Queendom Restaurant

57. Neighbor

Setibanya Joohyun di ruang rawat putri semata wayangnya, ia cukup takjub dan ada sedikit rasa iri saat melihat Minjeong dan Seungwan sedang tertidur di ranjang rumah sakit.

Anak gadisnya terlelap dengan posisi lengan kiri Seungwan ia jadikan bantalan. Sedangkan sang chef tertidur menghadap ke arah Minjeong dengan tangan kanannya memeluk Minjeong agar gadis cilik itu tidak terjatuh dari posisinya.

Tangan Joohyun secara otomatis meraih ponsel yang ia taruh di dalam tas jinjingnya. Dibukanya aplikasi kamera dan untuk beberapa saat Joohyun memusatkan perhatiannya untuk mengambil gambar Minjeong dan Seungwan.

Setelah cukup puas, Joohyun berjalan ke sisi tempat Minjeong terlelap dan membelai pelan rambut Minjeong yang menutupi keningnya. Ia menghela napasnya saat mendapati tubuh Minjeong cukup berkeringat, bahkan rambutnya lumayan basah.

Berbeda dengan dirinya yang tidak terlalu kuat dengan suhu yang dingin, Minjeong justru tidak terlalu tahan dengan suhu yang panas. Minjeong lebih menyukai suhu rendah, namun sang gadis cilik tidak pernah mengutarakan hal tersebut kepada orang-orang yang baru ditemuinya.

”Pasti kamu nggak enak ya ngomong ke Seungwan kalau kamu gampang kepanasan? Anak mami harus belajar mikirin diri sendiri juga dong sayang.” batin Joohyun.

Belaian yang ia rasakan di kepalanya membuat Minjeong perlahan membuka kedua matanya dan hal ini juga disadari oleh Joohyun.

“Halo anak cantik mami.”

“Hng..”

“Minjeong sayang, bangun yuk?”

Minjeong menggeleng. Ia justru melesakkan tubuhnya untuk memeluk Seungwan lebih erat dan membuat Seungwan terbangun dari tidurnya. Ia mengerjapkan matanya dan cukup terkejut saat mendapati Joohyun tengah berdiri di samping ranjang yang ia tempati.

Seungwan yang mengingat posisinya saat ini langsung merasa canggung dan tidak enak hati. Ia hampir bangkit dari tidurnya namun dengan cepat dicegah oleh Joohyun. Wanita berambut panjang itu menggelengkan kepalanya lalu menepuk tangan Seungwan pelan.

“Jangan gerak. Biarin aja Minjeong mau tidur.” bisik Joohyun dan dibalas dengan anggukan kepala oleh Seungwan.

“Udah lama sampenya?” balas Seungwan.

“Belum.”

“Minjeong udah bisa pulang.” ujar Seungwan lagi.

“Iya tadi susternya kasih tau aku. Kalau kamu aku tinggal sebentar bisa? Aku mau urus administrasi rumah sakit dulu.”

Seungwan kembali mengangguk.

“Kalau butuh apa-apa, chat aku aja. Titip Minjeong dulu ya.”

“Okay. Kalau kamu butuh sesuatu juga bisa chat aku.”


Proses penyelesaian administrasi rumah sakit tidak memakan waktu yang cukup lama mengingat Minjeong memang sudah beberapa kali dirawat di rumah sakit ini untuk alasan yang sama.

Sebaliknya, yang cukup memakan waktu bagi Joohyun dan Minjeong untuk meninggalkan area rumah sakit adalah proses tawar menawar antara Joohyun dan Seungwan.

Sang chef memaksa untuk mengantarkan Joohyun dan Minjeong kembali ke rumah mereka, sementara Joohyun justru menolak mati-matian.

Alasannya cukup sederhana.

Seungwan ingin memudahkan Joohyun dan Minjeong. Ia tahu bahwa saat ini Joohyun tidak membawa kendaraan pribadi. Tentu akan jauh lebih nyaman bagi Minjeong dan Joohyun apabila mereka ikut dengan Seungwan dibandingkan harus naik kendaraan umum.

Sedangkan Joohyun merasa tidak enak pada Seungwan. Ia sudah cukup merepotkan sang chef yang bahkan harus meluangkan waktunya hari ini untuk tidak bekerja hanya untuk menjaga Minjeong.

Joohyun tidak ingin menyulitkan Seungwan lebih banyak lagi. Apalagi menurut Joohyun, Minjeong adalah tanggung jawabnya. Bukan tanggung jawab Seungwan.

Namun akhirnya Joohyun harus mengalah saat Minjeong dengan terang-terangan memilih untuk pulang dengan kendaraan pribadi Seungwan daripada harus menggunakan taksi.

Alasan Minjeong pun tak kalah sederhana.

“Mi aku nggak mau naik taksi. Biasanya mobil pak supir taksi pake stella jeruk mi. Minjeong kan nggak suka mi sama baunya.”

Ucapan Minjeong sontak membawa tawa bagi Seungwan dan disambung dengan acungan jempol oleh Seungwan.

“Tenang aja, mobilnya wannie nggak pake stella jeruk kok.” ujar Seungwan masih dengan tawanya.

Mendapati dirinya sudah kalah suara, akhirnya Joohyun mengalah. Namun dalam batinnya, Joohyun sudah berjanji akan membalas kebaikan Seungwan. Entah dengan cara apa, akan ia pikirkan nanti.

Sesampainya mereka di parkiran mobil, Seungwan membukakan pintu belakang untuk Minjeong. Gadis kecil itu memekik takjub saat ia melihat terdapat satu boneka berwarna pink bertengger manis di kursi penumpang.

“Minjeong suka sama bonekanya?” tanya Seungwan sembari membantu Joohyun untuk memasukkan duffel bag ke bagasi mobil.

“Suka.”

“Minjeong mau bawa bonekanya?”

Yang ditanya sempat melirik sejenak ke arah Maminya. Ia cukup kecewa saat melihat Joohyun menatapnya dengan serius lalu menggelengkan kepalanya pelan.

“Nggak usah Wannie….makasih….” jawab Minjeong cukup lesu.

Seungwan tahu bahwa Minjeong menginginkan boneka tersebut. Ia kemudian mengambil boneka pink itu dan memberikannya pada Minjeong. Sontak Joohyun langsung melakukan penolakan namun Seungwan tak kalah keras kepala.

“Biarin aja Hyun.”

“Ambil aja, itu hadiah dari Wannie untuk Minjeong, okay? Tapi Minjeong harus janji supaya nurut terus sama Mami Joohyun ya?” lanjut Seungwan.

Minjeong lagi-lagi melirik ke arah Joohyun, namun kali ini Joohyun menganggukkan kepalanya. Lantas Minjeong langsung terburu-buru untuk mengambil boneka itu dari tangan Seungwan.

“Minjeong bilang apa ke Wannie?” ujar Joohyun mengingatkan Minjeong.

“Makasih Wannie!”

“Sure princess. Ayo sekarang kamu duduk sini, terus pasang seat-beltnya ya. Bisa nggak?”

“Bisa! Wannie tolong pasangin seat-belt buat wanwan aja.”

“Wanwan?”

“Ini namanya wanwan.” tunjuk Minjeong pada boneka pink tadi.

Seungwan mengangguk sambil menahan tawanya. Sementara itu, senyuman lebar tersungging di bibir Joohyun. Ia tidak menyangka Minjeong akan secepat ini menerima Seungwan.

Di sepanjang perjalanan, baik Seungwan maupun Joohyun tidak terlalu banyak membuka percakapan, apalagi setelah Minjeong terlelap di kursi belakang. Joohyun hanya sesekali berbicara untuk memberikan petunjuk arah menuju rumahnya.

“By the way, Hyun rumah kamu dimana sih?” tanya Seungwan saat mobilnya menunggu giliran lampu hijau.

“Di Apartemen Oakwood. Sorry ya lupa bilang dari tadi.”

“Hah?”

“Iya, apartemen Oakwood. Kamu udah expect aku tinggal di rumahan gitu ya? Aku selalu ngajarin Minjeong kalau rumah itu nggak peduli bangunannya kayak apa, yang penting nyaman buat ditinggalin bareng keluarga. Tapi kayaknya aku malah jadi lupa ngasih tau kamu kalau yang aku dan Minjeong maksud dengan rumah tuh ya sebenernya apartemen.”

“Setuju sih. Tapi kamu mau tau sesuatu nggak?”

“Hm?” Joohyun menolehkan kepalanya ke arah Seungwan.

“Kita ternyata tetangga.”

Seungwan tertawa saat melihat ekspresi terkejut di wajah Joohyun. Namun ia tidak bisa berlama-lama menikmati suasana tersebut ketika ia mendengar suara klakson dari mobil yang ada di belakangnya.

“Iya, kita tetangga Hyun. Paling beda tower aja. Aku di tower 4, kamu tower berapa?”

“D-dua.”

“Ahh, masuk akal. Disana ukurannya lebih gede. Lebih nyaman buat kamu dan Minjeong juga pasti. Lucu ya? Mana ada yang nyangka ternyata kita tetanggaan.”

“Ini kamu serius?”

Seungwan mengangguk.

“Kalau dipikir-pikir, make sense sih Hyun. Day carenya Kak Yoona sama resto aku kan juga itungannya masih satu blok dan nggak jauh dari area apartemen. Aku biasanya jalan kaki atau naik scooter kalau berangkat ke resto.”

Joohyun mengangguk. Entah mengapa terdapat suatu perasaan senang saat mengetahui bahwa Seungwan adalah ‘tetangga’-nya. Berarti kesempatan ia untuk bertemu Seungwan lagi masih terbuka lebar.

“Lain kali mampir-mampir ya ke resto aku, sekalian sama Minjeong juga. Nanti aku kasih diskon.”

“Jangan dikasih diskon, nggak enak ah. Kamu udah baik banget sama aku dan Minjeong.”

“Nope. Kamu dan Minjeong udah masuk priority list di Queendom.”

Joohyun cukup terkejut saat ia mendengar ‘priority list’. Otaknya mendadak mengirimkan sinyal waspada karena hal serupa tak jarang ia alami. Orang-orang yang ingin mendekati dirinya selalu memperlakukannya bak seorang ratu, namun saat mereka mengetahui bahwa Joohyun memiliki Minjeong, mereka akan mundur perlahan.

Dalam hatinya Joohyun berharap bahwa Seungwan bukan salah satu dari sekian banyak orang yang telah mengecewakannya. Tapi Joohyun kemudian tersadar, Seungwan justru lebih dulu mengenal Minjeong ketimbang dirinya. Bahkan Seungwan sudah repot-repot mengulurkan bantuan untuk ‘mengasuh’ Minjeong hari ini.

“Mikir apaan sih? Serius banget hyun?”

“Seungwan…”

“Yes?”

“Kenapa kamu baik banget sama aku dan Minjeong? Kita bahkan baru kenal dua hari.”

Seungwan menyeringai kemudian tawanya terdengar semakin keras. Namun sikap Seungwan justru membuat Joohyun kebingungan.

“Sorry, aku ketawa bukan ngejek. Tapi pertanyaan kamu udah ditanyain sama Minjeong ke aku tadi siang. Persis banget.”

“So? Jadi alasannya apa?” tanya Joohyun lagi. Kali ini nadanya lebih serius dan Seungwan pun memilih untuk menjawabnya dengan serius.

“Jawaban aku sama, kamu boleh cek nanti ke Minjeong. Intinya aku kagum sama kamu dan Minjeong. Menurut aku kalian berdua itu saling mengerti satu sama lain. It is such a heartwarming chemistry. Minjeong yang bisa dewasa lebih cepat dari temen seumurannya karena dia nggak mau bikin Mami Joohyun kesusahan and then you, who shouldering the responsibility to be her mom and dad at the same time. The fact that you did it so great amazes me. Tanggung jawab sama diri sendiri aja udah susah, apalagi harus bertanggungjawab sebagai ayah dan ibu buat Minjeong.”

Seungwan langsung berhenti bicara saat ia sadar bahwa ia sudah terlampau jauh berbicara. Sang chef merutuki dirinya yang terlalu fokus menyetir hingga akhirnya ia melontarkan kalimat yang seharusnya hanya ada sebatas di kepalanya saja.

“Joohyun, sorry. Aku nggak maksud-...”

“It’s okay Wan. I’m all okay. Lagian kan emang fakta kalau aku harus urus Minjeong sendirian. Makasih juga ya kamu bilang kalo aku udah didik Minjeong dengan baik. Itu salah satu pujian yang paling bikin hati aku seneng.”

Seungwan mengangguk pelan. Ia masih merasa bersalah, sampai-sampai ia lupa untuk berbelok ke kanan di perempatan yang baru saja ia lewati.

“Uhm, kamu lupa belok atau sengaja nggak belok?” tanya Joohyun.

“Eh! Astaga! Sorry sorry!” ujar Seungwan panik. Matanya membelalak dan berkali-kali melihat kaca spion untuk memastikan apakah ia bisa putar balik saat itu juga.

Joohyun tertawa. “Jangan lama-lama nggak enaknya, aku seriusan udah nggak apa-apa kok kalau ada yang bahas tentang statusku sebagai single mother. I’m happy and proud of that. Karena kalau aku malu, tandanya aku malu punya Minjeong. Padahal dia salah satu karunia terbesar dari Tuhan buat aku.”

Mendengar jawaban Joohyun membuat Seungwan semakin kagum. Dalam hatinya ia semakin teguh untuk bisa hadir di kehidupan Joohyun dan Minjeong, membantu sang ibu dan anak semaksimal yang ia bisa. Selain itu, Ia tahu bahwa Joohyun dan Minjeong akan banyak mengajarinya tentang nilai kehidupan.

Seperti yang ia bilang, Minjeong belajar menjadi dewasa lebih cepat dari teman sebayanya. Sedangkan Joohyun nampak jelas merupakan sosok yang tegar, kuat, berpendirian, bertanggungjawab dan ikhlas dalam menjalani kehidupannya sebagai seorang single mother.

“Aku boleh minta sesuatu nggak?” tanya Joohyun tiba-tiba setelah Seungwan dengan sukses memutar kendaraan mereka menuju arah yang benar.

“Apa?”

“Can we be friends?”

“Tiba-tiba banget? Lagian kan tadi aku juga udah bilang kalau kamu emang udah aku anggap teman juga.”

“Just to make sure sih. Aku cuma punya satu teman yang bisa aku percaya banget, Sooyoung. Tapi kadang aku suka nggak enak kalau harus curhat terus-terusan sama Sooyoung. Gimanapun juga dia punya kehidupan pribadi. Walaupun aku punya Minjeong tapi ada hal-hal yang aku gak bisa ceritain juga ke Minjeong.”

“Oh jadi maksudnya aku dijadiin ban serep nih?” goda Seungwan

“Eh bukan gitu!” satu pukulan ringan mendarat di lengan Seungwan sebagai bentuk protes dari Joohyun.

“Bercanda Joohyuuuun. Aku paham kok maksud kamu. Sure, let's be friend. Kalau kamu butuh apapun jangan sungkan ya? Apalagi kita kan tetangga.” canda Seungwan lagi.

“Now we arrive!” sambung Seungwan.

Joohyun terkejut saat mendapati bahwa ia sudah sampai di lobby apartemennya. 45 menitnya bersama Seungwan terasa sangat cepat. Ia melepaskan seat-beltnya dan mengucapkan terima kasih pada Seungwan. Namun tak ia sangka Sang pemilik mobil memegang pergelangan tangannya, menghentikan Joohyun yang hendak turun dari mobil.

“Sorry.” ujar Seungwan saat mendapati Joohyun melihat pergelangan tangannya yang ia genggam.

“Uhm, Can I hug you?” sambung Seungwan

Untuk beberapa saat Joohyun sempat terdiam, namun kemudian ia mengangguk. Tangannya ia rentangkan dan disambut dengan pelukan hangat dari Seungwan.

“You’re not alone. You and Minjeong are not alone. Kalau ada apa-apa, I’m one call away okay?” bisik Seungwan di tengah pelukannya.

Joohyun hanya mengangguk. Entah mengapa ia takut jika ia membuka suara justru ia akan menangis. Lagi-lagi ia mencium aroma tubuh Seungwan yang kembali memicu ingatannya akan hari itu. Namun kali ini Joohyun lebih memilih untuk menikmati momen ini.

“Thank you Seungwan. Kabarin ya kalau kamu udah sampe rumah.” ujar Joohyun setelah melepaskan pelukan mereka.

“Of course, uhm ini mau aku bantuin aja? Kamu masih ada duffle bag loh? Minjeong juga pasti kamu gendong kan?”

Joohyun menggeleng, “Nggak usah. Kali ini biarin aja aku handle sendiri ya? You already helped me way too much. Aku nggak mau ngambil waktumu lebih banyak lagi.”

Seungwan mengalah. Ia tahu saat ini adalah batas baginya. Mungkin Joohyun belum mau untuk menunjukkan istana kecilnya saat ini dan Seungwan ingin menghargai privasi Joohyun serta Minjeong.

Joohyun kemudian turun dari mobil dan berjalan ke arah pintu belakang sementara Seungwan membantu mengambil duffle bag yang tersimpan di bagasi mobil.

Ketika ia sudah memastikan tidak ada barang Joohyun yang tertinggal di bagasi mobilnya, Seungwan mendapati Joohyun sudah menggendong Minjeong.

“Ini tasnya mau gimana?” tanya Seungwan yang kemudian melihat Joohyun menggendong Minjeong hanya dengan satu tangannya.

“I can handle it. Believe me, udah tiga tahun lebih aku kayak gini. Sekarang udah pro.” tawa Joohyun yang juga mengundang tawa bagi Seungwan.

“So, see you soon, neighbor?” ujar Joohyun.

“See you, neighbor.”

Seungwan menunggu hingga Joohyun dan Minjeong hilang dari pandangan matanya. Memastikan sang ibu dan anak tersebut memasuki tower apartemen mereka dengan selamat, sebelum ia kembali masuk ke mobilnya dan melaju menuju tower apartemen tempat tinggalnya.