Time Spent Walking Through Memories part. 2-4

(notes: di akhir cerita akan ada author notes, please dibaca ya. Makasihh)

Seperti yang sudah ia janjikan dengan Minjeong, hari itu Joohyun mengajak asisten pribadinya untuk jalan-jalan. Joohyun benar-benar menepati janjinya, mereka bertukar peran selama satu hari penuh.

Awalnya Minjeong sempat ragu-ragu untuk sekadar ‘memerintah’ atau ‘menyuruh’ Joohyun untuk membantu dirinya namun ketika Joohyun memberikan tatapan tajam pada Minjeong, asisten pribadinya itu mau tidak mau mengikuti permainan Joohyun.

Yang pertama mereka lakukan adalah mengunjungi tempat-tempat wisata yang terkenal di kota itu. Joohyun disibukkan dengan tugas sebagai fotografer pribadi Minjeong dan harus ia akui, asisten pribadinya itu memang fotogenik.

“Minjeong, apa kamu pernah kepikiran untuk kerja di dunia entertain?” tanya Joohyun setelah selesai mengambil foto Minjeong yang duduk di pinggir sebuah air mancur dengan berlatar belakang menara Eiffel.

Minjeong mengangguk, “Sebenernya nggak pernah kepikiran, awalnya. Tapi waktu SMA pernah tiba-tiba dapet tawaran masuk agensi, setelah aku nyanyi di salah satu kafe gitu.”

Jawaban yang menarik bagi Joohyun, tiba-tiba ia membayangkan akan bagaimana jadinya jika Minjeong menjadi seorang penyanyi, seperti Seungwan.

“Terus? Kamu nggak lolos audisi?” tanya Joohyun lagi, mencoba menggali lebih jauh.

“Lolos kok, sampe tahap akhir, bahkan udah di offer kontrak buat jadi trainee.”

Lagi-lagi jawaban Minjeong menarik perhatian Joohyun, ia penasaran bagaimana akhirnya sampai Minjeong tidak mengambil kesempatan emas tersebut.

Joohyun memang tidak mengajukan pertanyaan pada Minjeong, namun sang gadis berambut pendek itu memahami tatapan Joohyun yang meminta dirinya untuk melanjutkan kisahnya itu.

“Waktu itu Ayahku udah mau pensiun kak. It’s either hit or miss dan aku gak bisa miss, sedangkan keluargaku gak bisa gambling. Aku harus kuliah dan cari pekerjaan dengan penghasilan tetap. Sedangkan kalau aku training untuk jadi artis, aku harus tunda kuliah aku. Iya kalau aku debut, bagus, mungkin malah bisa balik modal. Tapi kalau aku gagal? Ada waktu yang udah kebuang dan gak bisa diambil balik.”

Sang CEO mengangguk paham. Menurutnya ada tiga hal penting yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin bekerja di dunia entertain, bakat, kerja keras dan luck. Maka jika salah satu saja tidak dimiliki, kemungkinan besar orang itu akan gagal. Bagi Minjeong, ia tidak memiliki faktor keberuntungan itu.

“Kalau misal saya buang faktor hit or miss tadi, kamu sendiri ingin kerja di dunia entertain nggak?”

Minjeong mengernyitkan dahinya, jari telunjuknya ia ketukan pada dagunya beberapa kali seperti sebuah ritme.

“Hmm, pengen dan nggak pengen. Aku cuma pengen di bagian nyanyinya aja, tapi kalau udah masalah ketenaran kayaknya nggak deh. Ribet kak. Ditambah tau sendiri kan aku orangnya kayak gini, pasti mau nggak mau aku harus acting untuk nutupin hal-hal yang dirasa nggak pantes.”

Joohyun mengangguk lagi, “Kamu pernah merasa menyesal? Karena kamu lepas kesempatan emas itu?”

Minjeong menggeleng mantap, “Nggak. Karena apa yang aku pengen nggak harus selalu terlaksana, aku gak boleh maksain keinginanku dan mengorbankan orang lain. Kalau waktu itu aku maksa untuk terima tawarannya dan ternyata aku gak bisa debut, aku udah ngorbanin satu keluarga aku.

But, no one knows. Kalau misal kamu jadi sukses gimana?”

“Ya aku balik lagi kak, kayak yang aku bilang tadi kalau aku gagal gimana? Lagian aku percaya, semua yang udah kejadian di hidup aku, emang gitu adanya. Aku gak pernah kepikiran buat ubah apa yang udah terjadi. Kalau kata orang tua aku, kata-kata yang paling berbahaya itu what if.”

Ucapan Minjeong membuat Joohyun tertegun. Percakapan barusan mungkin terdengar ringan bagi sebagian orang, namun tidak bagi Joohyun. Secara tidak disadari, Minjeong telah mengajarkannya dua hal penting.

Bahwa ia tidak boleh memaksakan keinginannya pada orang lain yang justru bisa berdampak mengorbankan mereka, entah dalam hal apapun itu, dan bahwa kata-kata yang paling berbahaya adalah what if.


Joohyun tidak pernah menyangka bahwa hal selanjutnya yang ingin Minjeong lakukan adalah melakukan reka adegan film ‘Home Alone’. Pertama kali Joohyun mendengar ucapan Minjeong, ia menatap asisten pribadinya itu lekat-lekat, karena bagaimana bisa? Karena latar belakang tempatnya saja sudah jauh berbeda.

”Aku pengen ibadah bentar terus habis itu foto di depan pohon natal yang gede banget gitu. Pokoknya kayak yang di film ‘Home Alone’”

Jika sebelumnya Joohyun menganggap Minjeong adalah asisten pribadinya, kini ia justru merasa Minjeong lebih layak ia perlakukan seperti adiknya sendiri. Joohyun baru menyadari bahwa Minjeong sebenarnya masih sangat muda, jauh dibandingkan dirinya.

Lalu ia teringat akan percakapan mereka sebelumnya, tentang bagaimana Minjeong harus lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan tetap. Joohyun selalu percaya bahwa cara paling ampuh untuk mendewasakan seseorang adalah dengan dipaksa oleh keadaan dan hal itu juga terjadi pada Minjeong.

Terlepas dari bagaimana Minjeong sering membuatnya sakit kepala, Joohyun sadar bahwa Minjeong sebenarnya sudah jauh melewati kemampuan teman-teman sebayanya, apalagi dengan fakta bahwa Minjeong bekerja dengan seorang bos yang seperti dirinya itu.

Pada akhirnya Joohyun mengabulkan permintaan Minjeong setelah mencari tahu letak gereja terbesar di kota itu. Mereka cukup beruntung karena jadwal ibadah gereja yang akan mereka datangi cukup sesuai dengan jadwal mereka hari itu.

Minjeong memilih untuk duduk di barisan bangku agak tengah, alasannya sangat simple dan benar-benar membuat Joohyun memutar kedua bola matanya.

”Kalau terlalu depan, aku deg-degan kak kalau ketahuan jarang ibadah hehe. Tapi kalau terlalu belakang, takutnya aku malah ngantuk atau gak fokus.”

Sejujurnya, Joohyun bukan tipe yang sangat agamis bukan pula tipe yang tidak percaya akan Tuhan. Namun ia tidak menyangkal bahwa ada kalanya ia melupakan Tuhannya dan kewajiban-kewajiban yang harus ia tunaikan.

Joohyun berusaha untuk mengikuti jalannya peribadatan dengan khidmat bahkan ia mengakui bahwa saat itu ia sangat menikmati kesempatan yang diberikan padanya, lewat tangan Minjeong.

Ditengah-tengah ibadah, tak jarang sesekali Minjeong mengaburkan fokusnya dengan memberikan komentar-komentar ringan. Joohyun bahkan sempat memelototi Minjeong, saking cerewetnya gadis itu.

Namun entah apa yang terjadi pada Minjeong dan dirinya hari itu, tetapi lagi-lagi Minjeong membuat Joohyun tertegun dengan celotehannya itu.

“Aku bukan orang paling agamis kak, tapi aku selalu nyempetin untuk denger khotbah kayak gini. Menurutku hal paling dasar ketika aku mau menuju ke arah yang paling baik itu waktu aku coba untuk mendengar hal-hal baik terus berusaha merefleksikan itu ke diri aku. Mau tau nggak kak biasanya aku semedi gitu kapan?”

“Kapan?” tanya Joohyun.

Awalnya hanya sekadar menanggapi ucapan Minjeong secara asal namun ketika ia melihat bahwa Minjeong sedang berbicara serius dengannya, Joohyun mengingat ucapan Minjeong sebelumnya, hal paling dasar ketika ia ingin berubah adalah ketika ia mendengarkan orang lain.

“Pas naik motor. Kayaknya kak Irene gak bakal bisa relate sih, mana pernah naik motor kan. Tapi intinya, coba deh Kak cari tau kapan atau dimana bisa fokus, bener-bener fokus terus dengerin isi kepala sendiri. Coba ngobrol sama diri kakak sendiri. Aku pernah baca, tapi lupa judul bukunya, cara untuk mencintai diri sendiri atau orang lain adalah dengan mengenal sosok itu. So, ngobrol sama diri sendiri itu bagian dari self love, menurut aku.”

Joohyun mengerjapkan matanya berkali-kali. Ucapan Minjeong mengingatkannya pada perkataan Seungwan padanya, seminggu yang lalu.

Terkadang ada hal yang semakin ia genggam, justru semakin ia kehilangan hal itu.

Joohyun terlalu memaksakan keinginannya pada Seungwan yang justru pada akhirnya mengorbankan hubungan mereka seperti saat ini. Ia terlalu larut pada semua what if yang ada di dalam benak kepalanya itu sampai-sampai Joohyun tidak mendengarkan isi hati dan keinginan Seungwan.

Ia menyadari bahwa dirinya terlalu egois kemarin.

Joohyun kembali mengerjapkan matanya, kali ini untuk menghindari air matanya jatuh membasahi pipinya. Namun usaha itu gagal karena pada akhirnya tetesan demi tetesan buliran kristal itu turun dan mengalir bebas.

Sekarang ia paham alasan Seungwan meminta ruang pada dirinya.

They’re lost and now have to find their way back home.

Hubungan antara Joohyun dan Seungwan dimulai secara tiba-tiba dan langsung melompati tahapan-tahapan pasangan pada umumnya. Bahkan bisa dibilang mereka tidak memiliki fondasi yang kokoh, hanya berbekal rasa kasih dan sayang, setidaknya bagi Joohyun.

Mereka belum benar-benar mengenal satu sama lain secara mendalam. Tetapi jauh lebih penting daripada itu, apakah Joohyun dan Seungwan mengenal diri mereka sendiri dengan baik? Mungkin itu yang ingin Seungwan temukan saat ini, how to love yourself first before you love someone else.

“Minjeong, terima kasih.” bisik Joohyun pelan namun masih bisa didengar dengan jelas oleh Minjeong.

Asisten pribadinya itu sama sekali tidak menyadari bahwa saat ini Joohyun sedang menangis, setidaknya sampai ia memalingkan wajahnya untuk menanyakan maksud dari perkataan Joohyun barusan.

“Kak? Loh kok nangis? Aduh, Kak Irene kenapa?”

Joohyun menggeleng pelan dengan senyuman tipis yang ia berikan pada Minjeong. Setelahnya ia tertawa pelan, menyadari bagaimana paniknya Minjeong saat ini karena dirinya yang tiba-tiba berlinang air mata.

“Joohyun. Panggil saya Joohyun. Also, terima kasih Minjeong karena hari ini kamu mengajarkan banyak hal kepada saya.”


Selepas Joohyun menuntaskan keinginan Minjeong untuk melakukan reka adegan dari film ‘Home Alone’, ia meminta maaf pada Minjeong karena hari itu Joohyun tidak dapat menepati janjinya untuk menjadi ‘pelayan’ bagi Minjeong selama sehari penuh.

Tentu saja Minjeong mengiyakan permintaan Joohyun, tidak mungkin tidak.

Minjeong justru cukup terkejut ketika Joohyun ternyata berkendara kembali ke hotel dan buru-buru menghidupkan laptop serta mencari-cari earphone miliknya.

“Ngapain sih kak?” tanya Minjeong yang hampir pusing melihat Joohyun berjalan kesana kemari bak orang kesetanan.

“Saya buru-buru, takut kelewatan.”

“Iya, tapi kelewatan apa sih kak?”

“Acara radio.” jawab Joohyun singkat.

“Radionya….Kak Wendy?” tanya Minjeong dengan hati-hati, ia tahu ini adalah topik yang sensitif bagi Joohyun.

“Iya, Seungwan waktu itu ngetweet. Dia bilang and I quote, “Still miss me? Then you can tune in to my radio show everyday at 6 pm. Eh tunggu, sekarang disana jam enam sore, kan?”

Minjeong mengambil ponselnya kemudian menunjukkan aplikasi jam dunia yang terinstall disana. “Bener kok, udah lewat dikit sih kak.”

Joohyun menarik satu buah kursi yang kemudian ia letakkan tepat di sebelahnya.

“Kamu duduk sini, bantuin saya. Kamu tau sendiri kan kalau masalah kayak gini saya agak lamban?”

“Oh, maksudnya gaptek?” celetuk Minjeong.

“Saya nggak gaptek, cuma butuh waktu lebih lama aja untuk belajar masalah sosial media.”

Minjeong menahan tawanya, hari ini bosnya itu sangat-sangat unik. Apalagi ketika ia melihat ekspresi wajah Joohyun yang berubah menjadi sumringah saat ia mendengar suara Sang Ibu Negara tepat setelah iklan yang diputar selesai.

Minjeong bersumpah, tidak ada satupun orang di kantor mereka yang akan menyangka bahwa bos mereka yang terkenal galak dan perfeksionis ternyata bisa sebucin ini.

”Merry Christmas everyone!! Ho ho ho! Sore ini tim kita sengaja nggak mendatangkan tamu karena hari ini kita bakal fokus untuk ngobrol sama pendengar setia radio ini aja! So, buat yang mau kirim pesan atau request lagu, bisa langsung aja ke kolom komentar ya!”

Joohyun menoleh ke arah Minjeong saat ia merasa disikut oleh asisten pribadinya.

“Apa?”

“Kirim pesan kak! Anonim aja!”

Tawaran yang menggiurkan.

“Tapi saya nggak tau caranya. Kamu bisa bantu?”

“Gampang!”

Dengan cepat Minjeong menanyakan informasi-informasi pribadi milik Joohyun dan memasukkannya di kolom-kolom yang dibutuhkan. Namun ia berhenti saat harus memasukkan nama ID yang akan terpampang di kolom komentar.

“Ada nama yang khas gitu nggak? Buat ngode kalau ini Kak Joohyun.”

Joohyun berpikir keras, terdapat banyak nama-nama yang muncul di kepalanya. Tetapi ketika ia melihat wajah Minjeong, ada satu nama yang akhirnya ia pilih.

“Dora’s Boss.”

“HAH?!”

“Dora’s Boss. Udah cepetan ketik aja itu, kamu gak usah banyak tanya.”

Masih dengan rasa penasarannya, Minjeong mengetik huruf demi huruf kemudian menekan tombol submit. Kini Joohyun sudah memiliki satu akun untuk meninggalkan pesan di kolom komentar.

“Nih kak, mau nulis apa?”

“Aduh, bingung juga ya. Menurut kamu saya tulis apa?”

“Apa ya? Aduh ini acara radionya kak Wendy tuh di prime time slot banget jadi pendengarnya banyak, kemungkinan komen kakak bakal dibaca jadinya kecil. Menurutku mending sesuatu yang gak usah terlalu panjang tapi ngena gitu deh.”

Entah apa yang ada dipikirannya, Joohyun kemudian mengambil alih keyboard lalu menuliskan baris demi baris komentar sembari berharap bahwa Seungwan akan membacanya dan sadar bahwa itu adalah Joohyun.

”Wow, ternyata banyak juga ya yang tune-in sore hari ini? Okay, let’s read it one by one. Hmm….”

“Kalau komentar saya dibaca Seungwan, gaji kamu saya naikin.” ujar Joohyun tiba-tiba.

“AMIN! Tapi ya kak, aku gak yakin sih.” tawa Minjeong.

”From Dora’s Boss?? Ini beneran nama akunnya Dora’s Boss?? Sejak kapan Dora punya atasan? Hey ini kartun mana!”

Tawa Seungwan memenuhi indera pendengaran Joohyun, ia sangat senang bisa mendengarkan suara tawa itu lagi sampai-sampai dirinya tidak menyadari bahwa Seungwan saat ini sedang membaca komentar dari akun yang baru saja ia buat.

”Oh my god! Pendengar aku pada jago-jago ngegombal ya? Okay here we go, kenapa phi (yes, phi as in that phi in mathematics), itu 22/7? Karena kalau 24/7 itu saya yang selalu mikirin kamu. Daaang! That’s a good one! Dora’s Boss, I’ll give you 8 out of 10.”

“OH MY GOD KAK JOOHYUN?! KOMENTAR KITA DIBACA?!” pekik Minjeong.

“H-hah?”

“ITU BARUSAN KOMEN KITA DIBACA! OH MY GOD AKU NAIK GAJI!!!”

Minjeong melompat kegirangan seakan-akan ia baru saja menemukan harta karun, well, in a way she did.

“Kak! Coba tulis komen lagi kak! Mumpung akun kita tadi udah dibaca!”

“Akun kita? Itu akun saya!”

“Iya, iya akunnya kak Joohyun. Udah cepetan kak! Momentum kayak gini tuh gak boleh kelewat!”

Jemari Joohyun kembali mengetik baris demi baris komentar dengan cepat dan terdengar bunyi ‘klik!’ cukup kencang ketika Joohyun menekan tombol enter.

”Malam ini kenapa banyak yang kirim gombalan sih? But that’s okay! It’s fun! Okay next dari WanDJFans, WanD aku mau curhat. Aku udah putus sama cowok aku satu bulan yang lalu, terus dia tiba-tiba chat aku lagi dan bilang kalau dia masih sayang sama aku. Sejujurnya aku belum move on, tapi kata teman-teman aku lebih baik nggak sama dia lagi karena hubungan kami dulu toxic. Lebih baik aku gimana?”

”Oh girl, you are worth more than anything else. Jadi kamu harus selalu mengutamakan diri kamu ya termasuk kebahagiaan dan kesehatan kamu. Kalau emang orang-orang sekitar kamu bilang hubungan kalian dulu itu toxic, lebih baik kamu jangan terlalu cepat ambil keputusan. Coba renungin lagi lebih lama. Also! Who knows you’ll find a more beautiful and unforgettable love in someone else? Makasih ya kamu udah percaya buat cerita ini ke kita semua, we will always cheering on you!”

“Huh, Kak Wendy keren banget.” ujar Minjeong yang juga ikut fokus mendengarkan siaran radio.

“Memang.”

“Astaga kak, serius ya kalau orang kantor sampe tau kak Joohyun segini hopeless romantic...”

“Kalau orang kantor sampai tahu, berarti kamu yang nyebarin. Besoknya kamu udah gak kerja lagi sama saya.”

“Ini namanya penyelewengan kewenangan.” cibir Minjeong.

“Suka-suka saya? Itu kan kantor saya.”

“Iya, iya. Suka-suka Irene Bae Joohyun deh pokoknya.”

Joohyun menyentil dahi Minjeong dengan cukup kencang setelah ia mendengarkan ucapan Minjeong. Suara Seungwan masih terdengar dengan jelas di ruangan tersebut.

“Jangan ganggu saya yang lagi dengerin suara Seungwan sekarang.”

”Okay, aku bakal bacain satu komen lagi sebelum kita break iklan dulu. Hmm, let’s see…Dora’s Boss…again. Serius ini nama akunnya bikin ketawa. Ini konsepnya Dora pas udah gede berarti ya? Masih main sama boots…..nggak?”

Terdapat jeda sebelum Seungwan melanjutkan ucapannya dan Joohyun berharap jeda tersebut karena Seungwan menyadari kode yang disampaikan melalui nama akun tadi bahwa akun itu adalah Joohyun.

”Saya baru saja mengecewakan orang yang paling saya sayangi sampai-sampai ia merasa sesak saat berada di dekat saya. Dia meminta waktu dan ruang sejenak dalam hubungan kami. Awalnya saya marah, tapi kini saya mengerti. Kira-kira kalau saya meminta maaf sekarang, apakah dia mau mendengarkan saya? Saya merindukannya setiap hari dan saya harap ia tahu. I’ll wait for you, love.”

Minjeong melirik bergantian ke arah Joohyun dan ke arah layar laptop milik Joohyun. Hari itu siaran radio dilangsungkan secara video live streaming, sehingga baik Joohyun maupun Minjeong dapat melihat Seungwan dengan jelas.

Seungwan terpaku untuk sejenak kemudian jemarinya memainkan pensil yang sedari tadi ia genggam, memutarnya di sela-sela buku jarinya.

”It’s good that you realized it. Tapi dia masih butuh waktu, coba kamu inget lagi apa kata-kata terakhirnya ke kamu? She meant it. Kalau kamu masih kangen sama orang itu, kamu bisa kesini setiap hari siapa tahu dia dengerin radio ini juga. Aah, kayaknya waktu kita udah habis. Setelah ini bakal ada iklan yang lewat sebentar dan habis itu kita akan pindah ke segmen selanjutnya ya! Next kalian bisa request lagu apapun dan kita akan ngobrol tentang tempat wisata favorit akhir tahun! So stay tuned, It’s still DJ Wendy!”

“Itu kak Wendy baru aja ngode supaya kita dengerin radionya tiap hari?” tanya Minjeong, memecah keheningan.

Joohyun tidak langsung menjawab pertanyaan Minjeong, ia masih terlalu terpaku dan tidak percaya bahwa hari ini dewi fortuna sedang berada di pihaknya.

Minjeong harus menepuk lengan Joohyun beberapa kali untuk membawa Joohyun kembali tersadar dari lamunannya.

“Minjeong, mulai sekarang kosongkan jadwal saya setiap jadwal Seungwan siaran radio.”

Tidak semua orang pantas mendapatkan kesempatan kedua, maka ketika Joohyun mendapatkan kesempatan itu, ia bersumpah bahwa ia tidak akan menyia-nyiakannya. Kali ini Joohyun berjanji bahwa ia akan menjadi pendengar setia dari Seungwan.

Joohyun berjanji bahwa ia akan mencari cara agar mereka berdua bisa mengenal satu sama lain lebih jauh, agar mereka bisa membangun fondasi yang kokoh, agar mereka bisa mencintai diri mereka masing-masing sebelum mereka bisa mencintai satu sama lain untuk selamanya.


author notes: Untuk kepentingan alur cerita ini, aku sengaja memasukkan sedikit unsur agama. Tapi perlu digaris bawahi, apa yang ada di cerita ini sama sekali tidak menggambarkan kenyataan atau berkaitan dengan karakternya. Jadi mohon bijak ya.