolak aku, it’s fine Joohyun. I just want to let you know what’s on my mind. Tapi aku serius sama omongan aku, I want to be there for you and Minjeong.”
Manik mata Seungwan menatap manik milik Joohyun dengan lekat di setiap ucapannya.
Tepat di akhir kalimatnya, barulah Seungwan merasakan kecanggungan di antara mereka.
”Damn, Seungwan. Kebiasaan banget sih blabbering!” rutuk Seungwan pada dirinya.
Dalam posisi canggung tersebut, Seungwan cukup bingung harus berbuat apa. Matanya berusaha mencari objek lain agar ia tidak menatap Joohyun terus-terusan. Akhirnya pandangannya jatuh pada jam dinding yang telah menunjukkan pukul sembilan malam.
Seungwan melepaskan tangannya dari wajah Joohyun. Tangannya menggaruk pelipisnya dengan kikuk. Sementara itu Joohyun justru menundukkan wajahnya, masih berusaha untuk berhenti menangis.
Namun tetesan demi tetesan terlihat jelas membasahi celana yang digunakan oleh Joohyun dan Seungwan melihat itu semua. Ia kembali berusaha untuk menengadahkan wajah Joohyun agar wanita itu menatap Seungwan saat ia akan mengucapkan kalimat selanjutnya.
“Hey, Joohyun please jangan nangis karena pikiran-pikiran negatif kamu ya? You’re worth it, Joohyun.”
Seungwan tersenyum, kemudian ia memeluk tubuh Joohyun sekali lagi dengan sangat erat. “You’re not alone, Joohyun.”
Setelahnya Seungwan memberanikan dirinya untuk memberikan satu kecupan singkat di kening dan pipi Joohyun.
Sementara itu, Joohyun memejamkan matanya saat Seungwan mengecup kening dan pipinya dengan hangat. Ada sebuah desiran di hatinya yang sangat menenangkan dirinya.
“You have me, you can lean on me, okay?” ujar Seungwan.
“Kayaknya aku lebih baik pulang sekarang ya? Udah malem. Maaf udah bikin kamu overthinking malem-malem gini. Lebih baik kamu istirahat aja, yang tadi nggak usah terlalu dipikirin, ya?”
Bila biasanya Joohyun lebih mendengarkan pikiran rasionalnya, namun malam itu sisi emosional dirinya yang memenangkan pertarungan. Seungwan telah berhasil meruntuhkan dinding rasional dalam dirinya.
Tepat disaat Seungwan hendak bangkit dari posisinya, Joohyun menahan lengan Seungwan. Ditariknya sang chef agar lebih mendekat dan Joohyun mendaratkan satu buah kecupan tepat di bibir Seungwan.
Hanya kecupan dari bibir ke bibir, tanpa ada lumatan sama sekali.
Mata Joohyun terpejam erat dengan air mata yang masih mengalir dan kini membasahi ciuman mereka berdua.
Seungwan awalnya cukup terkejut, namun ia kemudian menyadari arti dari tindakan Joohyun barusan. Perlahan matanya pun ikut terpejam.
Jemarinya berusaha melepaskan genggaman erat Joohyun pada ujung sweater yang ia kenakan dan menelisik diantara buku-buku jari Joohyun.
Ciuman pertama mereka malam itu terasa sangat emosional.