youngkimbaeson

Love and Leashes (part 37)

Seungwan melihat Joohyun berjalan ke arah mobilnya dengan menenteng tas hitam miliknya serta satu tas lagi yang Seungwan yakini berisikan kamera dan peralatan lainnya yang mereka butuhkan untuk interview nanti.

Dengan sigap Seungwan turun dari mobilnya dan mendatangi Joohyun yang terlihat sedikit kesusahan membawa dua tas tersebut.

“Sini tasnya gue yang bawa.” ujar Seungwan yang langsung mengambil tas berisikan peralatan untuk interview.

“Gak usah, gue bisa.”

“Tck, ngeyel banget ya. Semua juga liat kalo lo keberatan bawa tas ini.”

Tanpa menunggu jawaban Joohyun, Seungwan memikul tas tersebut di pundak kirinya dan berjalan menuju mobil miliknya.

“Bisa nyetir?” tanya Seungwan pada Joohyun yang sedikit berlari untuk menyusul bawahannya itu.

“Bisa, kenapa?”

“Gue tau kalo kayak gini harusnya yang nyetir tuh junior bukan senior. Tapi gue sama sekali gak prepare apapun buat interview nanti. Bahkan gue aja nggak tau siapa yang mau di interview. Jadi gue mau baca hasil riset tim selama di jalan dan of course gue gak bakal bisa baca sambil nyetir.”

“Gue brief aja di jalan.”

Seungwan yang telah selesai memasukkan barang di bagasi kemudian berkecak pinggang.

“Mbak, gini ya. Sorry banget tapi prinsip gue adalah gue harus baca source hasil riset itu dengan mata gue sendiri. No offense, bukan gue gak percaya sama lo, tapi who knows kita punya cara pandang atau ide yang beda nanti. Kalo setelah gue baca dan lo masih mau brief gue, it's okay.”

Joohyun mengernyitkan keningnya dan Seungwan dapat melihat bahwa senior di hadapannya ini tengah meremas ujung blazer yang ia kenakan.

Sang junior sudah bersiap apabila Joohyun akan memarahinya namun tak lama setelahnya Joohyun justru hanya menutup matanya dan menghela napas panjang.

“Okay.”

Joohyun mengambil satu map yang tersimpan di dalam tas peralatan kemudian menyerahkannya kepada Seungwan.

“Mana kuncinya?”

Seungwan merogoh saku jaket yang ia kenakan, lalu menukar map dengan kunci mobil.

Tepat disaat mereka bertukar kunci dan map, Seungwan secara tidak sengaja melihat bekas berwarna ungu yang mulai memudar di pergelangan tangan Joohyun.

“Wait, lo luka?”

Menyadari bahwa Seungwan melihat sesuatu yang tidak semestinya, Joohyun buru-buru menarik tangannya dan menggeleng. Lalu berjalan ke arah kursi pengemudi, meninggalkan Seungwan yang masih berdiri di belakang mobil.

Seungwan hanya mengendikkan bahunya. Ia tahu ia tidak akan bertanya lebih lanjut. Lagi pula maksudnya tadi menanyakan kondisi tangan Joohyun hanya karena ia khawatir dan otomatis ia tidak akan membiarkan Joohyun untuk mengangkat barang-barang yang cukup berat.

Sepanjang perjalanan hanya diisi bunyi sayup dari suara radio mobil. Seungwan terlalu fokus membaca materi sedangkan Joohyun enggan untuk membuka suara setelah peristiwa di basement tadi.

“Oh? Ini bukannya Idol yang beberapa bulan lalu…”

“Iya.”

“Wow, dia mau kita liput?”

“Dia minta untuk diliput.”

Ucapan Joohyun membuat Seungwan menolehkan kepalanya.

“Wait, dia kemarin kan sempat heboh karena tiba-tiba announce menikah terus nggak lama ternyata pasangannya melahirkan. Terus bukannya dia sampe filing law suit ke orang-orang yang nge-cyber bully keluarga dia? Bukannya kalau gini justru dia akan semakin dibenci?”

“He just wants justice maybe? After all cinta itu nggak pernah salah, mungkin cuma waktu, tempat, atau orangnya aja yang kurang tepat.”

Seungwan mengangguk singkat, “Well atau dia kurang beruntung karena kebahagiaan dia dilihat sebagai aib sama orang lain. We have our preference and our background story that no one else knows.”

Untuk pertama kalinya sejak Joohyun mengenal Seungwan, ia merasakan bahwa Seungwan mungkin satu tingkat lebih baik dari orang-orang asing yang selama ini ia kenal.


Joohyun dan Seungwan membungkukan badan mereka untuk memberikan salam perpisahan sebelum keduanya memasuki pintu lift.

Tepat pada saat pintu lift tertutup, baik Seungwan maupun Joohyun sama-sama menghela napas mereka lega.

Akhirnya interview hari itu selesai setelah hampir lebih dari tiga jam mereka berbincang-bintang dengan sang idol.

Seungwan menyandarkan tubuhnya ke dinding lift, ini adalah kali pertama baginya meliput seorang idol papan atas dan rupanya cukup melelahkan pula baginya. Apalagi dengan adanya segudang don'ts yang diberikan oleh pihak manajemen.

Sang junior menarik napasnya panjang.

“Good job.”

“Huh”

“Iya tadi, good job. Kamu berhasil ngambil hatinya narasumber.”

Seungwan yang tidak biasa mendapatkan pujian dari senior di departemen sebelumnya, mau tidak mau menjadi sedikit malu. Ia sedikit kikuk dengan pujian yang Joohyun lontarkan.

“Oh… hmm… yeah… thanks juga.”

“Seungwan, abis ini drop gue di apartemen gue bisa?”

“Sure.”

Suara dentingan terdengar dan tak lama setelahnya pintu lift terbuka. Seungwan berjalan keluar lift diikuti oleh Joohyun. Melalui ekor matanya, Seungwan dapat melihat beberapa kali Joohyun memijat pelipisnya.

“Sakit?” tanya Seungwan sembari berjalan menuju bagian front desk untuk mengembalikan kartu akses gedung.

Joohyun menggeleng pelan, “Cuma gak enak badan. Kemaren kayaknya kebanyakan minumnya.”

“tck…itu bukan kayaknya. Lo kemaren emang minum banyak.”

Tangan Seungwan tiba-tiba refleks menarik Joohyun saat ia melihat seorang laki-laki berjalan mundur dan memutar tubuhnya tanpa melihat keadaan sekitar.

“Hati-hati.” ujar Seungwan dengan datar sembari melihat ke arah Pria tersebut dengan kesal.

Sebuah anggukan canggung diberikan oleh Joohyun. Ia kemudian mengekor di belakang Seungwan yang sudah lebih dulu meninggalkannya.

Perjalanan ke apartemen Joohyun pun diisi dengan keheningan hingga mereka tiba di lobby gedung.

“Hasil tadi gue tulis dulu ya. Sore nanti gue report. Lo istirahat dulu aja deh Mbak. Keliatan pucet.” ujar Seungwan setelah ia menghentikan mobilnya.

Joohyun mengangguk, “Thanks.”

Sang kepala departemen kemudian turun dari mobil dan melangkah memasuki gedung apartemen tersebut.

Setelah memastikan bahwa Joohyun sudah hilang dari pandangannya, Seungwan menurunkan tuas rem dan siap melajukan mobilnya namun tiba-tiba ia melihat tas milik Joohyun yang tergeletak di kursi penumpang belakang.

Seungwan menghela napasnya, “Haduh pake lupa dia bawa lagi. Gue biarin atau gue samperin ya?”

Akhirnya ia memilih untuk memarkirkan mobilnya dan mengembalikan tas milik Joohyun.

Sesampainya di dalam gedung tersebut, Seungwan hendak berjalan menuju front desk untuk menanyakan unit apartemen milik Joohyun namun secara tidak sengaja ia melihat sosok Joohyun yang sedang menunduk dan berjalan mengekor di belakang seseorang yang ia tidak kenali.

Seungwan yang tidak ingin berlama-lama berada disana, memilih untuk segera berlari mengejar Joohyun.

Namun apa yang ia temukan saat tiba di taman kompleks apartemen tersebut cukup membuatnya tercengang.

Joohyun terlihat cukup terintimidasi di depan sosok wanita dengan postur yang sedikit lebih tinggi daripada dirinya. Percakapan mereka terlihat intens namun Seungwan dapat melihat bahwa kepala departemennya itu tidak nyaman dengan kehadiran orang tersebut.

Seungwan terdiam di tempatnya berdiri. Ia bingung apakah harus mencampuri urusan Joohyun, yang notabenenya tidak begitu ia kenali, atau memilih untuk meninggalkan tempat ini saat itu juga.

Apa yang terjadi selanjutnya justru membuat Seungwan akhirnya memutuskan untuk mencampuri urusan Joohyun. Ia melihat bagaimana Joohyun yang sudah hendak pergi meninggalkan orang tersebut, ditarik secara paksa hingga Joohyun meringis kesakitan.

“Hey! Hey!” teriak Seungwan.

Joohyun yang melihat sosok juniornya berjalan ke arahnya tiba-tiba merasa panik. Tidak ada satu pun orang kantor yang boleh mengetahui rahasianya.

“Seulgi lepasin.” desis Joohyun.

“Nope. Kamu itu masih punyaku Joohyun.” balas Seulgi.

“Hey! Lepasin!” ujar Seungwan yang langsung melepaskan cengkraman tangan Seulgi.

Secara refleks Seungwan memposisikan dirinya di depan Joohyun, menghalangi Seulgi untuk mendekati Joohyun.

“Minggir, nggak usah ikut campur.” ujar Seulgi.

“Nggak. Lo yang minggir, pergi jauh-jauh.”

Seulgi mengernyitkan keningnya saat melihat Seungwan yang melindungi Joohyun dan bagaimana Joohyun memegang ujung jaket yang dikenakan oleh Seungwan.

Sementara itu, Seungwan baru menyadari bahwa sosok dihadapannya ini cukup menakutkan. Namun ia sudah kepalang tanggung berlagak seperti pahlawan, ia tidak boleh mundur sekarang.

“Oh, jadi dia Master baru kamu yang bikin kamu mencampakkan aku?”

Ucapan Seulgi sontak membuat Seungwan bingung dan membuat Joohyun semakin panik. Secara refleks Joohyun mendangakkan kepalanya namun ia langsung kembali menunduk saat melihat tatapan kemarahan di mata Seulgi.

“Apasih gak jelas, lo pergi deh sana. Gak usah membuat keributan di tempat umum.” ujar Seungwan.

“Lo siapanya Joohyun?” desis Seulgi.

“Lo nggak perlu tau dan gue juga nggak mau ngasih tau.”

Seulgi tertawa mengejek. “Hyun, no one knows you better than I. Kita lihat berapa lama master baru kamu bertahan sama kamu.”

“Seulgi stop!” desis Joohyun yang kali ini angkat suara.

Lagi-lagi Seungwan terheran saat mendengar kata-kata “master” dan kali ini raut wajah tersebut tertangkap oleh Seulgi.

“Oh, look at this? Jadi dia bukan master kamu?” kali ini Seulgi sengaja menyebutkan kata-kata master untuk melihat reaksi Seungwan dan tepat seperti dugaannya, Seungwan kembali mengernyitkan keningnya.

Tak lama setelahnya terdengar tawa kencang dari mulut Seulgi.

“Oh my God Joohyun, pacar kamu nggak tau tentang preference unik kamu?” tawa Seulgi.

“Good luck, kabarin ya kalo udah bosen sama your vanilla relationship.” sambung Seulgi sembari menepuk pundak Seungwan.

Setelahnya Seulgi berjalan meninggalkan Seungwan dan Joohyun, seakan-akan tidak terjadi apapun.

Setelah memastikan bahwa sosok orang asing tersebut sudah pergi, Seungwan memutar tubuhnya menghadap Joohyun. Ia berusaha memastikan bahwa seniornya itu baik-baik saja.

“Lo nggak apa-apa?”

“Ngapain kamu balik sini?!” bentak Joohyun.

“Lah, kok jadi galak dia?” ujar Seungwan pada dirinya sendiri.

“Ngapain kamu ngikutin aku?! K-kamu…” Joohyun menutup matanya kemudian tiba-tiba berjongkok dan menangis tersedu-sedu.

“L-lah?”

Seungwan yang panik melihat Joohyun menangis akhirnya ikut berjongkok sembari menepuk-nepuk pelan pundak Joohyun. Ia benar-benar bingung harus berbuat apa.

“M-Mbak jangan nangis gini dong. Diliatin orang.” bisik Seungwan.

Joohyun mendangakkan kepalanya menatap Seungwan dengan lekat membuat Seungwan menjadi salah tingkah.

“A-aku emang aneh, tapi please Seungwan jangan kasih tau siapapun tentang ini. A-aku udah nyaman kerja di kantor kita. A-aku nyaman banget sama tim S&E. Jangan buat aku harus cari pekerjaan baru lagi…”

Seungwan terkejut dengan ucapan Joohyun.

Joohyun aneh?

Cari pekerjaan baru lagi?

Namun satu hal yang Seungwan tahu, ia tidak ada niatan untuk membocorkan peristiwa barusan pada siapapun walaupun ia setengah mati penasaran dengan ucapan orang aneh yang dipanggil 'Seulgi' oleh Joohyun.

Sosok Joohyun dihadapannya kini sangat berbeda dengan Joohyun yang biasa ia temui di kantor. Hal ini membuat hati Seungwan tiba-tiba merasakan perasaan yang aneh. Terlebih saat Joohyun memohon kepadanya dengan tatapan tersebut.

Entah apa yang ada dalam benak Seungwan, namun perlahan tangannya berpindah dari pundak menuju puncak kepala Joohyun dan mengelus kepala seniornya tersebut secara perlahan.

Joohyun pun yang mendapat perlakuan tersebut hanya bisa terdiam kaku. Ia tidak pernah mengizinkan orang 'asing' untuk melakukan kontak fisik dengannya, apalagi mengelus puncak kepalanya seperti ini. Namun tubuhnya bagaikan tersihir oleh tatapan teduh yang diberikan oleh Seungwan.

“Tenang aja, gue bukan orang yang suka ikut campur kok. Tadi gue kesini bukan mau ngikutin atau nguntit lo. Gue cuma mau balikin tas lo yang ketuker sama tas gue dan secara gak sengaja lihat lo tadi sama orang aneh itu. Gue liat lo nggak nyaman, makanya gue samperin. Buat kejadian tadi, percaya sama gue, gak ada orang yang bakal tau. Cuma pesan gue satu, lo mending jauh-jauh dari orang kayak gitu deh Mbak. Bahaya banget kalo tadi gue gak ada.”

Hari itu sosok Seungwan di mata Joohyun telah berubah drastis. Bohong jika Joohyun berkata bahwa ia tidak mengenal Seungwan. Justru Joohyun sangat mengenal Seungwan dan mengingat kejadian-kejadian di masa internship yang dilakoni oleh Seungwan.

Sosok Seungwan yang dahulu di mata Joohyun adalah sosok yang berisik, clumsy, dan konyol telah berevolusi menjadi sosok yang dewasa dan bisa diandalkan.

LOVE IS...

(part 3-2)

Sepasang ibu dan anak yang menghuni ruang kerja tersebut kini tengah terfokus menonton video yang menayangkan prosedur operasi.

Winata sendiri sebenarnya tidak menonton video tersebut dari awal karena ia memasuki ruang kerja Thena sekitar dua puluh menit yang lalu.

Ekspresi wajah Thena terlihat sangat datar, sementara itu ekspresi Winata berbanding terbalik. Ia sempat beberapa kali mendesis khawatir saat melihat pendarahan yang terjadi.

“Sumpah sih clumsy banget.” ujar Winata.

“Huh?”

“Itu murid bubu, clumsy banget. Aku bisa liat tangan dia geter.”

“Oh…kok kamu tau? Apa indikatornya?”

“Beda banget. Aku udah sering liat video bubu. Paling basic itu alat laparoskop dari tadi agak goyang nggak terkendali gitu.”

Thena mengangguk.

“Ini pertama kali dia coba teknik laparoskopi.”

“Ah I see.”

“Ngapain kamu ikut nonton disini?” tanya Thena yang masih berfokus pada layar televisi.

“Males ah nemenin Mami di halaman belakang.”

“Mami kamu ngapain?”

“Baca buku. Ntar aku disuruh ikutan baca terus jadi sharing session sama Mami.”

Thena tertawa pelan.

Are you sure bukan karena kamu masih ngambek sama Tiffany? Nggak baik loh marah sama Ibu sendiri padahal besok mau turnamen.” ujar Thena yang menatap Winata sekilas sebelum kembali menatap layar televisi.

“Dih apaan?”

“Inget, restu di kaki Ibu.” goda Thena lagi.

“Ya Bubu juga Ibuku.”

“Ya ibumu dua.”

Winata memutar bola matanya. “Biarin deh besok aja minta restunya.”

“Tuh kan ngambek. Besok Bubu nggak bisa loh nonton kamu, jadi yang nonton cuma Tiffany. Gih minta restu, keburu expired ntar.”

“Lah bubu kemana?”

“Operasi.”

“Oh, makanya nonton video ini?”

Thena mengangguk, “Bubu masih mempertimbangkan buat ngajak ini anak, tapi agak deg-degan juga ya kalau dia masih kayak gini skillsnya.”

“Ajak aja, kesempatan kayak gini kan yang selalu ditunggu mereka? Bubu juga ada disana, jadi kalau ada apa-apa kan bisa di take-over Bubu.”

“Well, bener juga sih. Tapi Operasi besok itu operasi besar dan lama, Bubu butuh orang yang bisa bantu Bubu bukan yang bakal memberatkan bubu.”

“Bisa dia pasti bisa. Coba aja bubu telpon dia malam ini dan jelasin kasusnya, suruh dia belajar sekarang juga. Masih ada waktu kan?”

Thena mengangguk, “Well, akan bubu pertimbangin. Kok kita jadi ngomongin kerjaan bubu ya? Kamu tuh, coba ngambeknya udahan.”

“Kenapa juga aku ngambek?”

“Gara-gara Mami kamu nggak mau kasih lihat tugasnya Karina.”

Sudah hampir seminggu lebih semenjak batas akhir pengumpulan tugas literatur berlalu dan Winata masih belum mengetahui jawaban Karina atas tugas mereka. Hal ini membuat Winata melakukan protes besar-besaran karena menurutnya tindakan Karina tersebut adalah sebuah pengkhianatan.

Pasalnya menurut Winata, ia sudah memberitahukan isi tugasnya pada Karina. Bahkan ia menunjukkan secara rinci hasil miliknya.

Sementara itu dari sisi Karina, menurutnya ia tidak pernah meminta Winata untuk menunjukkan tugasnya sampai seperti itu dan merupakan haknya pula apabila ia tidak mau menunjukkan hasil kerjanya.

Karina tahu, Winata bukan ingin mencontek tugasnya. Sahabatnya itu hanya penasaran atas definisinya tentang Cinta. Namun Karina belum mau memberitahukan jawabannya pada Winata. Untuk itu, Karina sampai rela mendatangi Tiffany dan meminta Ibu dari Winata itu untuk merahasiakan jawaban miliknya karena Karina tahu Winata akan melakukan tindakan curang untuk melihat definisi miliknya.

Dugaan itu tidak salah.

Tepat tiga hari setelah Winata gagal mendapatkan jawaban dari Karina, di suatu malam hari ia mendatangi Tiffany dan Thena yang tengah menghabiskan quality time mereka dengan menonton film di ruang keluarga rumah mereka.

Tiffany yang sudah berjanji pada Karina, memutuskan untuk tidak meladeni aksi curang putrinya itu dan alhasil sampai sekarang Winata masih melakukan aksi mogok pada Maminya.

“Nggak ya, aku nggak ngambek.” dengus Winata.

Thena lagi-lagi tertawa. Melihat sikap Winata yang seperti ini seperti melihat dirinya sendiri.

“Ngapain bohong sih, kayak Bubu nggak kenal kamu aja? Lagian apa sih yang kamu minta dari Mami kamu?”

“Emang Mami nggak cerita?”

Thena menggeleng, “Mami cuma bilang dia udah janji sama Karina buat nggak bocorin apapun ke kamu. Udah gitu aja.”

Winata mendengus kesal. Lagi-lagi rencananya gagal.

Padahal niatnya selama beberapa hari ini selalu mengekori Thena adalah untuk mendapatkan bocoran, barangkali Maminya bercerita sesuatu kepada Bubunya.

“Aku ada tugas literatur.”

“Oh? Terus?”

“Awalnya disuruh nonton film gitu, terus dapet tugas paper intinya suruh definisiin apa itu cinta. Aku sama Karina awalnya udah janjian mau nunjukin tugas kita, tapi terus dia nggak nunjukin ke aku hasil akhirnya.”

“Oalah terus kamu mau cara curang gitu? Untung Karina pinter.” ledek Thena disambung dengan tawa.

“Oh, ya. Kamu jadinya daftar pertukaran pelajar itu nggak?” lanjut Thena.

Winata mengangkat bahunya.

“Win, Bubu bohong kalau bubu bilang bubu nggak pengen lihat kamu jadi dokter juga. Tapi dua puluh menit terakhir ini bikin bubu yakin kalau kamu nggak cocok jadi dokter.” tawa Thena lagi.

“Kok gitu?”

“Dua puluh menit terakhir, berapa kali kamu nahan napas? Berapa kali kamu gelisah cuma karena murid bubu sempet melakukan kesalahan-kesalahan kecil? Kamu pintar, itu bubu akui. Otak kamu sanggup buat jadi dokter. Tapi, hati kamu nggak sanggup.”

Winata terdiam.

“Win, Bubu dan Mami kamu sangat berterima kasih selama ini kamu tumbuh sebagai anak yang baik dan selalu berusaha membanggakan kami. Sekarang saatnya kamu untuk membahagiakan diri kamu sendiri, okay? Perlahan kamu nggak akan terus tinggal sama Bubu dan Mami, bukan kami usir ya. Tapi suatu saat nanti kamu pun akan tinggal sama keluarga kamu. Akan ada saat dimana kebahagiaan atau kepentingan Bubu dan Mami bukan menjadi prioritas kamu lagi dan mungkin sekarang adalah saat itu semua bermula.”

Thena mematikan video yang sedari tadi ia tonton kemudian memutar tubuhnya menghadap ke arah Winata. Ia tersenyum kemudian mengusap kepala Winata.

“Jawaban Bubu ini pasti telat banget, karena tugas kamu udah dikumpul. Tapi menurut bubu, Cinta itu adalah saat dimana kamu mau mengerti keadaan dan menghormati keputusan yang diambil oleh orang yang kamu kasihi. That’s how I love you, Winata and I learnt it from your mom.”

Winata dan Thena sama-sama tertawa untuk menutupi kenyataan bahwa keduanya sama-sama hampir menangis.

“Ew, nggak cocok banget ya Bubu ngomong gini.” tawa Thena.

“Tapi kata Mami, Bubu tuh jago banget kayak gini.”

“Oh ya jelas kalau itu.”

“Iya sih, siapa ya yang dulu pas aku masih SD bikin aku nangis gara-gara bilang lebih milih istrinya daripada anaknya sendiri.” cibir Winata.

Thena tertawa kencang.

Ia ingat betul peristiwa yang dimaksud oleh Winata. Waktu itu Tiffany mengajak Thena dan Winata untuk menonton suatu film di bioskop. Di akhir film tersebut tokoh utama kartun meninggal karena menyelamatkan anaknya.

Adegan ini membuat Winata menanyakan suatu pertanyaan kepada Thena.

“Kalau aku dan Mami tenggelam, Bubu milih nyelamatin siapa?”

Jawaban Thena sangat tidak terduga dan membuat dirinya dimarahi oleh Tiffany habis-habisan selama satu bulan penuh.

”Bubu jelas milih Mami lah! Dari awal Bubu nikah sama Mami ya karena Bubu memilih Mami untuk ada sama Bubu sampai Bubu mati nanti. Winata, kita nggak pernah bisa milih untuk punya orang tua yang seperti apa dan kita juga nggak bisa milih akan punya anak yang seperti apa. Tapi, kita bisa memilih siapa orang yang akan menemani kita sampai akhir hayat nanti.”

“Tapi kata-kata Bubu ada benernya sih.” ujar Winata tiba-tiba.

“Oh, kamu masih inget?”

Winata mengangguk. “Ya, kayak sekarang contohnya. Mana bisa aku milih punya orang tua yang lebih waras? Dapetnya malah kayak Bubu.”

“Heh, sialan!”


Decitan sepatu yang bergesekan dengan lantai kayu beradu dengan teriakan yel-yel suporter tim basket pada sore hari itu menjadi beberapa dari sekian banyak suara yang memenuhi indera pendengaran Karina.

Sore hari ini tim basket putri SMA Pelita akan berhadapan dengan tim basket putri SMA Kusuma. Kedua tim yang beberapa tahun ke belakang merupakan rival sengit, pada tahun ini harus saling bertemu di laga semifinal.

Tentu saja hal ini membuat seluruh tribun penonton pada sore hari itu menjadi padat pengunjung.

Seperti pada pertandingan-pertandingan terdahulu, Karina sudah duduk di bangku penonton sejak satu pertandingan sebelum waktu pertandingan yang akan dilakoni oleh sekolahnya.

Dan seperti yang sudah-sudah, Karina selalu memisahkan dirinya dari kawanan anak sekolahnya. Ia lebih memilih untuk membaur di tribun penonton umum daripada harus bersama-sama dengan teman-temannya.

Tepuk tangan meriah ia berikan pada saat pembawa acara meneriakkan nama sekolahnya serta nama sekolah lawan yang kemudian diikuti dengan satu per satu pemain keluar dari sudut kanan dan kiri stadium basket tersebut.

Hari ini tim basket sekolahnya menggunakan seragam berwarna merah dan dipimpin oleh Prima berlari memasuki lapangan pertandingan. Sontak hal ini membuat Karina mengernyitkan dahinya.

Kemana Winata?

Namun rasa penasarannya terbayar sudah saat melihat Winata berjalan memasuki lapangan di barisan terakhir bersama dengan manajer tim yang mendorong sebuah box container.

“Ah! Itu dia pemain yang gue tungguin!!!” pekik salah seorang penonton yang duduk beberapa kursi di samping Karina.

“Yang mana sih?”

“Itu loh, tim Pelita. Yang seragam merah. Nomor sebelas! Winata!”

Mendengar nama Winata disebut oleh orang asing, Karina dengan cepat melirik orang tersebut dan melakukan skrining singkat.

Yep, fans Winata.

“Udahan kali natap anak orang kayak gitu.”

Karina terperanjat saat ia mendengar suara Ningtyas tepat di telinganya.

“Ngagetin aja sih!”

“Ya abis salah siapa gue chat tapi nggak bales?” jawab Ningtyas santai dan langsung duduk di bangku yang tadinya sudah di-reserved oleh Karina dengan menaruh barang bawaannya disana.

Karina meringis, “Sorry gak kedengeran juga suara notifnya.”

Karina kemudian mengeluarkan kamera dari tasnya dan mengambil foto-foto Winata dan teman timnya. Di setiap foto yang ia ambil, Karina melihat dengan jelas sorot kebahagiaan di wajah Winata.

“Win, you’re the happiest when you’re here with your team doing basketball.” bisik Karina.

Tekatnya sudah bulat, mau atau tidak mau, ia akan memaksa Winata untuk mengikuti pertukaran pelajar tersebut. Bahkan jika perlu, ia akan memalsukan tanda tangan Winata dan mendaftarkan sahabatnya itu tanpa sepengetahuan Winata.

“Oh my god! Gila skillsnya Winata nih makin lama makin mateng aja! Gue ngikutin dari dia masih di SMP cuy!”

Bisik-bisik dari fans Winata kembali terdengar.

”Gue ngikutin Winata dari TK” batin Karina.

“Setuju sih, tahun lalu dia nggak dapet MVP karena emang dia mainnya belum se-clean sekarang dan masih ada si Anggia. Tapi tahun ini kan Anggia udah nggak main, pasti Winata sih MVP-nya.”

Karina mengangguk setuju. Tahun lalu Winata sempat terkena satu kali foul-out di laga semifinal yang membuat dirinya tidak bisa bermain di kuarter terakhir dan Anggia yang disebut-sebut oleh fans Winata itu pun memang memiliki kemampuan jauh lebih matang dibandingkan oleh Winata pada saat itu.

Ningtyas menyenggol lengan Karina pelan.

“Apaan?”

“Winata nyariin lo deh kayaknya.” tunjuk Ningtyas.

Hal seperti ini memang selalu terjadi karena Karina yang tidak mau duduk bersama dengan suporter sekolahnya dan Winata sendiri sudah sering protes pada Karina. Menurut Winata akan jauh lebih mudah baginya untuk menemukan Karina jika ia duduk di kerumunan anak sekolahnya daripada berbaur dengan penonton umum.

Namun Karina punya alasannya sendiri.

Ia tidak mau fokusnya terpecah antara menonton pertandingan Winata dengan tugasnya sebagai suporter.

“Mereka udah lari keliling belom sih? Gue nggak merhatiin.” tanya Karina.

“Belom, tadi baru stretching singkat. Ntar lo teriak aja kayak biasa.”

Tepat seperti biasanya, Winata berlari di luar lapangan menyusuri tiap sudut lapangan tersebut sambil sesekali mencari keberadaan Karina. Teman satu tim-nya pun tahu itu adalah ritual wajib yang dilakukan oleh Winata sembari mereka melakukan passing-passing dan shooting pemanasan.

“Wait wait tuh Winata lari muter kayak biasa! Aduh seneng deh bisa liat dari deket.”

Ningtyas menahan tawanya saat ikut mendengar gosip-gosip tetangga dan melihat reaksi Karina.

“Nggak usah jealous” bisik Ningtyas pada Karina.

“Gak ada yang jealous

“Iya, rin ngomong tuh sama tembok.” timpal Giselle yang baru saja tiba beberapa saat lalu.

“Lo berdua nih kalo dateng bisa bersuara dikit nggak sih? Kaget banget gue anjir?”

“Woy ini stadion berisik banget ya gila! Bukan salah kita kalo lo selalu budeg karena udah selective hearing duluan. Fokus lo tuh cuma Winata, Winata, dan Winata.” balas Giselle.

Ningtyas kembali tertawa. Namun kali ini matanya memperhatikan Winata yang berlari semakin mendekati tribun yang ditempati oleh Karina, Ningtyas, dan Giselle.

“Winto!!!”

Teriakan Ningtyas sontak membuat Winata menoleh.

Hanya teman-teman terdekatnya yang suka memanggilnya dengan nama tersebut, nama yang seringkali disebutkan oleh Bu Sulis, guru matematika mereka yang selalu kesulitan mengucap nama ‘Winata’ sehingga seringkali berubah menjadi ‘Winto’.

Winata terlihat menoleh kesana kemari, berusaha mencari sumber suara.

“Winata!!” kali ini fans yang duduk dekat Karina kembali berteriak.

“Winto!! Karina disini Win!!” teriak Giselle yang tak mau kalah.

Senyuman Winata terlihat semakin lebar saat ia menemukan ketiga sahabatnya duduk di bangku penonton umum.

“Kok disini sih!”

“Karina tuh!” teriak Giselle.

“Karina!! Hehe kirain gamau dateng.” teriak Winata.

“Emangnya aku kayak kamu? Tukang ngambek!”

Winata menjulurkan lidahnya.

“Rin, kalo nanti aku berhasil three points dari tengah lapangan, kamu harus kasih tau aku isi tugasmu!”

“Menangin tuh pertandingan, baru aku kasih tau!” balas Karina

Winata mengacungkan jempolnya. Kemudian ia kembali berlari memutari lapangan, meninggalkan tribun penonton umum yang ditempati Karina.

Misi pertamanya hari ini sudah terlaksana.

Sepeninggalan Winata, gerombolan fans Winata kembali berbisik-bisik.

“Ih tu cewek kenal Winata?”

“Njir lo nggak tau?”

“Hah?”

“Itu Karina. Gatau deh dia apa hubungannya sama Winata tapi mereka deket banget.”

“Karina?? The Karina yang pernah disebut sama Winata pas dia dapet titel raising new comer tahun lalu?”

“Iya anjir. Wah, baru pertama gue ketemu orangnya langsung gini.”

Giselle dan Ningtyas saling menyikut Karina.

“Cie, terkenal cie.” goda Giselle.

“Uhhh, the Karina cieee.” timpal Ningtyas.

“Apaan sih basi lo berdua.”

“Halah, gitu juga lo seneng kan?”

Ningtyas dan Giselle tertawa kencang saat melihat telinga Karina berubah menjadi sangat merah.

Sementara itu Karina berusaha untuk menenangkan dirinya dan kembali mengambil gambar Winata.


“Winata!!”

Pertandingan hari itu selesai dengan kekalahan tim SMA Pelita. Dua pemain penting mereka mengalami cedera di pertandingan tadi dan alhasil tim mereka tidak bisa bermain secara maksimal.

Mengetahui seberapa penting pertandingan hari itu, Karina sedikit khawatir dengan keadaan Winata dan teman-teman timnya.

Kecewa? Sudah pasti.

Tetapi Karina lebih khawatir pada kondisi fisik Prima dan Adel yang tadi sampai tidak bisa mengikuti sisa pertandingan. Ia pun cukup khawatir tentang perasaan Winata. Ia tahu betul betapa Winata berharap ia bisa menjadi juara tahun ini.

Seusai pertandingan, Karina segera berlari keluar dari stadion dan memutar ke arah pintu masuk pemain. Sesampainya disana, ia telah melihat kerumunan tim basket sekolahnya dan melihat Winata terduduk di dekat Prima.

Tanpa menunggu lagi, Karina langsung berlari menuju Winata dan Prima serta memeluk Winata dengan erat.

“Gila tadi three point dari tengah lapangan keren banget!!!” ucap Karina dengan bangga, berusaha menghibur hati Winata.

“Dih Rin, mau aja sih meluk orang bau keringet.” goda Prima dengan kakinya yang dibalut perban.

Prima kemudian memberikan gestur pada Karina bahwa Winata sedang tidak baik-baik saja yang dibalas dengan anggukan pelan dari Karina.

“Win…” panggil Karina

“Anterin aku pulang nanti.” bisik Winata.

“Iya, aku anter.”

Sang pelatih kemudian memanggil seluruh anak didiknya dan memberikan kalimat-kalimat penyemangat serta sedikit evaluasi. Ia pun mengingatkan bahwa masih ada pertandingan perebutan juara 3 yang harus mereka lakoni tiga hari dari sekarang.

Sang pelatih juga memberikan motivasi dan berusaha untuk membakar semangat tim tersebut yang tentu saja dibalas dengan teriakan teriakan frustasi dan kemarahan dari tim mereka. Beberapa sudah terlihat bangkit dari kekalahan hari ini, namun tidak dengan Winata.

Kapten tim terlihat lebih diam dari biasanya. Namun ia tetap melakukan tugasnya, memberikan semangat dan mengatur timnya. Ia kemudian menawarkan untuk mengadakan latihan tambahan esok dan lusa untuk mempersiapkan tim mereka yang tentu saja disetujui oleh seisi tim.

Di perjalanan pulang, Winata masih terdiam. Hal ini membuat Karina khawatir, baru kali ini ia melihat Winata sangat terpukul atas kekalahannya.

Bahkan sesampainya mereka di rumah Winata, sang kapten masih terdiam.

“Makasih udah anterin aku ya, Rin.” senyum Winata singkat.

“Win?”

Winata tidak membalas panggilan tersebut secara verbal. Namun Karina tahu kalau Winata tengah mendengarkannya.

Karina mengubah posisi gigi mobilnya dari netral menjadi mode parkir. Ia kemudian menarik tuas rem tangan mobilnya.

“Jangan turun dulu.” ujar Karina cepat.

Ia kemudian mengambil tas kamera yang ia taruh di kursi belakang. Kemudian mencari-cari foto yang ingin ia tunjukkan pada Winata.

“Aku mau ngasih tunjuk ini ke kamu.” ujar Karina sembari menyodorkan kamera miliknya.

“Kamu paling bahagia waktu di lapangan dan aku harap, kamu bisa lihat sendiri betapa bersinarnya kamu di saat kamu bahagia. Kekalahan hari ini bukan akhir dari semuanya Win. Masih ada porseni kan? Aku sendiri nggak tau kenapa kamu sampai sesedih ini, biasanya kamu sedih kalau kalah tapi nggak kayak gini.” lanjut Karina.

Winata mengeraskan rahangnya. Menahan tangis yang sedari tadi sudah berada di pucuk matanya.

“A-aku….” Winata menghela napas panjang.

“Cerita Win, kalau itu bisa bikin kamu lega.”

“Aku ngerasa gagal. Tiga tahun berturut-turut tim kita selalu masuk final dan di tahun aku jadi Kapten, tim kita gagal masuk final. Orang-orang banyak yang berharap sama tim ini, mereka bilang tim tahun ini itu dream team sekolah kita. Tapi…”

“Tapi siapa yang sangka kalau Prima dan Adel cedera? Kamu nggak boleh nyalahin diri kamu sendiri Win.”

“Harusnya aku bisa Rin. Harusnya aku bisa.”

“Win, kamu sendiri yang bilang ke aku kalau Basket itu permainan tim bukan individu.”

Karina memilih untuk memeluk Winata sekali lagi.

“Aku masih dengan pendirianku. Kamu paling bahagia, paling bersinar pas kamu di lapangan.”

“I know…. I feel it too….”

“See?”

Karina melepaskan pelukan mereka kemudian mencubit pipi Winata.

“Udahan sedihnya, besok kamu latihan yang serius. Balas kekalahan kamu dengan dapetin itu gelar MVP. Aku yakin tahun ini kamu bisa dapet.”

Winata tertawa, “Itu sih kamu bias.”

“Sampe kamu dapet gelar itu, janji ke aku kamu daftar pertukaran pelajar ke Amerika itu.”

“Kalo aku nggak dapet?”

“Aku bakal berhenti maksa kamu buat daftar. Tapi nanti aku yang daftarin kamu langsung”

“Ih curang!”

“Biarin aja! Udah aku bilang, kamu paling bahagia waktu lagi di lapangan!”

Winata tertawa pelan, “Iya deh bawel.”

Setelahnya Winata mengambil barang-barang yang ia taruh di kursi penumpang belakang. Tepat sebelum ia keluar dari mobil Karina, Winata menoleh ke arah Karina. Ia tampak seperti memikirkan sesuatu sesaat.

Karina hampir bertanya pada Winata namun ia sudah keburu mematung saat Winata memberikan satu kecupan singkat di pipi Karina.

“Thank you Karina, you mean a lot to me.”

Winata kemudian buru-buru turun dari mobil Karina. Ia sendiri panik karena bagaimana bisa ia mencium pipi Karina seperti itu?

Selama ini hubungan mereka selalu berada di batas persahabatan walau keduanya sama-sama tahu bahwa ada hal-hal yang mereka lakukan dan melebihi batas tersebut. Namun dengan tindakan Winata seperti ini dan ucapan-ucapan yang ia berikan pada Karina selama satu bulan terakhir, Winata sudah mengakui secara gamblang bahwa dirinya menaruh perasaan lebih terhadap Karina.

Karina pun tahu akan hal ini.

Ia pun memiliki alasan mengapa dirinya melarang Winata untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan yang menjadi tugas literatur mereka.

Sang gadis berambut hitam legam yang masih terpaku di kursi pengemudi memegang dadanya, merasakan detak jantungnya yang berdetak sangat kencang.

“Winata sialan. Gue bisa gila kalau gini.”

Ia mengambil ponselnya, kemudian menekan tombol speed dial nomor satu.

”H-halo, Rin?”

“You.”

”Hah?”

“Tugas literatur Win, jawabanku itu You.”

”You?”

“Yes, Love is You.”

Amoureux de... (Seungwan) part. 2-11

Joohyun sempat terlelap untuk beberapa saat ketika ia menantikan jawaban dari Yerim. Namun sang CEO kembali terjaga kala ia merasakan getaran ponsel miliknya serta bunyi notifikasi pesan singkat yang datang bertubi-tubi.

Tak ingin Seungwan turut terbangun, lantas dengan segera Joohyun mengambil gawai miliknya. Akan tetapi, belum sempat Joohyun membuka pesan tersebut, kini sebuah panggilan masuk kembali membuat ponselnya berdering.

KTY is calling

Joohyun mengernyitkan keningnya.

la cukup heran melihat nama Taeyeon terpampang di layar ponselnya.

“Halo?”

”Dimana?”

“Rumah Seungwan. Kenapa?”

”Ngapain?”

Memang sudah biasa bagi keduanya untuk berbicara secara to the point namun kali ini pertanyaan Taeyeon justru membuat emosi Joohyun bergejolak.

“Lo nggak butuh tau, kak.”

”Butuh. Sebagai kakak lo dan sebagai temannya Seungwan, gue butuh tau.”

Hening terdengar di antara keduanya. Namun samar-samar Taeyeon dapat mendengar suara bergerisik dari sisi Joohyun dan ia menunggu dengan sabar sampai Joohyun akhirnya kembali bersuara.

“Buat apa?” tanya Joohyun yang kini sudah berjalan keluar dari kamar Seungwan dan menyusuri lorong rumah mewah tersebut, mencari ruangan kosong yang bisa ia gunakan sementara.

”Hidupin video callnya. Gue mau liat muka lo.”

“Nggak.”

”Hhhh, ngambek. Okay, deh gapapa sambil telponan kayak gini aja. Well, gak usah marah ke adek lo. Yerim nggak salah.”

Lagi-lagi Joohyun mengernyitkan keningnya.

”Gue nggak belain Yerim tapi gue mau bertanggung jawab atas keputusan gue. Lo nggak butuh tau detailnya, karena itu hak Seungwan buat cerita sama lo, tapi intinya waktu itu Yerim mau ngehubungin lo tapi gue larang. Alasan gue simple, lo dan Seungwan sama-sama lagi nggak stabil dan terbukti, Seungwan juga nggak mau ngabarin lo, kan?”

“What the fuck? Apa yang kalian tutupin dari gue?!” desis Joohyun.

”Nggak ada, gue nggak nutupin apapun. Gue cuma ngelakuin apa yang Seungwan mau.”

“Kak! Gue gak tau apa yang kejadian sama Seungwan but I bet it was something horrible, maybe like tonight. Kenapa kalian gak ada yang kasih tau gue?! Gue berhak tau kak!”

”Lo berhak tau, mungkin iya. Tapi yang paling punya hak untuk cerita itu semua adalah Seungwan dan dia nggak mau lo tau ini dulu untuk sekarang. Respect her decision, Joohyun.”

Rahang Joohyun mengeras saat ia mendengar kalimat Taeyeon barusan.

”Tanya lagi ke diri lo sendiri, apa alasan lo mau tau? Bener-bener untuk Seungwan atau cuma buat pemuas hati lo? Ini semua berat buat lo tapi lebih berat lagi untuk Seungwan, jadi please ikutin kemauan Seungwan, ya? Kalau dia mau berhenti, then you have to stop. Kalau dia mau jalan, walaupun pelan, yaudah ikutin aja. Tugas kita adalah support Seungwan bukan jadi orang yang nentuin keputusan buat Seungwan. Her dad already did it dan pastinya lo tau apa akibatnya.”

“Tapi kak-...”

”Gausah keras kepala. Lo nyebelin kalo keras kepala. Denger gue dulu dan lo pikirin kata-kata gue, okay? Kalo gue salah, then I will ask for your and Seungwan's forgiveness. Tapi gue tau gue bener. Jadi intinya, lo dengerin gue. Inget ya Joohyun, Seungwan is her own person before she is your fianceé. Dah ah, gue udah sampe salon nih. Bye Joohyun.”

Sambungan telepon tersebut terputus begitu saja tanpa Joohyun sempat mengutarakan balasan pada Taeyeon.

Joohyun menghela napasnya panjang.

Dengerin gue.

Mungkin kalimat Taeyeon tersebut sangat singkat namun cukup mengena di hati Joohyun. Ia pun teringat pelajaran yang diberikan oleh Minjeong padanya. Maka kali ini, walau dengan hati yang masih gusar, Joohyun memilih untuk mengikuti nasihat kakak sepupunya itu.

Dimasukkannya ponsel yang ia genggam ke saku celana yang ia kenakan, kemudian Joohyun memilih untuk kembali ke kamar Seungwan. Sekembalinya disana, Joohyun terkejut mendapati Seungwan yang tengah menangis dalam keadaan meringkuk di atas kasur.

Buru-buru ia menyambangi Seungwan dan duduk perlahan di pinggir sisi kasur yang ditempati Seungwan.

“Seungwan, kamu kenapa? Kamu kesakitan?” tanya Joohyun dengan tangan yang perlahan menyentuh bahu Seungwan.

Mendengar suara yang sudah lama tidak ia dengar, Seungwan mengintip sekilas dan terkejut akan kehadiran Joohyun di kamarnya.

“H-hyun…?”

“Iya, ini saya, Joohyun. Kamu kenapa nangis?”

Seungwan menggeleng pelan namun airmatanya tetap mengalir bahkan menjadi lebih deras.

Hal ini sontak membuat Joohyun panik. Ia takut bahwa kehadirannya-lah yang membuat Seungwan demikian.

“K-kamu mau saya keluar aja?”

Tidak ada jawaban dari Seungwan. Namun raut wajah Seungwan sudah cukup membuat Joohyun menelan ludahnya. Mungkin memang kehadirannya masih belum diharapkan.

Joohyun tersenyum singkat dan membelai kepala Seungwan dengan hangat. “Saya keluar aja ya kalau kehadiran saya disini bikin kamu kayak gini.”

Tepat kala Joohyun bangkit dari posisinya, Seungwan dengan cepat menggapai kain celana yang dikenakan oleh Joohyun.

“J-jangan…”

Joohyun harus menahan senyuman mengembang di wajahnya. Secercah rasa senang dan bahagia menyelimuti hati Joohyun mengetahui fakta bahwa Seungwan menginginkan kehadirannya disana.

“Okay, saya stay disini ya?”

Sebuah anggukan pelan diberikan oleh Seungwan yang kemudian bergeser sedikit dan menepuk sisi kasur yang kosong.

“Sini.”

Kali ini tawa pelan tidak mampu ditahan oleh Joohyun, ia merindukan Seungwan yang manja seperti ini.

“Kayak gini ya?” tanya Joohyun merujuk pada posisinya yang saat ini berbaring miring menghadap Seungwan.

Pagi itu nampaknya Seungwan masih belum mau banyak berujar, ia kembali tidak menjawab pertanyaan Joohyun dengan kata-kata namun ia hanya menunjukkannya lewat tindakannya yang saat ini sedang bergeser agar dirinya lebih dekat dengan Joohyun.

“Maaf” bisik Seungwan pelan, sedikit teredam karena posisinya yang menyembunyikan wajahnya di bahu Joohyun.

Maaf? Untuk apa? Karena tidak membalas pesannya selama berbulan-bulan? Maaf karena menyembunyikan peristiwa-peristiwa penting? Maaf karena apa?

Walau dalam benak Joohyun terdapat banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan, tetapi ia ingat ucapan Taeyeon tadi. Maka dengan berat hati, akhirnya Joohyun mengurungkan niatnya untuk bertanya banyak.

“Kenapa?”

“Karena bikin kamu susah.”

Joohyun tertawa kecil mendengar jawaban singkat dari Seungwan.

“Saya nggak ketemu kamu udah berapa bulan sih? Kenapa sekarang kamu jadi nggemesin banget.”

Terdapat erangan protes dari Seungwan yang membuat Joohyun kembali tertawa.

“Saya nggak susah kok. Well, mungkin iya, tapi cuma sedikit. Kalah sama rasa kangen saya buat ketemu kamu.”

“Maaf.”

“Hey, kenapa minta maaf? Saya juga salah.”

Seungwan menengadahkan kepalanya, menatap Joohyun dengan lekat.

“Kamu Dora’s Boss?”

Kali ini tawa yang keluar dari mulut Joohyun terdengar sangat kencang dan lepas. Ia tidak menyangka bahwa pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Seungwan adalah pertanyaan itu.

“Hyuun!”

“Iya, iya. Akun itu punya saya. Minjeong yang bantu bikin.”

Seungwan mengangguk pelan.

Keduanya kembali menikmati keheningan yang tercipta. Joohyun yang menikmati kehangatan yang diberikan oleh Seungwan dan jika ia boleh pamer, posisi cuddling dengan Seungwan seperti ini merupakan salah satu favoritnya. Sedangkan Seungwan menikmati aroma tubuh Joohyun yang sudah lama tidak menyapa inderanya. Walau ia sering berbuat curang dengan memakai baju milik Joohyun, tetap saja aroma tubuh Joohyun seperti ini adalah favoritnya.

Namun Seungwan kini tersadar, dengan dirinya yang bertindak seperti ini apakah akan memberikan harapan palsu bagi Joohyun? Sejujurnya ia belum sepenuhnya siap untuk bertemu Joohyun.

Ia belum sepenuhnya menyelesaikan masalah-masalahnya. Ia tidak mau membebani Joohyun dengan itu semua.

“Joohyun…”

“Ya?”

“Nggak jadi.”

“Kenapa nggak jadi? Kamu nggak enak sama saya atau tiba-tiba lupa sama yang mau diomongin? Kalau karena nggak enak sama saya, serius saya lebih baik dengar langsung dari kamu daripada dari orang lain.”

Seungwan menghela napasnya panjang.

“Aku takut.”

“Sama?”

“Sama aku. Sama ekspektasi orang-orang. Aku takut ngecewain kalian. Aku takut ngecewain kamu.”

Setelahnya Seungwan dapat merasakan Joohyun mengeratkan pelukannya.

“Kamu nggak perlu mikirin siapapun selain diri kamu sendiri, ya?”

“Tapi aku nggak mau egois. Kalian udah terlalu sabar sama aku.”

“Sekali ini aja, kamu egois lagi nggak apa-apa Seungwan.”

“Tapi kalau aku egois lagi, artinya aku bakal minta kita untuk balik kayak kemarin.”

Elusan Joohyun di punggung Seungwan sempat terhenti sejenak dan reaksi ini membuat Seungwan lagi-lagi menengadahkan kepalanya. Namun berbeda dengan ekspektasinya, ia justru mendapati Joohyun tersenyum ke arahnya.

“Kalau kamu butuh waktu lebih banyak lagi, akan tetap saya kasih. Walaupun mungkin saya akan sedikit sedih. Cuma sedikit aja kok, segini.” ujar Joohyun yang menunjukkan jari telunjuk dan ibu jarinya, memberikan sebuah gambaran seberapa sedih dirinya nanti.

“Aku nggak mau kamu sedih.”

“Saya juga nggak mau kamu sedih, Seungwan. Saya nggak mau kamu terbebani dengan apapun itu. Yang penting saya tau kamu baik-baik aja dan itu udah cukup. Saya juga bisa lihat kamu setiap hari kan? Lewat radio.”

Tetes demi tetes airmata kembali membasahi pipi Seungwan kala ia mendengarkan jawaban dari Joohyun.

“Maafin aku, Joohyun.”

“Hey, hey it’s okay. We will do this at your pace, okay? One day when you are ready, kita bisa jalan berdampingan lagi.”

Amoureux de... (Seungwan) part. 2-9

TW : childhood trauma

Joohyun bersumpah ia tidak pernah berkendara secepat saat ini. Entah sudah berapa banyak lampu merah ia terobos untuk mempersingkat waktu tempuh dari apartemen Seungwan menuju kediaman Nyonya Do.

Ia tidak peduli jika besok pagi plat nomor mobilnya masuk di jajaran berita pagi hari karena pelanggaran lalu lintas. Ia juga tidak peduli berapa nominal denda yang harus ia bayar esok pagi.

Saat ini pikirannya hanya satu, tiba di rumah Nyonya Do secepat mungkin.

2 jam sudah berlalu sejak Seungwan meninggalkan pesan untuknya.

1 jam sejak miss call terakhir dari Nyonya Do.

Sekitar 20 menit sejak ia membuka ponselnya.

Sudah puluhan, mungkin ratusan, sumpah serapah ia layangkan untuk dirinya sendiri.

Bagaimana bisa ia terlelap sepulas itu disaat Seungwan sedang kesakitan?

Bagaimana bisa ia tidak mendengar notifikasi ponselnya? Tidak hanya pesan singkat bahkan Nyonya Do sempat menelponnya. Padahal ia bisa dengan sigap membalas pesan, telepon, bahkan email dari rekan bisnisnya.

Pikirannya sangat kalang kabut. Joohyun rasanya ingin menangisi kebodohannya malam itu.

Ia merasa sedikit sesak napas saat mulai melihat plang jalan menuju kawasan elit tempat rumah Nyonya Do berada. Ditekannya lampu dim mobilnya berkali-kali dengan sangat cepat agar petugas keamanan yang menjaga gerbang rumah Nyonya Do menyadari keberadaannya.

Namun nampaknya malam itu kesabaran Joohyun sedang diuji. Ia harus menunggu cukup lama sebelum gerbang megah tersebut dibuka. Rasanya ia sangat ingin memaki petugas keamanan tersebut tetapi Joohyun tahu waktunya sangat berharga.

Joohyun segera mengarahkan mobilnya menuju pintu utama rumah megah tersebut. Mobilnya ia biarkan terparkir secara asal, bahkan ia tidak sempat memikirkan untuk mengunci pintu mobilnya.

Ia berjalan sedikit berlari menuju pintu utama dan langsung mendorong pintu tersebut, yang untungnya memang tidak dikunci.

Joohyun mendapati rumah tersebut sangat sepi, tentu saja karena saat itu pukul setengah tiga pagi. Dengan sedikit frustasi, ia segera berjalan ke arah dapur tempat dimana ia tahu pasti akan menemukan paling tidak satu orang asisten rumah tangga keluarga Do.

“Mama mana bi?” tanya Joohyun tersengal-sengal saat melihat satu perempuan paruh baya yang tengah membelakangi dirinya, tebakan Joohyun tengah menyeduh teh dari aroma yang ia hirup.

Asisten rumah tangga tersebut terkejut dengan kehadiran orang asing, namun ia sedikit mengingat sosok Joohyun. Ia rasa ia sempat melihat wajah nona ini dari potret yang ada di kamar Seungwan serta jika ia tidak salah ingat, nona ini juga sempat bermalam disini beberapa kali bersama dengan anak dari majikannya itu.

“Di kamar Nona Seungwan.”

Secepat kilat Joohyun berlari meninggalkan dapur tersebut, menuju kamar Seungwan.

Tepat pada saat ia membuka pintu kamar Seungwan, mata Joohyun beradu tatap dengan manik milik Nyonya Do yang tengah duduk di tepi kasur yang ditempati oleh Seungwan.

Namun bagaikan magnet, fokus penglihatan Joohyun hanya berada di satu titik, yakni Seungwan yang terlihat terbaring tak sadarkan diri.

Secara reflek Nyonya Do bangkit dan menghentikan Joohyun untuk berjalan mendekat. Ia membawa Joohyun keluar dari kamar tersebut untuk berbicara empat mata sebelum membiarkan Joohyun untuk menemani putrinya.

“M-ma…S-seungwan ke..kenapa?”

Nyonya Do memeluk Joohyun dengan sangat erat.

“Terima kasih sudah datang ya, Joohyun.” bisik Nyonya Do tepat di telinga Joohyun sembari mengusap punggung Joohyun perlahan.

“M-maaf Joohyun baru datang sekarang. T-tadi Joohyun-...”

“H-hush.. udah nggak usah minta maaf. Kamu nggak salah, nggak ada yang salah.” potong Nyonya Do cepat-cepat.

“Mama mau tanya dulu satu hal sama kamu dan tolong dijawab dengan jujur ya?” tambah Nyonya Do yang dibalas dengan anggukan.

“Kamu dan Seungwan lagi ada masalah? Mama bener-bener bingung kenapa Seungwan bisa collapse lagi dan Mama tahu cuma ada dua hal yang bisa bikin Seungwan kayak sekarang.”

Joohyun menggigit bibirnya dengan kencang sembari menganggukkan kepalanya lemah.

“K-kami sempat bertengkar hebat beberapa bulan yang lalu. Kemudian Desember kemarin S-Seungwan minta untuk break sejenak dan saya penuhi permintaan itu. Akhir tahun kemarin saya kira hubungan kami sudah sedikit membaik walaupun memang kami tidak banyak kontak.”

Nyonya Do mengerutkan keningnya, “Tapi terakhir kali kalian komunikasi, apa Seungwan terlihat dalam keadaan buruk?”

Joohyun menggeleng, “Tapi akhir-akhir ini kalau saya lihat memang Seungwan terlihat tidak baik. Masalahnya, Joohyun nggak tau apa permasalahan yang sedang Seungwan hadapi.”

“Aneh juga kalau begitu. Mama kira kalian memang bertengkar akhir-akhir ini, karena Seungwan selalu menghindar saat mama ajak bicara tentang kamu. Tapi kalau kamu bilang sudah lama tidak benar-benar berkomunikasi dengan Seungwan, tandanya bukan pertengkaran kalian yang membuat Seungwan seperti ini.” ujar Nyonya Do sambil menepuk pundak Joohyun pelan.

“Seungwan tadi pingsan. Sejujurnya mama sangat terkejut karena mama sama sekali nggak nyangka kalau Seungwan sangat terguncang. Tapi kamu tenang aja, untuk kondisi fisiknya dia baik-baik aja karena tadi sudah diperiksa sama dokter keluarga. Cuma seperti yang kamu tau, keadaan mental Seungwan masih sangat labil untuk sekarang. Tadi mama juga sudah cek isi kamar dia dan untungnya mama nggak nemuin obat penenang atau yang sejenis, tadi mama udah sempat khawatir kalau Seungwan ketergantungan sama obat-obatan itu.”

“I-iya ma, Yerim sempet cerita kalau sekarang Seungwan juga udah mulai lepas dari obat. D-dia juga sekarang udah lebih sering terapi ke psikolog.”

Nyonya Do mengangguk, “Tolong tanyakan ke adik kamu, barangkali dia punya info lebih. Mama nggak tau ada apa sama kamu dan Seungwan, tapi mama berharap kalian bisa lewatin ini semua ya. Kalau ada satu orang yang mama yakin bisa jaga Seungwan dengan baik, itu kamu Joohyun.”

“M-maafin Joohyun ma…”

“Kamu nggak perlu minta maaf, Joohyun. Ini bukan salah siapapun okay? Termasuk Seungwan sekalipun, dia nggak perlu minta maaf. Mungkin memang keputusan dia banyak yang nggak masuk akal buat kita, tapi itu semua pasti karena Seungwan punya pertimbangan dan kekhawatiran dia sendiri. Kenapa tadi mama telpon kamu, bukan untuk buat kamu merasa bersalah, tapi sebagai sosok yang penting bagi Seungwan kamu berhak untuk tau ini.”

Joohyun kembali mengangguk lemah, “M-malam ini boleh Joohyun tinggal disini? Seenggaknya supaya ada yang nemenin Seungwan sampai pagi nanti.”

“Boleh, pasti boleh. Kamu juga jangan lupa istirahat ya? Mama balik ke kamar mama dulu, kalau kamu butuh apa-apa langsung kesana aja.”

Nyonya Do memeluk Joohyun satu kali lagi sebelum ia kemudian meninggalkan Joohyun yang masih terpaku di depan pintu kamar Seungwan.

Sementara itu, Joohyun menarik napasnya panjang sebelum ia melangkah memasuki kamar Seungwan.

Setibanya di sebelah kasur berukuran queen sized tersebut, Joohyun mendudukan dirinya perlahan. Tangannya terjulur, secara perlahan mengusap kepala Seungwan.

“Istirahat ya, kamu nggak usah takut lagi. Saya bakal nemenin kamu sampai kamu minta saya untuk pergi.”

Joohyun bangkit dari posisinya untuk mengecup singkat kening Seungwan. Ia kemudian berjalan ke arah deretan lemari pakaian dan tersenyum saat ia melihat beberapa sweater, kemeja, bahkan blazer miliknya ada disana.

“Kamu curang, kamu ambil baju saya tapi nggak izin dulu. Tau gitu saya juga culik baju kamu, Seungwan.”

Tangan Joohyun kemudian mengambil satu set piyama dan setelahnya ia segera menuju kamar mandi untuk berganti baju.

Joohyun menempati sisi kasur yang kosong, dengan tetap memberikan jarak antara dirinya dan Seungwan. Ia tahu, walaupun malam ini ia mendapatkan izin untuk menginap namun izin itu bukan datang dari Seungwan. Untuk itu Joohyun tetap berusaha menjaga jaraknya.

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Joohyun untuk turut terlelap bersama dengan Seungwan. Namun tidurnya itu hanya bertahan kurang dari satu jam karena ia mendengar rintihan suara anak kecil yang menangis ketakutan.

Awalnya Joohyun sempat bingung, tetapi ia kemudian menyadari bahwa suara tersebut datang dari Seungwan. Joohyun tiba-tiba teringat akan penjelasan Ojé beberapa bulan lalu bahwa terdapat kemungkinan saat trauma masa kecil Seungwan sedang menghantui dirinya, maka tanpa sadar Seungwan akan bertingkah layaknya anak kecil dan malam itu ucapan Ojé menjadi kenyataan saat Seungwan mengeluarkan suara-suara anak kecil.

Buru-buru Joohyun bangkit dari posisi tidurnya, kemudian mengguncang tubuh Seungwan pelan. “Seungwan, sayang bangun. Itu mimpi, itu mimpi. Itu nggak nyata, sayang.”

”t-takut….mama….”

“Nggak usah takut, sayang. Bangun ya. Ayo bangun sekarang ya, Itu cuma mimpi buruk, okay?”

Joohyun kembali berusaha mengguncang tubuh Seungwan pelan.

Ia bernapas sedikit lega saat mendapati Seungwan perlahan membuka kedua bola matanya.

“J-joohyun?”

“Iya, ini Joohyun.”

“A-aku tadi lihat kam-..”

“Itu mimpi sayang, itu nggak bener. Lupain aja ya. Itu nggak nyata. Yang nyata itu sekarang saya yang ada disini sama kamu.” ujar Joohyun sembari tersenyum ke arah Seungwan dengan tangan kirinya mengusap kepala Seungwan perlahan.

“Tidur lagi ya?” bujuk Joohyun yang langsung dibalas dengan gelengan kepala.

“Sama Saya kok. Kamu nggak perlu takut ya? Kalau mimpi buruk itu datang, saya ada disini buat bantu kamu okay? Kita tidur pelan-pelan ya? Kamu butuh istirahat.”

“Aku nggak mau lihat mimpi itu lagi….”

“Nggak, kamu nggak akan lihat itu lagi. Kita sama-sama bayangin waktu kita senang-senang aja ya? Kita ingat-ingat lagi momen-momen menyenangkan. Kamu mau tidur sambil saya peluk?”

Seungwan mengangguk, kemudian mendekatkan dirinya pada Joohyun.

“Jangan tinggalin aku sendirian….”

Joohyun mengangguk, kemudian mengeratkan pelukannya. “Tidur, saya disini sama kamu.”

Seungwan masih meracau beberapa kali sebelum akhirnya ia kembali terlelap.

Namun satu kata terakhir dari Seungwan membuat Joohyun yang hampir terlelap, tiba-tiba kembali bangun.

”Joohyun jangan marah…Yerim Ojé baik….papa jahat….”

Time Spent Walking Through Memories part. 4-19

TW: mention of mental illness ; depressing thought

21 Desember 2021

Yerim melempar ponselnya ke sembarang arah setelah ia menyudahi percakapannya dengam Joohyun. Awalnya ia memang gatal sekali untuk segera memberitahu keadaan Seungwan, namun setelah melihat reaksi kakaknya, ia setuju dengan keputusan Taeyeon.

Dini hari tadi, selepas mereka memastikan bahwa Seungwan sudah bisa tertidur dengan pulas, Taeyeon pamit undur diri karena ia memiliki jadwal pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Si sulung dari keluarga besar Bae menawarkan untuk mengantarkan Yerim pulang, namun tentu saja Yerim menolak.

Ia tidak sanggup meninggalkan Seungwan dalam keadaan seperti ini, apalagi setelah ia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Seungwan kambuh.

Akhirnya Yerim, Ojé, dan Sam berbagi tugas untuk menjaga Seungwan malam itu. Yang pertama mendapat giliran adalah Ojé disusul dengan Sam, lalu Yerim. Sementara ia menunggu gilirannya, Yerim memilih untuk beristirahat di kamar tamu sekaligus kamar yang merupakan bekas tempat tinggal Joohyun.

Ia sempat terkejut saat mendapati kamar ini begitu mirip dengan kamar milik Joohyun di kediaman mereka. Susunan barang-barangnya benar-benar mirip, yang menjadi pembeda hanya bingkai-bingkai foto yang terpajang disana.

Sebenarnya bukan rahasia bahwa kedua kakak-beradik itu sama-sama memiliki ketertarikan dalam dunia fotografi. Bedanya, Joohyun lebih suka menjadi fotografer sedangkan Yerim lebih suka menjadi model dari sang fotografer. Yerim yang sangat paham akan sifat kakaknya itu pun memahami mengapa Joohyun cukup menyukai dunia fotografi.

Joohyun bebas mengekspresikan karyanya dalam diam.

Namun satu hal yang Joohyun kurang sadari, objek-objek foto miliknya menggemakan isi hatinya jauh lebih keras dari yang ia duga.

Seperti pagi ini, sebangunnya Yerim dari tidurnya yang cukup melelahkan, ia disapa dengan satu frame foto berukuran A3 yang terletak tepat di seberang kasur. Foto siluet seorang perempuan, tentu saja itu Seungwan, yang bermain bersama dengan anak anjing di tepi pantai.

Yerim seakan-akan dibawa untuk melihat Seungwan dari sudut pandang seorang Bae Joohyun.

Seungwan yang ada di foto tersebut terlihat sangat bahagia, sangat menikmati setiap detiknya, terlihat sangat cantik dengan rambutnya yang terurai tertiup angin dan siluet garis senyuman di bibirnya serta hidung mancungnya yang terlihat dari samping.

Satu foto lainnya yang ada di meja kerja milik Joohyun adalah foto dengan latar belakang sebuah bukit. Kali ini wajah Seungwan terlihat dengan sangat jelas, menatap ke arah lensa kamera. Lagi-lagi senyuman manis ditampilkan oleh Seungwan, namun kali ini Yerim dapat melihat pancaran kebahagiaan dari manik mata milik Seungwan yang menatap lurus ke arah lensa, seakan-akan Seungwan menatap langsung ke arah dirinya.

Bahkan hanya dari foto saja ia bisa merasakan bagaimana keduanya saling mengasihi satu sama lain.

“Gue bisa gila kalo disini terus” cemooh Yerim setelah meletakkan kembali bingkai foto yang tadi ia sempat ambil sejenak.

Ia menggelengkan kepalanya, lucu juga kalau dipikir-pikir bagaimana kakaknya itu berubah drastis sejak bertemu Seungwan.

Si bungsu dari keluarga Bae berjalan keluar kamar, menuju ruang makan. Perutnya sudah meronta meminta asupan gizi. Sesampainya disana, ia bertemu dengan Sam yang sudah mencuci beberapa alat makan.

“Pagi.” sapa Yerim agak canggung.

“Oh, pagi. Mau sarapan?”

“Boleh, kalau emang udah dibuatin.”

“Udah kok, untuk dokter Park juga udah disiapin.”

Dokter Park.

Sangat asing bagi Yerim mendengar nama sepupunya disandingkan dengan titel profesionalnya itu. Walau mereka semua memang sekarang sudah beranjak dewasa dengan pekerjaan mereka masing-masing, namun tetap saja bagi Yerim rasanya aneh.

“Ojé dimana?” tanya Yerim

“I’m here mim.”

Sebuah jawaban datang dari arah pintu kamar Seungwan. Ojé keluar sembari membawa tas kecil yang berisikan peralatan-peralatan medis.

“Seungwan gimana?”

“Better, for now. Duh laper banget, mau delivery makanan nggak?” tanya Ojé yang meletakkan tasnya di ruang tengah kemudian berjalan ke arah ruang makan.

“Udah dimasakin kok, sama Sam.”

Ojé mengacungkan ibu jarinya. Ia lalu membuka isi lemari es untuk mencari minuman yang bisa meredakan dahaganya itu.

“Well, kalau gue nggak tau Kak Joohyun tinggal disini, gue bakal kira Seungwan udah insyaf.” tawa Ojé sembari mengeluarkan satu botol jus yang masih tersegel dengan rapat.

“Bener. Gue juga kaget sih liat persediaan makanan disini lengkap banget. Good influence dari Irene.” timpal Sam. “Dia jago masak ya? Kok ini alat masaknya lengkap banget.” sambung pria itu.

“Nggak lah. Kakak gue mana ada jago masak? Dia bisa masak tapi nggak jago. Lebih jago Seungwan. Kalo dulu sih, biasanya dia minta masakin sama chef keluarga aja.”

“Uhm, anyway gue mau nanya sama kalian berdua boleh?” ujar Yerim dengan hati-hati.

Ojé menganggukkan kepalanya sementara Sam membalas dengan ucapan singkat, ia masih sibuk menyelesaikan hidangan pagi itu.

“Kalian berdua, plus Kak Taeyeon, semalem keliatan kayak udah terlatih gitu. Seungwan….sering kayak gini?”

Sam menoleh ke arah Ojé, memberikan isyarat agar Ojé-lah yang menjawab pertanyaan tersebut.

“Dulu lumayan sering dan pernah parah banget waktu Seungwan sering banget mabuk. Inget dulu Seungwan pernah hiatus setahun? Waktu itu parah banget.”

“Yang tau siapa aja? Tentang ini semua?”

“Gue, Sam, Kak Taeyeon, Kak Kibum, and now Kak Joohyun dan lo juga. Sisanya petugas medis. Well, bokapnya dia tau tapi memilih untuk nggak percaya.”

“S-Seungwan bakal sembuh kan?”

Ojé menarik napasnya dalam. “Sembuh total, agak nggak mungkin. Karena pasti tetep ada masa dimana memori buruk itu datang. Tapi bisa diusahakan supaya kenangan buruk itu nggak datang terlalu sering. Selain itu, kalau dia ikut treatment dengan teratur, bisa juga dilatih supaya Seungwan tau gimana cara bereaksi yang paling aman waktu kenangan itu datang.”

“Terus? Seungwan treatment kan?”

Ojé mengangguk. “Dia sekarang udah punya psikolog pribadi, in a fact, siang nanti bakal kesini. Well, sejak kejadian yang waktu itu, Seungwan sadar kalau banyak yang sayang sama dia dan udah komitmen juga untuk perlahan bangkit. Thanks to your sister juga, akhirnya dia lebih milih untuk ubah metode penyembuhannya. Cuma gue agak kaget aja ternyata Seungwan masih nyimpen obat-obat anti-depressant dan obat penenang lain. Ini yang harus gue infoin ke psikolognya dia nanti.”

Yerim sudah hendak membuka suaranya lagi namun Ojé lebih dahulu memotong sepupunya itu.

“Beda Yer, gue Psikiater. Kalau yang datang siang nanti itu Psikolog. Kalau gue terapi obat-obatan, kalau Psikolog lebih ke psikososial atau ke behavior.”

“Sorry memutus percakapan, but here you are ladies. Enjoy the meal!” ujar Sam sembari menaruh satu piring besar di depan Yerim dan Ojé.

“Thank you Sam!” pekik Ojé kesenangan.

“You’re welcome, Doctor Park.”

“Ih, Ojé aja gak usah pake dokter park segala!”

Yerim masih terdiam, berusaha mencerna semua info yang baru ia dapatkan. Namun tangannya seakan bekerja secara otomatis menyendok makanan dan memasukkannya ke dalam mulutnya.

“Jé, satu lagi pertanyaan.”

“Hm?”

“Seungwan kapan bangun?”

Ojé mengetuk layar ponselnya, memeriksa waktu saat itu. “Soon, I guess. Dosis yang gue kasih semalam nggak tinggi kok. Jadi kira-kira satu atau dua jam lagi, harusnya udah bangun.”


21 Desember 2021

22:10

srek! srek!

Yerim mengerjapkan matanya beberapa kali saat mendengar suara langkah kaki melewati tempatnya tertidur. Matanya cukup kesulitan untuk menyesuaikan dengan cahaya secara cepat, namun dari bayangan sosok yang melewati ruang tengah, dapat ia pastikan bahwa sosok itu adalah Seungwan.

Malam itu Yerim berinisiatif untuk menjaga Seungwan lebih dulu ketimbang Ojé dan Sam. Pagi tadi ia sudah cukup mendengarkan do and donts dari Ojé yang harus ia lakukan ketika menghadapi Seungwan di masa-masa sulit seperti ini.

“Wan?” panggil Yerim yang masih mengusap kedua matanya.

“Hmm?”

Pelajaran pertama dari Ojé, biarkan Seungwan untuk mengekspresikan perasaannya.

”Dari kecil Seungwan selalu di dikte sama bokapnya, jadi Seungwan nggak terlalu vokal dalam menunjukkan perasaan dia. Well, maybe lo liat Seungwan orangnya cerewet banget but she never talked about her emotion, unless she was pressed to.”

“Lo laper?” tanya Yerim asal.

Seungwan menggelengkan kepalanya.

“Lo haus? Gue tadi lagi pengen delivery apa gitu eh malah ketiduran.” ujar Yerim lagi yang kini ikut berada di sisi Seungwan.

Sang pemilik apartemen tengah duduk di kursi bar yang terletak di area ruang makan. Matanya sedang menerawang jauh.

Melihat posisi Seungwan, sejujurnya Yerim sudah was-was jikalau ternyata malam itu Seungwan memilih untuk menenggak minuman beralkohol miliknya.

Pelajaran kedua dari Ojé, jangan terlalu cepat menyimpulkan tindakan Seungwan. Hal ini justru membuat Seungwan akan melakukan persis seperti apa yang disimpulkan.

”Seungwan anaknya rebellious, semakin lo tantang semakin dia bakal buktiin hal itu ke lo.”

Yerim menggigit bibirnya, ia cukup bingung harus berbuat apa sekarang. Ia cukup bingung topik seperti apa yang harus ia bicarakan sekarang. Namun Yerim tahu, ia harus segera berbicara atau Seungwan akan merasa bahwa saat ini Yerim sedang berhati-hati dalam menghadapi dirinya.

Tangannya secara otomatis mengambil ponsel yang ia simpan di saku piyama yang ia kenakan, berusaha mencari topik.

“Gue dikirimin ini sama Kak Jen.” ujar Yerim, menunjukkan foto Joohyun yang tengah memimpin sebuah pertemuan informal di suatu jamuan makan.

Yerim terus menunjukkan foto-foto Joohyun yang ia miliki sembari menjelaskan pada Seungwan tentang cerita dibalik setiap foto yang ia tunjukkan.

Awalnya Seungwan terlihat tidak terlalu responsif, namun lama kelamaan ia ikut melihat foto-foto yang ditunjukkan oleh Yerim. Si bungsu keluarga Bae kemudian perlahan menyerahkan ponselnya pada Seungwan, membiarkannya menavigasi secara mandiri atas galeri-galeri ponsel milik Yerim.

“Ini kapan?” tanya Seungwan yang kini tengah menatap foto Joohyun tengah memegang sebuah pancingan sembari terduduk di ujung dermaga, seorang diri.

“Itu…hmm….” Yerim berusaha mengingat-ingat.

“Ohh!! Inget nggak beberapa tahun lalu Kak Taeyeon menang penghargaan dari luar gitu? Nah terus seperti biasa, nyokap gue yang suka mengadakan acara keluarga akhirnya ngide buat bikin pertemuan keluarga besar gitu, di Swiss.”

Seungwan mengangguk.

“Itu kita yang muda-muda, ngide buat camping. Kalo orang tua sih pada di villa. Ya seperti biasa, kakak gue dan Kak Taeyeon yang lebih bertanggung jawab akhirnya yang ngerjain hampir semuanya. Disitu harusnya yang mancing ada 3 orang. Kakak gue, Kak Jen, sama gue. Sedangkan Kak Kibs sama Kak Taeyeon plus Ojé harusnya yang masak. Nah gue sama Kak Jen nggak tahan duduk kelamaan, akhirnya kita ninggalin kakak gue sendirian.”

Tawa kecil terdengar datang dari mulut Seungwan. “Joohyun selalu kayak gini ya?”

“Hm?”

“Dia selalu milih buat nanggung tanggung jawab sendirian. Padahal dia bisa aja ikut kalian buat nyerah mancing dan tinggal beli makanan jadi.”

“Oh, iya. Ya emang gitu sih orangnya, nggak mau orang lain repot tapi justru bikin diri sendiri repot. Suka berlebihan emang.”

Jemari Seungwan kembali mengusap layar ponsel Yerim, menavigasikan mereka menuju foto-foto lainnya. Sementara itu Yerim kini sudah mulai tenang karena Seungwan sudah terlarut dengan cerita-cerita tentang kakaknya. Si bungsu kemudian memilih untuk menyeduh dua cup mi, satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Seungwan.

“Ini….”

Yerim mengintip sejenak ke arah layar ponselnya.

“Oh, itu mantannya Kak Jen. A model. Putus gara-gara nggak kuat LDR. Tapi masih berhubungan baik kok sama kita-kita.”

“Deket sama Joohyun?”

“Lesson number one, Kakak gue itu jauh lebih ke-ibu-an dari Kak Taeyeon. Jadi kalau ada apa-apa sama kita semua, pasti ngadunya ke kakak gue. Kalau Kak Taeyeon lebih ke sosok kakak aja gitu, tapi kalo kakak gue udah kayak orang tua. Jadi misal nih ada yang baru pacaran gitu, pasti kakak gue bakal usaha lebih buat tau tentang orang itu. Hmm….” Yerim mengaduk pelan mi yang ia seduh, sembari berusaha memikirkan kalimat yang tepat.

“Gampangnya, kakak gue mau buat orang itu nyaman dan dianggap jadi bagian keluarga. You can say, kakak gue mirip banget sama nyokap gue untuk hal ini.”

Seungwan tersenyum menyetujui ucapan Yerim.

Jemarinya kembali mencari-cari foto Joohyun secara acak dan kali ini matanya tertuju pada satu foto Joohyun yang mengenakan knit-shirt berwarna oranye.

“Whoops, you are not supposed to see that. Tapi udah terlanjur.” ujar Yerim santai sembari mengangkat bahunya.

“Huh?”

“Err, ya itu…hm… aduh mampus sih gue ini. Lo janji dulu ya, don’t say a word to her. Kalo dia sampe tau, bisa mampus sih gue.”

Seungwan menatap Yerim tidak paham, namun ia tetap menganggukkan kepalanya.

“Err… itu how am I supposed to say this?” Yerim menggaruk pelipisnya pelan. “Itu, waktu gue nemenin kakak gue buat bikin cincin nikah kalian. Gue cuma nemenin aja, itu semuanya dia yang milih dan ngurus. Sumpah sih, capek banget hari itu. Gue seharian nemenin liat-liat possible venue, terus kakak gue segala ngide bikin cincin hari itu juga.” keluh Yerim.

Si bungsu tidak menyadari bahwa ia telah membeberkan rahasia jauh lebih banyak dari apa yang seharusnya ia beberkan. Membuat Seungwan terdiam seribu bahasa. Selama ini ia kira mereka belum menyiapkan apapun, namun ternyata Joohyun sudah secara diam-diam menyiapkan beberapa hal?

“K-kalian kemana?”

“Banyak Wan! Mulai dari hotel-hotel di sekitar pantai, terus gue juga nyari alternatif ke hotel yang di area mereka ada danaunya. Intinya yang di tepi-tepi perairan gitu. Kata kakak gue, lo suka sama tempat-tempat kayak gitu soalnya. Terus kan gue ngide ke kakak gue buat sewa aja tu aquarium gede yang tempat wisata itu, tapi kakak gue nolak. Katanya harus outdoor. Lu kalo mau nikahan, kagak usah ribet-ribet ngide ya Wan. Sumpah deh, setiap kata yang keluar dari mulut lo tuh pasti bakal direalisasiin sama kakak gue.” ujar Yerim santai.

Si bungsu masih terlalu fokus menyantap mi yang ia seduh, sampai-sampai ia tidak menyadari perubahan emosi yang terjadi dalam diri Seungwan. Perlahan tetes demi tetes air mata membasahi wajah Seungwan dan jatuh ke layar ponsel Yerim, bahunya pun ikut bergetar semakin kencang setiap Seungwan berusaha untuk menahan tangisnya.

Isakan pelan dari Seungwan-lah yang kemudian membuat Yerim menyadari keadaan sahabatnya itu. Dalam kondisi panik, Yerim buru-buru meminggirkan cup mi yang tadi ia pegang, kemudian ia merangkul bahu Seungwan dari samping.

“K-kok tiba-tiba nangis woy?” tanya Yerim panik sembari menepuk-nepuk pelan bahu Seungwan.

“K-Kemarin gue ketemu bokap gue dan gue bilang dia egois karena cuma mikirin perasaan dia aja. T-tapi gue baru sadar kalo gue juga egois. Gue cuma mikirin betapa sakitnya gue dan ngerasa sebagai orang paling menderita. I failed to pick up Joohyun's sincerity. Yang lo ceritain, itu semua emang salah satu tempat yang pernah keluar dari mulut gue, but we only talked about it over lunch, dinner, going to work, or maybe just simply when we cuddle and had quality time. Joohyun dengerin semua hal yang keluar dari mulut gue, padahal itu cuma obrolan ringan aja bagi gue.”

Seungwan menyeka air matanya untuk sejenak, kemudian memberi sedikit jeda sebelum ia menatap Yerim dengan lekat.

“G-gue nggak ngerasa pantes buat Kakak lo setelah apa yang dia lakuin buat gue. Lo liat kan yang kejadian tadi malem? Gue bakal gitu terus Yer. Bahkan disini…” Seungwan menunjuk ke pelipisnya, bermaksud untuk menunjukkan pada isi kepalanya.

“Bahkan gue masih sering mikir hal yang nggak-nggak. Gue masih se-insecure itu, gue masih negative thinking sama banyak hal. Gue masih marah gak tau sama siapa. I'm a defected goods and Joohyun deserves someone better.”

“Hey… lo jangan ngomong gitu ya? Yang berhak nentuin siapa yang pantes sama Kakak gue, ya cuma dia doang dan kita semua tau siapa yang dia sayangin kan? Itu, lo Seungwan. It's okay kalau lo sekarang masih ada di titik ini. Tapi ayo, kita pelan-pelan maju ke titik yang lebih baik. Banyak yang mau bantu lo, Seungwan. Banyak yang sayang sama lo, jadi lo jangan ngerasa sendirian ya? Also, no one is a perfect goods. We are all defected, cuma maybe ada orang yang sadar dan ada yang belum sadar. Ada yang tingkat defect-nya tinggi dan ada yang rendah. That's life and it sucks. But once we overcome it, we can see the world in a brighter way.”

“Oh my God harusnya tadi gue rekam ga ucapan gue? Pasti Kakak gue takjub deh gue bisa bijak gini.” canda Yerim menutup ucapan panjangnya.

Namun candaan Yerim tidak digubris sama sekali oleh Seungwan. Suara tangisnya justru semakin kencang dan kini menarik perhatian Ojé yang terlihat terburu-buru berjalan keluar dari kamar yang pagi tadi ditempati oleh Yerim.

Ojé memberikan kode pada Yerim, menanyakan apa yang terjadi. Namun si bungsu hanya menggelengkan kepalanya, memberikan tanda untuk tidak bertindak apapun dan membiarkan Seungwan menumpahkan perasaannya malam itu.


23 Desember 2021

22.10

Hari itu merupakan hari ketiga Yerim menginap di apartemen milik Seungwan. Kali ini ia ditemani oleh Sooyoung dan Seulgi yang tadi menyusul setelah jam kerja usai.

Bukan tanpa alasan Yerim meminta Sooyoung menemani dirinya dan Seungwan. Menurut Yerim, Sooyoung adalah sosok yang tepat untuk dijadikan teman berbicara bagi Seungwan untuk saat ini. Ditambah Sam dan Ojé malam itu tidak bisa bermalam di apartemen Seungwan karena ada hal lain yang membutuhkan perhatian mereka pula.

Walau demikian, Yerim merahasiakan kejadian tempo hari dari Sooyoung dan Seulgi. Menurutnya jika Sooyoung dan Seulgi harus mengetahui hal tersebut, maka itu adalah hak dari Seungwan untuk menceritakan secara langsung.

Sore tadi berjalan cukup mulus bagi Yerim. Seungwan terlihat lebih ceria dengan kehadiran Sooyoung dan Seulgi. Mereka bahkan sempat bermain kartu dan menghadiahi yang kalah dengan hukuman.

Namun raut wajah Seungwan sedikit berubah tatkala Seulgi diharuskan untuk mengangkat telepon yang masuk dari Joohyun. Tentu saja Sooyoung juga menyadari hal ini namun tidak ada satu pun diantara mereka yang menanyakan hal ini secara langsung kepada Seungwan.

Barulah saat mereka bersiap untuk tidur, Seungwan dan Yerim tidur di kamar utama sedangkan Sooyoung dan Seulgi tidur di kamar tamu, Seungwan sempat mengutarakan perasaannya pada Yerim.

“Joohyun... apa hari ini dia ngekontak lo, Yer?”

Yerim tidak sampai hati untuk berkata bahwa kakaknya memang mengontak dirinya hari itu, akhirnya ia memilih untuk berbohong dan mengatakan yang sebaliknya.

“I see, mungkin dia sibuk. Gue aneh banget ya? Gue yang minta break tapi gue juga yang minta di kejar. Cuma, gue kangen aja sama kakak lo. Sorry Yer, kayaknya lagi moody aja gue.”

Namun senyuman getir yang ditunjukkan oleh Seungwan setelahnya sangat membekas diingatan Yerim. Ia kemudian menyampaikan hal ini pada Ojé dan sepupunya itu menyampaikan bahwa hal tersebut adalah wajar. Seungwan memang masih belum stabil.

Yerim menatap langit-langit kamar yang ia singgahi sembari sesekali melirik ke arah Seungwan yang terlelap disampingnya. Sahabatnya itu terlelap dengan sangat pulas, memeluk bantal yang biasanya digunakan oleh Joohyun. Ia pun menggunakan baju tidur milik Joohyun. Sebuah kesengajaan yang dilakukan oleh Seungwan dengan alasan ia ingin menghirup aroma tubuh Joohyun yang mampu memberikannya ketenangan.

“I never knew loving someone could be this hard for some people. I hope you two can go through all of this.” batin Yerim.

Time Spent Walking Through Memories part. 4-15

20 Desember 2021

Ting!

Dentingan suara elevator memenuhi indera pendengaran Seungwan, membuatnya tersadar untuk segera meninggalkan ruang sempit tersebut.

Dengan tangannya yang bergetar, ia berusaha secepat mungkin memasukkan angka demi angka password apartemen miliknya.

Instingnya membawa Seungwan berjalan menuju wine cellar miliknya dengan harapan jika ia mabuk malam ini, setidaknya ia bisa melupakan ingatan tentang percakapan antara dirinya dan kedua orang tuanya.

Ia bertanya-tanya, apa salahnya sehingga ia harus terlahir dari keluarga yang benar-benar berantakan seperti ini.

Flashback

Perhelatan malam itu telah selesai dengan sukses.

Sang solois berjalan dengan langkah tegap dan senyuman manis yang terpampang di wajahnya, melewati puluhan artis lainnya yang juga menghadiri perhelatan malam itu.

Mereka saling menyapa satu sama lain dan tak sedikit pula yang mengucapkan selamat pada Wendy atas kemenangannya. Sesampainya di ruang tunggu yang ia gunakan malam itu, Wendy disapa oleh teriakan antusias dari timnya. Make-up artist, hair stylist, fashion stylist, semua memberikan selamat padanya dan memeluk dirinya dengan hangat.

Tak lupa Wendy memberikan beberapa patah kata, sebagai rasa terima kasihnya pada tim yang selama ini berada di balik layar untuk mendukung dirinya. Matanya bergerak kesana-kemari, menatap satu demi satu timnya dengan harapan kata-katanya dapat tersampaikan dengan baik.

Ditengah-tengah pidatonya, mata Wendy bertemu dengan mata milik Sam dan pria itu mengacungkan ibu jarinya ke arah Wendy disertai dengan senyuman bangga.

Setelah ia selesai dengan pidato singkatnya, Wendy memeluk Sam dan membisikkan satu kata terima kasih yang paling tulus pada pria itu. Sam tersenyum dan membalas pelukan Wendy tak kalah erat. Entah kenapa hari ini Ia merasa Wendy lebih emosional.

“Foto dulu, terus upload di sosmed!” canda Sam saat mendengar rengekan Wendy untuk segera pulang.

Sang solois tertawa kemudian menatap piala yang ada di tangannya dengan penuh suka cita. Rasanya semua waktu, tenaga, dan biaya yang sudah dikeluarkan selama ini terbayar sudah.

“Oke! Tapi habis ini langsung pulang!”

“Ya, pulang ya. Bukan pulang terus mampir dugem.” goda sang manajer.

Wendy mendengus kesal saat ia melihat beberapa orang timnya tertawa. Ia kemudian mencari spot yang bagus untuk mengambil beberapa swafoto, sembari membiarkan timnya membereskan ruangan tersebut.

Tiga foto ia ambil, namun hanya ada satu yang akhirnya ia putuskan untuk ia unggah. Tak lama kemudian ponselnya mulai dihujani notifikasi-notifikasi dari sosial media miliknya serta beberapa pesan dari keluarga.

Ia tersenyum saat melihat pesan singkat dari Mamanya. Ini adalah kali pertama ia mendapatkan ucapan selamat seperti itu dan sontak dadanya seakan penuh dengan perasaan bahagia.

Matanya kemudian menemukan beberapa pesan singkat lainnya. Ucapan selamat dari Bunda, serta teriakan-teriakan dari Sooyoung dan Yerim di grup mereka.

Tepat saat ia hendak membalas pesan-pesan tersebut, ia mendengar suara bariton dari pria yang sangat ia benci.

“Seungwan…”

Napas Seungwan tercekat mendapati Papanya berdiri tak jauh dihadapannya bersama dengan wanita yang juga ia benci.

“Kalian udah gila?” desis Wendy.

Mata sang solois segera mencoba melihat sekeliling dengan khawatir.

“Papa harus seperti ini untuk bisa bicara dengan kamu.”

Saat itu sungguh rasanya ia ingin berteriak sangat kencang. Ada alasan mengapa ia sangat membenci Papanya dan hari ini ia kembali diingatkan tentang hal itu.

Rahang Wendy mengeras, tangannya menggenggam erat pialanya sampai-sampai ia dapat merasakan telapak tangannya yang mulai merasa sakit karena harus beradu dengan ujung-ujung tajam dari piala tersebut.

“Nggak ada yang harus dibicarakan lagi.” sergah Wendy yang langsung membalikkan badannya dan meninggalkan tempat tersebut.

Namun malam itu Tuan Son pun sama keras kepalanya dengan putrinya. Ia berjalan mengikuti Wendy menuju ruang tunggu walau Kathrine pun sudah menarik lengannya pelan, memberikan isyarat untuk meninggalkan Wendy malam ini.

Sementara itu sang putri mempercepat langkahnya meninggalkan Tuan Son dan Kathrine, bahkan jika bisa ia ingin segera meninggalkan tempat ini sekarang juga. Sayangnya, harapannya ini tidak terlaksana kala ia kebingungan melihat timnya menyapa dirinya dengan sedikit membungkuk seakan-akan segan terhadap dirinya.

Lagi-lagi suara bariton milik Tuan Son menyapa pendengaran Wendy.

“Tolong tinggalkan ruangan ini, saya ingin berbicara dengan Seungwan.”

Mendengar perintah tersebut, tentu saja otomatis mereka meninggalkan ruangan tersebut tanpa banyak bicara walaupun mereka sempat melihat ke arah Wendy dengan penuh tanya. Bukan rahasia bagi tim kecil ini jika hubungan Wendy dan Tuan Son tidak terlalu baik. Namun bukan itu saja yang membuat mereka bingung, melainkan kehadiran sesosok wanita lainnya yang tidak mereka kenali sama sekali.

“Bagaimana kabar kamu, Seungwan?” tanya Tuan Son membuka percakapan.

Rasanya Wendy ingin berteriak pada pria yang selama ini ia panggil Papa. Bagaimana mungkin dia datang seakan tidak terjadi apapun? Bukankah selama ini Wendy sudah cukup mengirimkan sinyal bahwa ia tidak ingin berurusan lagi dengan Tuan Son dan Kathrine? Bahkan pertengkaran hebat antara dirinya dan Joohyun disebabkan oleh dua manusia yang lagi-lagi tanpa ada aba-aba muncul di kehidupannya.

“Nggak cukup aku bilang kalau aku udah gak mau lihat wajah kalian lagi?” tanya Wendy tanpa menatap Tuan Son dan Kathrine. Ia lebih memilih untuk menyibukkan dirinya dengan merapikan barang bawaannya dan memasukkannya ke dalam tas yang ia bawa.

“Apa kabar Joohyun? Papa lihat hubungan kalian makin hangat.”

Miris.

Wendy menggelengkan kepalanya kecil. Sosok laki-laki ini benar-benar tidak mengenali putrinya sendiri.

“See? Pilihan Papa menjodohkan kamu dengan Joohyun tepat kan? Papa selalu mau yang terbaik untuk kamu, Seungwan.”

Ucapan Tuan Son memantik amarah yang sudah ditahan oleh Wendy. Sang putri memutar tubuhnya dan menatap Tuan Son dengan penuh kebencian.

“Stop! Hubungan aku dan Joohyun nggak pernah ada sangkut pautnya sama Papa! Fine! Papa memang orang yang ngenalin aku ke Joohyun dan menjodohkan kami. Tapi itu semua atas dasar paksaan dan rasa egois Papa! Jangan pikir aku nggak tau niat buruk Papa! Setelah aku kenal Joohyun, I understand how powerful her family is! Itu kan yang Papa incar? Seperti waktu Papa nerima perjodohan dengan Mama.” sergah Wendy.

“Dari awal Papa itu egois tau nggak? Papa nggak pernah dengerin siapapun! Papa nggak peduli sedikitpun sama aku! Papa tau aku punya trauma dan Papa tetap pilih untuk mengabaikan fakta itu! Bahkan Papa dengan egois tetep ketemu sama dia! You know I have a fucking trauma!” tambah Wendy yang kini menunjuk Kathrine dengan penuh kebencian.

“Bahkan ketika aku ngomong langsung di depan muka Papa, betapa aku nggak suka lihat pelakor ini ada di kehidupan kita, Papa tetap pilih dia daripada aku! Papa inget, siapa yang Papa belain di acara kantornya Joohyun? Papa inget siapa yang belain aku pas aku ditampar sama Papa di depan umum? It hurts me, Pa! Bukan tamparan Papa, tapi fakta bahwa waktu itu aku langsung tau siapa orang yang lebih berarti buat Papa.”

“Stop Seungwan, kamu nggak bisa bersikap keras kepala seperti ini. Selama ini kamu ingin jawaban dari Papa dan sekarang Papa siap untuk kasih semua jawaban itu sama kamu.”

Wendy mengeratkan genggamannya pada ponsel miliknya. Ia tahu jika ia tidak menggenggam ponselnya dengan erat bisa saja ponsel tersebut sudah ia lempar tepat ke wajah Tuan Son atau bahkan Kathrine.

“Yang kasih aku jawaban itu Joohyun! Dia yang selalu bantu aku menghadapi semua kegilaan Papa! Papa dan dia….” ujar Wendy menunjuk wajah Kathrine, “Kalian berhutang budi sama Joohyun. Joohyun orang yang mau ngertiin aku, dia mau reach out ke aku bahkan mau terima aku dan nolong aku even after she knows what happened to our family! Papa tau betapa sering aku malu sama Joohyun? Papa tau berapa kali aku nggak sanggup untuk natap Joohyun? atau Papa pernah mikir nggak sih kalau Papa itu juga egois sama Joohyun? Papa sengaja ngasih defected goods like me ke Joohyun, cuma buat bikin Papa puas aja bisa deket sama keluarga Joohyun yang powerful kayak gitu. You know you are nothing, Pa. You were something thanks to Mama.”

“Karena Papa udah egois selama ini, gantian aku yang akan egois. Kalau Papa bisa nggak peduli sama aku, aku juga bisa nggak peduli sama perasaan Papa. Stop dateng di kehidupan aku sama Joohyun. Stop berusaha reach out ke siapapun yang berhubungan sama aku. I am so fucking lucky, I met Joohyun and her family. So it is my responsibility to keep them safe from you. Kalau Papa masih berusaha egois dan melakukan hal gila kayak gini lagi, next time aku nggak akan segan pakai cara kasar.”

Wendy berjalan melewati Tuan Son dan Kathrine. Ia sudah terlalu muak berada di satu ruangan dengan kedua orang tersebut. Sejujurnya ia pun cukup takjub bisa bertahan selama itu di dalam satu ruangan yang sama dengan mereka.

“S-Seungwan…”

“Stop! Jangan pernah panggil namaku!” bentak Wendy tepat saat Kathrine berusaha menyentuhnya. Wendy menyentakkan tangannya yang hendak digapai oleh Kathrine.

“B-biarkan kami berusaha untuk memperbaiki ini semua, S-Seungwan.” pinta Kathrine dengan suara lirih.

Yang terjadi selanjutnya cukup mengejutkan Wendy karena Kathrine berlutut di depannya.

“K-Kami salah. Kami tau itu. Sekarang kami ingin memperbaiki ini semua, Seungwan. Papa kamu dan S-saya… kami ingin menebus kesalahan kami. Tolong beri kami kesempatan satu kali ini saja. Sudah cukup kami kehilangan adik kamu, sekarang kami tidak ingin kehilangan kamu juga, Seungwan.”

Ucapan Kathrine membuat napas Wendy tercekat.

Ia punya adik?

“Kalian gila. Kalian sungguh gila. Mungkin ucapan aku ini kasar, tapi beruntung dia sudah meninggal karena apa kalian bisa bayangin betapa anehnya keluarga dia? Ibunya menikah dengan pria lain dan Ayahnya juga sudah punya mantan istri. Kedua orang tuanya bahkan tidak pernah menikah. Lalu kakaknya? Seseorang yang punya banyak skandal dengan penyakit mental. Kalau kalian nggak mau datang pemakaman anak kalian untuk kedua kalinya, aku saranin gak usah pernah coba datang ke kehidupanku lagi. Udah tau kan aku hampir mati beberapa bulan lalu? Kalau kalian seperti ini terus, nggak menutup kemungkinan next time aku mati beneran.”

End of Flashback

Wendy menatap alkohol yang ada di genggaman tangannya sembari tersenyum miris. Mungkin memang lebih baik ia mati dulu baru Tuan Son akan paham betapa seriusnya ia dengan ucapannya.

”I guess, so…” ujar Wendy pada dirinya sendiri

Ia kemudian berjalan ke arah kamarnya kemudian mencari-cari obat tidur yang selama ini ia simpan disana. Sang solois bersimpuh di depan nakas yang terletak tepat di sebelah kasur miliknya dan tak butuh waktu lama baginya untuk menemukan obat-obatan tersebut karena memang ia cukup sering mengkonsumsi obat tersebut. Setelah menemukannya, Wendy kemudian membuka botol alkohol tersebut dan siap untuk menenggaknya namun matanya justru tertuju pada sebuah bingkai foto yang terletak di atas nakas.

Foto dirinya dan Joohyun saat perayaan hari anak. Mereka berdua terlihat sangat bahagia di hari itu. Tiba-tiba Wendy merasakan ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongannya dan dengan cepat ia mengalihkan pandangannya ke sudut lain dari ruangan tersebut.

Namun lagi-lagi ia justru melihat foto-foto lain dan memori-memori antara dirinya dan Joohyun.

”Saya sengaja taruh fotonya disini. Supaya pas kamu baru bangun tidur, langsung lihat wajah saya.”

”Foto ini lucu ya? Kayak simulasi waktu besok kita sudah benar-benar jadi keluarga kecil. Ada saya, kamu, dan nanti calon anak kita. Jujur saya takut hamil, jadi kayaknya saya milih adopsi anak aja deh hehe Kalau kamu gimana Seungwan?”

Seungwan.

Secara otomatis hatinya membandingkan dua perasaan yang jauh berbeda yang ia rasakan saat mendengar panggilan itu dari Papanya dan juga dari Joohyun. Betapa ia sangat membenci nama itu saat keluar dari mulut Papanya. Sedangkan ia justru sangat menyukai ketika mendengar panggilan itu datang dari Joohyun.

Ingatan-ingatan itu membuat Wendy merasa sangat bersalah pada Joohyun karena nampaknya ia akan mengingkari janjinya pada Joohyun.

Dengan tangan yang gemetar, Wendy meraih ponselnya dan menekan speed dial nomor satu miliknya yang langsung menghubungkan teleponnya dengan nomor milik Joohyun.

”Halo?”

“J-Joohyun…”

”Halo maaf ini siapa?”

Kening Wendy mengernyit. Suara ini bukan milik Joohyun. Siapa wanita ini? Jelas sekali ini bukan suara Jennie ataupun Minjeong.

Pikiran-pikiran negatif memenuhi kepalanya namun Wendy tahu, Joohyun tidak mungkin melakukan semua itu. Joohyun berbeda dengan Papanya. Joohyun tidak mungkin mengkhianati dirinya.

Tiba-tiba ia merasa mual saat kepalanya itu memutar kembali memori masa kecilnya namun kini bukan Papanya dan Kathrine yang ia lihat. Namun Joohyun dengan wanita asing itu.

Dengan cepat Wendy berlari ke arah kamar mandi untuk menumpahkan isi perutnya.

”Nggak mungkin… Nggak kan?”


“Wen? Wendy? Ini Taeyeon, Wen!” ujar Taeyeon pada interkom.

Ia bersumpah harusnya tadi ia tidak tinggal diam saat melihat Tuan Son masuk ke ruang tunggu milik Wendy. Harusnya ia tadi tidak melakukan interview singkat atas kemenangannya. Harusnya ia tidak meninggalkan Wendy sendirian.

Beberapa saat kemudian ia mendapati Sam keluar dari elevator dengan wajah yang sama khawatirnya dengan dirinya.

“Ini apa passwordnya?!”

Sam menggeleng, “Wendy baru ganti passwordnya dan dia rahasiain itu dari semua staffnya. Dia bilang dia nggak mau tiba-tiba ada yang masuk karena Irene juga sekarang tinggal sama dia.”

Taeyeon mengusap wajahnya dengan kasar. Ia kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi Ojé serta Yerim secara bergantian.

“Dimana?!”

Namun belum sempat ia mendengar jawaban, Taeyeon mendengar suara elevator berdenting sekali lagi dan membuatnya mengalihkan pandangan untuk sejenak. Sebuah helaan napas penuh syukur keluar dari mulutnya setelah melihat Ojé dan Yerim berjalan keluar dari elevator tersebut.

Taeyeon dan Sam yang berdiri di depan pintu apartemen Seungwan langsung memberikan ruang bagi Ojé untuk memasukkan password pintu tersebut.

“Kok lo disini?” tanya Yerim pada Sam, nada bicaranya sedikit ketus.

“Long story short, Seungwan hampir kabur kayak biasa. Tapi gue tadi sempet maksa dia buat gue anterin. Terus pas sampe di lobby dia langsung minta turun, ya gue kan harus parkir mobil dulu.” jelas Sam.

Beep!

Ojé dan Taeyeon langsung mendorong pintu apartemen setelah mendengar tanda bahwa password yang dimasukkan telah diterima. Tanpa sadar Ojé menghela napas lega saat melihat keadaan apartemen tersebut yang sangat rapi.

“Kak gue ke kamar Kak Joohyun.” ujar Ojé yang dibalas dengan anggukan oleh Taeyeon yang sudah berjalan terlebih dahulu ke studio musik pribadi milik Seungwan.

Yerim dan Sam memilih untuk menyisir daerah lain dari sisi apartemen tersebut. Entah mengapa insting Yerim mengatakan bahwa sahabatnya itu ada di kamar utama. Ia ingat betul kakaknya bercerita bahwa sejak hubungan mereka membaik, Joohyun dan Seungwan sudah berbagi kamar.

Si bungsu dari keluarga Bae berjalan dengan cukup terburu-buru sembari mengucap doa-doa kecil dalam hatinya. Memori tentang apa yang Joohyun ceritakan padanya beberapa bulan lalu cukup membuat dirinya bergidik ngeri dan ia berharap kejadian itu tidak terulang kembali.

“Girls!!”

Langkah kaki Yerim terhenti tepat di depan pintu kamar dan dirinya sedikit terkesiap ketika mendengar teriakan Sam dari area ruang makan.

“Be fast! Wine cellar punya Wendy kosong dua slot!”

Mendengar peringatan tersebut, Yerim langsung membuka pintu kamar tersebut. Matanya butuh waktu beberapa saat untuk beradaptasi karena ada perbedaan intensitas cahaya yang masuk ke matanya.

Namun saat ia melihat cahaya dari pintu kamar mandi dan suara samar seseorang dari dalam sana, Yerim langsung berlari ke arah kamar mandi tersebut. Ia bersumpah bahwa dirinya tidak pernah berlari sekencang itu.

”No…No…”

“Seungwan!”

Yerim bersimpuh di sebelah Seungwan yang sedang memuntahkan isi perutnya. Tangannya bergerak naik-turun di punggung Seungwan, berharap dapat memberikan kehangatan bagi sahabatnya itu.

“It’s okay, It’s okay. Ini gue, Yerim.” bisik Yerim yang sama sekali di hiraukan oleh Seungwan.

Tak lama kemudian ia menyadari satu botol alkohol yang tergeletak di dekatnya dan ada satu botol yang sudah kosong di dekat wastafel.

Jika tebakannya benar, Seungwan belum minum sedikitpun karena ia tidak bisa mencium bau alkohol dari tubuh Seungwan. Tetapi sahabatnya itu membuang cairan-cairan tersebut lewat wastafelnya.

Yerim menolehkan kepalanya saat ia merasa ada seseorang yang berdiri di belakangnya dan menemukan Taeyeon sudah berada disana. Ia memberikan tanda pada Yerim untuk tetap tenang sembari dirinya mengambil satu per satu botol-botol alkohol tersebut.

Namun mata Taeyeon membulat saat ia menyadari bahwa ada satu botol yang sudah kosong.

”Wastafel” ujar Yerim tanpa bersuara.

“Wan… udah ya. Lo dari tadi nggak muntahin apapun Wan.” ujar Ojé yang kini juga sudah berada di sana, ia bertukar posisi dengan Yerim.

“My head hurts. I keep hearing voices.”

Ojé menatap ke arah Taeyeon tepat saat mendengar jawaban dari Wendy.

“It’s okay, it’s okay. Itu semua nggak nyata. Yang nyata itu lo, gue, ada Yerim juga dan Kak Taeyeon. Kita yang nyata, okay? Suara itu nggak nyata.”

Wendy mengangguk. “Gue takut banget, jé. Gue pengen mati aja tapi gue juga takut mati. Gue nggak mau ninggalin kalian, gue nggak mau ninggalin Joohyun.”

“Seungwan, lo gak boleh mikir gitu. Jangan pernah mikir gitu!” ujar Yerim yang terkejut saat mendengar reaksi dari Wendy. Sangat wajar, ini adalah kali pertama Yerim menemui Wendy dalam keadaan yang demikian.

Suara Yerim menyadarkan Wendy bahwa saat itu adik dari Joohyun juga ada disana. Ia menatap Yerim dengan lekat, berusaha untuk mengucapkan kalimat selanjutnya.

“T-tadi gue denger suara cewek lain pas gue telpon Joohyun. Apa kakak lo udah muak sama gue juga ya?”

Yerim menggeleng cepat, kini ia pun terlarut dalam emosinya saat melihat kondisi sahabatnya yang seperti itu. Tak terasa tetes demi tetes air mata membasahi pipinya pula.

“Nggak mungkin. Kakak gue bucin banget sama lo! Dia sayang banget sama lo, Seungwan. Jadi stop mikir yang buruk, ya? Ojé bener, itu semua nggak nyata. Kita istirahat aja ya?”

Yerim dan Ojé hendak membantu Wendy untuk bangkit namun sang solois justru meronta dan menolak bantuan Yerim maupun Ojé.

“Please, Jé gue nggak mau tidur. Kalo tidur, gue bakal denger suara-suara itu lagi. Gue nggak mau mimpi buruk, jé. Gue capek.”

Taeyeon dan Ojé lagi-lagi kembali bertukar tatapan, membuat Yerim yakin bahwa kejadian seperti ini bukan yang pertama kali.

“Malem ini lo nggak sendirian, Seungwan. Ada gue, Ojé sama Yerim yang nemenin. Jadi lo istirahat ya? Kita bakal jagain lo, okay?” ujar Taeyeon yang mengambil-alih posisi Ojé.

Sementara itu Ojé justru keluar dari kamar mandi dan membuat Yerim hampir melayangkan protes. Namun tak lama kemudian ia melihat Ojé kembali memasuki kamar mandi tersebut bersama dengan Sam yang berjalan di belakangnya.

“Seungwan, sorry…” bisik Ojé

Yerim sudah hampir menanyakan maksud dari ucapan Ojé namun ia kemudian menyadari jarum suntik yang ada di tangan sepupunya itu dan malam itu untuk pertama kalinya Yerim harus melihat Wendy dalam kondisi terburuknya.

Queendom Restaurant

115. Lean on Me

“Queen poppy percaya kalau semua trolls bisa hidup berdampingan. Maka dari itu dia memutuskan untuk berkelana-..”

“Bercelana?”

Seungwan tertawa kencang, “Bukan bercelana, tapi berkelana. Uhm, apa ya….Oh itu pergi bertualang.”

“Bertualang?”

“Iya!”

“Kayak dora?”

Lagi-lagi Seungwan tertawa mendengar ucapan Minjeong.

beep!

Ekspresi di wajah Minjeong berubah menjadi sangat cerah, seakan-akan seperti sebuah kota yang baru saja mendapatkan suplai listrik sehingga kini menjadi cerah terang benderang.

“MAMI!!!!” pekik Minjeong.

Si gadis mungil dengan sigap bangkit dari posisi tidurnya, sedikit kesulitan untuk keluar dari tenda buatan Seungwan, lalu berlari dengan kecepatan penuh ke arah pintu masuk.

“MAMI!!”

Minjeong kembali berteriak sembari berlari ke arah Joohyun. Gadis mungil itu menghambur tepat ke pelukan sang Ibu dan memeluk pinggang Joohyun dengan erat.

“Hey, sayang.” sapa Joohyun sembari balas memeluk putrinya dengan tak kalah erat.

Diciumnya puncak kepala Minjeong dengan hangat, wangi sampo stroberi menyapa indera penciuman Joohyun.

“Minjeong kangen, mi.”

“Iya, Mami juga kangen banget sama Minjeong. Ayo ini di lepas dulu, Mami nggak bisa jalan kalau gini.” ujar Joohyun pada putrinya yang masih bergelayut manja bak anak koala dengan induknya.

“Minjeong, sini dulu. Kasian Mami Joohyun kan capek baru pulang.” panggil Seungwan yang berusaha membantu Joohyun agar bisa terlepas dari pelukan Minjeong.

“Nggak mau! Nanti Mami pergi lagi.”

Baik Joohyun maupun Seungwan otomatis melempar pandang, sama-sama memahami kekecewaan yang tersirat dalam ucapan Minjeong.

“Mami janji nggak pergi lagi hari ini.”

“Bener ya?”

“Iya, sayang. Tapi Mami mau mandi dulu, Minjeong tunggu di tenda sama Wannie ya?” bujuk Joohyun.

“Tapi nanti Mami harus bacain Minjeong olls!” tawar Minjeong.

Joohyun menatap putrinya dengan bingung, namun Seungwan dengan cepat memahami maksud dari Minjeong barusan.

“Trolls, bukan olls.”

“Ahh, Trolls. Okay. Mami janji.”

Mendengarkan janji yang diucapkan oleh sang Ibu, perlahan Minjeong melepaskan pelukannya.

Joohyun mencium puncak kepala Minjeong satu kali lagi sebelum ia pergi menuju kamar tidurnya. Sementara itu, Minjeong masih dengan sigap memperhatikan gerak-gerik Joohyun, seakan-akan takut kalau Joohyun tiba-tiba memutuskan untuk pergi tanpa dirinya lagi.

“Minjeong, Mami Joohyun cuma mandi sebentar aja. Ayo kita balik ke tenda, tadi sampai mana ya ceritanya?” tanya Seungwan sembari mengangkat tubuh Minjeong dan mendekapnya dengan erat. Sementara itu Minjeong mengalungkan tangannya di leher Seungwan.

“Tadi Queen Poppy jadi dora!”

Lagi-lagi Seungwan dibuat tertawa oleh Minjeong, ia sudah tidak memiliki tenaga untuk membenarkan ucapan si gadis cilik. Sejak kapan Queen Poppy jadi dora? Well, mungkin di dunia imajinasi Minjeong, Queen Poppy dan Dora bertetangga.

“Yeah, Queen Poppy jadi dora. Uhm, terus Queen Poppy akhirnya pergi sama temannya.”

Seungwan terus melanjutkan kisah Trolls sembari melangkah menuju tenda mereka.


Joohyun dan Seungwan sama-sama tertawa kecil saat mendapati Minjeong tertidur pulas di dalam tenda buatan Seungwan tersebut. Si gadis mungil itu terlelap bersama dengan Mr. Frog yang ada di pelukannya.

Awalnya Minjeong sangat bersemangat ketika melihat Maminya sudah selesai mandi dan beres-beres. Ia langsung menarik Joohyun untuk ikut masuk ke tenda minimalis yang sudah dihuni oleh dirinya dan Wannie. Tentu saja Joohyun meladeni permintaan putrinya itu walau dengan sedikit kesusahan karena tenda tersebut sudah cukup penuh dengan adanya Seungwan dan Minjeong serta beberapa teman boneka milik Minjeong.

Namun sang gadis cilik mulai mengantuk saat Joohyun mengambil alih tugas Seungwan untuk membacakannya buku cerita. Suara Joohyun dan wangi tubuh Maminya itu membuat Minjeong menjadi sangat rileks dan perlahan fokusnya berkurang, hingga akhirnya ia terlelap.

Sementara itu Seungwan pun mengakui bahwa suara alto Joohyun dan fakta bahwa saat itu ia terdengar sedikit serak, merupakan combo yang mematikan baginya. Ia merasakan hal yang sudah cukup lama tidak ia rasakan.

Ya, Seungwan tahu ia menyukai Joohyun. Namun hari ini ia baru menyadari bahwa ia menginginkan semuanya dari Joohyun dan timbul perasaan posesif, ia tidak ingin membagi Joohyun dengan siapapun. Ia tidak ingin posisi kosong yang saat ini sedang berusaha untuk ia isi harus ditempati oleh orang lain.

Tidak boleh.

“Dia kecapekan banget kayaknya.” bisik Joohyun, membuyarkan lamunan Seungwan.

“Iya, pasti sih. Seharian ini main terus soalnya.” jawab Seungwan yang juga ikut berbisik dikarenakan posisi mereka yang kini tengah mengapit Minjeong.

Joohyun mengangguk, kemudian tersenyum. Tangannya masih bergerak naik dan turun, membelai surai hitam pendek milik Minjeong.

Lagi-lagi Seungwan dipaksa untuk menelan ludahnya saat ia melihat detil wajah segar Joohyun yang tidak tertutup riasan. Jika Joohyun sudah terlihat cantik saat menggunakan riasan wajah, menurut Seungwan wajah Joohyun terlihat sepuluh kali lebih menawan dengan tanpa riasan. Memang dengan tanpa riasan, Seungwan dapat melihat kantung mata yang ada di wajah Joohyun. Namun, entah mengapa menurut Seungwan justru wajah Joohyun terlihat lebih cerah dan menawan.

Seungwan benar-benar diuji ketenangannya. Apalagi karena tenda tersebut tidaklah luas, ia dan Joohyun harus berhadap-hadapan dengan jarak yang sangat minim.

“By the way, kamu udah makan belum?”

Joohyun menggeleng pelan. Ia memang belum menyantap hidangan apapun karena tadi seusai menyelesaikan masalah dengan pihak manajemen gedung tempat penyelenggara acara rilis produk terbaru Baeuty, Joohyun tidak sempat berpikir untuk makan. Di kepalanya ia hanya fokus ingin cepat kembali bersama putrinya. Jadi walaupun Joohyun sempat menemani Sooyoung untuk mencari restoran, Joohyun sama sekali tidak menyantap makanan apapun. Terlalu sibuk melihat update tentang Minjeong melalui chat-chat dari Seungwan dan beberapa tweet sang Chef.

“Astaga, ini udah malam, Hyun. Aku masakin nasi goreng ya? Sebelum kamu protes, aku nggak repot kok. Aku bakal masak yang simpel aja, yang penting kamu makan.”

“No, Seungwan. Kamu udah capek banget seharian harus sama Minjeong.”

“Joohyun, aku emang capek. Tapi kalau aku bisa bantu kamu sekali lagi, aku bakal tetep bantuin kamu. Mengabaikan kesehatan kamu bukan pilihan bijak, apalagi Minjeong masih sangat butuh kamu. Jadi, aku masakin ya? Kamu tunggu disini aja sama Minjeong, nanti kalau udah siap aku panggil.”

Seungwan tidak menunggu jawaban dari Joohyun, ia langsung bangkit dari posisinya untuk keluar dari tenda minimalis tersebut.

Sebenarnya alasan lain mengapa Seungwan sangat keras kepala untuk membuat makan malam bagi Joohyun karena ia tidak yakin dirinya sanggup untuk berada bersama Joohyun di ruang sempit seperti itu lebih lama lagi.

Perasaannya semakin liar dan tidak terkontrol.

Setelah Seungwan meninggalkan tenda mereka, Joohyun menghela napasnya. Ditariknya Minjeong agar bisa ia dekap dengan lebih erat. Putrinya sempat menggeliat pelan, namun saat ia mendengar suara Maminya, Minjeong kembali terlelap.

Tangan Joohyun kini bergantian membelai rambut putrinya dan mengusap punggung Minjeong. Sesekali diciumnya puncak kepala putrinya yang lagi-lagi membuatnya menghirup semerbak sampo stroberi.

Joohyun tersenyum saat mengingat bahwa Seungwan tidak berbohong. Sang Chef benar-benar membuat Minjeong mau mandi sore dengan iming-iming tenda ini. Ibu satu anak itu tertawa pelan saat ia harus membayangkan Seungwan yang kesulitan membantu Minjeong mandi.

Jujur saja, Joohyun pun sampai saat ini masih memiliki momen-momen dimana ia harus kesulitan saat memandikan Minjeong.

“Seungwan ngerawat kamu dengan baik ya, sayang?” bisik Joohyun pada Minjeong.

Mata Joohyun memperhatikan setiap lekuk tubuh putrinya, mulai dari pipi gembilnya, bibir mungil yang saat ini sedang cemberut, tangan Minjeong yang memegang baju bagian depan yang digunakan oleh Joohyun. Semuanya tak luput dari perhatian Joohyun.

Ia akui, Joohyun sangat terbantu dengan kehadiran Seungwan. Tanpa Seungwan saat ini, mungkin Minjeong sudah merajuk pada dirinya. Biasanya Minjeong akan mogok bicara pada Joohyun jika Joohyun harus bekerja di hari minggu, namun faktanya saat ini tidak demikian. Biasanya juga, Joohyun sudah ikut terlelap bersama Minjeong karena energinya sudah habis ia gunakan untuk bekerja dan mengurus Minjeong.

“Tidur yang nyenyak ya, sayang. Besok pagi Mami mau denger semua cerita kamu.” ujar Joohyun pelan sembari memberikan kecupan singkat di kepala Minjeong.

Perlahan mata Joohyun kian memberat, rasa lelahnya yang tertumpuk seharian mulai menjalari tubuhnya dan posisinya bersama Minjeong saat ini membuat tubuhnya berteriak meminta istirahat. Namun Joohyun berusaha keras untuk tetap terjaga. Ia malu jika Seungwan harus menemui dirinya terlelap di dalam tenda ini bersama Minjeong.

Tepat disaat matanya hampir tertutup, Joohyun mendengar suara alto milik Seungwan yang ia sendiri tidak pernah sadar bahwa suara Seungwan bisa serendah itu.

“Hey, dinner is ready. Makan dulu, ya?” bisik Seungwan.

Kedua orang dewasa itu harus berusaha susah payah agar tidak membangunkan Minjeong. Saat Joohyun berhasil keluar dari tenda, mukanya merah padam ketika mereka berdua mendengar suara ’krek’ dari tubuh Joohyun. Sendi-sendi tubuhnya baru saja mempermalukan dirinya di depan Seungwan.

“FYI, tadi badanku juga kretek kretek kayak gitu kok.” goda Seungwan yang dibalas oleh Joohyun dengan satu pukulan ringan di lengannya.

Sesampainya di meja makan, tidak ada percakapan diantara mereka berdua. Seungwan memilih untuk diam agar Joohyun bisa menikmati makan malamnya. Lagipula ia sudah cukup puas memandangi paras cantik milik Joohyun. Sementara itu, perlakuan Seungwan justru membuat Joohyun salah tingkah. Akhirnya ia pun memilih untuk lebih fokus pada nasi goreng buatan Seungwan agar ia tidak perlu menatap sang chef yang duduk di hadapannya.

Setelah selesai di meja makan, Joohyun dan Seungwan sama-sama sepakat untuk duduk di sofa ruang tengah. Mereka berdua enggan untuk kembali masuk ke tenda. Untungnya pintu masuk tenda menghadap tepat ke arah sofa yang mereka duduki, jadi dua orang dewasa itu pun masih bisa melihat keadaan Minjeong.

“Gimana tadi? Masalahnya selesai?” tanya Seungwan, berusaha untuk memecah keheningan.

Sebut dirinya tidak tahu malu, tapi jika ia boleh jujur, Seungwan sengaja mengulur-ulur waktunya agar ia bisa berada di kediaman Joohyun lebih lama lagi. Ia masih ingin menghabiskan waktunya bersama Minjeong dan Joohyun.

Walau mungkin ia bisa beristirahat dengan nyaman setelah seharian ini sibuk bersama Minjeong, namun kembali ke unit apartemennya bukan pilihan yang menarik.

“Selesai nggak selesai sih.” jawab Joohyun yang kemudian sedikit berdeham karena suaranya yang serak.

“Someone’s been screaming a lot I guess?”

Joohyun tertawa pelan, “Nggak bener-bener teriak sih. Cuma tadi emang cukup intens.”

“Pasti sih, suara kamu aja sampai serak banget gitu. Kamu ada jeruk nipis nggak? Aku buatin perasan jeruk nipis hangat ya? Kalo nggak tenggorokan kamu bakal sakit banget besok pagi.”

Seungwan sudah hampir bangkit lagi dari tempatnya duduk, namun ditahan oleh Joohyun.

“Stay, udah kamu juga butuh istirahat Seungwan. Aku udah ngerepotin kamu terlalu banyak. Tenang aja, aku nanti bakal buat juga kok perasan jeruk nipisnya. I can take care of myself, wan. Kamu nggak perlu terlalu hectic gini.”

Lagi-lagi jawaban itu.

Disaat Seungwan merasa bahwa mereka sudah cukup dekat, Joohyun selalu mengeluarkan pernyataan yang membuat Seungwan merasa bahwa ternyata mereka tidak sedekat itu. Seakan-akan Joohyun selalu menutup pintu masuk yang sudah mulai terbuka.

“Hyun, kamu nggak pernah ngerepotin aku. Kalau aku repot, aku nggak akan nawarin diri untuk bantu kamu. Dan satu hal lagi, aku tahu kamu bisa urus diri kamu sendiri. Kamu udah lakuin itu bahkan jauh sebelum kita kenal satu sama lain.”

Helaan napas panjang terdengar dari mulut Seungwan.

“Aku cuma mau bantu kamu dan Minjeong. Aku kira selama beberapa minggu ini kita udah cukup deket? Tapi setiap aku mikir kayak gitu, kamu selalu buat statement yang bikin aku ragu. Tell me if I’m wrong, hyun. I just……” Seungwan berhenti untuk sejenak.

“Please let me in, aku mau jadi bagian dari kehidupan kamu sama Minjeong.” bisiknya dengan sangat pelan.

Bola mata Joohyun membesar saat mendengar ucapan Seungwan. Mereka berdua sama-sama tahu maksud dari ucapan Seungwan.

Jujur saja, ini bukan kali pertama ia mendengar ucapan serupa. Tidak jarang Joohyun harus berakhir dengan kekecewaan setelah ia mengizinkan seseorang untuk masuk dalam kehidupannya dan Minjeong. Pengalaman-pengalaman pahit tersebut membuat Joohyun cukup selektif dalam setahun ini.

“M-maksud kamu?”

Pertanyaan Joohyun menyadarkan Seungwan akan kalimat yang baru saja terlontar dari mulutnya. Ia pun ikut panik saat ia sadar bahwa apa yang ada di kepalanya benar-benar ia ucapkan pada Joohyun.

”Shit, Seungwan! Kenapa frontal banget?! Damn!”

Namun nasi sudah menjadi bubur. Seungwan pun tahu bahwa saat ini adalah momen yang akan menentukan apakah esok ia masih bisa hadir dalam kehidupan Minjeong dan Joohyun atau justru malam ini adalah terakhir kalinya ia bisa menginjakkan kaki di unit apartemen tersebut.

“I like you, Joohyun. Kamu dan Minjeong. Aneh ya? Aku baru kenal kalian beberapa minggu ini, tapi jujur aku udah ngerasa kayak aku kenal kalian dari lama. Aku seneng saat harus sibuk sama Minjeong, aku seneng bisa bantu kamu, aku seneng lihat kamu dan Minjeong. Aku tahu mungkin ini kurang ajar, tapi aku pengen bisa kayak gini terus atau bahkan lebih.”

“Seungwan, kamu nggak sadar akan apa yang kamu ucapin barusan. Kamu nggak sadar konsekuensinya…”

Joohyun tahu, ia pun tertarik pada Seungwan. Tawaran Seungwan barusan sangat menarik bagi dirinya, namun apakah itu semua adil bagi Seungwan?

Seungwan tersenyum ke arah Joohyun. Well, jika ia akan ditolak oleh Joohyun maka lebih baik ia mengatakan semua yang ada di kepalanya saat ini juga.

“Joohyun, pertama kali aku ketemu kamu aku langsung suka sama kamu. Call me shallow, tapi aku emang jatuh hati karena kecantikan kamu. But then, aku jatuh hati lagi sama kamu karena sikap kamu, saat aku lihat kegigihan kamu sebagai single parent. I am amazed. Lalu aku jadi kenal Minjeong lebih jauh lagi dan kemudian aku pun jatuh hati sama Minjeong. Kalian berdua ada untuk satu sama lain dan kalian berdua sama-sama berusaha semaksimal mungkin untuk nggak bikin beban baru buat kalian.”

“Lalu aku jadi sadar, bahwa aku ingin ada untuk kalian juga. Selama aku beberapa kali dititipin Minjeong, aku juga ngetes diri aku sendiri apakah aku sanggup untuk ambil sebagian pekerjaan kamu untuk ngurus Minjeong. Surprisingly, I managed it. Walaupun emang trial and error banget.” tawa Seungwan.

“Joohyun I like you and I know Minjeong comes in one package along with you and all the other responsibilities. Also yes, I heard the story of your past lovers from Minjeong and I am so sorry about that.”

Rahang Joohyun mengeras setelah ia mendengar pidato panjang dari Seungwan barusan.

“Let me in, Joohyun. Kalaupun bukan seperti yang aku bayangin, at least let me be there buat kamu dan Minjeong.”

“Seungwan...kamu nggak sadar apa yang kamu tawarin buat aku itu too good to be true. Let’s stop this, okay?”

Seungwan menggeleng. “I am fully aware, Joohyun. Mungkin belum semua responsibilities, but I am willing to learn along the way.”

“Kenapa aku? Seungwan, kamu bisa dapat orang yang lebih dari aku. Kamu bisa menjalin hubungan dengan orang yang single dan tanpa baggage kayak aku, kenapa aku? I have lots of damage, Seungwan.”

Suara Joohyun sedikit bergetar. Entah karena ia merasa malu, marah, atau hanya sesimpel ingin menangis. Semua yang terlontar dari mulut Seungwan sudah pernah ia dengar dari mulut orang-orang lain yang tertarik pada dirinya dan mereka telah mengecewakannya.

Joohyun takut dan tidak rela jika Seungwan pada akhirnya juga harus mengecewakan dirinya. Seperti apa yang Seungwan ucapkan pada dirinya, Joohyun pun merasa demikian. Beberapa minggu ke belakang merupakan hari-harinya yang sangat menyenangkan. Kehadiran Seungwan memberikan warna baru bagi kehidupannya dan kehidupan Minjeong.

Seungwan menarik tubuh Joohyun dan mendekapnya erat, kemudian di elusnya punggung Joohyun dengan pelan.

“Mungkin iya kamu punya damage, tapi itu menurut kamu. Menurut aku, kamu adalah sosok yang sangat mengagumkan. Ada orang lain yang juga pasti punya pemikiran yang sama kayak aku, Minjeong contohnya. You are brave enough to embrace your damage and stand strong with it. You take all the responsibilities by yourself, Joohyun, and I want to bear those responsibilities with you. Satu hal lagi, Minjeong bukan baggage. She’s your little star, isn't she? Aku lihat gambaran kalian, you called her that dan aku setuju. Minjeong is the brightest star.” ujar Seungwan yang masih mendekap Joohyun.

Perlahan ia melepaskan pelukannya dari Joohyun. Ia cukup terkejut saat melihat air mata mengalir pelan dari pelupuk mata Joohyun membasahi pipinya. Seungwan tersenyum, tangannya kini menangkup wajah Joohyun. Ibu jari Seungwan menyeka air mata Joohyun.

“Joohyun, I’m so sorry kamu jadi harus dengar ini semua disaat kamu lelah seperti ini. Tapi well, itu semua udah terlanjur aku omongin. Please, jangan jadikan ini beban ya? Kalaupun kamu tolak aku, it’s fine Joohyun. I just want to let you know what’s on my mind. Tapi aku serius sama omongan aku, I want to be there for you and Minjeong.”

Manik mata Seungwan menatap manik milik Joohyun dengan lekat di setiap ucapannya.

Tepat di akhir kalimatnya, barulah Seungwan merasakan kecanggungan di antara mereka.

”Damn, Seungwan. Kebiasaan banget sih blabbering!” rutuk Seungwan pada dirinya.

Dalam posisi canggung tersebut, Seungwan cukup bingung harus berbuat apa. Matanya berusaha mencari objek lain agar ia tidak menatap Joohyun terus-terusan. Akhirnya pandangannya jatuh pada jam dinding yang telah menunjukkan pukul sembilan malam.

Seungwan melepaskan tangannya dari wajah Joohyun. Tangannya menggaruk pelipisnya dengan kikuk. Sementara itu Joohyun justru menundukkan wajahnya, masih berusaha untuk berhenti menangis.

Namun tetesan demi tetesan terlihat jelas membasahi celana yang digunakan oleh Joohyun dan Seungwan melihat itu semua. Ia kembali berusaha untuk menengadahkan wajah Joohyun agar wanita itu menatap Seungwan saat ia akan mengucapkan kalimat selanjutnya.

“Hey, Joohyun please jangan nangis karena pikiran-pikiran negatif kamu ya? You’re worth it, Joohyun.”

Seungwan tersenyum, kemudian ia memeluk tubuh Joohyun sekali lagi dengan sangat erat. “You’re not alone, Joohyun.”

Setelahnya Seungwan memberanikan dirinya untuk memberikan satu kecupan singkat di kening dan pipi Joohyun.

Sementara itu, Joohyun memejamkan matanya saat Seungwan mengecup kening dan pipinya dengan hangat. Ada sebuah desiran di hatinya yang sangat menenangkan dirinya.

“You have me, you can lean on me, okay?” ujar Seungwan.

“Kayaknya aku lebih baik pulang sekarang ya? Udah malem. Maaf udah bikin kamu overthinking malem-malem gini. Lebih baik kamu istirahat aja, yang tadi nggak usah terlalu dipikirin, ya?”

Bila biasanya Joohyun lebih mendengarkan pikiran rasionalnya, namun malam itu sisi emosional dirinya yang memenangkan pertarungan. Seungwan telah berhasil meruntuhkan dinding rasional dalam dirinya.

Tepat disaat Seungwan hendak bangkit dari posisinya, Joohyun menahan lengan Seungwan. Ditariknya sang chef agar lebih mendekat dan Joohyun mendaratkan satu buah kecupan tepat di bibir Seungwan.

Hanya kecupan dari bibir ke bibir, tanpa ada lumatan sama sekali.

Mata Joohyun terpejam erat dengan air mata yang masih mengalir dan kini membasahi ciuman mereka berdua.

Seungwan awalnya cukup terkejut, namun ia kemudian menyadari arti dari tindakan Joohyun barusan. Perlahan matanya pun ikut terpejam.

Jemarinya berusaha melepaskan genggaman erat Joohyun pada ujung sweater yang ia kenakan dan menelisik diantara buku-buku jari Joohyun.

Ciuman pertama mereka malam itu terasa sangat emosional.

LOVE IS…

(part 3-1)

Bunyi peluit, langkah kaki yang berderap serta sahut-menyahut suara komentator memenuhi ruang keluarga yang dihuni oleh dua sosok perempuan dengan pose duduk yang terlihat sangat mirip.

Winata dan Thena.

Dua hawa yang sering kali disanjung oleh orang-orang karena paras mereka yang terlihat lebih muda dari umur mereka. Dua hawa yang menarik perhatian kaum adam dan hawa dengan sikap mereka yang sangat gentle dan cool. Dua hawa yang memiliki sexy brain dan sexy appearance, ketika mereka ingin tampil demikian.

Bak pinang dibelah dua.

Winata memandang layar televisi 55 inci yang terdapat di depannya dengan sangat serius. Alis matanya ikut mengkerut saking fokusnya ia terhadap layar televisi tersebut dan tanpa sadar Winata menggigit bibir bawahnya. Sementara itu ibu jarinya dengan lihai memencet tombol-tombol joy-stick dengan sangat cepat.

Pemandangan yang sama dapat dilihat pula pada sosok Thena yang duduk tepat di samping Winata. Hanya saja Thena sedikit lebih kalem, tidak terlalu banyak mengeluarkan suara-suara atau desisan dari mulutnya.

“Honey! Sayang! Dinner is ready!”

Terdengar sebuah teriakan dari ruang makan, namun baik Winata maupun Thena sama sekali tidak menggubris panggilan tersebut. Masih terlalu fokus pada pertandingan yang sedang mereka jalani.

“Honey? Sayang?”

Sekali lagi panggilan terdengar dari ruang makan dan sekali lagi panggilan tersebut diabaikan.

Tak kunjung mendapatkan respon, akhirnya sang chef memutuskan untuk mendatangi Istri dan anaknya di ruang keluarga. Mereka berdua harus punya alasan yang masuk akal untuk mengabaikan panggilannya barusan.

Ia menggelengkan kepalanya saat melihat Winata dan Thena sangat fokus pada layar televisi, yang bahkan jika boleh hiperbola, ia sedikit khawatir mata putrinya itu akan lepas dari rongganya.

Sejujurnya ia tidak kaget menemukan istri dan anaknya dalam keadaan demikian.

“Babies?! Kalian nggak denger kalau udah aku panggil?!”

“Honey, nanti dulu. Jangan ganggu tongtong dan aku dulu. Ini udah quarter terakhir.” ujar Thena merujuk pada dirinya dan Winata.

“Stop calling me tongtong!” protes Winata pada Thena yang menggunakan nama kecilnya itu.

“Sigh… kalian cepet selesaikan ini semua lalu setelahnya aku tunggu di meja makan. Nggak pake lama.” ujar sang chef yang kemudian kembali melangkah ke ruang makan.

Tak lama setelah perintah tersebut dilayangkan, Winata kembali bersuara. Kali ini lengkingan tinggi keluar dari mulut gadis mungil itu disertai dengan tubuhnya yang ambruk ke sisi sofa yang kosong.

Sementara itu Thena justru bangkit sembari memukul-mukul udara dengan joy-stick yang masih digengam erat oleh tangan kanannya.

“Aduh mana nih, Kapten tim utama basket putri SMA Pelita masa kalah?” cibir Thena yang berjoget di depan Winata kemudian mengacak-acak pelan rambut gadis kesayangannya itu.

“Idih beraninya pake joystick. Coba sini ayo main beneran pake teknik di lapangan beneran, udah pasti sih siapa pemenangnya.” balas Winata dengan bibir yang mengerucut, masih tidak terima akan kekalahannya.

Thena sudah membuka mulutnya, siap untuk menyerukan kalimat balasan, namun ponsel miliknya yang tergeletak di meja berdering kencang dan membuat perhatian Thena beralih pada ponsel hitam tersebut.

IGD

Winata tidak perlu mengkonfirmasi penglihatannya karena tak lama kemudian ia mendengar Thena menanyakan kondisi umum, atau KU, atas pasien yang baru saja masuk IGD.

Saat ini di hadapan Winata sudah bukan ibunya lagi, namun berubah menjadi Dokter Thena.

Seperti yang sudah-sudah, Winata mengambil joystick yang di taruh oleh Thena di meja. Kemudian dalam diam ia rapikan playstation mereka dan makanan-makanan ringan lainnya yang semula bergeletakan di meja tersebut.

Winata sudah khatam dengan kejadian-kejadian seperti ini. Sehingga tanpa diberitahu pun ia sudah mengerti bahwa game malam ini sudah berakhir bagi Winata dan Thena.

Sementara itu, melihat sosok putrinya yang langsung bergerak secara otomatis untuk menyelesaikan permainan malam ini dan membantunya merapikan ruang keluarga tersebut, Thena tersenyum ke arah Winata walau putrinya itu saat ini sedang membelakangi dirinya.

Thena berjalan ke arah Winata sambil tetap mendengarkan penjelasan dokter jaga melalui sambungan telepon. Dibelainya rambut Winata singkat dan tak lupa satu kecupan di pelipis ia berikan pada putrinya.

“Thank you, let’s continue this another day okay?” bisik Thena.

Hanya kalimat singkat yang Winata tahu bahwa mungkin another day yang dimaksud Thena bisa saja esok, minggu depan, atau bahkan bulan depan. Ia kembali fokus merapikan ruang keluarga tersebut, mematikan televisi dan perangkat elektronik lainnya serta memasukkan sampah-sampah pada tempatnya.

Sedangkan Thena sudah berjalan meninggalkan ruang tengah dan hilang menuju lantai dua tempat kamar tidur utama berada.

Setelah yakin bahwa ruang keluarga sudah rapi seperti sedia kala, Winata berjalan menuju ruang makan.

Hidangan makan malam sudah tersaji, terlihat sangat menggiurkan apalagi dengan aroma semerbak yang tercium oleh Winata.

“Mi, tupperware yang boleh aku pakai yang mana?” tanya Winata pada sosok Maminya.

Ia tahu bahwa tidak sembarang tupperware boleh dipakai, jadi lebih baik bertanya terlebih dahulu daripada harus mendengar celotehan panjang lebar dari Maminya.

”Hijau itu khusus untuk sayur-sayuran, vegan food. Orange khusus untuk makanan setengah jadi yang masih harus digoreng. Merah itu khusus untuk junk food”

Winata bergidik ngeri ketika ia mengingat bagaimana Maminya menceramahinya panjang lebar hanya karena perkara tupperware.

“Kamu mau makan di kamar?”

Winata menggeleng, “Bubu barusan dapat telepon dari IGD. Porsinya bubu mau aku masukin tupperware aja.”

Mulut Tiffany membulat, membuat huruf ‘o’.

“Jadi yang mana?” tanya Winata lagi.

“Udah kamu makan aja, biar Mami yang rapihin.”

Winata mengangguk pelan kemudian menarik kursi yang kosong. Ia duduk dengan tegap sembari mengambil nasi untuk dirinya dan kemudian untuk Tiffany. Tak lupa dituangkannya air mineral di gelas milik Tiffany sembari ia menunggu mamanya selesai memisahkan makan malam milik Thena.

Setelah lima menit berjalan mondar-mandir, akhirnya Tiffany selesai dengan tugasnya dan duduk tepat di hadapan Winata. Ia memimpin doa makan malam sebelum keduanya menyantap hidangan makan malam.

Sangat khidmat. Tidak ada percakapan di meja makan hanya terdengar dentingan pelan dari sendok atau garpu yang beradu dengan piring. Sesekali Winata menawarkan untuk mengisikan gelas Tiffany yang hampir kosong dan tentu saja Tiffany menerima dengan senang hati.

Lagipula siapa yang tidak senang jika diperhatikan oleh putrinya? Tentu bukan Tiffany. Apalagi putrinya itu memang sangat gentlewoman dalam memperlakukannya. Winata boleh saja terlihat seperti sosok yang jahil, bandel, asal-asalan jika ia bersama dengan orang-orang asing, tetapi Winata akan berubah seratus delapan puluh derajat saat ia bersama dengan orang-orang terdekatnya.

“Kamu mau nambah?” tanya Tiffany saat melihat piring Winata sudah hampir kosong.

“Nggak usah, mi. Kenyang.”

“Inget ya sayang, kamu udah mau turnamen kan? Jangan sampai kurang gizi. Kamu kan juga harus jaga stamina, itu nggak hanya bisa didapatkan dengan latihan fisik tapi harus juga didukung dengan asupan gizi yang baik.” ceramah Tiffany.

“Iya mii….” ujar Winata sembari mengunyah apel yang sudah dipotong oleh Tiffany.

“Ah, omong-omong. Gimana sekolah?”

“Gitu-gitu aja, dih ngapain nanya sih mi? Kan Mami bisa kepo sendiri?” tanya Winata.

Tiffany tertawa, matanya menyipit membuat bentuk bulan sabit. Eye smile kalau kata orang-orang.

Sementara itu Winata mau tidak mau ikut tersenyum kecil saat melihat tawa manis di wajah Tiffany.

“Beda dong sayang, kalau Mami kepo sendiri, sure Mami akan dapat datanya. Hitam di atas putih. Tapi yang Mami ingin tahu itu gimana perasaan Winata tentang sekolah. Itu nggak bisa Mami ketahui hanya dari hitam di atas putih.”

Winata berhenti mengunyah sebentar. Ia menatap Tiffany lekat, berusaha mengingat-ingat hal apa yang akhir-akhir ini sedikit berbeda baginya.

“Oh, ada sih.” ujar Winata santai namun memancing perhatian Tiffany.

“Ada nih satu guru, ngasih tugas dua minggu. Tapi tugasnya absurd banget.”

“Oh ya? Siapa? Mata pelajaran apa?” tanya Tiffany bersemangat.

“Literatur.”

Sebuah lap meja makan mendarat mulus di wajah Winata. Namun kali ini tawa Winata terdengar sangat kencang. Sedangkan Tiffany berdecak kesal karena baru sadar bahwa ia digoda oleh putrinya sendiri.

“Serius dong sayang!”

“Ih, ini serius! Aneh banget itu gurunya! Soal dari tugasnya itu cuma satu kalimat, tapi temen-temen aku yang ngerjain udah kayak mau bikin tugas akhir.” geleng Winata.

“Bagus dong? Temen-temen kamu serius ngerjainnya. Kamu sendiri gimana?”

“Belum ngerjain lah…..Argh!! Mami sakit!”

Winata mengelus-elus pinggangnya yang dicubit oleh Tiffany.

“Kamu tuh serius sedikit bisa nggak sih? Jangan kayak Bubu kamu deh, keseringan bercanda sampe kadang-kadang orang gak percaya pas dia serius!” omel Tiffany.

“Lah, aku tuh serius. Akhir-akhir ini sekolah ya gitu-gitu aja. Kalau Mami tanya ke aku gimana latihan untuk turnamen, baru aku jelasin panjang kali lebar.”

“Ya sudah, gimana persiapan turnamen kamu?”

“Seru banget! Akhirnya bu Yuri mulai masuk ke fase latihan tim dan strategi. Kemarin-kemarin latihan fisik terus, bosen banget. Oh! Tau nggak sih ma? Tempo hari kan aku latihan pagi sama temen-temen, ya kayak biasa itu. Terus si Prima cerita kalau kunci motor dia ketemu mi!” cerita Winata dengan bersemangat.

Tiffany mengangguk, tanda ia mengikuti cerita Winata. Memang minggu lalu Winata sempat bercerita kalau Prima, salah satu teman kelasnya sekaligus teman satu tim basket, sempat kehilangan kunci motornya setelah melakukan ‘tantangan’ untuk uji nyali di salah satu ruangan yang katanya paling berhantu seantero sekolahan.

“Oh ya? Ketemu dimana?” tanya Tiffany.

“Itu dia part paling seru! Prima bilang kuncinya dikasih sama pak satpam! Itu loh pak Ituk! Nah Pak Ituk bilang kalau dia lupa siapa yang kasih kunci, tapi dia bilang abis ngasih kunci terus anak cewek itu lanjut aja masuk ke sekolah! Padahal mi, pagi itu yang ada di sekolah cuma anak basket! Dan gak ada satupun cewek yang persis sama deskripsi Pak Ituk!!”

“Temen kamu yang lain kali, anak OSIS kan juga biasanya yang jaga gerbang pada dateng pagi?”

“Nggak ada mi! Kita tuh udah cek, pagi itu yang ada emang cuma anak basket. Lagian ya mi, kalau anak OSIS juga mereka gak bakal dateng ke sekolah jam 5 pagi!” sanggah Winata

“Prima kemaren udah hampir nangis sih, takut ketempelan katanya. Dia kan takut banget sama hantu-hantu kayak gitu.” tawa Winata.

Tiffany lagi-lagi tertawa, menggelengkan kepalanya mendengar cerita Winata yang di luar nalar.

“Turnamen tinggal sedikit lagi ya? Nanti Mami bakal paksa Bubu buat nonton. Dia udah ngelewatin porseni akhir tahun lalu.” ujar Tiffany tiba-tiba.

“Santai aja sih mi, Bubu kan sibuk. Lagian, Bubu juga kadang ngedrop makanan gitu kok buat tim.”

“Well, talking about your basketball career then. Sudah tau berita tentang seleksi pertukaran pelajar di akhir tahun ini?”

Winata mengangguk. Tentu ia tahu, berita itu sangat santer terdengar terutama di kalangan anak basket sekolahnya. Bagaimana tidak? Tahun ini pertukaran pelajar akan dilakukan dengan salah satu sister school SMA Pelita yang berada di Amerika Serikat.

Pertukaran pelajar tersebut akan dilakukan selama satu tahun dan selama satu tahun itu pula murid-murid SMA Pelita yang berangkat ke Amerika akan mendapatkan kesempatan untuk menempa personal skills mereka di sekolah tujuan. Bahkan sudah ramai terdengar bahwa mereka bisa mengikuti kegiatan tahunan klub sekolah tersebut, dalam hal ini bagi tim basket artinya mereka bisa ikut berlatih dan bahkan bertanding disana.

Bagi pecinta basket, bisa berlatih di negara paman sam itu adalah impian. Termasuk bagi Winata.

“I know.” jawab Winata mantap.

“So?”

“What?” tanya Winata.

“Kamu daftar kan? Itu kesempatan emas buat kamu, sayang. Disana kamu bisa berlatih basket dengan sarpras yang mumpuni, pelatih profesional dan rekan tim yang mungkin skillsnya di atas teman-teman kamu yang ada disini.”

Winata mengamini ucapan Tiffany barusan. Semua yang disampaikan Tiffany benar adanya, namun ia memiliki keraguan dalam hatinya.

“It’s just a hobby, Mi. Aku…..masih mikir lagi apa aku bakal serius disini atau nggak.”

Tiffany terkesiap mendengar jawaban putrinya. Sangat aneh baginya mendengar Winata berkata bahwa basket hanyalah sekadar hobby. Winata sudah menekuni olahraga tersebut sejak ia di bangku sekolah dasar, bahkan Winata dulu memohon agar dimasukkan ke klub basket terbaik di kota mereka. Jadi bagaimana mungkin basket hanyalah ‘hobby’ bagi seorang Winata?

“Sayang, what happened?” tanya Tiffany. Tangannya menggenggam tangan mungil milik putrinya dan diusapnya punggung tangan tersebut dengan ibu jarinya.

“Kalau kamu mikir masalah biaya, don’t worry. Thena kerja keras banting tulang, semua itu untuk kamu. Mami juga kerja, itu buat kamu. We have more than enough for us. Mami dan Bubu dari lama sudah punya plan keuangan buat kamu, sayang.” tambah Tiffany.

Winata tersenyum getir.

Memang permasalahannya bukan uang. Ia tahu betul bahwa kehidupan keluarganya jauh di atas cukup, bahkan sangat berlebih.

“Mi, kalau aku ikut dan ternyata aku lolos artinya pas aku balik sini aku harus extend satu tahun. Aku akan telat lulus SMA satu tahun, mi. I’m not so sure if that’s a good thing. Especially when I will pursue medical.” ujar Winata dengan sedikit berbisik di akhir kalimatnya.

“Hah? Apa kamu bilang? Medical? Kamu mau ambil kuliah kedokteran? Since when?” tanya Tiffany yang lagi-lagi terkejut.

“Mi, we both know Bubu dari dulu pengen banget supaya aku ikutin jalurnya Bubu. Personally, aku pun melihat itu salah satu occupation yang sangat possible buat aku. I’ve been living with all those medical terms and procedures for my whole life.”

Tiffany memejamkan matanya untuk menarik napas sejenak. Apa yang terlontar dari mulut Winata harus dibahas secara serius, oleh mereka bertiga. Tiffany pun sudah memutar otaknya untuk menginterogasi Thena, ia tidak mau Thena secara tidak sadar sudah ‘memaksa’ Winata untuk mengambil jalan yang tidak Winata senangi.

Namun saat ini, yang harus ia urus adalah Winata yang duduk tepat di hadapannya.

“Sejak kapan kamu mikir kayak gini? Sejak kapan kamu mikir kalau kamu pengen jadi dokter?” tanya Tiffany perlahan.

Winata hanya mengangkat bahunya, “Nggak tau. Tapi aku sadar kalau kayaknya aku udah mikirin tentang ini dari lama, secara gak langsung.”

“Kamu yakin mau menempuh jalur yang sama kayak Thena? It’s not easy, sayang. Bukan Mami meragukan kemampuan kamu, I’m sure secara otak dan fisik kamu pasti bisa. You inherit Thena’s and My brain. Tapi butuh waktu belasan bahkan puluhan tahun sampai Thena bisa ada di posisinya sekarang. Dari sekolah kedokteran sampai kamu bisa jadi dokter spesialis aja kamu sudah menghabiskan waktu lima belas sampai dua puluh tahun, are you sure?”

Winata hanya terdiam. Ia berusaha mengkalkulasi berapa umurnya saat ia selesai mengambil spesialis. Tanpa sadar Winata membulatkan matanya dan membuat Tiffany tertawa kecil.

“Exactly, itu aja kamu baru selesai spesialis.”

“Kamu yakin kamu akan enjoy dengan itu semua? Ini Mami bukan mau mematahkan semangat kamu, tapi Mami mau kasih kamu gambaran aja from someone who’s been with Thena since the beginning.” tambah Tiffany.

Memang betul adanya. Tiffany dan Thena sudah saling mengenal sejak di bangku SMA. Tiffany pula yang menemani Thena disetiap malam dimana Thena harus begadang atau hanya sekedar berkeluh kesah tentang teman-teman satu kampusnya yang menurut Thena cukup menyebalkan.

Ritual itu terus berlanjut bahkan hingga Thena lulus sekolah kedokteran dan mengambil koas serta residensi.

“Your bubu, Thena, she had to sacrifice her sleep and her personal time. Mami ada disana waktu Thena bahkan lupa makan, lupa mandi, lupa hari ulang tahunnya, lupa hari anniversary kami, lupa hampir segalanya. Not only that, sayang. Thena juga harus tebal telinga mendengar cacian dokter pembimbingnya karena mereka harus selalu perfect saat melakukan tugas mereka, as you know nyawa orang lain adalah taruhannya. Belum lagi kalau dia harus dealing with the family of the patient.”

Winata masih terdiam. Melihat hal ini, Tiffany kemudian melanjutkan ceritanya.

“Mami nggak akan sugar coating, ada saat dimana Thena bahkan berpikir kalau jadi dokter bukan jalan yang tepat baginya. Tetapi itu cuma pikiran sesaat aja karena dia benar-benar lelah. Setelah dia siap untuk bangkit, Thena selalu mencintai apa yang dia kerjakan. Dia enjoy her sleepless night, enjoy waktu dicaci sama dokter pembimbing dia dan bahkan enjoy ditelepon sama IGD di waktu-waktu yang nggak ‘tepat’.”

“Bottom line is, ketika kamu melakukan sesuatu yang kamu cintai, kamu pasti akan senang dan semua yang terlihat sulit pada akhirnya kamu lalui dengan enjoy. Sure akan ada waktu dimana kamu pengen nyerah tapi seperti yang tadi Mami ceritain, it just for a split second. Sekarang masalahnya apa kamu enjoy harus melewati jalan yang kayak gitu?”

Winata mengangkat bahunya, “Akan aku pikirin lagi.”

“Okay, tapi kamu nggak bisa kelamaan mikir ya. Ada tenggat waktu pendaftaran pertukaran pelajar yang menanti kamu. Mami cuma nggak mau kamu menyesal. Harus kamu ingat, hidup itu cuma sekali. Apa yang sudah terlewat nggak akan pernah bisa kamu ambil balik.” ujar Tiffany.

“Setiap orang itu kayak kereta api yang punya relnya masing-masing. Jadi Mami harap, kamu juga bisa tentuin kemana arah rel kamu. Nggak perlu nyontek rel punya siapapun. Bayangin aja kayak dulu pas kamu kecil main lego and I remember you’re so creative when you do so.”


Winata berbaring menatap langit-langit kamarnya. Ucapan Tiffany di ruang makan tadi masih membekas di memorinya.

Jika ia boleh jujur, saat ini dirinya benar-benar sedang hilang arah.

Di satu sisi, ia sangat mencintai basket. Namun ia ragu apakah basket bisa menjamin hidupnya untuk selamanya? Karena sejak pertama kali ia mencintai basket, Winata selalu mendapat support dari orang tuanya, termasuk support finansial. Tetapi hal itu tidak bisa terus berlanjut untuk selamanya bukan?

Namun di sisi lain, Winata hampir tidak ada gambaran ingin mengambil jalan hidup seperti apa selain basket dan kedokteran. Seperti yang ia ungkapkan pada Mamanya, seumur hidupnya Winata juga melihat bagaimana Thena sibuk kesana kemari, bangun di jam-jam yang aneh karena ada panggilan mendadak dari rumah sakit. Bahkan terpaksa meninggalkan acara-acara penting karena ‘dipaksa’ oleh pekerjaannya itu.

Winata juga ingat bagaimana rasa kesal yang ia rasakan atau bagaimana raut kekecewaan yang terbesit singkat di wajah Tiffany. Contoh paling mudah, tadi saat ia sedang bermain dengan Thena, Bubunya harus meninggalkan quality time keluarga mereka dan bahkan melewatkan makan malam bersama.

Sang gadis berambut pendek terperanjat saat ponsel yang ia letakkan di dekat kepalanya tiba-tiba berdering. Satu panggilan masuk dari Karina.

Winata menaikkan alisnya, tumben Karina langsung meneleponnya tanpa meninggalkan pesan terlebih dahulu.

Jari telunjuknya menggeser tombol untuk menerima panggilan tersebut.

”Win, kalo aku ngasih tawaran ke kamu buat nemenin aku malem ini mau nggak?”

“Hah? Salam dulu kek?”

”Assalamualaikum, Shalom, Om Swastyastu, Namo Buddhaya. Jadi gimana? Mau nggak?”

“Tck… Kemana Rin?” tanya Winata, matanya melirik ke arah jam dinding.

Pukul delapan lebih lima menit.

”Nggak tahu, hehe. Ya kalau boleh jujur sih, ini impromptu banget.”

“Pasti ditinggal ngedate sama nyokap ya?” goda Winata.

”Benar sekali bestie, jadi gimana? Mau nggak? To be honest kamu orang pertama yang aku telepon, soalnya rumah kamu paling deket.”

“Ya iyalah Karinaaaa! Rumah ku bener-bener cuma beda jalan doang ya!”

”Hehe jadi gimana? Ayo dong temenin. Muter-muter aja deh kalo males nongkrong. Mumpung dibolehin Mama buat bawa mobil nih.”

Winata berpikir sebentar, sebenarnya ia agak enggan pergi karena malas harus mandi lagi malam-malam setelah pulang menemani Karina. Namun disisi lain, nampaknya ia butuh tempat untuk bercerita.

“Okay, aku mau siap-siap dulu kalo gitu.”

”Gak usah Win! Ini aku udah di depan rumah kamu! Ke balkon deh!”

Sang gadis berambut pendek turun dari kasurnya dan berjalan ke arah balkon. Seperti yang dikatakan oleh Karina, ia sudah sampai di depan rumah Winata. Gadis berambut hitam legam itu berdiri di samping mobil mini cooper milik Irene sembari melambaikan tangannya pada Winata.

”See? Aku cuma pake celana training, hoodie, sama topi nih! Jadi kamu juga nggak usah dandan ya! Cuma aku doang ini!”

“FYI ya rin, hoodie yang kamu pake itu hoodie kesayanganku yang udah gak balik ke aku hampir satu tahun.” jawab Winata malas, namun berbanding terbalik dengan apa yang ia katakan, sebuah senyuman tersungging di bibir nya saat mendengar jawaban dari Karina.

”Well, what should I do? Ini juga hoodie favorit aku sekarang.”


Malam itu akhirnya Karina dan Winata memilih untuk drive thru makanan cepat saji kemudian berkendara keliling jalan tol dalam kota dan kini berakhir di Bandara Internasional yang berada di ujung kota mereka.

Lucunya, baik Karina dan Winata sama-sama tidak berdiskusi terlebih dahulu tentang tujuan akhir ini tapi keduanya yang mengerti satu sama lain seperti sudah bertelepati. Sehingga saat Karina melajukan mobil milik Irene keluar dari tol dalam kota dan berbelok ke arah Bandara Internasional tersebut, Winata hanya bisa tertawa kencang.

“Rin, sumpah aku juga tadi mau nyaranin kesana!”

Begitu ujar Winata sekitar satu jam yang lalu.

Keduanya kini tengah duduk di salah satu coffee shop di salah satu terminal Bandara tersebut. Coffee shop favorit mereka karena dari sini mereka bisa melihat pesawat yang take-off dan landing, serta pesawat-pesawat yang lewat untuk taxing dan parkir.

“Sumpek di rumah ya mblo?” goda Winata.

“Hey, ngomong sama kaca. Kalo kamu nggak bosen, gak mungkin kamu nerima ajakan aku.”

Winata mengangkat bahunya, “Aku emang cuma mau nemenin kamu.”

Jawaban santai dari Winata membuat Karina terdiam. Setelah percakapan antara Winata dan Karina tentang tugas literatur mereka, Karina akui ia jadi lebih memperhatikan Winata dan hal itu justru membuatnya canggung. Ia baru menyadari perlakuan spesial yang Winata lakukan terhadapnya jika dibandingkan dengan teman-teman lainnya.

Baru beberapa hari yang lalu, ia juga menyadari bahwa Giselle dan Ningtyas selalu menggoda Winata secara implisit dan bagaimana Winata selalu mengalihkan pembicaraan.

Apakah Winata menyukai dirinya?

Namun Karina ragu karena seingatnya sikap Winata memang selalu seperti itu padanya sejak pertama mereka saling berkenalan.

“Woy, jangan ngelamun sih?”

Tangan Winata menyentil dahi Karina pelan.

“Hih! Gak usah sok cool, aku tau kamu orangnya mageran jadi kalau mau diajak pergi tiba-tiba pasti ada alasannya.”

Winata mengangguk mengiyakan.

“Rin, menurutmu aku bakal jadi apa?”

“Hah?”

“Iya, menurutmu pas aku gede nanti aku bakal jadi apa?”

Karina menatap Winata dengan heran.

“I’m confused, Rin. Tau pertukaran pelajar ke Amerika akhir tahun ini?”

Karina mengangguk mantap, “Kamu daftar kan, Win?”

Sang gadis berambut hitam legam itu terkejut saat melihat Winata hanya mengangkat bahunya dan mendesahkan napas panjang.

“Kenapa? Itu kan kesempatan emas buat kamu? You can pursue basketball more professionally there, right? Jujur Bu Yuri udah ngasih data ke OSIS dan sekolah tentang nama-nama anak basket yang dikasih rekomendasi untuk pertukaran pelajar itu, nama kamu ada disana Winata.”

“Hey, curang banget ngasih bocoran info!”

“Well, sorry kelepasan. Tapi serius deh, kenapa mikir dua kali buat daftar?”

Winata menghela napasnya panjang. Ia kemudian menceritakan kepada Karina tentang kekhawatiran-kekhawatirannya termasuk hal-hal yang tadi juga ia sampaikan pada Maminya.

Sepanjang cerita, Karina mendengarkan dengan sangat atentif. Ia mengangguk dan mencatat beberapa hal di kepalanya untuk ditanyakan kepada Winata. Karina sengaja membiarkan Winata menceritakan semua hal yang mengganjal tanpa menyela pembicaraan sedetik pun.

“So, yeah aku bingung, Rin. Makanya aku tanya kamu, menurut kamu aku bakal jadi apa? Karena selain orang tua aku, kamu salah satu orang yang selalu lihat perkembangan aku dari dulu banget, your input means a lot for me.”

“Jadi Polisi, Win.” jawab Karina.

“Hah?!” secara reflek Winata berteriak saking terkejutnya ia.

“Iya, jadi Polisi. Soalnya kamu bawel, nyebelin, tapi suka ada dimana-mana. Cocok kan? Mirip tuh kayak polisi yang suka nilang di jalan.”

Winata memukul lengan Karina sebagai bentuk protesnya.

“Serius dong!”

“Kaget kan? Makanya ngapain denger omongan orang? Mereka bisa aja asal ceplos sesuatu hal hanya karena mereka bayangin kamu cocok ada disitu, tapi emangnya mereka kenal kamu? Nggak Win. Yang bener-bener kenal kamu, cuma diri kamu sendiri.”

“Rin, serius kek. Tahun depan kita udah tahun terakhir di SMA. Setelahnya kuliah. Nggak ada waktu buat bercanda.”

“Oh my god?! Nggak ada waktu buat bercanda? Coming from Winata? Sumpah sih, ini kamu kesambet kayaknya.” goda Karina lagi.

Winata hanya memutar kedua bola matanya.

“Lagian bisa-bisanya ngide pengen jadi dokter. Inget nggak waktu Mas Adam patah tulang? Muka kamu langsung pucet banget!” ujar Karina meruju pada kejadian tahun lalu saat Adam, mantan Kapten Tim basket putra mengalami kecelakaan di pertandingan.

Si gadis berambut pendek bergidik ngeri.

“Stop bahas patah tulang deh.”

“See? Mana ada dokter nolak bahas tentang patah tulang? Coba deh Win, apa mungkin sebenernya kamu cuma takut buat ada di negara orang sendirian?”

Winata menggeleng, “Aku udah pernah ikut camp di Singapura, remember? I was fine.”

“Iya sih, tapi itu kan cuma satu bulan. Yang ini satu tahun, beda jauh loh. Mungkin kamu secara gak sadar takut akan hal itu?”

“Aku nggak takut pergi lama, asal orang-orang yang aku tinggalin nggak ngelupain aku. Asal mereka mau nunggu, aku akan cari cara supaya terus ada buat mereka dan buat mereka nggak lupa sama aku. But you knows, sometimes it is not enough.”

“Idih, ngomongnya udah kayak orang mau LDR.”

“In a way, Iya kan, Rin? Kalau aku tanya kamu, mau nggak nungguin aku satu tahun?”

Mata Winata menatap Karina dengan lekat. Seolah-olah mencari jawaban atas kebimbangannya.

Kali ini tatapan Winata dibalas tak kalah lekat oleh Karina. Ia memberanikan diri untuk menggenggam tangan Winata yang ada di atas meja.

“Win, kamu dulu mau nemenin aku waktu keadaan mental aku lagi buruk, tanpa aku minta. Kamu ada disana buat aku, kapanpun aku butuh kamu. Jadi, nunggu kamu cuma satu tahun, itu masih belum sepadan sama yang kamu lakuin buat aku waktu itu

“Win, waktu itu kamu bilang kalau aku udah tau my own definition of love, I should tell you right?” sambung Karina yang dibalas dengan anggukan oleh Winata.

“Sama kayak kamu, menurutku I know I love that person waktu aku ngelihat orang yang aku suka tersenyum lebar. Waktu aku lihat mereka bahagia. Waktu aku berani do something buat mereka. Waktu aku ngeluarin usaha terbaikku untuk mereka.” ujar Karina.

Sekelebatan memori tentang Irene, tentang Wendy, dan tentang Winata berputar di otaknya seperti satu film yang sangat indah bagi Karina.

Mereka semua adalah sosok yang sangat penting bagi Karina dan ia tahu, ia sadar bahwa ia mencintai mereka semua.

Karina pun sadar, ada banyak memori tentang dirinya dan Winata yang sangat spesial baginya. Yang bahkan mengalahkan memorinya bersama Irene dan Wendy.

Mungkin untuk saat ini ia masih belum tahu dimana posisi Winata dalam hatinya, apakah sama seperti bagaimana Winata memberikan tempat spesial di hati Winata. Namun Karina tahu bahwa ia menyayangi Winata.

“Kamu boleh ejek aku terlalu percaya diri but, the person that you talked about, the person that you imagine when you define what is love, is that your parents and....me?” tanya Karina.

Mata Winata membulat, napasnya sempat tercekat untuk sesaat. Namun saat ia melihat pandangan teduh yang diberikan oleh Karina padanya, Winata menjadi lebih rileks.

Memang Winata tidak memberikan jawaban atas pertanyaannya, tetapi Karina mengenal sosok Winata. Gestur tubuh Winata sudah lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaannya barusan.

“I love you, Win. I don’t know what kind of love, yet. But I know I love you. Nunggu kamu satu tahun itu bukan apa-apa buatku. Bahkan kalaupun kamu akhirnya milih jadi dokter, nemenin kamu sampai kamu bisa mewujudkan cita-citamu itu pun bukan masalah buatku.”

LOVE IS…

(part 2)

Siang itu cuaca cukup cerah, tidak terlalu terik namun juga tidak mendung, sedikit berawan ditemani dengan angin semilir. Sangat cocok digunakan untuk tidur siang, apalagi jika rumah yang disinggahi memiliki halaman belakang yang luas dan teduh. Sayangnya hal ini tidak berlaku bagi Karina sekarang.

Si gadis SMA kini tengah termenung. Mungkin sekilas ia terlihat sedang memperhatikan Mamanya yang sedang mengurus bunga-bunga di halaman belakang, namun sejatinya isi kepala Karina sedang tak karuan. Jadwal ulangan mulai menumpuk, kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler pun mulai aktif kembali, jangan tanya tentang tugas karena hal ini sudah wajib adanya. Secara ringkas, hari-hari Karina mulai sibuk kembali.

“Kamu ngapain bengong jam segini?”

Irene melepas sarung tangan yang ia gunakan lalu duduk di sebelah Karina dan menuangkan dirinya secangkir teh dari teko yang sudah disiapkan oleh anaknya.

“Pusing, Ma.”

“Kalo sakit, istirahat. Kalo capek, ya istirahat juga.” ujar Irene dilanjut dengan tawa. “Emang pusing kenapa sih? Tumben sampe segininya?”

Karina menghela napasnya. Ia mengambil cangkir teh yang ada di tangan Irene lalu di taruhnya cangkir tersebut di atas meja. Kemudian sang anak semata wayang merebahkan kepalanya di paha Irene yang secara otomatis mengelus rambut Karina dengan penuh kasih sayang.

“Biasa sih ma sebenernya. Sekolah, Ekskul, Tugas.”

“Okay, yang bikin beda terus apa?”

“Ada satu tugas yang akhir-akhir ini bikin aku mikir ekstra.”

Irene menepuk pipi Karina pelan kemudian ia cubit dengan agak kencang, saking gemasnya ia pada putrinya itu.

“Ma! Sakit!!” protes Karina.

“Maaf, pipi kamu lucu banget deh. Mirip banget sama pipi mommy kamu, jadi pengen Mama gigit, boleh nggak?”

Mendengar pertanyaan Irene, Karina langsung bangkit dari posisinya dengan tatapan horor.

“Nggak mau! Mama tuh kalo gigit pipiku serius!”

Irene tersenyum dan kembali tertawa. Tangannya menarik bahu Karina, meminta agar putrinya kembali berbaring seperti sebelumnya.

“Bercanda, sayang. Tapi bagian yang Mama bilang pipi kamu lucu, itu beneran. Pipi kamu mirip Wendy, itu juga serius.”

“Mana ada! Orang-orang tuh bilangnya aku lebih mirip Mama daripada Mommy.”

“Gitu ya? Soalnya mereka nggak kenal kamu atau keluarga kita. Coba kamu tanya sama orang yang kenal kamu, pasti setuju sama Mama. Nggak percaya? Coba tanya Winata.”

Winata.

Sudah hampir seminggu sejak terakhir kali Winata mengunjungi rumahnya dan membicarakan tentang tugas mereka.

Sudah hampir seminggu pula kepala Karina dipusingkan dengan jawaban dari pertanyaan ’Apa itu Cinta?’ dan sampai sekarang ia masih belum mendapatkan jawaban yang memuaskan bagi dirinya.

Sudah hampir seminggu pula Karina memperhatikan tindak tanduk Winata di sekolah. Jujur saja, jawaban Winata minggu lalu cukup menarik perhatiannya. Apalagi menurut Karina jawaban Winata hampir seperti Winata yang tengah menjelaskan isi hatinya saat itu.

Selama ini Winata tidak pernah menunjukkan ketertarikannya pada laki-laki atau perempuan manapun. Ada, tapi semuanya adalah ’public figure’ yang Karina yakin bahwa ketertarikan yang Winata tunjukkan lebih pada rasa kagum bukan rasa…..tertarik pada pasangan.

“Bengong lagi kan.” Irene kembali mencubit pipi Karina.

Karina mengerucutkan bibirnya.

Winata nanti dulu, tugasnya nomor satu.

“Ma, bantuin jawab tugas ku dong?”

“Tugas apa?”

“Literatur.”

Irene menatap Karina keheranan. Putrinya sangat menyukai mata pelajaran tersebut dan tidak pernah meminta bantuan pada dirinya ataupun Wendy. Karina tidak pernah menunjukkan bahwa ia kesulitan dalam pelajaran tersebut. Bahkan Irene dan Wendy sudah yakin bahwa Karina nantinya akan memilih untuk masuk jurusan sastra. Jadi ucapan Karina barusan membuat Irene memusatkan perhatiannya pada Karina.

Mungkin putrinya memang sedang ‘stress’ menghadapi kehidupan sekolah dan kehidupan pribadinya, sampai-sampai sesuatu hal yang sangat ia cintai justru tidak bisa mengangkat beban pikirannya dan malah menjadi jangkar pemberat.

“Okay, Mama bantu apa?”

“What is Love?”

“Huh?”

“Itu tugas literatur ku. What is love? Pantesan aja Bu Tiffany ngasih tugas ini deadlinenya 2 minggu.” ujar Karina sembari menghela napas.

“Tiffany?”

Karina mengangguk.

“Kamu udah kepo-kepo jawaban temen-temen kamu? Giselle atau Ningtyas? Winata juga?”

“Udah. Ya jawabannya beda-beda semua, ma. Itu yang bikin aku pusing. Aku pusing banget mikir jawabannya karena aku tahu nggak ada jawaban benar atau salah, tapi aku belum menemukan jawaban yang paling mendekati sempurna menurutku.”

“Coba mama tanya, kenapa harus sempurna?”

“Ya, karena aku suka sama mata pelajaran ini ma! Aku nggak mau settled less than perfect.”

Irene tersenyum. Tangannya masih membelai kepala Karina.

“Then you got your answer, honey. Ketika kamu mencintai sesuatu, kamu akan berusaha semampu kamu untuk mendapatkan yang terbaik. You won’t settle for something that’s not perfect. Masalahnya, parameter sempurna itu sendiri juga bervariasi. Benar nggak?”

Karina mengernyitkan alisnya. Jawaban Irene agaknya mulai memicu otaknya untuk berpikir lebih jernih.

Mendapati putrinya kembali berpikir keras, Irene kembali menjahili Karina. Ia menyentuh pipi Karina berkali-kali menggunakan jari telunjuknya, sesekali dielus dan dicubit pula oleh Irene.

Kesal dijahili oleh Mamanya, Karina menghentikan tindakan Irene dan menggigit jari yang sedari tadi menjahilinya.

“Jorok!”

“Biarin aja! Mama nyebelin sih siang ini.”

Irene dan Karina tertawa terbahak-bahak. Sudah lama mereka tidak menghabiskan waktu berdua seperti ini sejak Irene disibukkan dengan proyek terakhirnya.

“Kepala kamu udah kayak mau meledak pasti, makanya yang ada disini…” Irene menunjuk pada pelipis Karina, “...tuangin dulu dalam bentuk tulisan. Ember yang penuh nggak akan bisa menampung air, sayang.”

Karina mengangguk.

“Ayo beres-beres yang disini. Hari ini Mommy kamu pulang cepet katanya. Dia ngajak kita jalan-jalan terus sekalian makan malam di luar.”

“Loh tumben?” tanya Karina.

Ia bangkit dari posisinya dan mengambil gelas serta teko yang ada di tangan Irene, “Biar Karina aja, ma.”

“Makasih ya, sayang. Menjawab pertanyaan kamu, soalnya pas valentine besok Mommy kamu ada kerjaan. Jadi makan-makannya di majuin dan hari ini yang paling pas. Kamu juga nggak ada jadwal les kan?”

Karina menggeleng. Ia mengekor di belakang Irene, berjalan ke dalam rumah mereka.

“Kok tumben sih Mama dan Mommy ngambil kerjaan pas valentine?”

“Loh, ini bukan kali pertama kok. Lagian Mommy kamu juga udah bilang dulu ke Mama sebelum terima offer-nya.”

“Maksud aku, kan biasanya pasangan-pasangan di luar sana pasti mau ngerayain Valentine barengan gitu.”

Irene tertawa, “Karena Mama sama Mommy kamu bukan pasangan normal.”

“Ih, serius ma!”

“Lah, iya. Ini mama serius. Kalau pengen menghabiskan waktu sama pasangan, kenapa harus nunggu momen tertentu? Walaupun kadang memang iya, ada rasa ingin sama kayak orang lain gitu kan? Tapi Mama dan Mommy udah dari dulu setuju kalau nggak semuanya harus dirayain bareng-bareng kayak orang lain. Nanti akan ada saatnya kamu tahu kalau relationship itu nggak harus melulu tentang romantis, ada yang namanya realistis juga.”

“Sounds like a headache.” bisik Karina.

“Intinya, give and take, win-win solution. Pasti kamu juga pernah kok ngalamin, cuma bukan dalam hal relationship aja. Yaudah sana kamu mending siap-siap, mama mau nyuci ini dulu baru siap-siap.”

Karina menuruti saran Irene. Ia mencium pipi Mamanya kemudian berjalan ke lantai dua menuju kamarnya.

Pembicaraan dengan Mamanya barusan cukup mencerahkan kepalanya.


L is for the way you look at me O is for the only one I see V is very, very extraordinary E is even more than anyone that you adore

And love is all that I can give to you Love is more than just a game for two Two in love can make it Take my heart and please don’t break it Love was made for me and you

Mobil sedan yang tengah melintasi jalanan ibu kota tersebut dipenuhi oleh lagu yang sengaja diputar oleh Wendy. Ia melirik ke arah Irene di setiap bait lagu yang dinyanyikannya, membuat pipi Irene merona merah walaupun tidak begitu jelas dilihat dengan pencahayaan yang minim.

Sudah delapan belas tahun mereka menikah, dua puluh tahun sejak pertama kali berkenalan, dan Irene tetap saja merasa malu saat Wendy menggodanya seperti ini. Perasaan senang dan bahagia itu tetap ada di dalam hatinya.

“Wen, stop deh. Malu tau ada anak kita di belakang.” tawa Irene.

“Loh kenapa? Emang Mommy nggak boleh kayak gini, Rin?”

“Boleh mom…” jawab Karina dengan suara malas, sengaja sedikit bercanda.

Sudah menjadi kebiasaan. Karina akan ditinggal Irene dan Wendy bermesraan. Kadang ada perasaan kesal, karena ia pun ingin diperhatikan. Tetapi lebih sering ia merasa bahagia melihat betapa harmonis kedua orang tuanya.

Seperti malam ini, keluarga mereka baru saja selesai pergi melihat sunset dari puncak bukit dan saat ini sedang dalam perjalanan menuju tempat makan yang sudah dipesan oleh Mommy Wendy.

Sejak berangkat dari rumah hingga saat ini, baik Irene maupun Wendy terus mempertunjukkan keromantisan mereka. Karina dapat melihat bagaimana Wendy menggenggam erat tangan Irene saat mereka menempuh jalan setapak untuk mencapai puncak bukit tempat tadi mereka menyaksikan sunset. Karina juga melihat bagaimana pandangan mata Irene tidak pernah lepas dari sosok Mommy-nya.

Dan hari ini Karina menyadari bahwa ia pun ingin memiliki hubungan seperti kedua orang tuanya.

“Tuh, anak kita aja bilang boleh. Sekarang coba kasih tau siapa yang ngelarang? Biar Karina yang maju paling depan!” ujar Wendy diikuti dengan tawa dari Irene yang juga memukul lengan Wendy pelan.

“Loh kok aku?!” saut Karina cepat saat mendengar namanya ikut terseret.

“Ya kan Mommy udah susah-susah nyuruh kamu les taekwondo sampe kamu sabuk hitam, buat apa nggak digunain?” jawab Wendy santai.

“Mommy lupa kalo Mama juga bisa taekwondo?”

Mulut Wendy membentuk huruf ‘o’ setelah mendengar ucapan Karina. “Bener juga kamu. Anyway, Mama kamu cerita katanya kamu lagi pusing karena tugas sekolah?”

“Yeah, but no worries. Aku udah ngikutin saran Mama tadi sore and it helps me a lot.”

“You sure, honey?”

“uhmm…”

Irene dan Wendy terkejut saat mereka mendapati wajah Karina menyembul di antara kursi mereka berdua. Perlahan tubuh Karina maju, berada di antara kursi pengemudi dan penumpang.

“Sayang, bahaya. Duduk yang bener.” protes Irene.

Dengan cepat Wendy menepuk paha Irene dan menoleh sekilas ke arah dua perempuan kesayangannya. “It’s okay, it’s okay. I got it.”

Tak lama kemudian kecepatan mobil mereka sedikit melambat.

“Kamu mau ngomong apa?” tanya Wendy.

“Aku tiba-tiba penasaran, cerita pertama kali Mama dan Mommy ketemu kayak gimana? Terus dari pertama ketemu bisa jadi deket tuh gimana?” tanya Karina, kepalanya menoleh ke arah Wendy dan Irene secara bergantian.

Pertanyaan Karina memicu tawa kecil dari mulut Wendy sedangkan Irene terlihat memalingkan wajahnya, malu.

“Kami pertama ketemu karena pekerjaan. Mommy emang yang pertama nyapa Mama kamu tapi for your information Mama kamu yang duluan deketin Mommy in romantic way.” jawab Wendy yang mendapat sebuah cubitan di pinggang, tentu saja dari Irene.

Flashback

Irene berjalan tergesa-gesa tepat di belakang manajernya. Sangat wajar, mengingat mereka berdua sudah telat hampir satu jam dari waktu yang dijanjikan sebelumnya. Sementara ia berjalan dengan tergesa-gesa, Irene sejujurnya masih berusaha untuk menenangkan perasaannya. Ia masih terlampau kesal dengan sikap tidak professional dari lawan mainnya. Bagaimana bisa Pria itu telat datang ke lokasi syuting dan tidak ada satu pun yang melayangkan protes kepadanya?

Keduanya kini berjalan memasuki lift yang sudah diisi oleh satu orang lainnya. Irene mengangguk singkat pada sosok wanita yang menggunakan turtleneck berwarna cokelat dipadankan dengan leather skirt berwarna hitam.

Mata Irene membulat saat ia melihat Wanita tadi menyodorkan sebuah tisu dan satu cup minuman kepadanya. Irene sudah hampir berburuk sangka bahwa sosok di dekatnya itu adalah salah satu fans atau bahkan paparazzi namun saat ia melihat tatapan mata wanita tadi, Irene yakin bahwa wanita tadi tidak peduli tentang status Irene saat ini.

”Tisu untuk menyeka keringat di kening dan cokelat hangat untuk membuat suasana hati lebih baik.” ujar wanita tadi yang kemudian keluar dari lift tersebut di lantai 3.

Irene tertawa saat melihat wanita tadi sempat memberikan gesture hormat padanya dengan sebuah kerlingan mata. Agaknya wanita tadi memang mengenali dirinya.

Flashback End

“Udah gitu doang? Pertama ketemu di lift?” tanya Karina.

“Iya, pertama kali ketemu di lift. Mommy kamu udah flirting duluan.”

“Hey! Itu bukan flirting! I just do you some favor! Kamu keliatan habis menjalani satu hari penuh kesialan, a total bad day. Jadi aku nggak sampai hati aja lihat perempuan cantik harus bersedih.” ujar Wendy.

Karina tergelak, “Okay-okay. Jadi itu ketemu buat apa?”

“Waktu itu Mama ada proyek drama gitu. Terus Mama harus nyanyiin salah satu OST-nya dan lagu itu kebetulan dibuat sama Mommy kamu.”

Karina mengangguk paham.

“Oh yang minta nomer telepon itu Mama kamu duluan loh. Awalnya alasan karena mau tanya-tanya masalah lagu, eh kebablasan jadi ngucapin selamat pagi, selamat siang, selamat malam. Udah kayak operator call center.” goda Wendy.

“Sumpah?!”

“Iy-.. aduh, babe it hurts!” protes Wendy pada Irene.

“Well, tapi yang pertama kali ngajak kencan itu Mommy kamu.”

“Kalo yang nembak pertama kali siapa?”

“Mama kamu tuh.”

“Sumpah?!” lagi-lagi Karina tidak percaya.

Selama ini Irene terlihat sebagai sosok yang lebih cool dan hampir tidak pernah merayu Wendy secara terang-terangan di depan Karina. Jadi wajar jika putri semata wayang mereka terkejut akan fakta ini.

“Ya abis Mama tuh kesel! Udah hampir satu tahun deket, tapi nggak ada kemajuan! Mama kan juga sempet insecure, jangan-jangan Mommy kamu cuma mainin perasaan Mama aja waktu itu.” bela Irene.

“Tapi yang propose itu Mommy kamu. Mama inget banget waktu itu Mommy kamu udah ada di apartemen Mama malem-malem pas Mama pulang habis syuting. Dia langsung ngajak Mama nikah.” lanjut Irene yang kemudian tertawa saat melihat wajah Wendy merah seperti kepiting rebus.

“Uhm, Karina penasaran deh Ma, Mom, kok berani sih dulu buat nikah? I mean no offense, tapi nikah kan bukan sekedar pacaran?”

“Simple Karina, it’s because I love her. Waktu itu satu-satunya alasan kenapa Mommy berani ngajak Mama kamu nikah, cuma karena Mommy nggak bisa bayangin gimana kehidupan Mommy tanpa Mama kamu. Plus, ini informasi tambahan, Mommy waktu itu jealous dan insecure banget sama lawan main Mama kamu.”

Love.

What is Love?

Karina kembali teringat akan tugasnya.

“Mom, what is love? Aku udah denger jawaban Mama siang tadi, ya nggak secara langsung sih but she kinds of explain to me.”

“Love? Itu satu kata beribu makna. Tapi kalau menurut Mommy, Cinta itu yang membuat kamu berani. Mommy berani ambil keputusan untuk menikah dengan Mama kamu, because I love her. Mama kamu berani ambil keputusan untuk mengandung kamu walaupun waktu itu sebenernya riskan banget untuk kesehatan dia sendiri, because she loves you…”

Wendy menoleh ke arah Irene dan tersenyum. Tiba-tiba sekelebat memori-memori masa lampau menghampiri ingatan Wendy. Bagaimana perjuangan hubungan mereka di awal-awal masa pernikahan. Lalu bagaimana perjuangan Irene di masa kehamilannya, yang bahkan sempat hampir keguguran. Wendy pun ingat bagaimana khawatirnya ia di hari persalinan.

As cliche as its sounds, Wendy berani melewati itu semua karena ia tahu rasa cintanya pada keluarga kecilnya mengalahkan rasa takutnya.

Mendapati jalanan di depannya cukup lengang, Wendy menoleh ke arah Irene dan mencari tangan istrinya. Digenggamnya tangan Irene dengan erat dan kemudian ia kecup sekilas sebelum akhirnya ia taruh tangan mereka berdua di atas pangkuannya.

Perlakuan Wendy sontak membuat hati Irene penuh dengan kebahagiaan. Hal-hal kecil seperti ini yang membuat Irene selalu ingat alasan mengapa ia berani untuk menerima pinangan Wendy delapan belas tahun yang lalu.

“Atau Mommy kamu yang tiga tahun lalu berani pasang badan untuk keluarga kita, it’s because she loves us.” tambah Irene tiba-tiba.

Ucapan Irene memicu setetes air mata mengalir dari pelupuk mata milik Karina. Ia ingat betul kejadian itu.

Dua tahun lalu, keluarga kecil yang disimpan rapat-rapat oleh Irene dan Wendy akhirnya bocor ke publik. Kehidupan mereka tiba-tiba terekspos padahal selama ini Irene dan Wendy selalu berhasil membungkam media. Benar saja, tak lama dari berita ‘mengejutkan’ ini menjadi konsumsi publik, keluarga Karina menerima ancaman-ancaman kematian hanya karena kondisi mereka yang berbeda dari mayoritas keluarga yang ada. Bagaimana Karina mendapat cibiran dan ancaman yang membuatnya cukup trauma.

Irene mengambil langkah cepat dengan mengumumkan bahwa ia akan non-aktif untuk sementara waktu. Sedangkan Wendy mengambil langkah ekstrim dengan mengumpulkan pengacara-pengacara terbaik untuk melindungi keluarganya. Entah berapa kali Wendy harus bolak balik dari firma hukum, kantor polisi, dan pengadilan dalam jangka waktu dua tahun. Mommy-nya benar-benar tidak memberikan ampun sedikitpun pada orang-orang yang mengusik keluarga mereka.

Sementara itu Karina terpaksa menjalani ’home-schooling’ selama satu setengah tahun dikarenakan ia yang masih takut untuk bertemu dengan orang-orang. Hanya Winata sosok yang secara konstan menemaninya selain kedua orang tuanya.

Winata-lah yang membantunya untuk secara perlahan berani menjalani kesehariannya dengan ‘normal’. Namun Karina juga ingat betul alasan utama mengapa ia memaksa dirinya untuk sedikit demi sedikit menjalani hari-harinya lagi.

Raut kesedihan dan penuh penyesalan yang sempat ia lihat di wajah Irene dan Wendy ketika mereka melihat keadaan Karina. Ia ingat betul bagaimana di suatu malam ia mendengar tangisan Irene yang berada dalam pelukan Wendy, yang sebenarnya juga tengah menangis dalam diam.

It’s because she loves them so she tried to be brave.

Karina menyeka air matanya kemudian ia menarik tangan Irene dari genggaman Wendy. Kini kedua tangannya masing-masing menggenggam tangan Irene dan Wendy. Tangan kiri menggenggam tangan mommy-nya dan tangan kanan menggenggam tangan mama-nya.

“Well, then I think I know what love is.” ujar Karina.

“Oh ya?” sahut Wendy.

“Yeah, thanks to you Mom and Mama. I think I know what love is.”

LOVE IS…

(part 1)

Cinta?

Apa itu cinta?

Tidak ada jawaban yang secara definite bisa menjelaskan dengan sempurna, apa itu cinta.

Tentu saja karena jawaban atas pertanyaan ini akan sangat-sangat bervariasi, tergantung pada siapa yang menjawab.

Tak terkecuali bagi dua insan yang saat ini bahkan tidak begitu mempertanyakan apa itu cinta?

Ya, Karina dan Winata, mereka bahkan tidak tahu atau mungkin lebih tepatnya tidak sadar bahwa Sang Cinta sebenarnya sedang berada di dekat mereka.

Pagi itu bahkan keduanya hanya lebih terfokus pada fakta bahwa mereka tengah riang gembira karena kelas literatur hari itu akan diadakan di ruangan paling nyaman seantero sekolah setelah perpustakaan, yaitu ruangan multimedia.

Satu per satu siswa berjalan memasuki ruang multimedia berukuran tujuh kali tujuh meter, ruangan yang akan menaungi mereka selama kurang lebih dua jam ke depan. Perbedaan suhu yang cukup drastis merupakan hal pertama yang menyapa mereka. Dingin AC menyapa dua puluh delapan siswa yang mayoritas masih berkeringat, sisa-sisa kelas olahraga pagi tadi.

Tentu saja mereka melenggang dengan suka cita memasuki ruangan tersebut, apalagi ruangan ini terkenal akan ‘ke-sakral-annya’. Sedikit informasi ruangan ini terkenal cukup sulit untuk dipinjamkan oleh pihak sekolah karena ruangan ini merupakan ruangan dengan fasilitas audio dan video paling mumpuni seantero sekolah.

Hanya acara-acara penting saja yang bisa menggunakan ruangan ini atau beberapa acara OSIS, itu pun harus melalui proses negosiasi yang panjang dengan Wakil Kepala Sekolah Bidang Sarana dan Prasarana. Itulah mengapa kelas ini sangat gembira ketika guru literatur favorit mereka mengabarkan bahwa hari itu pelajaran akan dilaksanakan di ruangan multimedia.

Seperti teman-temannya, Winata dan Karina pun berjalan memasuki ruangan dengan senyuman terpampang di wajah mereka.

Dengan dua alasan yang berbeda.

Winata yang gembira karena ia bisa ‘ngadem’ untuk setidaknya dua jam ke depan. Kelas olahraga barusan benar-benar menguras energinya dan membuat tubuhnya banjir keringat. Walaupun tadi ia sempat mandi setelah kelas olahraga, ia masih merasa sedikit gerah. Menjalani kelas literatur di ruang multimedia adalah nikmat baginya.

Sedangkan Karina gembira karena ia sangat menyukai mata pelajaran literatur ini. Ditambah guru yang mengajar mereka adalah guru terfavorit, versi dirinya. Jangan anggap Karina bias, namun Bu Tiffany memang tipikal guru favorit yang disenangi oleh hampir seluruh siswa di sekolah ini. Beliau adalah tipikal guru yang sangat mengikuti perkembangan atau trend jaman sehingga ia dapat bergaul dengan murid-muridnya dengan sangat baik.

Bu Tiffany juga merupakan guru yang memiliki pembawaan sangat santai dan ramah senyuman. Oh yang ini rahasia, menurut Karina, senyuman Bu Tiffany adalah senyuman paling cantik seantero negara ini bahkan seantero dunia.

Sedikit ralat, senyuman paling cantik ke-3. Nomor satu dan dua adalah milik orang tuanya.

Kembali pada Winata dan Karina, mereka berjalan memasuki ruangan multimedia dengan tas masing-masing.

Karina melangkah dengan membawa tas laptop dan tas kanvas berisikan baju olahraga miliknya. Ia memang tidak pernah membawa buku catatan karena sekolah mereka memang mengizinkan murid-muridnya untuk mengadopsi budaya paperless, sehingga Karina benar-benar mengandalkan laptopnya untuk kegiatan belajar.

Sedangkan sang gadis berambut pendek berjalan cukup jauh di belakang karina dengan lengan kirinya menggendong duffle bag yang berisikan baju olahraga pagi tadi dan baju basket untuk latihan sore nanti, serta botol minuman dan beberapa barang pribadi lainnya. Tangan kanannya menjinjing iPad miliknya.

Ningtyas menyikut lengan sahabatnya ketika ia melihat bahwa Karina sudah duduk di deretan tengah bangku barisan ketiga dari depan.

“Apa sih ning?”

“Kalo lo nggak cepet, itu bangku di sebelah Karina bakal diisi orang sih.” ujar Ningtyas menunjuk ke arah Karina dengan gerakan kepalanya.

Mendengar nama Karina disebut, Winata dengan cepat mencari keberadaan sahabatnya itu dan mendapati teman satu kelasnya, Joseph, sudah mengincar bangku kosong yang ada tepat di samping Karina.

Tangan kanan Winata segera menitipkan iPad miliknya pada Ningtyas dan setelahnya ia melempar duffle bag miliknya tepat ke arah bangku kosong tersebut. Tentu saja aksinya ini mengagetkan beberapa murid. Terdengar Karina, Joseph, dan beberapa murid lainnya terkesiap dengan adanya tas yang ‘melayang’ melewati kepala mereka.

“And three points made by Winata! Wohoooo!!”

Ningtyas menggeleng melihat sikap sahabatnya barusan. Winata benar-benar melempar tasnya untuk mencegah Joseph menempati bangku yang ada di samping Karina. Untung saja lemparan tadi tidak meleset, batin Ningtyas.

“Winata!” teriak Karina yang baru terbangun dari keterkejutannya.

Yang diteriaki hanya tertawa jahil dengan jari telunjuk dan jari tengah yang terangkat di udara.

“Sorry Jojo, Karinanya nggak available.” sambung Winata.

Joseph memicingkan matanya ke arah Winata untuk sesaat, namun ia dengan cepat mengubah ekspresinya saat menyadari Karina kini menatap ke arahnya.

“Ampun Capt!” kelakar Joseph.

“Sorry juga Capt, kalah cepet sih.” balas Winata cepat. Lagi-lagi memberikan kode pada laki-laki itu untuk menjauh.

Para murid saling melirik satu sama lain, menyadari ‘kompetisi abadi’ yang tercipta sejak pertama kali Winata dan Joseph masuk sekolah ini.

“Good morning everybody!!”

Winata dan Ningtyas terperanjat ketika mendengar suara menggelegar khas milik Bu Tiffany menyapa indra pendengaran mereka.

“Oh, what kind of tension here?” lanjut Bu Tiffany saat ia melihat tindak-tanduk canggung dari murid-muridnya itu.

Hari itu Bu Tiffany menggunakan kemeja berwarna baby blue dan celana berwarna pink muda. Ia berjalan dengan tas laptop yang dipeluk tepat di depan dadanya. Langkah kakinya terdengar mantap, menjajaki ruangan tersebut.

“Kalian berdua ngapain berdiri disini?” tanya Bu Tiffany saat melihat Winata dan Ningtyas masih berdiri di dekat pintu masuk.

“O-oh, iya ini kami mau duduk.” jawab Ningtyas cepat, ia menarik lengan sahabatnya itu.

“Sialan si Jojo. Ini semua gara-gara dia, gila ya itu orang udah tau Karina nggak minat sama dia. Masih aja mepet.” gerutu Winata yang dapat didengar jelas oleh Ningtyas.

“Ya kalo ceweknya kayak Karina nggak heran sih, ya nggak Win?” jawab Ningtyas dengan santai.

Wina duduk tepat di sebelah Karina, sedangkan Ningtyas mengisi bangku yang sudah sengaja dikosongkan oleh Giselle.

Melihat semua murid-muridnya sudah duduk dengan kondusif, Tiffany segera menyiapkan peralatannya hari itu. Ia menyambungkan sebuah flashdisk dengan komputer yang ada di ruang tersebut.

Tak lama berselang, seluruh murid dapat melihat dua folder berbeda yang terpampang di layar besar.

“Okay, Ibu baru dapat info dari guru olahraga kalian kalau tadi kalian baru ambil nilai ya?”

Terdengar teriakan serempak yang membenarkan pertanyaan barusan.

“Okay, Ibu tau kalian pasti lelah sekali. Jadi kelas hari ini akan jauh lebih santai.”

Terdengar kembali riuh dari mulut para siswa yang disambut tawa oleh Tiffany.

“Sekarang kalian yang pilih foldernya, yang sebelah kiri romeo and juliet sedangkan yang kanan titanic.”

Lagi-lagi ruangan itu dipenuhi kegaduhan. Masing-masing murid meneriakkan pilihan mereka.

Tiffany menggeleng, tangannya berusaha membuat tanda ‘T’ meminta kelas untuk hening sejenak. Sedangkan Karina terlihat menutup telinganya untuk menyelamatkan indera pendengarannya dari kegaduhan.

Melihat tingkah dua wanita ini membuat Winata memutar kedua bola matanya.

Sedikit heran dengan gurunya, karena sejauh yang ia tahu Bu Tiffany mampu berteriak sangat kencang yang bahkan bisa terdengar hingga dua lantai, tetapi kenapa sekarang ia tidak menggunakan suara kencangnya itu untuk membuat kondisi kelas lebih kondusif?

Lalu kenapa juga kelas mereka memilih Karina untuk menjadi ketua kelas? Well, Karina memang punya jiwa pemimpin tapi kelemahan terbesar Karina adalah sifatnya yang terlalu lembut. Ia hampir tidak pernah menaikkan nadanya apalagi berteriak pada teman-temannya yang sering kali berkelakuan layaknya kawanan gorila.

“WOY DIEM!” teriak Winata.

Lagi-lagi beberapa murid terkejut atas tindakan gadis berambut pendek itu. Namun, tak lama kemudian kelas tersebut memang menjadi lebih kondusif.

“Nah gini kan enak. Silakan bu ketua.” ujar Winata pada Karina.

“Uhm, kita voting aja ya teman-teman?” tanya Karina yang dijawab dengan anggukan kepala.

“Yang pilih kiri, boleh angkat tangan?”

Karina dengan cepat melihat ke seisi ruangan dan menghitung jumlah siswa yang memilih folder kiri. Setelah selesai, ia mempersilakan teman-temannya untuk menurunkan tangan mereka.

“Sekarang yang kanan, angkat tangan ya.”

Tiffany yang juga ikut melakukan penghitungan tersenyum ketika mendapati hasil voting tersebut memenangkan Romeo and Juliet.

“Okay, it’s been decided fair and square. Setelah ini kita akan lihat play yang sangat terkenal, kalian juga pasti ada yang sudah pernah baca naskahnya. Ibu minta kalian untuk tetap perhatikan play ini dan catat hal yang menurut kalian penting. Nanti di akhir jam pelajaran akan ada questionnaire yang harus kalian isi dan kumpulkan maksimal jam 23.59 hari ini. Paham?”

“Ya bu!!” teriak beberapa murid.

Berbeda dengan Karina, ia tidak sempat menanggapi pertanyaan Tiffany karena ia tiba-tiba merasakan seseorang menggenggam tangannya.

Karina mendapati tangannya digenggam oleh Winata, namun tersembunyi di balik flannel kotak-kotak hitam dengan garis abu-putih yang bertengger manis di atas paha Karina.

“Pijetin tangan aku dong, pegel.” rengek Winata.

“Ih? Emang aku nggak pegel? Lagian tadi kita ambil nilai lari keliling sekolah, yang dipake kaki kenapa yang pegel malah tangan?”

“Kariiiinaa”

“Nggak ah. Lagian ini ngapain flannel bau punya kamu ada disini?” omel Karina.

“Rok kamu kependekan. Kenapa sih suka banget pake rok yang dipendekin?” ganti Wina yang menggerutu.

“Apa sih dua sahabat ini berisik banget kayak orang pacaran.”

Winata melengos saat mendengar suara jahil yang datang dari Giselle.

“Diem deh Mamanya Gempi.”

Giselle dan Ningtyas menggelengkan kepala mereka saat mendengar balasan Winata dan ekspresi Karina yang terlihat malu.

Setelah ia menunjukkan kepalan tangannya pada Giselle, Winata menaruh kepalanya di atas meja dengan wajah menghadap ke arah Karina.

“Win! Jangan tidur!” bisik Karina memperingatkan sahabatnya itu.

“Emang nggak tidur kok.”

“Yaudah kalo gitu perhatiin layarnya!” omel Karina.

“Duh, Rin kamu udah berapa lama sih kenal aku? Kamu tau sendiri aku lebih ke audio ketimbang visual, kecuali urusan pasangan sih ya. Kalo itu visual duluan.” canda Winata.

Karina memutar bola matanya tepat setelah mendengar ucapan Winata dan kelakar ambigunya.

“Yaudah janji tapi perhatiin!”

“Iya baweeel.”

Tak sampai lima menit berselang, Karina kembali berbisik pada Winata.

“Gak usah liatin aku bisa nggak?” bisik Karina, takut terdengar teman-temannya.

“Cie salting.”

“Winata!” omel Karina lagi. Kali ini ia mencubit pinggang Winata.

“Aku nggak ngeliatin kamu Karina! Ini lagi nginget-nginget strategi basket!” elak Winata.

“Lah emang muka aku kayak lapangan basket?!”

“Iya, tuh jidat kamu lebar banget. Cocok jadi papan strategi.” goda Winata lagi.

Tanpa mereka sadari, guru favorit Karina kini sudah berdiri di belakang Winata dengan tangan yang terlihat di depan dadanya.

“Girls, I appreciate it if you pay attention to the screen and stop talking with each other. Okay Juliets?”

Suara Tiffany tidak hanya membuat keduanya berhenti berbicara, namun juga melahirkan semburat merah di pipi masing-masing.

Apa itu Cinta?

Mungkin untuk saat ini, bagi Karina dan Winata, Cinta adalah saat mereka berdua sama-sama merasakan perasaan malu dan menggelitik perut, ketika wajah mereka bersemu merah, namun keduanya nyaman dan tahu kalau mereka tidak masalah merasakan hal demikian.

Yang menjadi masalah, mereka mengkhawatirkan bagaimana perasaan sosok yang ada disampingnya?


Suara pintu yang ditutup diikuti dengan suara langkah yang cukup berisik menghiasi rumah dua tingkat, kediaman keluarga sang gadis berambut hitam legam.

Dengan terburu-buru ia melepaskan sepatunya dan menaruh sepatu converse hitam tersebut di lemari sepatu.

“Karina pulang!! Ma??”

Gadis berambut hitam legam itu melangkah memasuki rumahnya dengan perlahan. Ia memeriksa ruangan-ruangan yang ada di lantai satu, berusaha menemukan sosok orang tuanya yang seharusnya hari itu ada di rumah.

Tepat di belakang Karina terdapat Winata yang mengekor dengan sangat fasih. Ia sudah tahu harus menaruh sepatunya dimana, juga sudah sangat fasih dengan layout rumah tersebut.

“Dapur kali, Rin?” tanya Winata.

Ah benar juga. Karina langsung berputar arah dan bergerak menuju dapur, lagi-lagi dengan Winata yang mengekor di belakangnya.

“Mama??” panggil Karina sekali lagi.

“Kitchen, honey!”

Karina berjalan mengikuti arah suara dan mendapati Mamanya sedang menuangkan masakannya di atas sebuah piring putih lebar.

Ayam bumbu kecap.

Karina tersenyum lebar mendapati menu kesukaan dirinya tersaji dengan harum aroma yang sangat menggugah seleranya. Tiba-tiba ia merasa sangat lapar.

Namun tak lama keningnya mengkerut.

“Ayam hari ini? Mama kan nggak bisa makan ayam?” tanya Karina saat melihat hidangan yang tersaji.

“Gak apa-apa sayang. Mama kan nggak bisa makan ayam bukan karena alergi, tapi cuma lebih karena nggak suka aja. Lagian mama denger kamu dan mommy kamu dari kemarin ngomongin ayam terus. Kayaknya lagi pengen ayam ya kalian? Jadi yaudah hari ini mama masak ayam aja. Gimana sekolah kamu hari ini, sayang?” tanya Irene tanpa melihat ke arah Karina.

Karina mengangguk kegirangan, ia kemudian mengambil gelas yang ia isi dengan air mineral. “Ya kayak biasanya aja sih, Ma. Cuma hari ini lebih senggang sedikit, soalnya kelas jam terakhir kosong.

“Mau dibantuin nggak tante?” tanya Winata.

“Loh? Ada Winata rupanya! Duduk aja, sayang. Ini sebentar lagi selesai kok.”

Sang gadis berambut pendek mengangguk kemudian mengambil kursi tepat di seberang Karina. Kendati demikian, matanya tetap mengikuti gerakan Irene kesana kemari. Siap untuk mengulurkan bantuan jikalau dibutuhkan oleh Ibu dari Karina tersebut.

“Tumben kamu kesini jam segini, Win?”

“Iya tan, soalnya hari ini latihan dibatalin. Bubu sama Mami juga belum di rumah, aku males aja kalau di rumah sendirian.” jawab Winata yang kemudian berbalik bertanya, “Tante lagi off?”

Irene tersenyum dan mengangguk, “Tiga bulan ke depan tante off.”

“Iya lah harus! Kemarin udah syuting lama banget, sampe ke luar negeri segala.” ujar Karina.

“Film apa sih tan? Eh, film atau drama?”

Irene membawa piring hidangan dan menaruhnya di tengah meja makan. Ia tersenyum saat mendapati mangkuk nasi sudah tersaji sesuai dengan jumlah orang yang ada di ruang makan siang hari itu.

“Film, Win.”

“Mama jadi semacam agen gitu, Win. Bahkan pas masa-masa persiapan aja mama sampe ikut latihan taekwondo sama aku.” sambung Karina sembari mengambil beberapa potong ayam untuk dirinya dan untuk Winata.

Irene mengangkat alisnya saat melihat interaksi antara Karina dan Winata. Bagaimana Karina mengambilkan lauk untuk Winata dan Winata yang berjalan ke arah kulkas untuk mengambil botol jus jeruk bagi Karina. Keduanya bertingkah seakan-akan semuanya mengalir secara natural.

“Oh ya? Agen? Sampe latihan taekwondo? Wuih keren banget dong, tan? Kapan tuh tayangnya?” tanya Winata bertubi-tubi.

“Iya, intinya semacam agen rahasia gitu. Sisanya nggak bisa tante bocorin, nanti kamu nggak penasaran lagi. Tayangnya sekitar musim panas tahun ini, kalau sesuai rencana.”

“Agen rahasia?! Oh my god! That’s so sexy!! Undang aku dong tante ke premierenya! Aku kan fans setia Tante Irene!!” pekik Winata.

Irene yang mendapat pujian dari gadis SMA itu tertawa malu.

“Iya, nanti tante pastiin kamu dapet tiket undangannya.”

Melihat reaksi berlebihan dari sahabatnya, Karina menendang kaki Winata dengan cukup keras.

“Kariinaaa!!” pekik Winata kesakitan. Ia mengusap-usap tulang kakinya. “Ini aset gue buat turnamen, Rin!”

“Makan dulu makanya, gak usah berisik.”

Tingkah dua gadis di hadapannya mau tidak mamu membuat Irene tertawa puas.

“Anyway, gimana kabar orang tua kamu, Win?”

“Uhm, Bubu sibuk Seminar. Mami sibuk kayak biasa sih, tan.”

Irene mengangguk paham.

“Salam ya untuk Dokter Thena.”

Setelahnya tidak banyak percakapan yang terjalin di antara mereka. Hanya ada percakapan-percakapan ringan yang kebanyakan membahas tentang keseharian Karina dan Winata. Sang gadis yang mendaulat dirinya sebagai fans Irene pun sesekali melayangkan pertanyaan-pertanyaan pada sang Aktris.

“Kamu mau stay disini sampai jam berapa, Win? Kalau sampai malam, biar tante masakin makan malam sekalian.” tanya Irene yang tengah mencuci piring-piring kotor dibantu oleh Karina. Sedangkan Winata merapikan meja makan yang tadi mereka gunakan.

“Oh, nggak usah tante. Hari ini Mami ngajak makan malam di luar. Terima kasih tawarannya.”

“Yaudah, sana kalian ke kamarnya Karina aja atau kalau mau nonton di mini theatre juga boleh.”

“Okay. Kalau Mama butuh bantuan aku, panggil aja ya ma.”

Irene tersenyum, ia mengeringkan tangannya kemudian mengelus kepala Karina dan Winata serta tak lupa memberikan kecupan di pelipis anak semata wayangnya.

Kedua gadis itu kemudian undur diri dan menuju kamar Karina yang terletak di lantai dua.

Tanpa perlu disuruh, Winata sudah menaruh tasnya di dekat meja belajar milik Karina dan ia lepas pula kaos kaki yang sedari tadi ia gunakan. Tanpa diberikan instruksi apapun ia kemudian berjalan ke arah lemari milik Karina dan menginspeksi isi lemari tersebut.

“Rin, celana trainingku kamu taruh mana deh? Hoodie lakers aku juga mana?” tanya Winata saat tidak menemukan pakaiannya di lemari Karina.

“Training kamu ada di pintu paling kanan, rak kedua dari bawah. Untuk hoodienya…..hehe” kepala Karina menyembul dari balik pintu kamar mandi, “Sorry ya Win, hoodienya semalem aku pake tidur. Jadi kamu pinjem kaosku dulu aja deh.”

Winata memutar kedua bola matanya. “Kebiasaan!”

“Ya abis enak Win hoodienya, nyaman gitu.”

“Hmm...Yaudah sana buruan mandi. Gantian.”

Winata memang sudah mengenal Karina dengan sangat baik. Contohnya saja, Karina tidak perlu menjelaskan panjang lebar tentang ‘ritual’ untuk bisa masuk di kamarnya itu. Syarat utama untuk bisa masuk kamar Karina adalah harus bersih. Ya, harus bersih dari segala macam kotoran yang menempel pada tubuh setelah beraktivitas di luar.

Sembari menunggu Karina mandi, Winata mengamati koleksi-koleksi novel dan buku literatur-literatur lainnya. Ia tertawa pelan saat memikirkan bahwa sepertinya kedua orang tua mereka seperti memiliki anak yang tertukar.

Maminya yang sangat mencintai literatur, seharusnya memiliki anak seperti Karina.

Sedangkan Mommy Wendy, lebih cocok memiliki anak seperti Winata yang sangat gemar bermusik.

Usai mengamati satu per satu koleksi Karina, mata Winata tertuju pada gitar akustik yang ada di salah satu pojok kamar Karina bersama dengan sebuah upright piano yang nampaknya sudah agak lama tidak dimainkan oleh Karina.

Tertarik dengan kedua alat musik tersebut, Winata memilih untuk menggunakan piano milik Karina terlebih dahulu. Jari jemarinya dengan sangat terampil memainkan not demi not yang ia ingat dengan sangat baik dan tak lama setelahnya ia ikut bersenandung mengikuti lagu yang tengah ia mainkan.

Winata terlalu terlarut dalam permainannya sampai-sampai ia tidak mendengar Karina yang sudah berada tepat di belakangnya. Karina kemudian mengambil posisi duduk di sebelah kanan Winata dan secara tiba-tiba ikut memainkan nada demi nada yang ia ingat pula.

Sang gadis berambut pendek sempat terkejut sejenak namun seulas senyuman mengembang saat melihat Karina sudah duduk di sebelahnya dan ikut memainkan piano hitam tersebut bersama dengan dirinya.

“As expected, Winata.” tawa Karina seusai sesi duet mereka.

“Kamu juga not bad, masih sering main?” tanya Winata.

“Nggak, sejujurnya tadi aku cuma bener-bener berusaha inget apa yang dulu biasa kita mainin aja. Makanya tadi aku sempet salah beberapa kali kan?” jawab Karina merujuk pada masa kecil mereka dimana Karina dan Winata kursus pada satu tempat kursus musik yang sama.

Winata tertawa.

“Berarti inget nggak dulu pas kecil, abis main ini biasanya apa?”

Karina mengernyitkan alisnya, ia tidak ingat.

Winata lagi-lagi tertawa, rupanya hanya ia yang ingat.

“You ask me for a kiss on your cheek, Karina.”


Kamar milik Karina sore itu cukup ramai dengan suara petikan gitar yang dimainkan oleh Winata. Sahabatnya itu benar-benar menghabiskan waktunya hari itu dengan singgah di rumah miliknya.

Selepas kalimat yang cukup membuat dirinya salah tingkah, tentang bagaimana Karina dahulu selalu meminta ciuman di pipinya dari Winata, Karina bersikap sedikit canggung. Ia berusaha mengingat dengan keras apa memang betul demikian? Atau ini hanya satu dari sekian banyak tindakan jahil Winata yang sering menggoda dirinya?

Namun melihat sikap Winata yang biasa-biasa saja, Karina akhirnya memilih untuk tidak terlalu memikirkan ucapan Winata tadi.

Kini keduanya sudah bersih dan sudah wangi, sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Karina yang duduk di meja belajarnya dengan laptopnya yang menyala dan satu novel yang sedang ia baca minggu ini. Sementara Winata tidur terlentang di kasur Karina sembari memeluk gitar akustik milik gadis berambut hitam legam itu, memainkan beberapa lagu-lagu pop yang ia ingat chordnya.

“Rin…” panggil Winata, tangannya tetap memetik senar gitar dengan terampil.

“Hmm?”

“Jangan bilang sekarang kamu lagi ngerjain tugas literatur?” tanya Winata, kepalanya menengadah ke arah Karina.

“Niatnya sih, ini baru cari referensi aja.”

“Gila! Dikumpul aja masih dua minggu lagi?!”

Karina hanya mengangkat bahunya. Untuk urusan seperti ini, mereka memang dua orang dengan tipe yang berbeda.

“Winata…” kini ganti Karina yang memanggil.

“Apa?”

Alunan gitar akustik masih menemani indera pendengaran mereka.

“What do you think about love? What is Love?” tanya Karina, melontarkan pertanyaan yang menjadi inti dari tugas literatur mereka.

“Lagunya TWICE.” jawab Winata asal.

“Ih Winata! Serius!”

“Ya kalo aku serius, namanya aku ngerjain tugas literatur dong?”

Winata kini bangkit dari kasur dan mengembalikan gitar milik Karina pada tempat semula sembari diamati dengan lekat oleh Karina.

“Win, come on! Aku penasaran aja, menurut seorang Winata, Cinta itu apa?”

Yang dipaksa kini sudah tertidur kembali dengan posisi terlentang menatap langit-langit kamar Karina. Disana ia dapat melihat tempelan-tempelan glowing in the dark yang mereka tempel sewaktu di bangku Sekolah Menengah Pertama.

Winata ingat betul bagaimana mereka berdua kesulitan untuk meraih langit-langit kamar Karina walau sudah dibantu dengan tangga, namun mereka tetap menolak bantuan kedua orang tua Karina. To make it fair, Winata juga ingat bagaimana puasnya mereka saat berhasil menempel semua hiasan itu.

Pandangan Winata kemudian jatuh pada sosok Karina. Teman terdekat yang selalu hadir untuknya, begitupun Winata untuk Karina.

Sedikit canggung karena menyadari Karina masih menatapnya dengan lekat, Winata buru-buru mengalihkan pandangan matanya ke pigura besar yang menampilkan foto keluarga Karina.

Irene, Wendy, Karina.

Awalnya tidak banyak orang yang tahu bahwa Irene, Aktris papan atas negara ini, dan Wendy, Musisi yang sangat terkenal, sudah menikahi satu sama lain selama delapan belas tahun. Keluarga Winata adalah salah satu dari sedikit orang yang mengetahui hal ini sejak awal.

“Tergantung konteksnya.” jawab Winata singkat.

“Huh?”

“Menurut aku tergantung konteksnya. Ada cinta antara orang tua dan anak mereka, cinta antara teman yang bersifat platonik, dan cinta kepada pasangan dalam hal romantis.”

Karina mengangguk, benar adanya. Ia juga sudah memikirkan hal yang serupa.

“Aku cuma tahu dua dari tiga sih, Rin. Karena yang terakhir, aku belum yakin.”

Eh?

Alis mata Karina terangkat, ia tertarik dengan jawaban Winata.

“Cinta antara orang tua dan anak itu banyak bentuknya. Contohnya, Mama kamu rela masak ayam bumbu kecap yang notabenenya makanan kesukaan kamu sedangkan dia tahu dia nggak suka ayam, itu Cinta. Your mom, tante Wendy, sorry to remind you this, inget pas SMP? Uhm, that thing, itu pasti Cinta. Karena nggak mungkin dia mau mengorbankan semua jerih payahnya segampang itu kalau bukan karena Cinta, ya kan?” ujar Winata.

“And then these stars and moons.” ujar Winata menunjuk langit-langit kamar Karina. “Aku rela bantuin kamu susah payah nempel ini semua, padahal aku alergi debu. Itu karena aku sayang sama kamu, Rin. We were always there for each other, dari dulu. I know you’re my bestest best friend and I know you think like that too. Itu….juga Cinta, ya kan?”

Biasanya Karina dan Winata akan tertawa jika mereka membahas topik seperti ini. Mereka berdua bukan tipe yang senang mengungkapkan afeksi melalui kata-kata. Namun kali ini sepertinya mereka sepakat bahwa mereka butuh mengakui apa yang Winata ucapkan barusan ada benarnya.

“Yang terakhir...aku gak yakin sih, Rin. Bagiku, Cinta itu bisa kayak waktu aku ngelihat orang yang aku suka tersenyum lebar. Cinta itu bisa aja kayak waktu aku berbagi hal yang aku suka sama orang itu, supaya aku bisa lihat dia tersenyum.” ujar Winata.

Ia masih menatap langit-langit kamar yang berhiaskan bintang-bintang buatan. Sementara Karina justru menjadi penasaran dengan penjabaran Winata. Siapa ’orang itu’?

“Cinta itu bisa aja kayak aku yang ikutan merasakan hal yang sama seperti yang orang itu rasakan. Cinta itu bisa aja dalam bentuk aku yang selalu ngasih perhatian penuh untuk orang itu. Cinta itu bisa aja kayak aku berharap bisa selalu ada di dekat dia dan selalu ada buat dia, begitu juga sebaliknya. Well, kayak yang aku bilang tadi sih, aku masih belum yakin. Jadi ya bisa aja salah.”

Belum sempat Karina membuka mulutnya, ponsel Winata berdering kencang. Sang empunya menatap layar ponselnya kemudian menunjukkannya pada Karina.

“Well, this is my sign to go home.” ujar Winata.

Gadis itu bangkit dari kasurnya, kemudian mengambil barang-barangnya yang tertata rapi di dekat meja belajar milik Karina.

“Biar adil, let me know your definition of love okay? Nggak usah nganterin sampe bawah, aku bisa sendiri. Mending kamu lanjutin tuh tugas kamu, siapa tau bisa aku contek.” tawa Winata.

Sementara itu Karina hanya bisa mengangguk dan diam terpaku.

Winata baru saja menghadiahinya sebuah senyuman lebar dan ia menyukainya.

Lalu fakta bahwa jantungnya berdegup kencang karena Winata baru saja mengelus kepalanya, tandanya ia menyukai hal itu juga bukan?

Suara langkah kaki Winata menuruni tangga terdengar semakin samar, berbanding terbalik dengan suara degup jantungnya yang semakin terdengar jelas.

buk!

Karina menjatuhkan kepalanya di atas meja belajar. Entah mengapa perasaannya berkata bahwa tugas Bu Tiffany kali ini akan cukup menyulitkan dirinya.

”So, What is Love, Karina?”