youngkimbaeson

225

Baru lima menit Irene menunggu di lobby gedung entertainment yang menaungi Wendy namun ia sudah cukup malas dengan tatapan-tatapan dari orang-orang yang ada disana. Entah karena penasaran atau rasa heran.

Irene namun tidak ambil pusing atas tatapan yang ia dapatkan, they can stare as much as they want anyway.

Ia kembali memeriksa chat roomnya dengan Wendy dan harus mengernyit saat ia melihat chat terakhirnya tidak dibalas oleh Wendy.

Sementara itu Wendy yang baru saja keluar dari lift langsung mencari sosok Irene yang tadi mengaku bahwa dirinya sudah ada di lobby. Matanya sempat mengedar kesana-kemari sebelum ia melihat sosok Irene yang mencolok dengan sweater hijau dan celana jeans hitam.

“Tumben?” batin Wendy. Namun ia harus menahan tawanya saat melihat raut wajah Irene yang terlihat sangat jutek.

“So, kita mau langsung pulang atau mampir makan dulu?” tanya laki-laki yang sedari tadi bersamanya.

“What?”

“Lo jadi bareng gue kan?”

Wendy menggeleng, “Sorry gue nggak jadi, udah ada yang jemput.”

“Hah? Who?”

Wendy menunjuk ke arah Irene yang masih cuek dengan keadaan sekitarnya. “Her.”

Mata laki-laki itu kemudian melihat ke arah yang ditunjuk Wendy dan bersiul pelan, “Tell me your ways, damn it. Lo bisa dapet yang kayak gini dimana sih?”

Wendy hanya mengendikan bahunya. “Dah ah gue mau balik! Besok gue ada schedule juga.”

“Kalo udah bosen, kenalin ke gue dong. Boleh juga tuh cewek, your new toy I mean.”

Mendengar ucapan itu Wendy langsung memukul tenggorokan temannya itu yang mengakibatkan laki-laki tadi langsung terbatuk kesakitan. “Jaga ucapan lo ya. If you ever make your way, I’m gonna show the world how small your friend is.”

Laki-laki tadi masih terbatuk, sontak menutupi selangkangannya. “Hey my friend is not small! Also damn Wen possessif much? Chill, I'm just kidding! Sakit banget anjir ini.”

“Makanya kalo ngomong mikir dulu!”

“Wan?” panggil Irene yang sudah berjalan ke arah mereka berdua.

Irene menyapa laki-laki yang berdiri disamping Wendy dengan mengangguk pelan, kemudian ia menyodorkan tangannya. “Irene Bae, Seung….Wendy’s fi….friend.”

“Lucas, her boyfriend. Please make it a secret, the public shouldn’t know it.” Jawab Lucas sembari menjabat tangan Irene dan memberikan senyuman sangat lebar kepada Irene.

Ekspresi Irene seketika berubah.

Sementara itu Wendy yang tidak memprediksi bahwa Lucas akan berkata demikian langsung memukul perut laki-laki itu dan menendang kakinya. “Stop joking, it’s not funny you dickhead!”

“Shit wen! Stop assaulting me!” ujar Lucas sembari menghindari tinjuan yang masih dilayangkan oleh Wendy dan berlari ke arah pintu belakang gedung, tempat dimana ia memarkirkan mobilnya. “Bye honey!”

“I’m not your honey!! Pergi lo jauh-jauh!” teriak Wendy, kemudian ia berjalan kembali ke arah Irene. “He's just joking, okay? I’m not in a relationship with anyone right now, or well at least since the last 5 years.”

Jawaban Wendy justru memperkeruh suasana hati Irene, namun ia sadar Wendy dari awal sudah mengingatkannya bahwa ia belum bisa membalas perasaan Irene.

She only cares about her, as a…...friend….maybe.

“But we kissed and hugged each other?” pikir Irene.

“Hyun? You okay? Lucas emang suka gitu orangnya, nggak mikir kalo ngomong.”

“Let’s go home.”

Irene berjalan ke arah yang sama dengan arah yang Lucas tempuh, ia sama sekali tidak berbicara sedikit pun. Sementara itu Wendy tetap cuek, ia kira Irene hanya lelah dan lagi ia memang tidak terlalu banyak bicara jika di tempat umum.

Lima belas menit perjalanan, keduanya masih saling tidak berbicara. Kini Wendy mulai melirik ke arah Irene, ia mulai merasakan ada sesuatu yang janggal.

“Hyun.” panggil Wendy pelan.

“Hm?”

“Masih marah karena yang tadi pagi?”

“No.”

“Okay if you say so. Aku serius sama ucapanku tadi, aku beneran minta maaf. Nggak ada maksud lain selain pengen kamu istirahat yang cukup. I know kerjaan di kantor kamu lagi banyak.”

“Yeah, thanks Wen.”

“Wen? Ini aku nggak salah denger atau aku emang ngerasa kamu lagi marah ya?”

“Nggak, saya nggak marah.”

Wendy tidak menjawab lagi, ia tahu Irene sedang marah padanya. The problem is, Wendy bahkan tidak tahu alasan Irene marah. Sebenarnya ia mulai merasa kesal dengan Irene yang bersikap seperti ini, memendam rasa kesalnya bukannya justru mengkomunikasikan hal yang menyulut emosinya itu.

Wendy akhirnya memilih untuk diam, kalau ia terus bertanya pasti mereka end up bertengkar. Irene dan Wendy yang sama-sama keras kepala.

“Just what the hell is happening?” batin Wendy yang hanya bisa menghela nafas panjang.

217

Seharian Irene dan Wendy sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Irene sudah pergi dari pagi hingga siang ke bengkel karena semalam waktu mereka sedang late night drive date tiba-tiba alarm pengingat service mobil berbunyi. Sedangkan Wendy tiba-tiba dapat inspirasi untuk menulis lagu, so she’s in her don’t disturb mode.

Keduanya hanya sempat bertemu muka di dapur saat hari sudah menjelang sore, Irene yang baru saja kembali dari bengkel dan Wendy yang keluar dari studio musik karena ia kelaparan.

“Baru pulang?”

“Iya, well turned out my car is really really out of service. Jadi tadi sekalian diservice semuanya.”

“Here try this, itu kemaren dibeliin Bunda kamu.”

Wendy menyodorkan gelasnya yang berisi jus jeruk saat ia melihat Irene yang hendak mengambil air mineral dari kulkas.

“Oh, it’s so refreshing. Anyway, seharian ngapain aja? Tumben jam segini belum mandi?”

“Tiba-tiba dapet inspirasi buat nulis. Kok tau sih aku belum mandi? Emang bau ya?” tanya Wendy sambil berusaha mencium bau badannya.

Irene tertawa melihat Wendy yang mengendus tubuhnya sendiri, “Not that, you always smells good. Itu kamu masih pakai baju yang sama kayak semalam.”

Oh.

Wendy lupa kalau Irene is a detail freak but she never imagined that Irene will remember the details about her as well. Cuma baju sih, but somehow everything that comes from Irene which concerns herself makes Wendy feel special. Like Irene is really really putting her attention on her.

“Muka kamu kenapa merah gitu?”

“Oh shit, no. It’s not time to blush Son Seungwan.” ujar Wendy dalam hati.

“L-laper.”

What a weird answer to be honest. Tapi Irene terima-terima saja dengan alasan itu dan tidak bertanya lebih lanjut.

“Saya masakin ya? Yang waktu itu kan saya batal masakin kamu.”

Wendy mengangguk. Sebenarnya dia lupa yang waktu itu yang mana? Tapi karena dia sendiri memang kelaparan dan tiba-tiba Wendy merasa tidak bisa menatap Irene sama sekali, akhirnya dia mengikuti ucapan Irene.

As always karena Irene melarang siapapun untuk masuk ke rumah tanpa izinnya, sehingga sore itu Irene dan Wendy hanya berdua. Bibi yang jaga rumah standby di rumah terpisah yang memang sengaja Irene bangun untuk orang-orang yang bekerja di rumahnya itu.

Irene dengan cepat bergerak kesana kemari, menyiapkan bahan makanan dan menghidupkan kompor. Sedangkan Wendy memilih untuk langsung duduk di meja makan.

A wrong move.

Kitchen di rumah itu berhadapan langsung dengan meja makan. Jadi saat ini Irene justru bisa melihat Wendy dengan jelas and vice versa.

Sang chef dadakan tersenyum ke arah Wendy yang lagi-lagi bikin Wendy salah tingkah.

“Just what the hell is wrong with you Woman!!” batin Wendy.

Akhirnya setelah 15 agonizing minutes, Irene selesai masak buat Wendy. Khasnya Irene banget, dia sama sekali tidak berbicara banyak tapi langsung menyiapkan semuanya buat Wendy.

Sendok, garpu, bahkan sampai minuman dan dessert es krim. Irene hanya bicara satu kata.

“Enjoy.”

Lucunya Irene seperti menunggu reaksi dari Wendy yang sedang mengunyah nasi goreng buatannya itu.

“So?”

“What?”

“Itu masakan saya gimana?”

“Enakan masakan bunda kamu.” goda Wendy.

“Nyebelin.”

Wendy tertawa. Okay sekarang ia paham kenapa Yerim senang sekali menggoda Irene, karena reaksi dari Irene sangat mengundang tawa.

Lucu aja karena Irene sama sekali tidak merasa kalau Wendy sedang menggodanya. Irene yang tipikal sangat serius selalu menanggapi semua hal dengan serius, padahal orang normal juga biasanya tahu kalau ia sedang digoda.

Wendy menjulurkan tangannya ke arah tangan Irene yang ada di atas meja dan menepuk tangan Irene pelan. “Enak enak, jangan ngambek dong.”

“Siapa yang ngambek? Lagian taste bud tiap orang kan beda-beda.”

“Setuju sih dan taste bud ku lebih suka masakan bunda kamu.”

Irene tiba-tiba melotot ke arah Wendy. She feels betrayed.

Sedangkan Wendy lagi-lagi tertawa namun kali ini lebih kencang dan ia hampir tersedak. Tangannya buru-buru mengambil gelas kaca yang berisi jus jeruk dan meneguknya sampai setengah gelas.

“Reminds me to never tease you again.” ujar Wendy.

“Karma does exist huh?” ejek Irene.

“Katanya nggak ngambek?”

“Emang nggak.”

Wendy lagi-lagi tertawa, Irene masih ngambek karena dibilang masakannya kalah enak sama masakan Nyonya Bae. Ia kemudian bangkit dari kursinya dan memotong jarak diantara mereka berdua.

“Coba liat aku sini.” ujar Wendy sambil menatap mata Irene lekat. “Kamu tuh ya, kompetitif boleh tapi liat-liat dong. Dulu jealous sama Kak Seul, sekarang sama Bunda kamu sendiri?”

Irene hanya mengangkat bahunya.

“Damn, you’re truly annoyingly cute.” ujar Wendy sambil mencium bibir Irene sekilas.

Tangan Irene dengan cepat menahan tengkuk Wendy dan membalas ciuman Wendy. They exchange a few kisses here and there, mostly Irene who's initiating it.

“Hmm, so delicious and sweet.” ujar Irene, ibu jarinya mengusap bibir Wendy.

Irene tertawa saat melihat Wendy yang salah tingkah dengan ucapannya. If Wendy can tease her, so does Irene.

“The orange juice I mean.” tangan Irene mengacak-acak rambut Wendy.

“Jerk!”

“Habisin ya makanannya, saya mau mandi. Habis itu kita beres-beres buat besok and then after that we can watch some movies if you want or continue this.” ujar Irene sembari bangkit dari kursi yang ia duduki.

Kemudian Irene berjalan memutari meja dan berdiri tepat di sebelah Wendy.

“This is what I mean by continuing this.” Irene mengecup bibir Wendy sekali lagi namun lebih dalam.

Kemudian ia meninggalkan Wendy begitu saja, berjalan ke arah kamarnya dengan santai. Sedangkan pipi Wendy benar-benar memerah dan degup jantungnya sudah tidak karuan.

Bagaimana bisa Irene melakukan semua ini dengan sangat santai?

“Shit, I never know she can affect me this much.” ujar Wendy pelan.

She will never tease Irene ever again.

215.

Entah sudah berapa kali Wendy dipeluk oleh Nyonya Bae hari itu, bahkan saat mereka akan berpisah, lagi-lagi Nyonya Bae memeluk Wendy dengan erat dan diikuti dengan permintaan -setengah memaksa- untuk selalu mengirimkan kabar tentang keadaan mereka berdua melalui pesan singkat atau chat.

Sementara itu di lain sisi Wendy masih awkward setiap kali berada di dekat Nyonya Bae gara-gara kejadian pagi tadi. It will be a lot better if Yerim didn’t tell her that.

Wendy nyaris berteriak saat tiba-tiba tangannya ditarik oleh seseorang yang ternyata adalah Yerim.

“Ini gue kasih bocoran ya, mumpung kakak gue lagi ngomong sama nyokap gue.”

“Apaan?”

“Itu kakak gue uring-uringan soalnya dia udah expect mau ngedate sama lo hari ini. Emang lo udah janji?”

Wendy memiringkan kepalanya, berusaha mengingat-ingat apakah ia memang melupakan janji yang ia buat dengan Irene.

“Asli deh kalo lo udah janji, mendingan abis dari sini lo pergi kek kemana gitu sama kakak gue. Dia orangnya megang janji banget soalnya, kalo gak nepatin janji bisa marah serius atau nggak ya uring-uringan kayak gini kalo dia gak bisa marah ke orang yang gak nepatin janji.” sambung Yerim.

Tiba-tiba Wendy memukul bahu Yerim kencang, “Astaga jadi dia ngitung itu date? Gue kira dia tuh cuma asal ngomong gitu! Jadi kemaren gue gak sengaja ngerusakin handphone kakak lo, terus kan gue mau ganti gitu. Rencananya mau beli malem-malem pas lo dateng itu, terus dia ngajakin buat sekalian jalan sama gue, itu maksudnya ngedate?”

“Ih lo tuh kayak baru kemaren deh kenal kakak gue! Semua yang keluar dari mulutnya tuh serius. Yaudah gih sana pergi kemana gitu.”

“Iya iya! Thanks ya dikasih tau. Sumpah dari tadi dia mood swing banget sampe gue bingung.”

Yerim menoleh ke arah Irene yang masih berbincang dengan Bundanya. “Lo akting ya, jangan sampe kakak gue tau lo lupa, dia kalo udah kecewa gitu bisa lama soalnya.”

“Sumpah gue gak ngira dia tuh serius ngajak gue jalan!”

“Yerim!” panggil Nyonya Bae. “Ayo pulang, nanti kemaleman sampe rumahnya.”

“Yes mom! Bentar!” teriak Yerim.

“Yaudah gitu aja, ntar kalo kakak gue nanya kita ngomongin apa, bilang aja gue godain lo lagi atau apa terserah jangan bilang gue yang ngasih tau lo tentang ini.”

“Lo tuh aneh banget ya sama Joohyun. Sama-sama sok tsundere, gak capek apa?”

“Gak kuat gue kalo harus lovey dovey sama kakak gue.” jawab Yerim sambil bergidik ngeri dan membuat Wendy tertawa.

Keduanya berjalan ke arah mobil sedan mercedes benz c-class berwarna silver metalik milik Yerim yang terparkir bersebelahan dengan mobil Irene. Wendy secara otomatis berdiri di sebelah Irene sedangkan Yerim langsung duduk di kursi pengemudi.

“Jangan ngantuk lo nyetirnya, gak usah ngebut.” ujar Irene.

“Iya, lo juga gak usah kayak donald duck gitu mukanya. Jelek.” jawab Yerim singkat sambil menjulurkan lidahnya. Ia buru-buru menaikan kaca jendela mobilnya karena ia tahu Irene pasti akan memukul bahunya.

Wendy tertawa melihat tingkah kakak-adik ini dan masih terheran-heran kenapa keduanya selalu bersikap seperti tom and jerry padahal sebenarnya mereka saling perhatian.

Tangan Wendy mengelus punggung tangan Irene, ia tahu kalau Irene masih uring-uringan seperti ini bisa saja ia menganggap serius ucapan Yerim dan nanti ujung-ujungnya mereka bertengkar lagi.

Irene dan Wendy mundur perlahan saat mobil Yerim bergerak meninggalkan parkiran.

Untuk beberapa saat Irene memperhatikan mobil Yerim sebelum akhirnya ia melepaskan pandangannya setelah mobil Yerim sudah tidak berada dalam jangkauan penglihatannya.

Irene terkejut saat mendapati Wendy menatapnya seperti hendak mengatakan sesuatu namun justru mengurungkan niatnya.

“Kenapa?”

“Jawab jujur ya, kamu bad mood gara-gara kita batal ngedate ya kemaren dan possibly hari ini?”

Mendengar pertanyaan Wendy, wajah Irene langsung berubah datar. “Iya.”

“Maaf ya, kayaknya kita misscom deh. Aku kira tuh maksud kamu date itu ya beli handphone itu.” ujar Wendy. Ia memilih untuk jujur daripada mengikuti saran Yerim.

“I always meant what I said Seungwan, I thought you knew that.”

“Iya, I know. I’ve learnt my lesson now. Aku nggak lupa sama sekali kalau sama janji ganti handphone kamu itu, ini pure misscom aja.” ujar Wendy. Ia berdiri tepat di depan Irene, kedua tangannya menggenggam tangan Irene. “Maaf ya?”

Irene mengangguk, “Okay, forgiven.”

“Yaudah abis ini kita beli handphone kamu terus kita pergi ya? Terserah kamu deh mau kemana.”

“Kan tadi kita udah deal mau pergi ke tempat yang kamu bilang bagus itu? Nggak jadi?”

“Mau kesitu? Aku kira kamu udah punya rencana buat ngedate gitu.”

“Nggak ada, anywhere is fine as long as I’m with you.”

“Gombal.”

Wendy masih harus membiasakan dirinya dengan Irene and her smooth mouth. Masalahnya Irene seringkali mengeluarkan statement-statement seperti itu secara tiba-tiba.

“Terserah kalau dianggap gombal, tapi saja jujur.” jawab Irene. Tangan kirinya membelai puncak kepala Wendy.

Biasanya Wendy akan kesal kalau ada seseorang yang mengacak-acak rambutnya, namun kali ini Wendy membiarkan Irene. “So we’re good right?”

“Always.”

“Dih always apanya?! Tadi sadar gak sih kamu rewel banget sampe aku bingung. Aku beneran mikir lama tau! Takut beneran lupa sesuatu gitu!”

Wendy berniat untuk berjalan ke arah pintu penumpang tapi ia bingung saat Irene masih menggenggam tangannya erat. “Ini nggak mau dilepas?”

Irene menggeleng.

“Gimana ceritanya sih! Ayo jadi berangkat nggak?” tanya Wendy setengah kesal. Benar-benar butuh ekstra effort untuk meladeni Irene yang rewel seperti ini.

Irene tidak menjawab ucapan Wendy, ia hanya berjalan santai ke arah pintu penumpang dan membukakan pintu untuk Wendy. Kemudian sang pemilik mobil mempersilakan Wendy untuk duduk sebelum ia berlari cepat ke arah kursi pengemudi.

Lagi-lagi Wendy harus terheran-heran dengan sikap Irene.

“Mana?”

“Apanya??”

“Tangan kamu sini” ujar Irene dengan telapak tangannya yang ia sodorkan ke arah Wendy.

“Ngapain ya ampun?”

Irene hanya diam, tangannya meraih tangan Wendy dan kembali menggenggam erat tangan Wendy. “Gak boleh dilepas sampai di rumah, sebagai hukuman kamu lupa janji date kita.”

210.

Wendy masih tertawa terbahak-bahak melihat Irene yang mengejar Yerim dan Yerim yang lari tunggang langgang menghindari kakaknya itu.

Sebenarnya tweet Yerim itu bisa saja diacuhkan oleh Irene tapi entah kenapa kalau masalah seperti ini selalu dianggap serius.

Wendy agak terkejut Irene berhasil mengejar Yerim dalam waktu kurang dari lima belas menit, tujuh menit to be precised. Pasalnya, Yerim jauh lebih atletis dan memiliki stamina yang lebih stabil dari Irene karena Wendy tahu Yerim rajin mengikuti kelas pilates sedangkan kakaknya itu hanya olahraga sesekali, itu juga hanya lari pagi.

Irene berjalan kembali ke arah rumah dengan Yerim yang kepalanya sudah ia kunci dengan lengannya.

“Kak lepasin!”

“Nggak! Lo gue gantung dulu baru gue lepasin! Apa gue lepas di laut kayaknya enak, gak ninggalin jejak.”

“Gila lo ah! Kepala gue woy!”

Irene sama sekali tidak menggubris ucapan adiknya itu. Ia tetap berjalan dengan kecepatan normalnya, separuh menyeret Yerim sebenarnya.

“Wendooooy! Tolongin gue Wen! Gila nih ah buset cewek lo!” teriak Yerim lagi saat ia melihat Wendy yang terkekeh di teras rumah.

“Just shut up will you? This is between you and me.” potong Irene.

“Dih terserah gue lah manggil Wendy atau nggak?! Wen asli ini orang psikopat Wen! Lo mikir lagi deh mendingan-.... Akk!! Sakit kak!” teriak Yerim saat Irene mengeratkan kuncian lengannya

“Wen kakak gue kurang belaian anjir ini orang apa bukan sih kasar banget!” omel Yerim lagi.

“Lo makin berisik, gue makin nggak bercanda ya buat bikin lo nyesel.”

“Buset gue cuma bercanda doang ngetweet tadi! Lagian kan itu juga cuma lo lagi tidur doang!” protes Yerim.

“That’s not proper Yerim!”

“Ya kan lo nggak ngapa-ngapain sama Wendy! Unless lo emang ngapa-ngapain! Bikin video por-..” belum sempat Yerim menyelesaikan kalimatnya, Irene sudah membekap mulut Yerim dengan erat.

“Makin-makin ya lo!” muka Irene memerah karena ia tahu apa yang akan Yerim ucapkan.

Yerim yang tahu kelemahan kakaknya itu dengan segera menjilat telapak tangan Irene dan menggigit tangan kakaknya. Sontak Irene melepaskan Yerim karena ia sangat-sangat benci sesuatu hal yang kotor menempel di dirinya tanpa ada consent darinya.

“The hell?!”

Yerim langsung berlari ke arah Wendy dan menggunakan sahabatnya itu sebagai tameng. Sedangkan Wendy hanya tertawa.

“Yerim, abis gue cuci tangan lo beneran abis sama gue.” ujar Irene dengan nada yang penuh amarah.

“Bodo amat! Wendy gue jadiin sandera.”

Irene menatap Yerim dengan kesal sebelum ia benar-benar berjalan menuju keran yang biasanya digunakan untuk menyambung selang yang dipakai tukang kebun untuk menyiram halaman rumahnya.

“Iseng banget sih lo?” tanya Wendy yang masih terkekeh.

“Abis kakak gue tuh semua-semua dibawa serius sih. Makanya suka sengaja deh gue usilin kayak gini.”

“Anyway squirt gue setuju deh sama ucapan lo yang waktu itu.”

“Hah? Yang mana?”

Wendy tersenyum jahil dan memberikan kode agar Yerim mendekatkan telinganya ke arah bibir Wendy. “Your sister is not only a good kisser, she’s the best i ever had.”

Ekspresi wajah Yerim yang awalnya penasaran seketika berubah menjadi semerah tomat.

“You wanna know more? Last night we-...” bisik Wendy melanjutkan ucapannya. Namun Yerim dengan segera menjauhkan telinganya dari Wendy dan menutup kedua telinganya dengan telapak tangannya.

“NO!! KEEP YOUR LOVE LIFE WITH MY SISTER FOR YOURSELF!!! BUNDA TOLONG!!!” Teriak Yerim yang langsung berlari ke dalam rumah.

Irene yang baru selesai mencuci tangannya kebingungan melihat adiknya berlari dengan ekspresi horor di wajahnya saat melihat dirinya.

“Kenapa sih dia? Ngomong aneh apa lagi ke kamu?” tanya Irene yang masih kesal dengan perbuatan Yerim.

Wendy hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum jahil. “Biarin, udah aku kasih pelajaran. Sekarang pasti dia bakal trauma deh godain kita.”

“Udah dong marahnya, Yerim juga cuma bercanda kan? Kenapa sih serius banget nanggepinnya?” lanjut Wendy. Tangannya meraih tangan Irene dan mengusap ibu jarinya pada punggung tangan Irene.

“Ya abis dia kenapa harus foto-foto kayak gitu? Udah gitu di tweet lagi!”

“Kan kayak Yerim tadi bilang? Kita juga nggak ngapa-ngapain, udah jelas-jelas itu lagi tidur. She’s just joking Hyun, like she always did.”

“That’s the problem! I just don’t like it when our private time dijadiin bercandaan kayak gitu. I can be a generous person but sometimes I don’t wanna share what’s mine.” jawab Irene. Kerutan di dahinya semakin dalam.

Oh.

Another trait of Irene that she knows just now. Irene is easily jealous and didn’t like sharing their private moment to the world. Noted.

Wendy baru sekali ini melihat Irene benar-benar marah, she’s like a volcano that is ready to explode. Masalahnya ini masih pagi dan Wendy tidak enak hati kalau nyonya Bae harus melihat dua anaknya bertengkar hanya karena Yerim yang bercandanya kelewatan dan Irene yang terlalu serius menanggapi candaan itu.

Ia berpikir keras bagaimana caranya untuk meredakan amarah Irene. Wendy melihat setiap jengkal wajah Irene, mulai dari matanya yang masih berkilat kesal, hidungnya yang bernapas dengan kasar, hingga bibirnya yang masih merengus.

Sejujurnya kalau kondisinya Irene sedang tidak marah seperti ini, Wendy ingin tertawa melihat Irene yang bersungut kesal, terutama bibirnya yang cemberut mirip seperti donald duck.

Oh.

Wendy dengan kilat mengecup bibir Irene. If last night she can make Irene listen to her words by kissing her, now she might use it again.

“What was that?” tanya Irene yang (lagi-lagi) terkejut saat mendapati Wendy menciumnya singkat.

“Your morning kiss, to make you feel better?”

“Do it again. I’m feeling a bit better, if you do it again then I will feel a lot better.”

Wendy memutar kedua bola matanya. If Irene was never in a relationship before then it means she’s just born as a natural. “But promise me setelah ini gak usah marah lagi.”

“Yep, I promise. Now we need to seal it with a kiss.”

Sedetik kemudian Wendy menepati ucapannya, ia kembali mencium bibir Irene. Awalnya Wendy hanya menempelkan bibir mereka berdua, like last night it was just started with a peck.

But then Irene justru mulai melumat bibir Wendy yang tentu saja dibalas oleh Wendy. Perlahan mata keduanya tertutup dan mereka mulai menikmati their morning kiss. Keduanya terlarut dalam ciuman mereka, their second kiss. Yang semalam Irene anggap sebagai satu kesatuan.

Setelah beberapa lama mereka berciuman, kini Wendy yang menyudahinya. Tangannya menggenggam erat tangan Irene.

“Shit Hyun, I was just teasing Yerim when I say you’re the best kiss I ever had but now you prove it to me that I was right.”

Irene tertawa disela-sela waktunya mengatur napas. Namun tawanya itu sesungguhnya hanya akting untuk menutupi perasaannya yang sesungguhnya malu bukan main.

“Also you’re a fast learner.”

And that’s the final cue for Irene. Somehow ucapan Wendy itu justru menjadi mood booster baginya.

“Well it’s because I have an amazing teacher and I’m addicted to you.” ujar Irene sebelum ia kembali mencium bibir Wendy.

Lesson number two Wendy got this morning, when Irene is in a bad mood Wendy will use this trick again, kissing Irene helps to reduce her anger.

207.

Irene masih tersenyum sumringah setelah berhasil menunjukkan surprise untuk Wendy.

Respon yang didapatkan dari Wendy benar-benar membuatnya senang. Ekspresi terkejut dan bahagia yang terpancarkan dari wajah Wendy benar-benar melekat di ingatan Irene.

Sedangkan Wendy saat ini masih sibuk dengan mainan barunya di dalam home music studio yang Irene buatkan khusus untuk Wendy. Lucunya, Irene ‘diusir’ oleh Wendy segera setelah Wendy lompat kegirangan melihat music studio hasil sulapan Irene.

“You said this is my music studio right? Nah aturannya masih sama kayak di apart ya, kamu gak boleh masuk.” ujar Wendy beberapa waktu yang lalu sembari menjulurkan lidahnya.

“Wipe that disgusting smile off your face please.” ujar Yerim bercanda saat melihat Irene keluar dari studio tersebut.

“Biarin aja yee sirik.”

Yerim hanya bisa menggelengkan kepalanya, “Bun, itu tuh kakak jijay banget ih.”

“Biarin aja Yerim, emang udah umurnya kok itu kakakmu.” jawab Nyonya Bae dari mini pantry yang terletak di dekat ruang tengah.

“I win.” ujar Irene yang diikuti dengan Yerim yang melempar bantal ke arahnya.

“Joohyun itu barusan bibi bilang kalo kamar yang sudah siap dipakai cuma ada dua, kamu tuh punya rumah kok nggak dirawat sih?” tanya Nyonya Bae yang masih sibuk membuat minuman hangat untuknya dan kedua anak perempuannya itu.

“Ya aku juga nggak tau bakal kesini? Lagian kan waktu itu juga yang nyaranin aku buat buang kasur yang lama bunda juga?”

“Ih maksud bunda tuh habis buang kasur yang lama ya kamu beli lagi lah yang baru! Masa iya ada rumah kamarnya banyak tapi kamar yang ada kasurnya cuma dua. Aneh banget deh kamu.”

“Hehe Seungwan juga bilang gitu sih.” jawab Irene. Tangannya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Seungwan lagi~ Tiap sekali ngomong Seungwan kalo gue dapet seratus ribu, ini kayaknya gue dalam sehari udah sanggup beli kasur baru buat lo sih kak.”

“Berisik!”

“Heh kalian tuh malah ribut.” ujar Nyonya Bae. Kini ia berjalan mendatangi Irene dan Yerim yang duduk di ruang tengah. Yerim asik dengan netflixnya sementara Irene sibuk dengan iPad milik Yerim.

“Malam ini berarti bunda tidur sama Yerim aja ya? Nanti aku tidur disini atau mungkin di kamarnya Seungwan.”

“Gak boleh gue aja yang tidur sama Seungwan?” timpal Yerim.

Irene hanya memicingkan matanya ke arah Yerim.

“You want me to kiss you again?”

“Amit-amit!”

Nyonya Bae hanya bisa tertawa melihat dua anak perempuannya yang saling bersilat lidah.


Wendy membuka pintu kamarnya setelah ia pamit dengan Nyonya Bae untuk tidur lebih dulu. Ia harus menahan tawanya saat melihat Irene yang sudah tertidur di atas kasurnya dengan mulut yang sedikit menganga.

Perlahan Wendy berjalan ke arah kasur untuk melihat Irene dengan lebih jelas.

“Hyun udah bersih-bersih belum?” tanya Wendy sembari membangunkan Irene pelan.

Ia tahu betul Irene paling tidak suka tidur tanpa sikat gigi dan cuci muka terlebih dahulu dan biasanya Irene akan berganti pakaian dengan piyama atau baju tidur lainnya.

“Hmm, nanti aja. Gimme ten mins.”

“You know that your ten mins bakalan lanjut sampe besok pagi kan? Ayo bangun dulu, aku gamau ya besok pagi kamu badmood gara-gara belom ganti baju dan bersih-bersih.”

“Iya janji nggak badmood, just 10 mins okay?”

Wendy hanya berdecak pelan, ia tahu bahwa Irene hanya menjawab tanpa berpikir panjang. Karena hal ini juga yang terjadi beberapa hari yang lalu saat mereka camping.

“Pas aku selesai bersih-bersih kamu udah harus bangun ya.”

Semenjak mereka ‘pindah’ kesini, Wendy mengetahui banyak habits dan traits Irene yang tidak ia ketahui sebelumnya.

First, Irene never settles less than perfect. She’s indeed a hell perfectionist. Wendy kira saat Seulgi bilang Irene adalah orang yang perfectionist itu hanya sebatas candaan. Namun setelah merasakan firsthand sifat perfectionist Irene, Wendy tahu alasan kenapa ia bisa menjadi CEO di umur yang semuda ini. Well this is one of the reasons.

Second, Irene is hard headed. Sekali Irene sudah memutuskan sesuatu maka ia tidak mau didebat dan akan mencari segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Makanya Wendy agak heran saat Irene bilang bahwa ia mengagumi Seulgi yang pekerja keras dan tau apa yang ia mau, karena justru Wendy merasa Irene lebih keras kepala dan pekerja keras dibanding Seulgi. Well, setidaknya Seulgi masih mau berkompromi dan Irene tidak. Again, maybe one of the reasons why she’s the CEO.

Third, Irene is a clean freak and detail freak. Awalnya Wendy sempat mengira Irene mungkin saja mengidap OCD. Exhibit A, semua baju Irene ditata rapi berdasarkan warna dan jenis baju. Exhibit B, Irene benar-benar mengingat semua letak barang miliknya dengan detail. Wendy sempat kaget saat Irene menyadari bahwa Wendy meminjam sepatu kets miliknya hanya karena letak sepatu Irene yang sedikit bergeser dari posisi awal setelah Wendy mengembalikannya ke rak sepatu. Exhibit C, Irene selalu mengerjakan segala sesuatu in order yang bahkan Wendy hanya butuh 2 hari untuk hafal urutan kegiatan yang Irene lakukan.

Irene selalu bangun sebelum matahari terbit, ia akan merapikan kasurnya kemudian membuka jendela agar udara didalam ruangan berganti. Lalu Irene akan melakukan stretching setelahnya ia akan menyikat giginya dan mencuci muka. Kemudian Irene akan membuat sarapan sambil menyetel siaran berita di televisi. Tepat pukul delapan Irene sudah siap untuk bekerja dan duduk di meja kerjanya. Kebiasaan Irene di malam hari hampir sama dengan kebiasaannya di pagi hari, hanya urutannya saja yang dibalik.

Wendy kembali dari kamar mandi dan mendapati Irene masih terlelap. Ia akhirnya memutuskan untuk membangunkan Irene sekali lagi.

“Hyun ayo udah sepuluh menit.” tangan Wendy sekali lagi menggoyangkan tubuh Irene pelan.

“Hhh no…” jawab Irene. Kepalanya sengaja ia sandarkan ke arah Wendy.

Wendy menarik napas cukup dalam. Ia sering gemas kalau mood clingy-nya Irene sedang kumat. Irene bisa berubah seratus delapan puluh derajat berbeda dengan Irene yang biasanya.

“Aku penasaran deh ini orang-orang tau nggak sih kalo Irene Bae semanja ini?” tanya Wendy sembari tertawa, tangannya mengusap kepala Irene.

“No, this is reserved only for family.”

“Not even Kak Seul?”

“Not even Seulgi. Not even Taeyeon. Not even Jennie. Just my closest family.” jawab Irene masih dengan mata yang terpejam. Sesungguhnya ia justru semakin mengantuk karena gesture Wendy.

Sementara itu Wendy justru terdiam mendengar jawaban jujur yang diberikan Irene.

“I feel honored to know this side of yours.”

“And you will know a lot more.” perlahan Irene membuka kedua matanya.

“Okay-okay stop ngelus kepala saya karena yang ada saya makin ngantuk.” Ujar Irene yang masih dalam posisi tidur sembari menguap.

“I’m sorry I can’t show you another side of me, yet.” balas Wendy pelan.

“Hey what’s with the somber mood? Remember where we start? This is already a huuuuge progress.”

“But still, nggak sebanding. Like you always give me something. This impromptu getaway, the studio, the camping, and the list goes on. Meanwhile me?”

“I’m not doing all of these to pressuring you Seungwan. You start to trust me and that’s the most important thing for me. Kamu yang bilang ke saya kalau kamu gak pernah ngizinin orang untuk nyentuh kamu, but you let me to hold your hands and hug you. It's huge you know? It’s the same as letting me know you better and I always thank you for giving me a chance to know you better.” ujar Irene sembari mengelus pipi Wendy lembut.

“Thank you for staying with me and always being patient, I really appreciate it Hyun. I do.” jawab Wendy yang dengan sengaja mengecup tangan Irene yang masih mengelus pipinya.

“Maybe at first it was only you who tried to make this work but right now I’m trying too. Maybe sekarang aku belum bisa balas semua perhatian dan rasa sayang kamu ke aku but I know it’s growing.” lanjut Wendy.

Entah apa yang ada dipikirannya saat itu, Wendy mendekatkan wajahnya ke wajah Irene dan mengecup bibir Irene sekilas. “Please wait for me, maybe I’m a bit slow but I’m certain that I do care about you Bae Joohyun.”

Irene yang masih terkejut dengan tindakan Wendy hanya bisa mematung. Matanya mengerjap beberapa kali. Sedangkan Wendy justru tersenyum melihat Irene yang salah tingkah.

“Wan, that’s my first kiss.” bisik Irene tanpa ia sadari.

“Oh yeah? Then this is gonna be your second kiss.” ujar Wendy yang kemudian mencium bibir Irene sekali lagi, kini dengan waktu yang lebih lama.

Wendy menarik tubuhnya dari tubuh Irene dan ia tertawa pelan setelah melihat wajah Irene yang memerah. Irene masih belum bisa bersuara.

“Are you okay?”

“Seungwan you’ll be the death of me.”

Wendy lagi-lagi tertawa. She never knows she can reach this far with Irene.

Sementara itu Irene masih mengatur detak jantungnya yang sudah kalang kabut sejak ciuman pertama yang diberikan oleh Wendy.

“Let’s sleep like this.” ujar Wendy sembari meminta Irene untuk bergeser kemudian ia memeluk Irene dengan erat.

Irene hanya bisa mengikuti kemauan Wendy yang kini sudah memeluk dirinya dan tidur dengan posisi kepalanya berada di celah leher Irene. Tangannya secara otomatis mengelus kepala Wendy dengan lembut.

“Muka kamu kayak kepiting rebus by the way.” goda Wendy.

Sedangkan yang digoda hanya bisa tertawa. “Whose fault is that?”

Irene melonggarkan pelukannya kemudian mencari bola mata kecoklatan milik Wendy dan menatapnya lekat. Keduanya hanya melempar pandang tanpa saling mengungkapkan kata-kata.

“Maybe I love you. No, I already love you Seungwan. I just don't know since when.” batin Irene.

Kini gantian giliran Irene yang memotong jarak yang tadi ia buat dan mendaratkan kecupan di bibir Wendy. Kecupan lembut itu dibalas oleh Wendy, tangannya memegang tengkuk Irene untuk memperdalam ciuman mereka.

What was meant to be a peck turned into a full kiss. Wendy was the one who led the kiss.

Irene yang belum terbiasa harus melepas ciuman mereka lebih awal. Napasnya berderu kencang, matanya masih terpejam seakan tidak percaya. Sedangkan Wendy justru tersenyum melihat tingkah Irene.

“Reminds me to hit the gym again.” ujar Irene.

Mendengar ucapan Irene justru membuat Wendy tertawa. Out of all things that might come out after their first kiss, Irene chose to say that.

“Sure things. Anyway, Yerim kinda told me something tentang kamu dan aku setuju separuhnya.”

“Huh?” tanya Irene, matanya membulat sempurna.

“Nothing.” jawab Wendy menjulurkan lidahnya. “Now that you fully awake, cepet sana bersih-bersih biar bisa tidur enak.”

“Kiss me again please, habis itu saya langsung bersih-bersih deh. Janji.”

“No, the kiss will come AFTER you brush your teeth, wash your face, and change your clothes.”

“Pleaseeee?”

“Kalau kamu nunda-nunda, ini aku nanti malah ngantuk loh. Kalo batal ya terserah ya, tanggung sendiri.”

“Wait! Okay okay!! Jangan tidur!” Irene langsung bangkit dari posisinya dan setengah berlari ke kamar mandi.

“Dork!”

Dari dalam kamar mandi terdengar suara shower yang mengalir kencang, sepertinya Irene justru memilih untuk mandi.

Perlahan Wendy mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Ia menatap langit-langit kamarnya itu. Matanya ia pejamkan dan tangannya memegang dadanya merasakan detak jantungnya yang masih berdegup kencang.

She just kissed Irene. No, not kissed, it sounds more like a one way action. They were kissing.

Wendy melihat jam dinding yang ada di kamar itu kemudian menghitung denyut nadinya.

110bpm. Not normal. But this time is for a good reason.

“Bae Joohyun, you are the death of me too.” ujar Wendy pada dirinya sendiri.

200.

“Handphone kamu yang ini udah gak bisa nyala lagi deh kayaknya.” ujar Wendy dengan bibirnya yang mengerucut masam. Ia kembali mengangkat handphone yang ada di tangannya tersebut ke depan ac mobil.

“Which one?”

“Ini yang iPhone. Kayaknya udah gak terselamatkan.” jawab Wendy, kali ini sembari mengangkat handphone hitam milik Irene dan menunjukkannya kepada sang pemilik.

Irene melirik sejenak, “Itu handphone untuk urusan bisnis padahal. Yaudah, kalau gitu nanti habis masak buat makan malam saya pergi lagi ya. Kamu kalau masih capek, gak usah ikut. Istirahat aja di rumah.”

“Harus hari ini banget?”

“Iya, semua kontak bisnis disana dan kalau mereka mau kontak saya juga pasti ke nomor itu. Handphone yang satunya khusus untuk urusan keluarga, yang punya nomor saya yang itu juga terbatas untuk keluarga dan orang terdekat.”

“Sorry banget ya, aku nggak tau kamu orangnya gampang kaget gitu.” ujar Wendy dengan penuh rasa bersalah.

Siang tadi sebelum mereka meninggalkan kawasan glamping tempat mereka menginap, Wendy memaksa Irene untuk berfoto dengan latar belakang laut dan ombak yang bergulung.

Irene yang bukan merupakan sosok yang suka berfoto, sempat beberapa kali menolak permintaan Wendy. Ia beralasan bahwa dirinya cukup malu untuk menatap kamera, toh kalau ia berfoto pun akan selalu menampilkan gaya yang sama. Jadi bagi Irene, berfoto hanya untuk peristiwa-peristiwa yang formal saja, acara kantor misalnya.

Namun siang tadi Irene harus luluh saat Wendy memintanya untuk berfoto dikarenakan tanpa Irene duga, Wendy menyajikan ekspresi memelas kepadanya dan pada akhirnya Wendy berhasil memfoto Irene -walaupun sebenarnya lebih tepat untuk disebut candid daripada a proper photo-.

Wendy yang merasa kesal dengan Irene yang terus-terusan menolak untuk difoto, dengan sengaja berniat untuk pura-pura mendorong Irene ke arah laut supaya ia basah. Namun tanpa disangka, Irene justru melompat dan berteriak karena terkejut.

Handphone yang ditaruh di saku jaketnya terlontar keluar dan jatuh tepat pada saat ada ombak yang menuju ke arah mereka. Irene justru refleks berlari menghindari ombak karena ia sama sekali tidak ada niatan untuk bermain air dan meninggalkan handphonenya yang terjatuh.

Akhirnya handphone tersebut harus basah kuyup tergulung ombak sebelum pada akhirnya diambil kembali oleh Irene. Tentu saja sudah dalam keadaan mati dengan layar yang tergores bebatuan pantai.

“It’s okay Wan, mungkin emang udah waktunya untuk ganti handphone.” jawab Irene santai. Ia kembali fokus mengemudikan mobil sedannya itu.

“Aku ganti ya? Aku beliin yang baru.” ujar Wendy lagi. Ia menatap ke arah Irene yang masih fokus menyetir.

Irene sekali lagi melirik sejenak ke arah Wendy. Namun dengan segera Irene mengalihkan pandangannya setelah ia melihat ekspresi wajah Wendy yang saat ini menurut Irene benar-benar mirip a lost puppy. Ia harus menahan dirinya untuk tidak mencubit pipi Wendy atau mengacak-acak rambut wanita yang ada di sebelahnya saat itu.

“Okay, tapi habis itu kamu gak usah merasa bersalah lagi ya? Sometimes accidents happen just like that. Lagian kan niat kamu bukan emang sengaja ngerusak handphone saya.”

“But still, kan itu handphone penting banget buat kerjaan. Kalau kamu gak bisa dikontak gimana?”

“Kan ada handphone yang satunya. Seulgi atau Jennie pasti akan kontak saya kesana kalau urgent banget. Oh, which now that I remember, sampai rumah tolong ingetin saya charge handphone saya yang itu ya. Kayaknya tadi terakhir saya lihat baterainya sudah hampir habis.”

Irene perlahan memutar kemudi mobilnya, berbelok ke arah jalan masuk menuju rumahnya. Pagar rumah Irene terletak tidak jauh dari jalan raya, namun jarak dari pagar depan hingga ke parkiran -slash- halaman rumahnya lumayan jauh, posisi rumahnya itu memang menjorok masuk.

Sang pengemudi mengernyitkan dahinya saat menemukan petugas keamanan rumahnya itu tidak berada di pos jaga. Irene sangat tidak suka jika seseorang mengabaikan tugasnya.

Ia kemudian menekan klakson mobilnya dengan agak kencang dan tak lama baru terlihat sang petugas keamanan yang berlari terburu-buru untuk membukakan pintu gerbang untuknya.

“Ada tamu?” tanya Irene setelah menurunkan kaca jendela mobilnya.

“Iya non, itu Ibu dan dek Yerim baru datang.”

Irene cukup terkejut dengan jawaban yang diberikan.

“Kok nggak ada yang bilang ke saya kalau Bunda dan Yerim mau datang?”

“Maaf non kami semua juga kaget. Tadi tiba-tiba mobil Ibu udah di depan gerbang. Bibi sekarang lagi beres-beres di dalam.”

“Cuma berdua aja? Ayah ikut?”

“Nggak non, bapak nggak ikut. Cuma berdua aja Ibu dan dek Yerim, tadi yang nyetir juga dek Yerim non.”

Kerutan di dahi Irene semakin dalam. Bukankah ia sudah bilang kepada Yerim dan Seulgi untuk tidak memberikan lokasi keberadaannya saat itu kepada siapapun? Atau Taeyeon kah yang memberikan lokasinya?

Namun hal itu sudah tidak penting baginya, toh saat itu Bundanya sudah berada di dalam rumah. Yang ada dipikiran Irene justru pertanyaan kenapa Bundanya sampai harus jauh-jauh berkendara selama berjam-jam untuk menemui dirinya. Ditambah fakta bahwa Bundanya pergi hanya berdua Yerim.

“Okay, terima kasih pak.”

Irene mengangguk pelan dan memacu mobilnya kembali. Dari ekor matanya Irene tahu bahwa Wendy pun memiliki pertanyaan yang sama dengannya, namun Wendy terlihat lebih tegang. Sangat wajar sebetulnya, mengingat terakhir kali Wendy bertemu keluarga Irene adalah saat acara anniversary kantor dan Wendy cukup membuat kegaduhan serta menghilang begitu saja bersama Irene.

Kini keduanya terdiam, larut dalam kemungkinan-kemungkinan yang terbesit dalam pikiran mereka masing-masing.


Wendy hanya terdiam memperhatikan Nyonya Bae yang sedang melihat kondisi bunga-bunga di taman rumah milik Joohyun itu. Sesekali Nyonya Bae menyirami bunga yang terlihat layu dan mengajak berbicara tanaman-tanaman disana.

Sementara itu, Wendy bisa merasakan degup jantungnya semakin kencang. Ia menunggu momen dimana Nyonya Bae akhirnya akan memulai percakapan agar ia bisa menebak alur pembicaraan. Masalahnya sejak Nyonya Bae meminta waktu untuk berbicara empat mata dengannya hingga detik ini, Nyonya Bae sama sekali belum mengutarakan sepatah kata pun.

“Joohyun udah lama banget nggak kesini, dulu sebelum dia sesibuk sekarang, biasanya sebulan sekali kesini. Kasihan ini tanaman dan bunga-bunganya.” ujar Nyonya Bae membuka pembicaraan.

“O-oh, i-iya… Joohyun juga bilang kalau udah lama nggak kesini.” jawab Wendy dengan sedikit terbata.

“Rileks aja Seungwan. Oh iya, boleh ya tante panggil Seungwan aja? Joohyun pernah cerita kalau kamu lebih suka dipanggil Wendy.”

“I-iya nggak apa-apa tante.”

“Tante nggak akan marah-marah ke kamu kok. Kenapa sih kamu dan Joohyun itu dari tadi tante lihat tegang banget. Tante cuma kesini karena khawatir sama keadaan kamu dan Joohyun. Terakhir kali tante dengar kabar dari kalian itu seminggu yang lalu.”

“M-maaf tan-..”

“No, jangan minta maaf untuk sesuatu yang bukan kesalahan kamu Seungwan. Joohyun yang harusnya kirim kabar ke tante dan om. Tapi yang ada justru Joohyun sengaja menyembunyikan keberadaan kalian berdua dan itu karena dia tahu kalian berdua butuh waktu sendiri, menjauh dari kami semua.” ujar Nyonya Bae dengan santai.

“Kamu orang pertama setelah belasan tahun yang bisa bikin Joohyun posesif dan protective lagi kayak gini. Biasanya Joohyun selalu nurut ucapan tante atau om dan ini kali pertama Joohyun menunjukan perlawanan terhadap om dan tante.” sambung Nyonya Bae sambil melihat ke arah Irene dan Yerim yang masih duduk berdua tanpa bertegur sapa di balkon rumah.

“Mungkin untuk orang tua lainnya mereka akan khawatir dan sedih melihat anaknya tiba-tiba melawan seperti sekarang. Tapi justru tante senang, akhirnya dia memutuskan apa yang dia mau. Mungkin Joohyun pernah cerita ke kamu atau mungkin kamu sendiri sadar, Joohyun itu tipe anak yang sangat penurut sama ucapan orang tua. Tante sering kali dorong Joohyun untuk kejar apa yang Joohyun mau dan ini kali pertama dia fight back untuk sesuatu yang dia inginkan.”

Nyonya Bae kini menatap Wendy dengan lekat untuk beberapa saat sebelum ia tersenyum dan memeluk Wendy dengan hangat. Sedangkan Wendy yang tidak menyangka akan dipeluk oleh Nyonya Bae hanya bisa terdiam.

“Tante nggak akan tanya tentang apa yang terjadi di acara kantor minggu lalu kalau memang kamu belum siap untuk cerita. Tante juga nggak akan marah atau teriak-teriak ke kamu atau Joohyun, kalau kamu sempat berpikiran demikian.” sambung Nyonya Bae. Tangannya mengelus kepala Wendy berulang kali.

“Kamu sudah tante anggap sebagai anak tante sendiri, kalau ada apa-apa cerita ya sama tante. Tante tau ada hal-hal yang belum Seungwan siap untuk ceritakan ke tante atau bahkan Joohyun, tapi tante ingin kamu tahu bahwa kamu nggak sendirian Seungwan. Ada om dan tante yang peduli juga tentang kamu, mungkin kamu rasa aneh karena kita baru bertemu lagi setelah sekian lama. Tapi siapapun orang yang Joohyun sayangi dan kasihi, pasti orang tersebut juga akan kami sayangi Seungwan.”

Mendengar ucapan Nyonya Bae, perlahan air mata Wendy jatuh. Ia sama sekali tidak menyangka akan seperti ini kejadiannya. Ia juga sama sekali tidak menyangka bahwa keluarga Bae justru sangat sabar terhadapnya dan menerima dirinya seperti ini.

“Aduh! Kok kamu nangis?! Nanti Joohyun ngira tante ngapa-ngapain kamu gimana dong?!” ujar Nyonya Bae sembari menyeka air mata Wendy. Sedangkan Wendy justru tertawa disela-sela tangisnya saat melihat tingkah nyonya Bae.

Sifat Joohyun yang sangat sabar dan pengertian serta sifat Yerim yang sangat blak-blakan baru saja ia lihat dalam sosok nyonya Bae.

“Biar kamu berhenti nangis, gimana kalau kita ngomongin Joohyun aja? Siapa tahu kamu penasaran tentang Joohyun atau kamu mau lihat ini foto Joohyun pas masih kecil?” canda Nyonya Bae. Tangan kanannya tetap mengelus kepala Wendy sedangkan tangan kirinya menyeka airmata yang masih mengalir di pipi Wendy.

“Ceritain pas dulu aku masih tinggal di komplek aja tante, aku penasaran sama cerita masa kecil aku dan Joohyun dulu.”


Sudah hampir dua jam sejak Yerim dan Nyonya Bae datang di rumah milik Joohyun dan sudah hampir dua jam pula Yerim dan Irene belum bertegur sapa. Ini adalah kali pertama kakak-beradik itu merasakan awkward moment diantara mereka berdua.

Sebenarnya Yerim tidak ada masalah dengan kakaknya, justru ia sudah memiliki banyak pertanyaan di kepalanya itu sejak ia melihat momen-momen langka antara Irene dan Wendy.

Exhibit A: Saat Yerim menunggu kedatangan Irene dan Wendy, ia yang sedang duduk di teras cukup terkejut saat melihat Irene turun dari mobil dengan menggandeng tangan Wendy.

Exhibit B: Saat Nyonya Bae mereka meminta waktu untuk berbicara empat mata dengan Wendy, Irene langsung menolak permintaan tersebut dan bertindak protektif, more like over protective. Seumur hidupnya Yerim baru pertama kali melihat Irene so ready to fight their own parents.

“Well something clearly has changed towards the better good between them, I guess?” batin Yerim.

Ia sudah sangat gatal untuk menggoda keduanya dan menghujani mereka dengan pertanyaan-pertanyaan jenakanya, namun itu semua bisa menunggu. Saat ini ada hal yang lebih penting lagi untuk dibicarakan.

“Cut with this silent, lo tau kan bukan gue yang ngasih tau lokasi lo ke ayah bunda?” ujar Yerim membuka perbincangan. Ia sudah tidak tahan dengan keheningan yang sengaja diciptakan oleh kakaknya itu.

“If not you then who?” balas Irene. Matanya untuk sejenak meninggalkan Wendy dan Bundanya yang sedang berbincang di taman rumahnya itu.

“Ugh, lo tu kadang terlalu naif deh jadi orang! Ya nyuruh orang nyari lo juga bisa kali? Yang jelas bukan gue, Seulgi, Jennie ya! Kita bertiga sibuk nge-cover kerjaan lo dari kemaren!” jawab Yerim dengan kesal.

“What does it mean? Maksudnya ada orang yang nguntit gue dan Seungwan selama disini?”

“Honestly? Gue gak tau, yang gue tau tiba-tiba gue ditodong buat nganterin kesini dan walaupun gue gak mau nganterin, Bunda bakal tetep kesini. So, daripada Bunda kesini tanpa gue dan gue gak bisa bantuin lo, ya gue pilih nganterin Bunda kesini.” ujar Yerim menjelaskan kejadian dari sisinya.

“Are you crazy? Jangan kebanyakan nonton drama makanya.”

“Lo aja yang terlalu naif. Even if it’s not our parent, bisa aja bokapnya Wendy yang ngasih tau lokasi lo dan Wendy kan?”

Irene hanya mengangkat bahunya. Ia enggan berpikir terlalu jauh.

“Anyway Seungwan? First name basis banget lo? Since when? Also, sejak kapan lo skinship banget sama Wendy?”

“What’s wrong with me calling her Seungwan? It’s her name too.”

“Iya tau! Maksud gue, ada yang beda gitu antara lo dan Wendy sejak acara anniv kantor. Something happened?” tanya Yerim kini dengan nada yang serius.

“We….agreed to start over.”

“Jadi maksudnya? Officially official nih?”

“Kinda.”

“Ah ribet lo berdua! Iya apa nggak nih?”

“Cerewet.”

“Dih diperhatiin malah bilang gue cerewet. Anyway, lo gak usah kayak mau makan orang gitu deh. Bunda gak bakal ngapa-ngapain Wendy kok, apalagi kalo Wendy itu orang yang berharga buat lo.”

Irene hanya menaikkan alisnya, tidak memahami maksud Yerim. Sedangkan Yerim hanya menunjuk ke arah Wendy dan Nyonya Bae yang saat ini terlihat sedang menertawakan sesuatu.

“If you like her that much, then she’s part of the family kak. Gue, Bunda, dan Ayah pasti bakal terima Wendy dengan senang hati even if there is something that we don’t know about her, yet. Anyway, I'm happy that you're giving yourself a chance to love someone again. Finally kak, kak Na juga pasti seneng disana.”

“Yeah, I'm happy too.” jawab Irene singkat.

Tepat pada saat itu Wendy menatap ke arahnya dan mata mereka berdua bertemu.

“A chance to love someone, huh?” batin Irene.

Tanpa Irene sadari ia tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah Wendy.

“You totally love her you fool.” batin Yerim sembari memutar kedua bola matanya.

194

Seungwan terus memandangi layar ponselnya, kali ini pertanyaan yang dilontarkan kepadanya benar-benar membuatnya skakmat.

“That’s okay, you have plenty of time to think about it. I know Joohyun will.”

Seungwan membaca pesan terakhir yang baru saja masuk ke ponselnya itu dan melihat lawan bicaranya sudah berubah menjadi offline. Ia menarik napas dalam dan memejamkan matanya untuk beberapa saat.

Saat ini sudah hampir pukul setengah enam pagi, ia benar-benar menghabiskan waktu tidurnya untuk bercerita tentang dirinya dan Joohyun. Ia sangat ingin terlelap namun di lain sisi her biological clock just refused it.

Seungwan perlahan membuka kedua matanya kembali dan pandangannya justru jatuh tertuju pada sosok Joohyun yang masih terlelap menghadap ke arahnya. Suara napasnya yang teratur menandakan sosok di depannya itu masih tertidur pulas.

Ia menghabiskan beberapa saat untuk memperhatikan setiap lekuk wajah Joohyun. Baru kali ini Seungwan menyadari detail-detail wajah Joohyun yang tidak pernah ia cermati sebelumnya.

Ia tertawa pelan saat melihat Joohyun dan baju piyama motif baby winnie the pooh yang ia kenakan.

Joohyun dengan baju tidurnya adalah salah satu versi Joohyun yang paling Seungwan sukai. Ia terlihat lucu dengan setelan piyamanya yang selalu bermotif kartun, sesuatu hal yang tidak pernah Seungwan sangka akan ia temui dalam sosok Joohyun yang sangat kaku.

Satu per satu memori tentang Joohyun yang ada dalam ingatannya mengisi pikiran Seungwan. Mulai dari Joohyun yang keras kepala dan kaku, Joohyun yang berwibawa, Joohyun yang selalu menuruti permintaannya, Joohyun yang tak jarang mengagetkannya dengan kalimat-kalimat tidak terduga.

Joohyun yang peduli pada dirinya.

Mata Seungwan kini tertuju pada lengan Joohyun yang masih bertengger di pinggangnya itu. Ia ingat semalam Joohyun tiba-tiba memeluknya dalam tidurnya dan Seungwan tidak sampai hati untuk melepaskan pelukannya itu. Namun kini saat Seungwan mulai menyadari posisi mereka, ia perlahan merasakan napasnya tercekat seakan-akan ia dikurung dalam ruangan sempit dan gelap.

Menyadari kondisinya, Seungwan berusaha mendengarkan debur ombak untuk menenangkan dirinya. She doesn’t want to put more burden on Joohyun than what she already did.

Alarm Joohyun yang bunyi secara tiba-tiba hampir membuat Seungwan lompat dari posisinya. Ia benar-benar lupa bahwa Joohyun selalu terbangun di jam-jam sebelum matahari terbit, as per Joohyun’s words, “We will never know if we could see this beauty again by tomorrow.”

Joohyun perlahan mengerjapkan matanya. Tangannya yang semula bertengger di pinggang Seungwan kini mencoba meraih ponselnya yang ia letakkan tak jauh dari kepalanya itu.

“Good morning.” ujar Joohyun dengan suaranya yang masih serak dan matanya yang masih separuh tertutup.

“H-hi…”

Joohyun mengusap matanya kemudian menarik selimut yang sudah tidak menutupi tubuh mereka dengan sempurna.

“You look so tired, can’t sleep?”

Seungwan menggeleng, ia memang belum tidur sejak semalam.

“Why?” Joohyun mengernyitkan dahinya dan tiba-tiba ia terhenyak singkat, seakan-akan menyadari sesuatu. “Oh, I’m so sorry. Saya nggak sadar kalau saya ngelanggar batas.” sambung Joohyun yang mengacu kepada posisi tidur mereka yang terlalu berdekatan.

“I’m so sorry Seungwan. Saya bener-bener nggak ada maksud-...”

Joohyun buru-buru mengambil jarak lebih jauh namun tangan Seungwan secara otomatis menarik baju Joohyun untuk menghentikannya berpindah lebih jauh lagi.

“Don’t. Please don’t take another step away from me.”

Keduanya terdiam dalam posisinya masing-masing setelah apa yang Seungwan ucapkan. Joohyun mencoba untuk memahami maksud dari ucapan Seungwan sedangkan Seungwan bertanya pada dirinya sendiri bagaimana rasanya jika ia mempercayai Joohyun untuk masuk lebih jauh dalam kehidupannya? Bagaimana rasanya meringkuk mencari kehangatan dalam pelukan Joohyun? Bagaimana rasanya berbagi cerita tentang hal-hal yang ia sukai dan ia takuti, apakah Joohyun akan memahaminya?

Bagaimana rasanya mempercayai seseorang untuk ia titipkan sebagian dari dirinya?

Seungwan tahu setidaknya bagaimana rasanya saat Joohyun menggenggam tangannya, ia merasa sangat nyaman. Seungwan tahu rasanya saat ia beradu argumen dengan Joohyun, challenging dan menyebalkan. Seungwan tahu bagaimana rasanya saat Joohyun memperhatikan detail tentang dirinya yang belum pernah ia beritahukan kepada Joohyun sebelumnya, she feels special.

It just then the feelings hit her all too sudden.

Pertanyaan dan pernyataan dari orang-orang disekelilingnya seakan-akan datang bertubi-tubi dan menyerang dirinya. Yes, Joohyun does make her heart flutters.

Apa yang Joohyun ungkap padanya semalam juga merupakan bukti. Seungwan tidak akan mengalami panic attack jika itu bukan sesuatu yang mengingatkannya akan komitmen.

Kini disaat matahari perlahan meninggi dan debur obak menjadi background music yang secara konstan mengisi pendengarannya, Seungwan can’t help but wonder if it’s possible for her to return Joohyun’s feelings for her? Or has she started to develop feelings for Joohyun already? After all, Joohyun is the first in almost ten years to make her feels like this again.

“Seungwan? What happened? Saya cuma mau ngasih jarak aja supaya kamu nyaman. Lagipula Saya nggak akan kemana-mana, unless you ask me to.” ujar Joohyun saat ia melihat ekspresi wajah Seungwan yang tidak bisa ia pahami.

Seungwan mengerjapkan matanya, suara Joohyun membawanya kembali pada kenyataan. Entah apa yang ada di pikirannya tapi justru Seungwan beranjak untuk mendekati Joohyun.

Seungwan kembali memposisikan dirinya seperti saat Joohyun masih terlelap beberapa saat lalu, kepalanya ia sandarkan pada lengan Joohyun. Kemudian Seungwan menarik selimut mereka untuk memberikan mereka kehangatan walaupun sebenarnya dengan jarak yang sedekat itu, keduanya sudah saling berbagi kehangatan.

Joohyun terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Seungwan namun ia memutuskan untuk tetap diam dan mengikuti keinginan sosok yang ada di pelukannya itu. They are confused but they both wish to just relish the moment.

As usual, tubuh Seungwan yang tidak terbiasa dengan skinship yang demikian mengirimkan sinyal-sinyal kewaspadaan pada dirinya. Ia masih sangat tegang dan takut untuk bergerak. Seungwan pun masih berpikir untuk segera menjauh dari Joohyun.

“Seungwan, kamu bikin saya takut. Kamu kenapa?” ucap Joohyun pelan, seakan-akan jika ia berbicara lebih keras lagi akan menyakiti Seungwan.

Seungwan menengadahkan kepalanya, matanya menatap Joohyun lekat. Kemudian ia menyadari bahwa Joohyun pun sama dengan dirinya. “Your heart is beating so hard, I can feel it.”

“O-of course....but are you okay though? Something happened when I’m asleep?”

“Telinga kamu merah Hyun.”

Tangan kanan Joohyun secepat kilat menutupi telinganya itu yang kemudian disambut dengan tawa oleh Seungwan.

“Sorry, but it's just so funny to me.”

Joohyun berdeham pelan, berusaha untuk mengatur detak jantungnya.

“Am I making you uncomfortable?” tanya Seungwan.

“Seharusnya saya yang tanya gitu ke kamu, are you comfortable?”

“Trying to.”

“Kamu kenapa Wan?”

“Peluk aku lagi, like what you did just last night.”

Tentu saja Joohyun bingung dengan ucapan Seungwan itu karena ia tidak ingat bahwa semalam ia memeluk Seungwan dalam tidurnya, namun Joohyun tetap mengabulkan permintaan Seungwan.

Perlahan tangan kanannya menarik Seungwan untuk lebih mendekat pada tubuhnya kemudian ia memeluk Seungwan dengan hangat. Joohyun bisa merasakan detak jantungnya justru semakin meningkat dengan posisi mereka saat ini.

Sedangkan Seungwan perlahan mencoba mengatur napasnya dan berulang kali mengingatkan dirinya bahwa sosok yang sedang memeluknya adalah Joohyun. Orang yang hampir tidak mungkin membahayakan dirinya.

Sedikit demi sedikit Seungwan mulai bernapas dengan lebih teratur dan rileks. Ia meringkuk dengan sempurna dalam pelukan Joohyun. Berusaha untuk mengingat momen ini dan menyimpannya dalam ingatan terdalam.

“Thank you for always prioritizing me Joohyun and sorry about last-..”

“Don’t, jangan minta maaf ke saya karena kamu nggak salah.”

“Hear me out first, please?”

Joohyun melonggarkan pelukannya agar ia bisa melihat wajah Seungwan namun Seungwan saat ini jauh lebih keras kepala sehingga ia tidak membiarkan Joohyun untuk melihat wajahnya.

“Gak mau, jangan liat aku.”

“What’s with sudden aku-kamu? Are you okay? Now you really scare me.”

Seungwan tertawa pelan, “Gak tau, kelepasan. Well, about what you said last night, I’m not gonna pretend I feel the same way about you because honestly? I don’t even understand myself.”

Ia menarik Joohyun untuk mendekat lagi, if that is even possible.

“Then I remember what other people said to me about us then what you said to me about how it took you time and the right person to finally move on. Through the night I’ve been thinking about this. Can I move on? Can I finally be free from this weakness of mine?”

“I see, you want my help?”

“Gue egois banget ya minta tolong kayak gini sedangkan you just confess to me last night?”

Joohyun tidak menjawab pertanyaan Seungwan, justru ia memeluk Seungwan lebih erat dan mendaratkan kecupan singkat di puncak kepala Seungwan.

“How does it feels?”

“You can basically answer it by yourself, don’t you feel it?” jawab Seungwan, tubuhnya kembali menegang.

“Then I’ll do it more, so that you’ll get familiar with it.”

Seungwan menonjok perut Joohyun kencang, “Itu sih namanya nyari kesempatan!”

“Oof, I never know you’re a boxer. So what are we gonna do next? What do you want?”

“Nggak tau, but I want to find out. Can we?”

“Okay, but please do tell me when it’s getting too much? Also tell me everything that’s bugging your mind?”

“Only if you’ll do the same to me.”

Seungwan menjauhkan dirinya sejenak dari pelukan Joohyun, “A bit of warning, there will be time when I do something that I don’t mean or say something that I don’t mean to, please don’t leave me?”

“I’ll never leave you unless you are the one who asks me to. Now can I ask you a favor too?”

“Apa?”

“No more flings, no more wild parties, no more shocking headline news about you and some stranger. If you need anything just come to me?”

Tangan Seungwan secara refleks mencubit pipi Joohyun, “Jealous much? Okay no more flings. But party? No way, gue masih mau dateng party ya.”

“Then just let me tag along.”

“Hah? Yakin? You don’t even know people in entertainment industry that much?”

“Iya biarin aja. Nanti saya paksa Seulgi ikut juga biar saya ada temen.”

“Tuh kan Kak Seul lagi.”

“Iya biarin aja, take it or leave it. Lagian udah saya bilang, saya dan Seulgi nggak ada apa-apa.”

“Let’s see ya kamu bertahan atau nggak dateng party kayak gitu. Also, about headline news, I can’t control it you know?”

“Ya pokoknya jangan deket-deket sama orang lain, selain saya.”

“Kalo tetep ada berita gimana? Kan aku nggak kerja sendirian, bisa aja collab sana sini sama orang yang beda-beda.” Tanya Seungwan namun tiba-tiba ia menyadari sesuatu dan buru-buru menyambung kalimatnya, “HEH, KAMU GAK BAKAL LARANG AKU BUAT TETEP MAKING MUSIC KAN?”

“Nggak lah, I know it’s your world, your happy place. Yang penting kamu gak usah deket-deket sama orang lain, nanti kalau ada berita yang nggak-nggak, biar saya yang take care.”

“Emang mau diapain? Dibayar?” celoteh Seungwan asal.

“Iya, gampang itu. Saya bakal take down semuanya, uang nggak masalah.”

“Here you go, the cocky Bae Joohyun. Tau deh tau yang uangnya gak ada serinya.”

Joohyun tidak menggubris ucapan Seungwan, well uang memang tidak pernah jadi masalah baginya. “So no more flings okay?”

“Okay, no flings.”

“Party, hmm kadang-kadang aja ya? Saya kayaknya gak bakal kuat kalau datang party terus. Kepala saya sakit kalau dengar orang teriak kenceng-kenceng gitu atau musik yang kekencengan juga.”

“Alright Joohyun.”

“For the news, I’ll be the one to take care of it.”

“Iyaaa. Anyway, I need another favor. Please be patient with me? I need time to adjust too.”

“Of course, like what I always say to you, saya gak akan maksa kamu. Your convenience is my priority, so if it’s time that you ask from me, I’ll give it to you.” jawab Joohyun.

“Hyun, what if in the end I fail? What if in the end I only hurt you?”

“Let’s just talk about the present. Let me be the one to judge if you're going to hurt me or not.”

“Hyun, please think about yourself too. You need to put yourself as your priority as well.”

“Iya, I will. Anyway silau banget, itu kamu lupa tutup tirainya ya semalam?”

“Eh, mataharinya udah di atas! Yah hari ini kamu kelewatan sunrise dong?”

“It’s okay, I've you in front of me now. Udah sebanding. Now just shush and let me hug you more.”

Seungwan perlahan memejamkan matanya, telinganya yang ia dekatkan pada dada Joohyun mendengarkan detak jantung Joohyun yang teratur. Somehow membuatnya mulai mengantuk.

Sedangkan Joohyun sedang mengingat setiap momen yang terjadi di dalam caravan mereka. Ditemani oleh matahari pagi dan deburan ombak.

Pagi itu merupakan pagi yang aneh bagi mereka berdua, keduanya sama-sama bertanya-tanya akan berakhir seperti apa hubungan mereka yang baru saja mereka mulai kembali dari awal.

Namun untuk sekarang, mereka hanya Joohyun dan Seungwan yang sedang menikmati pagi mereka yang unik.

190

Irene menoleh saat mendengar langkah kaki seseorang mendekatinya. “Makin mirip hamster.” celetuk Irene yang dibalas dengan pukulan pelan di pundaknya.

“Lo aja yang gak bisa relate! Ini tuh enak banget.” ujar Wendy. Ia mengambil tempat kosong di sebelah Irene.

“Segitu enaknya?”

Wendy hanya mengangguk sambil mengunyah boba yang baru saja ia teguk. Sedangkan Irene hanya bisa tertawa, ia sama sekali tidak paham dimana letak enak dari minuman yang sangat disukai Wendy itu.

“Seriusan lo gak mau nyoba?” tanya Wendy, tangannya terjulur ke arah Irene, menawarkan minumannya itu.

“Nggak, udah pernah nyoba tapi langsung gak suka.”

“Hih! We can’t sit together then!”

Irene tertawa lagi, kali ini lebih kencang. Respon Wendy itu sangat berlebihan baginya but somehow she looks cute. Untuk beberapa saat mata Irene tidak bisa lepas dari sosok Wendy yang sedang asik menikmati bobanya.

“Apaan? Ngomong aja sih. Kan udah gue bilang, lo jangan terlalu kaku gitu sama gue.”

“How are you?”

Mendengar pertanyaan Irene, Wendy langsung berhenti minum. Pertanyaan Irene bukan sekedar menanyakan kabarnya tetapi menanyakan bagaimana kondisi hatinya yang sempat berantakan beberapa hari yang lalu.

Wendy balik menatap Irene selama beberapa detik. Namun pada akhirnya ia hanya mengangkat bahunya dan mengalihkan pandangannya pada laut yang ada di bawah mereka.

Irene tahu bahwa Wendy tidak ingin ditanya lebih jauh. Namun ia teringat akan perbincangannya dengan Jennie sore tadi dan kondisi Wendy.

She’s in a difficult situation.

“Saya suka liat langit malam hari, they’re so beautiful don’t you agree?” ujar Irene yang berbicara lebih pada dirinya sendiri daripada mengajak Wendy untuk berbincang-bincang.

Ucapan Irene membuat Wendy ikut menengadahkan kepalanya menatap langit yang bertaburan bintang hari itu. Irene tidak bohong saat ia berkata bahwa langit hari ini indah.

Setelah ia puas menatap langit, pandangan Wendy jatuh pada Irene yang duduk di sebelahnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia terlihat sangat menikmati pemandangan malam ini.

“Lo pasti banyak banget yang mau ditanyain ke gue ya?”

“Iya, tapi rasa penasaran saya bukan berarti saya akan maksa kamu buat jawab.” Irene membalas perkataan Wendy namun matanya masih menatap langit.

“Ask away then, tapi gue gak janji jawab.”

“Is it hard? Your philophobia I mean.”

“Sometimes, but it's part of me. I’ve been living with it since i was a child.”

“Berita-berita tentang kamu, itu semua bener?”

“Partly yes, partly no. Kayak berita gue sama Chanyeol, itu sama sekali nggak bener. Gue aja baru sekali ketemu dia dan itu pas acara kantor lo.”

“Oh…”

“Yang lo mau tanya masalah flings gue kan?”

Irene menolehkan kepalanya ke arah Wendy. Pertanyaan itu seperti kotak pandora baginya, ia sangat penasaran tapi ia juga tidak yakin siap dengan jawabannya.

Wendy berdecak gemas saat melihat ekspresi Irene. Matanya yang bulat di balik kacamatanya itu mengerjap beberapa kali.

“I never let them touch me. I can’t. Sometimes the news makes it sound bigger than what actually happened. Kadang gue cuma dinner sekali tapi well….” ujar Wendy. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Irene.

Yang dijadikan sandaran justru menjadi salah tingkah. Wendy sangat jarang berinisiatif untuk melakukan skinship dengannya.

Irene buru-buru berdeham untuk menenangkan hatinya. “Kalau gitu kenapa kamu diem aja? Kenapa kamu mau hidup dengan image yang kayak gitu?”

“So that people won’t ever know I’ve this philophobia. I’m pathetic didn’t I?”

Tangan Irene meraih tangan Wendy yang sedang tidak menggenggam gelas bobanya itu. “No you are not. You are just scared and this world is indeed scary.”

“Maybe…”

“You just need time and the right person to let you move on with your life. Saya juga butuh waktu yang lama untuk bisa move on dari Nana.”

“Dari Kak Nana apa dari Kak Seul?”

Irene tiba-tiba tertawa lagi, “Kamu ini jealous banget ya sama saya dan Seulgi?”

“Ih tapi serius deh gue, lo pasti pernah ada story kan sama Kak Seul?” tanya Wendy dengan serius. Ia mengubah posisinya dan kini menatap Irene.

“Kamu mau jawaban jujur atau diplomatis? Jawaban jujur kali ini hanya akan saya jawab satu kali, tapi setelahnya kamu gak boleh jealous lagi sama Seulgi.”

“Ya jujur lah! Iya kan?? Lo pernah ada story sama Kak Seul?”

Irene tersenyum malu, “Yeah, it happened years ago tapi. More like puppy love if you will? Tapi setelah saya pikir-pikir itu lebih ke admiration sih. Seulgi selalu tahu dia mau apa dan dia usaha keras untuk mendapatkan yang dia mau. Sedangkan saya selalu hidup mengikuti ekspektasi orang tua saya, jadi ya…..kalau kamu bilang saya kayak robot sebenernya nggak salah juga sih.”

“Tuh kan!! I know it!! Karena lo sama Kak Seul itu deketnya keterlaluan.”

“Iya tapi kan saya sekarang cuma anggep dia temen terdekat saya yang kayak keluarga. Kalau sekarang saya suka sama orang lain.” ujar Irene sambil menatap Wendy.

Ucapan Irene membuat Wendy salah tingkah karena ia tahu bahwa itu ditujukan untuknya. Entah mengapa tiba-tiba Wendy merasa emosional, perlahan matanya berkaca-kaca.

“Hyun, I’m so sorry…”

“Hey, hey why are you saying sorry? Kamu nggak ada salah apapun Wan.”

Irene memeluk Wendy dengan erat. Ia tidak ingin Wendy merasa bersalah atas apa yang ia rasakan, because she knows you can’t choose with whom you’re falling in love with. It just happened like that.

“Saya lebih suka kalau kamu ngomel ke saya daripada nangis kayak gini.”

“Hyun, you make it worse. I hate you Hyun. I hate how you’re so good to me, how you always give me something without asking anything in return and for a second I was contemplating should I let you in? And that’s the scariest part. If only you didn’t treat me well, it would be so much easier for me.”

“Kalau gitu saya boleh minta sesuatu nggak?”

“Huh?”

“Please sing for me? Saya suka banget lagu kamu yang Written in the Stars.”

187

“Ren kayaknya kita udahan aja deh ini meetingnya.”

Irene yang mendengar suara Jennie akhirnya menaruh ponselnya sejenak.

“Why? Kita belum kelarin yang ini?”

“Mau muntah gue liat lo senyum-senyum sendiri gitu kayak orang gak waras. Ya tau sih gue itu lo chattingan sama Wendy kan?” ujar Jennie gemas.

Terhitung semenjak di bangku kuliah, ini kali pertama Jennie melihat Irene betah chattingan seperti yang ia lakukan dengan Wendy. Biasanya Irene lebih memilih komunikasi via telepon daripada chat.

“Hehe sorry sorry, I'll turn off my phone then.”

“See Ren? Yang gue bilang dulu bener kan??”

“Lo ngomong apaan emang? Gak inget gue.”

“You are falling for her, at full speed.”

“Am I?”

Jennie memutar kedua bola matanya, ia sudah meninggalkan powerpoint yang sedari tadi sedang diperiksa. Kini ia berfokus pada layar laptopnya dan memandang Irene lekat melalui sambungan video call mereka itu.

“Cuma orang buta atau dense doang yang gak ngerasa kalo lo already fell for her.”

Irene hanya mengangkat bahunya, “Udah ah kok jadi gue, kan tadi kita sengaja emergency meeting gara-gara mau nyelesain ini.”

“Gue udah gak mood ngerjainnya, abis lo tadi pas gue on-fire malah asik sama Wendy. Mending sekarang gue interogasi lo aja deh ah.”

Irene menghela napasnya, biasanya ia selalu curhat masalah serius dengan Seulgi namun kali ini ia merasa Jennie lebih bisa memberikannya saran dan mendengarkan ceritanya dengan lebih santai.

“So? What's the real deal between you and Wendy?”

“I don’t know. I mean, lo tau gue kan Jen? I always live my life up to my parents' expectations. At some point, it's just so weird to not follow my parents wish. Then comes Wendy and this arrangement. Honestly? My initial plan was just to see where it goes and here I am.”

Jennie menopang dagunya tepat di depan layar laptopnya, ia sedang memikirkan kalimat yang ingin ia sampaikan kepada temannya itu.

“Well tapi gue liatnya lo ngeluarin effort yang ekstra. Apalagi kalo lo bilang awalnya lo cuma let it flow aja.”

“Again, gue gak pernah mikir bakal gini sih. She’s someone that is coming back from my past and gives me lots of surprises. Asli kalo lo tau dulu gue pas kecil kayak gimana sama dia….” Irene menggelengkan kepalanya, tertawa sembari sedikit bernostalgia.

“There it is! I see it again! Ugh! If only Ren lo bisa liat gimana mata lo berbinar-binar pas lagi ngomongin Wendy!” ujar Jennie berteriak heboh.

Irene lagi-lagi hanya terkekeh, tidak tahu harus berkata apa. Ia sungguh penasaran seperti apa dirinya dimata orang-orang lain?

“Well I'm happy for you Ren, really. But what about your agreement?” sambung Jennie kelepasan.

Mendengar ucapan Jennie, mata Irene langsung menatapnya tajam.

“Uhm, sorry Ren, cctv kantor lo beneran gue lupa matiin suaranya waktu itu. Tenang aja itu semua udah gue hapus kok. Yang tau cuma gue doang, soalnya waktu itu gue niatnya iseng buat godain lo.”

“I swear if it’s ever-...”

“Gak bakal ren. I swear on my own life. Tapi gue serius, gimana sama perjanjian lo itu? Just saying. Kan gak mungkin lo catching feelings sendirian gini terus-terusan?”

Jennie sedikit menyesali ucapannya. Ia benar-benar tidak berencana untuk berbicara seperti itu, kalimatnya tadi hanya keluar begitu saja saat ia mengingat video Irene dan Wendy ketika mereka membuat perjanjian pertunangan mereka itu.

Namun di lain pihak, Jennie bersyukur karena ia tahu cepat atau lambat Irene harus ia sadarkan dengan fakta ini.

“Sorry ya Ren, bukan maksud gimana….”

“I know. It’s okay Jen.”

“Tapi gue penasaran deh sejak kapan lo mulai suka doi?”

“Kalau gue bilang gak tau, lo percaya nggak? It just, somehow kehadiran dia jadi sesuatu yang esensial buat gue? Jujur sekarang gue selalu nunggu waktu dimana kita habisin waktu berdua. Even when she was just there baking and me doing my work. It feels different, I’m not feeling empty anymore.”

“I see…. Well that’s what happens when you’re falling in love Ren. Wajar sih Wendynya juga lucu gitu.”

Lagi-lagi Irene menatap Jennie tajam.

“Yoooo, I’m just saying. Lo setuju kan kalo Wendy emang cute?”

“Back off, she’s engaged. Also you already have someone.”

“Udah putus. Baru aja kemaren.”

“Still back off, she’s mine.”

“Lol alright alright chill! It's just a joke! Gak mungkin juga gue sama Wendy, she’s not my type and she’s yours. Asik nih gue sekarang tau sore spot lo.” ujar Jennie sembari menggelengkan kepalanya, terkekeh atas sikap Irene yang baru sekali ini ia jumpai.

“Kita udahan aja deh ini meetingnya, gue juga jadi nggak mood gara-gara lo.”

“Gak mood atau lo mau balik ketemu Wendy cepet?”

“Well that’s the main point too.”

“Okay, noted. Ntar ini gue selesaiin dulu aja deh baru kirim lagi ke lo ya?”

“Yep, thanks Jen. See you.”

Jari Irene hendak menekan tombol ‘leave meeting’ saat ia mendengar ucapan Jennie yang lagi-lagi membuatnya kesal.

“Salam ya buat my Cutie Wendy!”

“Jen stop with this joke or else I’m gonna think you really have a hot for her! She’s mine!”

Jennie hanya menjulurkan lidahnya. “Bye Irene-sensitif-Bae!”

179

Niat Wendy dan Irene yang awalnya hanya keluar rumah untuk membeli boba dan mampir ke pantai akhirnya terus berlanjut hingga menjelang malam.

Keduanya memutuskan untuk menunggu sunset.

Lebih tepatnya Wendy memutuskan untuk menunggu sunset sembari bermain dengan anjing putih yang ia temui di pantai tadi setelah sang pemilik memperbolehkannya untuk bermain lebih lama dengan anjing tersebut.

Sedangkan Irene hanya duduk di tepi pantai, sembari merevisi berkas-berkas yang dikirimkan oleh Seulgi kepadanya.

Langit sudah berwarna oranye tua saat Wendy dan Irene akhirnya meninggalkan pantai, menuju mobil sedan milik Irene.

Lagi-lagi niat awal mereka untuk segera pulang berubah ketika keduanya tiba-tiba memutuskan untuk menghabiskan waktu mereka dengan menikmati pemandangan malam hari.

One of Irene's hobbies that Wendy never knew, night drive.

“Mau nemenin saya nggak?” tanya Irene tiba-tiba, kepalanya menoleh ke arah Wendy sejenak.

“Ke?”

“Rahasia, tapi saya jamin kamu pasti suka.”

Wendy hanya mengangguk mengiyakan permintaan Irene.

“Seungwan” panggil Irene pelan.

“Hm?”

“Wendy” panggil Irene lagi sambil melirik ke arah kursi penumpang untuk beberapa detik.

“What?”

“Is that okay kalau saya panggil kamu Seungwan?”

“You’ve done it before and I’m not complaining didn’t I?” jawab Wendy santai. Ia sedang sibuk membalas chat Sooyoung dan Yerim yang lagi-lagi menggodanya.

“Okay then. But which one do you prefer?”

Irene memutar kemudi mobilnya, mengambil jalan yang berbeda dengan jalan yang selama 2 hari ini mereka tempuh menuju rumah.

“Honestly? Seungwan. It’s my birth name, that’s how my parents call me. But because my parents call me that, it is also such a bittersweet name.”

“If I call you Seungwan, does it remind you of that bittersweet?”

“Funnily no. You are the second person that has such an effect to be honest.”

“Oh ya? I’m flattered then.” jawab Irene singkat. Ia tidak bisa memungkiri bahwa ada rasa penasaran setelah mendengar jawaban Wendy, but one step at a time.

“By the way, ini mau kemana sih?”

Baru saja Irene hendak menjawab pertanyaan Wendy, ia mendengar sayup-sayup lagu ‘A whole new world’ dari radio mobilnya yang rupanya lupa ia matikan.

“A whole new world. A new fantastic point of view. No one to tell us no!” Irene tiba-tiba bersenandung, sembari tertawa saat melihat Wendy menggelengkan kepalanya.

“A whole new world. I’m gonna show you a whole new world.”


Setelah hampir satu jam perjalanan -karena Irene salah jalan, maklum sudah lama ia tidak mampir ke kota ini-, akhirnya Wendy melihat sebuah plang kawasan glamping. Matanya mengerjap takjub dan secara otomatis bibirnya melengkung dengan indah.

“This… whoa. It’s so beautiful.”

Mendengar ucapan Wendy dan melihat ekspresi kagum yang tergambarkan pada wajah Wendy membuat Irene ikut tersenyum puas. Sudah ia duga Wendy pasti akan menyukai tempat ini.

“Uhm, anyway saya mau nanya dulu. As you know that kita bakal glamping, kamu mau kita satu tempat atau pisah?”

Pertanyaan Irene membuat Wendy terdiam sejenak. It is such a big deal for her. Tempo hari saat Irene tidur di pangkuannya saja sudah membuat ia sedikit hyperventilating, apalagi kalau harus tidur dalam satu ruangan tertutup dan sempit?

She might as well die.

“Are you okay? Kalau kamu memang lebih nyaman untuk tidur di tempat yang terpisah, saya sewa dua tempat.” ujar Irene.

Wendy menggigit bibirnya, ia sadar bahwa mobil mereka semakin mendekati area parkir.

“Seungwan, please remember that-..”

“Lo gak bakal maksa gue atau ngelakuin sesuatu yang gue nggak mau. I know that.” potong Wendy.

Wendy terdiam lagi. Ia tahu kalau Irene akan selalu menepati ucapannya, at least that's what she did all these time. Tetapi Wendy tidak tahu apakah ia sanggup untuk tidur dalam satu ruangan tertutup bersama Irene?

Bukan Irene masalahnya, tetapi dirinya sendiri.

Wendy memejamkan matanya dan menarik napas dalam-dalam, “Just rent one place. That’s okay.”

Irene tidak langsung menanggapi ucapan Wendy walaupun sebenarnya ia sudah gatal untuk berbicara. Ia menyempurnakan posisi parkir mobilnya dan menarik tuas rem tangan sebelum akhirnya memutar tubuhnya menghadap Wendy.

“You sure? Serius saya nggak ada masalah kalau harus sewa dua tempat, your well being is my priority Seungwan. Saya bawa kamu kesini supaya kamu bisa refreshing bukan sebaliknya.”

Lagi-lagi Irene and her self-less habits yang justru bikin Wendy semakin “tertekan”. If only Irene is a jerk, it would be much mooooore easier for Wendy.

“It’s okay Hyun.” Wendy meraih tangan kanan Irene dan menggenggam tangan Irene. “See, gue nggak gemeter lagi sekarang kalo pegang tangan lo.”

“Lo gak harus selalu hati-hati sama gue, just do what you want to do Hyun. Maybe, just maybe, gue mulai familiar sama kehadiran lo.”

Setelahnya mereka berdua sama-sama terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Irene yang lebih dulu selesai dengan pikirannya itu mengusap punggung tangan Wendy dengan ibu jarinya.

Wendy belum melepaskan genggaman tangan mereka.

“Can I hug you?” tanya Irene yang dibalas dengan anggukan oleh Wendy.

Tubuh Wendy sempat kaku untuk beberapa saat sebelum akhirnya ia bisa sedikit lebih rileks.

“Whenever it’s getting too much, just tell me okay? Kamu nggak sendirian, ada Saya, Yerim, Sooyoung, Seulgi, Jennie, Taeyeon, even Zero dan Saya yang peduli sama kamu.”

“Kok nama lo dua kali?”

“Because I’m special. Kayak martabak kan kalau spesial telurnya dua?”

Wendy tertawa kencang mendengar penjelasan Irene. “Sekarang gue yakin lo sama Yerim emang saudaraan, sama-sama aneh dan gila.”

But Wendy does agree, Irene is special.