84.
Tepat pukul satu siang Wendy menginjakkan kakinya di kantor Irene. Kali ini bukan Seulgi yang mengantarnya masuk, melainkan Jennie, sosok yang sempat ia temui di acara makan malam keluarga Bae tempo hari lalu.
Wendy sempat canggung saat Jennie menghampirinya yang sedang menunggu untuk mendapatkan visitor pass dari pegawai yang ada di lobby gedung kantor tersebut. Terlebih lagi ketika Jennie mengatakan bahwa Irene sengaja mengirim Jennie untuk mengantarnya ke ruang kerja pribadi Irene.
Menurutnya hal itu cukup berlebihan karena tanpa dibantu pun ia bisa menemukan ruangan Irene, mengingat ia sudah pernah kesana beberapa hari yang lalu.
Berbeda dengan Seulgi yang waktu itu mengantarnya dengan penuh senyuman bersahabat, Jennie justru sempat mengamatinya dan melempar senyuman jenaka ke arah Wendy yang tentu saja tidak ia gubris.
“Reneee, udah nih ya Wendy gue anter dengan selamat.” ujar Jennie saat ia membuka pintu ruang kerja pribadi Irene sembari berjalan ke arah meja kerja yang menghadap tepat ke arah pintu masuk.
“Hm. Lo bisa lanjutin kerjaan lo.” ujar Irene ketus.
Wendy menaikan alisnya saat mendengar nada ketus yang keluar dari mulut Irene. Baru pertama kali ia mendengar adanya emosi dalam ucapan Irene. Sedangkan Jennie hanya menanggapi dengan santai.
“Yeee udah gak sabar aja ditinggal berdua.” celoteh Jennie sembari menggelengkan kepalanya dan terkekeh.
Walaupun ia tahu Irene sudah kesal terhadap candaannya dalam ruang chat pribadi mereka, Jennie tetap menggoda Irene lagi.
“Not your business, just do your job now.” Irene sekali lagi mengusir Jennie.
“Iya iya gue pergi nih. Lo berdua nggak usah aneh-aneh ya cuma berduaan di kantor. Masih ada cctv, apa mau gue matiin? Biar lo berdua bisa aneh-aneh?”
Jennie tertawa lagi saat melihat wajah Irene semakin masam. Kini ia berjalan ke Wendy yang sudah duduk di salah satu sofa berwarna putih.
“Gue manggil lo Wendy aja kan? Titip ya temen gue lagi badmood, kurang belaian kayaknya.”
“Jangan ngomong yang aneh-aneh ya Jen!!” nada Irene kini semakin meninggi.
Irene memicingkan matanya ke arah Jennie yang sudah berjalan ke arah pintu ruangan tersebut.
“Bye Joohyunieeee, enjoy your time. Jangan gampang sensitif lo kayak pantat bayi!” ujar Jennie sembari melayangkan flying kiss ke arah Irene sebelum ia keluar dari ruang kerja Irene.
Wendy hanya mengamati interaksi yang terjadi di depan matanya itu tanpa mengeluarkan kata-kata sedikit pun.
“Ternyata Irene bisa marah juga” batin Wendy.
Irene memejamkan matanya dan menarik napasnya dalam. Kemudian ia beranjak dari meja kerjanya dan menghampiri Wendy yang duduk di deretan sofa putih yang terletak di tengah ruangan tersebut.
“Ada apa kamu kesini?” tanya Irene sembari menduduki sofa yang berada tepat berseberangan dengan sofa yang diduduki oleh Wendy.
“As we gonna live together since today, gue mau make myself clear to you.”
Irene hanya diam menatap ke arah Wendy. Gesture ini Wendy anggap sebagai tanda bahwa Irene siap mendengar penjelasannya.
“First of all, gue mau bilang kalo gue bukan orang yang lo bayangkan as our world, actually, totally different. It just stark contrast, okay? Gue gak mau lo ngatur-ngatur gue cuma karena kita tinggal bareng dan status kita yang bertunangan.” ujar Wendy sembari mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya saat mengucapkan kata “tunangan” seolah-olah mengingatkan Irene kalau hubungan mereka hanyalah semu.
“I take it as you have flings? Atau maksud kamu tentang....sikap kamu yang....kadang mabuk-mabukan?” ujar Irene dengan tempo yang lambat, ia berusaha untuk merangkai kata-katanya agar tidak menyinggung Wendy.
“Well let's just say you got my explanation right like about......50%.”
“Okay, I agree. Saya masih dengan statement saya beberapa hari yang lalu, saya gak akan maksa kamu melakukan hal yang kamu gak mau dan saya gak akan buat kamu nggak nyaman. Tapi saya mau kamu simpan apapun behavior kamu yang memungkinkan untuk menyakiti orang tua kita, jangan sampai mereka tahu.”
“Deal. Been there done that with my dad.”
“Okay, tapi tolong consider orang tua saya juga Wendy.”
“Deal.”
“Second, let's just... anggap hubungan kita ini hubungan kerja sama. Selama setahun kita bakal do our part dan nanti saat kita udah mencapai waktu satu tahun, kita akan bilang kalau kita nggak cocok.” lanjut Wendy.
Irene kembali mengangguk, “Sure.”
“Terakhir, ini paling penting karena kita harus acting selama setahun. Kita cuma bakal nunjukin skinship kalo ada orang tua kita atau ada orang yang kita kenal di sekitar kita dan semua skinship harus gue yang inisiatif. Plus, kita akan tinggal di kamar yang terpisah. Anggap aja gue ini roommates.”
Kali ini Irene mengernyitkan dahinya, pertanda ia sedang memikirkan ucapan Wendy barusan.
“Saya akan setuju dengan syarat, setiap satu minggu sekali kita harus pergi bareng. Like a date-...”
Wendy sudah siap untuk membuka mulutnya namun Irene dengan segera menghentikannya. “Nope, denger saya dulu Wendy.”
“Terserah siapa yang mau menentukan what or when or where the date will be, tapi yang jelas setiap satu minggu sekali kita harus pergi bareng. Like you said, kita harus acting that we already do our part but we are just not a match. Kalau kita nggak pernah pergi bareng, pasti orang tua kita akan bilang kalau kita nggak usaha. Saya rasa seminggu sekali sudah cukup make sense, karena saya sibuk dengan Perusahaan saya dan kamu dengan pekerjaanmu.”
Wendy menghela napasnya, “Okay deal.”
“Oh saya lupa satu lagi, itu nggak termasuk kalau saya ada acara kantor dan kamu butuh ikut sama saya ya. Karena biasanya kalau ada jamuan pasti saya harus bawa plus one.”
“Lah kok jadi ngelunjak?”
“Biasanya saya sama Seulgi dulu, tapi kapasitas dia sebagai tangan kanan saya. Aneh dong kalau sekarang saya sudah tunangan tapi masih datang sama Seulgi?”
Wendy memutar matanya, ia mulai tidak suka dengan aturan yang Irene ucapkan. Feelingnya tidak enak tentang hal ini.
“Come on Wen, imagine saya ada jamuan terus saya datang sendirian padahal saya sudah tunangan sama kamu. Sekali atau dua kali kamu nggak datang, masih wajar. Tapi kalau nggak pernah datang? Pasti orang-orang akan curiga.”
“Damn, okay. But still no skinship unless I am the one who initiate it.”
“Sure Wen, sure.”
“Okay I already make it clear here.” ujar Wendy sembari mengangkat ponselnya. “Gue udah rekam percakapan kita, rekaman ini bakal gue kirim ke lawyer gue dan minta mereka untuk buat perjanjiannya.”
Irene sempat terkejut namun kemudian ia tertawa.
“Wow Wen, saya nggak nyangka kamu sudah persiapan ternyata. But sure, do it as you please. Kirim ke saya copy dari perjanjiannya sebelum kita tanda tangan ya, just to make it fair nanti saya juga akan minta lawyer saya untuk review perjanjian kita.”
“I'll contact you again then.”
Irene mengangguk. Tangan kanannya terjulur ke arah Wendy yang nampak terkejut dan bingung dengan tindakan Irene tersebut.
“Shakes my hand, anggap aja ini kesepakatan awal kita secara lisan.”
“Kuno banget sih lo?”
“Hey hey, no need to call me like that. Come on Wen, orang-orang biasanya sangat ingin shakes hand sama saya loh. Jarang yang bisa deal sama saya secepat ini, kamu yang pertama.” canda Irene.
Lagi-lagi Wendy memutar kedua matanya. Namun perlahan tangan kanannya menyambut tangan Irene.
“It's nice to make a deal with you, Son Seungwan. Let's be friends.”
“I don't know if I will call you my friend but let's just endure the next one year, Bae Joohyun.”