We are all someone's..... (part. 9)

Sang ratu kecil di kediaman keluarga Bae hari ini tampak sumringah. Sejak mendapatkan berita bahwa kakaknya hari itu akan menginap, Yerim sudah merencanakan beberapa hal. Salah satunya their movie night tradition yang menjadi ajang kakak beradik itu untuk bonding, menceritakan keluh kesah satu sama lain.

The movie is just an excuse, truth to be told. Tujuan utamanya tidak lain dan tidak bukan adalah sesi curhat di tengah-tengah menonton film. Semenjak kakaknya pindah, ia telah kehilangan lawan mainnya. Satu-satunya subjek yang bisa ia jahili sekaligus sebagai tempat ia berkeluh kesah.

Yerim melangkah dengan ringan menuju dapur. Sesampainya disana, ia bertemu dengan Wendy yang sepertinya juga baru sampai tak lama sebelum Yerim tiba. Untuk beberapa saat mereka hanya diam, Wendy sibuk membuat jus sedangkan Yerim sibuk menjarah sebanyak-banyaknya makanan sebagai stok untuk nonton film nantinya.

“Mau jus?” tanya Wendy, memberikan tawaran pada calon adik iparnya itu.

“Kalo nggak greenplum, nggak mau.” jawab Yerim santai. Ia masih sibuk mengkalkulasi makanan apa saja yang mau ia bawa.

“On it.”

“Emang ada? Seinget gue kemarin belum nyetok lagi deh.”

“Ada. Kakak lo yang tadi beliin pas di supermarket.”

Mulut Yerim membentuk lingkaran saat mendengar jawaban Wendy, kemudian ia menaruh semua camilan yang ada di tangannya. Kedua manik mata Yerim memandangi Wendy yang sibuk memotong buah-buahan dan memasukkannya ke dalam blender, ia seperti sedang terlarut dalam pikirannya sendiri.

Sementara itu, Wendy yang merasakan bahwa Yerim tiba-tiba berubah menjadi diam, mau tidak mau juga menjadi penasaran. Ia menoleh ke arah Yerim dan mendapati sahabat sekaligus calon adik iparnya itu menatapnya dengan pandangan penuh arti.

“Lo...beneran mau married sama kakak gue?” tanya Yerim tiba-tiba.

Wendy mengangguk mengiyakan.

“It’s still 6 months from now on, more or less, but yes I will marry your sister.”

“Siap siap ya, Seungwan” kata Yerim sambil tersenyum usil, ia sengaja menekankan nadanya saat mengucapkan nama lahir Wendy, nada yang sama dengan yang selalu Irene gunakan.

“Hah?”

“Gue satu paket sama kakak gue. So, lo siap-siap aja. Lagian ya, lo tuh curang tau. Udah ngeskip part dimana lo harusnya minta restu gue dulu! I haven’t give you my blessing, yet.” canda Yerim.

Wendy tertawa, ia paham bahwa Yerim serius dengan ucapannya walau terdengar seperti candaan. Khasnya Bae Yerim, ancaman dibalik sebuah candaan.

“I know, I know. Also Squirtle, gue married sama kakak lo bukan berarti gue ngambil Joohyun dari lo. You’re her precious little sister, she will always love you.”

“Yaudah, bagus deh kalo udah paham. Lo mau ikut nggak?”

“Kemana?”

“Nonton film. Tadinya gue rencananya mau nonton berdua kakak gue doang, tapi setelah gue pikir-pikir boleh juga deh lo ikut.”

Lagi-lagi Wendy tertawa. Irene pernah berkata padanya bahwa Yerim dan sifat kekanak-kanakannya is her own charm and now Wendy agree.

“Beneran nih gue boleh ikut? Tadi kata dia lo mau nonton di kamar lo kan? Joohyun bilang ini kayak bonding lo berdua gitu?”

“Emang. Tapi karena lo juga bakal jadi bagian dari keluarga, gue rasa lo juga boleh ikut. Also, gue mau nonton di kamar kakak gue aja ah. Kasurnya lebih gede, tv-nya juga.” jawab Yerim, tangannya memungut satu per satu camilan yang tadi ia letakkan di meja.

“Dah ah, gue duluan ya. Jus gue tolong bawain ya Wen.” sambung Yerim.

Yang diajak bicara memberikan tanda ‘ok’ pada Yerim, ia tahu mood clingy-nya Yerim sedang muncul. Dulu mungkin Yerim adalah satu-satunya orang yang mendapatkan perhatian dari Irene, namun kini ia harus berbagi dengan Wendy, and vice versa. Sang solois tertawa pelan pada dirinya sendiri.

Funny thing is Wendy tidak pernah menyangka bahwa ia akan berada di posisi ini. Lagi-lagi ia tersadar, sejak bertemu dengan Irene, ia tidak hanya mendapatkan seorang kekasih namun juga mendapatkan sosok orang tua yang hangat dan seorang adik perempuan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

A blessing and a challenge.


Tok! Tok! Tok!

Irene menoleh ke arah Yerim yang tak bergeming dari posisinya. Ia yakin kalau adiknya itu mendengar suara ketukan pintu. Namun sang bungsu yang tahu bahwa kakaknya sedang menatapnya, justru berpura-pura tidak peduli.

“Tck, manjanya kumat.” gumam Irene, ia menggelengkan kepalanya.

Si pemilik kamar bangkit dari kasurnya dan membukakan pintu kamar untuk Wendy. Ia mendengus kesal saat melihat Wendy yang cukup kesulitan membawa tiga gelas serta satu kotak makan.

“Kok kamu mau sih dikerjain Yerim?” protes Irene yang secara otomatis membantu membawakan dua gelas, masing-masing berisikan jus greenplum dan semangka.

Wendy menggelengkan kepalanya, lalu setengah berbisik pada Irene, “Adik kamu lagi jealous.”

“Sama?”

“Aku.”

“Hah?”

“Yuhuuu, ngapain tuh bisik-bisik depan pintu? Cepetan masuk kek, ini filmnya kepaksa gue pause.” celetuk Yerim.

“Nanti aku ceritain. Udah sekarang kamu nurut dulu aja sama Yerim.” potong Wendy singkat, tepat sebelum Irene membuka mulutnya.

Dengan sigap Wendy mencium singkat bibir Irene lalu tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

Irene yang paham betul saat ini Wendy sedang berusaha membujuknya agar tidak keras kepala, akhirnya ia mengikuti instruksi Wendy walau ia tidak bisa menahan untuk tidak memutar bola matanya sekilas.

Ditaruhnya gelas berisikan jus greenplum di nakas yang terletak di sisi sebelah kiri kasur. Lalu ia memutari kasur dan menaruh jus semangka miliknya di nakas sisi kasur yang biasa ditempati oleh Wendy.

“Oh Harry Potter?” tanya Wendy saat menyadari film yang sedang diputar saat ini merupakan film bertemakan penyihir itu.

“Iya, nggak boleh protes.” ucap Yerim.

“Dek-..”

Wendy buru-buru meremas pergelangan tangan Irene untuk menghentikan ucapan Irene dan menggelengkan kepalanya, tanda bahwa kali ini Irene harus lebih banyak mengalah.

“Kak buruan sini, lo ditengah.” perintah Yerim sembari menepuk-nepuk sisi tengah kasur yang masih kosong.

Sang solois tertawa pelan saat melihat perbedaan ekspresi di wajah Yerim dan Irene. Malam ini akan menjadi sangat menarik baginya.


Yerim melirik jam dinding yang ada di kamar milik kakaknya itu, sudah hampir pukul setengah satu dini hari. Malam itu mereka bertiga, Irene, Wendy, dan Yerim maraton menonton film Harry Potter dan saat ini mereka sudah memasuki film ketiga.

Disela-sela menonton film tersebut, tak jarang Irene mengajaknya berbincang-bincang. Menanyakan perkembangan kehidupan pribadinya, menanyakan perkembangan clothing line milik Yerim serta pekerjaan sampingannya sebagai model.

Berbeda dengan Irene yang lebih aktif berbincang dengan dirinya, Wendy justru lebih banyak diam dan mendengarkan. Ia hanya berbicara ketika namanya dipanggil oleh Irene. Walau sekilas Irene dan Wendy terlihat tidak banyak berinteraksi, but actually Yerim knows that her sister is cuddling with Wendy, although it’s not that visible.

Yerim memutar bola matanya untuk kesekian kalinya saat kakaknya tersentak kaget ketika mendengar efek suara yang mengejutkan dari film tersebut.

Alasan ia memutar kedua bola matanya bukan karena kakaknya yang terkejut melainkan karena ia melihat dengan jelas tangan Wendy menepuk-nepuk pelan lengan kakaknya.

“Lebay lo berdua.” decak Yerim.

Irene tidak membalas perkataan Yerim namun tangannya dengan sigap melempar guling ke arah wajah adiknya.

“Cerewet.”

Setelahnya, sang kakak kemudian menarik tangan Wendy dan menaruhnya tepat di perutnya. Ia mencari kehangatan, perutnya mulai terasa nyeri lagi.

“Hyun..” bisik Wendy, ia memberikan peringatan pada Irene. Wendy hanya tidak ingin Yerim salah paham.

Namun saat ia melihat ekspresi tunangannya itu, Wendy menyadari bahwa sang kekasih memiliki alasan mengapa Irene menempelkan telapak tangannya di perut Irene.

“Aku ambilin air anget aja ya? Aku masukin botol terus nanti botolnya ditempel ke perut kamu.” ujar Wendy yang tanpa menunggu respon Irene, langsung menyibak selimut putih yang sedari tadi mereka gunakan dan berjalan keluar dari kamar.

“Dek udah dong lo kayak gininya. Lo ngapain sih?” gerutu Irene saat melihat Wendy sudah keluar dari kamarnya.

“Ngetes cewek lo.”

“Buat apa sih?” tanya Irene dengan kesal.

“Kak, gue cuma liat lo sama Wendy acting lovey dovey. Gue entah kenapa selalu apes liat lo skinshipan mulu sama Wendy. I wanna know if what you have cuma sejauh skinship doang atau Wendy bisa menerima lo jauh lebih dalam dari itu.”

Yerim menekan tombol remot kontrol dan mematikan film yang sedang diputar. Ia mengubah posisi sandarannya menjadi duduk dengan lebih serius.

“Lo berkeluarga itu nggak cuma sebatas lo sama Wendy aja. Wendy harus bisa terima gue, ayah, bunda. Lo juga harus terima orang tua Wendy, dua-duanya. Even when Wendy couldn’t, you should. Back to the topic, gue ngaku malem ini gue sengaja banget ngerjain Wendy but then again, kalo Wendy nggak bisa nanganin gue then she shouldn’t be the part of family. Lo married, itu artinya gue ketambahan anggota keluarga bukan justru gue kehilangan anggota keluarga. Kalau Wendy nggak bisa berbagi lo sama gue atau sama ayah atau bunda, then she’s not good for you.” celoteh Yerim panjang lebar.

Irene tersenyum, tangannya meraih puncak kepala adiknya lalu ia mengacak-acak pelan rambut Yerim, “I like the way you think. Lo udah mulai dewasa, gue jadi tenang deh.”

“Woy gue emang jahil, iseng, tapi bukan berarti gue akan terus kekanak-kanakan ya.” jawab sang adik sembari memutar kedua bola matanya.

“Alright, alright. So, hasil lo malem ini ngetes Wendy apa?”

“I give you my blessings. She’s good for you kak. Gue cuma mau final test aja kok malem ini, gue udah tau sebenernya kalau she’s good for you. Cuma gue kan belom pernah maksa Wendy buat ngalah dan bikin lo cuma merhatiin gue aja.” jawab Yerim. Ia menaikkan jari telunjuk dan jari tengahnya, sembari menjulurkan lidahnya.

“Jadi maksudnya lo cuma mau tau Wendy bakal ngalah sama lo atau nggak?”

Yerim mengangguk, “Ya iyalah. Masa gue yang ngalah? No way! Dah ah, gue mau balik kamar gue. Ngantuk. Besok harus berangkat pagi kan?”

“Lo besok mau bareng ayah bunda atau sama gue?”

“Sama lo lah gila.”

Irene tertawa, “Okay okay. Tapi besok lo janji ya, nggak ada lagi ngerjain Wendy.”

“Iya iya. Anyway kak, kayak yang gue bilang ya, pokoknya lo nikah itu artinya gue nambah anggota keluarga bukan justru kehilangan anggota keluarga. Gue mau lo tetep sering-sering pulang kesini.”

“Iya, gue janji. Selama gue bisa, gue pasti akan sering balik sini.”

“Good. Besok awas ya lo sampe ninggalin gue.”

Irene tidak membalas ucapan Yerim, ia justru hanya tertawa. Sedangkan Yerim yang melihat kakaknya tertawa, memilih untuk melempar bantal ke wajah Irene. Kemudian berjalan ke arah pintu kamar, namun ia berhenti tepat sebelum membuka pintu kamarnya.

“Please banget malem ini lo berdua nggak usah do some adult activity karena gue mau tidur. I’m still your sister dan kamar gue cuma di seberang kamar lo! Imagine lo liat gue french kiss sama Seojun, pasti lo trauma. Sedangkan gue udah liat lo kayak gitu berkali-kali! You don't have to add more traumatic experience for me okay?!” protes Yerim

“Okay, no adult activity.” tawa Irene.

Tak lama berselang setelah Yerim meninggalkan kamarnya, Wendy datang dengan membawa satu botol minum berisikan air hangat seperti yang ia janjikan. Mata Wendy membulat heran saat ia tidak menemukan sosok Yerim di dalam kamar tersebut serta televisi yang sudah dimatikan.

“Udah balik ke kamarnya. Dia bilang mau tidur.” ujar Irene yang memahami isi kepala Wendy.

“Oh...okay... Ngomong-ngomong, perut kamu masih nyeri?”

Irene mengangguk, “My period is coming, I guess.”

“I see, yaudah kamu tiduran aja ya. Nih udah aku bawain air angetnya.”

“Nggak mempan, maunya dipeluk aja.”

Wendy meletakkan botol minum tersebut di atas nakas kemudian ia menghampiri Irene yang sudah di posisi siap untuk tidur. Ia naik ke atas kasur lalu merebahkan tubuhnya dan menyelimuti tubuh mereka berdua.

Suatu kebiasaan yang muncul sejak mereka tidur satu ranjang, Wendy akan memastikan bahwa tubuh Irene benar-benar terselimuti dengan rapat. Ia tahu bahwa Irene begitu mudah menggigil kedinginan.

Wendy kemudian menarik tubuh Irene dan memeluknya namun Irene justru memutar tubuhnya sehingga kini ia memeluk Irene dari belakang.

“Gini aja ya? Saya ngerasa lebih hangat kalau kayak gini.”

Wendy hanya menggumam pelan. Ia sedang menikmati wangi rambut Irene yang sejujurnya sudah menarik perhatiannya sejak awal mereka movie maraton.

“Kamu ganti sampo ya?”

“Iya, lagi ada promo.”

Jawaban Irene membuat Wendy terkekeh. Salah satu hal yang cukup mengejutkan Wendy di awal mereka menjalin hubungan adalah fakta bahwa ternyata Irene merupakan sosok yang sangat perhitungan atas pengeluaran pribadinya.

Mungkin ia terlihat sangat royal apabila menyangkut orang-orang disekitarnya, namun Irene adalah sosok yang sangat pelit terhadap dirinya sendiri.

“Ini udah enakan?” tanya Wendy mengalihkan pembicaraan. Tangannya mengelus perut Irene naik-turun secara perlahan.

“Hmm, lumayan. Anyway, maaf ya Yerim tadi usil banget sama kamu.” Irene melirik sejenak.

“It’s okay. I know she means well. Dia cuma jealous aja Hyun, wajar banget sih. Sejak ada aku, pasti waktu kamu yang dulunya buat dia sekarang jadi kebagi kan sama aku juga?”

“Yeah..”

Irene menguap cukup panjang dan menghela napasnya. Rasa lelah yang menumpuk seharian ini tiba-tiba datang, matanya terasa sangat berat.

“Tidur Hyun, badan kamu capek banget tuh. Apalagi kalo emang kamu mau dapet, pasti capeknya jadi dobel.”

“Hmm, true. Good night love.”

Wendy mencium kepala Irene dengan lembut. “Good night Joohyun.”

“Like what you said to me, we are all someone’s. In Yerim's case, you are her only older sister. It’s only natural Hyun, for her to worry about you.” batin Wendy sebelum ia juga memejamkan matanya.