youngkimbaeson

84.

Tepat pukul satu siang Wendy menginjakkan kakinya di kantor Irene. Kali ini bukan Seulgi yang mengantarnya masuk, melainkan Jennie, sosok yang sempat ia temui di acara makan malam keluarga Bae tempo hari lalu.

Wendy sempat canggung saat Jennie menghampirinya yang sedang menunggu untuk mendapatkan visitor pass dari pegawai yang ada di lobby gedung kantor tersebut. Terlebih lagi ketika Jennie mengatakan bahwa Irene sengaja mengirim Jennie untuk mengantarnya ke ruang kerja pribadi Irene.

Menurutnya hal itu cukup berlebihan karena tanpa dibantu pun ia bisa menemukan ruangan Irene, mengingat ia sudah pernah kesana beberapa hari yang lalu.

Berbeda dengan Seulgi yang waktu itu mengantarnya dengan penuh senyuman bersahabat, Jennie justru sempat mengamatinya dan melempar senyuman jenaka ke arah Wendy yang tentu saja tidak ia gubris.

“Reneee, udah nih ya Wendy gue anter dengan selamat.” ujar Jennie saat ia membuka pintu ruang kerja pribadi Irene sembari berjalan ke arah meja kerja yang menghadap tepat ke arah pintu masuk.

“Hm. Lo bisa lanjutin kerjaan lo.” ujar Irene ketus.

Wendy menaikan alisnya saat mendengar nada ketus yang keluar dari mulut Irene. Baru pertama kali ia mendengar adanya emosi dalam ucapan Irene. Sedangkan Jennie hanya menanggapi dengan santai.

“Yeee udah gak sabar aja ditinggal berdua.” celoteh Jennie sembari menggelengkan kepalanya dan terkekeh.

Walaupun ia tahu Irene sudah kesal terhadap candaannya dalam ruang chat pribadi mereka, Jennie tetap menggoda Irene lagi.

“Not your business, just do your job now.” Irene sekali lagi mengusir Jennie.

“Iya iya gue pergi nih. Lo berdua nggak usah aneh-aneh ya cuma berduaan di kantor. Masih ada cctv, apa mau gue matiin? Biar lo berdua bisa aneh-aneh?”

Jennie tertawa lagi saat melihat wajah Irene semakin masam. Kini ia berjalan ke Wendy yang sudah duduk di salah satu sofa berwarna putih.

“Gue manggil lo Wendy aja kan? Titip ya temen gue lagi badmood, kurang belaian kayaknya.”

“Jangan ngomong yang aneh-aneh ya Jen!!” nada Irene kini semakin meninggi.

Irene memicingkan matanya ke arah Jennie yang sudah berjalan ke arah pintu ruangan tersebut.

“Bye Joohyunieeee, enjoy your time. Jangan gampang sensitif lo kayak pantat bayi!” ujar Jennie sembari melayangkan flying kiss ke arah Irene sebelum ia keluar dari ruang kerja Irene.

Wendy hanya mengamati interaksi yang terjadi di depan matanya itu tanpa mengeluarkan kata-kata sedikit pun.

“Ternyata Irene bisa marah juga” batin Wendy.

Irene memejamkan matanya dan menarik napasnya dalam. Kemudian ia beranjak dari meja kerjanya dan menghampiri Wendy yang duduk di deretan sofa putih yang terletak di tengah ruangan tersebut.

“Ada apa kamu kesini?” tanya Irene sembari menduduki sofa yang berada tepat berseberangan dengan sofa yang diduduki oleh Wendy.

“As we gonna live together since today, gue mau make myself clear to you.”

Irene hanya diam menatap ke arah Wendy. Gesture ini Wendy anggap sebagai tanda bahwa Irene siap mendengar penjelasannya.

“First of all, gue mau bilang kalo gue bukan orang yang lo bayangkan as our world, actually, totally different. It just stark contrast, okay? Gue gak mau lo ngatur-ngatur gue cuma karena kita tinggal bareng dan status kita yang bertunangan.” ujar Wendy sembari mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya saat mengucapkan kata “tunangan” seolah-olah mengingatkan Irene kalau hubungan mereka hanyalah semu.

“I take it as you have flings? Atau maksud kamu tentang....sikap kamu yang....kadang mabuk-mabukan?” ujar Irene dengan tempo yang lambat, ia berusaha untuk merangkai kata-katanya agar tidak menyinggung Wendy.

“Well let's just say you got my explanation right like about......50%.”

“Okay, I agree. Saya masih dengan statement saya beberapa hari yang lalu, saya gak akan maksa kamu melakukan hal yang kamu gak mau dan saya gak akan buat kamu nggak nyaman. Tapi saya mau kamu simpan apapun behavior kamu yang memungkinkan untuk menyakiti orang tua kita, jangan sampai mereka tahu.”

“Deal. Been there done that with my dad.”

“Okay, tapi tolong consider orang tua saya juga Wendy.”

“Deal.”

“Second, let's just... anggap hubungan kita ini hubungan kerja sama. Selama setahun kita bakal do our part dan nanti saat kita udah mencapai waktu satu tahun, kita akan bilang kalau kita nggak cocok.” lanjut Wendy.

Irene kembali mengangguk, “Sure.”

“Terakhir, ini paling penting karena kita harus acting selama setahun. Kita cuma bakal nunjukin skinship kalo ada orang tua kita atau ada orang yang kita kenal di sekitar kita dan semua skinship harus gue yang inisiatif. Plus, kita akan tinggal di kamar yang terpisah. Anggap aja gue ini roommates.”

Kali ini Irene mengernyitkan dahinya, pertanda ia sedang memikirkan ucapan Wendy barusan.

“Saya akan setuju dengan syarat, setiap satu minggu sekali kita harus pergi bareng. Like a date-...”

Wendy sudah siap untuk membuka mulutnya namun Irene dengan segera menghentikannya. “Nope, denger saya dulu Wendy.”

“Terserah siapa yang mau menentukan what or when or where the date will be, tapi yang jelas setiap satu minggu sekali kita harus pergi bareng. Like you said, kita harus acting that we already do our part but we are just not a match. Kalau kita nggak pernah pergi bareng, pasti orang tua kita akan bilang kalau kita nggak usaha. Saya rasa seminggu sekali sudah cukup make sense, karena saya sibuk dengan Perusahaan saya dan kamu dengan pekerjaanmu.”

Wendy menghela napasnya, “Okay deal.”

“Oh saya lupa satu lagi, itu nggak termasuk kalau saya ada acara kantor dan kamu butuh ikut sama saya ya. Karena biasanya kalau ada jamuan pasti saya harus bawa plus one.”

“Lah kok jadi ngelunjak?”

“Biasanya saya sama Seulgi dulu, tapi kapasitas dia sebagai tangan kanan saya. Aneh dong kalau sekarang saya sudah tunangan tapi masih datang sama Seulgi?”

Wendy memutar matanya, ia mulai tidak suka dengan aturan yang Irene ucapkan. Feelingnya tidak enak tentang hal ini.

“Come on Wen, imagine saya ada jamuan terus saya datang sendirian padahal saya sudah tunangan sama kamu. Sekali atau dua kali kamu nggak datang, masih wajar. Tapi kalau nggak pernah datang? Pasti orang-orang akan curiga.”

“Damn, okay. But still no skinship unless I am the one who initiate it.”

“Sure Wen, sure.”

“Okay I already make it clear here.” ujar Wendy sembari mengangkat ponselnya. “Gue udah rekam percakapan kita, rekaman ini bakal gue kirim ke lawyer gue dan minta mereka untuk buat perjanjiannya.”

Irene sempat terkejut namun kemudian ia tertawa.

“Wow Wen, saya nggak nyangka kamu sudah persiapan ternyata. But sure, do it as you please. Kirim ke saya copy dari perjanjiannya sebelum kita tanda tangan ya, just to make it fair nanti saya juga akan minta lawyer saya untuk review perjanjian kita.”

“I'll contact you again then.”

Irene mengangguk. Tangan kanannya terjulur ke arah Wendy yang nampak terkejut dan bingung dengan tindakan Irene tersebut.

“Shakes my hand, anggap aja ini kesepakatan awal kita secara lisan.”

“Kuno banget sih lo?”

“Hey hey, no need to call me like that. Come on Wen, orang-orang biasanya sangat ingin shakes hand sama saya loh. Jarang yang bisa deal sama saya secepat ini, kamu yang pertama.” canda Irene.

Lagi-lagi Wendy memutar kedua matanya. Namun perlahan tangan kanannya menyambut tangan Irene.

“It's nice to make a deal with you, Son Seungwan. Let's be friends.”

“I don't know if I will call you my friend but let's just endure the next one year, Bae Joohyun.”

79

Hening.

Irene mengedipkan matanya berusaha mencerna informasi, yang lebih mirip sebagai pengumuman, yang baru saja diutarakan oleh Ayahnya dan diamini oleh orang tua Wendy.

Baru pertama kali seumur hidupnya Irene merasa bahwa ia ditodong oleh kedua orang tuanya itu. Pasalnya sore tadi saat ia belum selesai dengan pekerjaannya yang masih setinggi gundukan kue ulang tahun, tiba-tiba ia mendapatkan perintah dari Ayahnya untuk segera meninggalkan pekerjaannya dan datang ke restoran highclass tempat saat ini ia tengah duduk.

Tepat dua jam yang lalu, Irene cukup terkejut saat ia sampai di restoran ini, mendapati kedua orang tuanya dan Wendy beserta papanya sudah menunggunya. Kalau saja keadaannya berbeda, Irene mungkin sudah tertawa melihat wajah masam Wendy. Wanita yang terpaut 3 tahun lebih muda darinya itu sangat mudah ditebak suasana hatinya. Terlebih lagi, Wendy merupakan sosok yang sangat ekspresif, sehingga apa yang terpampang pada raut wajahnya merupakan tampilan yang paling jujur atas isi hatinya.

Perlahan Irene melirik Wendy yang duduk tepat di sebelah kirinya, berusaha untuk membaca suasana agar ia bisa memberikan jawaban yang paling tepat.

Mungkin kalau Wendy tidak jujur padanya beberapa hari yang lalu dan jika ia tidak meminta Seulgi untuk mengirimkannya satu file tentang penyakit yang diderita oleh Wendy, Irene akan dengan mudah menerima berita yang baru saja diumumkan Ayahnya itu.

Namun saat ini keadaannya berbeda, Irene tidak ingin Wendy untuk terjun dalam keadaan yang sangat memungkinkan untuk memperburuk kondisi kesehatannya saat ini.

“J-jujur...” Irene mengangkat suara, ia berdeham singkat saat mendapati suaranya bergetar.

“Jujur aku sama sekali gak menyangka tentang ini semua, ditambah aku dan Wendy sama sekali gak pernah berpikir untuk berhubungan ke arah sana. Kami pun baru bertemu kurang dari satu minggu. Aku rasa ini semua terlalu terburu-buru dan berlebihan. Apa ini karena aku naik jabatan dan statusku yang masih single di umur 30?” ujar Irene, matanya menatap lekat ke arah kedua orang tuanya itu.

Irene menunggu jawaban dari ayah maupun bundanya, namun ia tidak mendapatkan jawaban apapun. Sedangkan Wendy masih duduk dalam diam di sebelahnya.

“Well, it's not make sense. Whether I'm single or not, it's not going to affects my performance as a CEO, I promise that.” tambah Irene.

“Bukan karena itu Joohyun, Om tahu kalau kamu sangat kompeten untuk menyandang gelar CEO itu. Disini Om dan Orang tua kamu hanya mencemaskan anak kami masing-masing yang masih belum memiliki pasangan saat ini dan merasa kalau kalian berdua sangat cocok. Selain itu, Om yakin dengan hadirnya kamu di kehidupan Seungwan akan membawa kebaikan buat Seungwan dan begitu pula sebaliknya.”

“Joohyun, kehidupan pribadi dan pekerjaan adalah hal yang harus dipisahkan. Tapi ada saat dimana kehidupan pribadimu akan menjadi hal yang menguatkan kamu saat bekerja, contohnya kalau kamu punya pasangan, kamu punya tempat untuk berbagi dan berkeluh kesah. Tidak jarang juga Ayah berbagi dengan Bunda kamu dan kami saling menguatkan bahkan menginspirasi.”

“Okay I get it, but is it necessary? To put us in this......marriage? agreement? or what? Perjodohan? No offense, Wendy would be a great partner to anybody out there but like what I said earlier, aku dan Wendy bahkan gak kenal satu sama lain sedalam itu.”

Irene mulai merasakan frustrasi karena Wendy sama sekali belum membuka suara, bukankah wanita disampingnya ini yang waktu itu pernah secara terang-terangan menunjukan ke-engganan-nya akan perjodohan ini? Tetapi kenapa disaat seperti ini justru ia tetap diam?

“Joohyun, kalian bisa saling mengenal satu sama lain sembari menjalani hubungan kalian.” ujar orang tua Wendy.

“No pa, that's not how you start a relationship. Even when you already build your relationship with someone for years, it still can crumbles down.”

Suasana di meja nomor 39 itu berubah menjadi sangat tidak nyaman setelah Wendy selesai berbicara. Tampak wajah dari papanya mulai mengeras sedangkan orang tua Irene berusaha untuk tetap tenang.

“Satu tahun, papa dan keluarga Bae akan menunda pernikahan kalian satu tahun. Selama satu tahun kalian berdua bisa saling mengenal satu sama lain dan jika ternyata kalian memang tidak cocok maka pernikahan kalian akan dibatalkan. Tapi kalian harus berusaha semaksimal mungkin agar hubungan kalian ini berjalan dengan lancar. Bagaimana?” tawar laki-laki yang memiliki paras yang sangat mirip dengan Wendy itu.

“Well, Ayah setuju dengan ide ini. Ayah tahu pernikahan bukan hal yang bisa dijadikan permainan jadi ide ini cukup masuk akal, kalian juga punya waktu yang cukup untuk saling mengenal.”

“Tapi Bunda rasa akan lebih baik kalau kalian tetap bertunangan terlebih dahulu. Jadi kalian sama-sama berkomitmen dengan hubungan kalian. Ditambah kalian sudah sama-sama besar, sudah bukan saatnya untuk pacaran dan bermain-main dengan hubungan yang serius.”

Irene hendak mengangkat suara lagi namun ia merasakan Wendy menggenggam tangan kirinya yang berada di atas pahanya itu.

“Okay but let us do this in our pace? Terutama papa, aku gak mau ada siapapun itu yang ikut campur dengan hubungan aku dan Irene.”

“Sure. Oiya, tapi ada yang terlewat untuk disampaikan, mulai besok kalian akan tinggal satu atap. Anggap saja ini juga sebagai bentuk kalian mengenal satu sama lain, toh nanti kalau kalian menikah, kalian akan tinggal satu rumah.” ujar Tuan Son.

“Pardon?”

“Iya Joohyun, ayah rasa kalian berdua akan lebih bisa mengenal satu sama lain kalau kalian tinggal bersama. Kalian bisa pilih mau pindah ke apartemen atau rumah di daerah yang kalian suka, kami akan belikan sebagai hadiah untuk kalian.”

Irene memijat pelipisnya. Ia sama sekali tidak mengira akan serumit ini.

“Gak usah om, Irene bisa tinggal di apartemen aku aja. Lagi pula lokasinya juga di tengah kota dan jaraknya masih reasonable banget ke kantornya Irene. Gimana ren?”

“H-huh?” ujar Irene kebingungan.

Sejak kapan Wendy memanggilnya sesantai itu?

“Well kalau Joohyun setuju, kami juga setuju.” jawab Tuan Bae.

“Kamu yakin?” tanya Irene kepada Wendy. Ia sama sekali tidak bisa membaca apa yang ada dipikiran Wendy saat ini, namun jika tinggal di apartemen milik Wendy dapat memberikan Wendy kenyamanan, maka Irene tidak berkeberatan.

“100%.” ujar Wendy sembari menganggukan kepalanya.

“Well karena disini aku dan Irene sudah mengabulkan permintaan papa dan om juga tante, aku rasa it's only fair kalau gantian papa dan om-tante yang mengabulkan permintaan kami berdua.”

Irene menaikan alisnya, tanda ia tidak memahami apa yang Wendy inginkan namun cukup tertarik dengan intrik yang akan Wendy lakukan.

Sementara itu, Tuan dan Nyonya Bae serta Papanya saling melempar pandang sebelum mereka menganggukan kepala masing-masing.

“There is no ceremony for our so called engagement, no news as well. I'm afraid it's not doing any good for Irene and the company, for now. Because well I'm still an entertainer here.”

Irene yang dapat merasakan bahwa Wendy dan papanya itu mungkin akan beradu argumen lagi, dengan cepat menambahkan ucapan Wendy, “But we will still wearing our engagement ring. We only want to do this subtly tanpa ada komentar-komentar dari siapapun. Kami cuma mau menjalani ini tanpa ada campur tangan dari siapapun baik itu keluarga maupun publik. That's it. I think it's fair.”

Tuan Son menarik napas cukup dalam, “Okay, we will do that.”

“Okay, ayah dan bunda setuju. Tapi seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, kalian harus berusaha maksimal untuk saling mengenal satu sama lain lebih dalam lagi.”

Irene mengangguk pelan, toh ia tahu bahwa kedua orang tuanya maupun orang tua Wendy sama-sama sudah bulat dengan keputusan mereka.

Tanpa Irene sadari ia menoleh ke arah Wendy yang masih menampakkan ekspresi tenang.

Apakah ia yang terlalu berlebihan mengkhawatirkan kondisi Wendy?

67

Setelah membaca secara singkat file yang dikirimkan oleh Seulgi, Irene justru menjadi lebih penasaran. Ia lalu teringat akan cerita Yerim bagaimana Yerim bahkan tidak pernah tahu seperti apa sosok Ibu dari Wendy, padahal Yerim sempat satu tahun tinggal serumah dengan Wendy.

Irene benar-benar ingin segera pulang dan memahami lebih jauh tentang Philophobia dan Wendy. Sebenarnya bisa saja ia menyuruh orang untuk menyelidiki hal ini untuknya namun entah mengapa Irene ingin mendengar semuanya dari Wendy, bukan dari orang lain.

Karena Irene tahu jika ia melakukan itu semua, maka Wendy akan benar-benar marah dan menjauh darinya dan entah mengapa Irene tidak ingin hal ini terjadi.

Irene menyendok kembali es krim cokelat yang ada di tangannya itu. Di saat seperti ini memakan makanan yang manis selalu menjadi pilihan Irene. Mungkin terdengar aneh tapi Irene selalu merasa lebih tenang ketika ia bisa menyantap es krim cokelat di saat hatinya berdebar tak karuan.

Sejatinya Irene harus bersyukur karena acara malam ini jauh dari kata-kata formal. Ia bisa bernapas sedikit lebih lega dengan hadirnya orang-orang yang ia kenal di antara puluhan orang asing lainnya. Setidaknya dengan kehadiran Yerim, Jennie, dan Seulgi membuat suasana terasa lebih familiar.

Irene tersenyum kecil saat ia melihat Seulgi dan Sooyoung, yang notabene merupakan kekasih Seulgi, sedang asik berbincang, dan Yerim yang terlihat masam karena harus menjadi orang ketiga di antara Seulgi dan Sooyoung.

Mata Irene kemudian mengedar ke seisi ruangan dan pandangannya jatuh pada Wendy yang sedari tadi sibuk mengaduk-aduk minumannya itu.

Irene yang masih memiliki banyak pertanyaan terhadap ucapan Wendy siang tadi, kemudian memilih untuk menyambangi wanita yang lebih muda darinya itu.

“Boleh saya duduk sini lagi ya Wendy?”

Wendy cukup terkejut ketika ia mendengar suara Irene. Walaupun mereka sempat berbagi meja, tetapi mereka sama sekali tidak berbincang sedikit pun. Wendy kira saat Irene meninggalkan meja mereka, artinya Irene sudah lelah dengannya. Namun tampaknya Wendy salah.

Irene tanpa menunggu jawaban Wendy sudah menarik kursi yang ada tepat di sebelah kiri Wendy.

“Apa yang kamu lakukan tadi siang itu benar-benar mengejutkan saya Wen. Sampai sekarang saja saya masih mikir kamu itu serius atau nggak.” ujar Irene membuka perbincangan mereka.

Wendy tetap terdiam dan hanya mengendikan bahunya. Ia tahu Irene saat ini hanya ingin berbicara dengannya tanpa meminta respon balik.

Sementara itu, Irene memutar badannya perlahan sehingga saat ini ia benar-benar menghadap ke arah Wendy.

Sebut ia sombong, tetapi Irene selalu percaya diri dengan kemampuannya membaca gesture tubuh lawan bicaranya. Kemampuan ini pula yang membawanya sampai ke posisinya saat ini, tidak sedikit tender project yang ia menangkan karena ia sanggup membaca gesture dan keinginan dari klien-kliennya.

Irene kini menatap Wendy, berusaha untuk memperhatikan setiap gerak-gerik wanita itu.

“Papa kamu tahu tentang yang kamu ceritakan ke saya tadi siang?”

Napas Wendy sedikit tercekat dan hal ini tidak luput dari pengamatan Irene.

“He....kind of knows it.”

“Kind of?”

“Well he knows it but he thinks gue udah sembuh.”

Jawaban Wendy menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lainnya di benak Irene. Namun Irene tahu ia tidak boleh menekan Wendy jika ia ingin mengumpulkan kepingan demi kepingan puzzle.

“I see.... Maaf kalau saya lancang, tapi kenapa kamu gak jujur ke papa kamu kalau kamu belum sembuh Wen?”

Wendy tersenyum getir. “What for? It's better like this.”

“Sekali lagi maaf kalau saya lancang, tapi menurut saya kamu akan lebih mudah untuk menghindari perjodohan kalau kamu jujur dengan keadaan kamu Wen. I mean....” Irene menghela napasnya “Kalau kamu gak jujur sama papamu sekarang, let's say kamu bisa lepas dari perjodohan dengan saya tapi bukan berarti kamu gak akan dijodohkan dengan orang lain kan?”

Mendengar pernyataan Irene, Wendy kini menengokkan kepalanya dan menatap Irene dengan serius. “Well, thanks for your concern kak but-...”

“Kalian berdua di sini rupanya!”

Irene tidak pernah sekesal ini terhadap ayahnya tapi sungguh kalau bisa Irene ingin berteriak, meminta agar sekali saja ayahnya itu tidak hadir di saat yang tidak tepat.

“Hehe Seungwan maaf ya om ganggu nih waktu kamu sama Joohyun. Om tahu tadi di awal acara kita kan udah perkenalan, tapi ada kolega om yang baru datang nih.”

Mendengar ucapan ayahnya itu, Irene tahu kalau dirinya dan Wendy harus berakting lagi. Melihat Irene yang berdiri dari kursinya, Wendy pun mengikuti Irene. Ia tahu ia harus tetap bersikap sopan saat ini.

“Well, Joohyun kenalkan ya ini Andrew, kamu panggilnya apa ya? Om kali ya soalnya seumuran Ayah. Dia ini CEO dari perusahaan IT.” ujar Ayah Irene sembari memperkenalkan koleganya itu.

“Malam Om, terima kasih sudah datang malam ini.” Irene menjabat tangan laki-laki itu dan menunjukkan senyuman khasnya.

Wendy harus mengakui, aura Irene berubah seratus delapan puluh derajat menjadi sangat profesional. Sosok wanita yang ada di sampingnya ini memang mengagumkan.

“Malam Joohyun atau om panggil Irene? Om udah banyak dengar tentang kamu, bukan dari ayah kamu ini tapi dari sepak terjang kamu.”

“Irene aja biar lebih gampang om. Terima kasih pujiannya.”

“Oh iya Andrew, ini-...”

“Wendy om, teman saya.” Irene buru-buru memotong ucapan ayahnya itu, takut kalau-kalau ayahnya mulai berkata yang aneh-aneh.

“Halo Wendy. Wajah kamu agak familiar ya? Om kayak pernah lihat dimana gitu.” Andrew tersenyum.

“Well, mungkin Om pernah lihat di televisi. Wendy ini penyanyi om, well penyanyi, lyricist, dan music producer.”

Kini Wendy harus terkejut. Ia sama sekali tidak tahu kalau Irene mengetahui sebanyak itu tentang dirinya.

Sementara itu Ayah Irene terlihat sangat senang melihat tingkah Irene, ia berpikir kalau Irene dan Wendy mungkin memang sudah berkenalan lebih jauh lagi. Karena cukup jarang bagi seorang Irene untuk bisa cerewet seperti ini.

Sedangkan Irene? Ia sendiri terkejut dengan dirinya.

“Oh mungkin juga, soalnya istri om suka banget ngikutin acara entertainment gitu dia juga suka musik. Mungkin nanti cocok kalau ngobrol sama Wendy. Oh itu dia disana!” Andrew melambaikan tangannya, berharap agar istrinya itu melihat posisinya.

Entah mengapa gerakan dari laki-laki di depannya itu cukup menyita perhatian Wendy, ia pun turut melihat ke arah sosok sang istri dari Tuan Andrew ini.

Namun saat ia melihat sosok tersebut, Wendy justru merasa nyawanya hilang dari tubuhnya itu. Ia seakan-akan melihat sesosok hantu dari masa lalunya.

Tanpa Wendy sadari, ia menggenggam tangan Irene erat.

Irene yang terkejut dengan perbuatan Wendy langsung menatap ke arah wanita yang berdiri tepat di sebelah kanannya itu. Betapa bingungnya Irene ketika ia mendapati bola mata Wendy mengecil dan napasnya berderu dengan cepat seakan-akan ia memiliki kesulitan untuk bernapas dengan normal. Irene juga merasakan betapa berkeringatnya telapak tangan Wendy.

“Wendy kamu kenapa? Kamu sakit?” bisik Irene.

Wendy yang masih terkejut, sama sekali tidak menggubris ucapan Irene. Justru ia sama sekali tidak mendengarkan ucapan Irene.

“Nah ini dia istri om, kenalin Kathrine. Kath, ini Irene dan Wendy.”

“Halo Irene, selamat ya atas posisi kamu yang baru. Hebat banget udah bisa gantiin posisi papa kamu.” Kathrine mengulurkan tangannya untuk berjabatan dengan Irene.

Irene yang diajak berjabat tangan terpaksa untuk melepaskan tangan kanannya yang tengah dipegang erat oleh Wendy dan terkejut saat Wendy enggan melepaskan genggamannya itu.

“Wen...” bisik Irene sembari berusaha melepas genggaman Wendy.

Lagi-lagi Irene terkejut saat berhasil melepaskan genggaman tangan Wendy, wanita di sebelahnya itu sontak mencengkram ujung dari jaket hitam yang Irene kenakan.

Kathrine tersenyum ke arah Wendy dan Irene saat melihat tingkah dari dua gadis di depannya itu.

“Kalian berdua cocok banget ya. Tante senang lihatnya.” ujar Kathrine sembari menatap Wendy.

Entah apa yang terjadi pada Wendy namun ucapan itu justru membangunkan Wendy dari dunianya.

“Uhm itu tante kami...”

“T-terima kasih t-tante. Om, tante maaf ya Aku dan J-joohyun pamit duluan, aku gak enak badan.” Wendy memotong ucapan Irene dan segera menyeret Irene untuk mengikutinya.

“Permisi om Andrew, tante Kathrine.” ujar Irene terburu-buru. Tangan kanannya sudah ditarik oleh Wendy. Irene benar-benar bingung saat ini.

“Loh, ayah ditinggalin nih? Dasar anak muda!”

Ucapan ayahnya itu mendatangkan gelak tawa dari pasangan yang baru saja diperkenalkan dengan Irene.

Sementara itu, Irene mengikuti Wendy ke arah parkiran mobil dan kini ia baru menyadari bahwa tangan Wendy bergemetar hebat. Mendapati fakta ini Irene buru-buru mempercepat langkahnya dan berhenti tepat di depan Wendy.

“Wen, Wendy! Kamu kenapa Wen?” tanya Irene.

“K-kak please anter aku pulang kak....”

Mendengar suara lirih dari Wendy, Irene lagi-lagi harus terkejut. Sebenarnya apa yang terjadi?

“Wen? Kamu kenapa?” Irene berusaha bertanya lagi.

Sosok yang diajak bicara hanya menundukkan kepalanya dan menggeleng pelan.

“K-kak please?”

Irene benar-benar bingung. Ia hendak melayangkan pertanyaan lainnya namun segera terhenti saat ia menyadari bahwa Wendy menangis dan lagi-lagi terlihat seperti kesulitan untuk bernapas.

“O-okay kita pulang sekarang ya. Tapi kamu tenang dulu okay Wen? Tarik napas yang dalam ya.”

Wendy hanya mengangguk.

Irene berusaha untuk sedikit menunduk, ia ingin melihat ekspresi Wendy namun Wendy terus menyembunyikan wajahnya. Irene menarik napas dalam-dalam, hari ini merupakan hari yang penuh tanda tanya baginya.

“Okay let's go home.”