youngkimbaeson

319.

Sagala kembali menghela napasnya panjang. Entah sudah berapa lama ia terduduk di atas kasur sembari menatap layar chatroomnya dengan Mahen.

Saran dari Mahen terdengar sangat sederhana, namun entah mengapa cukup sulit dilakukan oleh Sagala.

Ia takut Rena kembali salah paham.

Ia takut Rena kembali mengira bahwa tindakannya meminta bantuan Richard merupakan bagian dari rencananya. Walau memang awalnya tindakan itu adalah salah satu rencana yang dibuat oleh Sagala, namun pada saat Sagala akhirnya meminta bantuan Richard yang terbesit dalam benak Sagala hanyalah Rena.

Ia juga tidak tahu sejauh apa Richard membeberkan ‘rencananya’ kepada Rena.

Sedari awal Sagala tidak pernah berencana atau bahkan terpikir bahwa Richard dan Rena memiliki kemungkinan untuk bertemu dan bertegur sapa.

Sagala merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan cukup kasar. Ia memejamkan kedua bola matanya. Berusaha menenangkan pikirannya yang sedang berkecamuk saat ini.

Suara detik jarum jam memenuhi indera Sagala seolah-olah menghipnotis dirinya.

Matanya kembali terbuka saat Sagala mendengar suara dering ponselnya menandakan ia mendapatkan sebuah telepon masuk.

Sashi Ursa

Sagala menjatuhkan ponselnya ke kasur.

“Kenapa harus lo sih sas yang kontak gue?!” gerutu Sagala, enggan mengangkat telepon Sashi.

Namun tak lama berselang, ponselnya kembali berdering. Sagala pun akhirnya dengan kesal menerima telepon tersebut.

“Apa?”

”Lo marah-marah kenapa?”

“Ya menurut lo aja deh Sas? Ini lo telepon gue cuma buat gini doang?”

”Astaga tangan lo kan masih diperban sebelah, ya makanya gue telepon lo daripada kirim chat. Lo kalau ada masalah tuh diselesaiin bukan malah dilampiasin ke orang lain. Gue dari kemaren udah diem ya sejak lo pulang…..tck……By the way, gue barusan ngajak Yesha nonton. Nanti dia sama Mahen juga. Lo mau ikut gak?”

“Nggak.”

”Yah, lo sama Rena gue ajakin semua pada nggak mau ih. Nyebelin. Yaudah deh.”

“Hah? Lo ngobrol sama Rena barusan? Kalian kok sering banget ngobrol sih?!”

”Iya, barusan juga masih chattingan. Tapi dia udah bilang gak mau. Kenapa? Lo kan serumah sama dia masa segitu jarang ngobrol?”

Kening Sagala mengkerut kesal.

“Gak membantu ah lo Sas!”

Sagala langsung mematikan sambungan telepon tersebut.

Entah tiba-tiba ia mendapatkan keberanian dari mana, Sagala dengan segera bangkit dari kasurnya dan mendatangi kamar Rena.

Diketuknya pintu kamar Rena dua kali.

“Rena, please buka Rena.”

Tidak ada jawaban.

Kali ini Sagala mengetuk satu kali lagi.

“Rena, aku pengen ngomong sama kamu. Please? Aku maksa nih.”

Tangan kiri Sagala membuka pintu kamar Rena.

Kosong.

Namun Sagala melihat gorden kamar Rena yang tertiup angin. Rupanya sang pemilik kamar sedang berada di balkon rumahnya.

Sagala melangkahkan kakinya perlahan ke arah balkon sembari berusaha menata kata-kata yang ingin ia sampaikan kepada Rena.

Ia menarik napasnya panjang, kemudian disibakkannya gorden kamar Rena.

Baik Sagala maupun Rena sama-sama terkejut saat keduanya bertukar tatap.

Rena yang terkejut karena mendapati Sagala berani memasuki zona pribadinya. Sedangkan Sagala merasa kecewa karena melihat Rena kembali pada kebiasaan buruknya.

Dengan cepat tangan kiri Sagala menarik pods yang sedang dihisap oleh Rena lalu ia hirup pods yang baru saja direbut tersebut. Tentu saja tak lama kemudian Sagala terbatuk hebat sembari memegangi dadanya yang terasa sesak.

Mata Rena membelalak kaget saat melihat tindakan Sagala. Namun kini ia pun berbalik menjadi khawatir melihat Sagala yang terbatuk hebat di depannya.

“SAGALA!”

Tangan Sagala menahan Rena yang hendak pergi dari balkon.

“Lepasin ga! Aku ambilin kamu minum dulu!” bentak Rena yang masih dalam kondisi paniknya.

Sagala menggelengkan kepalanya,

“Aku–....”

Terdapat sedikit jeda saat ia terbatuk, kemudian Sagala kembali menatap Rena.

“Gapapa….I’m okay…”

Melihat Sagala yang masih bisa tersenyum ke arahnya membuat amarah Rena kembali timbul. Ia memukul bahu Sagala dengan kencang.

“Kamu tuh ya! Ngapain kamu kayak tadi?! Kamu udah tau kamu punya asma, Sagala! Kalau kamu tadi sampai kenapa-kenapa gimana?!”

Kali ini Sagala tertawa kecil.

“Aku kenapa-kenapa juga nggak ada yang khawatir, Rena. Unless you do. Justru harusnya aku yang ngomong kayak gitu ke kamu, kalau kamu kenapa-kenapa gimana? Kamu nggak kasihan sama papa kamu? Acel? Kak Yona? Udah berapa lama kamu balik ngepods kayak gini? Aku sedih kamu matahin janji kita.”

“Stop acting like you care Sagala!”

Sagala terdiam.

“T-tapi aku beneran peduli sama kamu Rena.” ujar Sagala sembari menatap mata Rena lekat.

Tangan kirinya yang masih menggenggam pergelangan tangan Rena, kini tanpa sadar ibu jarinya mengusap tangan Rena.

“This….Stop this! Stop liat aku kayak gitu. Stop perlakuan manis kamu ke aku kayak gini! Stop! Aku capek kayak gini tau!”

Rena menghempaskan tangannya yang digenggam oleh Sagala. Tangan kanannya kemudian menunjuk-nunjuk bahu kiri Sagala dengan kencang.

“Kamu sendiri yang bilang kamu mainin aku! Semua yang dulu kamu lakuin ke aku cuma bagian dari rencana kamu! Terus sekarang kamu bilang kamu peduli sama aku? Papa bilang kamu orang baik! Richard mantan kamu bahkan bilang kamu yang mohon-mohon dia buat bantu kasus aku karena permintaan kamu! I DON’T NEED YOU TO ACT LIKE A HERO SAGALA!” bentak Rena dengan air mata yang mengalir di pipinya.

Hati Sagala mencelos mendengar ucapan Rena.

“Tapi aku masih inget Sagala. Aku masih inget apa yang kamu ucapin di ruangan kak Teira! Kamu bahkan gak mengelak waktu itu! Hampir dua tahun aku gak lihat kamu, terus kamu tiba-tiba balik di hadapan aku kayak gini! You confuse me Sagala!” lanjut Rena.

“Ren….”

Rena mengelak mundur saat Sagala berusaha mendekatinya.

“Kamu sendiri kan yang rencana buat kabur dan pergi gitu aja tanpa kasih penjelasan apapun ke aku? Terus sekarang kamu berharap perasaan aku masih sama kayak dulu? Terus kamu sekarang balik ngejar aku cuma karena aku trying so fucking hard to forget you?!”

“Rena….please dengerin aku….”

“KAMU EGOIS SAGALA!”

Wajah Rena merah padam menahan agar amarahnya tidak kian membuncah. Rena berusaha berulang kali untuk menyeka air mata yang membasahi pipinya.

“Stop Sagala…..aku capek……kepala dan hatiku selalu bingung sama sikap kamu….I hate that you make me feel this way….” lirih Rena yang kini menangkupkan kedua tangannya menutupi wajahnya.

Sagala menarik napasnya dalam-dalam, matanya memperhatikan keadaan Rena yang ada di hadapannya.

“Aku gak bisa kah minta waktu kamu sedikit? I want to explain, Rena….”

“Kenapa sekarang ga?! Kenapa pas aku udah mulai terbiasa gak ada kamu di deket aku?! Kamu nanya kenapa aku balik ngepods? Because I will remember you everytime aku makan permen! Aku bahkan gak bisa makan-makanan favorit aku tanpa nggak inget kamu! Aku gak bisa pergi ke tempat-tempat yang udah pernah kita datengin bareng because it will only reminds me of you! Kamu bisa bayangin gak betapa tersiksanya aku, Sagala?!”

Sagala terdiam mematung di posisinya. Mencerna semua kalimat yang dilontarkan oleh Rena. Ingin rasanya ia memeluk Rena dengan erat namun ia tahu bahwa itu hanya akan memperburuk suasana.

Kepala Sagala sedikit terangkat ketika ia kembali mendengar suara Rena.

“Keluar dari kamar aku, ga…..please….”

312.

Sagala kembali mengambil beberapa foto Rena sebelum ia memutuskan untuk mendatanginya. Akan tetapi suara Acel sudah lebih dulu menarik perhatian Sagala. Ia pun memutar langkahnya mendatangi Acel yang nampaknya kini sedang asik menerangkan berbagai jenis dinosaurus pada teman barunya yang ia temui di toko mainan tersebut.

“Aku punya yang ini!” ucap Acel bersemangat.

“Aku punya yang kecil aja.”

“Kenapa kecil? Kan t-rex gede?”

“Kata papa beli yang kecil dulu.”

Sagala membenarkan posisi tas yang ada dibahunya yang sempat terjatuh sembari tersenyum melihat interaksi Acel dengan seorang anak perempuan seumuran Acel.

Sayangnya pemandangan di depannya itu segera usai karena Acel sudah berlari lagi entah kemana.

“Wening?”

Sagala menoleh saat mendengar suara pria yang cukup ia kenali. Namun keterkejutannya tidak berhenti disana saat ia melihat anak perempuan yang tadinya bersama Acel kini berlari ke arah pria yang sudah dipanggil papa olehnya.

“Loh? Wening?”

“Apa papaaa!”

Sagala tertawa kikuk.

“Eh, halo Richard…..” sapa Sagala.

“Nggak nyangka banget ketemu disini…… Bukannya kamu lagi studi di luar ya? Aku lihat dari instagram kamu.”

“Iya, lagi balik aja bentar. Summer break.”

“Te Aga! Anteee! Sini! Sini! Acel punya temen baru!”

Percakapan antara Sagala dan Richard terhenti sejenak saat Acel menarik Rena mendatangi keduanya. Rena sendiri terlihat cukup bingung dengan sikap Acel namun saat ia melihat sosok laki-laki yang ada di hadapannya, Rena tertegun.

Ia mengenali laki-laki itu.

Richard mengangguk ramah dan tersenyum ke arah Rena. Membuat Rena pun mau tidak mau turut mengangguk membalas sapaan tersebut.

“Halo, Richard.” ucap Richard sembari menjulurkan tangannya ke arah Rena.

“Rena.”

“Yeah, I know.” tawa Richard. “Kita ketemu di ruang sidang, remember?”

Tentu saja Rena ingat.

Hakim yang ia lihat hampir setiap minggu sepanjang kasus perceraiannya.

“Oh ya, kenalin, ini anak aku namanya Wening.”

Lagi-lagi Rena terkejut saat mendengar ucapan pria itu.

“Halo Wening! Aku juga Wening lho!” balas Sagala yang mencubit pelan pipi anak perempuan tadi.

“Well, she named after you after all.”

“Tck… malah dibahas. Diem aja mendingan tuh.”

Richard tertawa mendengar ucapan Sagala. Wanita dihadapannya ini masih sama seperti ingatannya. Namun Richard melihat tatapan kebingungan di wajah Rena dan entah mengapa ia justru membahas hal ini lebih jauh di depan Rena.

“She’s my ex. If you are wondering.”

“Gue nggak pernah ngitung lo jadi mantan!” tawa Sagala.

“Yeah, you should not. Apalagi setelah yang aku lakuin. But I will forever count you as my best what if.”

“Richard udah deh ah…..Jangan ngaco.”

Richard kembali tertawa, “Gue udah punya Wening juga, Wen.”

“Iya! Sama istri lo, kalau lo lupa.”

“Well that one…. Dia meninggal pas Wening lahir.”

Seketika ketiga orang dewasa itu terdiam. Terutama Sagala dan Rena, dengan alasan yang berbeda.

“Ah, sorry…. Nggak ada maksud apa-apa. Jangan salah paham ya, Rena. Aku dan Wening udah nggak ada apa-apa kok. We’re good, right?” tanya Richard ke arah Sagala yang dibalas anggukan oleh Sagala.

“She’s a good catch, Ren-....Aww! Wening sakit!” pekik Richard saat Sagala menendang kakinya dengan kencang.

“Udah mending kamu pergi deh sana-sana. Kasian Wening nih ah! Pergi-pergi! Hus hus!” usir Sagala sembari mendorong-dorong Richard untuk menjauhi dirinya dan Rena.

Sementara itu Richard hanya tertawa melihat kelakuan mantan kekasihnya itu.

“She helps you Rena!”

“Richard!” omel Sagala sembari mendorong Richard lebih jauh.

“Kalau mau minta nomor aku, kamu bisa hubungin Yesha!” teriak Richard lagi.

306.

Rena menaruh ponselnya setelah ia mengirimkan pesan terakhir kepada Sagala, kemudian ia kembali menyunggingkan senyuman profesionalnya. Berusaha untuk kembali fokus dengan tujuan utamanya siang hari itu.

Hari itu Rena ditemani oleh Mahen.

Setelah hampir satu minggu yang lalu temuan Sagala cukup membuat heboh, akhirnya Rena dan Selene meminta agar lawfirm Teira mengambil-alih beberapa proyek vital yang sedang direncanakan oleh clothing line milik Rena dan Selene.

Kali ini Rena ingin memastikan apakah ide-idenya benar-benar dapat ditampung dengan benar. Sedangkan untuk urusan teknis, ia serahkan sepenuhnya kepada Mahen.

Mata Rena mengerjap beberapa kali saat melihat sosok Acel berjalan mondar-mandir ke arahnya sembari melambai-lambaikan tangannya. Namun tak lama kemudian Acel berlari meninggalkannya ke sisi lain dari cafe tersebut.

Rena berusaha keras untuk tetap fokus pada topik pembicaraan walau saat ini sesungguhnya ia antara ingin tertawa melihat Acel serta ingin mengomeli Sagala yang menggunakan Acel untuk memata-matai dirinya.

“Paling itu aja dari saya. Nanti dari tim kami akan kirim ulang proposalnya ke Ibu Rena dan Bapak Mahendra.”

Rena tersenyum mengiyakan. Ia kemudian menjabat tangan pria yang ada di hadapannya beserta tim kecil yang dibawa oleh pria tersebut.

Tak lama kemudian Acel kembali melesat ke arahnya, kali ini langsung menabrakkan tubuhnya ke arah Rena dan memeluk kaki Rena.

“Anteeeee!”

Melihat hal ini, pria yang tadi dicap ‘genit’ oleh Sagala sedikit mengernyitkan keningnya.

“Oh, bu Rena sudah punya anak? Saya kira masih single.”

Mahen hendak membela Rena namun ia sudah didahului oleh Rena yang tertawa pelan sembari mengelus kepala Acel.

“Iya, ini anak saya.”

“Oh gitu….. Saya nggak lihat ada cincin makanya juga ngira masih single. Awet muda banget sih auranya.”

Rena kembali tersenyum singkat walau dalam hatinya ia berharap bahwa pria ini bisa segera meninggalkan cafe tersebut agar ia tidak perlu berbasa-basi lebih lama lagi.

“Kalau gitu kami permisi ya Bu Rena, Pak Mahendra”.

Kali ini sebuah senyuman tulus penuh kelegaan diberikan oleh Rena yang kembali mengangguk dan mempersilakan pria tersebut pergi meninggalkan dirinya dan Mahen.

“Om gendong!” ucap Acel sembari melompat-lompat meminta digendong oleh Mahen yang tentu saja dipenuhi dengan segera oleh Mahen.

“Wah, kamu habis ngapain sih ini cel? Keringetan banget gini?”

“Main! Sama te aga!”

“Kak Sagala disini?” tanya Mahen.

“Aceeeel!”

Yang dipertanyakan oleh Mahen nyatanya datang dengan sendirinya. Sagala masih dengan tangan kanannya yang perlu dibebat untuk satu minggu dan tangan kirinya yang menjinjing tas sekolah milik Acel.

“Ini lho tas ditinggal-tinggal! Tas mahal ini cel!”

Mahen tertawa mendengar ucapan Sagala. Ia kemudian menatap Acel yang turut tertawa melihat tante Sagalanya mengomeli dirinya.

“Ren, makan ditempat lain yuk? Mahen lo nggak gue ajak.”

“Iya emang kalo lo ajak juga pasti gue tolak. Orang gue mau lunch sama Yesha.” balas Mahen dengan tawa.

“Kasih makan adek gue yang enak-enak. Awas aja lo gak kasih makanan empat sehat lima sempurna!”

Acel kembali rungsing dalam gendongan Mahen, kini ia justru meminta diturunkan karena ingin bersama dengan Rena.

“Anteee! Anteee! Aku lapeeer.”

“Okay… kita makan ya? Kamu mau makan apa? Steak mau?”

Pertanyaan Rena dibalas dengan anggukan mantap dari Acel.

“Gila ini bocah, kecil-kecil tasnya udah mahal gini, makan udah steak? Lo dulu juga gini hen?” bisik Sagala.

Sementara itu Mahen hanya menyengir ke arah Sagala.

“Salah sih gue nanya sama lo.”

“Lho? Ren? Rena! Aku kok ditinggal? Reeen!”

Dengan cepat Sagala menyusul Rena dan Acel yang sudah berjalan meninggalkan dirinya.

“Kak! Tas mahal nya nih!” goda Mahen saat melihat Sagala yang justru kini meninggalkan tas milik Acel.

Tentu saja langkah Sagala terhenti. Ia kembali mendatangi Mahen yang masih terbahak.

“Ah sialan itu bocah, ngerjain gue namanya!” gerutu Sagala.

“Namanya juga nyari restu kak! Jungkir balik kalau perlu!” tawa Mahen.

“Sialan! Lo curhat ke gue ya?!”

300.

Sagala memijat keningnya sejenak ketika ia kembali merasakan pusing saat membaca klausa demi klausa perjanjian.

Bukannya ia meragukan kemampuan Sashi. Namun tidak ada salahnya memeriksa kembali hal-hal yang penting.

Tadi Sagala sempat menemukan hal yang janggal terkait dengan vendor yang akan digait oleh perusahaan Rena saat membaca company profile dan melakukan background research secara cepatl. Namun ia mengurungkan niatnya untuk membicarakan hal itu sekarang, mengingat Rena masih tertidur disampingnya.

Merasa ia tidak bisa melanjutkan memeriksa perjanjian yang diberikan secara ilegal oleh Mahen, Sagala memilih untuk menatap Rena sejenak. Mumpung saat ini Rena masih terlelap di kursi penumpang.

Sebuah helaan napas keluar dari Sagala..

“Sampai kapan ya kamu bakal benci aku kayak gini, Ren?”

Namun dengan cepat Sagala menggelengkan kepalanya. Baru dua minggu ia kembali di kehidupan Rena setelah menghilang bertahun-tahun lamanya. Reaksi yang diberikan Rena wajar adanya.

Laju mobil yang ditumpangi Sagala dan Rena berhenti secara mendadak saat sang pengemudi menginjak rem cukup dalam dibarengi dengan suara klakson panjang.

Sagala secara otomatis menaruh tangannya di depan tubuh Rena, sebagai penghalang agar Rena yang sedang tertidur tidak terhempas ke arah kursi penumpang di baris depan.

“Hati-hati pak!” ucap Sagala dengan kesal secara refleks.

“Maaf mba, itu mobil pajero motong jalur tiba-tiba”

“Okay… Pelan-pelan aja pak. Udah mau sampai kan? Gak masalah kok pak telat sedikit dibanding kecelakaan. Pengemudi jaman sekarang banyak yang makin tambah gila.”

“Baik mba…”

Sagala mengangguk pelan. “Maaf ya pak tadi saya refleks teriaknya.”

“Nggak apa-apa mba. Saya juga tadi kaget pas dipotong jalurnya.”

Sagala tidak menyadari bahwa Rena pun turut terbangun dari tidurnya saat supir papanya menginjak rem tadi. Rena bahkan mencengkeram hand rest kursi penumpang yang ia tempati.

Kini mata Rena mengamati Sagala yang masih belum sadar bahwa Rena sudah terbangun.

Rahang Rena mengeras.

Ia membenci semua ini.

Ia benci bagaimana Sagala terlihat sangat peduli pada dirinya bahkan ketika ia tidak 'melihatnya'.

Ia benci bagaimana Sagala terlihat sangat tulus kepada dirinya.

Ia benci bagaimana Sagala tetap gigih berusaha hadir di dekatnya akhir-akhir ini.

Ia benci bagaimana usaha dirinya untuk melupakan dan membenci Sagala selama dua tahun ke belakang seakan-akan dengan mudah di patahkan oleh Sagala.

Ia benci bagaimana Sagala terus menerima perlakuan buruknya. Sekarang justru Rena yang merasa menjadi orang jahat di antara mereka berdua.

“Ren, you okay?” tanya Sagala memecah lamunan Rena.

Sagala sendiri cukup terkejut saat mendapati Rena sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit ia terjemahkan.

“Stop Sagala. Aku capek.”

Sagala terdiam.

“Kamu… beneran nggak mau dengar penjelasan aku sedikit pun? Aku nggak akan membela diriku, Rena. Aku salah. Aku cuma mau minta maaf dan minta satu kali kesempatan untuk memperbaiki apa yang udah aku hancurin.”

“Telat, ga. Kamu mau minta maaf seribu kali pun, nggak ada satu kata maaf kamu yang aku terima.”

Sagala tersenyum tipis.

“Let me pay for my mistake then, Rena. At least sampai aku harus balik studi. C-can I?”

Rena tidak menggubris ucapan Sagala lagi.

Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan kembali memejamkan matanya.

Sagala menggunakan kesempatan ini untuk menanyakan temuannya tadi sebelum Rena kembali terlelap.

“Uhm Rena, I-I….have something to ask… vendor kamu…. Yang pilih siapa? S-sorry lancang tapi aku tadi nemu kalau induk perusahaannya bermasalah Ren. Lagi pailit dan bahkan beberapa krediturnya nggak dibayar. K-kamu nggak mau cek lagi?”

Mata Rena kembali terbuka, dua iris cokelat milik Rena bertukar tatap dengan iris milik Sagala.

“Aku lebih percaya ucapan Sashi daripada kamu.”

294.

“Pagi bibi!”

“Eh pagi mba. Aduuh itu tangannya gimana?”

“Ini? Gatel aja sih bi. Sebenernya tanganku nggak kenapa-kenapa, lebay aja dokternya. Eh, bi ruang makan yang mana ya?”

Anta menggeleng menahan tawa mendengar percakapan Sagala yang terdengar dari ruang makan. Pasalnya Sagala saat itu berada tak jauh dari ruangan dimana Anta dan Rena sudah menyantap sarapan mereka.

“Sini Sagala!” panggil Anta.

Tak lama kemudian Sagala datang dengan wajah sumringahnya.

“Pagi Om!”

“Halo, Rena.”

Rena hanya mengangguk, namun ia sama sekali tidak menghentikan aktivitasnya. Tangannya masih memotong sandwich buatannya yang belum sempat ia potong kecil-kecil.

“Sini….sini….. Kamu duduk situ sebelah Rena.”

Sagala mengangguk. Namun tangannya yang tadinya hendak menarik kursi di sebelah Rena terhenti ketika ia mendengarkan ucapan Rena.

“Pa, ngapain sih? Itu kan kosong?” ucap Rena kesal.

Meja makan di ruangan itu berkapasitas enam orang. Masing-masing satu kursi di sisi ujung kanan dan kiri. Lalu ada masing-masing dua kursi berhadapan. Anta sebagai kepala rumah tangga selalu menempati sisi ujung.

Biasanya Rena dan Yona akan duduk di kanan dan kiri Anta.

Karena ini pula Rena melayangkan protes. Biasanya Anta tidak pernah mengatur letak duduknya dan kakaknya.

“Kepala papa tengeng ini, salah bantal. Nggak bisa noleh ke kanan. Jadi Sagala duduk sebelah kamu aja.” balas Anta.

“Udah duduk situ aja Sagala.” lanjut Anta.

“O-okay Om….”

“Itu sarapan kamu ya. Udah dipotong kecil-kecil biar gampang makan pakai tangan kiri. Kamu nggak kidal kan soalnya?”

“Wah, makasih ya om dibantuin.” senyum Sagala.

Sejujurnya Sagala mulai merasakan keterbatasannya yang disebabkan oleh tangan kanannya yang masih diperban.

Ia kini kesulitan untuk menyetir, kesulitan mengambil barang-barangnya, kesulitan mengetik pesan, kesulitan mandi, bahkan perkara menarik kursi pun jadi sedikit menambah beban.

Awalnya Sagala cukup kebingungan bagaimana caranya ia makan dengan tangan kiri. Namun kini ia lega saat melihat bahwa nampaknya dengan sandwich yang sudah dipotong kecil-kecil seperti ini bisa mempermudah hidupnya.

“Bilang makasihnya ke Rena. Yang motongin dia.” ujar Anta.

“Bibi yang motong.” potong Rena cepat.

Tepat pada saat Rena menyelesaikan kalimatnya, asisten rumah tangga yang dimaksud oleh Rena memasuki ruang makan untuk menaruh jus jeruk pesanan Anta.

“Lho, bibi kan motong karena disuruh mba Rena. Kenapa pak? Ini saya kekecilan ya motongnya? Tadi kata mba Rena disuruh potong kecil-kecil kayak buat Acel pak.”

Anta menahan tawanya yang sudah berada di ujung bibirnya.

Entah ia harus tertawa karena Rena tertangkap basah menyiapkan sarapan untuk Sagala atau justru ia harus tertawa karena Rena mempersamakan Sagala dengan Acel.

Sementara itu mulut Sagala menganga saat mendengar ucapan asisten rumah tangga barusan.

“Renaaaa! Aku bukan anak kecil kayak Acel!” protes Sagala.

Yang dipanggil kemudian menghela napasnya, lalu menolehkan kepalanya ke arah Sagala.

“Bisa diem? Jangan nambahin masalah. Makan tuh makan aja, nggak usah sambil ngomong. Keselek baru tau rasa.”

Anta kemudian memberikan kode pada Sagala untuk menuruti ucapan Rena. Ia tahu persis bahwa lebih baik untuk tidak menguji kesabaran putri bungsunya di pagi hari.

Urusannya bisa panjang. Bahkan mungkin bisa berlarut hingga esok hari.

“Hari ini mau ngapain, Ren?” tanya Anta disela-sela sarapan mereka.

“Mau ketemu mitra kerja, pa. Mau tanda tangan perjanjian.”

Ucapan Rena menarik minat Sagala. Namun ia tahu bahwa saat ini ia hanyalah outsider yang sudah ketinggalan banyak berita. Akhirnya Sagala memilih untuk mencuri dengar sembari memahami alur pembicaraan antara Rena dan Anta.

“Oh, yang kamu nyari vendor itu ya? Apa sih? Yang vendor IT nya atau vendor apparelnya hari ini?”

“Vendor apparelnya. Kalau vendor IT aku minta tolong ke Selene untuk minta bantuan Mahen, since dia pasti lebih paham.”

“Oh ya bagus lah kalau gitu. Hari ini tinggal tanda tangan aja?”

“Iya. Kemarin juga kan udah direview sama Sashi.”

Sagala berhenti makan sejenak.

“Mau aku bantuin review sekali lagi nggak? Free of charge” tanya Sagala secara spontan dibalut dengan candaan.

“Nah bagus itu Ren? Mumpung gratis?” tawa Anta.

“Nggak. Semua dokumennya udah selesai proses review. Hari ini tinggal tanda tangan.”

Sagala mengedikkan bahunya. Usahanya gagal, mungkin bisa coba lagi lain waktu.

Sementara itu Anta meneguk jus jeruknya sambil melihat ke arah putri bungsunya.

“Yah, papa sih cuma kasih saran aja. Siapa tau ada yang terlewat. Nanti Sashi ikut?”

Rena menggeleng, “Nggak lah pa. Sashi kan juga cuma bantu-bantu aja, usaha ini kan tanggung jawab aku dan Selene.”

“Atau gimana kamu ajak aja Sagala hari ini. Siapa tau kamu butuh bantuan Sagala dari sisi hukum.”

“Boleh banget, Ren. Daripada aku sendirian di rumah kamu gini. Maklum pengangguran.”

Rena tidak menggubris ucapan Sagala. Ia kembali melanjutkan menyantap sarapan paginya.

“Nah itu kalau dia diem tandanya iya tuh.” ucap Anta yang dibalas dengan tatapan tajam dari Rena.

“Pa…” ucap Rena memperingati papanya untuk tidak membuat dirinya semakin kesal.

“Sekali ini aja Rena. Ini proyek besar pertama kamu dan Selene lho. Jangan sampai salah pilih vendornya. Percaya papa deh. Kan jadi pengusaha gini papa udah puluhan tahun, Ren. Ngasih makan kamu sama kakak kamu aja ya dari duit jadi pengusaha itu.”

Rena menghela napasnya panjang.

Ia kemudian menaruh garpu dan pisau yang ia gunakan dengan sedikit dihentak.

“Tiga puluh menit lagi aku mau berangkat. Supir papa aku pake. Terserah deh papa mau ke kantor naik apa.”

Rena kemudian meninggalkan ruang makan. Menyisakan keheningan bagi Sagala yang tidak mampu berkata-kata sedikit pun.

“O-om maaf ya jadi nggak enak suasananya….”

Sagala cukup terkejut ketika Anta justru tersenyum lebar ke arahnya.

“Cepetan dihabisin itu makanannya! Tadi tuh Rena ngasih tau ke kamu kalau dia berangkat tiga puluh menit lagi!”

275.

“Jago juga ya kamu mainnya.” ucap Anta setelah melihat Sagala menyelesaikan pukulannya.

“Nggak kok Om. Lagi hoki aja ini.”

“Hoki atau mau show-off ke Rena?”

Sagala menggelengkan kepalanya dengan cepat.

“Justru anak Om bikin aku nggak fokus mainnya hari ini. Mana bisa aku show-off. Kalau Om Satu golf car sama aku dan Rena, Om bisa lihat tanganku gemeteran.” tawa Sagala.

“So now you openly admit you like my daughter?”

Sagala tidak langsung menjawab ucapan Anta. Ia justru menoleh ke arah Rena yang duduk di golf car mereka yang terlihat sibuk dengan ponselnya. Sagala tersenyum saat melihat ekspresi-ekspresi lucu di wajah Rena yang menatap layar ponselnya.

“Aku kira perbuatanku selama ini cukup buat jawab pertanyaan itu.”

“But you never say it, Sagala. Sometimes apa yang sudah terlihat jelas pun masih butuh kepastian secara verbal.”

Sagala menghela napasnya panjang. Kedua tangannya bertumpu pada stik golf yang tadi ia gunakan.

“I do, Om. I do.”

“Good, now what’s the plan?”

“For?”

“Hubungan kalian sekarang bukan di taraf memulai dari nol, bahkan memulai dari minus kalau om liat-liat. Terus rencana kamu apa supaya Rena bisa terima kamu?”

Percakapan keduanya terhenti saat Rena berteriak sembari berlari ke arah mereka.

“Pa! Papa!”

Anta dan Sagala secara refleks menoleh ke arah Rena.

“Ada apa, Ren?”

“Sekolah Acel telpon aku barusan. Mereka minta aku datang kesana sekarang. Kak Yona udah di telpon tapi nggak ngangkat, pa. Kayaknya kakak lagi operasi deh.”

Alis Sagala terangkat sebelah, kepalanya miring sedikit ke arah kiri. Sebuah gestur yang membuat Rena merasa sedikit nostalgia.

“Ayo pa!” ucap Rena lagi.

“Okay…. Okay….. Kamu cari taksi online sekarang, Ren.”

“Hah?!”

Anta menggaruk pelipisnya, “Well, tadi papa nyuruh driver papa buat pergi dulu beli sarapan soto kesukaan papa.”

“Astaga papa!”

“Uhm, sama aku aja Ren. Aku ada mobil.” ucap Sagala memotong percakapan keduanya.

“Okay it’s settled then?” ujar Anta.

Rena mendengus kesal. Namun ia tidak punya pilihan lainnya. Telpon dari sekolah Acel barusan terdengar cukup penting dan genting.

Ketiganya kemudian menuju golf car mereka untuk kembali ke arah gedung utama.

“Kamu sama papamu tunggu di lobby aja. Aku ambil mobilku dulu.” ucap Sagala saat mereka tiba di gedung utama.

Sagala dengan cepat berjalan lebih dahulu, meninggalkan Rena dan Anta tanpa menunggu konfirmasi dari Rena.

Tidak sampai lima menit berselang, Rena dan Anta yang sudah menunggu di lobby golf course tersebut mendengar klakson mobil SUV berwarna hitam. Mobil yang sama yang digunakan oleh Sagala dan Rena untuk pergi ke puncak.

Petugas golf course dengan segera memasukkan tas golf milik Anta dan Sagala ke bagasi mobil.

Uniknya, tanpa Rena sadari, ia secara otomatis memilih untuk duduk di kursi penumpang di depan, tepat di sebelah Sagala.

Sagala pun cukup terkejut ketika mendapati Rena yang sudah duduk di sebelahnya.

“Apa? Ayo cepetan!” tanya Rena saat melihat Sagala menatapnya dengan tatapan terkejut.

“Oh…. right…. Uhm… tolong masukin lokasinya kesini.”

Sagala memberikan ponselnya kepada Rena.

“P-passwordnya m-masih sama…..Or if you forget….”

Rena tidak menggubris ucapan Sagala. Rupanya ia masih cukup fasih mengoperasikan ponsel hitam pemberiannya itu.

Tak lama kemudian suara navigator yang berasal dari aplikasi penunjuk arah tersebut memenuhi indra mereka, menandakan bahwa Rena sudah memasukkan tujuan mereka dalam aplikasi tersebut.

“O-okay…”

Rupanya jarak golf course dengan sekolah Acel cukup dekat. Hanya berkisar tiga kilometer berdasarkan petunjuk yang tersaji dalam aplikasi. Perjalanan ke sekolah Acel ditempuh dalam waktu lima belas menit.

Bisa dibilang cukup beruntung walaupun jalanan cukup padat pagi itu.

Setibanya mereka di sekolah Acel, Sagala mengenali sekolah tersebut. Sekolah elit bertaraf internasional.

Tidak mengejutkan, pikir Sagala.

“Oh, uhm…. Om sama Rena mau turun duluan? Biar aku cari parkir sendiri aja?” tanya Sagala sembari menoleh ke arah Rena lalu menatap Anta.

“Bareng-bareng aja Sagala. Kamu bukan supir.” jawab Anta tegas.

Entah memang Sagala sedang diikuti dewi fortuna atau hanya sebuah kebetulan, sebuah mobil SUV terlihat keluar dari parkiran tepat pada saat mobil Sagala memasuki area parkir outdoor.

Setelah mobil Sagala terparkir dengan sempurna, ketiganya segera turun dan berjalan menuju gedung sekolah Acel.

Rena yang sudah sangat fasih dengan tata letak sekolah Acel berjalan mendahului Sagala dan Anta menuju ke ruang guru dimana saat ini Acel berada.

“Acel kenapa Om?” bisik Sagala.

Ia cukup penasaran namun tahu bahwa tidak mungkin menanyakan hal ini kepada Rena jika ia tidak ingin kena omel Rena.

“Nggak tahu. Om sama butanya sama kamu ini sih.”

“Tapi kayak gini sering? Maksudku Rena ditelpon tiba-tiba sama sekolah Acel?”

Kali ini Anta menggeleng, “Ini baru pertama kali, seinget Om. Rena memang jadi salah satu kontak keluarga karena kamu kan tau orang tuanya Acel dua-duanya dokter. Takutnya kalau ada yang urgent terus mereka lagi out of reach jadi nggak bisa dihubungin. Makanya Rena yang nawarin diri buat dimasukin jadi salah satu important contact-nya Acel.”

“She really loves Acel….” ucap Sagala yang diamini oleh Anta.

“That she does. Kadang orang-orang bahkan ngira Acel anaknya Rena.”

“Well, aku juga pertama kali ketemu Rena dan Acel mikirnya kayak gitu.”

“She loves kids, in general. Kadang Om mikir, mungkin alasan Rena bisa semudah itu ngelepas Azkan karena dia tahu kalau Azkan udah punya anak sama orang lain. Rena nggak mau bikin anak itu kehilangan ayahnya. She hates Azkan but not the girl.”

Anta menyudahi percakapan mereka ketika melihat Rena sudah memasuki ruang guru terlebih dahulu. Sementara itu Sagala memilih untuk tidak mengikuti Anta memasuki ruang guru. Ia merasa tidak memiliki hak untuk masuk kesana.

Sagala lebih memilih untuk melihat-lihat seisi sekolahan tersebut. Sesekali ia tersenyum dan melambaikan tangan kepada anak-anak seumuran Acel yang hilir mudik disana. Sagala juga memastikan bahwa dirinya mudah dicari oleh Rena maupun Anta, ia menoleh beberapa kali ke arah ruangan yang dimasuki oleh Rena dan Anta tadi.

“Acel, Ante kecewa sama kamu. Sekarang kamu tunggu disini, diem. Think about your mistake. I will talk to you later setelah Ante ngomong sama Miss Joanna.” Ucap Rena yang meminta Acel untuk duduk di kursi taman yang terletak tepat di seberang ruang guru tersebut.

Rena dan Sagala sempat bertukar tatap sejenak.

“Go on, kamu bisa ngelanjutin yang di dalem. Aku nemenin Acel disini.”

“Thanks.”

Sagala mengamati Acel yang terduduk lesu di hadapannya. Ia dapat melihat bekas cakaran kemerahan di tangan Acel serta sedikit benjolan di kepala Acel.

”Ah, fist fight….seems like he won the fight huh?” batin Sagala yang berusaha menahan tawanya.

Rasanya seperti dejavu bagi Sagala. Walau ia tidak mahir berkelahi, namun masa kecilnya cukup dihiasi dengan beberapa kali perkelahian. Terutama jika ada orang yang mengolok Isaura.

Sagala tidak begitu khawatir melihat kondisi luka di lengan Acel. Namun ia ingin memastikan bahwa tidak ada luka-luka lainnya yang tersembunyi, terutama di kepala Acel. Ia kemudian berjongkok di depan Acel, mensejajarkan pandangannya dengan anak laki-laki tersebut.

“Acel, inget aku nggak?”

Acel mengangguk pelan.

“Kita belum kenalan tapi, aku Sagala. Temennya tante Rena.” ucap Sagala sambil menjulurkan tangannya kepada Acel.

“Aku Acel.”

“Yeah, I know that.” tawa Sagala. “Omong-omong, boleh ya aku pegang Acel? Mau lihat luka kamu sebentar.”

Acel kembali mengangguk.

“Kamu habis berantem ya? Tadi sempet jatuh nggak kamu?” tanya Sagala basa-basi sembari memeriksa tubuh Acel.

“Hu..um….jatuh dikit.”

Sagala kembali berusaha menahan tawanya saat mendengar jawaban lesu dari Acel.

“Menang atau kalah? Temen kamu luka apanya?”

“Kepalanya.”

Alis Sagala terangkat sebelah.

“Oh ya? Kamu apain dia?”

“Aku pukul.”

“Kenapa?”

“Jeffrey bilang Acel banci…”

Jawaban Acel lagi-lagi menarik perhatian Sagala dan menghentikan sejenak inspeksinya pada badan Acel.

“Wait, sebentar dulu ya, aku boleh pegang bagian sini? Deket pantat Acel. Kalau sakit bilang ya?” ucap Sagala lagi sembari menunjuk ke arah tulang ekor miliknya untuk memberi contoh kepada Acel.

Acel kembali mengangguk.

“Sakit?”

Kali ini sebuah gelengan kepala diberikan oleh Acel membuat Sagala menghela napasnya lega.

“Kenapa temen kamu bilang kamu banci? Emang Acel ngapain?”

“Soalnya cita-cita Acel kayak Ante…Foto-foto sama mau gambar baju.”

”Astagaaa ini bocah anaknya Rena atau anaknya Kak Yona sih?” batin Sagala lagi.

“Terus dia ejek kamu?”

Acel kembali mengangguk.

“Kenapa Acel pukul temen Acel? Kan temennya gak mukul kamu?”

Kali ini Acel menatap Sagala dengan tatapan kesal. “Acel dipukul duluan ante! Bukan Acel yang mukul duluan!”

“O-okay… maaf ya, aku nggak tahu kalau kamu dipukul duluan. Dia pukul kamu dimana? Disini?” tanya Sagala sembari menyentuh pelan area di dahi Acel yang terlihat benjol.

“Iya….a-aduuh! Sakit!”

“Oh maaf….. Maaf.” tawa Sagala

“Dia pukul kamu pakai apa, Cel?”

“Botol minum punya Jeffrey.”

“Terus kamu mukul dia pakai?”

“Balok mainan yang ada di meja. Kena kepala sama kuping.”

“Temen kamu luka?”

“Tadi-...”

Percakapan mereka terhenti saat melihat Rena keluar dari ruang guru dengan ekspresi datar.

Sagala pun berdiri dari dari posisinya.

“Udah selesai Ren?”

“Belum. Acel harus masuk lagi ke dalam, minta maaf sama Jeffrey. Kamu juga bakal kena hukuman, okay? Ante bakal ngomong serius sama kamu. Sekarang kamu masuk, di dalam ada akung. Kamu nanti sama akung dulu.”

“Ante?”

“Ante tunggu disini.”

Acel mengangguk pasrah. Ia kemudian berjalan lunglai ke dalam ruang gurunya lagi, namun kali ini tidak didampingi oleh Rena.

Sagala mengangkat kepalan kedua tangannya ke arah Acel, mencoba menyemangati keponakan Rena yang menurutnya tidak bisa dipersalahkan seratus persen. Namun perbuatan Sagala justru mendapatkan cubitan keras dari Rena.

“A-aw!! Sakit Ren!”

“Kamu tuh jangan mengencourage dia buat berantem gini!”

“Kamu udah denger belum alasan Acel berantem? Dia dikatain banci sama temennya! Cuma gara-gara cita-citanya pengen jadi model dan fashion designer, kayak kamu Ren.”

“Still Sagala! Nggak seharusnya dia pukul temennya pakai balok sampai gigi temennya copot!”

Sagala terkejut mendengar ucapan Rena, ia kemudian terbahak cukup kencang. ”Whoa that boy….bar-bar juga keponakan kamu.”

Rena menjatuhkan dirinya ke bangku taman yang tadi ditempati oleh Acel. Ia kemudian memijat keningnya.

“Kamu bisa ketawa ya? Mikir nggak sih ga? Ini habits yang harus ditanganin cepet. Aku nggak mau Acel tumbuh jadi anak cowok yang suka kekerasan. Aku nggak mau dia jadi laki-laki brengsek, ga. All these times, aku yang juga ikutan didik Acel kalau kak Yona lagi nggak bisa. I never knew Acel could be this violent.”

Mendengar ucapan Rena, Sagala memilih untuk duduk di sebelah Rena dan menepuk pelan punggung tangan Rena.

“You did a good job, Ren. I can tell. One mistake should not define him as a whole. Mungkin kamu perlu ngobrol lebih jauh sama Acel, he will listen because he adores you so much. Maybe even more than he adores Kak Yona. Such a weird statement, I know. But that’s the truth.”

“If you want, aku punya kenalan yang jago bela diri. Mungkin powernya Acel bisa kita arahin ke hal-hal yang lebih positif. That way, kalau lain kali dia diserang, Acel tahu dia cukup mempertahankan dirinya tanpa perlu nyakitin orang lain. He is just a kid, Ren. How old is he again? Three? Mungkin Acel juga kaget kali bisa mukul temennya sekenceng itu.” lanjut Sagala

Rena terdiam, berusaha mencerna saran Sagala. Ia pun menyadari bahwa apa yang diucapkan Sagala ada benarnya. Namun tidak bisa ia pungkiri bahwa responnya saat ini merupakan buah dari kekhawatirannya pada Acel dan kekecewaannya pada dirinya sendiri yang menurut Rena belum bisa mendidik Acel dengan benar.

“It’s okay, Rena. Temennya nggak gegar otak kan? If this could help, minta aja orang tua anak itu buat MRI sekalian. Nanti kak Yona yang bayarin?”

“I already said that. Orang tua Jeffrey juga tadi setuju. Untungnya mereka juga concern ke sikap anaknya yang ngolok-olok Acel tadi. Untungnya juga, gurunya emang tadi juga lihat langsung pertengkaran mereka. Katanya it happens way too fast makanya gurunya gak sempat ngelerai.”

“See? It’s okay. Kamu nggak perlu ngerasa gagal.”

Rena mengedikkan bahunya.

“Acel nggak luka parah kok, cuma luka kecakar aja sih aku lihat di tangannya. Aku udah cek juga kepala dan tulang ekor dia. Dia bilang tadi dia sempet jatuh, tapi aku udah cek tadi nggak ada luka luar dan hopefully luka dalam. Aku tadi sempet coba pegang area tulang ekor dia tapi Acel bilang nggak sakit. But you need to re-confirm this ke Acel ya? Atau ya kalau perlu dicek beneran aja ke rumah sakit. Kepalanya juga cuma benjol aja, kayak ikan louhan.” tawa Sagala.

Sagala kembali meringis kesakitan ketika Rena meninju perutnya cukup kencang.

“Kamu ngatain keponakan aku kayak ikan?!”

“You should see it by yourself! Benjolnya gede di jidat Ren! Persis ikan louhan!”

Rena mendecakkan lidahnya kesal. Agak gengsi baginya untuk ikut tertawa. Kali ini Rena terselamatkan oleh Acel yang sudah memanggilnya terlebih dahulu, membuat Rena memiliki alasan untuk tidak menggubris Sagala.

“Anteee….” panggil Acel yang mendatangi Rena dan Sagala.

“Sudah minta maaf ke Jeffrey?”

“Udah….”

Mata Rena secara otomatis melihat ke arah dahi Acel yang dibilang mirip seperti ikan louhan. Rena secara mati-matian berusaha untuk menahan tawanya karena ia kini menyadari ucapan Sagala ada benarnya.

“Jidat kamu sakit nggak?”

“Dikit…”

“Nanti kita periksa. Selain itu Ante bakal lapor ini ke mama kamu ya. Ante juga masih mau ngomong serius ke kamu.”

Acel hanya bisa memanyunkan bibirnya saat mendengar nada bicara Rena yang tidak selembut biasanya.

Anta pun kini mendatangi Sagala dan Rena. Memberikan tanda bahwa mereka sudah bisa meninggalkan sekolah Acel.

“Sudah beres. Nanti orang tua Jeffrey akan kasih bill rumah sakitnya ke papa. Sekarang kita pulang dulu, nanti Acel dijemput Yona agak siang atau sore katanya.” ujar Anta pada Rena.

“Kamu pulang aja Sagala, rumah kamu kan udah deket. Supir Om bentar lagi sampai kok. Terima kasih ya sudah diantar sampai sini.” lanjut Anta.

“Nggak masalah Om. I’m one call away kalau butuh bantuan apapun.”

Rombongan kecil itu pun kemudian berjalan meninggalkan area ruang guru dan menuju lobby untuk menunggu mobil Anta tiba.

Acel berjalan bersama Rena yang terlihat sedang menanyakan beberapa hal kepada keponakannya itu.

“Parah nggak om kondisi temennya Acel?” tanya Sagala.

“Sebenernya bisa dibilang parah ya parah, dibilang nggak parah juga bisa. Giginya copot satu, tapi kata orang tuanya memang udah goyang sih giginya itu. Cuma yang agak concerning karena mereka berdua pukul-pukulannya pakai benda keras. Nanti Acel juga dicek kondisinya kok.”

“Aku tadi udah bilang ke Rena, mungkin memang harus ngomong serius ke Acel. Tapi dilihat dulu alasan tadi Acel berantem itu apa. Aku juga nawarin ke Rena buat ngenalin Acel ke temen aku yang buka kursus bela diri. Biar kalau ada kondisi serupa, Acel bisa bertahan tanpa harus nyelakain lawannya.”

“Ide bagus itu, nanti Om omongin juga ke Yona. Oh omong-omong bilangin ke Rena ya, Om mau ke toilet sebentar.”

Sagala mengangguk mengiyakan. Kemudian ia menyusul Rena yang berada tak jauh di depannya bersama Acel.

Selama menunggu kedatangan mobil milik Anta, kecanggungan kembali melanda Sagala dan Rena seakan-akan beberapa saat lalu mereka tidak membicarakan Acel dengan normal.

Rena yang sengaja sibuk dengan Acel membuat Sagala cukup ragu untuk menyela pembicaraan keduanya. Lagipula Sagala pun sudah cukup bersyukur hari itu ia sempat berbicara dengan ‘normal’ kepada Rena walaupun memang ada saat-saat dimana Rena juga masih bertindak cukup unresponsive kepadanya.

“Itu mobil akung!!” ucap Acel bersemangat.

Rena yang sedang memeriksa ponselnya sejenak tidak menyangka bahwa Acel akan melepaskan gandengan tangannya dengan Rena dan berlari menuruni tangga dengan cepat untuk mendatangi mobil hitam yang ia kenali.

Sagala yang juga turut terkejut dengan aksi Acel berteriak saat ia melihat sebuah mobil SUV lainnya yang berada di depan mobil milik Anta terlihat akan memundurkan posisinya yang ditandai dengan menyalanya lampu belakang mobil tersebut.

“ACEL!”

Secara refleks Sagala pun turut berlari ke arah Acel.

Setelahnya Sagala tidak begitu menyadari apa yang terjadi, ia hanya mendengar suara pekikan Rena.

“SAGALA!”

268.

Senin, 28 Juli 2025

“Halo, sudah sampai?”

“Sudah om. Aku di lobby. Om sudah sampai?” jawab Sagala yang secara otomatis menolehkan kepalanya ke arah pintu masuk lobby, mengira bahwa Anta sudah tiba.

Minggu malam kemarin tiba-tiba ia mendapatkan pesan singkat dari Anta yang mengatakan bahwa Sagala tidak perlu menjemput Anta dan menyampaikan bahwa mereka bisa bertemu langsung di golf course yang terletak tidak begitu jauh dari rumah Sagala.

Alasan Anta agar Sagala tidak perlu berkendara bolak-balik menempuh jalur yang sama.

Selain itu Anta juga memundurkan waktu pertemuan mereka menjadi pukul tujuh pagi di golf course tersebut.

Jarak rumahnya yang tidak jauh dari golf course membuat Sagala tiba di tempat yang sudah disepakati lebih dahulu dibandingkan dengan Anta. Akhirnya Sagala memutuskan untuk menunggu Anta di ruang tunggu lobby tersebut sembari memainkan beberapa game yang terdapat di ponselnya.

“Ini udah deket sih. Kita ketemuan di lobby aja ya?“

“Okay om.”

Tak lama kemudian sambungan telepon tersebut terputus.

Sagala pun menutup aplikasi game-nya kemudian berdiri untuk meregangkan tubuhnya yang terasa sedikit kaku.

Tak lupa Sagala melihat pantulan dirinya di kaca terdekat untuk memastikan bahwa saat ini penampilannya cukup rapi. Ia menggunakan celana panjang berwarna navy yang dipadu padankan dengan baju golf lengan panjang berwarna hijau muda. Pilihan yang menurutnya cukup tepat mengingat ia dan Anta akan berjalan cukup lama di bawah terik matahari.

Tepat pada saat ia membalikkan badannya, Sagala terkejut ketika melihat Anta berjalan bersama Rena.

Ia merasa napasnya terhenti sejenak karena dua alasan utama.

Pertama, ia cukup terkejut melihat Anta secara sengaja mengajak Rena padahal jelas sekali Anta mengetahui bahwa hubungannya dengan Rena tidak baik-baik saja. Ia juga ragu harus bersikap seperti apa sekarang dengan adanya Anta diantara dirinya dan Rena pagi itu.

Kedua, Sagala terpana melihat sosok Rena yang mengenakan celana golf berwarna hitam dengan atasan lengan panjang berwarna putih yang memeluk tubuh Rena dengan sempurna. Rambut hitam legamnya dibiarkan terurai dengan manis melengkapi kecantikan Rena pagi itu.

“Damn…” ucap Sagala pelan.

Tidak jauh berbeda dengan Sagala, Rena pun turut tertegun saat melihat kehadiran Sagala disana. Namun tak lama berselang ia memukul lengan papanya dengan kencang.

Sagala dapat melihat bahwa Rena sedang mengomeli papanya sambil mencubit pinggang pria tersebut. Anta pun terlihat hanya meringis kesakitan dan menanggapi amarah putrinya dengan candaan.

Entah apa yang dilakukan oleh Anta, akan tetapi reaksi Rena tidak seperti apa yang dibayangkan oleh Sagala. Ia kira Rena akan dengan segera meninggalkan tempat tersebut. Namun yang terjadi justru ia mengekor di belakang Anta dengan ekspresi kesal yang nampak jelas menghiasi wajahnya.

“P-pagi Om.” sapa Sagala sembari sedikit membungkukan badannya kemudian menjabat tangan Anta.

“Pagi…. Pagi…. Maaf ya om telat. Ini nih ada yang bangun kesiangan, padahal udah om mundurin jam mainnya.”

Mendengar sindiran dari papanya itu, Rena memutar kedua bola matanya malas.

“Oh omong-omong ya….. Om sebenarnya sudah reserve. Tapi tadi kok lupa ngomong sama kamu.”

“Nggak masalah Om…”

“Kamu bawa peralatan sendiri?”

Sagala mengangguk.

“Ngakunya nggak jago tapi diliat-liat kamu udah siap tempur gini. Ini sih merendah aja nggak sih, Ren?” kekeh Anta sembari menyikut Rena jahil.

Lagi-lagi Rena tidak banyak merespon. Ia hanya mengedikkan bahunya malas.

“Yaudah kita mulai aja lah ya. Nanti ada dua golf car. Kamu sama Sagala ya Ren. Papa soalnya minta disetirin Caddynya. Kamu kan nggak bisa nyetir soalnya.”

“Pa! Kan kemarin janjinya aku nemenin papa supaya papa nggak sewa caddy?! Kok sekarang gini sih! Aku ajalah yang sama Caddy!”

Anta balas mengedikkan bahunya dan melayangkan senyuman jahil ke arah putrinya.

“Lho papa tepat janji ini. Kamu kan ngelarang papa sewa jasa caddy cewek, orang caddy papa cowok kok. Lagian ya, kamu kan nggak bisa nyetir. Makanya belajar nyetir. Selain itu karena Caddynya cowok, ya papa nggak mau lah anak papa deket-deket sama dia.” ucap Anta.

Rena mendesis kesal ke arah papanya sembari memelototi Anta.

Sementara itu Sagala terkekeh pelan melihat interaksi Anta dan Rena. Ia bersyukur bahwa Anta memenuhi permintaannya beberapa tahun silam. Terbukti kini hubungan Anta dan Rena tidak secanggung dulu.

Anta masih tertawa melihat aksi protes putrinya, namun ia tidak mengambil pusing atas hal ini. Ia pun berjalan meninggalkan Rena dan Sagala, menuju ke arah caddy yang tadi sudah mengenali dirinya mengingat Anta merupakan member VIP di tempat golf tersebut.

“Uhm… you go first…” ucap Sagala kepada Rena, mempersilakan Rena untuk berjalan di depannya.

Rena menatap Sagala dengan kesal. Namun ia justru melihat senyuman tulus yang diberikan oleh mantan pengacaranya itu. Ia pun akhirnya hanya bisa mendengus kesal ke arah Sagala.

Setelah melihat Rena berjalan di depannya, Sagala kemudian mengekor di belakang Rena. Sagala sengaja melakukan hal ini dikarenakan ia masih merasa jantungnya berdebar cukup cepat dengan kehadiran Rena di dekatnya. Selain itu dengan posisi seperti ini ia bisa melihat Rena dengan lebih leluasa.

Sagala kembali terpesona saat melihat Rena menguncir rambutnya. Entah kenapa pagi itu setiap gerak-gerik Rena terlihat sangat mengagumkan di mata Sagala.

”Hold yourself Wen!”

“Kalian naik yang ini ya, papa naik yang itu.” ucap Anta membuyarkan pikiran Sagala.

Tanpa basa-basi Rena langsung menempati golf car yang ditunjuk oleh papanya. Ia duduk tepat di sebelah kursi pengemudi dengan kedua tangannya yang ia lipat di depan dada.

“Uhm, aku duduk sini ya Ren…” ujar Sagala meminta izin kepada Rena yang tentu saja tidak digubris oleh Rena.

Sebuah senyuman canggung diberikan oleh Sagala ketika ia menyadari bahwa Rena menatapnya tajam.

Perlahan golf car keduanya berjalan beriringan dengan golf car yang digunakan oleh Anta.

“M-maaf ya… aku tau kamu nggak pengen ada dideketku sekarang. Tapi sumpah aku nggak tahu kalau papa kamu ngajak kamu juga pagi ini. Aku kira-...”

“Nggak usah dibahas.”

Sagala mengangguk pelan.

“R-ren, aku pengen ngomong serius sama ka-...”

“Bisa diem nggak? Jangan bikin tambah badmood, ini masih pagi. Kalau bukan karena permintaan papa, aku males ada disini. Paham kan?”

“Please kasih aku satu kesempatan aja, Ren….Aku pengen minta maaf ke kamu. Perbuatan aku dulu nggak bisa dibenarkan dari segi mana pun. But I just want to let you know kalau–...”

Rena menolehkan kepalanya ke arah Sagala, menghentikan ucapan Sagala yang menyadari bahwa kini Rena kembali menatapnya tajam. Bahkan lebih tajam dari sebelumnya.

“Stop Sagala. Just stop. Jangan bikin aku inget-inget kebodohan aku itu berkali-kali, kecuali memang itu tujuan kamu.”

“Ren…”

“Kamu berhenti ngomong atau aku pergi dari sini? Aku nggak peduli papa mau komentar apapun ke aku.” ancam Rena.

Sagala menghela napasnya pelan.

“Once again, I'm so sorry Rena… Aku bener-bener menyesal. I really am…..” lirih Sagala pelan.

262.

Rena membanting pintu rumahnya cukup keras ketika ia tiba di rumahnya.

Mukanya merah padam, menahan amarah. Setelah pertengkarannya dengan Sagala tadi, ia langsung meninggalkan area GBK menggunakan taksi seadanya yang bisa ia temukan di dekat area perhotelan.

Anta yang sedang berada di ruang keluarga mengubah arah pandangannya yang semula membaca koran pagi melalui gawainya kini menatap putrinya.

“Kamu pulang-pulang marah-marah gini tuh kenapa sih?”

Rena tidak menjawab pertanyaan papanya sama sekali. Memilih untuk menaiki anak tangga rumahnya menuju ke kamar tidurnya.

Melihat kondisi Rena yang pulang dalam keadaan tidak baik, Anta kemudian memilih untuk mengikuti putrinya.

Dua tahun ke belakang ia memang berusaha untuk memperbaiki hubungannya dengan Rena. Sedikit tertatih-tatih di awal, namun perlahan Anta mulai menemukan ritmenya. Begitu pula dengan Yona, yang mungkin sedikit lebih beruntung dibandingkan Anta karena terbantu dengan kehadiran Acel.

Anta mengetuk pintu kamar Rena dua kali sebelum ia kemudian memasuki kamar putrinya. Ia mendapati putrinya sedang membasuh wajahnya di wastafel kamar mandinya, berusaha untuk meredam amarahnya.

Anta menarik kursi meja rias milik putrinya lalu duduk disana sembari mengamati Rena.

“Papa diem.” ucap Rena yang keluar dari kamar mandi dengan wajah yang tertutupi oleh handuk kecil.

“Papa nggak ngomong apa-apa?” ucap Anta sembari mengangkat kedua tangannya.

Rena melempar handuk yang ia gunakan ke dalam keranjang pakaian kotor. Ia kemudian memasuki walk-in closetnya untuk berganti pakaian.

Anta yang tengah menunggu Rena dengan sabar terperanjat kaget ketika ia mendengar Rena yang tiba-tiba berteriak kesal.

“SAGALA FUCK YOU!”

“RENATA! Papa punya penyakit jantung tau!” balas Anta yang memegang dadanya sedikit terkejut.

“PAPA DIEM!”

“Kok jadi galakan kamu?!” protes Anta.

Rena memutar kedua bola matanya malas, ia tahu papanya hanya melebih-lebihkan.

Lima menit Rena habiskan waktunya di dalam walk-in closet miliknya sembari berjalan mondar-mandir, berusaha menenangkan dirinya sendiri.

Tepat pada saat ia keluar dari walk-in closet miliknya, ia melihat papanya duduk bersedekap di depan meja riasnya.

“Duduk, Ren.” ucap Anta menyuruh putrinya untuk duduk di kasurnya.

“Pa, aku udah gede ya. Kalau papa lupa, umurku udah tiga puluh enam tahun ini, plus udah melewati satu kali perceraian. Nggak mempan kalau papa mau dudukin aku kayak dulu pas aku masih SD.”

“Tapi tantrum kamu persis kayak kamu waktu SD.”

Rena mengabaikan ucapan papanya. Lebih memilih untuk menjatuhkan dirinya di kasur miliknya dan memejamkan kedua matanya.

“Kenapa lagi Sagala?” tanya Anta.

“Stop sebut nama dia!”

“Barusan kamu sendiri yang neriakin nama dia.” ucap Anta menggoda Rena.

“Aaarghhhh! I hate her so much!”

Anta terkekeh, “You did not.”

“Shut up, pa!”

“You didn’t cry that hard for her if you hated her, Ren.” lanjut Anta.

Rena menarik bantal tidurnya menutupi wajahnya.

“I hate her so much, pa. I hate how she played me. I hate how even two years after dia pergi gitu aja, I still–.....”

“You still like her.” ucap Anta menyelesaikan kalimat Rena.

Anta menghela napasnya panjang, “Sagala will definitely be mad at papa for this but, she never leave Ren. She never leave you.”

Ucapan Anta membuat napas Rena tercekat.

“W-what do you mean?”

Anta kemudian merogoh ponselnya dan melemparnya ke kasur Rena.

“Password papa masih sama, tanggal lahir mama kamu. Cari aja chat papa sama Sagala, semua terecord dengan baik selama dua tahun.”

“Pa, your daughter is literally in a mess dan papa nyuruh aku buka chat papa, ngescroll satu-satu chat selama dua tahun?”

“Alright, alright….where to start ya….” Anta mencoba mengingat-ingat kembali.

“W-wait… Papa sama Sagala kontakan selama ini?!” potong Rena yang tiba-tiba menyadari hal ini.

Anta mengangguk. “Bahkan sebelum putusan cerai kamu keluar.”

“What? How? You never met her. Well once, but that didn’t count. Waktu aku mau ke puncak, papa sama Sagala cuma ngobrol bare minimum?”

“Sagala yang kontak papa duluan, habis kamu hampir dirampok itu. Sagala yakin itu perbuatan Azkan, karena Azkan ngerasa terpojok sama bukti-bukti yang didapat sama timnya Teira. Sagala minta dua hal ke papa. Pertama, dia minta agar papa usaha lebih untuk bisa perbaikin hubungan papa sama kamu. Kedua dia minta papa untuk perketat keamanan kamu selama satu tahun setelah putusan perceraian kamu keluar.”

Rena terdiam, walaupun Anta tidak bisa melihat wajah Rena karena masih tertutupi oleh bantal, namun Anta tahu putrinya masih mendengarnya.

“Kamu ngerasa ada yang aneh nggak? Nggak terlalu lama sebelum putusan cerai kamu keluar, keluarganya Azkan kena pemeriksaan atas dugaan kasus korupsi?”

“Weird but well, not my business anymore.” jawab Rena singkat.

“That’s Sagala’s work. Walaupun di pemberitaan semua bilang ada anonim whistleblower, tapi itu Sagala. Dia tahu Azkan bakal terus ngusik kamu selama Azkan punya power dari keluarganya–....”

“Papa kan juga punya power, don’t sugar coat it.”

“Ren, jangan naif. Uang aja masih kalah sama orang-orang yang punya kekuasaan.”

“Papa nggak tau gimana Sagala bisa dapetin bukti-bukti krusial di kementerian. Tapi yang jelas korupsi-korupsi orangtuanya Azkan semua kebongkar, kamu sendiri yang liat di berita. Ditambah pemberitaan di media tentang perselingkuhannya Azkan yang ke blow-up dimana-mana juga bagian dari kerjaannya Sagala, ini papa konfirm sendiri ke Ares.”

Ponsel milik Anta berdering, menghentikan pembicaraannya dengan Rena.

Anta berdiri untuk mengambil ponselnya yang kini menampilkan nama Sagala di layar.

“Sagala telpon papa, pasti dia mau tanya kamu udah di rumah atau belum. Mau papa loud speaker?” tawar Anta.

Rena melempar bantal yang menutupi wajahnya ke sembarang arah.

“Aku nggak butuh curi denger kayak gini lagi. Aku butuhnya denger langsung dari mulut dia. Aku nggak butuh dia yang masih jadi pengecut kayak gini.”

“Fair enough, but pesan papa satu, papa nggak tau apa yang terjadi di antara kalian, but whenever you are ready, coba dengar alasan dia. Papa juga dulu menghindar dari kamu dan jadi pengecut karena papa ngerasa bersalah sama kamu. Alasan cliche, papa tau, tapi emang gitu adanya Ren. It’s hard to explain.”

Anta menepuk kaki Rena, ia kemudian keluar dari kamar Rena tepat saat ponselnya kembali berdering.

“Halo, Sagala?”

261.

Yesha tidak pernah menyangka bahwa Sagala kemungkinan besar serius dengan ucapannya yang akan mengitari Stadion Utama GBK seribu kali. Tentunya hanya perumpamaan karena ia rasa kakinya bisa lepas dari sendinya jika benar-benar berlari mengitari Stadion Utama GBK sebanyak itu.

Namun melihat seniornya itu berlari dengan kecepatan konstan sembari kepalanya menengok ke kanan dan kekiri seakan-akan mencari seseorang membuat Yesha sangat kewalahan. Bahkan Mahen yang secara rutin lari pagi pun cukup takjub dengan stamina Sagala.

“Yang, aku nggak kuat deh kalau harus ngimbangin Kak Wen kayak gini.” ucap Yesha pada Mahen yang berhenti berlari ketika kekasihnya menepi.

Mahen pun menggandeng tangan Yesha dan mencari tempat duduk terdekat, ia kemudian menyuruh Yesha untuk melakukan pendinginan sebelum benar-benar duduk untuk beristirahat.

“Kamu kalau mau lari lagi sama Kak Wen aja deh, aku kalau kayak gini mau mati rasanya.” keluh Yesha sembari menempelkan minuman dingin yang diberikan oleh Mahen ke keningnya.

Mahen tertawa melihat tingkah Yesha. Ia kemudian merapikan sedikit rambut Yesha yang berantakan tertiup angin.

“Nggak lah, I just want to spend my time with you.”

Yesha yang tersipu malu memilih untuk menangkupkan tangan kanannya di mulut Mahen untuk membungkam kekasihnya.

Sementara itu Mahen justru berusaha untuk menghindari tangan Yesha, kedua tangan Mahen berusaha untuk menangkap tangan Yesha agar mulutnya tidak berhasil dibungkam.

“Yang begini ini nih yang bikin gue iri.”

Yesha menoleh ke arah datangnya suara dan melihat Sagala sudah berkecak pinggang.

“Kok lo berdua berhenti gak bilang-bilang sih? Gue udah lari jauh pas gue ngajak ngobrol orang taunya salah! Malu anjir!” protes Sagala.

“Ya abis kak, lo larinya udah kayak atlet tau! Jangan-jangan lo di Inggris masuk klub bola ya?” balas Yesha.

“Yaudah deh, makan bubur aja yuk ah. Gue laper. Lo yang bayarin ya Sha, itung-itung traktiran lo ke gue.”

“Idih!”

“Gue nggak bawa dompet nih, gara-gara tadi pagi lo ngeburu-buru gue!”

Mahen hanya bisa menggelengkan kepalanya, sementara Yesha secara otomatis melingkarkan lengannya di lengan Mahen.

“Belain aku dong!”

“Yaudah aku aja yang traktir.” tawa Mahen.

Selama mereka berjalan mencari penjual bubur, Sagala terus menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Berharap ia dapat menemukan sosok Sashi.

Doanya terkabulkan ketika di kejauhan ia melihat sosok Selene sedang berjalan bersama dengan Rena dan Sashi.

“Ayo buruan Hen, Sha!”

Yesha menatap Mahen keheranan namun tak lama kemudian matanya membulat sempurna saat melihat sosok Sashi bersama dengan Rena dan Selene.

“Hi, Ren, Sel.” sapa Sagala.

Sementara itu Selene melihat ke arah adiknya dengan penuh selidik yang hanya dibalas oleh Mahen dengan mengendikkan bahunya.

Rena tidak menggubris Sagala sama sekali, ia memutar kedua bola matanya malas lalu mendekati bapak-bapak yang menjual bubur tempat tujuan awal ia dan Selene serta Sashi untuk menyantap sarapan pagi mereka.

“Uhm, pak dua porsi bubur, yang satu nggak pakai kacang, yang satu lengkap. Terus dua-duanya nggak diaduk. Minumnya teh manis hangat ya pak, dua juga.” potong Sagala tepat sebelum Rena memesan.

“Sha, Hen, lo berdua pesen sendiri deh. Gue nggak tau bubur kalian harus gimana. Yang tadi gue mesenin buat Rena.” lanjut Sagala.

“Gue nggak ngerasa perlu lo pesenin.” desis Rena.

“I know, but I want to. Aku nggak salah kan mesennya?” tanya Sagala sembari tersenyum ke arah Rena.

Yang ditanya sama sekali tidak memberikan respon. Ia justru langsung meninggalkan Sagala dan mendekat ke arah Sashi dan Selene, sebagai bentuk antisipasi Sagala akan mengikuti dirinya.

Melihat hal ini, Sagala sempat mengerucutkan bibirnya sejenak. Namun hal ini tidak berlangsung lama.

“Titip bubur gue dulu deh Sel, gue mau cari angin bentar.” ucap Rena yang kemudian meninggalkan ‘rombongan’ kecilnya.

Sagala pun dengan cepat mengikuti Rena, ia ingin segera menjelaskan semua duduk permasalahannya dan menyampaikan kata maafnya kepada Rena seperti apa yang disarankan oleh Teira.

Mahen menarik tangan Selene yang hendak mengikuti Sagala dan Rena.

“Hen! Lepasin!”

“Kak, let them. You have to be fair.” ucap Mahen sembari menatap mata kakaknya.

Yesha pun turut menggelengkan kepalanya ke arah Sashi yang juga hendak mengikuti Sagala.

“Nah mendingan kita makan bubur dengan damai okay? Kak Wen sama Kak Rena udah sama-sama gede, nggak perlu kita jagain terus-terusan.” ucap Yesha saat melihat pesanan mereka sudah selesai di buat.

“Babe, kita kan belum pesen?” tawa Mahen.

“Makan aja dulu punya kak Wen sama kak Rena, emang mereka bakalan cepet ngomong berdua nya?”

Sashi tertawa mendengar ucapan Yesha. “Well, if you put it that way….”

Sementara itu, Sagala berusaha untuk mengejar Rena yang berjalan cukup cepat meninggalkan dirinya. Tentu saja hal ini bukan perkara sulit bagi Sagala. Jika ia kuat berlari secara konstan pagi tadi, hanya mengejar Rena merupakan hal yang mudah baginya.

“Ren…. please let me talk…..let us talk….” ucap Sagala.

Rena memutar tubuhnya secara tiba-tiba, hampir membuat Sagala menabraknya.

“Talk? Kamu nggak bisa tiba-tiba demand aku buat mau dengerin kamu Sagala! Your only chance was on that day and you blew it away.”

“Please Ren? Give me a few minutes, I will explain it all. Semuanya ke kamu.”

“Basi, ga! Apa alasan kamu tiba-tiba mutusin buat jelasin ke aku? Selama ini aku kan cuma variabel tak terduga dari rencana kamu itu? You won your case, my case, that’s it! Aku bahkan udah gak tau lagi apakah aku bisa bedain mana perbuatan kamu yang sincere dan mana yang nggak. You sick, ga!”

“Ren… don’t say it like that. I admit, I’m at fault but-.....”

“Kamu nggak bisa ngilang gitu aja dua tahun, tiba-tiba balik lagi dan mutusin buat seenaknya ngusik kehidupan aku lagi!”

“I never leave, Ren. I tried but I couldn’t.”

Rahang Rena mengeras. Ia sudah tidak peduli dengan orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarnya dan mulai memperhatikan dirinya serta Sagala. Matanya beradu tatap dengan mata Sagala.

“Kamu pikir lagi ya ga, kalau kayak gini sebenernya alasan kamu mau jelasin semuanya ke aku bukan karena kamu ngerasa bersalah, you just selfish. You said you couldn’t let me go, you couldn’t see me with someone else, you don’t want to fix anything, you are just selfish.”

258.

Yesha tiba di rumah Sagala sekitar dua puluh menit kemudian bersama dengan Mahen, telat sepuluh menit dari yang dijanjikan oleh Yesha.

Setibanya Yesha di kompleks perumahan yang dihuni oleh Sagala, ia sudah bisa melihat Sagala duduk di depan pintu garasi rumahnya. Melihat hal ini Yesha segera membuka kaca jendela mobil Mahen dan menjulurkan kepalanya ke luar.

“HEHE SORRYY!” teriak Yesha.

“Tadi pas lo bilang sepuluh menit lagi tuh lo dimana?” dengus Sagala yang langsung membuka pintu penumpang ketika mobil Mahen berhenti tepat di depannya.

“Masih di tol hehe”

Mahen melirik ke arah Sagala melalui kaca spion, melihat bagaimana Sagala memutar kedua bola matanya malas setelah mendengar jawaban Yesha.

“Gue udah bilang ke Yesha supaya nggak ngeburu-buru lo tadi kak, tapi dianya aja yang emang usil.” tawa Mahen.

“Of course. Agak kurang ajar emang ini orang satu.”

“Biarin, gini-gini gue tau lo sayang gue.” balas Yesha.

“Anyway, kakak gue nitip barang buat lo. Ada di paper bag sebelah lo kak.” ujar Mahen.

Ucapan Mahen sukses menarik perhatian Sagala yang dengan segera membuka paper bag berwarna ungu tersebut.

Sagala terdiam saat melihat isi paper bag yang dititipkan kepada Mahen tersebut. Ia sangat mengenali semua barang yang ada disana.

Selimut miliknya serta dua boneka yang ia berikan kepada Rena setelah ia mendapatkannya dari claw machine di bioskop.

“Kakak mu ngasih apa sih, yang?”

“I dunno. Nggak aku buka sama sekali. Tapi kayaknya itu dari Kak Rena soalnya kemarin aku lihat kak Rena yang bawa paper bag itu.” ucap Mahen.

“Hah? Gimana?”

“Iya, kak Rena sama kak Sashi lagi nginep di rumah.”

Yesha menganggukkan kepalanya paham.

“Dikasih apa lo kak?” tanya Yesha yang kini menolehkan kepalanya ke arah Sagala.

Sagala hanya mengedikkan bahunya. Ia kemudian menutup kembali paper bag ungu tadi.

“Anyway, gimana kalau kita pindah tempat lari.” tanya Mahen sembari menatap Yesha lalu melirik ke arah Sagala melalui pantulan kaca spion.

“Kemana?” tanya Yesha.

“Monas?”

“Ah disana banyak jajanan gak?”

“Ya bisa dicari sih kalau itu. Kamu mau nggak?” tanya Mahen lagi kepada Yesha.

“Kenapa deh kok tiba-tiba pindah tempat?”

Mahen melirik ke arah Sagala beberapa kali lalu menoleh ke arah Yesha, berusaha menggelengkan kepalanya pelan untuk memberikan kode kepada kekasihnya agar tidak menanyakan keputusannya lebih jauh lagi.

Namun hal ini tidak luput dari pengamatan Sagala.

Melihat gelagat aneh dari Mahen, Ia kemudian membuka ponselnya dan mencari kontak Sashi di ponselnya.

“GBK hen. Gak usah pindah. Kalau perlu kita puterin itu Stadion Utama seribu kali.” ucap Sagala sembari menatap layar ponselnya.