LOVE IS…
(part 3-1)
Bunyi peluit, langkah kaki yang berderap serta sahut-menyahut suara komentator memenuhi ruang keluarga yang dihuni oleh dua sosok perempuan dengan pose duduk yang terlihat sangat mirip.
Winata dan Thena.
Dua hawa yang sering kali disanjung oleh orang-orang karena paras mereka yang terlihat lebih muda dari umur mereka. Dua hawa yang menarik perhatian kaum adam dan hawa dengan sikap mereka yang sangat gentle dan cool. Dua hawa yang memiliki sexy brain dan sexy appearance, ketika mereka ingin tampil demikian.
Bak pinang dibelah dua.
Winata memandang layar televisi 55 inci yang terdapat di depannya dengan sangat serius. Alis matanya ikut mengkerut saking fokusnya ia terhadap layar televisi tersebut dan tanpa sadar Winata menggigit bibir bawahnya. Sementara itu ibu jarinya dengan lihai memencet tombol-tombol joy-stick dengan sangat cepat.
Pemandangan yang sama dapat dilihat pula pada sosok Thena yang duduk tepat di samping Winata. Hanya saja Thena sedikit lebih kalem, tidak terlalu banyak mengeluarkan suara-suara atau desisan dari mulutnya.
“Honey! Sayang! Dinner is ready!”
Terdengar sebuah teriakan dari ruang makan, namun baik Winata maupun Thena sama sekali tidak menggubris panggilan tersebut. Masih terlalu fokus pada pertandingan yang sedang mereka jalani.
“Honey? Sayang?”
Sekali lagi panggilan terdengar dari ruang makan dan sekali lagi panggilan tersebut diabaikan.
Tak kunjung mendapatkan respon, akhirnya sang chef memutuskan untuk mendatangi Istri dan anaknya di ruang keluarga. Mereka berdua harus punya alasan yang masuk akal untuk mengabaikan panggilannya barusan.
Ia menggelengkan kepalanya saat melihat Winata dan Thena sangat fokus pada layar televisi, yang bahkan jika boleh hiperbola, ia sedikit khawatir mata putrinya itu akan lepas dari rongganya.
Sejujurnya ia tidak kaget menemukan istri dan anaknya dalam keadaan demikian.
“Babies?! Kalian nggak denger kalau udah aku panggil?!”
“Honey, nanti dulu. Jangan ganggu tongtong dan aku dulu. Ini udah quarter terakhir.” ujar Thena merujuk pada dirinya dan Winata.
“Stop calling me tongtong!” protes Winata pada Thena yang menggunakan nama kecilnya itu.
“Sigh… kalian cepet selesaikan ini semua lalu setelahnya aku tunggu di meja makan. Nggak pake lama.” ujar sang chef yang kemudian kembali melangkah ke ruang makan.
Tak lama setelah perintah tersebut dilayangkan, Winata kembali bersuara. Kali ini lengkingan tinggi keluar dari mulut gadis mungil itu disertai dengan tubuhnya yang ambruk ke sisi sofa yang kosong.
Sementara itu Thena justru bangkit sembari memukul-mukul udara dengan joy-stick yang masih digengam erat oleh tangan kanannya.
“Aduh mana nih, Kapten tim utama basket putri SMA Pelita masa kalah?” cibir Thena yang berjoget di depan Winata kemudian mengacak-acak pelan rambut gadis kesayangannya itu.
“Idih beraninya pake joystick. Coba sini ayo main beneran pake teknik di lapangan beneran, udah pasti sih siapa pemenangnya.” balas Winata dengan bibir yang mengerucut, masih tidak terima akan kekalahannya.
Thena sudah membuka mulutnya, siap untuk menyerukan kalimat balasan, namun ponsel miliknya yang tergeletak di meja berdering kencang dan membuat perhatian Thena beralih pada ponsel hitam tersebut.
IGD
Winata tidak perlu mengkonfirmasi penglihatannya karena tak lama kemudian ia mendengar Thena menanyakan kondisi umum, atau KU, atas pasien yang baru saja masuk IGD.
Saat ini di hadapan Winata sudah bukan ibunya lagi, namun berubah menjadi Dokter Thena.
Seperti yang sudah-sudah, Winata mengambil joystick yang di taruh oleh Thena di meja. Kemudian dalam diam ia rapikan playstation mereka dan makanan-makanan ringan lainnya yang semula bergeletakan di meja tersebut.
Winata sudah khatam dengan kejadian-kejadian seperti ini. Sehingga tanpa diberitahu pun ia sudah mengerti bahwa game malam ini sudah berakhir bagi Winata dan Thena.
Sementara itu, melihat sosok putrinya yang langsung bergerak secara otomatis untuk menyelesaikan permainan malam ini dan membantunya merapikan ruang keluarga tersebut, Thena tersenyum ke arah Winata walau putrinya itu saat ini sedang membelakangi dirinya.
Thena berjalan ke arah Winata sambil tetap mendengarkan penjelasan dokter jaga melalui sambungan telepon. Dibelainya rambut Winata singkat dan tak lupa satu kecupan di pelipis ia berikan pada putrinya.
“Thank you, let’s continue this another day okay?” bisik Thena.
Hanya kalimat singkat yang Winata tahu bahwa mungkin another day yang dimaksud Thena bisa saja esok, minggu depan, atau bahkan bulan depan. Ia kembali fokus merapikan ruang keluarga tersebut, mematikan televisi dan perangkat elektronik lainnya serta memasukkan sampah-sampah pada tempatnya.
Sedangkan Thena sudah berjalan meninggalkan ruang tengah dan hilang menuju lantai dua tempat kamar tidur utama berada.
Setelah yakin bahwa ruang keluarga sudah rapi seperti sedia kala, Winata berjalan menuju ruang makan.
Hidangan makan malam sudah tersaji, terlihat sangat menggiurkan apalagi dengan aroma semerbak yang tercium oleh Winata.
“Mi, tupperware yang boleh aku pakai yang mana?” tanya Winata pada sosok Maminya.
Ia tahu bahwa tidak sembarang tupperware boleh dipakai, jadi lebih baik bertanya terlebih dahulu daripada harus mendengar celotehan panjang lebar dari Maminya.
”Hijau itu khusus untuk sayur-sayuran, vegan food. Orange khusus untuk makanan setengah jadi yang masih harus digoreng. Merah itu khusus untuk junk food”
Winata bergidik ngeri ketika ia mengingat bagaimana Maminya menceramahinya panjang lebar hanya karena perkara tupperware.
“Kamu mau makan di kamar?”
Winata menggeleng, “Bubu barusan dapat telepon dari IGD. Porsinya bubu mau aku masukin tupperware aja.”
Mulut Tiffany membulat, membuat huruf ‘o’.
“Jadi yang mana?” tanya Winata lagi.
“Udah kamu makan aja, biar Mami yang rapihin.”
Winata mengangguk pelan kemudian menarik kursi yang kosong. Ia duduk dengan tegap sembari mengambil nasi untuk dirinya dan kemudian untuk Tiffany. Tak lupa dituangkannya air mineral di gelas milik Tiffany sembari ia menunggu mamanya selesai memisahkan makan malam milik Thena.
Setelah lima menit berjalan mondar-mandir, akhirnya Tiffany selesai dengan tugasnya dan duduk tepat di hadapan Winata. Ia memimpin doa makan malam sebelum keduanya menyantap hidangan makan malam.
Sangat khidmat. Tidak ada percakapan di meja makan hanya terdengar dentingan pelan dari sendok atau garpu yang beradu dengan piring. Sesekali Winata menawarkan untuk mengisikan gelas Tiffany yang hampir kosong dan tentu saja Tiffany menerima dengan senang hati.
Lagipula siapa yang tidak senang jika diperhatikan oleh putrinya? Tentu bukan Tiffany. Apalagi putrinya itu memang sangat gentlewoman dalam memperlakukannya. Winata boleh saja terlihat seperti sosok yang jahil, bandel, asal-asalan jika ia bersama dengan orang-orang asing, tetapi Winata akan berubah seratus delapan puluh derajat saat ia bersama dengan orang-orang terdekatnya.
“Kamu mau nambah?” tanya Tiffany saat melihat piring Winata sudah hampir kosong.
“Nggak usah, mi. Kenyang.”
“Inget ya sayang, kamu udah mau turnamen kan? Jangan sampai kurang gizi. Kamu kan juga harus jaga stamina, itu nggak hanya bisa didapatkan dengan latihan fisik tapi harus juga didukung dengan asupan gizi yang baik.” ceramah Tiffany.
“Iya mii….” ujar Winata sembari mengunyah apel yang sudah dipotong oleh Tiffany.
“Ah, omong-omong. Gimana sekolah?”
“Gitu-gitu aja, dih ngapain nanya sih mi? Kan Mami bisa kepo sendiri?” tanya Winata.
Tiffany tertawa, matanya menyipit membuat bentuk bulan sabit. Eye smile kalau kata orang-orang.
Sementara itu Winata mau tidak mau ikut tersenyum kecil saat melihat tawa manis di wajah Tiffany.
“Beda dong sayang, kalau Mami kepo sendiri, sure Mami akan dapat datanya. Hitam di atas putih. Tapi yang Mami ingin tahu itu gimana perasaan Winata tentang sekolah. Itu nggak bisa Mami ketahui hanya dari hitam di atas putih.”
Winata berhenti mengunyah sebentar. Ia menatap Tiffany lekat, berusaha mengingat-ingat hal apa yang akhir-akhir ini sedikit berbeda baginya.
“Oh, ada sih.” ujar Winata santai namun memancing perhatian Tiffany.
“Ada nih satu guru, ngasih tugas dua minggu. Tapi tugasnya absurd banget.”
“Oh ya? Siapa? Mata pelajaran apa?” tanya Tiffany bersemangat.
“Literatur.”
Sebuah lap meja makan mendarat mulus di wajah Winata. Namun kali ini tawa Winata terdengar sangat kencang. Sedangkan Tiffany berdecak kesal karena baru sadar bahwa ia digoda oleh putrinya sendiri.
“Serius dong sayang!”
“Ih, ini serius! Aneh banget itu gurunya! Soal dari tugasnya itu cuma satu kalimat, tapi temen-temen aku yang ngerjain udah kayak mau bikin tugas akhir.” geleng Winata.
“Bagus dong? Temen-temen kamu serius ngerjainnya. Kamu sendiri gimana?”
“Belum ngerjain lah…..Argh!! Mami sakit!”
Winata mengelus-elus pinggangnya yang dicubit oleh Tiffany.
“Kamu tuh serius sedikit bisa nggak sih? Jangan kayak Bubu kamu deh, keseringan bercanda sampe kadang-kadang orang gak percaya pas dia serius!” omel Tiffany.
“Lah, aku tuh serius. Akhir-akhir ini sekolah ya gitu-gitu aja. Kalau Mami tanya ke aku gimana latihan untuk turnamen, baru aku jelasin panjang kali lebar.”
“Ya sudah, gimana persiapan turnamen kamu?”
“Seru banget! Akhirnya bu Yuri mulai masuk ke fase latihan tim dan strategi. Kemarin-kemarin latihan fisik terus, bosen banget. Oh! Tau nggak sih ma? Tempo hari kan aku latihan pagi sama temen-temen, ya kayak biasa itu. Terus si Prima cerita kalau kunci motor dia ketemu mi!” cerita Winata dengan bersemangat.
Tiffany mengangguk, tanda ia mengikuti cerita Winata. Memang minggu lalu Winata sempat bercerita kalau Prima, salah satu teman kelasnya sekaligus teman satu tim basket, sempat kehilangan kunci motornya setelah melakukan ‘tantangan’ untuk uji nyali di salah satu ruangan yang katanya paling berhantu seantero sekolahan.
“Oh ya? Ketemu dimana?” tanya Tiffany.
“Itu dia part paling seru! Prima bilang kuncinya dikasih sama pak satpam! Itu loh pak Ituk! Nah Pak Ituk bilang kalau dia lupa siapa yang kasih kunci, tapi dia bilang abis ngasih kunci terus anak cewek itu lanjut aja masuk ke sekolah! Padahal mi, pagi itu yang ada di sekolah cuma anak basket! Dan gak ada satupun cewek yang persis sama deskripsi Pak Ituk!!”
“Temen kamu yang lain kali, anak OSIS kan juga biasanya yang jaga gerbang pada dateng pagi?”
“Nggak ada mi! Kita tuh udah cek, pagi itu yang ada emang cuma anak basket. Lagian ya mi, kalau anak OSIS juga mereka gak bakal dateng ke sekolah jam 5 pagi!” sanggah Winata
“Prima kemaren udah hampir nangis sih, takut ketempelan katanya. Dia kan takut banget sama hantu-hantu kayak gitu.” tawa Winata.
Tiffany lagi-lagi tertawa, menggelengkan kepalanya mendengar cerita Winata yang di luar nalar.
“Turnamen tinggal sedikit lagi ya? Nanti Mami bakal paksa Bubu buat nonton. Dia udah ngelewatin porseni akhir tahun lalu.” ujar Tiffany tiba-tiba.
“Santai aja sih mi, Bubu kan sibuk. Lagian, Bubu juga kadang ngedrop makanan gitu kok buat tim.”
“Well, talking about your basketball career then. Sudah tau berita tentang seleksi pertukaran pelajar di akhir tahun ini?”
Winata mengangguk. Tentu ia tahu, berita itu sangat santer terdengar terutama di kalangan anak basket sekolahnya. Bagaimana tidak? Tahun ini pertukaran pelajar akan dilakukan dengan salah satu sister school SMA Pelita yang berada di Amerika Serikat.
Pertukaran pelajar tersebut akan dilakukan selama satu tahun dan selama satu tahun itu pula murid-murid SMA Pelita yang berangkat ke Amerika akan mendapatkan kesempatan untuk menempa personal skills mereka di sekolah tujuan. Bahkan sudah ramai terdengar bahwa mereka bisa mengikuti kegiatan tahunan klub sekolah tersebut, dalam hal ini bagi tim basket artinya mereka bisa ikut berlatih dan bahkan bertanding disana.
Bagi pecinta basket, bisa berlatih di negara paman sam itu adalah impian. Termasuk bagi Winata.
“I know.” jawab Winata mantap.
“So?”
“What?” tanya Winata.
“Kamu daftar kan? Itu kesempatan emas buat kamu, sayang. Disana kamu bisa berlatih basket dengan sarpras yang mumpuni, pelatih profesional dan rekan tim yang mungkin skillsnya di atas teman-teman kamu yang ada disini.”
Winata mengamini ucapan Tiffany barusan. Semua yang disampaikan Tiffany benar adanya, namun ia memiliki keraguan dalam hatinya.
“It’s just a hobby, Mi. Aku…..masih mikir lagi apa aku bakal serius disini atau nggak.”
Tiffany terkesiap mendengar jawaban putrinya. Sangat aneh baginya mendengar Winata berkata bahwa basket hanyalah sekadar hobby. Winata sudah menekuni olahraga tersebut sejak ia di bangku sekolah dasar, bahkan Winata dulu memohon agar dimasukkan ke klub basket terbaik di kota mereka. Jadi bagaimana mungkin basket hanyalah ‘hobby’ bagi seorang Winata?
“Sayang, what happened?” tanya Tiffany. Tangannya menggenggam tangan mungil milik putrinya dan diusapnya punggung tangan tersebut dengan ibu jarinya.
“Kalau kamu mikir masalah biaya, don’t worry. Thena kerja keras banting tulang, semua itu untuk kamu. Mami juga kerja, itu buat kamu. We have more than enough for us. Mami dan Bubu dari lama sudah punya plan keuangan buat kamu, sayang.” tambah Tiffany.
Winata tersenyum getir.
Memang permasalahannya bukan uang. Ia tahu betul bahwa kehidupan keluarganya jauh di atas cukup, bahkan sangat berlebih.
“Mi, kalau aku ikut dan ternyata aku lolos artinya pas aku balik sini aku harus extend satu tahun. Aku akan telat lulus SMA satu tahun, mi. I’m not so sure if that’s a good thing. Especially when I will pursue medical.” ujar Winata dengan sedikit berbisik di akhir kalimatnya.
“Hah? Apa kamu bilang? Medical? Kamu mau ambil kuliah kedokteran? Since when?” tanya Tiffany yang lagi-lagi terkejut.
“Mi, we both know Bubu dari dulu pengen banget supaya aku ikutin jalurnya Bubu. Personally, aku pun melihat itu salah satu occupation yang sangat possible buat aku. I’ve been living with all those medical terms and procedures for my whole life.”
Tiffany memejamkan matanya untuk menarik napas sejenak. Apa yang terlontar dari mulut Winata harus dibahas secara serius, oleh mereka bertiga. Tiffany pun sudah memutar otaknya untuk menginterogasi Thena, ia tidak mau Thena secara tidak sadar sudah ‘memaksa’ Winata untuk mengambil jalan yang tidak Winata senangi.
Namun saat ini, yang harus ia urus adalah Winata yang duduk tepat di hadapannya.
“Sejak kapan kamu mikir kayak gini? Sejak kapan kamu mikir kalau kamu pengen jadi dokter?” tanya Tiffany perlahan.
Winata hanya mengangkat bahunya, “Nggak tau. Tapi aku sadar kalau kayaknya aku udah mikirin tentang ini dari lama, secara gak langsung.”
“Kamu yakin mau menempuh jalur yang sama kayak Thena? It’s not easy, sayang. Bukan Mami meragukan kemampuan kamu, I’m sure secara otak dan fisik kamu pasti bisa. You inherit Thena’s and My brain. Tapi butuh waktu belasan bahkan puluhan tahun sampai Thena bisa ada di posisinya sekarang. Dari sekolah kedokteran sampai kamu bisa jadi dokter spesialis aja kamu sudah menghabiskan waktu lima belas sampai dua puluh tahun, are you sure?”
Winata hanya terdiam. Ia berusaha mengkalkulasi berapa umurnya saat ia selesai mengambil spesialis. Tanpa sadar Winata membulatkan matanya dan membuat Tiffany tertawa kecil.
“Exactly, itu aja kamu baru selesai spesialis.”
“Kamu yakin kamu akan enjoy dengan itu semua? Ini Mami bukan mau mematahkan semangat kamu, tapi Mami mau kasih kamu gambaran aja from someone who’s been with Thena since the beginning.” tambah Tiffany.
Memang betul adanya. Tiffany dan Thena sudah saling mengenal sejak di bangku SMA. Tiffany pula yang menemani Thena disetiap malam dimana Thena harus begadang atau hanya sekedar berkeluh kesah tentang teman-teman satu kampusnya yang menurut Thena cukup menyebalkan.
Ritual itu terus berlanjut bahkan hingga Thena lulus sekolah kedokteran dan mengambil koas serta residensi.
“Your bubu, Thena, she had to sacrifice her sleep and her personal time. Mami ada disana waktu Thena bahkan lupa makan, lupa mandi, lupa hari ulang tahunnya, lupa hari anniversary kami, lupa hampir segalanya. Not only that, sayang. Thena juga harus tebal telinga mendengar cacian dokter pembimbingnya karena mereka harus selalu perfect saat melakukan tugas mereka, as you know nyawa orang lain adalah taruhannya. Belum lagi kalau dia harus dealing with the family of the patient.”
Winata masih terdiam. Melihat hal ini, Tiffany kemudian melanjutkan ceritanya.
“Mami nggak akan sugar coating, ada saat dimana Thena bahkan berpikir kalau jadi dokter bukan jalan yang tepat baginya. Tetapi itu cuma pikiran sesaat aja karena dia benar-benar lelah. Setelah dia siap untuk bangkit, Thena selalu mencintai apa yang dia kerjakan. Dia enjoy her sleepless night, enjoy waktu dicaci sama dokter pembimbing dia dan bahkan enjoy ditelepon sama IGD di waktu-waktu yang nggak ‘tepat’.”
“Bottom line is, ketika kamu melakukan sesuatu yang kamu cintai, kamu pasti akan senang dan semua yang terlihat sulit pada akhirnya kamu lalui dengan enjoy. Sure akan ada waktu dimana kamu pengen nyerah tapi seperti yang tadi Mami ceritain, it just for a split second. Sekarang masalahnya apa kamu enjoy harus melewati jalan yang kayak gitu?”
Winata mengangkat bahunya, “Akan aku pikirin lagi.”
“Okay, tapi kamu nggak bisa kelamaan mikir ya. Ada tenggat waktu pendaftaran pertukaran pelajar yang menanti kamu. Mami cuma nggak mau kamu menyesal. Harus kamu ingat, hidup itu cuma sekali. Apa yang sudah terlewat nggak akan pernah bisa kamu ambil balik.” ujar Tiffany.
“Setiap orang itu kayak kereta api yang punya relnya masing-masing. Jadi Mami harap, kamu juga bisa tentuin kemana arah rel kamu. Nggak perlu nyontek rel punya siapapun. Bayangin aja kayak dulu pas kamu kecil main lego and I remember you’re so creative when you do so.”
Winata berbaring menatap langit-langit kamarnya. Ucapan Tiffany di ruang makan tadi masih membekas di memorinya.
Jika ia boleh jujur, saat ini dirinya benar-benar sedang hilang arah.
Di satu sisi, ia sangat mencintai basket. Namun ia ragu apakah basket bisa menjamin hidupnya untuk selamanya? Karena sejak pertama kali ia mencintai basket, Winata selalu mendapat support dari orang tuanya, termasuk support finansial. Tetapi hal itu tidak bisa terus berlanjut untuk selamanya bukan?
Namun di sisi lain, Winata hampir tidak ada gambaran ingin mengambil jalan hidup seperti apa selain basket dan kedokteran. Seperti yang ia ungkapkan pada Mamanya, seumur hidupnya Winata juga melihat bagaimana Thena sibuk kesana kemari, bangun di jam-jam yang aneh karena ada panggilan mendadak dari rumah sakit. Bahkan terpaksa meninggalkan acara-acara penting karena ‘dipaksa’ oleh pekerjaannya itu.
Winata juga ingat bagaimana rasa kesal yang ia rasakan atau bagaimana raut kekecewaan yang terbesit singkat di wajah Tiffany. Contoh paling mudah, tadi saat ia sedang bermain dengan Thena, Bubunya harus meninggalkan quality time keluarga mereka dan bahkan melewatkan makan malam bersama.
Sang gadis berambut pendek terperanjat saat ponsel yang ia letakkan di dekat kepalanya tiba-tiba berdering. Satu panggilan masuk dari Karina.
Winata menaikkan alisnya, tumben Karina langsung meneleponnya tanpa meninggalkan pesan terlebih dahulu.
Jari telunjuknya menggeser tombol untuk menerima panggilan tersebut.
”Win, kalo aku ngasih tawaran ke kamu buat nemenin aku malem ini mau nggak?”
“Hah? Salam dulu kek?”
”Assalamualaikum, Shalom, Om Swastyastu, Namo Buddhaya. Jadi gimana? Mau nggak?”
“Tck… Kemana Rin?” tanya Winata, matanya melirik ke arah jam dinding.
Pukul delapan lebih lima menit.
”Nggak tahu, hehe. Ya kalau boleh jujur sih, ini impromptu banget.”
“Pasti ditinggal ngedate sama nyokap ya?” goda Winata.
”Benar sekali bestie, jadi gimana? Mau nggak? To be honest kamu orang pertama yang aku telepon, soalnya rumah kamu paling deket.”
“Ya iyalah Karinaaaa! Rumah ku bener-bener cuma beda jalan doang ya!”
”Hehe jadi gimana? Ayo dong temenin. Muter-muter aja deh kalo males nongkrong. Mumpung dibolehin Mama buat bawa mobil nih.”
Winata berpikir sebentar, sebenarnya ia agak enggan pergi karena malas harus mandi lagi malam-malam setelah pulang menemani Karina. Namun disisi lain, nampaknya ia butuh tempat untuk bercerita.
“Okay, aku mau siap-siap dulu kalo gitu.”
”Gak usah Win! Ini aku udah di depan rumah kamu! Ke balkon deh!”
Sang gadis berambut pendek turun dari kasurnya dan berjalan ke arah balkon. Seperti yang dikatakan oleh Karina, ia sudah sampai di depan rumah Winata. Gadis berambut hitam legam itu berdiri di samping mobil mini cooper milik Irene sembari melambaikan tangannya pada Winata.
”See? Aku cuma pake celana training, hoodie, sama topi nih! Jadi kamu juga nggak usah dandan ya! Cuma aku doang ini!”
“FYI ya rin, hoodie yang kamu pake itu hoodie kesayanganku yang udah gak balik ke aku hampir satu tahun.” jawab Winata malas, namun berbanding terbalik dengan apa yang ia katakan, sebuah senyuman tersungging di bibir nya saat mendengar jawaban dari Karina.
”Well, what should I do? Ini juga hoodie favorit aku sekarang.”
Malam itu akhirnya Karina dan Winata memilih untuk drive thru makanan cepat saji kemudian berkendara keliling jalan tol dalam kota dan kini berakhir di Bandara Internasional yang berada di ujung kota mereka.
Lucunya, baik Karina dan Winata sama-sama tidak berdiskusi terlebih dahulu tentang tujuan akhir ini tapi keduanya yang mengerti satu sama lain seperti sudah bertelepati. Sehingga saat Karina melajukan mobil milik Irene keluar dari tol dalam kota dan berbelok ke arah Bandara Internasional tersebut, Winata hanya bisa tertawa kencang.
“Rin, sumpah aku juga tadi mau nyaranin kesana!”
Begitu ujar Winata sekitar satu jam yang lalu.
Keduanya kini tengah duduk di salah satu coffee shop di salah satu terminal Bandara tersebut. Coffee shop favorit mereka karena dari sini mereka bisa melihat pesawat yang take-off dan landing, serta pesawat-pesawat yang lewat untuk taxing dan parkir.
“Sumpek di rumah ya mblo?” goda Winata.
“Hey, ngomong sama kaca. Kalo kamu nggak bosen, gak mungkin kamu nerima ajakan aku.”
Winata mengangkat bahunya, “Aku emang cuma mau nemenin kamu.”
Jawaban santai dari Winata membuat Karina terdiam. Setelah percakapan antara Winata dan Karina tentang tugas literatur mereka, Karina akui ia jadi lebih memperhatikan Winata dan hal itu justru membuatnya canggung. Ia baru menyadari perlakuan spesial yang Winata lakukan terhadapnya jika dibandingkan dengan teman-teman lainnya.
Baru beberapa hari yang lalu, ia juga menyadari bahwa Giselle dan Ningtyas selalu menggoda Winata secara implisit dan bagaimana Winata selalu mengalihkan pembicaraan.
Apakah Winata menyukai dirinya?
Namun Karina ragu karena seingatnya sikap Winata memang selalu seperti itu padanya sejak pertama mereka saling berkenalan.
“Woy, jangan ngelamun sih?”
Tangan Winata menyentil dahi Karina pelan.
“Hih! Gak usah sok cool, aku tau kamu orangnya mageran jadi kalau mau diajak pergi tiba-tiba pasti ada alasannya.”
Winata mengangguk mengiyakan.
“Rin, menurutmu aku bakal jadi apa?”
“Hah?”
“Iya, menurutmu pas aku gede nanti aku bakal jadi apa?”
Karina menatap Winata dengan heran.
“I’m confused, Rin. Tau pertukaran pelajar ke Amerika akhir tahun ini?”
Karina mengangguk mantap, “Kamu daftar kan, Win?”
Sang gadis berambut hitam legam itu terkejut saat melihat Winata hanya mengangkat bahunya dan mendesahkan napas panjang.
“Kenapa? Itu kan kesempatan emas buat kamu? You can pursue basketball more professionally there, right? Jujur Bu Yuri udah ngasih data ke OSIS dan sekolah tentang nama-nama anak basket yang dikasih rekomendasi untuk pertukaran pelajar itu, nama kamu ada disana Winata.”
“Hey, curang banget ngasih bocoran info!”
“Well, sorry kelepasan. Tapi serius deh, kenapa mikir dua kali buat daftar?”
Winata menghela napasnya panjang. Ia kemudian menceritakan kepada Karina tentang kekhawatiran-kekhawatirannya termasuk hal-hal yang tadi juga ia sampaikan pada Maminya.
Sepanjang cerita, Karina mendengarkan dengan sangat atentif. Ia mengangguk dan mencatat beberapa hal di kepalanya untuk ditanyakan kepada Winata. Karina sengaja membiarkan Winata menceritakan semua hal yang mengganjal tanpa menyela pembicaraan sedetik pun.
“So, yeah aku bingung, Rin. Makanya aku tanya kamu, menurut kamu aku bakal jadi apa? Karena selain orang tua aku, kamu salah satu orang yang selalu lihat perkembangan aku dari dulu banget, your input means a lot for me.”
“Jadi Polisi, Win.” jawab Karina.
“Hah?!” secara reflek Winata berteriak saking terkejutnya ia.
“Iya, jadi Polisi. Soalnya kamu bawel, nyebelin, tapi suka ada dimana-mana. Cocok kan? Mirip tuh kayak polisi yang suka nilang di jalan.”
Winata memukul lengan Karina sebagai bentuk protesnya.
“Serius dong!”
“Kaget kan? Makanya ngapain denger omongan orang? Mereka bisa aja asal ceplos sesuatu hal hanya karena mereka bayangin kamu cocok ada disitu, tapi emangnya mereka kenal kamu? Nggak Win. Yang bener-bener kenal kamu, cuma diri kamu sendiri.”
“Rin, serius kek. Tahun depan kita udah tahun terakhir di SMA. Setelahnya kuliah. Nggak ada waktu buat bercanda.”
“Oh my god?! Nggak ada waktu buat bercanda? Coming from Winata? Sumpah sih, ini kamu kesambet kayaknya.” goda Karina lagi.
Winata hanya memutar kedua bola matanya.
“Lagian bisa-bisanya ngide pengen jadi dokter. Inget nggak waktu Mas Adam patah tulang? Muka kamu langsung pucet banget!” ujar Karina meruju pada kejadian tahun lalu saat Adam, mantan Kapten Tim basket putra mengalami kecelakaan di pertandingan.
Si gadis berambut pendek bergidik ngeri.
“Stop bahas patah tulang deh.”
“See? Mana ada dokter nolak bahas tentang patah tulang? Coba deh Win, apa mungkin sebenernya kamu cuma takut buat ada di negara orang sendirian?”
Winata menggeleng, “Aku udah pernah ikut camp di Singapura, remember? I was fine.”
“Iya sih, tapi itu kan cuma satu bulan. Yang ini satu tahun, beda jauh loh. Mungkin kamu secara gak sadar takut akan hal itu?”
“Aku nggak takut pergi lama, asal orang-orang yang aku tinggalin nggak ngelupain aku. Asal mereka mau nunggu, aku akan cari cara supaya terus ada buat mereka dan buat mereka nggak lupa sama aku. But you knows, sometimes it is not enough.”
“Idih, ngomongnya udah kayak orang mau LDR.”
“In a way, Iya kan, Rin? Kalau aku tanya kamu, mau nggak nungguin aku satu tahun?”
Mata Winata menatap Karina dengan lekat. Seolah-olah mencari jawaban atas kebimbangannya.
Kali ini tatapan Winata dibalas tak kalah lekat oleh Karina. Ia memberanikan diri untuk menggenggam tangan Winata yang ada di atas meja.
“Win, kamu dulu mau nemenin aku waktu keadaan mental aku lagi buruk, tanpa aku minta. Kamu ada disana buat aku, kapanpun aku butuh kamu. Jadi, nunggu kamu cuma satu tahun, itu masih belum sepadan sama yang kamu lakuin buat aku waktu itu“
“Win, waktu itu kamu bilang kalau aku udah tau my own definition of love, I should tell you right?” sambung Karina yang dibalas dengan anggukan oleh Winata.
“Sama kayak kamu, menurutku I know I love that person waktu aku ngelihat orang yang aku suka tersenyum lebar. Waktu aku lihat mereka bahagia. Waktu aku berani do something buat mereka. Waktu aku ngeluarin usaha terbaikku untuk mereka.” ujar Karina.
Sekelebatan memori tentang Irene, tentang Wendy, dan tentang Winata berputar di otaknya seperti satu film yang sangat indah bagi Karina.
Mereka semua adalah sosok yang sangat penting bagi Karina dan ia tahu, ia sadar bahwa ia mencintai mereka semua.
Karina pun sadar, ada banyak memori tentang dirinya dan Winata yang sangat spesial baginya. Yang bahkan mengalahkan memorinya bersama Irene dan Wendy.
Mungkin untuk saat ini ia masih belum tahu dimana posisi Winata dalam hatinya, apakah sama seperti bagaimana Winata memberikan tempat spesial di hati Winata. Namun Karina tahu bahwa ia menyayangi Winata.
“Kamu boleh ejek aku terlalu percaya diri but, the person that you talked about, the person that you imagine when you define what is love, is that your parents and....me?” tanya Karina.
Mata Winata membulat, napasnya sempat tercekat untuk sesaat. Namun saat ia melihat pandangan teduh yang diberikan oleh Karina padanya, Winata menjadi lebih rileks.
Memang Winata tidak memberikan jawaban atas pertanyaannya, tetapi Karina mengenal sosok Winata. Gestur tubuh Winata sudah lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaannya barusan.
“I love you, Win. I don’t know what kind of love, yet. But I know I love you. Nunggu kamu satu tahun itu bukan apa-apa buatku. Bahkan kalaupun kamu akhirnya milih jadi dokter, nemenin kamu sampai kamu bisa mewujudkan cita-citamu itu pun bukan masalah buatku.”