youngkimbaeson

252.

“Okay talk, Wen…..” ucap Teira yang kini menaruh sendok dan garpu yang tadi ia pegang.

Sesampainya Sagala di rumahnya, Teira dapat melihat bahwa Sagala sedang memikirkan banyak hal.

Beberapa kali Sagala tidak merespon ucapannya dengan cepat, terkadang apa yang Sagala lakukan juga tidak sinkron.

Awalnya Teira mengira bahwa maksud kedatangan Sagala ke rumahnya adalah untuk bermain dengan putrinya. Namun melihat Sagala yang tidak antusias saat Teira menggendong Thea dan berusaha mengajak Sagala untuk ikut mengurus Thea, Teira semakin yakin bahwa sebenarnya Sagala memiliki niat lain.

“H-huh?”

“Talk to me,anything. Whatever it is that is bothering you.” ucap Teira.

Sagala terdiam, matanya menerawang memandangi piring di hadapannya. Melihat hal ini, Teira sengaja memberikan waktu bagi Sagala untuk menata pikirannya kembali. Sementara itu ia memeriksa ponselnya sejenak, membalas beberapa chat sembari memberi waktu bagi Sagala.

“I don’t know where to start.” ucap Sagala.

“Start it easy then, apa yang lo pikirin sekarang?”

“Rena.”

Jawaban Sagala membuat alis Teira terangkat sebelah. Ketika Sagala tidak lagi bertele-tele artinya Rena sudah sangat mengganggu pikirannya.

“What about Rena?”

“I fucked up.”

Sagala menangkupkan kedua tangannya dan membenamkan wajahnya disana.

“Gue tau apa yang gue lakuin ke Rena salah, salah banget malah. Gue nyesel banget kak. I thought I could move on, living my life with guilt and move on but I can’t. Gue terlalu sombong, gue pikir rencana gue bisa berjalan lancar and when the case is closed, we can go back into our life just like that.”

“But you're wrong, you like her.”

Sagala mengangguk, “The moment I realized that we can be something more, I stop. I hate cheaters and I don’t want her to be one. Gue juga nggak mau jadi selingkuhan.”

“Wen, jujur ya, selingkuh itu nggak cuma masalah physical touch. Selingkuh secara emosi juga ada. You already crossed the line with her. Something happened between you two? Jawab gue jujur sebagai keluarga lo, gak usah mikir gue sebagai partner di kantor.”

Sagala mengangguk pelan.

“Kapan?”

“Kita ke puncak bareng.”

Teira memijat kepalanya saat mendengar ucapan Sagala.

“Satu-satunya yang gue khawatirin waktu sidang cuma itu. Walaupun gue yakin nggak ada yang ngikutin gue, tapi tetep aja gue takut bokap gue punya foto waktu gue dan Rena ke puncak. Nothing can justify what we did. Nggak ada lawyer yang pergi sama kliennya, berdua aja, nginep bareng. Although we didn’t do anything but still ....” lanjut Sagala.

“Apa lagi yang perlu gue tau?”

“She kissed me. On my cheek but still a kiss.”

Teira menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

“Terus?”

“I try kak, I try to forget my feelings for her but I just couldn’t. This is my karma, I know.”

“Terus gimana? Lo mau apa sekarang?”

“I don’t know.”

Teira menghela napasnya panjang, “Wen, lo udah gede ya Wen. Don’t make this only about you, think about her too. Sampai sekarang gue masih nggak ngerti sama jalan pikiran lo yang cerdas itu. Kenapa lo lari? Don’t give me that bullshit about you enrolling for the scholarship first before everything happens. Lo dari awal udah berencana buat lari.”

“Karena gue merasa bersalah. I use her, even if somewhere along the way I do like her, but still I use her for my own gain.”

“Kalau lo ngerasa bersalah, lo minta maaf Sagala Wening. Perkara Rena terima atau nggak, itu bukan urusan lo. Jangan jadi pengecut.”

Sagala menatap Teira saat mendengar nama lengkapnya disebut oleh Teira.

“Jangan bilang ini karma lo, jangan bilang lo bakal terima dibenci Rena seumur hidup sebagai bentuk penyesalan. Bullshit!”

Rahang Sagala mengeras.

“Lo tau gue bener kan? Sekarang gue tanya, kemaren waktu acaranya Yesha, lo kabur lagi. Buat apa? Ngalah? Nggak Wen! Lo kabur. Lo kabur lagi. Emang dengan lo pergi, acaranya Yesha bisa jalan mulus? Nggak! Suasananya udah nggak enak. Emang lo pikir abis lo pergi, Rena tetep stay? Nggak, dia juga ikutan pergi.”

Perkataan Teira cukup membuat Sagala terhenyak, ia dapat merasakan matanya mulai memanas.

“Gue tanya sekarang, waktu lo liat Rena malam itu, apa yang lo rasain? Gue nggak usah bahas waktu Selene nampar lo, secara fisik gue yakin sakit tapi pasti nggak ngaruh banyak ke lo. Tapi gimana waktu Rena natap lo?”

Teira berhenti berbicara sejenak saat mendengar notifikasi ponselnya. Ia memeriksa ponselnya beberapa detik kemudian kembali mematikan ponselnya.

“Itu tatapan yang akan dia kasih ke lo selama-lamanya. Nggak tau sampai kapan. Lo mau?”

Sagala merundukkan kepalanya, menggeleng pelan.

“Lo dibenci Rena itu bukan karma lo, tapi pilihan hidup lo sendiri, tau? Terus sekarang kenapa lo kepikiran? Bukannya semua udah berjalan sesuai rencana lo? Kan lo sendiri yang milih jalan begini?”

Tangan Sagala mengepal keras, mencengkram celana yang ia kenakan. Kepalanya tertunduk semakin dalam, berusaha menyembunyikan tetesan air matanya.

“Gue nggak kuat kak….. Gue nggak kuat liat dia sama orang lain. Gue kira dibenci Rena, dia maki, dia tampar, udah paling nyakitin buat gue. Tapi gue salah…. Gue lebih nggak bisa ngelepas dia sama orang lain….”

“Your first step is, minta maaf Wen. Yang tulus, bukan semata-mata lo takut kehilangan dia. Lo egois tau nggak? Bisa bayangin gak gimana perasaannya Rena? Bertahun-tahun di treat kayak gitu sama Azkan, lo tau gimana terlukanya dia, terus lo malah mainin perasaannya dia. Lo jahat banget, Wen”

“I know…. I know… Please don’t…..Every night, tatapan mata Rena waktu dia nampar gue selalu menghantui gue kak. I hurt her the worst way possible.” tangis Sagala.

“Minta maaf Wen, tunjukin kalau lo emang nyesel. Jangan kabur kayak gini. Lo takut kata maaf lo nggak diterima? Ya itu risiko. Lo takut dia sama orang lain? Ya itu buah dari perbuatan lo sendiri. Gue malah heran kalau dia bisa maafin lo secepat itu.”

Teira menghela napasnya panjang. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah Sagala.

Ibu satu anak itu kemudian menarik Sagala agar berhenti menahan tangisnya, ia kemudian memeluk juniornya yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri. Sagala pun secara otomatis membenamkan wajahnya di perut Teira.

“Sakit banget kak…. Gue gak pernah sesakit ini bahkan waktu putus sama mantan-mantan gue….”

“You love her, Wen. Deep down inside, you know it. Kalaupun nantinya Rena nggak bisa maafin lo dan lo akhirnya harus ngelepasin dia, lo harus janji sama gue, belajar lupain dia okay? Lo nggak bisa terfiksasi pada masa lalu. Learn from your mistakes and move on. Jadiin ini pelajaran berharga di hidup lo.”

Teira dapat merasakan bagaimana air mata Sagala membasahi bajunya. Ia hanya mampu memberikan pelukan dan usapan pada punggung Sagala, selebihnya Teira membiarkan Sagala untuk merasakan semua perasaan yang selama ini berusaha dipendam dalam-dalam.

“Anak gue perasaan cuma satu, sekarang kenapa jadi nambah satu bayi gede gini.” kekeh Teira sembari mengelus kepala Sagala berkali-kali.

“Thea is so lucky to have you as her mom.”

250.

Sagala menggaruk kepalanya saat ia melihat list barang yang harus dibeli olehnya yang baru dikirimkan oleh Teira. Namun mengingat ia harus segera mencapai mall tersebut, Sagala akhirnya melajukan mobil listriknya kesana sebelum jalanan semakin padat.

Tiba di mall terdekat dari rumahnya itu, Sagala langsung menuju ke arah supermarket yang berada di lantai lower ground.

Ia memilih troli yang berukuran sedang mengingat titipan Teira cukup banyak dan ia enggan menjinjing keranjang belanjaannya nanti.

“Puffs cereal snack? Ini makanan apalagi sih?” ucap Sagala setelah membaca daftar belanjaan yang dititipkan oleh Teira.

Ia membaca papan petunjuk yang digantung di atas setiap lorong supermarket tersebut, mencari-cari letak makanan bayi. Teira tadi sudah meyakinkan dirinya bahwa supermarket tersebut memiliki semua barang-barang yang ia titipkan.

“Biscotti Chocolate? Gila Thea lo bersyukur sih lahir dari orang tua kaya raya. Dulu kayaknya gue ngemil milna doang paling maksimal.” tawa Sagala yang sedang berjongkok sembari mengambil beberapa kemasan sesuai dengan jumlah yang diminta oleh Teira.

Tepat pada saat Sagala hendak berdiri, ia merasa tubuhnya ditabrak oleh anak kecil. Dengan sigap Sagala memegang anak tersebut agar tidak terjatuh dan untungnya, anak laki-laki tersebut sempat menarik lengan Sagala.

“Eh, hati-hati…” ucap Sagala.

Mata Sagala terbelalak ketika ia melihat sosok anak kecil yang ada di hadapannya. Ia hanya bisa berharap bahwa anak laki-laki di hadapannya itu bukanlah keponakan dari Rena. Kalaupun iya, Sagala berdoa bahwa kali ini ia bertemu dengan Yona, bukan Rena.

“Kamu Acel bukan sih?” tanya Sagala yang masih berjongkok di depan Acel sembari melihat ke kanan dan ke kiri untuk mencari pendamping Acel.

Anggukan yang diberikan Acel membuat detak jantung Sagala semakin meningkat.

“Kamu kesini sama siapa?”

“Ante!”

“Ante?”

“Ante Rena!”

“Mampus gue.” ucap Sagala dalam hatinya.

Sagala ingin meninggalkan keponakan Rena tersebut agar tidak bertemu dengan Rena. Namun di lain sisi, sebagai seorang dewasa, ia ragu untuk meninggalkan Acel sendirian.

Sagala menggaruk pelipisnya sejenak.

Entah semesta berusaha memberikan kesempatan kepadanya untuk bertemu Rena lebih sering atau justru semesta sedang berusaha untuk menghukumnya dengan mempertemukan dirinya dan Rena berkali-kali dalam keadaan seperti ini.

Sebenarnya wajar ia bertemu dengan Rena di mall ini mengingat letak apartemen Rena yang sangat dekat dengan mall tersebut. Mall ini juga mall yang sama dimana ia dan Rena dulu tidak sengaja bertemu dan berakhir dengan menghabiskan waktu bersama.

“Sendirian aja sama Tante Rena?” tanya Sagala lagi.

Kali ini Acel menggeleng, “Ante sama temen-temennya!”

Kening Sagala mengkerut.

“Acel? Acel?!”

“Ante!”

Sagala memejamkan matanya saat mendengar suara Rena. Ia menghela napasnya panjang, menyiapkan dirinya untuk mendapatkan caci maki lagi.

“Kamu tuh ya! Udah Ante bilangin jangan lari sendirian! Kan tadi Ante lagi sama tante Sashi cariin susu kamu!” omel Rena.

“Mba, makasih ya udah jagain–....”

Ucapan Rena terhenti saat ia melihat sosok yang tadi sedang bersama keponakannya.

Sementara itu Sagala perlahan bangkit dari posisinya dan berdiri di hadapan Rena.

“Uhm, well, aku permisi dulu. Bye Acel, jangan lari-lari sendirian lagi ya.” senyum Sagala ke arah Acel yang kini berdiri memeluk kaki Rena.

Sagala cukup canggung ketika ia bertemu dengan Sashi yang berpapasan dengannya saat ia mendorong troli miliknya.

“Wen? Wow, nggak nyangka ketemu disini. Wait, lo beli biskuit bayi juga?” tanya Sashi.

“Uhm, punya Thea, Sas.”

“Kirain lo selain makan permen sekarang jadi suka biskuit bayi juga.” kekeh Sashi.

Sagala hanya mengedikkan bahunya.

“Well… gue duluan ya, masih harus ke rumah kak Tei.” ucap Sagala dengan senyum yang ia paksakan.

Sagala mengeratkan genggamannya pada gagang troli lalu mendorong trolinya menjauhi Sashi, Rena, serta Acel yang kini sudah ia punggungi.

Sashi mengangkat Acel dan menaruh bocah kecil itu di dudukan troli. “Ren, aku sama Acel nyari jajanan dia dulu deh ya biar diem dikit.”

Rena mengangguk asal, ia mengamati Sagala yang terus berjalan menjauhi posisinya. Sementara itu Sashi yang sudah mendapatkan izin dari Rena untuk pergi bersama Acel kemudian meninggalkan Rena yang masih terfokus mengamati Sagala hingga hilang terhalang rak-rak barang belanjaan.

Rena cukup terkejut ketika ia merasa bahunya ditepuk pelan.

“Lo ngeliatin siapa sih?”

Rena menggelengkan kepalanya.

“Titipan kakak gue udah semua kan ya ini? Tadi lo dapet nggak minyak zaitun titipan kakak gue?”

“Susah amat sih titipan kak Yona? Harus banget merek itu?! Dari kecil heran banget kalau udah masalah makanan tuh kak Yona cerewetnya gak ada habis.”

245.

“Oh? Okay, nanti coba om cek ya Rena nya. Iya sih dia kalau lagi datang bulan gini bisa uring-uringan dan emang sering bed rest.”

Tak lama kemudian Anta melihat Rena memasuki rumah mereka dengan pinggangnya yang terbalut selimut dengan motif jerapah, gajah, dan monyet kecil. Anta harus menahan tawanya melihat kondisi putrinya yang memasuki rumah dengan ekspresi campur aduk antara kesal dan mungkin sedikit kelelahan.

“Ini orangnya baru sampai rumah. Nanti om kabarin kamu lagi ya. Okay, see you soon.”

Anta kemudian memutus sambungan teleponnya lalu berdiri menyambut Rena yang berjalan ke arah dirinya, menuju dapur.

“Lagi datang bulan kamu?”

“Iya.” dengus Rena kesal.

“Selimut Acel itu kamu bawa?”

“Bukan.”

“Aduh kalau lagi mood swing gini, papa udah angkat tangan deh. Mana Acel nggak ada lagi.” ujar Anta pada dirinya sendiri.

“Papa nggak usah cerewet aja deh mendingan. Udah cukup membantu aku biar nggak tambah moodswing.”

“Nyari apa sih kamu?” tanya Anta yang melihat Rena sibuk mencari-cari sesuatu di dalam kulkas dan lemari dapur.

“Minuman pereda nyeri haid aku. Papa liat nggak?”

“Nggak. Tau botolnya yang mana aja papa nggak tau. Kamu minta bibi beliin aja.”

Rena menghela napasnya panjang. Ia kemudian menutup pintu kulkasnya.

“Iya deh nanti aku minta bibi aja.”

“Omong-omong, terus itu selimut siapa dong? Temen kamu ada yang kemana-mana bawa selimut bayi?”

“Papa nggak usah cerewet dulu bisa nggak sih?”

Anta menaruh kedua tangannya di depan dada, mencoba menganalisa putrinya.

“Ini nih kalau udah begini moodnya tebakan papa cuma dua. Antara kamu tadi nggak sengaja ketemu Azkan atau ketemu Sagala. Tapi kamu kan hari ini tadi bilang ke papa mau pergi ketemu Sashi, jadi kemungkinan tadi kamu ketemu Sagala berarti.”

“Diem deh pa.”

“Sagala beneran udah pulang dari UK?”

“Gak tau.”

“Oh beneran Sagala.”

Rena tidak menjawab ucapan papanya lagi dan pergi meninggalkan papanya yang masih terkekeh melihat sikap putrinya.

“Kamu kemarin ketemu di mall gak sengaja terus hari ini ketemu lagi, mungkin Tuhan punya maksud sendiri lho Ren?” teriak papanya agar di dengar oleh Rena yang sudah berjalan cukup jauh.

“Berisik!”

“Jangan benci orang terlalu dalam Ren! Nanti nyesel!” lanjut Anta lagi yang tentu saja tidak digubris oleh Rena.

Anta kemudian menggelengkan kepalanya melihat sikap Rena.

“Anak itu kalau udah keras kepala, mau di omongin kayak apa juga susah. Ini lagi si Sagala kenapa juga sih harus gini.” omel Anta sembari kembali membuka ponselnya dan mengirimkan pesan singkat kepada Sagala yang tadi menelponnya.

Minuman pereda nyeri haid. Tadi Rena bilang butuh itu.

242.

Seperti janjinya pada Teira, Sagala mengunjungi kantornya hari itu.

Ia sengaja datang lebih awal untuk mampir ke kantor Yesha terlebih dahulu serta melihat kondisi ruangannya yang sudah lama tidak ia tempati. Tentu saja masih rapi dan bersih karena secara rutin dibersihkan oleh petugas kebersihan, namun tetap ada sedikit rasa rindu pada ruangannya itu.

Sagala juga mengunjungi ruangan Yesha dan memberikan sedikit oleh-oleh hiasan meja. Keduanya kemudian sengaja langsung mendatangi ruangan Teira untuk melihat Thea.

“Theaaa!”

Yesha sudah terlebih dahulu memasuki ruangan Teira dan mendatangi Teira yang sedang menggendong Thea yang nampaknya baru terbangun dari tidurnya.

“Oh my god lucu banget anak lo kak.” ujar Sagala yang melihat Thea kini digendong oleh Yesha.

“Lo mau gendong gak Wen?” tanya Teira.

Sagala menggeleng, “Takut gue. Gak pernah megang bayi soalnya.”

Yesha kemudian mengambil posisi duduk di sebelah Sagala agar Sagala bisa melihat Thea dengan lebih jelas. Sagala kemudian melambaikan tangannya pada Thea dan mencoba untuk menyentuh tangan mungil Thea.

“Sumpah tangannya kecil banget.”

“Namanya juga bayi, gimana sih kak.” balas Yesha.

“Thea, kamu nggak boleh main kelamaan sama Yesha ya. Nanti kamu jadi titisan setan kayak Yesha.” ucap Sagala menasihati Thea yang dibalas dengan Yesha menginjak kaki Sagala dengan sengaja.

“Aww! Sakit Sha!”

Teira tertawa melihat Sagala yang bertengkar dengan Yesha. Rasanya seperti kembali ke beberapa tahun lalu.

“Satu hal yang gue paling heran ya, Wen. Thea selalu nangis kalau digendong sama Sashi, tapi giliran sama Yesha bisa diem banget. Heran gue.” ucap Teira.

“Because I’m awesome.”

Acara kecil siang hari itu rupanya hanya dihadiri oleh Teira, Yesha, dan Meira dikarenakan meeting yang dihadiri Sashi ternyata selesai lebih lambat dari yang diperkirakan.

Sagala memberikan beberapa update tentang kehidupan perkuliahannya, Yesha dan Meira sempat beberapa kali menanyakan tips dan trik untuk mendapatkan beasiswa di luar negeri. Keduanya bahkan sempat meminta agar Sagala memberikan tutor bagi mereka dan tentu saja hal ini disanggupi oleh Sagala. Ia juga menyarankan beberapa hal bagi Yesha dan Meira yang harapannya dapat melancarkan rencana mereka untuk melanjutkan studi magister hukum mereka.

Jamuan makan siang hari kali ini tidak berlarut lama.

Yesha dan Meira harus kembali bekerja untuk mengejar deadline mereka.

Akhirnya Sagala pun memilih untuk pulang. Mengingat ia pun tidak ingin mengganggu Teira lebih lama lagi.

“Gue balik deh kak. Udah jam dua nih, lo juga tadi bilang bentar lagi jadwal breastfeeding Thea lagi kan? Gak mau melihat adegan dewasa gue.”

Teira terbahak mendengar ucapan Sagala.

“Lo kan juga udah sering melakukan adegan dewasa.”

“MANA ADA?!”

“Bayar pajak, bayar tagihan listrik, itu adegan dewasa tau. Tuh otak lo aja yang mikirnya kemana-mana” tawa Teira.

“Tck… Sialan.”

“By the way, you good?” tanya Teira.

Sagala mengedikkan bahunya.

“Manageable.”

“You know you can tell me anything kan, Wen? Gue tahu masih ada hal-hal yang lo nggak bisa cerita ke gue, terutama tentang Rena. I’m okay with that as long as lo punya tempat untuk cerita. Sebagai kakak lo, gue kecewa sama keputusan lo apapun itu alasannya. Gue juga kecewa lo milih kabur dari masalah. Tapi bukan berarti gue benci lo atau bahkan ngusir lo dari kehidupan gue. Jangan ngejauh ya, Wen.”

Sagala menghela napasnya, “Gasuka nih mulai deep talk gini, malu gue kalau nanti nangis depan Thea. Udah ah gue balik aja.”

Sagala bangkit dari sofa yang ia tempati, kemudian mengelus kepala Thea satu kali. “See you next time Thea.”

“Wen gue serius ya sama ucapan gue. Lo masih punya keluarga disini, ada gue, Sashi, Yesha. Even my family is your family too. Bokap gue juga udah anggep lo kayak anaknya sendiri. Dia bolak balik nanyain lo tuh.”

“Iya ntar gue mampir ke rumah Pak Ares deh. Tapi nggak mau diceramahin ya gue.”

Teira terkekeh, “Yang itu nggak janji.”

Sagala memutar kedua bola matanya malas. Ia kemudian melambaikan tangannya dan meninggalkan ruangan Teira.

Tepat pada saat Sagala keluar dari ruangan Teira, ia terkejut karena melihat Rena keluar dari ruangan Sashi. Dibarengi dengan Sashi yang juga keluar dari ruangannya.

“Oh, Wen?”

“Hi, Sas, Ren.” senyum Sagala.

“Gue kira lo ada meeting?” lanjut Sagala.

“Iya, tadi terus ketemu Rena dan dia mau nitip barang buat Thea. Jadi sekalian deh.”

Sagala mengangguk canggung.

“Hmm, gue balik deh ya. See you next time.”

“Kamu mau aku anterin ke bawah Ren?” tanya Sashi.

Tentu saja Sagala juga mendengar pertanyaan tersebut. Kendati ia berkata bahwa ia akan pergi mendahului, namun faktanya Sagala masih berdiri canggung di depan pintu ruangan Teira.

“It’s fine, Sas. Aku bisa sendiri. See you ya.” jawab Rena dengan senyuman ke arah Sashi.

Rena berjalan ke arah elevator seakan-akan Sagala tidak ada di dekatnya. Ia melewati Sagala begitu saja.

“Uhm, bye Sas.”

“Apasih Wen, kaku amat. Kapan lo senggang, kabarin gue deh. Kita pergi berdua biar gak canggung aneh gini.” tawa Sashi.

Sagala mengangguk mengiyakan. Ia kemudian berlari ke arah elevator saat melihat pintu elevator terbuka.

Tentu saja perjalanan menuju lantai dasar menjadi sangat canggung di antara Rena dan Sagala. Mata Sagala berusaha untuk tidak menatap pantulan Rena di pintu elevator. Sagala sedikit mengumpat saat elevator yang mereka tumpangi ternyata berhenti berkali-kali di beberapa lantai.

Kini posisi Sagala berada di pojok elevator dengan Rena yang berdiri sedikit di depannya.

Sagala memperhatikan dandanan Rena hari ini yang menggunakan floral dress berwarna putih.

”Cantik” batin Sagala.

Namun secara tidak sengaja Sagala justru melihat hal yang tidak ia duga.

Tangan Sagala kemudian menarik Rena untuk berdiri lebih dekat dengannya. Rena kemudian mendesis terkejut dengan perlakuan Sagala. Ia dengan segera menoleh ke arah Sagala dan menatapnya tajam.

Akan tetapi Sagala dengan cepat kembali memutar tubuh Rena agar membelakangi dirinya.

“I’m so so sorry, aku nggak ada maksud buruk but…..kamu tembus Ren.” bisik Sagala.

Rena dengan cepat melirik ke arah Sagala, kemudian berusaha melihat ke arah yang dimaksud oleh Sagala. Wajah Rena berubah menjadi pucat pasi saat menyadari bahwa Sagala tidak berbohong.

“Let me help you, Ren.” bisik Sagala lagi.

Keduanya semakin terdorong ke dalam elevator. Membuat posisi Sagala dan Rena semakin berdekatan.

Saat mereka tiba di lantai dasar, Sagala terus berjalan di belakang Rena dengan jarak yang tidak terlalu jauh namun juga tidak terlalu dekat.

“Stop ngikutin aku!” desis Rena.

“Yeah? And then what? Let people see that? Please let me help. Aku nggak bisa lepas hoodie ku disini karena aku nggak pakai baju di dalamnya. But I have my blanket in my car. You can use that.”

Rena terdiam sejenak namun ia juga menyadari bahwa ia tidak mempunyai banyak pilihan saat ini.

Melihat Rena yang masih terdiam, Sagala kemudian kembali menuntun Rena untuk berjalan di depannya. Mengarahkan Rena menuju lift yang terhubung ke basement.

“Mobil aku di basement. I swear, kita cuma ambil selimutku terus kamu boleh pergi. I won’t follow you.”

Rena hanya bisa pasrah dan membiarkan Sagala untuk menuntunnya ke basement tempat dimana mobil Sagala terparkir.

Lagi-lagi keheningan melanda keduanya. Rena memilih untuk sibuk dengan ponselnya, sementara Sagala justru memperhatikan seluruh gerak gerik Rena yang berdiri di depannya.

Untungnya mobil Sagala terparkir tidak terlalu jauh dari lokasi elevator.

Sagala kemudian dengan cepat membuka pintu mobilnya dan mengambil selimut yang selalu ia simpan di mobilnya lalu memberikannya kepada Rena.

Sementara Rena berusaha melilitkan selimut Sagala ke pinggangnya, Sagala hanya bisa memandangi Rena.

“A-apa kabar Ren?” ucap Sagala berusaha memecah keheningan.

Amarah Rena kembali mencuat ketika mendengar pertanyaan Sagala. Ia menatap Sagala dengan tajam.

“Nggak usah sok akrab deh, ga. Kalau bukan karena terpaksa juga aku haram banget liat muka kamu.”

Mendengar ucapan Rena tersebut, Sagala merasa bahwa mungkin saat ini adalah satu-satunya kesempatan baginya untuk meminta maaf kepada Rena.

Rena sudah terlalu membencinya. Sagala pun tahu ia pantas diperlakukan demikian.

“I’m so sorry, Ren. For everything I did.”

“Basi tau nggak? You don’t even mean it. Aku harap mulai hari ini kamu nggak usah hadir lagi di kehidupan aku. You can just disappear, I. DON’T. FUCKING. CARE. I. JUST. HOPE. YOU. WILL. NEVER. PLAY. WITH. SOMEONE. ELSE. FEELING. OR. YOU. BETTER. OFF. ALONE.” ucap Rena sembari memukul bahu kiri Sagala di setiap penggalan katanya.

Rena kemudian pergi meninggalkan Sagala tanpa memperdulikan bahwa kata-katanya tadi sangat menyakiti hati Sagala.

“I deserve that…. I deserve that….” ucap Sagala pada dirinya sendiri, sembari berusaha mengigit bibir bawahnya, mencoba menahan tangisnya.

Namun rupanya Sagala tidak sekuat itu.

235.

Seperti janji Rena kepada kakaknya, pagi itu ia membawa keponakannya untuk menghadiri ekshibisi hewan purba favorit Acel. Ia sengaja berdandan kembar dengan style Acel yang menggunakan celana jeans dan kaos putih.

Rena pun memindahkan barang-barang Acel yang tadinya sudah disiapkan oleh Yona ke dalam tas punggung dengan motif dinosaurus milik Acel dikarenakan hari itu Rena enggan membawa baby sitter yang biasanya selalu menempel bersama Acel. Alasan Rena karena ia ingin quality time dengan Acel.

Sehingga akan lebih memudahkan Rena untuk membawa barang-barang Acel menggunakan tas punggung dibandingkan tas jinjing yang tadi sudah disiapkan oleh kakaknya.

Setibanya di acara pameran, Rena dan Acel disambut dengan lorong yang berisikan poster-poster maupun lukisan-lukisan dinosaurus. Rena sendiri sebenarnya tidak terlalu familiar dengan nama-nama dinosaurus yang ada, sehingga setiap kali Acel mengoceh sendirian Rena hanya tersenyum dan mengangguk mengiyakan.

Sesekali Rena mengusap ujung bibir Acel yang penuh dengan liur saking aktifnya Acel berbicara.

“Ante! T-Rex!” tunjuk Acel pada salah satu lukisan.

Rena yang tengah menggendong Acel di pelukannya kemudian mengingat-ingat nama dinosaurus yang baru saja ditunjuk oleh keponakannya.

Di section berikutnya, Rena dan Acel memasuki sebuah ruangan yang di desain seperti sebuah pesawat dimana sisi kanan dan kirinya dibuat jendela yang seolah-olah menunjukkan bahwa kini mereka berada di ketinggian. Kemudian di sisi depan ruangan tersebut terdapat sebuah layar proyektor yang cukup besar yang kini sedang memutar sebuah penjelasan tentang penemuan-penemuan tulang dinosaurus di beberapa negara.

Rena sengaja memilih tempat duduk paling depan agar keponakannya itu bisa menonton tayangan tersebut dengan jelas tanpa tertutupi oleh pengunjung lainnya. Ia menaruh Acel di kursi sebentar untuk melepaskan tas yang ia kenakan dan setelah menaruh tasnya di lantai, Rena kemudian kembali mengangkat Acel untuk ia pangku.

Mata Acel berbinar-binar melihat penjelasan yang ditampilkan di layar. Ia ikut bereaksi ketika mendengar efek suara dari tayangan tersebut.

“Whoaaaa!”

Sementara itu, Rena cukup terkejut beberapa kali karena efek suara yang mengagetkan baginya. Namun tentu saja Rena berusaha untuk tidak menunjukkan hal ini di depan Acel. Dalam hatinya Rena cukup bersyukur karena semua dinosaurus di ekshibisi ini tentu saja hanya replika dan bukan binatang hidup sungguhan.

Ia rasa dirinya bisa pingsan jika harus bertemu dinosaurus yang asli.

Namun nampaknya Rena terlalu cepat menyimpulkan. Pasalnya di section berikutnya, ia dan Acel harus berjalan melewati section jurassic world dimana terdapat replika-replika dinosaurus yang berukuran besar dan dapat bergerak.

Sejujurnya Rena cukup takjub karena semua dinosaurus disana dibuat sangat detil.

“Ante! Ini Brachi!”

“Brachi?”

Acel mengangguk mantap. Rena cukup keheranan karena baru kali ini ia mendengar ada dinosaurus dengan nama demikian. Namun rasa penasarannya langsung terjawab ketika ia melihat papan informasi yang terdapat tepat di depan dinosaurus yang disebut ‘Brachi’ oleh Acel barusan.

Brachiosaurus.

Dinosaurus sauropoda yang hidup sekitar 154 hingga 150 juta tahun yang lalu.

“Ini sih jerapah, cel!” goda Rena.

“Bukan Ante! Brachi!” dengus Acel.

Rena tertawa melihat wajah Acel yang bersungut kesal. Ia kemudian mengelus kepala Acel lalu mencubit pipi keponakannya saking gemasnya Rena melihat Acel.

Rena dengan sabar menggendong Acel menikmati semua section di pameran itu. Sesekali Acel sengaja diturunkan dari gendongan oleh Rena, agar keponakannya itu tidak terlalu manja. Namun saat ruangan terlalu ramai, Rena akan kembali menggendong Acel.

Entah sudah berapa lama mereka menghabiskan waktu di dalam pameran tersebut. Dalam hatinya Rena cukup berteriak lega saat melihat bahwa mereka sudah tiba di penghujung ekshibisi dan memasuki ruangan yang menjual merchandise.

Jujur saja punggungnya mulai pegal menggendong Acel.

“Mama mu tadi bilang kalau kita nggak boleh beli mainan, tapi karena Acel udah pinter hari ini, jadi Ante beliin satu dinosaurus deh. Tapi janji ya ini rahasia kita berdua.” ucap Rena sembari lagi-lagi menjulurkan jari kelingkingnya kepada Acel yang langsung disambut baik oleh Acel.

“Oke! Makasih Ante!”

“Cium dulu pipi ku sini.”

Tanpa berlama-lama, Acel langsung mencium pipi kanan dan kiri Rena. Bahkan tak tanggung-tanggung Acel juga mencium singkat bibir Rena. Hanya sebuah innocent peck. Namun tentu saja cukup membuat Rena terkejut.

“Heh! Siapa yang ngajarin!” tawa Rena.

“Papa sering cium mama kayak gitu?”

Rena terbahak mendengar jawaban Acel.

“Acel nggak boleh sembarangan cium bibir orang, okay? Nanti kalau acel udah besar, udah punya pasangan, udah nikah kayak papa dan mama baru boleh.” ucap Rena menerangkan pada keponakannya.

“Tapi kata mama cium kayak gitu karena mama sayang papa? Acel sayang sama Ante.”

Rena tersenyum lebar mendengar jawaban Acel. Ia kemudian mengelus-elus puncak kepala keponakan yang berada dalam gendongannya itu.

“Ante Rena juga sayang sama Acel. Tapi Acel cuma boleh cium pipi aja kayak gini, sama hidung kayak gini.” ucap Rena sembari mencium pipi dan hidung Acel.

“Oke!”

Rena menghela napas penuh syukur. Susah juga untuk menjelaskan dengan bahasa bayi seperti ini. Nanti ia harus mengomel kepada kakaknya yang terlalu sering bermesraan dengan suaminya di depan Acel.

Pasangan tante dan ponakan tersebut kemudian memasuki ruangan terakhir dan melihat-lihat merchandise yang ada.

“Ante, mau yang itu!” tunjuk Acel pada pterodactyl yang dipajang di langit-langit.

“Waduh, itu kegedean Acel. Lagian mana bisa kamu main sama dino segede itu di rumah? Yang kecil coba.”

Acel terdiam sejenak. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri.

“Kita muter dulu deh ya? Liat-liat yang lainya.”

Acel dan Rena kemudian berputar melihat satu per satu etalase. Disana Rena menyadari bahwa keponakannya itu menyukai dinosaurus-dinosaurus dari keluarga Tyrannosaurus Rex atau T-Rex. Rena menyadari ini ketika Acel sempat memegang sebuah Albertosaurus berukuran sedang serta Gorgosaurus berwarna biru.

“Cel, kamu kenapa nggak suka dinosaurus yang imut-imut aja sih cel? Kayak yang ini?” tanya Rena sembari menunjukkan boneka Brontosaurus.

Rena berjongkok mensejajarkan pandangan matanya dengan pandangan mata Acel.

“Acel nggak suka.”

“Yaudah deh, kamu mau yang mana? Satu aja ya tapi.”

“Yang biru tadi Ante!”

“Yakin?”

Acel mengangguk mantap. Ia kemudian berlari cepat ke etalase tempat Gorgosaurus tadi berada. Rena yang tidak menyangka bahwa keponakannya akan berlari, akhirnya sempat tertinggal sebentar. Ia pun sedikit panik karena ruangan tersebut kini mulai penuh sesak dengan kehadiran beberapa rombongan.

“Acel!”

Rena pun akhirnya tiba di etalase tempat Gorgosaurus tadi berada dan bernapas lega saat melihat sosok keponakannya.

Namun betapa terkejutnya Rena saat mendapati Acel sedang berebut Gorgosaurus dengan sosok yang sangat tidak ia duga akan ia temui di mall itu.

“Ini punya Acel!”

“Lho? Tadi kan aku duluan yang pegang? Terus kamu tiba-tiba rebut ini dari aku. Gak boleh gitu ya adik kecil.”

“Ini punya Acel!” marah Acel yang perlahan menjadi tangis.

“Aduh ini anak siapa sih.” dengus Sagala.

“Bisa ngalah nggak sih sama anak kecil!”

Sagala mendangak saat ia mendengar suara khas milik Rena. Ia cukup terkejut ketika melihat Rena menggendong anak kecil yang tadi sempat berebut mainan dengan dirinya.

Mata Sagala memperhatikan dengan saksama bagaimana Rena menggendong Acel dan menenangkan anak laki-laki tersebut. Rena menepuk-nepuk punggung Acel serta membujuk Acel untuk membeli mainan lainnya namun tentu saja Acel menggeleng tidak mau.

“Uhm… sorry…”

Mendengar suara Sagala, Rena kemudian memutar tubuhnya dan menatap Sagala penuh amarah.

“Apa?!”

“I-ini… buat… dia aja….” ucap Sagala sembari memberikan Gorgosaurus yang ada di tangannya.

Rena menatap Gorgosaurus tersebut kemudian menyambarnya dengan cepat dan pergi meninggalkan Sagala yang masih terkejut dengan pemandangan di hadapannya. Ia terus memandangi Rena yang kini berada di kasir, mengantri untuk melakukan pembayaran.

Sagala melihat bagaimana Rena mencium pipi anak laki-laki tersebut, lalu mengelus kepalanya dan punggungnya, berusaha untuk menghentikan tangis anak laki-laki tersebut yang sekarang sudah mulai mereda namun masih sedikit sesenggukan.

Tidak bisa ia pungkiri, hati Sagala merasakan beragam ekspresi saat melihat Rena bersama dengan anak kecil yang tidak ia ketahui identitasnya tersebut.

233.

Kediaman Anta hari itu tidak sepi seperti hari-hari biasanya. Selama sepekan ini ia dikunjungi oleh Yona dan putranya, Anselmus Kardia atau yang biasa dipanggil Acel oleh Rena, dikarenakan suami Yona sedang menghadiri konferensi di luar negeri dan Acel cukup rungsing dengan ketidakhadiran papanya di rumah.

Sebagai kakek yang baik, Anta kemudian menyarankan Yona untuk tinggal di rumahnya sementara waktu hingga suaminya kembali ke tanah air. Selain itu Rena juga merupakan teman main yang sangat baik bagi Acel yang sudah mendaulat Rena sebagai “the best auntie”. Acel sendiri memang tidak terlalu dekat dengan om maupun tante dari pihak ayahnya. Berbeda halnya dengan Rena, Acel justru sangat menempel dengan Rena.

“Acel ayo tidur yuk?” ajak Yona.

Malam hari itu Yona dan Anta cukup kewalahan karena Acel tidak kunjung terlelap walau saat itu sudah pukul sepuluh malam. Acel masih sibuk bermain dengan lego dan dinosaurus-dinosaurusnya.

“Dak!”

“Acel udah jam segini. Ayo tidur sama mama, besok kita lanjutin lagi.”

Acel menggeleng mantap.

“Adik kamu kapan pulang ya, ini kalau udah gini yang bisa bujuk cuma Rena.” desah Anta kewalahan.

“Aku juga nggak tau pa, tadi cuma bilang mau pergi ke acaranya Yesha.”

“Yesha?”

“Itu lho pa, salah satu lawyer cerainya Rena.”

“Oh, temannya Sagala berarti?”

Yona mengangguk sembari menyeka air liur yang keluar dari mulut Acel yang sedang asik membuat suara-suara dinosaurus.

“Omong-omong ya, ada apa sih adik kamu sama Sagala? Udah dua tahun papa penasaran. Setiap papa nyebut nama Sagala, adik kamu moodnya pasti berubah drastis. Antara papa kena semprot atau dia terus ninggalin papa tanpa berkata-kata.”

“Aku nggak tau. Rena nggak pernah mau cerita. Tapi aku tanya Teira, katanya mereka emang berantem hebat cuma Teira juga nggak mau cerita detil ke aku. Sagala juga sekarang kan nggak di Indo pa, lagi lanjut studi tuh di Cambridge.”

“CAMBRIDGE?!”

Yona kembali mengangguk.

“Papa tuh selama ini masih kontakan sama Sagala! Dia emang bilang lagi lanjut kuliah tapi papa nggak tau dia di Cambridge? Bukannya sini sama sana beda tujuh jam ya?”

“Emang kenapa pa?”

“Dia selalu langsung balas chat papa. Apalagi waktu papa konsultasi masalah orang tuanya Azkan.”

“Hush! Pa, itu nama lebih sakral daripada namanya Sagala.”

“Iya, papa kan ngomong gini juga kalau dia nggak di rumah aja. Cuma kamu juga yang tau.”

Tak lama kemudian, Yona dan Anta mendengar suara pintu rumah yang dibanting cukup keras. Keduanya dapat melihat bahwa Rena baru tiba dan suasana hatinya tidak baik.

“Ante!!!” pekik Acel saat melihat sosok Rena.

Ekspresi wajah Rena berubah saat melihat Acel yang terduduk di atas karpet bulu di ruang keluarga rumahnya. Keponakannya itu bertepuk tangan dan meminta di gendong oleh Rena. Tanpa menunggu lama, Rena langsung menaruh tasnya di sofa kemudian mengangkat Acel ke pelukannya.

“Acel kok belum tidur?”

“Ren, ganti baju dulu. Kamu baru dari luar.” ucap Yona memperingati adiknya.

“Ante ganti baju dulu ya?”

Acel menggeleng, “Ikut!”

Melihat hal ini, Yona langsung menggunakan kesempatan emas tersebut untuk sedikit membujuk putranya.

“Acel boleh ikut Ante, tapi habis ini harus tidur.”

Acel mengerucutkan bibirnya masam.

“Gini gini, kalau Acel mau tidur sekarang, nanti boleh ikut aku ke kamar plus tidur sama aku malam ini. Gimana?” tawar Rena.

Mendengar hal ini, Acel mengangguk mantap dan langsung mengalungkan tangannya di leher Rena. Kini ganti Yona yang mengerucutkan bibirnya masam, sama persis seperti putranya barusan.

“Kalau kayak gini, papa kadang heran ya. Acel itu anak kamu apa adik kamu.” tawa Anta.

“Emang harus gitu, emangnya siapa yang dulu pontang panting nyariin kepengenannya kak Yona pas lagi hamil?”

“Suami gueee.”

Rena menyipitkan matanya ke arah Yona.

“Iya sama lo juga, kalau suami gue lagi standby tugas.” ucap Yona sembari mengedikkan bahunya.

“See?”

Hubungan Rena dan keluarganya berangsur pulih sejak perceraiannya dengan Azkan. Sebenarnya mulai berangsur membaik ketika Yona mengumumkan kehamilannya, tepat satu bulan sebelum putusan cerai Rena keluar.

Sebenarnya Rena pun menjadi lebih komunikatif dengan keluarganya karena ia membutuhkan jalan keluar untuk tidak selalu mengingat Sagala. Rena dengan senang hati menyibukkan dirinya membantu Yona melewati kehamilan anak pertamanya sembari ia kembali mengambil course-course fashion design.

“Ayeee, let’s go Acel!”

Yona dan Anta melihat bagaimana Rena menggendong Acel lalu membungkuk sejenak untuk mengambil mainan dinosaurus pemberiannya sebelum meninggalkan ruang keluarga tersebut. Rena kemudian menaiki tangga ke lantai dua tempat dimana kamar tidurnya berada.

“Nggak cuma Acel yang moodnya bisa bagus kalau ketemu Rena, adik kamu juga kalau ketemu Acel moodnya jadi bagus gitu ya? Bisa gak sih Acel tinggal disini terus aja? Lumayan bisa papa pakai Acel kalau adik kamu lagi badmood.”

Yona menepuk pundak papanya dengan kencang, “Emangnya anak aku apaan!”

Anta dan Yona tertawa setelahnya. Keduanya pun meninggalkan ruang keluarga tersebut untuk beristirahat di kamar masing-masing.

Sementara itu Rena yang baru tiba di kamarnya kemudian menaruh Acel di atas kasurnya. Ia kemudian memasuki walk-in closet miliknya dan membuka pintu lemari baju yang berisikan baju-baju tidurnya.

“Acel main disini dulu ya? Ante mau mandi.”

“Ikut!”

“Heh!” Rena terbahak mendengar permintaan keponakannya itu.

“Nggak boleh ya Acel. Ante janji mandinya cepet kok.”

“Janji?”

Rena mengangguk, kemudian secara refleks memberikan jari kelingkingnya kepada Acel yang melihatnya dengan bingung.

“Sini jari kelingking nya Acel, disatuin sama jari Ante kayak gini ya. Ini namanya kita udah janji.”

“Oke!”

Rena tidak langsung memasuki kamar mandi yang ada di kamarnya. Ia membersihkan make-upnya terlebih dahulu sembari mengamati Acel yang asik bermain di kasurnya dengan beberapa dinosaurus yang tadi dibawa oleh Rena.

“Ante, Acel mau guguk.”

“Hah? Kamu mau pelihara guguk?” tanya Rena sembari mengusapkan kapas pembersih muka.

“Ituuuu!” tunjuk Acel pada boneka yang disimpan oleh Rena di dalam lemari kaca yang terletak tepat di sebelah televisi di kamarnya.

Boneka pemberian Sagala dua tahun silam.

Rena cukup bimbang mendengar permintaan Acel. Disatu sisi, ia sengaja menyimpan boneka itu karena ia tidak mau melihat boneka puppy dan hamster yang didapatkan oleh Sagala untuknya. Namun disisi lain, alasan utamanya tidak ingin meminjamkan boneka tersebut kepada Acel karena ia takut boneka dari Sagala itu bisa ’rusak’ mengingat anak seumuran Acel memang sedang di masa-masa kreatifnya.

“Yang lain aja boleh nggak?” tawar Rena.

“Mau yang itu Anteee!”

“Tunggu aku mandi deh?”

Acel menggeleng mantap.

Rena menggaruk pelipisnya sejenak. “Janji nggak boleh digigit ya bonekanya?”

Acel mengangguk lalu bertepuk tangan. Sebuah jawaban afirmatif yang berusaha ia berikan kepada tantenya itu.

Sebuah helaan napas panjang dikeluarkan oleh Rena yang kemudian mengambil boneka yang Acel maksud.

“Puppy nya aja atau mau sama hamsternya juga?” tawar Rena yang menunjukkan dua boneka miliknya.

“Semua Ante!”

Rena terkekeh mendengar ucapan keponakannya. Ia kemudian mengambil dua boneka tersebut dan menaruhnya di atas kasur. Tak lupa ia mencium pipi Acel sejenak, meninggalkan bekas lipstik di pipi keponakannya.

Sementara itu Acel tidak menyadari bekas lipstik yang ditinggalkan tantenya. Ia sudah terlampau fokus dengan mainan-mainannya. Membuat imajinasi-imajinasi di kepalanya dan menirukan suara-suara hewan sembari berbicara sendiri.

“Kamu kenapa lucu banget sih, cel?” gemas Rena sembari mengusap pipi Acel untuk menghilangkan bekas lipstik yang ia tinggalkan.

Setelahnya Rena dengan cepat memasuki kamar mandi, ia sengaja tidak menutup pintunya rapat-rapat agar bisa mendengar suara Acel.

Lagi-lagi Rena tertawa saat ia keluar kamar mandi. Acel ternyata sudah terlelap bersama dengan mainan-mainannya. Rena mengangkat Acel dan memindahkan posisi tidur Acel agar lebih ke tengah. Ia kemudian mengambil mainan-mainan milik Acel beserta boneka miliknya yang akhirnya dijejer rapi oleh Rena di sebelah Acel.

Tangan kanan Rena mengusap-usap kepala Acel dan merapikan rambut Acel yang sudah acak-acakan.

“Thank you Acel… Badmoodnya Ante hilang gara-gara kamu.”

Mata Rena kemudian menatap dua boneka pemberian Sagala kepadanya. Rahangnya mengeras sejenak namun Rena kemudian menggelengkan kepalanya dan menghela napas panjang.

“Udah dua tahun Ren. Stop hurting yourself.”

231. Ghost from the Past

Kamis, 17 Juli 2023

“Seriusan deh, ini bagus gak sih dressnya di gue?” tanya Selene tepat saat ia turun dari mobil dan berjalan ke arah lobby tempat dimana acara Yesha berlangsung.

Rena memutar kedua bola matanya malas. Pertanyaan ini sudah dilayangkan oleh Selene kepada dirinya berkali-kali sejak siang tadi saat mereka pergi ke salah satu mall besar di pusat kota.

“Makanya lain kali kalau emang mau nyari baju tuh jangan mepet pas di hari acaranya.”

“Ih kok gitu sih jawaban lo kak!” dengus Selene kesal.

“Gue udah bilang bagus dari tadi, tapi lo yang nggak percaya diri. Rule number one, yang penting itu bukan model bajunya tapi siapa yang pakai baju itu. Kaos singlet juga kalau dipakai sama idol korea pasti jadi keliatan bagus. Coba itu singlet dipakai Mahen, pasti lo bilang jelek.”

Selene menyengir ke arah Rena.

“Selamat malam ibu, sudah ada reservasi?” sapa salah seorang pelayan.

“Malam mba, atas nama Yesha ada?” jawab Rena.

Pelayan tersebut mengangguk kemudian mengantarkan keduanya ke sisi Rumah Kaca Melati yang telah direservasi oleh Yesha. Sesampainya disana Rena sudah disambut oleh Yesha yang terlihat sedang sibuk menghitung jumlah kursi bersama dengan Mahen.

“Yeshaaaa!”

Yesha menoleh saat mendengar namanya dipanggil oleh Rena. Sebuah senyuman mengembang di wajah Yesha yang kemudian berlari kecil meninggalkan Mahen untuk menyambut Rena dan Selene.

“Halo kaaaaak! Akhirnya jadi dateng setelah gue bujuk ribuan kali!” ucap Yesha sembari memberikan pelukan hangat kepada Rena lalu kepada Selene.

“Gue kira di rooftop?” tanya Selene.

“Gue milih disini soalnya kak Teira nanti bawa Thea. Kalau di rooftop kasian kena angin malam, terus kalau di lounge depan terlalu berisik.” jawab Yesha.

“Yang dateng malem ini siapa aja, Yes?” kini ganti Rena bertanya.

“Kita-kita aja. Paling ketambahan suaminya kak Tei sama Thea terus ada dua temen Mahen buat nemenin Mahen.” tawa Yesha.

Yesha kemudian mempersilakan Rena dan Selene untuk duduk di tempat pilihan masing-masing. Konsep makan malam hari ini adalah tanpa konsep, selain dress code ungu yang ditentukan oleh Yesha.

Satu per satu undangan Yesha datang dan layaknya seorang tuan rumah, Yesha menyapa satu per satu tamu-tamunya. Seperti ucapannya, tidak banyak yang ia undang.

Teira dan keluarga kecilnya, Sashi, Meira, Karin, Selene, Rena, Mahen, dan dua temannya.

Namun Rena tidak bisa menebak siapa satu undangan lagi yang belum hadir mengingat saat ini terdapat satu kursi yang masih kosong tepat di sampingnya.

“Well, masih ada satu lagi yang bakal nyusul. Katanya kena macet. Kayaknya gue buka aja ya ini acaranya?” ucap Yesha saat melihat bahwa hanya Sagala yang belum hadir.

Acaranya dibuka dengan sambutan kecil dari Yesha yang dibalas dengan godaan dari Sashi dan Meira. Teira pun turut menggoda Yesha namun tak lupa ia juga memberikan selamat kepada juniornya itu. Yesha justru berbalik menggoda Teira saat ia melihat Teira sedikit emosional dengan matanya yang berkaca-kaca.

“Gimana gue nggak emosional? Gue liat lo dari jaman trainee kayak anak piyik sampai sekarang lo udah jadi Senior Associate? Gak nyangka gue. But thank you for choosing to stay with my lawfirm, no offense ya Karin.”

Satu meja tertawa mendengar ucapan Teira, termasuk Karin yang juga ikut tertawa karena memahami maksud Teira.

“Siapa nih ada yang mau kasih pesan kesan ke Yesha lagi nggak?” tanya Teira.

Pada akhirnya satu per satu memberikan sedikit ucapan personal bagi Yesha. Mulai dari ucapan selamat, harapan dan doa bagi kelancaran karir Yesha, hingga sebuah kecupan singkat di bibir Yesha dari Mahen sebagai penutup setelah kekasihnya itu menyampaikan satu kalimat singkat.

”I know what you’ve been going through all this time. I’m so proud of you.”

Tentu saja lagi-lagi Yesha digoda oleh teman-temannya namun ia tidak ambil pusing. Malam itu ia merasa sangat bahagia.

Ditengah hiruk pikuk meja yang dihuni oleh Yesha dan tamu undangannya, dari kejauhan Sagala melihat tawa dan canda yang sedari tadi tersaji disana. Lagi-lagi ia merasakan rindu yang selama ini berusaha ia pendam.

Sagala pun kemudian menyampaikan kepada pelayan yang mengantarkannya untuk meninggalkan dirinya karena ia sudah menemukan meja yang ia cari.

“Hi all” sapa Sagala saat tiba di meja nomor 29.

Semua orang menatap Sagala dengan tatapan terkejut, tidak terkecuali dengan sosok Rena yang berada tepat di sisi kiri Sagala.

“Wening?!” ucap Teira terkejut.

Sementara itu Rena hanya bisa terpaku melihat sosok Sagala yang kini berada kurang dari dua meter dari kursi yang ia tempati.

Keheningan yang ada disana terpecahkan saat tiba-tiba satu tamparan didapatkan oleh Sagala dan mengejutkan semua orang yang ada di ruangan itu.

“Hi? Lo bisa-bisanya segampang itu bilang ngomong kayak gitu di depan kak Rena tanpa rasa bersalah? Gila lo.” sergah Selene yang kemudian menatap Yesha, “Lo juga! Kenapa ngundang dia sih?! Kak, ayo kita pergi aja!”

Rena yang masih terdiam hanya bisa menurut pada Selene yang sudah memegang lengannya untuk berdiri. Namun Sagala dengan segera menahan bahu Rena.

“No, don’t. Gue aja yang pergi. Also, Yesha nggak salah. Gue nggak diundang sama sekali. I just….know it from her insta story.”

“Kak…”

“It’s okay Sha, sorry udah bikin suasananya nggak enak. Anyway, selamat buat promosinya.” ucap Sagala sembari memberikan senyumannya kepada Yesha.

Semuanya berlalu sangat cepat bagi Rena.

Satu detik ia terkejut melihat kehadiran Sagala setelah dua tahun lebih ia memutus kontak dengan wanita itu. Ia tidak bisa memungkiri bahwa dirinya mematung saat ia melihat sosok Sagala, begitu pula saat Sagala menyentuh bahunya tadi.

Akan tetapi kini Sagala sudah pergi meninggalkan venue tersebut, sepenuhnya hilang dari pandangan Rena yang bahkan membuat dirinya pun mempertanyakan apakah kejadian tadi hanya ada dalam benaknya saja atau sungguh terjadi.

Rena hanya mampu melihat ke arah pintu keluar. Entah apakah dirinya berharap melihat Sagala kembali memasuki ruangan tersebut atau justru berharap bahwa kejadian tadi hanyalah skenario-skenario lainnya yang ia ciptakan di dalam benaknya.

227.

Rabu, 16 Juli 2025

“Kak Weeeeeen!!”

Sagala menoleh saat mendengar suara teriakan Yesha yang tetap terdengar dominan di tengah kebisingan di area kedatangan internasional bandara soekarno hatta. Sagala tertawa saat melihat Yesha berjalan cepat ke arahnya dengan tangan yang terbentang, mengundang Sagala untuk ikut membentangkan tangannya.

Sebuah pelukan erat dirasakan oleh Sagala yang membuatnya seketika merasakan rasa rindu akan kota ini beserta teman-temannya.

”It feels good to be home” batin Sagala.

“Damn, lo agak tanned nggak sih kak?” tawa Yesha sembari melepaskan pelukannya dan melihat Sagala dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Well, disana nggak ada Evy jadi gue harus kepanasan naik kendaraan umum.” jawab Sagala.

Sosok laki-laki yang tadi mengekor di belakang Yesha tertawa mendengar jawaban Sagala.

“Kangen Evy nggak kak?”

Sagala mengangguk mantap.

“Lumayan.”

“Gue maksa Mahen buat jemput lo pake Evy.” ucap Yesha sembari tersenyum lebar menunjukkan deretan gigi putihnya.

“Seriusan?!”

“Yeah, look…”

Sagala menoleh ke arah kekasih dari Yesha yang menunjukkan kunci mobil yang sudah lama tidak dilihat oleh Sagala. Mulutnya membulat tidak percaya, ia sama sekali tidak mengira akan dijemput menggunakan mobil kesayangannya itu.

Yesha segera mengalungkan lengannya di lengan kanan Sagala dan menariknya berjalan ke arah parkir mobil.

“Bawain kopernya kak Wening ya, yang.”

Sagala mengernyitnya keningnya, sedikit geli mendengar panggilan sayang yang dilontarkan Yesha kepada Mahendra Parabawa, atau yang akrab dipanggil Mahen.

Sementara itu Mahen mengangguk mengiyakan dan mengambil koper yang dibawa oleh Sagala. Sebenarnya Sagala pun hanya membawa satu koper saja mengingat ia tidak akan tinggal lama di Jakarta dan mengingat ia pun masih memiliki pakaian dan kebutuhan lainnya di rumahnya.

Mata Sagala tiba-tiba menangkap sesuatu hal yang membuatnya tertawa.

“Baju lo rapih banget, abis meeting sama kementerian?” tawa Sagala saat menyadari Yesha hari itu menjemputnya dengan baju batik, celana kain hitam, serta heels yang tidak terlalu tinggi. Begitu pula dengan tatanan rambut Yesha yang terlihat diikat rapi, walaupun poni Yesha sedikit berantakan karena tadi tertiup angin.

Yesha menghela napasnya lalu memutar kedua bola matanya malas.

“Ya gitu deh.”

“Bagaimana Ibu Yesha, kami mau mengingatkan komitmen konsorsium dengan kementerian. Apakah konsorsium masih komit dengan proyek ini?” goda Sagala mengulang salah satu kalimat yang dahulu sering sekali dilontarkan kepada Sagala sebagai lead lawyer salah satu proyek yang ditanganinya bersama dengan Yesha.

Yesha memukul lengan Sagala sembari tertawa.

“Udah pensiun itu Ibu Siti. Sekarang nggak ada lagi tuh yang ngomong begitu tiap meeting.”

“Oh? Lo sama kementerian itu lagi hari ini?”

Yesha mengangguk. “Tuh klien kesayangan lo yang gak pernah telat bayar, proyek lanjutan jalan tol, tapi sekarang move ke Kalimantan.”

“Ahh, I see…. Lo masih sering berantem nggak sama legalnya mereka?” tawa Sagala.

“Udah resigned. Sekarang ganti cewek legalnya, untung pinter.”

Merasa dirinya meninggalkan Mahen, Sagala kemudian menoleh ke arah belakang dan melihat Mahen yang masih mengikuti dirinya dan Yesha.

“Sini kek lo jangan di belakang.” ucap Sagala.

Mahen pun mempercepat langkahnya, kini berjalan di sebelah Yesha.

“Apa kabar hen?”

“Baik, kak.”

“Kakak lo?”

“She’s good. Still cerewet, but good nonetheless.” jawab Mahen sembari mengedikkan bahunya.

Sagala tertawa mendengar penjelasan Mahen.

Mahendra Parabawa merupakan putra bungsu dari Yoshua Parabawa sekaligus adik dari Selene Parabawa. Jarak umur Mahen dan Selene terpaut dua tahun. Pertama kali Sagala dan Yesha mengenal Mahen adalah saat perayaan selesainya proyek akuisisi salah satu perusahaan dibawah Parabawa Corp yang ditangani oleh tim Sagala

Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Mahen dan Yesha akhirnya menjalin hubungan setahun yang lalu setelah keduanya berteman cukup lama. Sagala ingat betul bagaimana ia berteriak tidak percaya melalui sambungan video call saat Yesha bercerita bahwa kini ia sudah melepas status single-nya.

Mungkin dunia memang sesempit itu.

Sesampainya mereka di parkiran, Sagala tersenyum sumringah saat melihat mobil listriknya.

“Kak, heads up, cewek gue nempel sesuatu di mobil lo.” tawa Mahen sembari menekan tombol untuk membuka kunci mobil.

Mahen kemudian memasukkan koper Sagala ke bagasi mobil dan terkekeh saat mendengar Sagala sedikit memekik terkejut.

“Yeshaaa!! Kenapa lo pasang pajangan Shinchan gak pake celana di dashboard mobil gue!!”

“Lucu tau itunya bisa muter-muter gitu.” tawa Yesha.

“Mahen cewek lo porno banget anjir?!”

Mahen hanya menanggapi ucapan Sagala dengan tawa.

Sagala menarik Yesha saat melihat juniornya itu hendak duduk di baris kedua mobil listrik miliknya.

“Heh gue yang duduk belakang. Lo duduk depan sama Mahen! Yang ceweknya Mahen kan lo bukan gue?!”

“Ish, lebay!”

Sepanjang perjalanan mengantar Sagala pulang, Yesha banyak memberikan berita-berita terkini tentang teman-teman mereka.

Tentang Teira yang kini sudah memiliki putri yang baru genap berusia satu tahun pada bulan februari lalu. Uniknya, putrinya lahir di hari valentine. Kini Teira sudah tidak mau bekerja sesibuk dulu, ia memilih untuk mencurahkan waktunya lebih banyak untuk putrinya.

“Siapa nama anaknya kak Tei? Gue lupa.” tanya Sagala.

“Thea, kan?” jawab Mahen.

“Althea.” ujar Yesha membenarkan.

“Sumpah ya, itu keluarganya kak Tei obsesi banget sama nama dewa dewi Yunani.” tawa Sagala.

Yesha kemudian melanjutkan update beritanya dengan menceritakan bahwa kini dengan ‘turun’-nya Teira yang mengurangi porsi kerjanya, Sashi lah yang cukup banyak menghandle pekerjaan yang dulunya merupakan beban dari Teira.

Yesha juga memberitahukan bahwa kini Meira sudah dipromosikan menjadi Middle Associate, sementara Karin sudah tidak lagi bekerja di lawfirm mereka namun masih menjaga hubungan baik dan masih sering bertemu dengan tim lamanya.

“Kemana si Karin?”

“Melanjutkan usaha orang tua.” tawa Yesha.

“Tuh kan! Udah gue bilang dari awal gue liat dokumen data keluarga yang dia submit! Heran banget gue ngapain orang sekaya dia masih kerja dari bottom lagi? So, dia sekarang jadi apa?”

“Manager Legal di perusahaan orang tuanya. Paling setahun dua tahun lagi di promote jadi Vice Director bagian Legal.”

“Nah! Bagus tuh! Dipepet aja perusahaan orang tuanya dia, tawarin lah itu proposal kantor kita ke dia.”

“Otak lo bener-bener ya, kak.” ucap Mahen yang tertawa mendengar perkataan Sagala.

“Nyari klien susah tau! Tuh perusahaan bokap lo kasih kek kerjaan ke cewek lo ini. Kalau si Yesha bisa bawa klien, lumayan tau bonusnya.” tawa Sagala.

“Oh ya?” balas Mahen.

“Yeah, sebenernya tergantung nilai proyeknya. Tapi tetep aja, money is money.”

“Kok kamu nggak pernah bilang ke aku sih?” tanya Mahen sembari menolehkan kepalanya ke arah Yesha sejenak, lalu kembali menatap ke arah depan untuk fokus mengemudi.

“Aku nggak mau ya kamu kasih proyek secara cuma-cuma karena ucapan kak Wening!” ujar Yesha sembari mencubit paha Mahen.

“Ouch! Babe, it hurts!”

“Biarin, because I know what’s going on inside your head. Sekali aku bilang nggak, ya nggak. Denger ya Mahendra Parabawa.”

Mahen terdiam saat mendengar Yesha menyebut nama lengkapnya, artinya kekasihnya itu serius dengan ucapannya.

“Okay… okay….”

“Lo mau gue kasih update tentang kak Rena nggak?” tanya Yesha pada Sagala.

Hening melanda ketiganya.

Mahen melirik ke arah Yesha kemudian menggelengkan kepalanya. Sedikit banyak ia tahu cerita antara Sagala dan Rena. Apalagi saat kakaknya mengamuk ketika pertama kali mengetahui perbuatan Sagala kepada Rena.

Sejak saat itu pula Selene memutus kontaknya dengan Sagala.

Yesha memutar tubuhnya ke arah kiri, berusaha mengintip kondisi Sagala saat ini. Sosok seniornya itu menyandarkan kepalanya ke kaca mobil dengan kedua matanya yang terpejam. Namun Yesha tahu bahwa Sagala mendengar pertanyaannya barusan.

“Up to you, gue bilang nggak juga lo akan tetep cerita.” desah Sagala.

Selepas kejadian di ruangan Teira, hubungan Sagala dengan Rena sudah hancur total. Rena memutus semua kontaknya dengan Sagala, ia bagaikan hilang ditelan bumi. Sagala pun tidak berusaha untuk mencari Rena, karena sejak awal ia memang sudah berencana untuk menghilang dari kehidupan Rena setelah kasus perceraiannya selesai.

Perasaannya mereka berdua untuk satu sama lain adalah salah satu variabel tidak terduga dalam rencana Sagala. Pun jika ternyata perasaan itu hanya dirasakan oleh Sagala, ia tidak pernah berencana untuk mengungkapkan perasaannya.

Selain komunikasi dengan Rena yang hancur total, komunikasi dengan Selene juga turut hancur. Tidak tanggung-tanggung, Selene memblokir semua kontak Sagala termasuk di sosial media dimana awalnya baik Selene maupun Sagala saling mengikuti satu sama lain.

Selain itu Teira pun secara terang-terangan menyatakan kekecewaannya pada Sagala. Namun hingga kini Teira tidak pernah mengetahui cerita dibalik tragedi tersebut secara utuh. Sagala memaksa Sashi dan Yesha untuk tidak mengatakan satu patah kata pun kepada Teira. Ia khawatir jika Sashi atau Yesha menceritakannya kepada Teira, maka cerita itu akan sampai kepada Rena juga pada akhirnya.

Yesha pernah menanyakan kepada Sagala alasan mengapa ia dilarang untuk bercerita kepada Teira, jawaban Sagala cukup singkat dan padat. ”Sesuatu hal yang dimulai dengan nggak baik, akan berakhir dengan nggak baik juga, Sha.”

Sementara itu hubungan antara Sagala dan Sashi masih terjalin dengan baik, hanya saja memang selama dua tahun ke belakang, percakapan diantara keduanya menurun drastis. Sashi yang disibukkan dengan pekerjaannya dan Sagala yang sibuk dengan studinya, ditambah adanya perbedaan waktu yang cukup signifikan membuat mereka cukup kesulitan untuk tetap menjaga komunikasi.

Kini hanya Yesha yang masih secara intensif menghubungi Sagala. Walaupun seringkali chat-chat yang dikirimkan Yesha diterima oleh Sagala di jam-jam yang tidak wajar, begitu pula sebaliknya.

“Kak Rena udah nggak terlalu aktif jadi model-....”

“Tell me something I don’t know, duh. Lo udah ulang-ulang itu kalimat dari dua tahun yang lalu.”

“Sabar anjir!”

“Sekarang kak Rena mulai fokus ke clothing line. Sebenernya Kak Rena mulai dengan ngedesain gaun dikit-dikit. Tapi terus ditawarin kakak gue buat bikin usaha bareng. Jadi sekarang kesibukan dia dua itu, model brand sama clothing line dia.” potong Mahen yang kemudian mendapatkan cubitan lainnya di paha kirinya.

“Sakit babe?!”

Sagala terkekeh melihat dua sosok di depannya.

“Good for her then.”

Mendengar jawaban Sagala, Mahen melirik ke arah Sagala melalui spion tengah beberapa kali dan pada percobaan terakhirnya mata Sagala menangkap lirikan tersebut tepat sasaran.

“Kenapa hen?”

“Nothing.”

“Lo mau tanya apa?”

Mahen menoleh ke arah Yesha, meminta persetujuan kekasihnya. Bagaimana pun juga ia tidak sedekat itu dengan Sagala.

“Kamu mau nanya apasih?” Yesha justru ikut bertanya kepada kekasihnya itu.

“Uhm…”

“Buruan, gue ngantuk Mahen.” dorong Sagala.

“Lo….pernah nyesel nggak sih kak? With everything that you did.”

Sagala menghela napasnya panjang. Ia menatap ke arah jalanan, melihat gedung-gedung pencakar langit yang mulai menghiasi pandangannya.

“Yang mana? Because the answer will be very different.”

“About kak Rena?”

“Hurting her? Yes. Penyesalan paling utama di hidup gue adalah nggak bisa nemenin nyokap gue disaat terakhir dia. Penyesalan terbesar kedua gue adalah nyakitin Rena.”

“And the other one?” tanya Mahen lagi, kembali melirik Sagala.

“Mahen, lo pernah nyangka nggak lo bisa suka sama Yesha? Disaat pertama kali lo ketemu Yesha.” Sagala berbalik tanya.

“No? I mean, I remember ketemu Yesha di acara dinner. But I just saw her as one of the lawyers that my dad hired.”

“Then lo inget nggak kapan the exact moment lo mulai suka Yesha?”

Mahen menggeleng. “No, I mean we started off as friends and the line got blurred. I just can’t see her go with another man so… yeah I realized I like her like that.”

“Now that you are already with her and know more about her, do you ever regret it? Fall for her, I mean.”

“No, of course not.”

Setelahnya suara Sagala tidak terdengar lagi. Mahen menoleh ke arah Yesha yang mengedikkan bahunya ke arah Mahen. Ia kemudian melirik ke arah Sagala dan menemukan Sagala kembali memejamkan matanya.

Keheningan yang tercipta di sana kemudian dipelihara oleh Mahen dan Yesha. Keduanya merasa sudah melewati batas saat itu.

“Penyesalan terbesar ketiga gue adalah gue nggak berani minta maaf ke Rena. I don’t think gue kuat liat Rena lagi tanpa ingat gimana tatapan Rena di hari itu. Anyway, bangunin gue kalau udah sampai di rumah ya.” ucap Sagala.

217.

Sosok Sagala berdiri di dinding kaca ruangan Teira, menatap kendaraan serta orang-orang yang berlalu lalang di jalanan.

Fokusnya tidak terpecah bahkan ketika ia mendengar seseorang memasuki ruangan dengan bunyi langkah yang ia kenali.

“Banyak yang harus lo jelasin ke gue.” ucap Sashi dengan nada tertahan, sedikit marah.

Sagala mengangguk. Matanya masih menatap ke arah jalanan.

“So?” lanjut Sashi.

“Lo mau tau dari mana?”

“Everything Sagala Wening! Lo tau? Gue gak bisa tidur semaleman mikirin lo, nyet?!” protes Sashi sembari melempar tubuhnya ke sofa yang ada di ruangan Teira.

“Thank you udah mikirin gue.” tawa Sagala pelan.

“Jadi gimana? Gue liat ekspresi lo tadi! You look like someone-...”

“...looking at their prey who's walking into the trap they made.” ujar Sagala melengkapi kalimatnya.

Sashi menatap Sagala tidak percaya. “It’s all premeditated?”

Sagala mengangguk.

“Lo kemaren gemeter di depan mata gue Wening!”

“To make you believe that I’m walking into their trap. Which I didn’t. They did. Gue harus acting di depan lo supaya lo panik, supaya lo infoin semuanya ke Kak Teira. Ninda didn’t know me like you do, so gue cuma butuh bikin lo dan Kak Teira untuk panik, Ninda bakal panik juga. Efek domino. The whole team in chaos. Gue butuh kalian terlihat panik di depan bokap gue so they will think they win. Kalau kalian nggak panik, mungkin mereka gak akan buka kartu mereka yang itu.”

Sashi mengusap wajahnya gusar.

“Sinting banget lo. Anjing banget. Sejak kapan lo acting?”

“Since the beginning. Since the day we went to Azkan’s house.”

“What?!”

“Disana gue notice kalau bokap gue ngirim orang untuk ngikutin gue. There is a reason why I really hate the way you work, Sas. Bokap gue juga pakai metode yang sama waktu dia kerja.”

“Surveillance beda sama nguntit, Wen. Gue nggak nguntit.”

“Still the same.”

“Terus lo sengaja deketin Rena selama ini?”

“Yeah…. Bokap gue knows my preference. So I’m leading him to think that I like Rena like that.”

“Are you sure? Because the reason gue panik semalem karena gue tau lo suka sama Rena. Or at least you have a soft spot for her.”

“It’s all premeditated. Lo mau liat semua video yang gue kumpulin dari dashcam gue? Semua foto yang mereka kirim, gue punya counter video or photo yang bisa gue pakai. Every single of it. There is a reason why I always use Evy all the time sejak gue pegang kasus Rena. Supaya gue gampang cari video dashcamnya.”

“Gila banget lo. Sinting lo tau? Terus yang puncak?”

Sagala terdiam.

“Puncak dan perampokan adalah variable tak terduga gue. And Rena’s feelings too.”

“Wen, you’re playing with someone’s feeling here.”

“I know. But honestly speaking, even if I like her like that, bahkan sebelum dimulai pun semua ini nggak akan bisa lanjut.” ucap Sagala, kali ini sembari memutar tubuhnya menghadap ke arah Sashi.

Bola mata Sagala membesar ketika ia melihat sosok Rena, Teira, dan Yesha berdiri di pintu masuk.

Melihat Sagala yang tiba-tiba terdiam, Sashi pun turut menoleh ke arah pandangan Sagala dan memberikan respon yang serupa dengan yang diberikan Sagala.

Detik berikutnya Rena berjalan dengan cepat ke arah Sagala dengan matanya yang sudah berlinang air mata.

Plak!

Sebuah tamparan keras dilayangkan oleh Rena.

“Fuck you, ga. I thought all these times you are different from Azkan.”

Sagala hanya terdiam.

Sikap Sagala membuat hati Rena bagaikan dihunus oleh pedang tajam dan dikoyak sejadi-jadinya. Rena merasakan sesak di dadanya. Rena menatap Sagala secara lekat namun yang dipandang tetap tidak mau menatap dirinya.

Merasa tangisnya sudah tidak bisa dibendung lagi, Rena dengan segera keluar dari ruangan Teira meninggalkan Sagala yang masih dalam diamnya.

Sagala menghela napasnya. Ia kemudian mengangkat kepalanya dan kini beradu tatap dengan Teira.

“Please temenin Rena dulu kak, at least anterin dia pulang.” senyum Sagala.

“Lo gila.” ucap Teira yang kini juga turut meninggalkan ruangannya.

Sementara itu Yesha yang sedari tadi berdiri mematung di pintu masuk, kini berjalan ke dalam ruangan. Mendatangi kulkas milik Teira untuk mencari minuman kaleng dingin yang bisa digunakan sebagai kompres sementara bagi wajah Sagala yang memerah serta sedikit berdarah di ujung bibirnya akibat tamparan Rena tadi.

“Kak lo sinting banget! Bukan ini yang lo bilang ke gue semalem!” protes Yesha sembari mencari-cari minuman kaleng yang paling dingin yang bisa ia temukan.

Sagala hanya terdiam masih di posisi awalnya, kembali menatap jalanan yang ada dibawahnya.

Ia cukup terkejut ketika Sashi tiba-tiba mendorongnya ke arah dinding kaca, menatapnya dengan lekat.

“Ini bukan Sagala Wening yang gue kenal. Lo jujur sama gue, lo suka sama Rena kan Wen?”

Sagala hanya tersenyum tipis dan detik berikutnya Sashi memahami segalanya.

“You hate cheaters and you won’t make her as one…..”

Sagala mengangguk diiringi dengan air mata yang akhirnya lolos dari pelupuk matanya.

215.

Tim Sashi pagi hari itu terlihat cukup tegang. Ninda yang berulang kali membaca kembali berkas-berkas mereka, Ale dan Yuki yang terlihat diam namun terus mengulang-ulang skenario yang sudah di briefing oleh Sashi di dalam benak mereka, lalu ada Sashi yang berulang kali berusaha menarik napasnya untuk menenangkan dirinya.

Kemudian ada Rena yang hari itu datang lebih awal karena diminta oleh Teira. Rena cukup terkejut ketika Sashi dan Teira melakukan briefing darurat kepadanya pagi hari itu, di dalam mobil pribadi milik Rena, dengan Teira yang hanya bisa mengikuti briefing tersebut lewat sambungan telepon. Ia akan menyusul ke pengadilan nanti.

Ia terkejut ketika Sashi memberikannya amplop yang sama yang kemarin diberikan kepada Sagala. Amplop yang berisikan foto-foto dirinya. Tidak bisa ia pungkiri, rasanya jantung Rena pindah ke perut saat ia melihat foto-foto tersebut.

Hal pertama yang terlintas di benaknya bukanlah narasi-narasi liar yang pasti akan digunakan oleh tim Azkan untuk menyerang dirinya, namun bagaimana nasib Sagala setelah kasusnya.

Rena tahu ia akan keluar dari permasalahan ini dengan mudah. Namun tidak dengan Sagala dan hal ini pun langsung dikonfirmasi oleh Teira.

”Mulai hari ini Sagala gue keluarin secara resmi dari tim. Gue akan urus kalian berdua setelah sidang hari ini selesai, dimulai dari Sagala dulu.”

Kemungkinan terburuknya adalah Sagala dipanggil oleh Dewan Kehormatan untuk menjalani pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik, kira-kira begitu kata Sashi.

Di luar pembicaraan mereka bertiga, secara terpisah Sashi sempat berbicara serius dengannya. Jika dulu Rena sudah merasa canggung dengan sosok Sashi yang menurutnya sangat tegas dan berwibawa, hari itu Rena merasa cukup takut dengan tatapan Sashi.

”Gue nggak tau lo dan Sagala udah saling kenal sejauh apa, tapi apa lo tau kalau bokapnya Sagala adalah lawyernya Azkan? Bokapnya Sagala itu psikopat lo tau? Dia yang dulu bikin Sagala hampir dipanggil Dewan Kehormatan karena ngelanggar kode etik dengan sengaja ngeprovokasi Sagala. He said something very nasty to Sagala, about her late mom. Sagala lost her control and punched him. Dulu Sagala dia permainin kayak gitu, sekarang keulang lagi kayak gini.”

Ingin rasanya ia menangis. Apalagi jika ia mengingat apa yang terjadi belakangan ini.

Terlepas dari apa yang terjadi dan telah tertangkap oleh kamera, dalam hatinya Rena tahu ia egois karena hanya memikirkan perasaannya saja tanpa mempertimbangkan posisi Sagala.

Keegoisannya tidak hanya membahayakan Sagala, namun juga berpotensi membuat Sagala kehilangan ‘keluarga’ kecilnya. Rena hanya bisa berharap Sagala tidak dipecat dari kantornya karena hal ini akan membuat Sagala kehilangan sosok Teira, Sashi, Yesha, dan junior-junior lainnya yang saat ini sudah bertindak layaknya keluarga bagi Sagala.

Lamunan Rena terpecah ketika ia merasakan Sashi menyentuh bahunya kemudian mendekatkan bibirnya ke telinga Rena.

“Sepuluh menit lagi mulai Sidangnya. Inget briefing gue tadi. Jangan bereaksi apapun, apapun ya Ren, mau ucapan mau gestur tubuh mau mimik wajah, jangan kasih mereka respon apapun yang terjadi. Serahin semuanya ke tim gue.” bisik Sashi kepada Rena.

Rena mengangguk paham.

Lima menit menjelang dimulainya sidang yang sudah di jadwalkan, tiba-tiba sosok Sagala memasuki ruang sidang dengan wajah yang sangat nampak kekurangan istirahat.

Melihat hal ini Rena secara refleks bangkit dari kursinya membuat Sashi pun turut menolehkan kepalanya ke arah tujuan tatapan Rena.

“Lo ngapain disini Wen?!” desis Sashi.

Tidak berbeda dengan Sashi, seluruh anggota tim melihat sosok Sagala dengan ekspresi terkejut bercampur tegang dan hal ini terlihat dengan jelas oleh tim Gala Abiseka. Sejujurnya hanya Teira, Sashi, dan Ninda yang mengetahui kegentingan hari ini. Tentu saja Teira tidak akan mempermalukan Sagala di depan junior-juniornya.

Setelah keributan antara Sashi dan Sagala, Sashi segera melaporkan kegentingan kemarin kepada Teira yang berujung pada rapat darurat di antara Teira, Ninda, dan Sashi. Dua Senior Associate pilihan Teira itu bekerja ekstra semalaman untuk memikirkan jalan keluar dan bantahan atas kemungkinan asumsi-asumsi liar yang akan digunakan oleh tim Azkan.

Sementara itu Sagala bak hilang ditelan bumi. Bahkan ia tidak bisa dihubungi, begitu pula dengan Yesha.

“Please, percaya sama gue. I can handle this. I will make this right. Dia dateng hari ini, Sas. Dia sengaja dateng karena gue.” ucap Sagala.

“Lo jangan gila Sagala! Kita nggak tau mereka punya apa aja! Lo bisa dipermalukan disini! Reputasi lo, license lo?!” desis Sashi lagi.

Sagala hanya menepuk lengan Sashi kemudian mengambil posisi di sisi terjauh dari tempat Rena duduk. Sashi tidak sempat menyeret Sagala keluar dari ruang sidang dikarenakan panitera pengganti sudah mengumumkan bahwa rombongan Majelis Hakim telah memasuki ruang sidang.

Yesha pun dengan terburu-buru nampak memasuki ruang sidang tepat disaat Majelis Hakim memasuki ruangan tersebut. Junior Sagala itu mengambil posisi di kursi pengunjung sidang. Ia kemudian memberikan sinyal kepada Sagala bahwa tugas yang tadi diminta sudah ia lakukan dengan mengangkat ibu jarinya.

Rena dapat melihat bagaimana kondisi Sagala dan Yesha pagi itu yang sangat terlihat kelelahan dengan kantung mata yang sangat nampak jelas. Terdapat perasaan lega dalam diri Rena karena ia dapat melihat Sagala lagi hari itu, namun juga terdapat perasaan khawatir yang lebih dominan ia rasakan.

“Majelis Hakim memasuki ruang sidang, hadirin dimohon untuk berdiri.”

Dua hakim laki-laki dan satu hakim perempuan yang memimpin jalannya persidangan kemudian memasuki ruangan dan menempati meja hakim. Seluruh pengunjung sidang kemudian kembali duduk ketika Majelis Hakim telah menempati kursi masing-masing.

Sepanjang persidangan Rena berusaha menahan dirinya untuk tidak melirik ke arah Sagala. Ia sama sekali tidak memperhatikan jalannya persidangan, Rena hanya memberikan respon kepada Sashi yang sesekali meminta perhatiannya dan menanyakan beberapa hal yang perlu dikonfirmasi oleh Sashi.

Sesekali pula Rena merespon pertanyaan-pertanyaan dari Majelis Hakim. Semuanya dilakukan oleh Rena dalam keadaan otomatis, ia bekerja layaknya pesawat dalam mode autopilot.

Sementara itu, seperti yang sudah diduga oleh tim Sashi, kuasa hukum Azkan berusaha berkilah dengan memberikan bukti-bukti yang diharapkan dapat meringankan maupun membantah tuduhan yang sudah dilayangkan oleh tim Sashi.

Bantahan demi bantahan saling dilemparkan oleh masing-masing pengacara, pertanyaan demi pertanyaan diutarakan kepada beberapa saksi yang dihadirkan, dan selama itu pula Sagala tidak bergeming dari posisinya. Ia membiarkan Sashi dan Ninda melakukan tugas mereka sesuai dengan skenario yang tidak diketahui oleh Sagala.

Beberapa kali Sagala memberikan notes kepada Ale dan Yuki agar disampaikan kepada Ninda dan Sashi. Sagala menuliskan beberapa pertanyaan-pertanyaan singkat maupun beberapa petunjuk bagi Ale dan Yuki untuk diperiksa di dalam berkas yang sudah mereka susun.

Selebihnya Sagala tetap dalam diamnya, mengamati jalannya persidangan.

“Majelis, tidak adil rasanya jika retaknya pernikahan antara klien saya dengan penggugat hanya dititikberatkan pada tuduhan-tuduhan penggugat kepada klien saya. Nyatanya, penggugat pun bukan istri yang setia. Kami memiliki beberapa bukti-bukti bahwa saudari Justicia pun sering kali pergi dengan teman-teman prianya dan nampak bermesraan di depan publik. Jika penggugat saja bisa dengan santai bermesraan seperti ini di tempat umum, kita tidak pernah tahu apa yang bisa mereka lakukan ditempat lain.” ucap salah seorang kuasa hukum Azkan.

“Keberatan yang mulia!” potong Sagala mendahului Ninda yang juga akan melakukan hal yang sama.

Sementara itu Rena memutar kedua bola matanya malas saat mendengar tuduhan tersebut. Jelas-jelas yang dituduhkan sebagai ‘teman pria’ nya itu adalah beberapa rekan kerja maupun public figure lainnya yang ia temui karena kebutuhan pekerjaan.

“Bohong, semuanya cuma rekan kerja. Bahkan itu yang aku peluk sepupuku sendiri.” bisik Rena pada Sashi.

Sashi mengangguk pelan, “Publik tahu kalian sepupu?”

“Nggak. Janu anak angkat Tante ku. Tapi, my team and my agency can vouch that Janu is my cousin. I can even call him right now.”

Sashi kembali mengangguk.

“Baik, jika fakta yang kami berikan tadi masih belum cukup membuktikan bahwa saudari Justicia ini juga mengambil andil dalam keretakan pernikahan antara penggugat dan tergugat, kami memiliki bukti lainnya. Saudari Justicia ini nampaknya sangat mudah memperdaya orang-orang disekitarnya, termasuk klien kami, dan juga tidak memiliki iktikad baik sebagai seorang istri. Yang terbaru, kami mendapatkan bukti bahwasanya saudari Justicia pun juga melakukan perselingkuhan dengan salah seorang kuasa hukumnya.” ucap Gala Abiseka sembari menunjukkan foto-foto Sagala bersama Rena.

Ale dan Yuki menatap Sagala terkejut. Majelis Hakim pun memeriksa foto yang diajukan dan berkali-kali melihat ke arah Sagala untuk memastikan apakah sosok yang ada dalam foto adalah sosok yang sama dengan yang hadir di persidangan.

Sementara itu Sashi mengepalkan tangannya keras-keras. Jika bertahun-tahun silam Sagala yang memukul Gala Abiseka, mungkin hari ini Sashi yang akan meninju pria paruh baya tersebut.

Namun Sagala justru tersenyum singkat. Sedangkan Yesha secara tidak sadar menghela napasnya lega.

Semua foto yang ditunjukkan oleh tim kuasa hukum Azkan tidak jauh berbeda dengan yang kemarin mereka dapatkan. Memang ada beberapa foto yang tidak mereka miliki, foto-foto dengan angle yang berbeda atau ada pula beberapa foto yang memang menunjukkan kedekatan antara Sagala dan Rena, namun masih pada hari yang sama dibuktikan dengan pakaian yang masih terlihat sama dalam foto-foto yang dikirimkan dalam amplop cokelat.

“Mampus lu babi.” ujar Yesha pada dirinya sendiri.

Tepat setelahnya, Sagala berdiri dengan tenang.

“Majelis, tuduhan ini sangat liar.”

“Yang mulia, kami bahkan bisa memberikan bukti video bagaimana saudari Justicia dan saudari Sagala ini terlihat sangat dekat. Melebihi yang seharusnya dilakukan oleh kuasa hukum dengan klien. Bisa Majelis lihat disini bahwa pada peresmian proyek kereta cepat, Saudari Justicia dengan sengaja meninggalkan gerbongnya entah kemana. Namun belakangan diketahui bahwa ternyata Saudari Justicia sengaja bertemu dengan Saudari Sagala.” potong Gala Abiseka.

Tim kuasa hukum Azkan kemudian memutar sebuah video dari laptop yang mereka bawa. Seseorang merekam Rena yang pergi meninggalkan gerbong keretanya, kemudian video tersebut terpotong dan langsung berpindah waktu, menunjukkan saat makan siang dimana lagi-lagi Sagala terlihat bersama Rena sedang asik bercengkerama dan tertawa. Terlihat bagaimana Sagala sangat attentive kepada Rena, memberikan perhatian penuh kepada Rena. Sesekali Rena pun terlihat menepuk-nepuk tangan Sagala.

Melihat video ini, Sashi semakin geram. Rahangnya mengeras.

“Majelis, jika majelis mengizinkan, saya telah mengajukan bukti tambahan pagi hari tadi sebelum sidang dimulai. Sudah kami sampaikan melalui Panitera.” potong Sagala.

“Keberatan Majelis!” potong salah seorang kuasa hukum Azkan.

Sagala beradu tatap dengan salah seorang Majelis Hakim. Berusaha untuk menunjukkan keseriusannya sembari memohon agar permintaannya dikabulkan.

Hakim tersebut kemudian membisikkan sesuatu kepada Hakim Ketua dan tak lama kemudian panitera memberikan satu bundel dokumen ke meja hakim.

“Tuduhan dari kuasa Tergugat ini sangat serius. Anda bisa dipanggil oleh Dewan Kehormatan karena hal ini.”

Sagala mengangguk, “Benar Majelis. Dan jika Majelis berbaik hati, izinkan saya untuk membela diri saya dan kehormatan klien saya.”

“Bukti ini yang anda maksud?” tanya salah seorang Majelis Hakim.

“Keberatan Majelis! Kami tidak terinfokan atas bukti tersebut dan bukti yang akan diajukan dipersidangan seharusnya diberikan melalui jalur formal!” sanggahan kembali dilayangkan.

“Silakan saudara penasihat hukum penggugat.”

“Keberatan Majelis!”

Hakim Ketua mengetuk palu nya kencang satu kali.

“Majelis harap tetap kondusif disini. Tergugat sudah melayangkan saksi-saksi, sanggahan, maupun mengajukan tuduhan yang cukup serius. Ini yang dituduh ada di ruangan ini, kenapa tidak dibuat clear saja sekalian. Kita lihat apa pembelaan dari kuasa penggugat. Nanti biar Majelis Hakim yang menilai.” balas sang Hakim Ketua.

“Silakan kuasa penggugat.”

Yesha menghela napasnya lega saat mendengar keputusan Majelis Hakim. Pasalnya ia cukup khawatir permintaan Sagala ditolak, walaupun pagi tadi Sagala dengan yakin menyampaikan pada Yesha bahwa bukti tambahan ini akan diterima.

Walau sejujurnya Yesha pun cukup penasaran bagaimana Sagala bisa memiliki keyakinan sekuat itu.

“Terima kasih Yang Mulia.”

Sagala menatap Gala Abiseka dengan lekat, ia tersenyum penuh kemenangan. Lalu tak lupa ditatapnya pula Azkan dengan senyuman merendahkan.

“Untuk mempermudah Majelis sekalian dan seluruh hadirin yang ada disini, tim kuasa tergugat terutama, saya akan menjelaskan semua hal berdasarkan timeline kejadian yang nantinya akan menjelaskan seluruh tuduhan-tuduhan tidak berdasar dan sangat kekanak-kanakan barusan.” ucap Sagala mengawali bantahannya.

“Satu november lalu, hari rabu, tepatnya sekitar jam dua siang, selepas persidangan pertama kasus ini, tergugat dan penggugat kembali bertengkar. Klien kami, penggugat, dalam kondisi tertekan dan ketakutan kemudian menelpon saya sebagai salah satu senior lawyer yang menangani kasus ini. Tergugat dengan emosinya yang tidak stabil dan sifatnya yang kasar-...”

“Apa-apaan maksudnya?!” potong Azkan yang buru-buru dihentikan oleh salah seorang kuasa hukum yang duduk tepat disebelah Azkan.

“Emang gorila satu ini beneran gak punya otak deh.” tawa Yesha pelan.

Sagala kembali tersenyum merendahkan Azkan.

“.....-Tergugat dengan emosinya yang tidak stabil dan sifatnya yang kasar, mengancam klien kami dengan ucapan-ucapan kasar yang rasanya tidak patut untuk kami ucapkan di ruang sidang yang mulia ini. Permintaan klien kami pada dasarnya sangat sederhana, ia hanya ingin meninggalkan rumah yang sudah tidak lagi memberikan kehangatan dan perlindungan bagi seorang istri. Namun tergugat dengan gelap mata justru menyakiti istri yang seharusnya ia kasihi. Kami memiliki bukti visum hasil penganiayaan tergugat kepada klien kami, yang dapat Majelis temukan salinannya pada halaman pertama dokumen yang kami berikan.”

“Keberatan Majelis! Dokumen ini dapat dipalsukan dan jika kejadian ini benar-benar terjadi, seharusnya penggugat sudah menyampaikannya di beberapa persidangan yang lalu! Bahkan penggugat juga sama sekali tidak menyinggung kejadian ini saat sidang pembuktian penggugat minggu lalu!”

Hakim Ketua melihat dokumen yang diberikan oleh Sagala sementara salah seorang Hakim Anggota kembali menatap Sagala dengan lekat.

“Bisa dijelaskan kenapa hal ini tidak disinggung sebelumnya, penasihat hukum penggugat?”

“Karena kebesaran hati klien kami. Klien kami tidak ingin memperpanjang kasus ini, selain itu klien kami berharap bahwa kejadian traumatik tersebut hanya karena tergugat terguncang dengan keputusan klien kami yang akhirnya memilih untuk menyudahi pernikahan mereka.” ucap Sagala.

“Ada lagi?”

“Masih ada Majelis.”

“Silakan.”

“Sejak satu november tersebut, kemudian tim kami bersepakat bahwa klien kami membutuhkan pendampingan untuk menghindari hal serupa terjadi. Karena hal itu kemudian diputuskan saya lah yang bertugas untuk selalu berada bersama klien kami. Semua foto-foto yang disajikan pada persidangan hari ini tidak lebih dari permainan kotor tim kuasa hukum tergugat. Kami memiliki bukti-bukti bahwa semua tuduhan tersebut tidak benar. Terlebih, penganiayaan yang dilakukan oleh tergugat kepada klien kami nyatanya kembali terulang.” ucap Sagala

Sagala kemudian balik membalas tim kuasa hukum Azkan dengan memutar sebuah video dari laptop miliknya. Video dashcam mobil listrik milik Sagala di hari dimana Azkan mendatangi Rena di apartemennya saat Rena diantar pulang oleh Sagala setelah peresmian proyek kereta cepat.

“Majelis, dalam video ini dapat dilihat jelas bahwa pakaian yang dikenakan oleh saya dan klien saya serta gaya tatanan rambut kami masih sama persis dengan apa yang ada dalam video yang tadi ditampilkan oleh kuasa tergugat. Yang artinya waktu kejadian yang ada pada video tim tergugat maupun video ini terjadi pada hari yang sama. Kami secara tidak sengaja bertemu dalam proyek tersebut, Saya juga sudah menyertakan bukti undangan dari pemerintah untuk acara peresmian proyek tersebut dalam dokumen yang saat ini berada di meja Majelis. Kedekatan saya dan klien saya tidak seperti yang disangkakan, lagipula bukankah wajar seorang pengacara harus memelihara kedekatan dengan klien-kliennya, sangat tidak masuk akal apabila seorang pengacara justru bertindak dingin dan angkuh pada kliennya.” ucap Sagala lagi.

Sagala memberikan jeda pada penjelasannya untuk menatap ke arah Gala Abiseka.

“Majelis, dalam video ini terlihat bagaimana saudara Javas Azkantara ini dengan kasar menarik klien kami dan hampir memukul klien kami jika saat itu tidak ada saya disana.” lanjut Sagala.

Kali ini keadaannya berbalik seratus delapan puluh derajat.

Tim kuasa hukum Azkan sama sekali tidak memprediksi bahwa Sagala memiliki video-video tersebut. Mereka pun tidak mengetahui bahwa Azkan pernah mendatangi Rena di apartemennya.

“Jika kuasa tergugat mampu membuat asumsi liar dan menuduh klien kami berselingkuh, maka kami juga bisa membuat asumsi liar bahwa tergugat secara sengaja berulang kali mencoba mencelakai klien kami. Dua serangan yang dilakukan oleh tergugat secara langsung dan satu serangan oleh orang tidak dikenal yang terjadi beberapa hari silam, bisa saja merupakan perbuatan tergugat. Kami sertakan pula laporan polisi atas serangan tersebut.”

“Keberatan Majelis! Sangkaan penggugat tidak berdasar!”

Sagala mengedikkan bahunya ke arah tim kuasa tergugat. Kemudian ia melanjutkan narasi yang sudah ia persiapkan semalaman bersama dengan Yesha.

“Majelis, kami rasa jika seluruh video diputar hari ini maka akan memakan waktu yang cukup lama dikarenakan kami memiliki bukti-bukti lengkap yang bisa menyanggah seluruh tuduhan liar dan tidak berdasar yang diberikan oleh Tergugat. Video-video lainnya juga sudah kami sertakan dalam flashdisk yang sudah kami berikan kepada panitera. Pada dasarnya klien kami hanya ingin segera terbebas dari pernikahan yang sudah tidak bisa diselamatkan ini. Volenti non fit iniuria, nulla iniuria est, quae in volentem fiat, tidak ada ketidakadilan yang dilakukan kepada seseorang yang menginginkan hal itu dilakukan. Perbuatan tergugat yang telah menodai ikatan suci antara klein kami dan tergugat jelas jelas dilakukan oleh tergugat dalam keadaan sadar dan berulang kali. Klien kamilah yang merasakan ketidakadilan itu sekarang.”

Sagala menyelesaikan bantahannya dengan memberikan anggukan hormat kepada Majelis Hakim.

Hakim Ketua membalikkan halaman-halaman bukti tambahan yang diajukan oleh Sagala kemudian menatap ke arah Rena lalu ke arah Azkan.

“Video ini sudah disampaikan ke panitera?”

“Sudah Majelis. Bahkan kalau Majelis berkenan, saya bisa memberikan seluruh data dashcam mobil saya untuk membuktikan bahwa video yang saya sudah kirimkan adalah otentik.” jawab Sagala.

Hakim Ketua kemudian memberikan dokumen yang ada di tangannya kepada Hakim Anggota yang berada di sebelah kanannya.

Sementara itu rasa khawatir Rena pada Sagala kini sudah hilang sepenuhnya, berganti dengan rasa syukur dan penuh kekaguman. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Sagala mampu keluar dari situasi genting seperti ini dan berbalik menyerang Azkan.

Sashi dan Ninda hanya bisa bertukar tatap melihat apa yang baru dilakukan oleh Sagala. Video yang diputar oleh Sagala terlalu rapi untuk dikatakan sebagai keberuntungan. Sashi pun ikut dibuat terkejut oleh tindakan Sagala barusan. Ia sama sekali tidak melihat adanya kegentaran dalam wajah Sagala.

Sashi bahkan melihat bagaimana Sagala melayangkan senyuman tipis ke arah Gala Abiseka. Ia perlu berbicara dengan Sagala secara serius.

Selebihnya sidang berlangsung sebagaimana biasanya dan sesuai dengan persiapan yang sudah dilakukan oleh Sashi. Mata Sashi secara awas melihat Sagala, ia cukup khawatir akan terjadi hal yang tidak diinginkan olehnya hari itu.

Setelah sidang ditutup, Sagala berdiri dari kursinya. Ia kemudian berjalan ke arah meja tim kuasa hukum Azkan. Sashi dengan cepat menghadang Sagala.

“Wen, stop. Lo punya banyak hal yang perlu dijelasin ke gue.” desis Sashi.

Sagala menoleh ke arah tangan Sashi yang menahan lengannya, lalu beralih menatap mata Sashi.

“I know.”

Sagala pun kemudian melepaskan tangan Sashi dan lanjut mendatangi Gala Abiseka yang kini sudah menuju pintu keluar. Sagala dengan cepat mencegat Gala Abiseka tidak jauh dari pintu keluar ruang sidang.

“Aku tau perbuatan Ayah kirim orang untuk ikutin aku.” ucap Sagala menghentikan langkah Gala Abiseka dan beberapa anggota tim kuasa hukum Azkan.

“Kenapa kirim foto-foto itu ke Sashi? Mau ngancem tim aku?” lanjut Sagala lagi.

Namun Sagala melihat adanya kebingungan di wajah ayahnya beserta tim besutan ayahnya dan justru melihat wajah merah padam Azkan di kejauhan. Melihat hal ini Sagala tertawa kencang.

“Oh my God…. jadi ini semua emang kerjaan ayah tapi klien ayah yang bodoh itu yang kirim fotonya ke aku? Well, thank you then.” tawa Sagala.

Sagala kemudian mendekatkan dirinya ke arah Gala Abiseka.

“Aku masih inget ucapan Ayah bertahun-tahun lalu yang buat aku hampir kehilangan pekerjaanku, aku gampang dipermainkan bukan karena aku anak Bunda. Tapi justru karena aku anak Ayah. Sekarang kita impas, satu sama.” bisik Sagala pada Gala Abiseka.

Sagala kemudian menepuk lengan Gala Abiseka lalu pergi meninggalkan sang Ayah.