youngkimbaeson

173

Irene dan Wendy akhirnya kembali ke safe house -slash- beach house milik Irene setelah setengah hari berada di luar rumah. Irene yang lelah memilih untuk langsung menjatuhkan badannya di sofa ruang tv, tempat ia tidur. Sedangkan Wendy langsung berjalan menuju dapur untuk menaruh barang belanjaan mereka.

“Bantuin.”

Irene mengerang malas tetapi ia tetap saja bangun dari posisinya.

“Bantu doa aja ya?”

Mendengar ucapan Irene, Wendy langsung menatap Irene, full of judgement.

“Kidding.”

Mereka berdua kemudian bekerja dalam kesunyian, lucunya mereka bisa dengan luwes menempatkan barang belanjaan mereka tanpa harus berkoordinasi. Seakan-akan memang sudah tinggal di rumah itu cukup lama.

“Anyway, siang ini take away aja ya makannya? Kasian kalo bibi harus masak. Sedangkan saya udah gak ada tenaga buat masak.”

“Gue yang masak deh. Agak ntar ya tapi?”

“Serius? Kalau capek mending pesen aja.”

“Tadi gue udah susah-susah antri lama, kalo sampe ini bahan makanan gak kepake, gue bakal lebih emosi lagi.”

“Sure, tapi saya nggak bantuin ya.”

Wendy hanya menggumam.

Setelah memasukkan semua bahan makanan ke tempatnya, Wendy berjalan ke arah kamar dan diikuti oleh Irene yang mengekor persis di belakang Wendy.

“Kok lo ikutan kesini?”

“Saya pengen ngerasain kasur juga. Semalem kan tidur di sofa depan tv.” jawab Irene santai tanpa ada maksud membuat Wendy tidak enak hati.

Sang pemilik rumah langsung menuju kasur king sized yang semalam ditempati Wendy dan tidur dengan posisi terlentang. It's such a blessing bisa merasakan empuknya kasur.

Sedangkan Wendy justru menjadi kikuk setelah mendengar ucapan Irene.

“Rumah lo gede banget, kamar lebih dari satu, kenapa harus tiduran di kasur yang ini?”

“Kamar yang lain belum diberesin, masih banyak debu. Saya alergi debu.”

Wendy masih terpaku dalam posisi berdiri, memandangi Irene yang tertidur sangat tentram dengan posisi terlentang.

“Yaudah minggir dulu.”

Wendy menepuk bahu Irene kemudian mengambil bantal yang semalam ia gunakan untuk tidur dan memposisikannya sebagai sandaran.

“Pinjam bantalnya dong, kepala saya sakit kalau gak ada bantal. Kayaknya semalam saya salah posisi tidur deh.”

Yang diajak bicara sontak memutar bola matanya, “Ini rumah gede tapi kamar yang bisa dipake cuma satu, udah gitu bantal cuma ada satu. Ini lo sengaja ya?”

“Sengaja gimana? Kan kita dadakan kesininya, ini rumah udah lama banget gak saya datengin, dua tahun ada kali.”

Lagi-lagi Wendy menatap Irene dengan tidak percaya.

“Gue mau baca buku, harus pake bantal kayak gini. Lo tidur sini aja deh. Awas ya kalo lo macem-macem.” ujar Wendy dengan nada memperingatkan Irene, sembari menepuk pahanya.

Irene yang memahami maksud Wendy langsung menjadi salah tingkah. Namun ia bersyukur karena bisa mengatur ekspresi wajahnya, walaupun Irene yakin kalau dibandingkan dengan ekspresi biasanya kali ini wajahnya agak memerah.

“Serius? Kamu gapapa kalo saya tiduran kayak......gitu?”

“Kalo lo banyak tanya malah jadi makin awkward. Buruan mau nggak?”

Irene merubah posisi tidurnya dengan menaruh kepalanya di paha Wendy. Ia cukup bingung harus bersikap seperti apa. Nampaknya ia justru tidak bisa tidur dengan tenang di posisi ini.

Tidak berbeda jauh dengan Irene, Wendy juga sempat merasa canggung tapi ia jauh lebih cepat mengontrol emosinya. Ia kemudian mengambil ponselnya yang tadi sempat ia charge.

Wendy melihat beberapa notifikasi-notifikasi masuk baik chat maupun notifikasi apps sosial medianya. Namun ada satu notifikasi yang membuatnya tertawa.

“Adek lo emang gak ada filter ya.”

“That's her charm I guess?”

“True sih. Oh ini akunnya Kak Seul sama Kak Jen? Gue follow boleh nggak?”

“Terserah kamu. Kalau mau follow silakan aja.” jawab Irene. “Kalau saya follow akun kamu boleh nggak?”

“Follow aja, tapi gak bakal gue accept.”

“Loh kok gitu?”

“Yaiyalah, ntar kalo gue lagi ngomongin lo yang jelek-jelek jadi ketauan dong.”

Irene tertawa, “You never failed to amaze me.”

“Lo deket banget ya sama Kak Seul?” tanya Wendy tiba-tiba. Teringat percakapan dengan Seulgi beberapa hari lalu.

“Yes, she’s my bestest best friend. Well more than best friend too, kalau ada level di atas sahabat di bawah saudara, itu Seulgi. No, let me rephrase, dia udah kayak saudara tak sedarah.”

“Emang udah kenal lama sama Kak Seul?”

“Iya, bahkan sebelum kamu pindah ke komplek. Inget nggak dulu kita main bertiga?”

“Mau jawaban jujur?”

“Kenapa? Nggak inget ya?”

“Hehe.”

“Wajar sih, kamu dulu juga cuma suka ngikutin saya dan Seulgi aja. Terus kalau gak dibolehin ikut kamu nangis.”

Posisi Irene masih sama, kepalanya berada di atas paha Wendy. Tetapi kini perlahan Irene memutar posisi tidurnya sehingga ia menatap Wendy. Sedangkan Wendy memilih untuk tidak membalas tatapan Irene dan kembali sibuk dengan ponselnya. Tangan kanannya asik membuka-tutup aplikasi sosial media di ponselnya itu, namun tanpa Wendy sadari, tangan kirinya justru membelai rambut Irene.

“Mau denger cerita lainnya nggak?”

Wendy tidak menjawab melainkan hanya mengangkat bahunya. Gesture ini Irene anggap sebagai penerimaan dari Wendy.

“Inget gak dulu banget sempat populer barang couple buat sahabat gitu? Saya sama Seulgi beli matching school shoes. Terus kamu juga pengen tapi gak ada ukuran yang pas buat kamu.”

“And then?”

Wendy merasa geli membayangkan sosok dirinya, Irene, dan Seulgi sewaktu mereka kecil. Walaupun ia tidak ingat apa yang Irene ceritakan tetapi ia tetap mendengarkan dengan serius cerita yang cukup menarik perhatiannya ini.

“Ya kamu ngambek sama saya, sampai saya dimarahi orang tua saya karena kamu pulang-pulang nangis, lagi. Yang paling lucu pas saya sama Seulgi bikin friendship necklace, kamu juga ikutan pengen. Akhirnya bukan couple necklace tapi jadi triple necklace.”

Ucapan Irene barusan terasa familiar di telinga Wendy. Bukankah ini cerita yang Seulgi ceritakan beberapa hari lalu? Tetapi kenapa ceritanya berbeda?

“Maksud lo kalung yang lo pake terus itu?” tanya Wendy.

Bukannya jawaban yang ia dapatkan, Irene malah tertawa. Kemudian ia menguap, perlahan mulai bertambah mengantuk karena tangan Wendy yang masih terus-terusan membelai kepalanya itu.

“Ada satu cerita lagi sebelum saya beneran tidur. Inget nggak dulu kamu pernah nanya ke saya kayak gini ‘kak Joohyun, pilih aku atau kak Seulgi?’”

“Ah ngada-ngada lo! Masa gue nanya gitu?”

“Nggak ada untungnya kalau saya bohong juga.”

“Yaudah, let’s say lo jujur. Terus jawaban lo apa?”

“Seulgi.”

Irene tertawa lagi saat Wendy menyentil dahinya, kesal setelah mendengar jawaban Irene.

“Should've not asking you.”

“Wajar dong, waktu itu kan kamu anak bawang udah gitu suka tiba-tiba ikut main sama saya dan Seulgi.”

“Gue kasihan sih sama your future partner, dikit-dikit Seulgi, dikit-dikit Seulgi. She has a special spot in your heart that no one can compare.”

“Not really, itu nggak bisa di compare emang. Both of them are important. Kayak yang saya bilang tadi dia udah kayak saudara. Beda tipis lah sama Yerim.”

“Okay then if you say so.”

“Masih nggak percaya?”

“Bukan gak percaya sih, apa ya hmm, amazed aja sama hubungan kalian berdua. Even me, Yerim, and Sooyoung kayaknya nggak se-deep lo sama Kak Seulgi deh.”

Wendy menaruh ponselnya di kasur kemudian ia menatap Irene. Tangan kirinya masih membelai kepala Irene.

“Apa?”

“Let’s try this then, to validate my words.”

“Apaan?”

“If I ask you to choose me or Seulgi, right now, siapa yang lo pilih?”

Irene sekali lagi menguap, ia kemudian mengubah posisi tidurnya kali ini menghadap ke arah perut Wendy.

“Dih malah tidur, lo gak mau jawab karena jawabannya masih sama kan?” kali ini Wendy mencubit lengan Irene.

“Aww! It hurts!”

“Bodo amat. Lagian sok-sok acting cool gitu.”

“Because your question is ridiculous, no need to ask the answer is crystal clear. Kamu.”

167

Irene memijat keningnya sembari mendengarkan penjelasan Seulgi tentang kejadian setelah ia dan Wendy menghilang dari acara anniversary kantornya itu.

Sudah hampir tiga jam ia habiskan waktunya untuk berkomunikasi dengan Yerim dan Seulgi dalam dua waktu yang terpisah.

Yerim lebih banyak bertanya dan mendengarkan cerita Irene kemudian baru ia memberikan update info tentang keadaan kedua orang tua mereka itu. Yerim juga sudah berjanji akan membantu Irene dan Wendy kalau-kalau mereka membutuhkan bantuan mengingat jadwal Yerim yang jauh lebih fleksibel dibandingkan Seulgi dan Jennie.

Di akhir durasi telpon, Yerim kembali mengingatkan Irene bahwa ia tidak sendirian dan begitu pula dengan Wendy.

Berbeda dengan Yerim, Seulgi lebih banyak memberikan update tentang hal-hal yang terjadi setelah insiden dan memberikan sedikit informasi tentang kedua orang tua Wendy. Ia tidak perlu banyak mendengarkan cerita dari Irene karena sedikit banyak Seulgi sudah memiliki kepingan-kepingan cerita tentang Wendy. Seulgi hanya butuh jembatan penghubung.

Irene memejamkan matanya untuk beberapa detik sebelum ia kembali membuka kedua matanya dan bersandar di sofa panjang yang terletak di ruang tengah safe house miliknya itu.

Telinganya tetap dengan saksama mendengarkan penjelasan Seulgi. Dari sahabatnya itu Irene mendapatkan informasi bahwa Tuan Son menikah dengan Nyonya Do, anak perempuan satu-satunya dari mantan ketua salah satu partai politik yang berkuasa di negara mereka, kurang dari satu tahun sebelum Wendy lahir.

Hubungan Tuan Son dan Nyonya Do juga tidak begitu banyak disorot oleh publik karena keduanya tidak terlalu sering tampil bersama. Pernikahan keduanya hanya bertahan sekitar tujuh tahun, namun mereka hanya tinggal satu atap sekitar lima sampai enam tahun.

Setelah mereka bercerai Tuan Son dan Wendy pindah ke Kanada dengan Tuan Son yang selalu bolak-balik antar negara karena ia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya sebagai politisi.

Tidak banyak yang bisa Seulgi temukan tentang Nyonya Do mengingat ia berasal dari keluarga yang memiliki background kuat.

“Then Gi, where the hell this woman suddenly comes out? Lo denger kan apa yang Wendy bilang?” tanya Irene.

“Well gue belom tau Ren, but give me two days and I'll give the report to you.”

Irene mengangguk pelan dan menyadari bahwa Seulgi tidak bisa melihatnya saat ini. “Okay Gi, take your time. Anyway, semua jadwal meeting seminggu kedepan ini kalo ada yg harus gue hadirin secara fisik tolong lo gantiin aja, atau Jennie juga boleh.”

“Okay, lo mau stay disana seminggu?”

“Don't know, but for sure I'll be with her.”

“Anyway, lo juga jangan lupa jaga kesehatan ya Ren. Lo disana cuma berdua banget?”

“Nggak kok ada bibi yang jaga rumah sama security, tapi mereka tinggal di rumah terpisah.”

“Ya sama aja itu lo berdua doang kan serumah.”

“Well if you put it that way.”

“Jangan aneh-aneh lo, jangan tidur sekamar. Ntar pas setan lewat aja bahaya.”

“Gi, lo jangan ketularan Jennie sama Yerim dong.” Irene tertawa kecil, tiba-tiba teringat akan Jennie dan Yerim yang selalu menggoda hubungannya dengan Wendy.

“Haaaah bagus deh lo masih bisa ketawa. Tapi serius gue nanya nih, rumah lo kan itu gede banget lo tidur dimana terus Wendy tidur dimana?”

“Wendy tidur di kamar tidur utama, gue tidur depan tv.”

“Lah? Rumah segede gitu dan kamar sebanyak itu terus lo tidur depan tv?”

“Ya yang paling deket sama kamar tidur utama kan di depan tv. Biar gue bisa cek keadaan Wendy juga. Also, honestly gue takut tiba-tiba Wendy ilang gitu aja tanpa pamit.”

“Put some faith on her Ren. Gak baik kalo lo juga jadi ikutan dihantui kayak gini.”

“Will try Gi.”

Tak lama setelahnya, Irene mendengar suara barang terjatuh dari arah kamar yang ditempati oleh Wendy.

“Wen?”

Tidak ada jawaban.

“Kenapa Ren? Wendy bangun?”

“Gak tau, tapi tadi gue denger ada barang jatuh sih dari kamar dia. Gue cek dulu deh Gi, lo juga harus istirahat kan. Sorry banget gue telpon sampe jam segini.” ujar Irene yang memandangi jam dinding.

Pukul 2.30 pagi hari.

“No problem, you need someone to talk to. Jangan lupa kasih tau keadaan lo ke Jennie juga, ntar dia ngambek kalo tau lo cuma cerita ke gue.”

“Nanti deh agak siangan. Bye Gi.”

“Yup, take care Ren. Telpon gue aja kapan pun lo butuh.”

Irene meletakkan ponselnya di meja. Telinganya terasa sangat panas. Ia kemudian berdiri dan melakukan sedikit peregangan lalu berjalan untuk memeriksa kunci-kunci pintu rumahnya itu.

For some odd reason, Irene kemudian memilih untuk mengikuti nalurinya dan mendatangi kamar utama. Wendy masih terlelap, wajahnya terlihat sangat lelah namun dari napas yang keluar beraturan, Irene bersyukur akhirnya Wendy bisa tidur dengan nyaman.

Irene memeriksa kunci jendela kamar dan membetulkan letak selimut yang tidak menutupi tubuh Wendy dengan sempurna.

“Sleep tight Seungwan.”

Ia hendak keluar dari kamar tersebut ketika dirinya mendengar Wendy berbicara dalam tidurnya.

“M-mom p-please back. I-I need you. S-sorry. Don't be mad.”

Napasnya tercekat saat memahami ucapan Wendy. Ia tidak tahu harus berbuat apa saat itu.

Irene berjalan kembali ke arah kasur yang ditempati oleh Wendy dan berlutut tepat disebelahnya. Tangannya mengusap kepala Wendy dengan pelan.

“Sleep Seungwan. No one is mad at you. I'm here, we'll be okay.”

Setelah memastikan bahwa Wendy sudah kembali tertidur dengan tenang, Irene beranjak dari posisinya. Ia membiarkan pintu kamar Wendy sedikit terbuka, just in case.

Badannya terasa sangat lelah, she needs to sleep right now.

163

Joohyun tertawa saat ia melihat tingkah Wendy yang memberikannya tepuk tangan kecil ketika ia duduk di bangku yang berada persis di sebelah Wendy.

“Kamu ini kenapa sih hari ini? Aneh banget gak kayak biasanya.”

“Well I don't know but the pressure just so hhhhhhh you got what I mean right?”

“Nggak.” Joohyun tertawa.

“Ih! Seriously ya ini awkward banget, kayaknya gue tau deh rasanya jadi kelinci percobaan yang di dalam kandang terus diliatin sama scientist gitu.”

“You look more like a lost puppy than a rabbit sih. Well or a hamster will do too.” lagi-lagi Joohyun tertawa. Tetapi kali ini tangannya refleks menepuk kepala Wendy pelan.

Namun Joohyun cepat menarik tangannya kembali saat ia melihat Wendy mengerjapkan matanya beberapa kali. “Sorry refleks.”

Wendy yang tidak ingin suasana berubah menjadi awkward, memilih untuk tidak mempermasalahkan yang barusan. Toh ia tahu Joohyun memang tidak ada niatan buruk.

“Emang lo nggak ngerasa aneh ya? Mereka semua ngeliatin kita gini. Apa baju gue ya yang salah? Udah gue duga style lo emang patut dipertanyakan sih.” lanjut Wendy.

“They're just curious Wen. Like what I said, saya nggak pernah datang acara kayak gini sama pasangan saya. Also this is my first appearance as the boss.”

“And with your fiancée?”

“Yeah, it's also your first time appearance kan. It's gonna be fine, percaya deh. Mereka juga kalau udah bosan ya nanti gak ngeliatin kita lagi.”

“Hope so...”

“Kamu lucu ya, padahal your line of work lebih sering ketemu stranger dengan skala yang lebih besar juga.”

“Beda tau. Those people think highly of me, meanwhile these people here kayak ngejudge gue gitu.”

“Why does it matters? You are still you, Wendy Son Seungwan. Lagian harusnya kamu percaya diri aja, mereka yang harusnya takut sama kamu.”

“Eh? Why so?”

“You are the boss of their boss who always boss around their boss.”

Wendy tertawa mendengar perkataan Joohyun. As always, Joohyun dan jokesnya.

“Gue gak bossing you around ya.”

“Gak bossing around gimana? Tadi nyuruh saya pindah sini dan saya langsung pindah sini.” goda Joohyun. “Terus kamu bisa maksa saya buat nyapa semua tamu undangan yang penting cuma dalam waktu sepuluh menit. Mau contoh lainnya lagi nggak?”

“Alright, I'm bossing you around.”

Joohyun dan Wendy sama-sama tertawa saat menyadari betapa anehnya percakapan mereka. Wendy had to admit, Joohyun does make it easier for her to stay here.

Ditengah mereka tertawa membahas topik lainnya, Yerim yang jadi one-day baby sitternya Zero, ekor mata Wendy sekilas melihat Papanya sedang berbincang dengan seorang wanita yang tidak ia sangka ada di tempat ini.

Tawanya terhenti, ekspresi wajah Wendy berubah total. Lagi-lagi Wendy merasakan sensasi dimana ia merasa pernapasannya tercekat dan jantungnya berdebar dengan cepat. Ia merasakan pusing yang tak tertahankan dan pandangan matanya perlahan menjadi kabur.

“Wen?”

Joohyun yang merasa ada hal yang janggal dengan Wendy, kemudian ikut melihat ke arah yang dituju oleh mata Wendy. Ia pun cukup terkejut saat melihat Tuan Son sedang berbincang bahkan tertawa dengan Kathrine Han. Joohyun sama sekali tidak tahu bahwa mereka saling mengenal.

Merasakan Wendy perlahan mengalami panic attack, Joohyun dengan cepat berpindah tempat menghalangi pandangan Wendy.

Joohyun mensejajarkan matanya dengan mata Wendy dan ia dapat melihat kecemasan dan kemarahan disana.

“Wen, look at me Wen. Wendy you are fine Wen, breathe slowly okay?”

Wendy mengerjapkan matanya dan berusaha untuk mengangguk pelan.

“Saya pegang kamu ya? It's only me okay? I won't do anything you don't want to. Kamu percaya saya kan?”

Wendy mengangguk lagi.

“Okay, I need you to look at me. Lihat saya aja, jangan lihat yang lain Wen. Kita pulang ya?”. Ujar Joohyun, tangannya kirinya menggenggam erat tangan kanan Wendy sedangkan tangan kanannya mengelus puncak kepala Wendy.

“N-no.”

“Seungwan... Kamu yakin?” tanya Joohyun, pandangannya tak luput dari wajah Wendy.

Entah apa yang Wendy lihat, namun sorot matanya berubah menjadi penuh kebencian dan tiba-tiba Wendy berdiri dari kursinya. Ia berjalan dengan cepat dan penuh amarah menuju tempat dimana Kathrine dan Papanya berdiri.

Joohyun yang tidak memahami apa yang terjadi dengan Wendy juga ikut berdiri dan mengejar Wendy. Ia tahu ada sesuatu yang harus ia ketahui namun saat ini prioritasnya adalah untuk menyelamatkan Wendy.

Menyelamatkan kondisi Wendy yang sedang dilanda kepanikannya dan menyelamatkan nama baik Wendy di muka umum.

Wendy yang seperti dirasuki dan berubah menjadi sosok yang sangat berbeda. Dalam hitungan detik Wendy sudah sampai tepat di depan papanya dan Kathrine.

“I never know I have to see both of you again like this. Pertama kali gue liat lo lagi, gue gak tau kenapa gue yang harus pergi. Harusnya lo yang pergi jauh-jauh. Especially when you already have a rich husband!” ujar Wendy dengan penuh kebencian terhadap Kathrine.

Joohyun terpaku saat ia mendengar ucapan Wendy. Ia buru-buru melihat sekitar, takut jika percakapan pribadi ini terdengar orang banyak.

Fortunately, mereka berada jauh dari keramaian dan lokasi mereka berada cukup di pojok.

“Apa kurang lo dulu udah ngehancurin keluarga gue?! Pergi lo sekarang juga! Gak usah datengin bokap gue lagi! Fuck off bitch!”

“SON SEUNGWAN!” Tuan Son membentak Wendy dengan lantang. Ia cukup terkejut dengan yang dilontarkan oleh Wendy.

“Wen, it shouldn't be like this Wen.” Joohyun memasang badannya di depan Wendy saat ia merasa bahwa Wendy bisa kapan saja melompat ke arah Kathrine.

“No Hyun! You stay out of this! It's not your business!”

“It does! Everything concerning you is MY business too! Ayo Wen, kita cari tempat lain dan bicara disana. Kamu kayak gini cuma bakal memperkeruh suasana Wen.”

“Fuck you too Joohyun. I thought you are different, I thought you care about me but no you just selfi-...”

Ucapan Wendy terhenti saat ia merasakan panas di pipinya. Tuan Son baru saja menamparnya di depan umum.

“Seungwan, jaga ucapan kamu.”

Wendy tertawa pelan, “Yeah, it's always my fault right dad?”

With all the strength and dignity she has left, Wendy meninggalkan papanya dan Kathrine namun tidak sebelum ia melemparkan pandangan penuh benci sekali lagi.

Joohyun masih cukup terkejut dengan kejadian di depan matanya barusan. Ia ingin segera mengikuti Wendy namun Joohyun memilih untuk tinggal sejenak.

“Saya tahu ini urusan keluarga anda tapi tidak sepatutnya anda memperlakukan putri anda satu-satunya seperti itu. Apakah anda tahu kondisi Wendy yang sebenarnya? Saya rasa tidak. Saya sama sekali tidak menyangka bahwa nama baik anda yang saya dengar selama ini ternyata hanya sandiwara. Kali ini saya akan usir kalian berdua dengan sopan, tapi sebelum masalah ini selesai, I warn you two to never step your feet anywhere near Wendy ever again.”

Joohyun tidak menunggu tanggapan apapun dari Tuan Son maupun Kathrine. Ia segera menyusul Wendy yang sudah hilang entah kemana.

“Damn it Wen, don't do anything stupid right now please.” batin Joohyun. Matanya berusaha dengan cepat mencari sosok Wendy.

“Kak, lo nyari siapa?” tanya Yerim yang baru saja keluar dari restroom dan hampir menabrak Joohyun.

“Wendy. Lo bantu gue cari Wendy sekarang!”

“Hah kemana? Ada apaan sih?”

“Yerim just-...” Joohyun tidak sempat melanjutkan ucapannya saat ia menangkap sosok Wendy yang sudah hampir mencapai lobby. Joohyun tahu jika ia tidak bisa mengejar Wendy sekarang, maka ia bisa kehilangan Wendy untuk waktu yang ia tidak tahu berapa lama dan ia tidak akan tahu kemana Wendy menghilang.

Ia harus mencegah Wendy pergi dengan menaiki layanan taksi yang disediakan oleh gedung ini.

“Just tell Seulgi and Jennie I'm leaving. Kalau gue ditanyain bokap nyokap kemana, just karang aja sesuatu yang genting. Gue harus pergi sekarang.” ujar Joohyun buru-buru.

Ia segera berlari mengejar Wendy, meninggalkan Yerim yang kebingungan.

Joohyun tertawa saat ia melihat tingkah Wendy yang memberikannya tepuk tangan kecil ketika ia duduk di bangku yang berada persis di sebelah Wendy.

“Kamu ini kenapa sih hari ini? Aneh banget gak kayak biasanya.”

“Well I don't know but the pressure just so hhhhhhh you got what I mean right?”

“Nggak.” Joohyun tertawa.

“Ih! Seriously ya ini awkward banget, kayaknya gue tau deh rasanya jadi kelinci percobaan yang di dalam kandang terus diliatin sama scientist gitu.”

“You look more like a lost puppy than a rabbit sih. Well or a hamster will do too.” lagi-lagi Joohyun tertawa. Tetapi kali ini tangannya refleks menepuk kepala Wendy pelan.

Namun Joohyun cepat menarik tangannya kembali saat ia melihat Wendy mengerjapkan matanya beberapa kali. “Sorry refleks.”

Wendy yang tidak ingin suasana berubah menjadi awkward, memilih untuk tidak mempermasalahkan yang barusan. Toh ia tahu Joohyun memang tidak ada niatan buruk.

“Emang lo nggak ngerasa aneh ya? Mereka semua ngeliatin kita gini. Apa baju gue ya yang salah? Udah gue duga style lo emang patut dipertanyakan sih.” lanjut Wendy.

“They're just curious Wen. Like what I said, saya nggak pernah datang acara kayak gini sama pasangan saya. Also this is my first appearance as the boss.”

“And with your fiancée?”

“Yeah, it's also your first time appearance kan. It's gonna be fine, percaya deh. Mereka juga kalau udah bosan ya nanti gak ngeliatin kita lagi.”

“Hope so...”

“Kamu lucu ya, padahal your line of work lebih sering ketemu stranger dengan skala yang lebih besar juga.”

“Beda tau. Those people think highly of me, meanwhile these people here kayak ngejudge gue gitu.”

“Why does it matters? You are still you, Wendy Son Seungwan. Lagian harusnya kamu percaya diri aja, mereka yang harusnya takut sama kamu.”

“Eh? Why so?”

“You are the boss of their boss who always boss around their boss.”

Wendy tertawa mendengar perkataan Joohyun. As always, Joohyun dan jokesnya.

“Gue gak bossing you around ya.”

“Gak bossing around gimana? Tadi nyuruh saya pindah sini dan saya langsung pindah sini.” goda Joohyun. “Terus kamu bisa maksa saya buat nyapa semua tamu undangan yang penting cuma dalam waktu sepuluh menit. Mau contoh lainnya lagi nggak?”

“Alright, I'm bossing you around.”

Joohyun dan Wendy sama-sama tertawa saat menyadari betapa anehnya percakapan mereka. But Wendy has to admit, Joohyun does make it easier for her to stay here.

Ditengah mereka tertawa membahas topik lainnya, Yerim yang jadi one-day baby sitternya Zero, ekor mata Wendy sekilas melihat Papanya sedang berbincang dengan seorang wanita yang tidak ia sangka ada di tempat ini.

Tawanya terhenti, ekspresi wajah Wendy berubah total. Lagi-lagi Wendy merasakan sensasi dimana ia merasa pernapasannya tercekat dan jantungnya berdebar dengan cepat. Ia merasakan pusing yang tak tertahankan dan pandangan matanya perlahan menjadi kabur.

“Wen?”

Joohyun yang merasa ada hal yang janggal dengan Wendy, kemudian ikut melihat ke arah yang dituju oleh mata Wendy. Ia pun cukup terkejut saat melihat Tuan Son sedang berbincang bahkan tertawa dengan Kathrine Han. Joohyun sama sekali tidak tahu bahwa mereka saling mengenal.

Merasakan Wendy perlahan mengalami panic attack, Joohyun dengan cepat berpindah tempat menghalangi pandangan Wendy.

Joohyun mensejajarkan matanya dengan mata Wendy dan ia dapat melihat kecemasan dan kemarahan disana.

“Wen, look at me Wen. Wendy you are fine Wen, breathe slowly okay?”

Wendy mengerjapkan matanya dan berusaha untuk mengangguk pelan.

“Saya pegang kamu ya? It's only me okay? I won't do anything you don't want to. Kamu percaya saya kan?”

Wendy mengangguk lagi.

“Okay, I need you to look at me. Lihat saya aja, jangan lihat yang lain Wen. Kita pulang ya?”

“N-no.”

“Seungwan... Kamu yakin?” tanya Joohyun, pandangannya tak luput dari wajah Wendy.

Entah apa yang Wendy lihat, namun sorot matanya berubah menjadi penuh kebencian dan tiba-tiba Wendy berdiri dari kursinya. Ia berjalan dengan cepat dan penuh amarah menuju tempat dimana Kathrine dan Papanya berdiri.

Joohyun yang tidak memahami apa yang terjadi dengan Wendy juga ikut berdiri dan mengejar Wendy. Ia tahu ada sesuatu yang harus ia ketahui namun saat ini prioritasnya adalah untuk menyelamatkan Wendy.

Menyelamatkan kondisi Wendy yang sedang dilanda kepanikannya dan menyelamatkan nama baik Wendy di muka umum.

Wendy yang seperti dirasuki dan berubah menjadi sosok yang sangat berbeda. Dalam hitungan detik Wendy sudah sampai tepat di depan papanya dan Kathrine.

“I never know I have to see both of you again like this. Pertama kali gue liat lo lagi, gue gak tau kenapa gue yang harus pergi. Harusnya lo yang pergi jauh-jauh. Especially when you already have a rich husband!” ujar Wendy dengan penuh kebencian terhadap Kathrine.

Joohyun terpaku saat ia mendengar ucapan Wendy. Ia buru-buru melihat sekitar, takut jika percakapan pribadi ini terdengar orang banyak.

Fortunately, mereka berada jauh dari keramaian dan lokasi mereka berada cukup di pojok.

“Apa kurang lo dulu udah ngehancurin keluarga gue?! Pergi lo sekarang juga! Gak usah datengin bokap gue lagi! Fuck off bitch!”

“SON SEUNGWAN!” Tuan Son membentak Wendy dengan lantang. Ia cukup terkejut dengan yang dilontarkan oleh Wendy.

“Wen, it shouldn't be like this Wen.” Joohyun memasang badannya di depan Wendy saat ia merasa bahwa Wendy bisa kapan saja melompat ke arah Kathrine.

“No Hyun! You stay out of this! It's not your business!”

“It does! Everything concerning you is MY business too! Ayo Wen, kita cari tempat lain dan bicara disana. Kamu kayak gini cuma bakal memperkeruh suasana Wen.”

“Fuck you too Joohyun. I thought you are different, I thought you care about me but no you just selfi-...”

Ucapan Wendy terhenti saat ia merasakan panas di pipinya. Tuan Son baru saja menamparnya di depan umum.

“Seungwan, jaga ucapan kamu.”

Wendy tertawa pelan, “Yeah, it's always my fault right dad?”

With all the strength and dignity she has left, Wendy meninggalkan papanya dan Kathrine namun tidak sebelum ia melemparkan pandangan penuh benci sekali lagi.

Joohyun masih cukup terkejut dengan kejadian di depan matanya barusan. Ia ingin segera mengikuti Wendy namun Joohyun memilih untuk tinggal sejenak.

“Saya tahu ini urusan keluarga anda tapi tidak sepatutnya anda memperlakukan putri anda satu-satunya seperti itu. Apakah anda tahu kondisi Wendy yang sebenarnya? Saya rasa tidak. Saya sama sekali tidak menyangka bahwa nama baik anda yang saya dengar selama ini ternyata hanya sandiwara. Kali ini saya akan usir kalian berdua dengan sopan, tapi sebelum masalah ini selesai, I warn you two to never step your feet anywhere near Wendy ever again.”

Joohyun tidak menunggu tanggapan apapun dari Tuan Son maupun Kathrine. Ia segera menyusul Wendy yang sudah hilang entah kemana.

“Damn it Wen, don't do anything stupid right now please.” batin Joohyun. Matanya berusaha dengan cepat mencari sosok Wendy.

“Kak, lo nyari siapa?” tanya Yerim yang baru saja keluar dari restroom dan hampir menabrak Joohyun.

“Wendy, lo bantu gue cari Wendy sekarang!”

“Hah kemana? Ada apaan sih?”

“Yerim just-...” Joohyun tidak sempat melanjutkan ucapannya saat ia menangkap sosok Wendy yang sudah hampir mencapai lobby. Joohyun tahu jika ia tidak bisa mengejar Wendy sekarang, maka ia bisa kehilangan Wendy untuk waktu yang ia tidak tahu berapa lama dan ia tidak akan tahu kemana Wendy menghilang.

Ia harus mencegah Wendy pergi dengan menaiki layanan taksi yang disediakan oleh gedung ini.

“Just tell Seulgi and Jennie I'm leaving. Kalau gue ditanyain bokap nyokap kemana, just karang aja sesuatu yang genting. Gue harus pergi sekarang.” ujar Joohyun buru-buru.

Ia segera berlari mengejar Wendy, meninggalkan Yerim yang kebingungan.

158.

Wendy berulang-ulang kali memeriksa ponselnya, menunggu adanya chat dari Irene. Sekali lagi ia memeriksa penunjuk waktu di ponselnya dan Wendy harus menghela napas saat menyadari bahwa waktu baru berlalu tujuh menit. Masih tersisa tiga menit sebelum ia akan membombardir ponsel Irene dengan chatnya.

Hari ini sungguh ia nervous bukan main. Selain itu ia juga harus memasang senyuman bagi setiap orang yang ia temui di tempat itu, takut kalau-kalau ternyata orang yang ia jumpai adalah seseorang yang berpengaruh bagi kelangsungan perusahaan yang dinaungi oleh Irene.

Awkward? Jelas.

Lelah? Tidak usah ditanya.

Wendy bisa merasakan setiap pasang mata tertuju padanya, apalagi saat Irene dan Wendy turun dari mobil sedan milik Irene dengan bergandengan tangan. Ia tidak tahu apa yang terlintas di kepalanya sampai ia dengan refleks menggenggam tangan Irene.

Tidak hanya Wendy, Irene pun sempat tertegun tetapi kemudian ia membalas genggaman tangan Wendy dengan hangat. Irene lah yang lebih dulu mengendalikan suasana dengan berjalan tegap memasuki venue.

Orang-orang yang menyaksikan kedatangan mereka berdua benar-benar terpaku. Sebenarnya merupakan hal yang wajar, mengingat Irene adalah anak tertua dari pemilik perusahaan saat ini sekaligus pemegang jabatan eksekutif tertinggi. Ditambah, hari ini adalah pertama kali Irene membawa pasangan ke acara-acara formal kantor.

Wendy tertawa saat mengingat kata-kata yang Irene lontarkan untuk menghilangkan rasa gugupnya.

“Don't be so nervous Wen. You look awesome, you're the music genius everyone is talking about. We look like a perfect couple don't we? Come on, sombong sedikit. Kekurangan kita cuma tinggi badan aja.” goda Irene.

Wendy ingat betul bahwa setelah Irene berkelakar seperti itu, ia merasa lebih nyaman.

Mereka berdua berjalan ke arah hall yang sudah ramai dengan orang-orang berpenampilan necis. Kebanyakan dari mereka seumuran dengan orang tua Irene namun tidak sedikit yang Wendy prediksi hanya beberapa tahun lebih tua dari Irene.

Irene terlihat sangat berwibawa dengan pembawaannya yang tenang dan elegan, benar-benar kharismatik. Aura Irene benar-benar berbeda hari itu. Wendy bisa merasakan bahwa Irene sangat mengenal setiap seluk-beluk dari perusahaannya.

Bahkan Wendy sempat kaget saat Irene menyapa seorang laki-laki paruh baya yang ternyata 'hanya' seorang driver di kantor Irene. Namun Irene bisa dengan lancar menanyakan keadaan anak semata wayang dari laki-laki tersebut yang tahun ini sedang mengikuti tes masuk perguruan tinggi. Irene juga sempat menanyakan kesehatan laki-laki tersebut yang ternyata mengidap diabetes.

Irene yang kaku benar-benar disulap menjadi Irene yang sangat diplomatis, Wendy tidak heran Irene bisa meraih jabatannya sekarang diumur yang baru menginjak tiga puluh tahun.

She is on another level, indeed.

Saat itu Wendy merasa bersyukur dikenalkan dengan sosok Irene. Even if they will not end as a couple but she is sure Irene will teach her a lot about life lessons.

“So, finally I met the Wendy Son.”

Lamunan Wendy buyar saat ia mendengar suara berat khas laki-laki. Wendy yang tadinya sedang menatap ke arah lautan kini memutar tubuhnya menghadap ke arah laki-laki bertubuh jangkung dengan senyuman lebar yang penuh arti.

Awalnya Wendy sempat berpikir keras mengapa laki-laki ini tampak familiar namun tak lama akhirnya Wendy menyadari siapa sosok laki-laki di depannya itu.

Park Chanyeol.

Pendiri dari LOEY Ent sekaligus sosok yang sama sensasionalnya dengan dirinya. Hanya saja Chanyeol lebih sering keluar masuk berita utama dunia entertainment ketimbang Wendy. Well, bahkan mereka berdua sempat dirumorkan menjalin hubungan.

Padahal bertemu langsung saja baru hari ini.

“Dari tadi gue penasaran banget sama sosok yang menghebohkan acara anniversary malam ini, well other than Irene.” Chanyeol tertawa.

Wendy hanya mengangkat bahunya. “I'm not that special, orang-orang aja yang terlalu heboh.”

“I'm not that special? Comes from you? Okay that's.....merendahkan diri banget. But anyway, if you perhaps don't know me, I'm-...”

“Park Chanyeol.” potong Irene. Suaranya datar tanpa emosi.

Wendy dan Chanyeol melempar pandangan mereka ke arah Irene yang berjalan ke arah mereka berdua.

“Hi Joohyun.”

“That's Irene for you. What do you want?” tanya Irene sembari menaikan sebelah alisnya.

“Nothing, just saying hi to your fiancée. But anyway, you want some?” ujar Chanyeol sambil menawarkan segelas champagne yang ada di tangan kanannya.

“She doesn't drink.” jawab Wendy sambil menunjuk Irene.

Tangan Wendy baru saja hendak mengambil champagne yang ditawarkan oleh Chanyeol tetapi Irene sudah terlebih dahulu mengambil gelas tersebut dan meneguk habis champagne dalam satu tegukan.

“Well tonight is an exceptional.” potong Irene. Ia mengernyit saat sensasi champagne membasuh tenggorokannya itu.

Chanyeol tertawa dan menggelengkan kepalanya melihat tingkah Irene. “Oh my God Ren, you never change.”

Laki-laki bertubuh jangkung itu menepuk pundak Irene dan mensejajarkan dirinya dengan telinga Irene.

“She's cute, but not my type. You gotta chill okay?”

144.

“Uhm, kayaknya yang itu nggak cocok deh.”

“Tadi lo bilang terserah gue, gimana sih?”

“Yang lain aja deh Wen, seriusan.”

“Dari tadi lo pegang hp terus pasti report ke Joohyun kan?” tanya Wendy kesal.

Seulgi menaikkan alisnya saat mendengar Wendy memanggil Irene dengan sebutan Joohyun, tapi ia tidak bertanya lebih jauh lagi.

“Slip doang kali ya?” batin Seulgi.

“Gini aja deh, lo bilang kalo dia perfectionist kan? Lo tau selera dia dong?” tanya Wendy lagi.

Seulgi mengangguk.

“Yaudah lo aja deh yang pilihin mana yang gak bakal bikin dia bawel sama gue.”

“Oke kalo gitu. Yang ini gimana?”

Seulgi menunjuk ke arah dress berwarna hitam selutut yang terpampang di salah satu manekin.

Wendy tampak berpikir keras, “Tapi gue gaada heels yang match sama dress ini.”

“Yaudah abis ini kita cari, yang jelas ini udah pasti di approve sama Irene.”

Seulgi segera memberikan order kepada petugas yang sedari tadi sudah menemani mereka berdua.

“Ukuran dia ya, jangan ketat-ketat.”

“Pertemanan lo berdua nih aneh banget ya gue liat-liat. Kadang lo lebih kayak asisten pribadinya Joohyun. Tapi kadang lo keliatan emang deket banget sama dia, kayak lebih dari sahabatan gitu malah. Udah kenal berapa lama sih lo berdua?” tanya Wendy setelah petugas meninggalkan mereka untuk menyelesaikan orderan yang baru saja Seulgi sampaikan.

Seulgi memiringkan kepalanya, mengkalkulasi secara singkat berapa lama kira-kira ia sudah mengenal Irene.

“Kayaknya sih hampir seumur hidup ya? Gue gak terlalu inget kapan pertama kali kenal Irene sih.”

“Ooh, make sense juga. Lo sama dia tuh kayak apa ya? Kalo gue gak tau, gue bisa ngira kalo lo sama dia tuh pernah ada story gitu.”

“Ngaco lo. Irene gak pernah suka sama gue, eww orang kita udah kayak saudara juga. Lagian ya Irene tuh sukanya sama orang lain, tapi dia dari dulu emang agak-agak bego jadi suka bikin salah paham emang.” Seulgi tertawa.

“Iya gini deh, exhibit A, tuh lo aja pake kalung yang sama kayak yang dipake Joohyun.” Wendy menunjuk kalung berwarna silver yang memang dikenakan oleh Seulgi.

“Oh ini? Lo perhatian juga ya? Tapi lo salah besar sih Wen. Ini ada behind the storynya gitu, mau denger gak?”

“Hmm, boleh deh. Sambil nunggu juga.”

“Well so long story short ya, Irene dulu pernah pengen ngasih kado valentine gitu tapi dia gak mau terlalu keliatan kalo dia suka sama orang ini, jadi akhirnya dia beli 3 deh. Yang satu dia pake, gue disuruh pake yang ini, yang satu lagi ya dikasih ke orangnya. Terus alesannya ini kalung persahabatan.”

“Hah? Gak nyangka gue dia segitunya.”

“Irene tuh keliatannya doang kayak gitu, aslinya sih dia soft banget.”

“Terus itu lo masih pake karena kebiasaan gitu?”

“Nggak, ini gue pake cuma biar match sama style hari ini aja. Biasanya juga gue simpen sih.”

“Eh? Gue yakin banget kalo Joohyun pake itu kalung tiap hari deh.”

“Kira-kira itu barangnya masih ada nggak ya Wen? I mean kalung yang satu lagi, kan udah lama banget tuh.”

“Mana gue tau ya? Kalo gue yang dikasih sih kayaknya udah gue simpen gatau dimana, apa lagi kalo Joohyun ngasihnya udah lama banget gitu.”

“Anyway, lo dari tadi manggilnya Joohyun mulu. Udah akrab nih ya gue liat-liat?”

“Itu dia sendiri yang bilang ke gue. Kenapa sih kayak big deal banget? Yeri juga kemaren kayak kaget gitu.”

Seulgi terdiam sejenak.

“Gue gak berhak jelasin panjang sih Wen, tapi yang jelas just to let you know that only a handful of people yang Irene bolehin untuk panggil dia pake Joohyun and you are one of them.”

“Segitunya amat?”

“Iya, makanya if you somehow can find it in your heart please treat her good ya Wen. At least if you in the end choose to let her down, do it as soon as possible.”

Seulgi menepuk bahu Wendy sebelum akhirnya ia meninggalkan Wendy yang terdiam, memikirkan kata-kata Seulgi barusan.

144.

“Uhm, kayaknya yang itu nggak cocok deh.”

“Tadi lo bilang terserah gue, gimana sih?”

“Yang lain aja deh Wen, seriusan.”

“Dari tadi lo pegang hp terus pasti report ke Joohyun kan?” tanya Wendy kesal.

Seulgi menaikkan alisnya saat mendengar Wendy memanggil Irene dengan sebutan Joohyun, tapi ia tidak bertanya lebih jauh lagi.

“Slip doang kali ya?” batin Seulgi.

“Gini aja deh, lo bilang kalo dia perfectionist kan? Lo tau selera dia dong?” tanya Wendy lagi.

Seulgi mengangguk.

“Yaudah lo aja deh yang pilihin mana yang gak bakal bikin dia bawel sama gue.”

“Oke kalo gitu. Yang ini gimana?”

Seulgi menunjuk ke arah dress berwarna hitam selutut yang terpampang di salah satu manekin.

Wendy tampak berpikir keras, “Tapi gue gaada heels yang match sama dress ini.”

“Yaudah abis ini kita cari, yang jelas ini udah pasti di approve sama Irene.”

Seulgi segera memberikan order kepada petugas yang sedari tadi sudah menemani mereka berdua.

“Ukuran dia ya, jangan ketat-ketat.”

“Pertemanan lo berdua nih aneh banget ya gue liat-liat. Kadang lo lebih kayak asisten pribadinya Joohyun. Tapi kadang lo keliatan emang deket banget sama dia, kayak lebih dari sahabatan gitu malah. Udah kenal berapa lama sih lo berdua?” tanya Wendy setelah petugas meninggalkan mereka untuk menyelesaikan orderan yang baru saja Seulgi sampaikan.

Seulgi memiringkan kepalanya, mengkalkulasi secara singkat berapa lama kira-kira ia sudah mengenal Irene.

“Kayaknya sih hampir seumur hidup ya? Gue gak terlalu inget kapan pertama kali kenal Irene sih.”

“Ooh, make sense juga. Lo sama dia tuh kayak apa ya? Kalo gue gak tau, gue bisa ngira kalo lo sama dia tuh pernah ada story gitu.”

“Ngaco lo. Irene gak pernah suka sama gue, eww orang kita udah kayak saudara juga. Lagian ya Irene tuh sukanya sama orang lain, tapi dia dari dulu emang agak-agak bego jadi suka bikin salah paham emang.” Seulgi tertawa.

“Iya gini deh, exhibit A, tuh lo aja pake kalung yang sama kayak yang dipake Joohyun.” Wendy menunjuk kalung berwarna silver yang memang dikenakan oleh Seulgi.

“Oh ini? Lo perhatian juga ya? Tapi lo salah besar sih Wen. Ini ada behind the storynya gitu, mau denger gak?”

“Hmm, boleh deh. Sambil nunggu juga.”

“Well so long story short ya, Irene dulu pernah pengen ngasih kado valentine gitu tapi dia gak mau terlalu keliatan kalo dia suka sama orang ini, jadi akhirnya dia beli 3 deh. Yang satu dia pake, gue disuruh pake yang ini, yang satu lagi ya dikasih ke orangnya. Terus alesannya ini kalung persahabatan.”

“Hah? Gak nyangka gue dia segitunya.”

“Irene tuh keliatannya doang kayak gitu, aslinya sih dia soft banget.”

“Terus itu lo masih pake karena kebiasaan gitu?”

“Nggak, ini gue pake cuma biar match sama style hari ini aja. Biasanya juga gue simpen sih.”

“Eh? Gue yakin banget kalo Joohyun pake itu kalung tiap hari deh.”

“Kira-kira itu barangnya masih ada nggak ya Wen? I mean kalung yang satu lagi, kan udah lama banget tuh.”

“Mana gue tau ya? Kalo gue yang dikasih sih kayaknya udah gue simpen gatau dimana, apa lagi kalo Joohyun ngasihnya udah lama banget gitu.”

“Anyway, lo dari tadi manggilnya Joohyun mulu. Udah akrab nih ya gue liat-liat?”

“Itu dia sendiri yang bilang ke gue. Kenapa sih kayak big deal banget? Yeri juga kemaren kayak kaget gitu.”

Seulgi terdiam sejenak.

“Gue gak berhak jelasin panjang sih Wen, tapi yang jelas just to let you know that only a handful of people yang Irene bolehin untuk panggil dia pake Joohyun and you are one of them.”

“Segitunya amat?”

“Iya, makanya if you somehow can find it in your heart please treat her good ya Wen. At least if you in the end choose to let her down, do it as soon as possible. Eh tuh udah bisa bayar kita, gue ke kasir dulu ya.”

Seulgi menepuk bahu Wendy sebelum akhirnya ia meninggalkan Wendy yang terdiam, memikirkan kata-kata Seulgi barusan.

127.

Wendy merapikan barang bawaannya saat ia melihat gerbang kompleks apartemennya semakin dekat.

Setelah ia bertanya beberapa hal tentang kebiasaan Irene kepada Yeri, Wendy memutuskan untuk membuatkan Irene barley tea hangat dan sup krim.

Setelah ia membayar ongkos taksi, Wendy bergegas menuruni taksi yang ia naiki dan segera berjalan menuju lobby apartemennya. Tanpa sadar Wendy menggaruk dahinya sekilas saat ia menunggu pintu elevator terbuka, sebuah kebiasaan yang akan timbul saat Wendy sedang bingung.

Ia bingung harus memulai percakapan dengan Irene darimana.

Kemarin setelah confession yang cukup mengagetkan dari Irene, mereka tidak banyak berbicara. Paling hanya basa-basi untuk mencairkan suasana selama perjalanan pulang dari apartemen Taeyeon.

Wendy sendiri sudah kepalang mengantuk setelah menghabiskan tenaganya membuat hampir empat lusin kue yang tadi pagi akhirnya ia bagi-bagikan dengan staff di studio musik.

Ruangan pertama yang Wendy sambangi setelah ia masuk apartemennya adalah dapur. Ia menaruh semua barang bawaannya di meja makan kemudian Wendy buru-buru menuju ke kamar Irene untuk memeriksa keadaan wanita yang hampir pingsan di kantor.

Wendy mengetuk pelan pintu kamar Irene, kemudian ia mengintip perlahan. Dengan sengaja ia hanya menyempilkan kepalanya diantara celah pintu.

Kamar Irene cukup gelap. Gorden kamar tersebut tertutup rapat dan lampu kamar sengaja dimatikan.

“Ren?”

Tidak ada jawaban.

Akhirnya Wendy mendorong pintu kamar lebih lebar lagi, perlahan Wendy melangkah masuk. Tanpa sadar Wendy sedikit menahan napasnya, takut membuat Irene terbangun.

Barulah saat Wendy berjalan mendekati kasur, ia melihat Irene yang tertidur pulas dengan tubuh yang terbalut selimut dengan sempurna. Napasnya cukup teratur, sekilas Irene terlihat baik-baik saja namun Wendy dapat melihat bahwa Irene berkeringat cukup banyak.

“Ren, gimana keadaan lo?”

Dahi Irene mengernyit saat ia merasakan Wendy menyentuh dahinya untuk memeriksa suhu tubuhnya. Ia sempat membuka matanya sejenak untuk melihat siapa yang menyentuhnya namun ia segera memejamkan matanya kembali setelah ia mengetahui bahwa itu adalah Wendy.

“Other than feeling like just get hit by a bulldozer, I'm feeling good.”

“Asli lo lebay banget. Kata Kak Seul lo hampir pingsan?”

“Nggak, itu Seulgi bohong.”

“Well kalo lo sekarang se-lemes ini, gue lebih percaya Kak Seul sih. Badan lo meriang juga ini. Mau ke RS?”

“Gausah, cuma butuh istirahat aja.”

“Yee, tadi pagi juga lo ngomongnya gitu ke gue akhirnya tumbang gini.”

Irene hanya menggumam pelan yang sama sekali tidak bisa ditangkap oleh pendengaran Wendy.

“Yaudah deh lo tidur lagi dulu, gue bikinin sup krim sama barley tea anget ya. Kata Yerim nyokap lo suka bikinin barley tea anget kalo lo sakit?”

Irene kini justru mengubah posisi tidurnya, matanya menatap Wendy dengan lekat.

Yang dipandangi dengan serius justru menjadi salah tingkah, lagi-lagi Irene dan ke-random-an nya.

“Kamu pulang sama siapa?”

Wendy diam sesaat, ia ragu untuk menjawab teringat akan pertengkaran mereka kemarin dan alasan dibalik sikap Irene. Ia tidak ingin terjadi pertengkaran lainnya karena saat ini kondisi Irene yang sedang lemah dan jujur dirinya pun lelah.

“Dianter sama Kak Seul.”

“Bohong.”

“Nggak kok seriusan, tanya aja sama Kak Seul.”

“Wen, planner saya, Seulgi, dan Jennie itu ke-link semua. Saya bisa lihat jadwal mereka, Seulgi ada urusan di plan site hari ini dan jaraknya 40 km dari sini.” ujar Irene. Ia menarik napas cukup dalam.

“Kamu pulang naik apa?” tanya Irene lagi, suaranya terdengar agak serak.

“Kalo gue jawab jujur lo jangan marah ya? Sumpah gue males ribut lagi. Tadi gue naik taksi.”

“Kamu susah banget ya dibilangin.”

“Yee mulai kan? Lagian sekarang gue balik tanya, lo tau Kak Seul gak bisa jemput gue dan gue gak bawa mobil, terus gimana caranya gue bisa segera cek keadaan lo kalo gue gak naik kendaraan umum?”

“Saya bisa minta driver saya jemput kamu.”

“Okay, but in case driver lo gak bisa gimana? Lo bakal maksain buat nyetir dan jemput gue?”

“Iya.”

“Dih gila lo ya? Udah tumbang gini masih juga ngotot. Kalo lo nyetir yang ada kita bisa mati berdua di jalan.”

Wendy memicingkan matanya. Ia lupa bahwa Irene memang benar-benar keras kepala, Wendy juga lupa bahwa Irene beda tipis dengan tembok beton.

“Udah ah, jangan ngajak ribut lo Ren. Mending lo tidur disini, gue mau bikinin krim sup sama barley tea lo.”

Wendy yang sudah membalikkan badannya untuk berjalan meninggalkan kamar Irene, harus berhenti melangkah saat merasakan Irene menarik ujung sweater yang ia kenakan.

“Apaan?”

Lagi-lagi Irene tidak menjawab dan hanya memandangi Wendy dengan lekat.

“Dih lo kenapa sih anjir? Ngapain ngeliatin gue kayak gitu?”

“Jangan lama-lama masaknya.

“Hah??”

“Iya jangan lama-lama masaknya, saya laper.”

“Asli nyebelin banget lo kak.”

“Joohyun.”

“Hhah???”

“Jangan panggil saya pakai kak lagi, saya gak mau sama kayak Seulgi. Panggil saya Joohyun aja.”

“Fix sih lo sakit ya? Jalan pikir lo super aneh hari ini. Gue biasanya juga manggil lo Irene.”

Irene menggeleng, “Yang manggil Irene cuma rekan kerja, yang manggil saya Joohyun itu orang-orang terdekat saya dan keluarga.”

“Yaudah iya iya, JOOHYUN.”

“Besok-besok jangan bohong lagi ya, saya paling gak suka dibohongin.”

“Iya cereweeet.”

“Good, mulai besok kamu pakai mobil saya aja.”

“Yes mother.”

“Jangan naik kendaraan umum lagi.”

“Demi penguasa bumi dan surga.....Iya BAE JOOHYUN.”

“Kalo kepepet banget telpon saya. Nanti saya yang anter jemput kamu.”

“Sumpah lo bawel banget, udah ah gue mau mulai masak nih.”

Irene -slash- Joohyun, hanya tertawa pelan. Ia kembali bersembunyi di balik selimutnya.

“Dasar nyebelin, tau gitu gue gak buru-buru pulang buat cek keadaan lo.” ujar Wendy saat ia meninggalkan kamar Irene.

121.

Bel apartemen Taeyeon berbunyi tepat pada saat oven miliknya mengeluarkan bunyi khas yang ditunggu-tunggu sebagai penanda kue telah matang.

Wendy dan Taeyeon yang sedang tidur-tiduran di sofa abu-abu yang terletak di ruang tv itu hanya saling melempar pandang, saling melempar tugas untuk membuka pintu.

Bel apartemen Taeyeon berbunyi sekali lagi sebelum akhirnya Taeyeon menghela napasnya.

“Oke oke pintunya gue yang buka. Lo urus tuh semua cake yang lo bikin.” ujar Taeyeon sambil melempar bantal sofa tepat ke arah muka Wendy.

“Kayaknya gue yang tuan rumah tapi kok gue yang takut sama tamu sendiri.” bisik Taeyeon sembari berjalan ke arah pintu masuk dengan malas.

“Love ya Taeyeon!” teriak Wendy.

Taeyeon yang sudah menduga siapa sosok dibalik pintu tersebut memutar bola matanya saat melihat Irene melambaikan tangannya.

“Hello couz, sorry lama ya. Nih, gue kasih sesajen buat Zero.” ujar Irene sembari memberikan sebuah box dengan label yang familiar bagi Taeyeon.

“Oke dimaafin. Tuh orangnya di dapur gue.” ujar Taeyeon, mempersilakan Irene untuk memasuki apartemennya itu.

“Gembel banget lo tumben?” tambah Taeyeon.

Sosok Irene yang Taeyeon tahu merupakan seseorang yang tidak pernah tampil dengan gaya berpakaian yang berantakan, minimal ia akan menggunakan kemeja dan celana bahan kemana pun ia pergi. Sekalipun Taeyeon sedang mengunjungi Irene di rumahnya, Taeyeon selalu melihat Irene dengan gaya berpakaian yang rapi.

Namun hari itu untuk pertama kalinya Taeyeon melihat Irene mengenakan celana jogger berwarna putih -yang lebih mirip seperti celana tidur-, hoodie berwarna hitam yang terlihat lusuh, dan overcoat berwarna ungu gelap yang tidak kalah lusuh dengan hoodienya.

“Iya buru-buru, takut ilang lagi orangnya.”

Well, jawaban yang sangat masuk akal. Taeyeon juga baru menyadari kacamata bulat dengan frame berwarna silver metalik yang bertengger manis di hidung Irene.

Biasanya Irene selalu memilih menggunakan contact lense dibandingkan dengan kacamata.

Kini keduanya telah berada di ruang makan, jarak mereka tidak lebih dari delapan meter dengan Wendy yang saat ini memunggungi keduanya.

“Siapa yang dateng sih?” tanya Wendy sembari mengeluarkan sisa-sisa kue dari oven ke atas tatakan, masih belum menyadari kehadiran Irene.

Taeyeon memberikan kode bahwa ia akan meninggalkan Irene dan Wendy berdua yang dibalas dengan anggukan oleh Irene.

“Saya Wen.”

Tangan Wendy terhenti di udara ketika ia mendengar suara Irene, ia menengadahkan kepalanya untuk memeriksa apakah pendengarannya memang tidak salah.

“Wow banyak banget yang kamu bikin siang ini. Kamu suka baking ya?” tanya Irene untuk menyairkan suasana. “Saya suka carrot cake by the way.”

Wendy tidak menggubris ucapan Irene. Yang diajak berbicara kembali sibuk dengan kue-kuenya itu.

Karena tidak ada jawaban akhirnya Irene berjalan mendekati Wendy dengan langkah pelan, berusaha untuk membuang waktu sembari berpikir akan berbicara apa lagi.

“Uhm, saya bisa bantu apa? Kamu butuh bantuan apa?”

“Gaada, butuhnya lo pergi aja.”

“Well, kalo itu saya nggak bisa.”

“Yaudah kalo gitu gue aja.” ujar Wendy sembari menghela napas dengan kasar dan melepaskan sarung tangan oven yang ia gunakan.

Irene yang melihat gelagat Wendy serius dengan ucapannya itu, buru-buru menghadang Wendy dengan berdiri tepat di depan Wendy. Berusaha untuk menghalangi langkahnya.

“Saya mau minta maaf Wen. Maaf karena buat kamu ngerasa dikekang, tapi saya punya alasan sendiri Wen.”

“Nggak peduli. Minggir.”

Irene menggeleng.

“Gue bilang minggir.”

Irene tidak menjawab, ia justru mengeluarkan ponselnya dan menunjukan sebuah foto.

Wendy menatap foto tersebut dan ia dapat menebak bahwa latar dari foto tersebut kurang lebih adalah acara wisuda. Ia mengenali dua diantara tiga sosok pelajar SMA yang ada di foto itu, Irene dan Seulgi.

Tetapi tidak dengan orang yang berada tepat disebelah kanan Irene, gadis yang dirangkul oleh Irene. Gadis itu sama sekali tidak mirip dengan Jennie.

Belum sempat Wendy membuka mulutnya, Irene sudah terlebih dahulu memotong niat Wendy tersebut.

“Ini Saya, Seulgi, dan yang ini.....Nana.” jari Irene menunjuk satu per satu sosok yang ada dalam foto tersebut.

“Hubungannya sama gue apa ya? Lo mau cerita panjang lebar juga gue tetep males liat muka lo sekarang.” potong Wendy.

“Saya punya alasan Wen, kenapa saya.....gak ngerasa nyaman kalau kamu pergi sendiri naik kendaraan umum.” ujar Irene sembari memasukan kembali ponselnya ke saku hoodie yang ia kenakan.

Penasaran.

Perasaan itu muncul dalam diri Wendy, namun egonya yang terlalu tinggi dan rasa marah tak beralasan yang ia rasakan terhadap Irene tetap saja mengalahkan rasa penasaran itu.

“Waktu di ruangan saya, kamu yang cerita ke saya tentang kamu kan? Sekarang boleh gantian saya yang cerita tentang saya?”

Wendy terdiam beberapa saat, ia tidak mengira Irene akan mengeluarkan kata-kata yang demikian.

“Kamu ingat nggak dulu rumah saya, kamu, dan Seulgi itu deketan? Jadi dulu setelah kamu pindah, ada keluarga lain yang nempatin rumah kamu itu. Mereka punya satu anak perempuan, Nana. Kebetulan karena kami bertiga seumuran dan pergi ke sekolah yang sama sampai kuliah, kami jadi......sahabatan.”

“Well pasti kamu bingung ya, saya bilang kami kenal sampai kuliah tapi yang saya tunjukin foto waktu SMA. Ini foto terakhir kami bertiga sebelum ada kejadian buruk yang menimpa Nana.”

“Hah?” tanpa sadar kata tersebut terlontar dari mulut Wendy.

“Waktu itu setelah penerimaan mahasiswa baru ada pentas, mini konser if you wanna call it like that. Seulgi sakit jadi dia nggak datang, saya of course nggak suka keramaian kayak gitu jadi nggak datang. Tapi Nana pengen banget untuk datang, dia udah minta saya buat nemenin dia, tapi saya tetap nggak mau.”

Melihat raut kesedihan dan ekspresi pilu yang menyesakkan di wajah Irene membuat Wendy bingung harus bertindak seperti apa.

Ia hanya memalingkan pandangannya sepersekian detik, melihat ke arah Zero yang mengintip dari lorong yang mengarah ke kamar Taeyeon, dan pada saat ia menatap Irene lagi, Wendy melihat setetes airmata jatuh di pipi perempuan yang masih berdiri tepat di depannya itu.

“R-ren....?”

Irene menggelengkan kepalanya lalu mengusap airmatanya, “Sorry, I'm being emotional.”

“Well long story short, Nana akhirnya berangkat sendiri dan pulang sendiri juga. Namanya konser pasti pulang malem kan ya?” Irene tertawa ringan.

Namun bagi Wendy tawa dari Irene itu justru terdengar menyayat hati.

“Entah kenapa malam itu tiba-tiba saya punya feeling yang nggak enak, saya telpon Nana dan nawarin untuk jemput dia di kampus. Tapi Nana tolak, karena menurut dia udah terlalu malam buat saya untuk driving my car. Akhirnya setelah kami tawar-menawar, Nana pulang naik taksi Wen.”

Seketika airmata Irene jatuh kembali setelah ia menyelesaikan kalimatnya.

“Ren are you sure you're okay?”

Irene menggeleng lagi, entah untuk yang ke berapa kali.

“S-she took the fucking taxi...... a-and.....”

Kali ini Irene tidak berhasil menahan airmata yang mengalir ke pipinya, namun ia masih berusaha keras untuk tidak menangis tersedu-sedu.

Melihat bahu Irene yang bergetar hebat, tubuh Wendy secara otomatis berjalan mendekati Irene dan tanpa ia duga, Wendy menarik Irene dan memeluk tubuh yang sedang berjuang melawan kesedihannya itu.

“S-she took that fucking taxi and the driver.....th-the driver, h-he.... raped her....” ucapan Irene terpotong oleh isakannya yang sudah tidak mampu ia tahan lagi. “I should've.......forced her.... t-to let me pick her up.”

Wendy memeluk erat tubuh Irene, memohon supaya Irene untuk berhenti melanjutkan ceritanya yang sangat jelas menyakiti Irene.

Tanpa Irene menjelaskan lebih lanjut pun, Wendy sudah memahami alasan Irene yang melarangnya menggunakan kendaraan umum. Justru kini Wendy sangat merasa bersalah terhadap Irene.

“Sh-she was so traumatized t-that she....in the end....took her life Wen.” tambah Irene dengan lirih.

Meskipun suara Irene sangat pelan, namun Wendy dapat mendengar dengan jelas ucapan Irene. Posisi kepala Irene yang bersandar di dada Wendy membuatnya dapat mendengar dengan jelas setiap kata demi kata yang keluar dari mulut Irene.

“R-ren, I'm so sorry....”

“I won't let that happen again, ever, to my closest person Wen. I don't want it to happen to anybody, especially you.” ujar Irene lagi. Tangannya menggenggam erat baju Wendy.

“Ren sorry banget, gue gak seharusnya langsung marah ke lo kayak tadi tanpa dengerin alesan lo ren...”

“No, don't say sorry Wen. Kamu nggak salah apa-apa.”

Irene memejamkan matanya, berusaha untuk menghentikan tangisannya.

“I...know saya bukan orang yang nyaman untuk kamu ajak bicara. I need to learn how to communicate like a normal person, i know that.” ujar Irene yang kemudian menarik napas panjang. “but I do care about you Wen.”

“Kamu boleh anggap saya nggak ada, but please let me fulfill my promise to your father, I'll take care of you selama kamu disini.” lanjutnya lagi.

Selepas Irene menyelesaikan kalimatnya itu, hanya ada keheningan diantara mereka berdua.

Irene yang masih berusaha mengatur emosinya yang berantakan dan Wendy yang hanya bisa mengedipkan matanya.

Pasalnya, Wendy dapat merasakan kejujuran dan ketulusan Irene dalam perkataannya itu. Ia dapat merasakan bahwa tidak ada motif lain dalam perkataan Irene selain apa yang ia ucapkan.

Irene adalah orang kedua.

Ini adalah kali kedua dalam hidupnya Wendy merasakan ketulusan seseorang yang mengatakan bahwa mereka ingin memperhatikan dan menjaga dirinya.

Sedangkan orang yang pertama, merupakan cinta pertamanya.

105.

“Yo!!! Ini dia the other halfnya Wendy!!!” teriak Yerim saat melihat Irene dan Seulgi berjalan memasuki area restoran.

“Oh my god Yerim behave! Malu tau dilihat banyak orang!” gerutu Irene

“Yang bikin orang ngeliatin kita tuh bukan gue ya, salah lo sendiri dateng kesini pake dress kayak gitu!”

Irene hanya mengangkat bahunya.

Sementara itu, Seulgi yang berjalan tepat di belakang Irene langsung duduk di sebelah Sooyoung saat ia melihat bahwa dua kursi yang kosong adalah kursi yang berada di sebelah Sooyoung dan Wendy.

Saat menyadari bahwa kursi yang tersisa hanya di sebelah Wendy, Irene langsung menarik kursi yang ditempati oleh Seulgi.

“Gi, lo kok duduk situ sih? Pindah dong!”

“Nggak mau lah Ren! Kan gue yang duluan duduk sini, lagian ya itu kursi sebelah Wendy masih kosong. Lo duduk sama Wendy tuh.”

Irene yang sudah merasa sangat lelah, akhirnya memilih untuk duduk di sebelah Wendy. Namun ia menarik kursinya agar memiliki jarak yang sedikit lebih jauh dengan kursi Wendy.

Kalau Irene boleh jujur, sebenarnya ia tidak ingin datang jauh-jauh ke Lake House karena saat ini tubuhnya sudah benar-benar lelah. Ia bisa merasakan sekujur tubuhnya berteriak meminta untuk beristirahat, namun ia tidak bisa tenang jika Wendy harus menghadapi Sooyoung dan Yerim sendirian.

Walau sejujurnya, Irene sendiri tidak tahu apa yang harus ia lakukan jika Sooyoung dan Yerim mulai bertingkah aneh.

Tanpa Irene sadari, ia melirik ke arah Wendy dan melihat piring yang terletak di depan Wendy, beef cordon bleu yang sudah Wendy makan separuh. Ia sangat lapar saat ini dan beef cordon bleu milik Wendy benar-benar menggodanya.

“Ngapain lo ngeliatin makanan gue?” tanya Wendy.

“Saya lapar wen, boleh minta nggak?”

Wendy tercengang dengan pertanyaan Irene, sama sekali tidak menyangka bahwa Irene akan berkata demikian.

“Dih, kan gue belom selesai makan kak. Lagian masa lo makan sisa gue sih? Pesen lagi aja.”

Irene menggeleng, “Saya nggak ngerasa bisa makan banyak malam ini, tapi saya lapar. Kamu pesen lagi aja ya? Saya makan punya kamu.”

“Gak ah! Gini aja deh kak, lo gue pesenin lagi aja ya? Kalo lo nggak habis, ntar kita take away aja. Tadi mereka cepet kok serve nya.”

Irene hanya mengangguk. Kemudian ia bersandar pada kursinya dan menutup kedua matanya sejenak.

“Ngobrolnya sama kita-kita juga dong! Jangan ngobrol berdua doang!!” ujar Yerim

“Emang ya kalo lagi kasmaran, dunia serasa milik berdua yang lain kontrak!” tambah Sooyoung diikuti oleh gelak tawa dari Yerim dan Seulgi.

“Joy lo sadar diri ya! Emang gue gak liat sejak Kak Seulgi dateng lo langsung gandengan, senderan ke dia ya!” serang Wendy.

Wendy sudah siap menyerang Yerim namun ia mengurungkan niatnya dan memilih untuk memanggil pelayan untuk memesankan makanan milik Irene.

“Kak Seulgi, lo mau pesen apa? Biar sekalian.”

“Makanan langganan dia nggak ada di menu Wen, dia pasti langsung order sendiri ke dapur.” ujar Yerim.

“Yups, Yerim bener. Sini aku aja yang order makanannya Irene.”

“Hah? Kok gitu?” tanya Wendy saat melihat Seulgi benar-benar berjalan ke arah dapur restoran.

“Resto ini punya keluarga saya, well punya sepupu saya sih lebih tepatnya. Saya kira kamu tau.” jawab Irene.

“Oh, I see...” Wendy meneguk minumannya.

Tidak lama setelahnya, Wendy melihat Irene mengusap lengannya. Tiba-tiba ia juga mengingat bahwa Irene sempat terlihat menggigil.

Hal yang wajar mengingat Irene masih mengenakan dress dengan bahu yang terbuka miliknya itu.

“Lo kenapa nggak ganti baju lagi sih? Heran gue. Nih ganti baju lo pake ini.” ujar Wendy sembari memberikan cardigannya kepada Irene.

“Kemeja saya yang tadi pagi saya pakai ke kantor ketumpahan teh, jadi nggak saya pakai lagi. Ini beneran saya pinjam baju kamu nggak apa-apa?” tanya Irene.

“Kalo gue tawarin artinya boleh. Dress yang lo pake juga punya gue. Udah buruan ganti nih, daripada gue berubah pikiran.”