THE RABBIT AND HER HAMSTER

Autumn, 2000

“Kang Seulgi!!” panggil Joohyun sembari berlari ke arah Seulgi yang sedang berjongkok di taman kompleks perumahan mereka.

Sedangkan yang dipanggil masih fokus membelai kepala anak kucing yang ia temui di taman tersebut. Terlihat rambutnya tersibak dan sedikit berantakan akibat angin musim gugur yang berhembus kencang.

“Kang Seulgi!!” teriak Joohyun lagi.

“Sst!! Diem Joohyun, jangan berisik.” ujar Seulgi, jari telunjuknya menempel di depan bibirnya memberikan kode pada Joohyun untuk berhenti memanggilnya.

Wajah Joohyun sudah mulai memerah, tubuhnya mulai menggigil akibat cuaca yang berangin saat itu, ia tidak pernah bersahabat dengan suhu rendah ataupun angin kencang.

“Kamu ngapain sih?! Dicariin mama kamu tau!” bisik Joohyun yang sudah ikut berjongkok di sebelah Seulgi

“Ini tadi aku cuma kesini niatnya ngecek harta karun kita, tapi terus aku denger dia ngeong-ngeong gitu….”

Joohyun menghela napasnya, tentu saja temannya yang sangat baik hati ini akan tersentuh hatinya saat melihat buntalan bulu yang merintih di tengah dinginnya hari seperti ini.

Well, don’t get her wrong Joohyun bukannya tidak tergugah hatinya untuk membantu hewan liar seperti ini, tetapi ia terlalu geli untuk menyentuh mereka. Bahkan anjing peliharaan Yerim pun tidak pernah ia sentuh.

“Terus gimana? Mau kamu bawa pulang?”

Seulgi diam sejenak, kerutan di dahinya mulai terlihat.

Baru saja Seulgi hendak membuka suaranya, tiba-tiba ia merasakan cengkraman di bahunya. “Ugi…”

“Hmm?”

“Denger nggak?” bisik Joohyun.

“Denger apa?” balas Seulgi yang ikut berbisik pelan.

Lucunya volume suara mereka semakin mengecil seiring dengan berlalunya waktu, seakan-akan keduanya takut suara mereka terdengar oleh orang lain.

“Ada suara orang deh, tadi aku denger.”

“Ngaco ah, dari tadi aku nggak denger ada orang disini.”

“Seriusan aku ugi!!”

Keduanya saling melempar pandang, mulai merasa was-was.

“Hyun, kamu cek deh. Aku mau nungguin Amanda dulu.”

“A-amanda??”

Seulgi menunjuk ke arah kucing yang masih meringkuk di dekat kakinya.

“Sejak kapan nama dia jadi Amanda?” tunjuk Joohyun, matanya membelalak tidak percaya bahwa Seulgi baru saja seenaknya memberikan nama pada kucing liar yang baru hari itu ia temui.

“Sejak aku bilang barusan. Udah cepetan Hyun! Muka kamu udah tambah merah itu, kita harus cepetan pulang kalo nggak nanti alergimu kumat lagi”

Joohyun menggerutu kesal namun ia tetap bangkit dari posisinya. “Udah tau gitu, bukannya pulang dari tadi….. temenin gi…”

Seulgi menggeleng pelan, ia tetap teguh untuk berada disana bersama dengan kucing abu-abu putih yang baru ia temui hari itu. Joohyun yang melihat tidak adanya respon dari Seulgi akhirnya memilih untuk melangkah meninggalkan posisinya dan mengikuti insting serta pendengarannya.

Ia yakin bahwa tadi ia mendengar suara seseorang di taman tersebut.

“Halo?” panggil Joohyun pelan, entah pada siapa.

Joohyun mencoba untuk melangkah lebih jauh, menjelajah taman bermain yang sudah ia hafal dengan sangat baik. Ia memeriksa perosotan dan ‘rumah-rumahan’ yang terletak di bawahnya, namun tidak menemui siapapun.

’Apa aku tadi salah denger ya?’ batin Joohyun.

Namun Joohyun tetap melanjutkan ‘petualangan’ singkatnya, ia masih sangat yakin tadi ia mendengar suara seseorang.

Beberapa langkah memasuki area yang sering ia gunakan untuk bermain rumah-rumahan bersama dengan teman-teman sebayanya, Joohyun melihat seseorang yang duduk meringkuk di ujung sisi terowongan penghubung antara perosotan dengan rumah-rumahan tersebut.

“H-halo?” sapa Joohyun pelan.

Semakin ia mendekati sosok itu, Joohyun sadar bahwa sosok yang ia lihat adalah seorang gadis yang kemungkinan seumuran dengan Yerim. Gadis itu berjongkok, bahunya bergetar naik-turun, dan saat itulah Joohyun sadar kalau sosok di depannya sedang menangis.

“Kamu kenapa disini sendirian?”

Sosok yang diajak bicara akhirnya menengadahkan kepalanya sejenak. Ia menatap Joohyun dengan matanya yang berlinang air mata namun kembali menyembunyikan wajahnya saat mata Joohyun menatapnya langsung.

Joohyun terkejut saat melihat gadis tersebut hanya menggunakan baju lengan pendek, yang ia yakin tidak akan cukup untuk memberikan kehangatan kala itu. Perlahan Joohyun kembali mendekat dan ikut berjongkok di depan gadis tadi.

“Nggak kedinginan?”

Lagi-lagi Joohyun tidak mendapat jawaban. Ia mulai bingung.

“A-aku Joohyun. Nama kamu siapa?” tanya Joohyun lagi, kali ini ia bertanya sembari berdiri dan melepaskan jaket hitam yang sedari tadi membuatnya terlihat seperti kepompong.

Ia sampirkan jaket hitam miliknya di pundak gadis tadi agar ia merasa sedikit lebih hangat. Sontak gadis itu terkejut dan refleks menjauhkan dirinya dari Joohyun.

“Pake aja jaketku, biasanya aku juga minjemin jaketku ke Myemim kalo dia kedinginan. Jadi nama kamu siapa?” ujar Joohyun santai.

Melihat bahwa orang asing yang ada di dekatnya bukanlah suatu ancaman, gadis itu membuka mulutnya pelan, “.....ngwan”

“Kyungwan?”

Gadis itu menggeleng, tanda bahwa Joohyun salah. “...ungwan”

“Byungwan?”

“Seungwan!!” teriak gadis itu kesal. Ia mengerucutkan bibirnya.

Sementara itu Joohyun tertawa, sebenarnya ia sudah dengar dengan jelas siapa nama gadis ini, hanya saja ia ingin menggodanya sedikit. Ia tidak suka melihat seseorang menangis di taman bermain, tempat dimana seharusnya mereka justru merasakan suka cita.

“Hoho, ya ya Seungwan. Kenapa kamu disini sendirian Seungwan?” tanya Joohyun sembari mengacak-acak rambut Seungwan. Ia gemas sekali pada sosok teman di depannya.

Mata Seungwan masih berlinang air mata namun bibirnya mengerucut kesal dan pipinya justru terlihat semakin tembem saat ia melihat Joohyun masih menertawakan dirinya.

“Bae Joohyun!!”

Joohyun menoleh ke arah datangnya suara, “Disini ugii!!!”

Tak lama setelahnya, Seulgi ikut masuk ke rumah-rumahan dengan Amanda yang sudah ia gendong di depan dadanya.

“Oh?” ujar Seulgi saat melihat sosok yang tidak ia kenal bersama dengan Joohyun.

Joohyun menggelengkan kepalanya. Memberikan isyarat pada Seulgi untuk tidak banyak bertanya dulu.

“Seungwan, rumah kamu dimana? Pulang yuk? Ini udah mau malem.”

“Oh? Dia tetangga kita?” tanya Seulgi

“Kang Seulgi, yang bisa masuk kompleks ini cuma yang tinggal disini. Ya pasti Seungwan tinggal disini juga dong?”

“Hehe bener juga. Oh iya, aku Seulgi.”

Joohyun berdiri, ia menepuk-nepuk pelan celana bagian belakang miliknya. Ia melirik ke arah Seungwan dan tertawa pelan, “Ayo kita pulang gi, katanya disini kalau malam ada hantu yang suka makan anak kecil! Hiii”

“Hah? H-hantu?” ujar Seungwan takut.

Seulgi mengangkat bahunya, ia baru pertama kali dengar ada cerita seperti ini. Sementara itu Joohyun menarik tangan Seulgi, mengajaknya untuk keluar dari rumah-rumahan itu.

“Iya Seungwan, ada hantu yang suka makan anak-anak. Apalagi anak-anak yang suka pakai baju warna biru.”

Wajah Seungwan berubah panik saat ia menyadari pakaian yang ia gunakan berwarna biru. Buru-buru ia raih tangan Joohyun dan digenggamnya dengan erat.

“Kak aku ikut pulang! T-tapi aku nggak tau jalan.” mata Seungwan perlahan mulai berlinang air mata lagi.

Joohyun hanya tersenyum namun tangannya kini berada di puncak kepala Seungwan, lagi-lagi ia mengacak rambut Seungwan. Kemudian secara otomatis tangannya turun dari puncak kepala Seungwan untuk menyentuh lesung pipi yang nampak saat gadis di depannya tersenyum masam atas tindakan Joohyun.

“Kamu lucu.”

Seulgi memandang Joohyun dan Seungwan secara bergantian, lalu menyentuh pipi kucing yang ia gendong dengan jari telunjuknya. “Amanda, ayo kita pulang.”


Butuh waktu hampir sebulan sebelum Joohyun kembali melihat wajah Seungwan. Kali ini Seulgi lah yang pertama kali melihat sosok Seungwan yang duduk di pintu lobby sekolah mereka.

“Hyun! Itu Junghwan kan?” tunjuk Seulgi.

“Junghwan?”

“Iya itu yang kita ketemu di taman! Inget nggak? Yang sama Amanda?”

“Seungwan. Namanya Seungwan bukan Junghwan.” jawab Joohyun sembari memutar bola matanya. She swears her friend can be so forgetful at times.

Joohyun berjalan mengikuti Seulgi yang sudah berlari kecil ke arah Seungwan, ia tertawa pelan saat melihat Seungwan masih terlihat lucu dengan pipi tembemnya itu. Tampak Seungwan sedang meminum jus kemasan, mata bulatnya melihat kesana kemari.

“Wannie!! Inget kita kan?” sapa Seulgi yang sudah duduk disebelah Seungwan tanpa memperhatikan bahwa Seungwan terlihat tidak nyaman dengan kehadiran ‘orang asing’ di dekatnya.

Melihat hal ini, Joohyun menarik ujung kerah baju seragam yang Seulgi kenakan.

“Maaf ya, Seulgi suka terlalu bersemangat.”

Seungwan mengangguk.

“Eh tapi inget kita kan?” tanya Seulgi lagi, kali ini ia menyenggol lengan Seungwan dengan sikunya.

Seungwan meringis pelan sebagai reaksi atas tindakan Seulgi membuat Joohyun hampir saja menarik Seulgi sekali lagi

“I-inget….K-kak S-Seulgi….” jawab Seungwan pelan.

Wajah Joohyun berubah masam saat ia tidak mendengar namanya disebut oleh Seungwan but then again mereka hanya bertemu sekali dan sudah cukup lama, wajar kalau Seungwan lupa namanya.

’Tapi kenapa dia inget Seulgi?!’

Akhirnya Joohyun hanya memperhatikan Seulgi dan Seungwan yang sudah bercengkrama seakan-akan mereka saling mengenal satu sama lain. Dari percakapan keduanya, Joohyun mengetahui bahwa Seungwan merupakan murid pindahan di sekolahnya dan seperti dugaannya, Seungwan memang lebih muda darinya dan Seulgi.

Seungwan saat ini terdaftar sebagai murid kelas satu, sedangkan Joohyun dan Seulgi siswa kelas empat.

Tin! Tin!

Seulgi, Joohyun, dan Seungwan menoleh saat mereka mendengar suara klakson mobil sedan putih. Tak lama kemudian jendela mobil tersebut terbuka dan menampakkan Tuan Kang dengan senyumannya yang sangat mirip senyuman Seulgi.

“Seulgi! Ayo pulang!”

“Oh, papaku udah dateng! Aku duluan ya! Hyun, maaf ya aku gak bisa ngasih tumpangan, hari ini jadwal aku ke dokter gigi.” ujar Seulgi sembari terburu-buru mengambil tasnya dan berlari ke arah mobilnya.

Joohyun melambaikan tangannya ke arah Seulgi dan Tuan Kang, lalu membungkukkan badannya sedikit saat ia melihat Tuan Kang menyapanya melalui lambaian tangan.

Setelah mobil sedan tersebut meninggalkan area sekolah, Joohyun melirik ke arah Seungwan dan mendapati gadis itu sudah sibuk dengan isi tasnya. Omong-omong isi tas, Joohyun penasaran untuk apa Seungwan membawa tas ransel sebesar itu? Ia baru kelas satu bukan? Seingatnya saat ia kelas satu, ia hanya bawa bekal makanan saja.

Joohyun yang tadinya sudah tidak memperhatikan gerak gerik Seungwan, kembali terfokus saat secara tidak sengaja ia melihat ada bekas kemerahan di lengan kiri tangan Seungwan. Tepat di sisi yang tadi Seulgi sikut.

’Tangan dia luka? Tadi Seulgi cuma nyikut pelan padahal, atau udah luka duluan?’

Namun Joohyun tidak punya waktu banyak untuk berpikir, ia melihat supir keluarganya sudah berjalan ke arahnya artinya ia harus meninggalkan Seungwan sendirian sebentar lagi.

’Think Joohyun, think! Tapi buat apa?’

Mengingat bekas kemerahan di lengan Seungwan, Joohyun dengan sengaja memegang lengan tersebut dan benar seperti dugaannya, tangan Seungwan memang terluka.

“Arghh….”

Joohyun buru-buru melonggarkan genggamannya saat melihat reaksi Seungwan yang kesakitan.

“M-maaf… Tangan kamu luka?” tanya Joohyun, tangannya menyibakkan baju seragam yang Seungwan gunakan namun Seungwan buru-buru mengelak.

“N-nggak kak…”

“Tapi kamu kesakitan.”

Seungwan tetap gigih menggelengkan kepalanya. Joohyun baru saja hendak membuka mulutnya lagi, namun ia sudah dipotong oleh supir keluarganya yang kini sudah berdiri di hadapannya.

“Nona, Ayah sudah menunggu di rumah sakit.”

Joohyun menghela napasnya panjang, right her yearly medical check-up

“Pak, bawa handphone kan?” tanya Joohyun.

Supir keluarganya itu mengangguk, cukup heran mengapa kalimat pertama yang Joohyun ucapkan padanya justru pertanyaan tentang ponselnya.

“Tolong telpon ayah.”

Laki-laki tersebut menganggukkan kepalanya lagi dan dengan cepat menelepon bosnya. Kemudian ia menyerahkan ponsel miliknya pada Joohyun. Tidak butuh waktu yang lama sampai Tuan Bae mengangkat sambungan telepon tersebut.

”Ha-...”

“Ayah, ini Joohyun. Aku bawa temenku ke rumah sakit ya? Tolong telponin ayahnya dia dong.”

”Hah? Joohyun? Teman kamu kenapa nak?”

“Aku kayaknya tadi kekencengan megang dia, terus sekarang tangannya merah. Tolong minta tante Jinhee periksa temenku ya yah?”

”Ayah rasa temen kamu nggak harus sampai dibawa ke rumah sakit?”

“Ayah!!” rengek Joohyun,.

Tuan Bae tertawa, ”Okay, okay. Kamu bawa temen kamu ke rumah sakit ya? Siapa namanya? Nanti biar ayah daftarin ke tante kamu.”

“Seungwan.”

Baru saja Seungwan hendak protes saat ia mendengar namanya disebut, namun Joohyun sudah memelototi dirinya dan membuat nyali Seungwan langsung menciut.

”Okay, Seungwan. Terus kamu tau orang tuanya dia? Kan nggak mungkin kamu ajak Seungwan ke rumah sakit tapi orang tua Seungwan nggak tau.”

“Uhmm, ayah yang telponin! Itu Seungwan tetangga kita, rumah nomor 21.”

”Oh...Okay… Sampai ketemu di rumah sakit ya sayang?”

“Makasih ayah!”

Joohyun mengembalikan ponsel tersebut pada pemiliknya tepat setelah sambungan telepon terputus. Ia kemudian mengambil tas ransel milik Seungwan dan memberikannya pada supirnya.

“Ayo, kamu ikut aku.”

“Nggak mau! Kakak mau nyulik aku ya?!”

Joohyun memutar bola matanya, “Seungwan, kalo kamu gak ikut aku yang ada kamu yang diculik orang gak dikenal. Liat tuh sekolah udah sepi. Udah ayo cepetan.”

*******************************************************************

Seungwan dan Joohyun kini berhenti tepat di depan rumah keluarga Son. Ia kukuh untuk mengantarkan Seungwan pulang walaupun sudah ditolak mentah-mentah. Alasan Seungwan, ia tidak ingin menyulitkan Joohyun lebih jauh lagi dan lagi ia bisa saja pulang sendiri, apalagi rumahnya itu terletak tepat di seberang rumah Joohyun. Ibaratnya ia hanya perlu menyebrang jalan.

Namun Joohyun tidak pernah mau menerima penolakan.

“Udah sampe ya, aku nggak nyulik kamu kan?” ledek Joohyun

“Kalau ada apa-apa disekolah jangan diem aja. Kalau kamu dinakalin orang, lapor ke guru kelas kamu! Atau kamu bilang ke aku atau Seulgi! Pokoknya jangan diem aja. Terus jangan luka nabrak meja lagi. Itu salepnya dipake, dulu Yerim juga pernah luka kayak kamu terus sembuh cepet kok.” sambung Joohyun yang sudah berbicara panjang lebar.

Seungwan hanya mengangguk. “Kak…”

“Hm?”

Joohyun terkejut saat merasakan sentuhan bibir Seungwan di pipinya. Ia terpaku di tempat, bahkan tidak sempat mengucapkan apa-apa lagi karena Seungwan sudah berlari meninggalkan dirinya.

Suara pagar yang tertutup dengan keras lah yang membangunkan Joohyun dari kondisi freeze sesaatnya.

’What is this?’


Semenjak hari dimana ia membawa Seungwan ke rumah sakit, ia sadar bahwa Seungwan menjadi lebih ekspresif dan menempel pada dirinya dan Seulgi seperti permen karet yang tidak bisa lepas.

Joohyun merasa sangat awkward tiap kali Seungwan menunjukkan afeksinya dan kadang hal itu ditunjukkan dengan sangat terang-terangan oleh Seungwan.

Exhibit A

“Kak Joohyun! Kak Seulgi!” teriak Seungwan yang sudah berlari ke arahnya.

Teman-teman Joohyun memandangi Seungwan dengan aneh, bagaimana tidak? Anak kelas satu dengan berani memanggil anak kelas empat dan si anak kelas satu ini hanya memperdulikan Joohyun serta Seulgi dan menganggap yang lainnya tidak ada.

“Kak! Kemarin aku coba bikin cookies! Ini buat kakak ya!” ujar Seungwan yang langsung memberikan Joohyun sekotak cookies kemudian lari meninggalkan gerombolan anak kelas empat.

“Oooh, Bae Joohyun punya fans.” goda salah satu teman sekelasnya.

“N-nggak! Ini kan juga buat Seulgi.” Joohyun hanya mendengus malu.

Exhibit B

“Ugiiiii, kenapa sih tugas sekolah kita harus kayak gini!!” gerutu Joohyun.

Saat ini baik Joohyun dan Seulgi sedang berjongkok di halaman rumah Joohyun. Mereka mendapat tugas biologi untuk melihat perkembangan hidup hewan dan keduanya setuju untuk menjadikan Amanda sebagai eksperimen mereka. Namun permasalahannya adalah Joohyun terlalu geli untuk berinteraksi langsung dengan Amanda.

Akhirnya Seulgi dan Joohyun berbagi tugas, Seulgi yang akan melakukan semua kontak langsung dengan Amanda dan Joohyun yang bertugas untuk membersihkan kandang atau hal lain yang berkaitan dengan Amanda.

“Hyun, sabar aja. Tugas kita kan cuma buat satu bulan ini aja.” ujar Seulgi yang tertawa melihat Joohyun kesulitan membersihkan sisa-sisa kotoran Amanda yang menempel di kandang portable.

“Kak Seulgi! Kak Joohyun!”

“Oi! Wannie!!” Seulgi melambaikan tangannya histeris. “Wannie, tolongin kita mau nggak?”

“Oh? Ngapain kak?”

“Bantuin Joohyun cuci kandangnya Amanda.”

Joohyun hanya diam, ia menghindari interaksi dengan Seungwan takut-takut suasana akan berubah menjadi awkward lagi baginya. Menurutnya lebih baik ia kembali fokus membersihkan kandang daripada harus membuang waktu dengan berbincang-bincang.

“Nggak mau! Ewwh.” jawab Seungwan yang menunjukkan raut wajah jijik.

“Ih Seungwan!! Terus kamu ngapain kesini?”

“Oh, ini aku mau kasih buat Kak Seulgi.” ujar Seungwan yang memberikan sebuah beanie bergambar beruang dan memberikan Joohyun sebuah syal berwarna biru muda “Terus ini buat Kak Joohyun! Mamaku baru pulang dari tugas. Dah Kakak!! Kak Joohyun bau!!”

Mendengar ucapan Seungwan, Joohyun segera berdiri. Ia hendak melayangkan protes atas ucapan Seungwan. Namun sayangnya orang yang ingin diajak bicara sudah meninggalkan mereka berdua tanpa menunggu tanggapan keduanya.

“Gi, tukeran.” ujar Joohyun, tangannya sudah hampir mengambil beanie milik Seulgi.

“Gamau! Lagian kan syal lebih kepake sama kamu. Apalagi kalo di musim dingin?”

“Tapi ini biru!”

”Blue looks good on you Joohyun. Lagian ini kan dari Seungwan, masa dituker? Bukannya dia suka biru ya?”

The skies are blue, the lavender is violet. What Seulgi said is true and Joohyun’s cheek went red.


Waktu istirahat selalu menjadi favorit siapapun, tak terkecuali Joohyun dan Seulgi. Kepala mereka berdua serasa mengepul setelah mengerjakan soal ulangan matematika.

Seulgi menyandarkan kepalanya di atas meja sementara Joohyun bersandar di kursinya dengan kaki berselonjor lemas.

“Joohyun kalo nilaiku jelek, please jangan kasih tau papaku.” ujar Seulgi lemah.

Yang diajak bicara hanya tertawa, ia tahu kalau Seulgi hanya melebih-lebihkan saja.

“Gi, siang ini ada les gitar nggak?” tanya Joohyun mengalihkan pembicaraan.

“Nggak ada. Kenapa?”

“Temenin aku ya, mau nyari kado.”

Seulgi mengernyitkan dahinya, “.....buat?”

Ekor mata Joohyun melihat seseorang berlari di koridor dan masuk ke kelasnya, saat Joohyun menyadari bahwa itu adalah Seungwan, ia langsung bersembunyi di balik meja guru dan memberikan aba-aba bagi Seulgi untuk tidak membocorkan tempat persembunyiannya.

“Kak Seulgi! Kak Joohyun mana?” tanya Seungwan to the point.

Seulgi yang tidak punya cukup waktu untuk memikirkan jawaban harus sedikit gelagapan saat mendengar pertanyaan simpel dari Seungwan.

“Uh itu…. Joohyun….” Seulgi melirik ke arah meja guru dan menemukan bahwa Joohyun sudah tidak ada disana melainkan sudah berlari keluar kelas menyusuri koridor.

“P-pergi…. Gak tau kemana….”

Ekspresi wajah Seungwan menunjukkan kekecewaan setelah mendengar jawaban dari Seulgi.

“O-oh…”

“Kenapa Wannie?”

“Aku mau bilang makasih, kemarin kak Joohyun bantuin aku lagi pas aku diejek karena logatku aneh.”

“Joohyun?”

Seungwan mengangguk. “Kemarin Kak Joohyun sampe dipanggil pak guru.”

Ah, that explained why Joohyun was absent from their English class.

*******************************************************************

Joohyun harus menahan rasa kesalnya pada Seulgi namun tetap saja Seungwan bisa merasakan kalau mood Joohyun saat itu tidak baik. Alhasil Seungwan memilih untuk mengambil sedikit jarak dan berjalan di belakang Joohyun, sementara itu Seulgi yang tahu kalau Joohyun sedang marah padanya memilih untuk berjalan bersama dengan Seungwan.

“Kak Seul…”

“Yep Wannie?”

“Kak Joohyun gak suka ya aku ikut?” tanya Seungwan lirih. Matanya mengikuti kemanapun Joohyun melangkah.

Saat ini Seulgi memilih untuk menunggu Joohyun di luar toko pernak pernik bersama dengan Seungwan. Dari awal Seulgi tidak pernah tertarik membuat hiasan-hiasan handmade berbeda dengan Joohyun yang cukup sering membuat gelang dan kalung.

Seulgi tidak menjawab pertanyaan Seungwan, ia memilih untuk tersenyum dan mengalihkan pembicaraan. Sejujurnya ia sendiri bingung kenapa Joohyun bertingkah seperti ini.

“Kamu suka es krim nggak?”

“Suka!”

“Nanti kita beli ya, Joohyun kalo lagi ngambek sukanya makan es krim.”

“Tapi aku nggak punya uang….”

“Nanti pake uangku aja, tapi kamu yang kasih ke Joohyun ya? Sekalian kan kamu mau bilang makasih ke Joohyun?”

Ekspresi wajah Seungwan langsung berubah 180 derajat, seakan-akan ucapan Seulgi adalah penemuan paling unik dan tercerdas.

“Beneran ya kak?”

Seulgi tersenyum lebar dan mengacungkan jempolnya.

Keduanya berhenti berbicara saat mendengar Joohyun berdeham di belakang mereka dengan tangan yang menyilang di depan dada.

“Aku nggak ngambek. Nih buat kalian.”

Joohyun memberikan gelang berwarna kuning dengan manik-manik berbentuk beruang pada Seulgi kemudian menjulurkan tangannya pada Seungwan, “Sini tangan kamu, ini harus diiket soalnya.”

The oldest of the three berusaha untuk tetap tenang saat ia mengangkat tangan Seungwan tanpa menunggu izin dari Seungwan. Ia langsung memakaikan gelang berwarna biru dengan manik-manik hamster pada Seungwan.

“Jangan nangis lagi, sekarang udah punya barang kembaran sama aku dan Seulgi kan? Biarin aja kalau temen-temen kelas kamu gak mau ngajak kamu main, ada aku sama Seulgi.”

Seulgi tanpa banyak bicara langsung memakai gelang tersebut walau sebenarnya ia tidak terlalu suka memakai pernak-pernik seperti ini. Ia tertawa pelan saat melihat gelang berwarna pink dengan manik berbentuk kelinci yang Joohyun kenakan.

’Siapa sangka Joohyun bisa seperhatian ini?’


25 September 2021

Air mata Seungwan menetes pelan saat ia melihat barang-barang yang ada di dalam kotak bertuliskan ”Seungwan’s” yang ada di pangkuannya.

Semenjak hubungan Seungwan dengan Ibunya, Nyonya Do, kembali hangat Seungwan sering mengunjungi rumah keluarga Do yang terletak di kompleks perumahan petinggi pemerintahan, sekitar satu setengah jam dari apartemennya.

Walaupun Seungwan hanya beberapa kali mengunjungi rumah keluarga besar Ibunya ini sewaktu ia masih kecil, namun Nyonya Do tetap menjaga kamar tersebut sebagai kamar pribadi Seungwan. Bahkan barang-barang yang ada disana pun masih sama, baju-baju Seungwan semasa kecil pun masih tak tersentuh.

Awalnya Seungwan hanya ke kamar ini untuk mencari barang kali ada kaos yang bisa digunakan oleh Joohyun setelah fiancée-nya dengan ceroboh menumpahkan saus teriyaki di kemeja yang ia kenakan.

Seungwan yang tahu bahwa Joohyun tidak suka menggunakan pakaian yang bernoda, lantas berinisiatif mencarikan baju ganti. Namun saat ia membuka lemarinya, Seungwan justru menemukan kotak persegi panjang bertuliskan namanya yang berisikan banyak barang-barang kenangan masa kecilnya sebelum ia pindah ke Kanada.

’Tok! Tok!’

Seungwan buru-buru menyeka air matanya saat mendengar suara ketukan di pintu kamarnya.

“Seungwan, saya masuk ya? Saya sudah dapat baju ganti kok. Mama kamu minjemin kemeja, untung ada yang ukurannya pas.” ujar Joohyun yang sudah berjalan memasuki kamar Seungwan.

“Oh, okay. Aku juga nggak nemuin baju yang bisa kamu pake.” jawab Seungwan yang masih memunggungi Joohyun. Ia berdiri, melangkah ke arah pintu lemari pakaiannya, masih berusaha agar bisa menghilangkan sisa-sisa air matanya.

Sementara itu Joohyun sudah melepas kancing bajunya satu per satu dan berganti pakaian. Agak memalukan untuk diakui namun since their first night Joohyun sudah tidak merasa canggung lagi untuk berganti pakaian di dekat Seungwan, if anything malah Joohyun merasa percaya diri setelah ia mendengar pujian yang terlontar dari mulut Seungwan.

“Well, it’s blue. Not my favorite color, it's yours but still better than wearing my previous shirt.” ujar Joohyun pada dirinya sendiri.

Saat menyadari bahwa ia tidak mendapat tanggapan dari Seungwan, Joohyun merasa ada yang tidak beres pada Seungwan. Ia mengernyitkan dahinya.

Matanya kemudian melihat kotak persegi yang berisikan memory lane milik Seungwan. Joohyun menghela napasnya, ia ingat pesan dari Ojé bahwa hal-hal yang mengingatkan pada masa lalu Seungwan juga merupakan trigger bagi Seungwan.

Ada alasan mengapa Seungwan tidak bisa mengingat banyak memori masa kecilnya, traumanya memaksa Seungwan untuk menekan semua memori-memorinya dan perlahan ia menaruh semua memori itu di sisi terdalam dari dirinya yang ia tidak pernah sentuh lagi.

“Hey, are you okay?” tanya Joohyun, kedua tangannya menyentuh bahu Seungwan.

“Yeah…Just….feeling nostalgic.”

Joohyun memutar tubuh Seungwan pelan, kemudian ia memeluk Seungwan dengan hangat. “I know you Seungwan. You just cried, something happened?”

“Serius aku nggak kenapa-kenapa. You know that time when I’m in my weird mode?”

Ah, Seungwan’s mood swing.

Joohyun mengangguk, ia membiarkan Seungwan untuk berbicara sementara ia tetap memeluk dan membelai kepala Seungwan.

“I’m in my weird mode. Aku nggak tau mama masih nyimpen kotak itu, terus aku nemu beberapa barang.”

“I see, so are these happy tears or sad tears?”

“Happy.”

“I’m glad then. Kalau masih mau nangis, lepasin aja. You already live with those heavy feelings for years, Seungwan. It's time to let go.”

Ucapan Joohyun justru membuat air mata Seungwan mengalir lebih deras. Entah mengapa ucapan tadi seakan-akan membuka gerbang perasaannya.

She’s wailing in Joohyun’s embrace.

“Shush, let it all go.”

“I’m so sorry Hyun….” ucap Seungwan disela-sela tangisnya.

“Hmm? You’ve nothing to be sorry about.”

Seungwan menggeleng, kalimatnya terputus-putus, ia terceguk. “I’ve hurt you... in the past months...while in fact you’re already there... since the beginning. You’re always there... for me. I’m so sorry…”

“It’s okay… You don’t mean it right? Yang penting sekarang kita berdua melangkah maju okay? Emang kamu habis liat apa sih sampe nangis gini?”

“Gelang yang kamu kasih ke aku. Gelang hamster.”

Joohyun tertawa, “Ah, gelang itu ya. Awalnya saya mau kasih kamu kalung, tapi karena Seulgi bawa kamu hari itu, rencana saya buyar semua. Jadinya saya impromptu beli gelang itu.”

“Kalung? That friendship necklace you and Kak Seul talked about?” tanya Seungwan penasaran. Ia mengambil jarak agar bisa melihat ekspresi wajah Joohyun.

Joohyun mengangguk malu, Seungwan bisa melihat kuping Joohyun perlahan memerah.

“That necklace I gave you on valentine days… is not really a friendship necklace. Actually, it’s a present because you gave me a scarf. Gaaaah, how can I be that lame? I’m only a fifth grader at that time. What the?” ujar Joohyun pada dirinya sendiri, ia sangat malu.

“Seungwan? Joohyun?” terdengar suara Nyonya Do dari balik pintu.

“Ya ma?”

“Ayo keluar, makanannya udah siap semua.”

“Oke, oke. Sebentar Joohyun masih ganti baju, nanti nyusul.” jawab Seungwan cepat.

Tak lama kemudian terdengar langkah kaki menjauhi pintu kamar Seungwan. Setelah ia yakin bahwa mamanya sudah cukup jauh dari kamarnya, Seungwan mencium bibir Joohyun singkat.

“I wanna kiss you so bad.”

“But you just did?!”

“It’s a peck, not a proper kiss.”

“Then just kiss me?”

“No, because if I do, then we will only get out of this room in two hours. In fact, kita pulang aja gimana?”

Joohyun tertawa, “Seungwan, mama kamu udah kangen banget sama kamu.”

“But I miss you too?! And I want you for myself only.”

Kini giliran Joohyun mencium Seungwan sekilas.

“I’m yours eternally. I’m already yours since our first meeting.” ujar Joohyun setelah ia menyudahi ciuman mereka, jari telunjuknya menyentuh lesung pipi Seungwan yang muncul saat ia tersenyum.

Ucapan Joohyun justru membuat Seungwan mendengus, ia mendorong badan Joohyun “Ya, ya then what about Kak Nana?”

“Are we really going to talk about her?” tanya Joohyun yang mengekor dibelakang Seungwan yang sudah berjalan meninggalkan kamarnya.

“Why not? I’ve time.”

“Alright, you’re jealous.” goda Joohyun.

“I’ve the right to be jealous. On second thought, I don’t wanna kiss you anymore. I want to interrogate you.” ujar Seungwan yang menjauhi Joohyun.

Joohyun hanya bisa menelan ludahnya. Seungwan terdengar serius dengan ucapannya.

Nice, moody Seungwan it is.

'Oh my God, it's gonna be a long day.' protes Joohyun.