Time Spent Walking Through Memories part. 4-7

December 20th, 2021

Helaan napas panjang terdengar dari dalam mobil SUV Lexus berwarna putih yang tengah membawa Seungwan melintasi kota. Suara yang keluar dari mulut Seungwan menyita perhatian sang manajer yang tengah mengemudi, ia melirik ke arah spion untuk melihat keadaan artisnya itu dan mendapati sang artis tengah memperbaiki posisi duduknya dengan mata yang terpejam.

“Kalau ngantuk tidur dulu aja Wen, nanti gue bangunin.”

“Yeah….thanks.”

Sam mengangguk kemudian pria itu kembali fokus dengan tugasnya saat itu, mengantarkan Seungwan menuju tempat perhelatan acara penghargaan hari itu. Seungwan dinominasikan dalam satu kategori dan digadang-gadang oleh publik sebagai pemenang. Tentu saja, menang ataupun tidak, Seungwan tetap akan menghadiri acara tersebut.

Siang hari itu Jalanan ibu kota sangat padat, entah karena hari senin atau memang karena banyak orang-orang lain yang juga menuju ke satu tempat yang sama dengan mereka. Mendapati jalanan yang cukup padat, Sam langsung melakukan kalkulasi singkat untuk memperkirakan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk tiba di lokasi acara.

Tanpa sadar, tangan laki-laki itu menekan tombol audio mobil yang ia kendarai dan memutarkan lagu-lagu yang sekiranya akan membantu Seungwan untuk bisa tidur lebih nyaman. Sebuah kebiasaan yang akhirnya terjadi secara otomatis.

Sementara itu di lain sisi, Seungwan masih belum menemukan posisi yang nyaman bagi dirinya. Ia kembali mengubah posisi duduknya kesana dan kemari, namun tetap nihil. Walaupun Sam berusaha untuk membantunya beristirahat, tetap saja ia tidak bisa.

Jauh di dalam lubuk hatinya, Seungwan sangat tahu alasan mengapa dirinya saat ini risau. Bukan karena ia kelelahan atau kurang tidur -ia pernah mengalami jadwal yang jauh lebih padat- namun alasan sesungguhnya adalah karena interview yang baru saja ia lakukan.

Ada beberapa jawaban yang menurutnya tidak memenuhi standar dirinya dan selama beberapa bulan ini biasanya Seungwan akan menghubungi Joohyun ketika ia merasa demikian. Tidak peduli kapan pun itu, biasanya Joohyun akan mengangkat teleponnya atau jika memang tidak bisa, maka paling tidak Joohyun akan mengirimkannya pesan.

Bae Joohyun.

Sosok yang sangat dewasa dan berwibawa. Sosok yang entah mengapa selalu bisa memberikan kata-kata yang tepat baginya dan membuat hati Seungwan merasa lebih nyaman.

Terkadang Seungwan sering bercanda pada Joohyun dan menanyakan apakah Joohyun tidak berbohong tentang umurnya, karena seringkali kalimat-kalimat mutiara yang keluar dari mulut Joohyun terasa seperti hal-hal yang biasanya diucapkan oleh orang yang jauh lebih berumur.

Kembali ke permasalahan semula, tentu saja dengan ‘keadaan’ mereka yang sekarang, Seungwan tidak mungkin menghubungi Joohyun.

Tidak boleh.

Ia baru saja ‘memutuskan’ hubungan mereka agar keduanya bisa berpikir lebih jernih untuk sementara waktu. Akan sangat egois jika ia tiba-tiba menghubungi Joohyun hanya karena saat ini ia membutuhkan kalimat-kalimat penyemangat.

Walau begitu tetap saja ingin rasanya Seungwan menekan tombol speed dial nomor satu-nya itu dan berkeluh kesah tentang hari ini. Jujur, jadwal pertamanya hari itu sudah membuat mood-nya cukup buruk dan kini ia harus terperangkap di acara selanjutnya yang Seungwan tahu dengan sangat pasti akan memakan waktunya berjam-jam.

Lagi-lagi Seungwan menghembuskan napasnya dengan kencang dan kembali menyita perhatian manajernya.

“Lo kenapa sih?”

Seungwan menghela napas sekali lagi sebelum ia perlahan membuka kedua matanya dan menatap Sam melalui kaca spion. Keduanya sempat bertatapan mata untuk sejenak walau kemudian harus terputus karena Sam yang harus fokus mengemudi.

“Interview gue tadi gimana? Jawab jujur.” tanya Seungwan pada Sam, merujuk pada wawancara yang tadi dilakukan di gedung agensinya.

Sam melirik ke kaca spion samping dan memutar kemudi mobil, membawa mereka menuju jalan tol menuju venue tempat perhelatan hari itu. Setelah ia membayar biaya tol dan menutup kaca jendela, barulah Sam melirik ke arah Seungwan melalui spion.

“Jujur ya? Lo aneh sih.”

“Tuh kan!” keluh Seungwan dengan kencang.

“Dengerin dulu Wen…”

Sam melirik lagi ke arah kaca spion dan mendapati Seungwan memberikannya waktu untuk berbicara lebih lanjut.

“Biasanya lo tuh carefree gitu loh. Yaudah jawab ya jawab aja, professionally. Biasanya you talk in elaborate way, tapi tadi lo nggak kayak lo gitu. Ini maksud gue buat pertanyaan-pertanyaan yang berbau…..personal ya. Gimana ya, gue sebagai manajer lo bertahun-tahun pasti tau lo kayak apa. Tadi itu bukan Wendy Son yang diwawancara tapi Son Seungwan, again ini buat yang bagian personal ya. Sisanya, you did well as always.”

Seungwan terdiam sejenak, berusaha mencerna kalimat manajernya barusan. Apa yang Sam katakan padanya memang benar, laki-laki yang tengah mengemudi itu memang memahami cukup banyak tentang dirinya. Tentu saja ada hal-hal yang Seungwan sembunyikan dari Sam tapi jika dibandingkan dengan hal-hal yang Sam ketahui, maka porsinya jauh lebih sedikit.

Mendapati keheningan menyapa keduanya, Sam lagi-lagi mencuri-curi pandang ke arah Seungwan. Ia tahu terdapat sesuatu yang mengganjal di hati Seungwan.

“Wen? Are you good?”

Seungwan menggeleng pelan. Ia menatap layar ponselnya yang menampilkan paras dirinya dan Joohyun yang diambil beberapa bulan yang lalu ketika mereka tengah berkencan di salah satu restaurant kenamaan favorite Joohyun.

“Kenapa sih? Irene? Lo kangen? Atau lo berantem lagi?”

’berantem lagi’

Sesering itukah mereka berdua bertengkar sehingga orang-orang yang berbicara dengannya selalu menanyakan hal yang sama?

“Lo uring-uringan gara-gara nggak ketemu dia ya? Kebiasaan banget deh lo.” lanjut Sam diselingi tawa.

“Apaan sih, diem deh.” sergah Seungwan.

“Bener kan tapi? Soalnya biasanya lo kayak gini kalo lagi bete sama perusahaan atau lagi bete sama pasangan lo, yaitu Irene.”

“Bacot, diem.”

“Lah malah jadi sensi? Tapi serius deh gue, lo mau denger sesuatu dari gue nggak? As your friend.”

Seungwan mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya untuk menatap Sam sejenak.

“Gue seneng banget lo bisa ketemu Irene. I can see you’re moving forward to the better path. Gue nggak cuma ngomong masalah skandal-skandal pribadi lo ya…”

Sam tertawa kencang saat melihat Seungwan menatapnya tajam.

“Serius nih. Gue ngerasa lo sedikit demi sedikit mulai berdamai sama diri lo, Seungwan. Gue emang nggak punya hak buat bicara karena gue nggak pernah ada di posisi lo, tapi gue cuma pengen lo tau kalau kegagalan bokap dan nyokap lo nggak akan pernah mendefinisikan gimana masa depan lo. Kalian semua pribadi yang berbeda dengan garis nasib yang beda juga.” ujar Sam kali ini ditutup dengan sebuah senyuman tulus yang ia berikan pada Seungwan.

“Satu lagi, kelupaan dikit!” potong Sam cepat.

“Mau sama siapapun nanti lo akhirnya menjalin hubungan, baik itu sama Joohyun atau siapapun, lo harus tau kalau you deserve to be loved. Jadi nggak usah ya balik ke habits buruk lo itu, banyak yang sayang sama lo, Seungwan. Tapi pertama-tama lo harus sayang sama diri lo sendiri buat sadar berapa banyak orang yang sayang sama lo.”

Seungwan menggigit bibir bawahnya pelan. “Sam, gue mau tanya… Menurut lo gue sama Joohyun gimana?”

“Apanya?”

“Ya gitu… Lo tadi sempet nanya gue berantem lagi sama Joohyun atau nggak? Emangnya segitu sering ya?”

Sam mengumpat saat melihat kendaraan di depannya berjalan sangat lambat. Lalu lintas siang itu benar-benar padat.

“Lumayan, tapi wajar sih. Gue rasa karena kalian masih belum nemu aja gaya yang pas gimana. Bukan gaya kayak gitu ya maksud gue!” canda Sam.

“What the fuck you pervert!” tawa Seungwan.

“Kalian berdua tuh, gimana ya gue bilangnya. Kayak anak baru pacaran. Giliran lagi bucin, astaga bikin mau muntah. Tapi giliran lagi berantem, ya ampun kayak bocah. You love each other but sometimes, love is not enough. Butuh usaha, pengertian, dan komunikasi juga. Gue nggak tau ya, tapi kalo kata orang sih gitu. Gue aja jomblo!”

Seungwan melempar satu pack tissue ke arah Sam ketika mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut laki-laki itu. Memang beginilah hubungan mereka berdua, lebih cocok dibilang teman atau kakak-beradik ketimbang manajer-artis.

Tidak banyak yang tahu tentang masa lalu Seungwan, Sam adalah salah satunya. Laki-laki itu menjaga dengan rapat amanah yang diberikan oleh Taeyeon dan Kibum kepadanya dan Seungwan sangat menghargai dan bersyukur atas sikap Sam tersebut.

Seungwan sendiri pun sebenarnya tahu bahwa sikap Sam yang selalu cerewet kepada dirinya adalah salah satu bentuk kepedulian Sam kepada Seungwan.

“Thank you, ya. I feel better.” ujar Seungwan.

“Ya sama-sama. Eh tapi serius sih ini gue, lo sama Joohyun diseriusin ya. Maksud gue adalah give your best effort. You two love each other hard, equally. Jarang banget loh bisa nemu pasangan yang kayak gitu.”

“Iya baweeeel!” jawab Seungwan sembari memutar kedua bola matanya.

Perlahan mobil mereka kembali menuju kecepatan penuh setelah kepadatan mulai terurai. Sam kembali fokus dengan tugasnya dan Seungwan kini kembali menatap layar ponselnya.

Baris demi baris percakapannya dengan Joohyun terpampang disana.

“Yeah, I need to love myself and deal with my past before I will move forward with Joohyun. I don’t want to let her go….. I want to make this work, Sam…. God knows I do.”