Time Spent Walking Through Memories part. 4-15

20 Desember 2021

Ting!

Dentingan suara elevator memenuhi indera pendengaran Seungwan, membuatnya tersadar untuk segera meninggalkan ruang sempit tersebut.

Dengan tangannya yang bergetar, ia berusaha secepat mungkin memasukkan angka demi angka password apartemen miliknya.

Instingnya membawa Seungwan berjalan menuju wine cellar miliknya dengan harapan jika ia mabuk malam ini, setidaknya ia bisa melupakan ingatan tentang percakapan antara dirinya dan kedua orang tuanya.

Ia bertanya-tanya, apa salahnya sehingga ia harus terlahir dari keluarga yang benar-benar berantakan seperti ini.

Flashback

Perhelatan malam itu telah selesai dengan sukses.

Sang solois berjalan dengan langkah tegap dan senyuman manis yang terpampang di wajahnya, melewati puluhan artis lainnya yang juga menghadiri perhelatan malam itu.

Mereka saling menyapa satu sama lain dan tak sedikit pula yang mengucapkan selamat pada Wendy atas kemenangannya. Sesampainya di ruang tunggu yang ia gunakan malam itu, Wendy disapa oleh teriakan antusias dari timnya. Make-up artist, hair stylist, fashion stylist, semua memberikan selamat padanya dan memeluk dirinya dengan hangat.

Tak lupa Wendy memberikan beberapa patah kata, sebagai rasa terima kasihnya pada tim yang selama ini berada di balik layar untuk mendukung dirinya. Matanya bergerak kesana-kemari, menatap satu demi satu timnya dengan harapan kata-katanya dapat tersampaikan dengan baik.

Ditengah-tengah pidatonya, mata Wendy bertemu dengan mata milik Sam dan pria itu mengacungkan ibu jarinya ke arah Wendy disertai dengan senyuman bangga.

Setelah ia selesai dengan pidato singkatnya, Wendy memeluk Sam dan membisikkan satu kata terima kasih yang paling tulus pada pria itu. Sam tersenyum dan membalas pelukan Wendy tak kalah erat. Entah kenapa hari ini Ia merasa Wendy lebih emosional.

“Foto dulu, terus upload di sosmed!” canda Sam saat mendengar rengekan Wendy untuk segera pulang.

Sang solois tertawa kemudian menatap piala yang ada di tangannya dengan penuh suka cita. Rasanya semua waktu, tenaga, dan biaya yang sudah dikeluarkan selama ini terbayar sudah.

“Oke! Tapi habis ini langsung pulang!”

“Ya, pulang ya. Bukan pulang terus mampir dugem.” goda sang manajer.

Wendy mendengus kesal saat ia melihat beberapa orang timnya tertawa. Ia kemudian mencari spot yang bagus untuk mengambil beberapa swafoto, sembari membiarkan timnya membereskan ruangan tersebut.

Tiga foto ia ambil, namun hanya ada satu yang akhirnya ia putuskan untuk ia unggah. Tak lama kemudian ponselnya mulai dihujani notifikasi-notifikasi dari sosial media miliknya serta beberapa pesan dari keluarga.

Ia tersenyum saat melihat pesan singkat dari Mamanya. Ini adalah kali pertama ia mendapatkan ucapan selamat seperti itu dan sontak dadanya seakan penuh dengan perasaan bahagia.

Matanya kemudian menemukan beberapa pesan singkat lainnya. Ucapan selamat dari Bunda, serta teriakan-teriakan dari Sooyoung dan Yerim di grup mereka.

Tepat saat ia hendak membalas pesan-pesan tersebut, ia mendengar suara bariton dari pria yang sangat ia benci.

“Seungwan…”

Napas Seungwan tercekat mendapati Papanya berdiri tak jauh dihadapannya bersama dengan wanita yang juga ia benci.

“Kalian udah gila?” desis Wendy.

Mata sang solois segera mencoba melihat sekeliling dengan khawatir.

“Papa harus seperti ini untuk bisa bicara dengan kamu.”

Saat itu sungguh rasanya ia ingin berteriak sangat kencang. Ada alasan mengapa ia sangat membenci Papanya dan hari ini ia kembali diingatkan tentang hal itu.

Rahang Wendy mengeras, tangannya menggenggam erat pialanya sampai-sampai ia dapat merasakan telapak tangannya yang mulai merasa sakit karena harus beradu dengan ujung-ujung tajam dari piala tersebut.

“Nggak ada yang harus dibicarakan lagi.” sergah Wendy yang langsung membalikkan badannya dan meninggalkan tempat tersebut.

Namun malam itu Tuan Son pun sama keras kepalanya dengan putrinya. Ia berjalan mengikuti Wendy menuju ruang tunggu walau Kathrine pun sudah menarik lengannya pelan, memberikan isyarat untuk meninggalkan Wendy malam ini.

Sementara itu sang putri mempercepat langkahnya meninggalkan Tuan Son dan Kathrine, bahkan jika bisa ia ingin segera meninggalkan tempat ini sekarang juga. Sayangnya, harapannya ini tidak terlaksana kala ia kebingungan melihat timnya menyapa dirinya dengan sedikit membungkuk seakan-akan segan terhadap dirinya.

Lagi-lagi suara bariton milik Tuan Son menyapa pendengaran Wendy.

“Tolong tinggalkan ruangan ini, saya ingin berbicara dengan Seungwan.”

Mendengar perintah tersebut, tentu saja otomatis mereka meninggalkan ruangan tersebut tanpa banyak bicara walaupun mereka sempat melihat ke arah Wendy dengan penuh tanya. Bukan rahasia bagi tim kecil ini jika hubungan Wendy dan Tuan Son tidak terlalu baik. Namun bukan itu saja yang membuat mereka bingung, melainkan kehadiran sesosok wanita lainnya yang tidak mereka kenali sama sekali.

“Bagaimana kabar kamu, Seungwan?” tanya Tuan Son membuka percakapan.

Rasanya Wendy ingin berteriak pada pria yang selama ini ia panggil Papa. Bagaimana mungkin dia datang seakan tidak terjadi apapun? Bukankah selama ini Wendy sudah cukup mengirimkan sinyal bahwa ia tidak ingin berurusan lagi dengan Tuan Son dan Kathrine? Bahkan pertengkaran hebat antara dirinya dan Joohyun disebabkan oleh dua manusia yang lagi-lagi tanpa ada aba-aba muncul di kehidupannya.

“Nggak cukup aku bilang kalau aku udah gak mau lihat wajah kalian lagi?” tanya Wendy tanpa menatap Tuan Son dan Kathrine. Ia lebih memilih untuk menyibukkan dirinya dengan merapikan barang bawaannya dan memasukkannya ke dalam tas yang ia bawa.

“Apa kabar Joohyun? Papa lihat hubungan kalian makin hangat.”

Miris.

Wendy menggelengkan kepalanya kecil. Sosok laki-laki ini benar-benar tidak mengenali putrinya sendiri.

“See? Pilihan Papa menjodohkan kamu dengan Joohyun tepat kan? Papa selalu mau yang terbaik untuk kamu, Seungwan.”

Ucapan Tuan Son memantik amarah yang sudah ditahan oleh Wendy. Sang putri memutar tubuhnya dan menatap Tuan Son dengan penuh kebencian.

“Stop! Hubungan aku dan Joohyun nggak pernah ada sangkut pautnya sama Papa! Fine! Papa memang orang yang ngenalin aku ke Joohyun dan menjodohkan kami. Tapi itu semua atas dasar paksaan dan rasa egois Papa! Jangan pikir aku nggak tau niat buruk Papa! Setelah aku kenal Joohyun, I understand how powerful her family is! Itu kan yang Papa incar? Seperti waktu Papa nerima perjodohan dengan Mama.” sergah Wendy.

“Dari awal Papa itu egois tau nggak? Papa nggak pernah dengerin siapapun! Papa nggak peduli sedikitpun sama aku! Papa tau aku punya trauma dan Papa tetap pilih untuk mengabaikan fakta itu! Bahkan Papa dengan egois tetep ketemu sama dia! You know I have a fucking trauma!” tambah Wendy yang kini menunjuk Kathrine dengan penuh kebencian.

“Bahkan ketika aku ngomong langsung di depan muka Papa, betapa aku nggak suka lihat pelakor ini ada di kehidupan kita, Papa tetap pilih dia daripada aku! Papa inget, siapa yang Papa belain di acara kantornya Joohyun? Papa inget siapa yang belain aku pas aku ditampar sama Papa di depan umum? It hurts me, Pa! Bukan tamparan Papa, tapi fakta bahwa waktu itu aku langsung tau siapa orang yang lebih berarti buat Papa.”

“Stop Seungwan, kamu nggak bisa bersikap keras kepala seperti ini. Selama ini kamu ingin jawaban dari Papa dan sekarang Papa siap untuk kasih semua jawaban itu sama kamu.”

Wendy mengeratkan genggamannya pada ponsel miliknya. Ia tahu jika ia tidak menggenggam ponselnya dengan erat bisa saja ponsel tersebut sudah ia lempar tepat ke wajah Tuan Son atau bahkan Kathrine.

“Yang kasih aku jawaban itu Joohyun! Dia yang selalu bantu aku menghadapi semua kegilaan Papa! Papa dan dia….” ujar Wendy menunjuk wajah Kathrine, “Kalian berhutang budi sama Joohyun. Joohyun orang yang mau ngertiin aku, dia mau reach out ke aku bahkan mau terima aku dan nolong aku even after she knows what happened to our family! Papa tau betapa sering aku malu sama Joohyun? Papa tau berapa kali aku nggak sanggup untuk natap Joohyun? atau Papa pernah mikir nggak sih kalau Papa itu juga egois sama Joohyun? Papa sengaja ngasih defected goods like me ke Joohyun, cuma buat bikin Papa puas aja bisa deket sama keluarga Joohyun yang powerful kayak gitu. You know you are nothing, Pa. You were something thanks to Mama.”

“Karena Papa udah egois selama ini, gantian aku yang akan egois. Kalau Papa bisa nggak peduli sama aku, aku juga bisa nggak peduli sama perasaan Papa. Stop dateng di kehidupan aku sama Joohyun. Stop berusaha reach out ke siapapun yang berhubungan sama aku. I am so fucking lucky, I met Joohyun and her family. So it is my responsibility to keep them safe from you. Kalau Papa masih berusaha egois dan melakukan hal gila kayak gini lagi, next time aku nggak akan segan pakai cara kasar.”

Wendy berjalan melewati Tuan Son dan Kathrine. Ia sudah terlalu muak berada di satu ruangan dengan kedua orang tersebut. Sejujurnya ia pun cukup takjub bisa bertahan selama itu di dalam satu ruangan yang sama dengan mereka.

“S-Seungwan…”

“Stop! Jangan pernah panggil namaku!” bentak Wendy tepat saat Kathrine berusaha menyentuhnya. Wendy menyentakkan tangannya yang hendak digapai oleh Kathrine.

“B-biarkan kami berusaha untuk memperbaiki ini semua, S-Seungwan.” pinta Kathrine dengan suara lirih.

Yang terjadi selanjutnya cukup mengejutkan Wendy karena Kathrine berlutut di depannya.

“K-Kami salah. Kami tau itu. Sekarang kami ingin memperbaiki ini semua, Seungwan. Papa kamu dan S-saya… kami ingin menebus kesalahan kami. Tolong beri kami kesempatan satu kali ini saja. Sudah cukup kami kehilangan adik kamu, sekarang kami tidak ingin kehilangan kamu juga, Seungwan.”

Ucapan Kathrine membuat napas Wendy tercekat.

Ia punya adik?

“Kalian gila. Kalian sungguh gila. Mungkin ucapan aku ini kasar, tapi beruntung dia sudah meninggal karena apa kalian bisa bayangin betapa anehnya keluarga dia? Ibunya menikah dengan pria lain dan Ayahnya juga sudah punya mantan istri. Kedua orang tuanya bahkan tidak pernah menikah. Lalu kakaknya? Seseorang yang punya banyak skandal dengan penyakit mental. Kalau kalian nggak mau datang pemakaman anak kalian untuk kedua kalinya, aku saranin gak usah pernah coba datang ke kehidupanku lagi. Udah tau kan aku hampir mati beberapa bulan lalu? Kalau kalian seperti ini terus, nggak menutup kemungkinan next time aku mati beneran.”

End of Flashback

Wendy menatap alkohol yang ada di genggaman tangannya sembari tersenyum miris. Mungkin memang lebih baik ia mati dulu baru Tuan Son akan paham betapa seriusnya ia dengan ucapannya.

”I guess, so…” ujar Wendy pada dirinya sendiri

Ia kemudian berjalan ke arah kamarnya kemudian mencari-cari obat tidur yang selama ini ia simpan disana. Sang solois bersimpuh di depan nakas yang terletak tepat di sebelah kasur miliknya dan tak butuh waktu lama baginya untuk menemukan obat-obatan tersebut karena memang ia cukup sering mengkonsumsi obat tersebut. Setelah menemukannya, Wendy kemudian membuka botol alkohol tersebut dan siap untuk menenggaknya namun matanya justru tertuju pada sebuah bingkai foto yang terletak di atas nakas.

Foto dirinya dan Joohyun saat perayaan hari anak. Mereka berdua terlihat sangat bahagia di hari itu. Tiba-tiba Wendy merasakan ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongannya dan dengan cepat ia mengalihkan pandangannya ke sudut lain dari ruangan tersebut.

Namun lagi-lagi ia justru melihat foto-foto lain dan memori-memori antara dirinya dan Joohyun.

”Saya sengaja taruh fotonya disini. Supaya pas kamu baru bangun tidur, langsung lihat wajah saya.”

”Foto ini lucu ya? Kayak simulasi waktu besok kita sudah benar-benar jadi keluarga kecil. Ada saya, kamu, dan nanti calon anak kita. Jujur saya takut hamil, jadi kayaknya saya milih adopsi anak aja deh hehe Kalau kamu gimana Seungwan?”

Seungwan.

Secara otomatis hatinya membandingkan dua perasaan yang jauh berbeda yang ia rasakan saat mendengar panggilan itu dari Papanya dan juga dari Joohyun. Betapa ia sangat membenci nama itu saat keluar dari mulut Papanya. Sedangkan ia justru sangat menyukai ketika mendengar panggilan itu datang dari Joohyun.

Ingatan-ingatan itu membuat Wendy merasa sangat bersalah pada Joohyun karena nampaknya ia akan mengingkari janjinya pada Joohyun.

Dengan tangan yang gemetar, Wendy meraih ponselnya dan menekan speed dial nomor satu miliknya yang langsung menghubungkan teleponnya dengan nomor milik Joohyun.

”Halo?”

“J-Joohyun…”

”Halo maaf ini siapa?”

Kening Wendy mengernyit. Suara ini bukan milik Joohyun. Siapa wanita ini? Jelas sekali ini bukan suara Jennie ataupun Minjeong.

Pikiran-pikiran negatif memenuhi kepalanya namun Wendy tahu, Joohyun tidak mungkin melakukan semua itu. Joohyun berbeda dengan Papanya. Joohyun tidak mungkin mengkhianati dirinya.

Tiba-tiba ia merasa mual saat kepalanya itu memutar kembali memori masa kecilnya namun kini bukan Papanya dan Kathrine yang ia lihat. Namun Joohyun dengan wanita asing itu.

Dengan cepat Wendy berlari ke arah kamar mandi untuk menumpahkan isi perutnya.

”Nggak mungkin… Nggak kan?”


“Wen? Wendy? Ini Taeyeon, Wen!” ujar Taeyeon pada interkom.

Ia bersumpah harusnya tadi ia tidak tinggal diam saat melihat Tuan Son masuk ke ruang tunggu milik Wendy. Harusnya ia tadi tidak melakukan interview singkat atas kemenangannya. Harusnya ia tidak meninggalkan Wendy sendirian.

Beberapa saat kemudian ia mendapati Sam keluar dari elevator dengan wajah yang sama khawatirnya dengan dirinya.

“Ini apa passwordnya?!”

Sam menggeleng, “Wendy baru ganti passwordnya dan dia rahasiain itu dari semua staffnya. Dia bilang dia nggak mau tiba-tiba ada yang masuk karena Irene juga sekarang tinggal sama dia.”

Taeyeon mengusap wajahnya dengan kasar. Ia kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi Ojé serta Yerim secara bergantian.

“Dimana?!”

Namun belum sempat ia mendengar jawaban, Taeyeon mendengar suara elevator berdenting sekali lagi dan membuatnya mengalihkan pandangan untuk sejenak. Sebuah helaan napas penuh syukur keluar dari mulutnya setelah melihat Ojé dan Yerim berjalan keluar dari elevator tersebut.

Taeyeon dan Sam yang berdiri di depan pintu apartemen Seungwan langsung memberikan ruang bagi Ojé untuk memasukkan password pintu tersebut.

“Kok lo disini?” tanya Yerim pada Sam, nada bicaranya sedikit ketus.

“Long story short, Seungwan hampir kabur kayak biasa. Tapi gue tadi sempet maksa dia buat gue anterin. Terus pas sampe di lobby dia langsung minta turun, ya gue kan harus parkir mobil dulu.” jelas Sam.

Beep!

Ojé dan Taeyeon langsung mendorong pintu apartemen setelah mendengar tanda bahwa password yang dimasukkan telah diterima. Tanpa sadar Ojé menghela napas lega saat melihat keadaan apartemen tersebut yang sangat rapi.

“Kak gue ke kamar Kak Joohyun.” ujar Ojé yang dibalas dengan anggukan oleh Taeyeon yang sudah berjalan terlebih dahulu ke studio musik pribadi milik Seungwan.

Yerim dan Sam memilih untuk menyisir daerah lain dari sisi apartemen tersebut. Entah mengapa insting Yerim mengatakan bahwa sahabatnya itu ada di kamar utama. Ia ingat betul kakaknya bercerita bahwa sejak hubungan mereka membaik, Joohyun dan Seungwan sudah berbagi kamar.

Si bungsu dari keluarga Bae berjalan dengan cukup terburu-buru sembari mengucap doa-doa kecil dalam hatinya. Memori tentang apa yang Joohyun ceritakan padanya beberapa bulan lalu cukup membuat dirinya bergidik ngeri dan ia berharap kejadian itu tidak terulang kembali.

“Girls!!”

Langkah kaki Yerim terhenti tepat di depan pintu kamar dan dirinya sedikit terkesiap ketika mendengar teriakan Sam dari area ruang makan.

“Be fast! Wine cellar punya Wendy kosong dua slot!”

Mendengar peringatan tersebut, Yerim langsung membuka pintu kamar tersebut. Matanya butuh waktu beberapa saat untuk beradaptasi karena ada perbedaan intensitas cahaya yang masuk ke matanya.

Namun saat ia melihat cahaya dari pintu kamar mandi dan suara samar seseorang dari dalam sana, Yerim langsung berlari ke arah kamar mandi tersebut. Ia bersumpah bahwa dirinya tidak pernah berlari sekencang itu.

”No…No…”

“Seungwan!”

Yerim bersimpuh di sebelah Seungwan yang sedang memuntahkan isi perutnya. Tangannya bergerak naik-turun di punggung Seungwan, berharap dapat memberikan kehangatan bagi sahabatnya itu.

“It’s okay, It’s okay. Ini gue, Yerim.” bisik Yerim yang sama sekali di hiraukan oleh Seungwan.

Tak lama kemudian ia menyadari satu botol alkohol yang tergeletak di dekatnya dan ada satu botol yang sudah kosong di dekat wastafel.

Jika tebakannya benar, Seungwan belum minum sedikitpun karena ia tidak bisa mencium bau alkohol dari tubuh Seungwan. Tetapi sahabatnya itu membuang cairan-cairan tersebut lewat wastafelnya.

Yerim menolehkan kepalanya saat ia merasa ada seseorang yang berdiri di belakangnya dan menemukan Taeyeon sudah berada disana. Ia memberikan tanda pada Yerim untuk tetap tenang sembari dirinya mengambil satu per satu botol-botol alkohol tersebut.

Namun mata Taeyeon membulat saat ia menyadari bahwa ada satu botol yang sudah kosong.

”Wastafel” ujar Yerim tanpa bersuara.

“Wan… udah ya. Lo dari tadi nggak muntahin apapun Wan.” ujar Ojé yang kini juga sudah berada di sana, ia bertukar posisi dengan Yerim.

“My head hurts. I keep hearing voices.”

Ojé menatap ke arah Taeyeon tepat saat mendengar jawaban dari Wendy.

“It’s okay, it’s okay. Itu semua nggak nyata. Yang nyata itu lo, gue, ada Yerim juga dan Kak Taeyeon. Kita yang nyata, okay? Suara itu nggak nyata.”

Wendy mengangguk. “Gue takut banget, jé. Gue pengen mati aja tapi gue juga takut mati. Gue nggak mau ninggalin kalian, gue nggak mau ninggalin Joohyun.”

“Seungwan, lo gak boleh mikir gitu. Jangan pernah mikir gitu!” ujar Yerim yang terkejut saat mendengar reaksi dari Wendy. Sangat wajar, ini adalah kali pertama Yerim menemui Wendy dalam keadaan yang demikian.

Suara Yerim menyadarkan Wendy bahwa saat itu adik dari Joohyun juga ada disana. Ia menatap Yerim dengan lekat, berusaha untuk mengucapkan kalimat selanjutnya.

“T-tadi gue denger suara cewek lain pas gue telpon Joohyun. Apa kakak lo udah muak sama gue juga ya?”

Yerim menggeleng cepat, kini ia pun terlarut dalam emosinya saat melihat kondisi sahabatnya yang seperti itu. Tak terasa tetes demi tetes air mata membasahi pipinya pula.

“Nggak mungkin. Kakak gue bucin banget sama lo! Dia sayang banget sama lo, Seungwan. Jadi stop mikir yang buruk, ya? Ojé bener, itu semua nggak nyata. Kita istirahat aja ya?”

Yerim dan Ojé hendak membantu Wendy untuk bangkit namun sang solois justru meronta dan menolak bantuan Yerim maupun Ojé.

“Please, Jé gue nggak mau tidur. Kalo tidur, gue bakal denger suara-suara itu lagi. Gue nggak mau mimpi buruk, jé. Gue capek.”

Taeyeon dan Ojé lagi-lagi kembali bertukar tatapan, membuat Yerim yakin bahwa kejadian seperti ini bukan yang pertama kali.

“Malem ini lo nggak sendirian, Seungwan. Ada gue, Ojé sama Yerim yang nemenin. Jadi lo istirahat ya? Kita bakal jagain lo, okay?” ujar Taeyeon yang mengambil-alih posisi Ojé.

Sementara itu Ojé justru keluar dari kamar mandi dan membuat Yerim hampir melayangkan protes. Namun tak lama kemudian ia melihat Ojé kembali memasuki kamar mandi tersebut bersama dengan Sam yang berjalan di belakangnya.

“Seungwan, sorry…” bisik Ojé

Yerim sudah hampir menanyakan maksud dari ucapan Ojé namun ia kemudian menyadari jarum suntik yang ada di tangan sepupunya itu dan malam itu untuk pertama kalinya Yerim harus melihat Wendy dalam kondisi terburuknya.