SWITCH

20. Just you is already enough

Baru saja ia selesai memposting di instagram storynya, Wendy mendengar desahan napas panjang dari Karina yang otomatis menarik perhatiannya.

Wajah Karina terlihat sedang kesal dan tanpa perlu ia tebak pun, Wendy tahu apa masalahnya. Namun kali ini Wendy hanya diam, ia tidak merasa perlu untuk berkata-kata lebih jauh lagi karena apa yang ingin ia sampaikan sudah didengar oleh Karina di restoran tadi.

Tujuan selanjutnya yang ia pilih adalah bioskop.

Wendy tahu bahwa Karina adalah tipe hopeless romantic, so a movie date is the best option. Tentu saja film yang Wendy pilih adalah film romance.

Yang lebih tua akhirnya memilih untuk menepuk lengan Karina pelan untuk meminta perhatiannya.

“Filmnya masih satu setengah jam lagi, mau muter dulu?”

“Boleh deh kak.”

“Mau makan eskrim? Seingetku disini ada toko eskrim yang jual mint choco yang enak deh, it’s your favorite right? Mint choco.”

“Nggak mau, soalnya kalo ngedate sama Winter pasti kita beli eskrim.”

“Ohh, yaudah maunya apa kalo gitu?”

“Mau nyari bone…..”

“Win! Masa boneka segitu gede mau diajak nonton?”

“Ya gimana dong kak? Kan nggak mungkin dititipin? Ntar aku beli satu tiket lagi deh buat dia duduk.”

Baik Wendy maupun Karina menoleh saat mereka mendengar suara yang sangat familiar di telinga mereka. Keduanya cukup terkejut saat melihat Winter dan Irene yang berjalan memasuki bioskop sedangkan Wendy dan Karina sedang berjalan keluar.

Nampaknya baik Winter maupun Irene tidak ada yang menyadari kehadiran Wendy dan Karina karena nyatanya keduanya masih sibuk berargumen apakah boneka teddy bear berwarna cokelat tua yang digendong oleh Winter akan mereka ajak nonton juga atau justru akan dititipkan entah pada siapa.

Karina yang sudah terlampau kesal terhadap Winter sudah bersiap untuk memutar tubuhnya pergi meninggalkan bioskop tersebut namun gerakannya terhenti saat ia melihat kemeja flanel berwarna hitam kotak-kotak putih yang merupakan flannel kesayangan milik Winter bertengger manis di pinggang kakaknya.

Tak sampai disitu saja, rasa cemburunya semakin menjadi-jadi saat ia melihat Winter berakting lucu dengan membuat ekspresi wajah memelas, yang sepertinya ia lakukan untuk membujuk Irene.

“Er… mau kita samperin atau….”

Belum sempat Wendy menyelesaikan kalimatnya, Karina sudah berjalan mendatangi ‘sejoli’ yang masih asik berargumen.

“Kok lo pake flannelnya Winter sih kak?! Itu kan flannel kesayangan dia?”

Baik Irene maupun Winter terkejut dengan kehadiran Karina yang dirasa sangat tiba-tiba, bahkan Winter tidak menyadari bahwa tangan kirinya sudah digenggam oleh Karina dengan cukup erat.

“Ayiin, gak usah nyolot gitu ngomongnya.” bisik Winter.

“Win diem dulu deh. Kamu juga ngapain sih sok cute gitu?!”

Wendy yang cukup tertinggal di belakang Karina langsung berlari mendekati sang kakak beradik dan berdiri tepat di sebelah Irene. Ia hendak menenangkan Karina yang sedang terbakar api cemburu yang ia ciptakan sendiri namun Wendy justru merasakan tangan Irene yang menahan dirinya.

“Sayang, adek kamu lagi emo-...”

“Lah itu jaket yg lo pake emang bukan punya Wendy?? FYI itu jacket gue yg beliin.” potong Irene cepat. Kedua tangannya terlipat di depan dada seolah-olah menantang adiknya sendiri.

Wendy dan Winter hanya bisa saling pandang, menunggu satu sama lain untuk mengambil tindakan.

“Lagian ya yin-...”

“Kak, udah ya kak. Ayin lagi emosi doang kok. Aku ngomong sama Ayin dulu ya.” potong Winter.

Ia berjalan menarik Karina menjauh dari Wendy dan Irene yang juga sama-sama terlihat sedang berbicara, lebih tepatnya Wendy yang sedang membujuk Irene.

“Yin, udah ya, please. Aku nggak tau kamu lagi kenapa, okay awalnya salah aku karena aku ngegame dan decline telepon kamu tapi nggak harus sampe sejauh ini kan? Hmm? Udah ya sayang? Lagian aku minjemin flanel soalnya celana kak Irene tadi tu ketumpahan minuman orang, kamu liat sendiri kan celana kakakmu putih?”

“Kok kamu belain kakakku sih Win?”

“Ayiin, nggak ada yang belain kakak kamu disini. Aku kan cuma jelasin aja tadi kenapa flanel kesayangan aku bisa sampe ada di kakak kamu. Please udahan ya ngambeknya? Kasian nih teddy bearnya jadi nggak bisa kenalan.” ujar Winter yang sengaja mengubah suaranya menjadi seperti suara anak kecil.

Winter meraih tangan Karina dengan tangan kanannya, kemudian diusapnya punggung tangan Karina dengan ibu jarinya.

“Udahan ngambeknya, Karina. Aku juga nggak bakal pergi sama kakak kamu kalau bukan karena permintaan kamu kan?”

Lagi-lagi jemari Winter terus mengusap tangan Karina, mulai dari telapak tangan hingga punggung tangan dan berakhir dengan Winter yang menautkan jari-jari mereka.

Sementara itu Karina berusaha untuk tidak menatap wajah Winter, namun tindakannya ini justru membuat Winter semakin tertantang untuk bisa menatap mata Karina dengan lekat.

“Apaan sih Win?”

“Usaha aku dikit lagi berbuah hasil nih, kamu udah mau ketawa.” goda Winter yang kali ini sukses mendapatkan respon dari Karina.

Sang kekasih memukul bahunya dengan cukup keras.

“Aduh, sakit dong yiiin!”

“Biarin, you deserve it! Lagian ngapain sih sama kakak aku sampe segitunya banget!”

“Cemburu nih?”

“Ya iya lah! Apalagi kalo masalah flanel ya, kamu tuh cerewet banget. Makanya aku kan kaget kok kakakku bisa kamu pinjemin! Aku kalo mau pinjem aja susahnya kayak apaan tau! Udah gitu pasti kamu bawelin aku.”

“Udah belom ngomelnya?”

Lagi-lagi Karina memukul bahu Winter, kali ini ditambah dengan satu cubitan kencang di lengannya.

“Jangan tanganku dong! Ini kan aset!”

“Aset apaan! Paling juga buat ngegame!”

“Lah kalo nggak ada tanganku, nanti kamu kalo mau peluk gimana? Kalo mau lendotan kemana?”

“Tuh kan mulai nyebelinnya!”

“Tapi sayang kan?”

“Nggak!”

“Yaudah kalo gitu teddy bearnya aku bawa balik aja deh, eh apa aku kasih kak Irene aja ya?”

“Wiiin! Udah dong godain akunya!”

Sementara Winter dan Karina yang masih saling sahut-menyahut, Irene dan Wendy tertawa geli melihat tingkah kedua gadis tersebut. Terutama Irene, mengingat adiknya tadi sudah hampir mengamuk tepat di depan mukanya. Keduanya memilih untuk duduk di salah satu bangku panjang yang tidak digunakan oleh siapapun sembari tetap memperhatikan Karina dan Winter dari jauh.

“Adek kamu tuh lagi pms deh kayaknya.”

“Maybe, tapi udah tau kayak gitu si Winter nih malah usil banget. Heran aku sama mereka berdua.”

Wendy menggenggam tangan Irene dengan erat, ia tersenyum saat melihat gelang buatannya tersemat di pergelangan tangan Irene.

“I miss you, by the way. Harusnya weekend ini aku mau ngajak kamu staycation di pantai.” ujar Wendy

“Miss you too, babe. Seharian ini pergi sama Winter bikin badanku mau rontok.”

“Enakan pergi sama Winter apa sama aku?”

“To be honest, sama-sama enak. Kalian berdua tipe yang beda banget cara ngedatenya, masing-masing ada plus dan minusnya…..bentar Wen, aku belum selesai ngomong.” Irene memukul pelan tangan Wendy saat ia melihat bahwa ucapannya akan dipotong.

“Tapi setelah hari ini aku makin sadar, yang paling penting bukan kemana, kapan atau dimana kencannya tapi sama siapa aku waktu itu. Jadi jawabannya bukan lebih enak sama siapa, tapi aku mau milih sama siapa.”

“That’s deep, but I do agree. Aku sempet liat postingan-postingan kamu sama Winter and I am kind of jealous to know you had so much fun sama Winter. Apa ya? Kayak kamu bisa nemuin kebahagiaan di hal-hal kecil yang ada dimana aja gitu. Paham kan maksudku?”

“Maksud kamu, Winter bisa ngajak aku seneng-seneng tanpa harus ke tempat yang spektakuler?”

Wendy mengangguk, “Reminds me of waktu kita awal-awal pacaran nggak sih?”

“True. Jujur aku juga kangen masa-masa kayak gitu. Kenapa sih kita berubah? Nyadar nggak?”

“I just want to offer you my best effort. Kayak aku pengen lebih gitu. Misal hari ini udah segini, besoknya aku pengen lebih lagi.”

Irene menatap wajah Wendy dan memperhatikan setiap lekuk wajah wanita yang ia cintai. Kedua mata mereka bertemu untuk sesaat, namun segera terputus ketika Irene mencium pipi Wendy sekilas. Ia kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Wendy.

“Just you is already enough Wen.”