Time Spent Walking Through Memories part. 4-19

TW: mention of mental illness ; depressing thought

21 Desember 2021

Yerim melempar ponselnya ke sembarang arah setelah ia menyudahi percakapannya dengam Joohyun. Awalnya ia memang gatal sekali untuk segera memberitahu keadaan Seungwan, namun setelah melihat reaksi kakaknya, ia setuju dengan keputusan Taeyeon.

Dini hari tadi, selepas mereka memastikan bahwa Seungwan sudah bisa tertidur dengan pulas, Taeyeon pamit undur diri karena ia memiliki jadwal pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Si sulung dari keluarga besar Bae menawarkan untuk mengantarkan Yerim pulang, namun tentu saja Yerim menolak.

Ia tidak sanggup meninggalkan Seungwan dalam keadaan seperti ini, apalagi setelah ia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Seungwan kambuh.

Akhirnya Yerim, Ojé, dan Sam berbagi tugas untuk menjaga Seungwan malam itu. Yang pertama mendapat giliran adalah Ojé disusul dengan Sam, lalu Yerim. Sementara ia menunggu gilirannya, Yerim memilih untuk beristirahat di kamar tamu sekaligus kamar yang merupakan bekas tempat tinggal Joohyun.

Ia sempat terkejut saat mendapati kamar ini begitu mirip dengan kamar milik Joohyun di kediaman mereka. Susunan barang-barangnya benar-benar mirip, yang menjadi pembeda hanya bingkai-bingkai foto yang terpajang disana.

Sebenarnya bukan rahasia bahwa kedua kakak-beradik itu sama-sama memiliki ketertarikan dalam dunia fotografi. Bedanya, Joohyun lebih suka menjadi fotografer sedangkan Yerim lebih suka menjadi model dari sang fotografer. Yerim yang sangat paham akan sifat kakaknya itu pun memahami mengapa Joohyun cukup menyukai dunia fotografi.

Joohyun bebas mengekspresikan karyanya dalam diam.

Namun satu hal yang Joohyun kurang sadari, objek-objek foto miliknya menggemakan isi hatinya jauh lebih keras dari yang ia duga.

Seperti pagi ini, sebangunnya Yerim dari tidurnya yang cukup melelahkan, ia disapa dengan satu frame foto berukuran A3 yang terletak tepat di seberang kasur. Foto siluet seorang perempuan, tentu saja itu Seungwan, yang bermain bersama dengan anak anjing di tepi pantai.

Yerim seakan-akan dibawa untuk melihat Seungwan dari sudut pandang seorang Bae Joohyun.

Seungwan yang ada di foto tersebut terlihat sangat bahagia, sangat menikmati setiap detiknya, terlihat sangat cantik dengan rambutnya yang terurai tertiup angin dan siluet garis senyuman di bibirnya serta hidung mancungnya yang terlihat dari samping.

Satu foto lainnya yang ada di meja kerja milik Joohyun adalah foto dengan latar belakang sebuah bukit. Kali ini wajah Seungwan terlihat dengan sangat jelas, menatap ke arah lensa kamera. Lagi-lagi senyuman manis ditampilkan oleh Seungwan, namun kali ini Yerim dapat melihat pancaran kebahagiaan dari manik mata milik Seungwan yang menatap lurus ke arah lensa, seakan-akan Seungwan menatap langsung ke arah dirinya.

Bahkan hanya dari foto saja ia bisa merasakan bagaimana keduanya saling mengasihi satu sama lain.

“Gue bisa gila kalo disini terus” cemooh Yerim setelah meletakkan kembali bingkai foto yang tadi ia sempat ambil sejenak.

Ia menggelengkan kepalanya, lucu juga kalau dipikir-pikir bagaimana kakaknya itu berubah drastis sejak bertemu Seungwan.

Si bungsu dari keluarga Bae berjalan keluar kamar, menuju ruang makan. Perutnya sudah meronta meminta asupan gizi. Sesampainya disana, ia bertemu dengan Sam yang sudah mencuci beberapa alat makan.

“Pagi.” sapa Yerim agak canggung.

“Oh, pagi. Mau sarapan?”

“Boleh, kalau emang udah dibuatin.”

“Udah kok, untuk dokter Park juga udah disiapin.”

Dokter Park.

Sangat asing bagi Yerim mendengar nama sepupunya disandingkan dengan titel profesionalnya itu. Walau mereka semua memang sekarang sudah beranjak dewasa dengan pekerjaan mereka masing-masing, namun tetap saja bagi Yerim rasanya aneh.

“Ojé dimana?” tanya Yerim

“I’m here mim.”

Sebuah jawaban datang dari arah pintu kamar Seungwan. Ojé keluar sembari membawa tas kecil yang berisikan peralatan-peralatan medis.

“Seungwan gimana?”

“Better, for now. Duh laper banget, mau delivery makanan nggak?” tanya Ojé yang meletakkan tasnya di ruang tengah kemudian berjalan ke arah ruang makan.

“Udah dimasakin kok, sama Sam.”

Ojé mengacungkan ibu jarinya. Ia lalu membuka isi lemari es untuk mencari minuman yang bisa meredakan dahaganya itu.

“Well, kalau gue nggak tau Kak Joohyun tinggal disini, gue bakal kira Seungwan udah insyaf.” tawa Ojé sembari mengeluarkan satu botol jus yang masih tersegel dengan rapat.

“Bener. Gue juga kaget sih liat persediaan makanan disini lengkap banget. Good influence dari Irene.” timpal Sam. “Dia jago masak ya? Kok ini alat masaknya lengkap banget.” sambung pria itu.

“Nggak lah. Kakak gue mana ada jago masak? Dia bisa masak tapi nggak jago. Lebih jago Seungwan. Kalo dulu sih, biasanya dia minta masakin sama chef keluarga aja.”

“Uhm, anyway gue mau nanya sama kalian berdua boleh?” ujar Yerim dengan hati-hati.

Ojé menganggukkan kepalanya sementara Sam membalas dengan ucapan singkat, ia masih sibuk menyelesaikan hidangan pagi itu.

“Kalian berdua, plus Kak Taeyeon, semalem keliatan kayak udah terlatih gitu. Seungwan….sering kayak gini?”

Sam menoleh ke arah Ojé, memberikan isyarat agar Ojé-lah yang menjawab pertanyaan tersebut.

“Dulu lumayan sering dan pernah parah banget waktu Seungwan sering banget mabuk. Inget dulu Seungwan pernah hiatus setahun? Waktu itu parah banget.”

“Yang tau siapa aja? Tentang ini semua?”

“Gue, Sam, Kak Taeyeon, Kak Kibum, and now Kak Joohyun dan lo juga. Sisanya petugas medis. Well, bokapnya dia tau tapi memilih untuk nggak percaya.”

“S-Seungwan bakal sembuh kan?”

Ojé menarik napasnya dalam. “Sembuh total, agak nggak mungkin. Karena pasti tetep ada masa dimana memori buruk itu datang. Tapi bisa diusahakan supaya kenangan buruk itu nggak datang terlalu sering. Selain itu, kalau dia ikut treatment dengan teratur, bisa juga dilatih supaya Seungwan tau gimana cara bereaksi yang paling aman waktu kenangan itu datang.”

“Terus? Seungwan treatment kan?”

Ojé mengangguk. “Dia sekarang udah punya psikolog pribadi, in a fact, siang nanti bakal kesini. Well, sejak kejadian yang waktu itu, Seungwan sadar kalau banyak yang sayang sama dia dan udah komitmen juga untuk perlahan bangkit. Thanks to your sister juga, akhirnya dia lebih milih untuk ubah metode penyembuhannya. Cuma gue agak kaget aja ternyata Seungwan masih nyimpen obat-obat anti-depressant dan obat penenang lain. Ini yang harus gue infoin ke psikolognya dia nanti.”

Yerim sudah hendak membuka suaranya lagi namun Ojé lebih dahulu memotong sepupunya itu.

“Beda Yer, gue Psikiater. Kalau yang datang siang nanti itu Psikolog. Kalau gue terapi obat-obatan, kalau Psikolog lebih ke psikososial atau ke behavior.”

“Sorry memutus percakapan, but here you are ladies. Enjoy the meal!” ujar Sam sembari menaruh satu piring besar di depan Yerim dan Ojé.

“Thank you Sam!” pekik Ojé kesenangan.

“You’re welcome, Doctor Park.”

“Ih, Ojé aja gak usah pake dokter park segala!”

Yerim masih terdiam, berusaha mencerna semua info yang baru ia dapatkan. Namun tangannya seakan bekerja secara otomatis menyendok makanan dan memasukkannya ke dalam mulutnya.

“Jé, satu lagi pertanyaan.”

“Hm?”

“Seungwan kapan bangun?”

Ojé mengetuk layar ponselnya, memeriksa waktu saat itu. “Soon, I guess. Dosis yang gue kasih semalam nggak tinggi kok. Jadi kira-kira satu atau dua jam lagi, harusnya udah bangun.”


21 Desember 2021

22:10

srek! srek!

Yerim mengerjapkan matanya beberapa kali saat mendengar suara langkah kaki melewati tempatnya tertidur. Matanya cukup kesulitan untuk menyesuaikan dengan cahaya secara cepat, namun dari bayangan sosok yang melewati ruang tengah, dapat ia pastikan bahwa sosok itu adalah Seungwan.

Malam itu Yerim berinisiatif untuk menjaga Seungwan lebih dulu ketimbang Ojé dan Sam. Pagi tadi ia sudah cukup mendengarkan do and donts dari Ojé yang harus ia lakukan ketika menghadapi Seungwan di masa-masa sulit seperti ini.

“Wan?” panggil Yerim yang masih mengusap kedua matanya.

“Hmm?”

Pelajaran pertama dari Ojé, biarkan Seungwan untuk mengekspresikan perasaannya.

”Dari kecil Seungwan selalu di dikte sama bokapnya, jadi Seungwan nggak terlalu vokal dalam menunjukkan perasaan dia. Well, maybe lo liat Seungwan orangnya cerewet banget but she never talked about her emotion, unless she was pressed to.”

“Lo laper?” tanya Yerim asal.

Seungwan menggelengkan kepalanya.

“Lo haus? Gue tadi lagi pengen delivery apa gitu eh malah ketiduran.” ujar Yerim lagi yang kini ikut berada di sisi Seungwan.

Sang pemilik apartemen tengah duduk di kursi bar yang terletak di area ruang makan. Matanya sedang menerawang jauh.

Melihat posisi Seungwan, sejujurnya Yerim sudah was-was jikalau ternyata malam itu Seungwan memilih untuk menenggak minuman beralkohol miliknya.

Pelajaran kedua dari Ojé, jangan terlalu cepat menyimpulkan tindakan Seungwan. Hal ini justru membuat Seungwan akan melakukan persis seperti apa yang disimpulkan.

”Seungwan anaknya rebellious, semakin lo tantang semakin dia bakal buktiin hal itu ke lo.”

Yerim menggigit bibirnya, ia cukup bingung harus berbuat apa sekarang. Ia cukup bingung topik seperti apa yang harus ia bicarakan sekarang. Namun Yerim tahu, ia harus segera berbicara atau Seungwan akan merasa bahwa saat ini Yerim sedang berhati-hati dalam menghadapi dirinya.

Tangannya secara otomatis mengambil ponsel yang ia simpan di saku piyama yang ia kenakan, berusaha mencari topik.

“Gue dikirimin ini sama Kak Jen.” ujar Yerim, menunjukkan foto Joohyun yang tengah memimpin sebuah pertemuan informal di suatu jamuan makan.

Yerim terus menunjukkan foto-foto Joohyun yang ia miliki sembari menjelaskan pada Seungwan tentang cerita dibalik setiap foto yang ia tunjukkan.

Awalnya Seungwan terlihat tidak terlalu responsif, namun lama kelamaan ia ikut melihat foto-foto yang ditunjukkan oleh Yerim. Si bungsu keluarga Bae kemudian perlahan menyerahkan ponselnya pada Seungwan, membiarkannya menavigasi secara mandiri atas galeri-galeri ponsel milik Yerim.

“Ini kapan?” tanya Seungwan yang kini tengah menatap foto Joohyun tengah memegang sebuah pancingan sembari terduduk di ujung dermaga, seorang diri.

“Itu…hmm….” Yerim berusaha mengingat-ingat.

“Ohh!! Inget nggak beberapa tahun lalu Kak Taeyeon menang penghargaan dari luar gitu? Nah terus seperti biasa, nyokap gue yang suka mengadakan acara keluarga akhirnya ngide buat bikin pertemuan keluarga besar gitu, di Swiss.”

Seungwan mengangguk.

“Itu kita yang muda-muda, ngide buat camping. Kalo orang tua sih pada di villa. Ya seperti biasa, kakak gue dan Kak Taeyeon yang lebih bertanggung jawab akhirnya yang ngerjain hampir semuanya. Disitu harusnya yang mancing ada 3 orang. Kakak gue, Kak Jen, sama gue. Sedangkan Kak Kibs sama Kak Taeyeon plus Ojé harusnya yang masak. Nah gue sama Kak Jen nggak tahan duduk kelamaan, akhirnya kita ninggalin kakak gue sendirian.”

Tawa kecil terdengar datang dari mulut Seungwan. “Joohyun selalu kayak gini ya?”

“Hm?”

“Dia selalu milih buat nanggung tanggung jawab sendirian. Padahal dia bisa aja ikut kalian buat nyerah mancing dan tinggal beli makanan jadi.”

“Oh, iya. Ya emang gitu sih orangnya, nggak mau orang lain repot tapi justru bikin diri sendiri repot. Suka berlebihan emang.”

Jemari Seungwan kembali mengusap layar ponsel Yerim, menavigasikan mereka menuju foto-foto lainnya. Sementara itu Yerim kini sudah mulai tenang karena Seungwan sudah terlarut dengan cerita-cerita tentang kakaknya. Si bungsu kemudian memilih untuk menyeduh dua cup mi, satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Seungwan.

“Ini….”

Yerim mengintip sejenak ke arah layar ponselnya.

“Oh, itu mantannya Kak Jen. A model. Putus gara-gara nggak kuat LDR. Tapi masih berhubungan baik kok sama kita-kita.”

“Deket sama Joohyun?”

“Lesson number one, Kakak gue itu jauh lebih ke-ibu-an dari Kak Taeyeon. Jadi kalau ada apa-apa sama kita semua, pasti ngadunya ke kakak gue. Kalau Kak Taeyeon lebih ke sosok kakak aja gitu, tapi kalo kakak gue udah kayak orang tua. Jadi misal nih ada yang baru pacaran gitu, pasti kakak gue bakal usaha lebih buat tau tentang orang itu. Hmm….” Yerim mengaduk pelan mi yang ia seduh, sembari berusaha memikirkan kalimat yang tepat.

“Gampangnya, kakak gue mau buat orang itu nyaman dan dianggap jadi bagian keluarga. You can say, kakak gue mirip banget sama nyokap gue untuk hal ini.”

Seungwan tersenyum menyetujui ucapan Yerim.

Jemarinya kembali mencari-cari foto Joohyun secara acak dan kali ini matanya tertuju pada satu foto Joohyun yang mengenakan knit-shirt berwarna oranye.

“Whoops, you are not supposed to see that. Tapi udah terlanjur.” ujar Yerim santai sembari mengangkat bahunya.

“Huh?”

“Err, ya itu…hm… aduh mampus sih gue ini. Lo janji dulu ya, don’t say a word to her. Kalo dia sampe tau, bisa mampus sih gue.”

Seungwan menatap Yerim tidak paham, namun ia tetap menganggukkan kepalanya.

“Err… itu how am I supposed to say this?” Yerim menggaruk pelipisnya pelan. “Itu, waktu gue nemenin kakak gue buat bikin cincin nikah kalian. Gue cuma nemenin aja, itu semuanya dia yang milih dan ngurus. Sumpah sih, capek banget hari itu. Gue seharian nemenin liat-liat possible venue, terus kakak gue segala ngide bikin cincin hari itu juga.” keluh Yerim.

Si bungsu tidak menyadari bahwa ia telah membeberkan rahasia jauh lebih banyak dari apa yang seharusnya ia beberkan. Membuat Seungwan terdiam seribu bahasa. Selama ini ia kira mereka belum menyiapkan apapun, namun ternyata Joohyun sudah secara diam-diam menyiapkan beberapa hal?

“K-kalian kemana?”

“Banyak Wan! Mulai dari hotel-hotel di sekitar pantai, terus gue juga nyari alternatif ke hotel yang di area mereka ada danaunya. Intinya yang di tepi-tepi perairan gitu. Kata kakak gue, lo suka sama tempat-tempat kayak gitu soalnya. Terus kan gue ngide ke kakak gue buat sewa aja tu aquarium gede yang tempat wisata itu, tapi kakak gue nolak. Katanya harus outdoor. Lu kalo mau nikahan, kagak usah ribet-ribet ngide ya Wan. Sumpah deh, setiap kata yang keluar dari mulut lo tuh pasti bakal direalisasiin sama kakak gue.” ujar Yerim santai.

Si bungsu masih terlalu fokus menyantap mi yang ia seduh, sampai-sampai ia tidak menyadari perubahan emosi yang terjadi dalam diri Seungwan. Perlahan tetes demi tetes air mata membasahi wajah Seungwan dan jatuh ke layar ponsel Yerim, bahunya pun ikut bergetar semakin kencang setiap Seungwan berusaha untuk menahan tangisnya.

Isakan pelan dari Seungwan-lah yang kemudian membuat Yerim menyadari keadaan sahabatnya itu. Dalam kondisi panik, Yerim buru-buru meminggirkan cup mi yang tadi ia pegang, kemudian ia merangkul bahu Seungwan dari samping.

“K-kok tiba-tiba nangis woy?” tanya Yerim panik sembari menepuk-nepuk pelan bahu Seungwan.

“K-Kemarin gue ketemu bokap gue dan gue bilang dia egois karena cuma mikirin perasaan dia aja. T-tapi gue baru sadar kalo gue juga egois. Gue cuma mikirin betapa sakitnya gue dan ngerasa sebagai orang paling menderita. I failed to pick up Joohyun's sincerity. Yang lo ceritain, itu semua emang salah satu tempat yang pernah keluar dari mulut gue, but we only talked about it over lunch, dinner, going to work, or maybe just simply when we cuddle and had quality time. Joohyun dengerin semua hal yang keluar dari mulut gue, padahal itu cuma obrolan ringan aja bagi gue.”

Seungwan menyeka air matanya untuk sejenak, kemudian memberi sedikit jeda sebelum ia menatap Yerim dengan lekat.

“G-gue nggak ngerasa pantes buat Kakak lo setelah apa yang dia lakuin buat gue. Lo liat kan yang kejadian tadi malem? Gue bakal gitu terus Yer. Bahkan disini…” Seungwan menunjuk ke pelipisnya, bermaksud untuk menunjukkan pada isi kepalanya.

“Bahkan gue masih sering mikir hal yang nggak-nggak. Gue masih se-insecure itu, gue masih negative thinking sama banyak hal. Gue masih marah gak tau sama siapa. I'm a defected goods and Joohyun deserves someone better.”

“Hey… lo jangan ngomong gitu ya? Yang berhak nentuin siapa yang pantes sama Kakak gue, ya cuma dia doang dan kita semua tau siapa yang dia sayangin kan? Itu, lo Seungwan. It's okay kalau lo sekarang masih ada di titik ini. Tapi ayo, kita pelan-pelan maju ke titik yang lebih baik. Banyak yang mau bantu lo, Seungwan. Banyak yang sayang sama lo, jadi lo jangan ngerasa sendirian ya? Also, no one is a perfect goods. We are all defected, cuma maybe ada orang yang sadar dan ada yang belum sadar. Ada yang tingkat defect-nya tinggi dan ada yang rendah. That's life and it sucks. But once we overcome it, we can see the world in a brighter way.”

“Oh my God harusnya tadi gue rekam ga ucapan gue? Pasti Kakak gue takjub deh gue bisa bijak gini.” canda Yerim menutup ucapan panjangnya.

Namun candaan Yerim tidak digubris sama sekali oleh Seungwan. Suara tangisnya justru semakin kencang dan kini menarik perhatian Ojé yang terlihat terburu-buru berjalan keluar dari kamar yang pagi tadi ditempati oleh Yerim.

Ojé memberikan kode pada Yerim, menanyakan apa yang terjadi. Namun si bungsu hanya menggelengkan kepalanya, memberikan tanda untuk tidak bertindak apapun dan membiarkan Seungwan menumpahkan perasaannya malam itu.


23 Desember 2021

22.10

Hari itu merupakan hari ketiga Yerim menginap di apartemen milik Seungwan. Kali ini ia ditemani oleh Sooyoung dan Seulgi yang tadi menyusul setelah jam kerja usai.

Bukan tanpa alasan Yerim meminta Sooyoung menemani dirinya dan Seungwan. Menurut Yerim, Sooyoung adalah sosok yang tepat untuk dijadikan teman berbicara bagi Seungwan untuk saat ini. Ditambah Sam dan Ojé malam itu tidak bisa bermalam di apartemen Seungwan karena ada hal lain yang membutuhkan perhatian mereka pula.

Walau demikian, Yerim merahasiakan kejadian tempo hari dari Sooyoung dan Seulgi. Menurutnya jika Sooyoung dan Seulgi harus mengetahui hal tersebut, maka itu adalah hak dari Seungwan untuk menceritakan secara langsung.

Sore tadi berjalan cukup mulus bagi Yerim. Seungwan terlihat lebih ceria dengan kehadiran Sooyoung dan Seulgi. Mereka bahkan sempat bermain kartu dan menghadiahi yang kalah dengan hukuman.

Namun raut wajah Seungwan sedikit berubah tatkala Seulgi diharuskan untuk mengangkat telepon yang masuk dari Joohyun. Tentu saja Sooyoung juga menyadari hal ini namun tidak ada satu pun diantara mereka yang menanyakan hal ini secara langsung kepada Seungwan.

Barulah saat mereka bersiap untuk tidur, Seungwan dan Yerim tidur di kamar utama sedangkan Sooyoung dan Seulgi tidur di kamar tamu, Seungwan sempat mengutarakan perasaannya pada Yerim.

“Joohyun... apa hari ini dia ngekontak lo, Yer?”

Yerim tidak sampai hati untuk berkata bahwa kakaknya memang mengontak dirinya hari itu, akhirnya ia memilih untuk berbohong dan mengatakan yang sebaliknya.

“I see, mungkin dia sibuk. Gue aneh banget ya? Gue yang minta break tapi gue juga yang minta di kejar. Cuma, gue kangen aja sama kakak lo. Sorry Yer, kayaknya lagi moody aja gue.”

Namun senyuman getir yang ditunjukkan oleh Seungwan setelahnya sangat membekas diingatan Yerim. Ia kemudian menyampaikan hal ini pada Ojé dan sepupunya itu menyampaikan bahwa hal tersebut adalah wajar. Seungwan memang masih belum stabil.

Yerim menatap langit-langit kamar yang ia singgahi sembari sesekali melirik ke arah Seungwan yang terlelap disampingnya. Sahabatnya itu terlelap dengan sangat pulas, memeluk bantal yang biasanya digunakan oleh Joohyun. Ia pun menggunakan baju tidur milik Joohyun. Sebuah kesengajaan yang dilakukan oleh Seungwan dengan alasan ia ingin menghirup aroma tubuh Joohyun yang mampu memberikannya ketenangan.

“I never knew loving someone could be this hard for some people. I hope you two can go through all of this.” batin Yerim.