275.
“Jago juga ya kamu mainnya.” ucap Anta setelah melihat Sagala menyelesaikan pukulannya.
“Nggak kok Om. Lagi hoki aja ini.”
“Hoki atau mau show-off ke Rena?”
Sagala menggelengkan kepalanya dengan cepat.
“Justru anak Om bikin aku nggak fokus mainnya hari ini. Mana bisa aku show-off. Kalau Om Satu golf car sama aku dan Rena, Om bisa lihat tanganku gemeteran.” tawa Sagala.
“So now you openly admit you like my daughter?”
Sagala tidak langsung menjawab ucapan Anta. Ia justru menoleh ke arah Rena yang duduk di golf car mereka yang terlihat sibuk dengan ponselnya. Sagala tersenyum saat melihat ekspresi-ekspresi lucu di wajah Rena yang menatap layar ponselnya.
“Aku kira perbuatanku selama ini cukup buat jawab pertanyaan itu.”
“But you never say it, Sagala. Sometimes apa yang sudah terlihat jelas pun masih butuh kepastian secara verbal.”
Sagala menghela napasnya panjang. Kedua tangannya bertumpu pada stik golf yang tadi ia gunakan.
“I do, Om. I do.”
“Good, now what’s the plan?”
“For?”
“Hubungan kalian sekarang bukan di taraf memulai dari nol, bahkan memulai dari minus kalau om liat-liat. Terus rencana kamu apa supaya Rena bisa terima kamu?”
Percakapan keduanya terhenti saat Rena berteriak sembari berlari ke arah mereka.
“Pa! Papa!”
Anta dan Sagala secara refleks menoleh ke arah Rena.
“Ada apa, Ren?”
“Sekolah Acel telpon aku barusan. Mereka minta aku datang kesana sekarang. Kak Yona udah di telpon tapi nggak ngangkat, pa. Kayaknya kakak lagi operasi deh.”
Alis Sagala terangkat sebelah, kepalanya miring sedikit ke arah kiri. Sebuah gestur yang membuat Rena merasa sedikit nostalgia.
“Ayo pa!” ucap Rena lagi.
“Okay…. Okay….. Kamu cari taksi online sekarang, Ren.”
“Hah?!”
Anta menggaruk pelipisnya, “Well, tadi papa nyuruh driver papa buat pergi dulu beli sarapan soto kesukaan papa.”
“Astaga papa!”
“Uhm, sama aku aja Ren. Aku ada mobil.” ucap Sagala memotong percakapan keduanya.
“Okay it’s settled then?” ujar Anta.
Rena mendengus kesal. Namun ia tidak punya pilihan lainnya. Telpon dari sekolah Acel barusan terdengar cukup penting dan genting.
Ketiganya kemudian menuju golf car mereka untuk kembali ke arah gedung utama.
“Kamu sama papamu tunggu di lobby aja. Aku ambil mobilku dulu.” ucap Sagala saat mereka tiba di gedung utama.
Sagala dengan cepat berjalan lebih dahulu, meninggalkan Rena dan Anta tanpa menunggu konfirmasi dari Rena.
Tidak sampai lima menit berselang, Rena dan Anta yang sudah menunggu di lobby golf course tersebut mendengar klakson mobil SUV berwarna hitam. Mobil yang sama yang digunakan oleh Sagala dan Rena untuk pergi ke puncak.
Petugas golf course dengan segera memasukkan tas golf milik Anta dan Sagala ke bagasi mobil.
Uniknya, tanpa Rena sadari, ia secara otomatis memilih untuk duduk di kursi penumpang di depan, tepat di sebelah Sagala.
Sagala pun cukup terkejut ketika mendapati Rena yang sudah duduk di sebelahnya.
“Apa? Ayo cepetan!” tanya Rena saat melihat Sagala menatapnya dengan tatapan terkejut.
“Oh…. right…. Uhm… tolong masukin lokasinya kesini.”
Sagala memberikan ponselnya kepada Rena.
“P-passwordnya m-masih sama…..Or if you forget….”
Rena tidak menggubris ucapan Sagala. Rupanya ia masih cukup fasih mengoperasikan ponsel hitam pemberiannya itu.
Tak lama kemudian suara navigator yang berasal dari aplikasi penunjuk arah tersebut memenuhi indra mereka, menandakan bahwa Rena sudah memasukkan tujuan mereka dalam aplikasi tersebut.
“O-okay…”
Rupanya jarak golf course dengan sekolah Acel cukup dekat. Hanya berkisar tiga kilometer berdasarkan petunjuk yang tersaji dalam aplikasi. Perjalanan ke sekolah Acel ditempuh dalam waktu lima belas menit.
Bisa dibilang cukup beruntung walaupun jalanan cukup padat pagi itu.
Setibanya mereka di sekolah Acel, Sagala mengenali sekolah tersebut. Sekolah elit bertaraf internasional.
Tidak mengejutkan, pikir Sagala.
“Oh, uhm…. Om sama Rena mau turun duluan? Biar aku cari parkir sendiri aja?” tanya Sagala sembari menoleh ke arah Rena lalu menatap Anta.
“Bareng-bareng aja Sagala. Kamu bukan supir.” jawab Anta tegas.
Entah memang Sagala sedang diikuti dewi fortuna atau hanya sebuah kebetulan, sebuah mobil SUV terlihat keluar dari parkiran tepat pada saat mobil Sagala memasuki area parkir outdoor.
Setelah mobil Sagala terparkir dengan sempurna, ketiganya segera turun dan berjalan menuju gedung sekolah Acel.
Rena yang sudah sangat fasih dengan tata letak sekolah Acel berjalan mendahului Sagala dan Anta menuju ke ruang guru dimana saat ini Acel berada.
“Acel kenapa Om?” bisik Sagala.
Ia cukup penasaran namun tahu bahwa tidak mungkin menanyakan hal ini kepada Rena jika ia tidak ingin kena omel Rena.
“Nggak tahu. Om sama butanya sama kamu ini sih.”
“Tapi kayak gini sering? Maksudku Rena ditelpon tiba-tiba sama sekolah Acel?”
Kali ini Anta menggeleng, “Ini baru pertama kali, seinget Om. Rena memang jadi salah satu kontak keluarga karena kamu kan tau orang tuanya Acel dua-duanya dokter. Takutnya kalau ada yang urgent terus mereka lagi out of reach jadi nggak bisa dihubungin. Makanya Rena yang nawarin diri buat dimasukin jadi salah satu important contact-nya Acel.”
“She really loves Acel….” ucap Sagala yang diamini oleh Anta.
“That she does. Kadang orang-orang bahkan ngira Acel anaknya Rena.”
“Well, aku juga pertama kali ketemu Rena dan Acel mikirnya kayak gitu.”
“She loves kids, in general. Kadang Om mikir, mungkin alasan Rena bisa semudah itu ngelepas Azkan karena dia tahu kalau Azkan udah punya anak sama orang lain. Rena nggak mau bikin anak itu kehilangan ayahnya. She hates Azkan but not the girl.”
Anta menyudahi percakapan mereka ketika melihat Rena sudah memasuki ruang guru terlebih dahulu. Sementara itu Sagala memilih untuk tidak mengikuti Anta memasuki ruang guru. Ia merasa tidak memiliki hak untuk masuk kesana.
Sagala lebih memilih untuk melihat-lihat seisi sekolahan tersebut. Sesekali ia tersenyum dan melambaikan tangan kepada anak-anak seumuran Acel yang hilir mudik disana. Sagala juga memastikan bahwa dirinya mudah dicari oleh Rena maupun Anta, ia menoleh beberapa kali ke arah ruangan yang dimasuki oleh Rena dan Anta tadi.
“Acel, Ante kecewa sama kamu. Sekarang kamu tunggu disini, diem. Think about your mistake. I will talk to you later setelah Ante ngomong sama Miss Joanna.” Ucap Rena yang meminta Acel untuk duduk di kursi taman yang terletak tepat di seberang ruang guru tersebut.
Rena dan Sagala sempat bertukar tatap sejenak.
“Go on, kamu bisa ngelanjutin yang di dalem. Aku nemenin Acel disini.”
“Thanks.”
Sagala mengamati Acel yang terduduk lesu di hadapannya. Ia dapat melihat bekas cakaran kemerahan di tangan Acel serta sedikit benjolan di kepala Acel.
”Ah, fist fight….seems like he won the fight huh?” batin Sagala yang berusaha menahan tawanya.
Rasanya seperti dejavu bagi Sagala. Walau ia tidak mahir berkelahi, namun masa kecilnya cukup dihiasi dengan beberapa kali perkelahian. Terutama jika ada orang yang mengolok Isaura.
Sagala tidak begitu khawatir melihat kondisi luka di lengan Acel. Namun ia ingin memastikan bahwa tidak ada luka-luka lainnya yang tersembunyi, terutama di kepala Acel. Ia kemudian berjongkok di depan Acel, mensejajarkan pandangannya dengan anak laki-laki tersebut.
“Acel, inget aku nggak?”
Acel mengangguk pelan.
“Kita belum kenalan tapi, aku Sagala. Temennya tante Rena.” ucap Sagala sambil menjulurkan tangannya kepada Acel.
“Aku Acel.”
“Yeah, I know that.” tawa Sagala. “Omong-omong, boleh ya aku pegang Acel? Mau lihat luka kamu sebentar.”
Acel kembali mengangguk.
“Kamu habis berantem ya? Tadi sempet jatuh nggak kamu?” tanya Sagala basa-basi sembari memeriksa tubuh Acel.
“Hu..um….jatuh dikit.”
Sagala kembali berusaha menahan tawanya saat mendengar jawaban lesu dari Acel.
“Menang atau kalah? Temen kamu luka apanya?”
“Kepalanya.”
Alis Sagala terangkat sebelah.
“Oh ya? Kamu apain dia?”
“Aku pukul.”
“Kenapa?”
“Jeffrey bilang Acel banci…”
Jawaban Acel lagi-lagi menarik perhatian Sagala dan menghentikan sejenak inspeksinya pada badan Acel.
“Wait, sebentar dulu ya, aku boleh pegang bagian sini? Deket pantat Acel. Kalau sakit bilang ya?” ucap Sagala lagi sembari menunjuk ke arah tulang ekor miliknya untuk memberi contoh kepada Acel.
Acel kembali mengangguk.
“Sakit?”
Kali ini sebuah gelengan kepala diberikan oleh Acel membuat Sagala menghela napasnya lega.
“Kenapa temen kamu bilang kamu banci? Emang Acel ngapain?”
“Soalnya cita-cita Acel kayak Ante…Foto-foto sama mau gambar baju.”
”Astagaaa ini bocah anaknya Rena atau anaknya Kak Yona sih?” batin Sagala lagi.
“Terus dia ejek kamu?”
Acel kembali mengangguk.
“Kenapa Acel pukul temen Acel? Kan temennya gak mukul kamu?”
Kali ini Acel menatap Sagala dengan tatapan kesal. “Acel dipukul duluan ante! Bukan Acel yang mukul duluan!”
“O-okay… maaf ya, aku nggak tahu kalau kamu dipukul duluan. Dia pukul kamu dimana? Disini?” tanya Sagala sembari menyentuh pelan area di dahi Acel yang terlihat benjol.
“Iya….a-aduuh! Sakit!”
“Oh maaf….. Maaf.” tawa Sagala
“Dia pukul kamu pakai apa, Cel?”
“Botol minum punya Jeffrey.”
“Terus kamu mukul dia pakai?”
“Balok mainan yang ada di meja. Kena kepala sama kuping.”
“Temen kamu luka?”
“Tadi-...”
Percakapan mereka terhenti saat melihat Rena keluar dari ruang guru dengan ekspresi datar.
Sagala pun berdiri dari dari posisinya.
“Udah selesai Ren?”
“Belum. Acel harus masuk lagi ke dalam, minta maaf sama Jeffrey. Kamu juga bakal kena hukuman, okay? Ante bakal ngomong serius sama kamu. Sekarang kamu masuk, di dalam ada akung. Kamu nanti sama akung dulu.”
“Ante?”
“Ante tunggu disini.”
Acel mengangguk pasrah. Ia kemudian berjalan lunglai ke dalam ruang gurunya lagi, namun kali ini tidak didampingi oleh Rena.
Sagala mengangkat kepalan kedua tangannya ke arah Acel, mencoba menyemangati keponakan Rena yang menurutnya tidak bisa dipersalahkan seratus persen. Namun perbuatan Sagala justru mendapatkan cubitan keras dari Rena.
“A-aw!! Sakit Ren!”
“Kamu tuh jangan mengencourage dia buat berantem gini!”
“Kamu udah denger belum alasan Acel berantem? Dia dikatain banci sama temennya! Cuma gara-gara cita-citanya pengen jadi model dan fashion designer, kayak kamu Ren.”
“Still Sagala! Nggak seharusnya dia pukul temennya pakai balok sampai gigi temennya copot!”
Sagala terkejut mendengar ucapan Rena, ia kemudian terbahak cukup kencang. ”Whoa that boy….bar-bar juga keponakan kamu.”
Rena menjatuhkan dirinya ke bangku taman yang tadi ditempati oleh Acel. Ia kemudian memijat keningnya.
“Kamu bisa ketawa ya? Mikir nggak sih ga? Ini habits yang harus ditanganin cepet. Aku nggak mau Acel tumbuh jadi anak cowok yang suka kekerasan. Aku nggak mau dia jadi laki-laki brengsek, ga. All these times, aku yang juga ikutan didik Acel kalau kak Yona lagi nggak bisa. I never knew Acel could be this violent.”
Mendengar ucapan Rena, Sagala memilih untuk duduk di sebelah Rena dan menepuk pelan punggung tangan Rena.
“You did a good job, Ren. I can tell. One mistake should not define him as a whole. Mungkin kamu perlu ngobrol lebih jauh sama Acel, he will listen because he adores you so much. Maybe even more than he adores Kak Yona. Such a weird statement, I know. But that’s the truth.”
“If you want, aku punya kenalan yang jago bela diri. Mungkin powernya Acel bisa kita arahin ke hal-hal yang lebih positif. That way, kalau lain kali dia diserang, Acel tahu dia cukup mempertahankan dirinya tanpa perlu nyakitin orang lain. He is just a kid, Ren. How old is he again? Three? Mungkin Acel juga kaget kali bisa mukul temennya sekenceng itu.” lanjut Sagala
Rena terdiam, berusaha mencerna saran Sagala. Ia pun menyadari bahwa apa yang diucapkan Sagala ada benarnya. Namun tidak bisa ia pungkiri bahwa responnya saat ini merupakan buah dari kekhawatirannya pada Acel dan kekecewaannya pada dirinya sendiri yang menurut Rena belum bisa mendidik Acel dengan benar.
“It’s okay, Rena. Temennya nggak gegar otak kan? If this could help, minta aja orang tua anak itu buat MRI sekalian. Nanti kak Yona yang bayarin?”
“I already said that. Orang tua Jeffrey juga tadi setuju. Untungnya mereka juga concern ke sikap anaknya yang ngolok-olok Acel tadi. Untungnya juga, gurunya emang tadi juga lihat langsung pertengkaran mereka. Katanya it happens way too fast makanya gurunya gak sempat ngelerai.”
“See? It’s okay. Kamu nggak perlu ngerasa gagal.”
Rena mengedikkan bahunya.
“Acel nggak luka parah kok, cuma luka kecakar aja sih aku lihat di tangannya. Aku udah cek juga kepala dan tulang ekor dia. Dia bilang tadi dia sempet jatuh, tapi aku udah cek tadi nggak ada luka luar dan hopefully luka dalam. Aku tadi sempet coba pegang area tulang ekor dia tapi Acel bilang nggak sakit. But you need to re-confirm this ke Acel ya? Atau ya kalau perlu dicek beneran aja ke rumah sakit. Kepalanya juga cuma benjol aja, kayak ikan louhan.” tawa Sagala.
Sagala kembali meringis kesakitan ketika Rena meninju perutnya cukup kencang.
“Kamu ngatain keponakan aku kayak ikan?!”
“You should see it by yourself! Benjolnya gede di jidat Ren! Persis ikan louhan!”
Rena mendecakkan lidahnya kesal. Agak gengsi baginya untuk ikut tertawa. Kali ini Rena terselamatkan oleh Acel yang sudah memanggilnya terlebih dahulu, membuat Rena memiliki alasan untuk tidak menggubris Sagala.
“Anteee….” panggil Acel yang mendatangi Rena dan Sagala.
“Sudah minta maaf ke Jeffrey?”
“Udah….”
Mata Rena secara otomatis melihat ke arah dahi Acel yang dibilang mirip seperti ikan louhan. Rena secara mati-matian berusaha untuk menahan tawanya karena ia kini menyadari ucapan Sagala ada benarnya.
“Jidat kamu sakit nggak?”
“Dikit…”
“Nanti kita periksa. Selain itu Ante bakal lapor ini ke mama kamu ya. Ante juga masih mau ngomong serius ke kamu.”
Acel hanya bisa memanyunkan bibirnya saat mendengar nada bicara Rena yang tidak selembut biasanya.
Anta pun kini mendatangi Sagala dan Rena. Memberikan tanda bahwa mereka sudah bisa meninggalkan sekolah Acel.
“Sudah beres. Nanti orang tua Jeffrey akan kasih bill rumah sakitnya ke papa. Sekarang kita pulang dulu, nanti Acel dijemput Yona agak siang atau sore katanya.” ujar Anta pada Rena.
“Kamu pulang aja Sagala, rumah kamu kan udah deket. Supir Om bentar lagi sampai kok. Terima kasih ya sudah diantar sampai sini.” lanjut Anta.
“Nggak masalah Om. I’m one call away kalau butuh bantuan apapun.”
Rombongan kecil itu pun kemudian berjalan meninggalkan area ruang guru dan menuju lobby untuk menunggu mobil Anta tiba.
Acel berjalan bersama Rena yang terlihat sedang menanyakan beberapa hal kepada keponakannya itu.
“Parah nggak om kondisi temennya Acel?” tanya Sagala.
“Sebenernya bisa dibilang parah ya parah, dibilang nggak parah juga bisa. Giginya copot satu, tapi kata orang tuanya memang udah goyang sih giginya itu. Cuma yang agak concerning karena mereka berdua pukul-pukulannya pakai benda keras. Nanti Acel juga dicek kondisinya kok.”
“Aku tadi udah bilang ke Rena, mungkin memang harus ngomong serius ke Acel. Tapi dilihat dulu alasan tadi Acel berantem itu apa. Aku juga nawarin ke Rena buat ngenalin Acel ke temen aku yang buka kursus bela diri. Biar kalau ada kondisi serupa, Acel bisa bertahan tanpa harus nyelakain lawannya.”
“Ide bagus itu, nanti Om omongin juga ke Yona. Oh omong-omong bilangin ke Rena ya, Om mau ke toilet sebentar.”
Sagala mengangguk mengiyakan. Kemudian ia menyusul Rena yang berada tak jauh di depannya bersama Acel.
Selama menunggu kedatangan mobil milik Anta, kecanggungan kembali melanda Sagala dan Rena seakan-akan beberapa saat lalu mereka tidak membicarakan Acel dengan normal.
Rena yang sengaja sibuk dengan Acel membuat Sagala cukup ragu untuk menyela pembicaraan keduanya. Lagipula Sagala pun sudah cukup bersyukur hari itu ia sempat berbicara dengan ‘normal’ kepada Rena walaupun memang ada saat-saat dimana Rena juga masih bertindak cukup unresponsive kepadanya.
“Itu mobil akung!!” ucap Acel bersemangat.
Rena yang sedang memeriksa ponselnya sejenak tidak menyangka bahwa Acel akan melepaskan gandengan tangannya dengan Rena dan berlari menuruni tangga dengan cepat untuk mendatangi mobil hitam yang ia kenali.
Sagala yang juga turut terkejut dengan aksi Acel berteriak saat ia melihat sebuah mobil SUV lainnya yang berada di depan mobil milik Anta terlihat akan memundurkan posisinya yang ditandai dengan menyalanya lampu belakang mobil tersebut.
“ACEL!”
Secara refleks Sagala pun turut berlari ke arah Acel.
Setelahnya Sagala tidak begitu menyadari apa yang terjadi, ia hanya mendengar suara pekikan Rena.
“SAGALA!”