SWITCH

15. Precious.

“Hey, sorry ya kelamaan.”

Suara Wendy memecah lamunan Karina yang tengah memikirkan ucapan kakaknya melalui chat barusan. Kekasih dari kakaknya itu baru kembali setelah menerima telepon singkat dari salah satu teman kampusnya sekaligus partner Wendy sebagai DJ radio di Universitas tempat Wendy kuliah.

Seperti yang Irene sempat katakan padanya, ‘kencan’ dengan Wendy siang itu sempat terusik oleh telepon-telepon yang masuk ke ponsel Wendy. Lalu ada juga orang-orang yang mengenali Wendy dan meminta untuk foto sejenak dengan Wendy.

Agak lucu karena orang-orang tersebut memandang Karina dengan tatapan penuh tanda tanya. Pasalnya, semua orang yang mengenal Wendy pun tahu bahwa saat ini Wendy masih menjalin hubungan dengan Irene namun sosok yang sedang kencan dengan Wendy malam itu bukanlah Irene.

Walau demikian, baik Wendy maupun Karina tidak ambil pusing. Karina pun tidak ingin dikenal oleh orang-orang asing disana.

“Eeh, iya nggak lama kok kak.”

“So, how was it? The date, I mean.” tanya Wendy dengan santai.

Sedikit banyak Wendy sudah berbincang dengan Winter perihal pertengkarannya dengan Karina dan Wendy memahami apa yang diinginkan oleh Karina.

She wants to be treated like a queen.

“Jujur aku gak ngira bakal segininya sih kak. So, thank you for that. It’s too much, to be honest.” tawa Karina

“Anything for the princess today.” Wendy mengulas senyumannya pada Karina, lalu mengaduk minumannya sejenak. “Habis ini, masih mau lanjut?”

“Masih ada lagi?”

“Well, ada. Kalau kamu mau tentunya.”

Karina mengangguk antusias persis seperti anak anjing yang kegirangan. Hal ini membuat Wendy tertawa gemas. Berbeda dengan Irene yang sangat anggun, Karina merupakan sosok dengan emosi yang meletup-letup. Karina juga jauh lebih ekspresif dan manja dibandingkan dengan Irene.

Wendy sedari tadi harus menahan dirinya untuk tidak mengacak-acak rambut Karina atau mencubit pipinya saking gemasnya ia terhadap tingkah Karina.

Jangan salah sangka, bukannya Wendy memiliki rasa pada Karina namun lebih kepada rasa gemas terhadap adik sendiri. Wendy sudah mengenal Karina sejak lama, sejak ia mengenal Irene. Sedikit banyak Wendy sudah melihat bagaimana Karina tumbuh.

“Ayin…” panggil Wendy pelan, sengaja menggunakan nama kecil Karina.

“Yeah?”

“Do you find what you’re looking for?”

Tangan Karina berhenti memelintir spaghetti yang ada tepat di hadapannya. Wendy melihat bagaimana alis Karina hampir menyatu di tengah-tengah keningnya, pertanda bahwa gadis di depannya itu sedang berpikir.

“Aku denger katanya kamu bandingin aku sama Winter ya? Why?”

Karina menghela napasnya, ia meletakkan sendok dan garpu secara perlahan.

“Bukan gitu sih kak. Kakak tau kan Winter kayak gimana orangnya, dia tuh terlalu santai orangnya. Kadang aku mikir, bedanya dulu pas aku temenan sama sekarang pacaran apa coba? Hampir nggak berasa.”

“Hampir kan? Berarti masih ada bedanya?” tanya Wendy, berusaha untuk mengulik lebih jauh.

“Masih sih. Well, aku jadi bisa lebih posesif hehe.”

Tawa ringan terdengar dari mulut Wendy, ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Okay, selain itu deh. Kalau dari Winter?”

“Uhm, well sekarang jadi…apa ya? Maybe Winter jadi lebih vokal aja sih ke aku, kalau dulu kan dia nggak segitunya amat kalo nunjukin afeksi. Selebihnya gaada yang beda, dari dulu juga Winter emang udah ada di deket aku mulu.”

Karina nampak bingung ketika melihat ekspresi di wajah Wendy. Senyuman penuh arti yang ditujukan padanya membuat Karina harus menerka-nerka maksud dari kekasih kakaknya itu.

“That’s the key Ayin. She’s always there. Kamu tau nggak apa yang lebih berharga dari ini semua?” tanya Wendy, tangannya membuat gerakan menunjuk ke seisi ruangan bahkan kepada dirinya sendiri.

“Huh?”

“Waktu, yin. Time is the most priceless gift you could ever get from someone. Aku juga nggak luput dari kekurangan kok, yin. Tanya deh ke kakakmu. Berapa kali kami berdua berantem, nggak keitung kayaknya. But in the end, we always try to make time for each other.”

“Tapi kak… Winter tuh….Gimana ya? Aku suka kesel gitu loh. Misal lagi ngedate, dia nggak ada romantis-romantisnya sama sekali. Terus nih ya kak, kalo udah aku ditandingin sama game, pasti aku kalah.” keluh Karina.

“Ayin, kayaknya kamu missed some parts deh. Coba kamu inget-inget juga good traitsnya Winter. Dia pernah kasar nggak ke kamu? Atau dia pernah maksa kamu nggak? Pernah bentak kamu?”

Karina menggeleng.

“You need to count on your blessing, Ayin. Okay, let’s say kamu nggak suka sifat Winter yang tadi kamu sebutin, coba diomongin dulu sama Winter. Nanti kakak bantu juga deh.”

“Thank you kak.”

Wendy yang sudah tidak bisa menahan rasa gemasnya ketika melihat ekspresi wajah Karina, akhirnya sedikit memajukan badannya dan menjulurkan tangannya untuk meraih kepala Karina.

“Nunduk dikit sini, kamu sekarang tinggi banget.” canda Wendy yang kemudian mengacak-acak pelan kepala Karina.

“Kaaak, rambut aku ih!” gerutu Karina namun ia tidak melakukan usaha apapun untuk menghentikan tingkah Wendy.

Keduanya sama-sama tertawa lepas saat menyadari betapa konyolnya tingkah mereka saat itu.

“Kak, ayo ke tempat selanjutnya aja deh. Aku kenyang.”

“Okay, as my princess wishes.”

Wendy berdiri lebih dahulu kemudian menjulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Karina. Keduanya berjalan keluar dari restoran tersebut dengan Karina yang merangkul lengan Wendy. Ia memberikan tatapan-tatapan tidak bersahabat pada orang-orang yang melirik ke arah Wendy dengan genit.

“Kak, kenapa pendek banget sih? Aku mau lendotan kan jadi susah! Biasanya kalo sama Winter tuh udah pas.” bisik Karina tepat di telinga Wendy.

“Heh! Kartu merah! Dilarang bahas tinggi badan!!”