173
Irene dan Wendy akhirnya kembali ke safe house -slash- beach house milik Irene setelah setengah hari berada di luar rumah. Irene yang lelah memilih untuk langsung menjatuhkan badannya di sofa ruang tv, tempat ia tidur. Sedangkan Wendy langsung berjalan menuju dapur untuk menaruh barang belanjaan mereka.
“Bantuin.”
Irene mengerang malas tetapi ia tetap saja bangun dari posisinya.
“Bantu doa aja ya?”
Mendengar ucapan Irene, Wendy langsung menatap Irene, full of judgement.
“Kidding.”
Mereka berdua kemudian bekerja dalam kesunyian, lucunya mereka bisa dengan luwes menempatkan barang belanjaan mereka tanpa harus berkoordinasi. Seakan-akan memang sudah tinggal di rumah itu cukup lama.
“Anyway, siang ini take away aja ya makannya? Kasian kalo bibi harus masak. Sedangkan saya udah gak ada tenaga buat masak.”
“Gue yang masak deh. Agak ntar ya tapi?”
“Serius? Kalau capek mending pesen aja.”
“Tadi gue udah susah-susah antri lama, kalo sampe ini bahan makanan gak kepake, gue bakal lebih emosi lagi.”
“Sure, tapi saya nggak bantuin ya.”
Wendy hanya menggumam.
Setelah memasukkan semua bahan makanan ke tempatnya, Wendy berjalan ke arah kamar dan diikuti oleh Irene yang mengekor persis di belakang Wendy.
“Kok lo ikutan kesini?”
“Saya pengen ngerasain kasur juga. Semalem kan tidur di sofa depan tv.” jawab Irene santai tanpa ada maksud membuat Wendy tidak enak hati.
Sang pemilik rumah langsung menuju kasur king sized yang semalam ditempati Wendy dan tidur dengan posisi terlentang. It's such a blessing bisa merasakan empuknya kasur.
Sedangkan Wendy justru menjadi kikuk setelah mendengar ucapan Irene.
“Rumah lo gede banget, kamar lebih dari satu, kenapa harus tiduran di kasur yang ini?”
“Kamar yang lain belum diberesin, masih banyak debu. Saya alergi debu.”
Wendy masih terpaku dalam posisi berdiri, memandangi Irene yang tertidur sangat tentram dengan posisi terlentang.
“Yaudah minggir dulu.”
Wendy menepuk bahu Irene kemudian mengambil bantal yang semalam ia gunakan untuk tidur dan memposisikannya sebagai sandaran.
“Pinjam bantalnya dong, kepala saya sakit kalau gak ada bantal. Kayaknya semalam saya salah posisi tidur deh.”
Yang diajak bicara sontak memutar bola matanya, “Ini rumah gede tapi kamar yang bisa dipake cuma satu, udah gitu bantal cuma ada satu. Ini lo sengaja ya?”
“Sengaja gimana? Kan kita dadakan kesininya, ini rumah udah lama banget gak saya datengin, dua tahun ada kali.”
Lagi-lagi Wendy menatap Irene dengan tidak percaya.
“Gue mau baca buku, harus pake bantal kayak gini. Lo tidur sini aja deh. Awas ya kalo lo macem-macem.” ujar Wendy dengan nada memperingatkan Irene, sembari menepuk pahanya.
Irene yang memahami maksud Wendy langsung menjadi salah tingkah. Namun ia bersyukur karena bisa mengatur ekspresi wajahnya, walaupun Irene yakin kalau dibandingkan dengan ekspresi biasanya kali ini wajahnya agak memerah.
“Serius? Kamu gapapa kalo saya tiduran kayak......gitu?”
“Kalo lo banyak tanya malah jadi makin awkward. Buruan mau nggak?”
Irene merubah posisi tidurnya dengan menaruh kepalanya di paha Wendy. Ia cukup bingung harus bersikap seperti apa. Nampaknya ia justru tidak bisa tidur dengan tenang di posisi ini.
Tidak berbeda jauh dengan Irene, Wendy juga sempat merasa canggung tapi ia jauh lebih cepat mengontrol emosinya. Ia kemudian mengambil ponselnya yang tadi sempat ia charge.
Wendy melihat beberapa notifikasi-notifikasi masuk baik chat maupun notifikasi apps sosial medianya. Namun ada satu notifikasi yang membuatnya tertawa.
“Adek lo emang gak ada filter ya.”
“That's her charm I guess?”
“True sih. Oh ini akunnya Kak Seul sama Kak Jen? Gue follow boleh nggak?”
“Terserah kamu. Kalau mau follow silakan aja.” jawab Irene. “Kalau saya follow akun kamu boleh nggak?”
“Follow aja, tapi gak bakal gue accept.”
“Loh kok gitu?”
“Yaiyalah, ntar kalo gue lagi ngomongin lo yang jelek-jelek jadi ketauan dong.”
Irene tertawa, “You never failed to amaze me.”
“Lo deket banget ya sama Kak Seul?” tanya Wendy tiba-tiba. Teringat percakapan dengan Seulgi beberapa hari lalu.
“Yes, she’s my bestest best friend. Well more than best friend too, kalau ada level di atas sahabat di bawah saudara, itu Seulgi. No, let me rephrase, dia udah kayak saudara tak sedarah.”
“Emang udah kenal lama sama Kak Seul?”
“Iya, bahkan sebelum kamu pindah ke komplek. Inget nggak dulu kita main bertiga?”
“Mau jawaban jujur?”
“Kenapa? Nggak inget ya?”
“Hehe.”
“Wajar sih, kamu dulu juga cuma suka ngikutin saya dan Seulgi aja. Terus kalau gak dibolehin ikut kamu nangis.”
Posisi Irene masih sama, kepalanya berada di atas paha Wendy. Tetapi kini perlahan Irene memutar posisi tidurnya sehingga ia menatap Wendy. Sedangkan Wendy memilih untuk tidak membalas tatapan Irene dan kembali sibuk dengan ponselnya. Tangan kanannya asik membuka-tutup aplikasi sosial media di ponselnya itu, namun tanpa Wendy sadari, tangan kirinya justru membelai rambut Irene.
“Mau denger cerita lainnya nggak?”
Wendy tidak menjawab melainkan hanya mengangkat bahunya. Gesture ini Irene anggap sebagai penerimaan dari Wendy.
“Inget gak dulu banget sempat populer barang couple buat sahabat gitu? Saya sama Seulgi beli matching school shoes. Terus kamu juga pengen tapi gak ada ukuran yang pas buat kamu.”
“And then?”
Wendy merasa geli membayangkan sosok dirinya, Irene, dan Seulgi sewaktu mereka kecil. Walaupun ia tidak ingat apa yang Irene ceritakan tetapi ia tetap mendengarkan dengan serius cerita yang cukup menarik perhatiannya ini.
“Ya kamu ngambek sama saya, sampai saya dimarahi orang tua saya karena kamu pulang-pulang nangis, lagi. Yang paling lucu pas saya sama Seulgi bikin friendship necklace, kamu juga ikutan pengen. Akhirnya bukan couple necklace tapi jadi triple necklace.”
Ucapan Irene barusan terasa familiar di telinga Wendy. Bukankah ini cerita yang Seulgi ceritakan beberapa hari lalu? Tetapi kenapa ceritanya berbeda?
“Maksud lo kalung yang lo pake terus itu?” tanya Wendy.
Bukannya jawaban yang ia dapatkan, Irene malah tertawa. Kemudian ia menguap, perlahan mulai bertambah mengantuk karena tangan Wendy yang masih terus-terusan membelai kepalanya itu.
“Ada satu cerita lagi sebelum saya beneran tidur. Inget nggak dulu kamu pernah nanya ke saya kayak gini ‘kak Joohyun, pilih aku atau kak Seulgi?’”
“Ah ngada-ngada lo! Masa gue nanya gitu?”
“Nggak ada untungnya kalau saya bohong juga.”
“Yaudah, let’s say lo jujur. Terus jawaban lo apa?”
“Seulgi.”
Irene tertawa lagi saat Wendy menyentil dahinya, kesal setelah mendengar jawaban Irene.
“Should've not asking you.”
“Wajar dong, waktu itu kan kamu anak bawang udah gitu suka tiba-tiba ikut main sama saya dan Seulgi.”
“Gue kasihan sih sama your future partner, dikit-dikit Seulgi, dikit-dikit Seulgi. She has a special spot in your heart that no one can compare.”
“Not really, itu nggak bisa di compare emang. Both of them are important. Kayak yang saya bilang tadi dia udah kayak saudara. Beda tipis lah sama Yerim.”
“Okay then if you say so.”
“Masih nggak percaya?”
“Bukan gak percaya sih, apa ya hmm, amazed aja sama hubungan kalian berdua. Even me, Yerim, and Sooyoung kayaknya nggak se-deep lo sama Kak Seulgi deh.”
Wendy menaruh ponselnya di kasur kemudian ia menatap Irene. Tangan kirinya masih membelai kepala Irene.
“Apa?”
“Let’s try this then, to validate my words.”
“Apaan?”
“If I ask you to choose me or Seulgi, right now, siapa yang lo pilih?”
Irene sekali lagi menguap, ia kemudian mengubah posisi tidurnya kali ini menghadap ke arah perut Wendy.
“Dih malah tidur, lo gak mau jawab karena jawabannya masih sama kan?” kali ini Wendy mencubit lengan Irene.
“Aww! It hurts!”
“Bodo amat. Lagian sok-sok acting cool gitu.”
“Because your question is ridiculous, no need to ask the answer is crystal clear. Kamu.”