187.
Hening terus melanda mobil yang ditumpangi oleh Sagala dan Renata. Bahkan ketika keduanya sudah tiba di resort tempat mereka menginap, Rena masih diam seribu bahasa.
Pun sama halnya ketika mereka perlu untuk menaiki golf car untuk diantarkan ke caravan yang telah disewa oleh Sagala, Rena masih terdiam walau ia sempat memegang lengan Sagala karena sedikit takut dengan kondisi taman safari yang sudah gelap.
Dalam benak Rena ia hanya takut tiba-tiba ada hewan yang melintas. Selebihnya ia masih berusaha untuk menjinakkan perasaan liar nya terhadap Sagala.
Kondisi ini terlalu membingungkan dirinya.
Sementara itu Sagala pun tidak banyak berujar. Ia tahu masih ada yang mengusik pikiran Rena saat ini dan Sagala memilih untuk memberikan waktu bagi Rena untuk menyelesaikannya terlebih dahulu.
Sesampainya mereka di caravan yang telah disewa oleh Sagala, Rena mengekor di belakang Sagala dengan gymbag yang terselampirkan di bahunya.
Rupanya Sagala menyewa sebuah caravan dengan kapasitas 4 orang. Hal ini terbukti dari adanya 4 gelas bersih dan 4 sandal hotel yang terpampang rapi.
Kening Rena mengkerut.
Mengapa Sagala menyewa caravan dengan kapasitas 4 orang?
Namun jawaban didapatkan oleh Rena tak lama setelahnya.
“Uhm… Ren… kamu tidur di kamar utama ya. Aku tidur di bed ini.” ucap Sagala yang menunjuk sebuah bunk bed yang berada tepat di depan kamar utama.
Alasan Sagala memilih kamar dengan kapasitas 4 orang dikarenakan ia tidak ingin membuat Rena tidak nyaman karena harus berbagi kasur dengannya.
Sebuah alasan sederhana namun lagi-lagi mampu membuat Rena terkesima. Bahkan untuk hal-hal seperti ini sudah direncanakan dengan detil oleh Sagala.
“Kamu kalau mau mandi duluan aja Ren, aku di depan ya…” lanjut Sagala sembari memberikan senyuman kepada Rena.
Tak lama berselang, Sagala menepati ucapannya. Ia sudah keluar dari caravan dan duduk di teras caravan membawa laptop miliknya, entah mengerjakan apa.
Kecanggungan pun terus berlangsung hingga larut malam.
Perlahan diamnya Sagala justru membuat Rena resah. Rena terlalu terbiasa dipaksa untuk menjelaskan, dipaksa untuk melakukan hal yang tidak ia inginkan hanya untuk membuat Azkan tidak terlampau emosi terhadapnya.
Kini saat Rena diberikan ruang oleh Sagala, sedikit perasaan takut timbul dalam hati Rena. Apakah ini tandanya Sagala akan meninggalkannya? Apakah ini tandanya Sagala sudah tidak akan peduli lagi kepadanya? Kapan Sagala akan mengajaknya bicara?
Pertanyaan itu terus timbul dalam benak Rena. Sehingga apa yang diresahkan oleh Rena justru kian membuat dirinya memikirkan hal yang tidak-tidak.
Sayangnya Rena lupa kalau Sagala bukanlah Azkan. Mereka berdua memiliki sifat yang jauh berbeda.
Rena mengambil ponselnya yang ia taruh di dekat kepalanya.
Hampir pukul 12 malam.
Di dalam caravan yang saat ini sudah dimatikan lampunya, Rena dapat mendengar suara alam di sekitarnya serta suara detak jantungnya sendiri. Namun Rena tidak bisa merasakan kehadiran Sagala.
Kening Rena mengkerut. Ia tidak menyukai perasaan ini.
“Sagala….” panggil Rena pelan, sedikit ragu apakah Sagala masih terbangun.
Nihil. Tidak ada balasan.
“Sagala….” lirih Rena satu kali lagi.
Tak lama berselang, Rena mendengar suara selimut yang disibak.
“Rena?” panggil Sagala ragu.
“Y-yeah…”
“Kenapa Ren?”
Rena sedikit kebingungan harus merespon seperti apa. Pada dasarnya ia hanya ingin memastikan bahwa Sagala masih berada bersamanya. Namun tidak mungkin ia mengatakan hal ini kepada Sagala.
“Ren?” tanya Sagala lagi.
Posisi keduanya saat ini masih berada di atas kasur masing-masing, terpisahkan dinding kamar namun Sagala masih dapat mendengar Rena dengan jelas karena Rena memilih untuk tidak menutup pintu kamarnya.
“I’m sorry….” ucap Rena.
“Hm?”
Sagala awalnya sudah hampir terlelap. Namun kini ia kembali terjaga dengan sempurna.
Sama seperti Rena, Sagala pun memilih untuk tidur dengan posisi terlentang menatap langit-langit caravan mereka.
“I’m so sorry karena aku terlalu moody.” ujar Rena.
“It’s okay…. Well aku sedikit bingung kenapa kamu marah tadi, tapi it’s fine. Is it something that I do?” balas Sagala yang kini bertanya pada Rena.
“No… well…. Maybe a bit but it’s not you. It’s me and my head.”
Sagala terdiam sejenak, namun pada akhirnya ia memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut.
“Nggak bisa tidur, Ren?”
“Iya….”
“Wanna listen to some music? Mungkin bisa bantu kamu?”
“Nope. I tried, but it didn't help.”
“Hmm… kita ngapain ya biar ngantuk….”
“Kamu tadi udah mau tidur kan, ga? Tidur duluan aja. Sorry malah bikin kamu kebangun.”
Sagala tertawa pelan, “No problem Rena, aku emang gampang kebangun orangnya. Udah kena sih ini mentalnya, setiap denger notif chat dari klien pasti langsung kebangun.”
“Astagaa…Segitunya banget?” Rena ikut tertawa.
“Terpupuk gara-gara dulu punya Senior yang cukup kejam. Pernah kena marah gara-gara Senior ku nggak terinfo ada email. Padahal aku emang nggak dimasukkan ke chain email itu. Tapi dia tetep marah. Junior bisa apa kalau Seniornya marah gak jelas kayak gitu?”
“True… Senioritas sucks.” cibir Rena.
“Iya, makanya aku nggak mau gitu ke junior ku. Sebisa mungkin aku selalu memposisikan kalau kami sejajar. Sometimes they're smarter than I, bisa kasih ide-ide yang brilliant. Satu-satunya privilege orang yang lebih tua itu jam terbang aja.”
“They're lucky to have you as their senior, ga. I can tell…”
“I hope so…Aku cuma mau bikin mereka nyaman aja. In this crazy professional world, it feels nice to have someone that makes you comfortable. I find it in kak Teira and I wanna do the same things to my juniors.”
“I think you already did. Yesha dan junior kamu lainnya pasti bakal kasih testimoni yang sama.”
Sagala tidak menggubris ucapan Rena lebih lanjut.
“Mau main ask me anything aja nggak atau that twenty something game? Otak aku udah nggak tau mau ngomong apa.” ucap Sagala diselingi dengan suaranya yang tengah menguap.
Rena cukup terkejut mendengar tawaran Sagala. Namun ini adalah kesempatan emas bagi Rena untuk mengenal Sagala lebih jauh yang tentu saja tidak mau ia lewati.
“Boleh. Kalau ada pertanyaan yang nggak mau dijawab, bilang pass aja gimana?” tawar Rena.
“Deal.”
“Tanggal lahir?” tanya Rena dengan cepat.
Sagala tertawa mendengar pertanyaan sederhana dari Rena. Pertanyaan ini bisa ia jawab dengan sangat mudah.
“Bali, 21 Februari 1989.”
“Bali?!” pekik Rena terkejut.
“That’s another question, Rena. Now my turn, what’s yours?”
“New York, 29 Maret 1989.”
“Ooohhh, menarik. Dari kecil udah level internasional.” goda Sagala.
“Mulai nyebelin kan? Itu tuh gara-gara mama aku nggak mau ditinggal papa waktu hamil. Jadi waktu itu papa ada rencana ngelebarin bisnis disana and well things happened. Aku lahir prematur, by the way.”
“See? Berarti kamu itu emang lebih muda dari aku.” tawa Sagala yang mendapat dengusan kesal dari Rena.
“Berisik! Gantian aku! Kamu lahir di Bali? Kamu dulu tinggal di Bali? Setau aku tante Isa justru cerita kalau kalian pernah tinggal di Jogja?”
“Ayah aku orang Bali, Rena. Aku tinggal disana sampai TK. Terus pindah ke Jakarta karena dulu ayah aku mau bikin lawfirm sama temennya di Jakarta. Akhirnya pindah ke Jakarta buat nemenin ayah aku. Eh orangnya malah selingkuh terus orang tua aku cerai, akhirnya Bunda milih pindah dari Jakarta, alasannya karena biaya hidup disana tinggi. Tapi aku rasa juga karena Jakarta udah kasih dia bad memories. Tapi anaknya malah yang akhirnya bikin dia pindah ke Jakarta lagi.”
“Well…. Sometimes it can be helped. That’s life.” ucap Rena.
“True…. Next question ku apa ya… I have no idea, aku pass dulu deh. Nanti aku nanya double aja.” lanjut Sagala yang semakin mengantuk.
“Tell me about your childhood.”
“Nothing special, Ren. Bunda bikin restoran kecil dari uang pembagian harta bersama yang dia dapet setelah cerai. Maybe karena dia emang jago masak dan masakannya enak, restorannya terus berkembang dan jadi besar. Sisanya ya aku sekolah kayak anak pada umumnya, sambil bantu Bunda dikit-dikit.”
“Di jogja?”
“Yeah, sampai waktu SMA aku datang faculty fair dan tertarik untuk sekolah ke luar negeri. Disana aku ketemu Sashi, di pameran itu. Kebetulan dateng ke booth pameran yang sama dan disitu banyak nanya-nanya ke penjaga boothnya. Dari situ terus kita nyadar kalau ternyata kita berdua minat masuk fakultas yang sama. Akhirnya jadi sering kontakan. Lagian jogja kecil, Ren. Ternyatanya aku dan Sashi itu satu tempat les yang sama juga.”
“Hah? Lama banget dong kenal Sashi? Kata Yesha kalian kenal karena satu tempat kuliah?”
Sagala terkekeh, “Ini behind story yang nggak banyak orang tahu. Tapi emang secara official mulai jadi temen deket ya pas kuliah, maklum namanya merantau bareng di negeri orang.”
“Kamu nggak ada keluarga lain, ga? Dari tadi kamu cuma cerita tentang kamu dan tante Isa aja.”
“Nggak ada, Rena. Bunda aku yatim piatu dari kecil. Terus sejak cerai, bunda udah nggak mau kontak keluarga ayahku karena ayahku juga udah secara terang-terangan nggak mau ngurus aku dan malah nikah lagi. It’s only two of us. Yang bisa aku anggap keluarga sekarang cuma kak Teira dan Sashi, plus Yesha.”
“I’m so sorry Sagala….”
“What for? Kamu nggak ada salah sama sekali. Udah ah kok jadi gloomy gini sih? Gantian aku aja yang nanya! What about your childhood?”
Rena menghela napasnya panjang, mencoba menggali memori masa kecilnya.
“It’s the best childhood ever, I guess. I have loving parents and an older sister, you know that. Tapi aku nggak pernah pindah-pindah kayak kamu. Selalu tinggal di Jakarta, kecuali waktu kerusuhan mei itu. Papa bawa satu keluarga ke Amerika, disana awal mula aku jadi lebih aware sama dunia modeling. Masalah sekolah, aku nggak secemerlang kamu Sagala, bisa dibilang aku pemalas bahkan.” tawa Rena.
“Kenapa somehow aku bisa bayangin kamu bolos sekolah sama temen-temen kamu buat nongkrong di suatu tempat?” ucap Sagala usil.
“Well, nggak salah. Aku dulu sering bolos kelas, tapi bukan untuk nongkrong. Ada kerjaan aja. Sebenernya aku udah mulai dapet job-job foto gitu dari SMA. Sedikit-sedikit, terus lama-lama jadi serius. Untungnya karena sekolahku international school, jadi mereka cukup lenient masalah kayak gini selama emang aku bolos untuk hal lain yang produktif. Tapi pada intinya aku males aja belajar di kelas. Capek dibandingin sama kak Yona.”
“Terus gimana ceritanya kamu bisa ikut kontes kecantikan, Ren?” Sagala menguap lebar sebelum ia melanjutkan kalimatnya, “Don’t get me wrong, tapi setau aku biasanya kan di kontes kecantikan itu juga butuh wawasan luas?”
“Aku males belajar di kelas bukan berarti aku nggak belajar di tempat lain, Sagalaaa. Mama aku selalu bilang belajar itu nggak harus duduk di kursi dan mama juga bilang kalau setiap orang itu punya keahliannya masing-masing. Kak Yona excellent di bidang eksak. Sedangkan aku nggak suka yang kayak gitu.”
“True…”
“There goes my highschool era. Terus aku ambil course course singkat di London College of Fashion dan akhirnya jadi serius di dunia modeling ini. Then aku iseng nyoba ikut kontes kecantikan dan disana aku pertama kali ketemu Azkan, from a friend of mine. Azkan orang pertama yang memuji aku tanpa aku harus dibandingin sama kak Yona. Now that I think about it, maybe it’s the reason why I fell for him at that time. Selain karena yaa emang perlakuan dia manis banget.”
“Hence why aku takut kalau apa yang kamu lakuin sekarang bakal kayak apa yang dulu Azkan lakuin, Sagala…” batin Rena.
Hening melanda caravan tersebut untuk beberapa saat.
“Sagala?”
Tidak ada balasan dari Sagala.
“Sagala?” panggil Rena lagi.
Diam yang diterima Rena membuat dirinya memilih untuk bangkit dari kasurnya dan memeriksa Sagala langsung.
Sebuah senyuman mengembang di wajah Rena saat melihat Sagala sudah tertidur dengan mulutnya yang sedikit terbuka.
Rena memilih untuk mengamati Sagala beberapa saat dalam kegelapan sebelum ia kemudian menarik selimut Sagala agar lebih menutupi tubuh Sagala dan memberikannya kehangatan.
“Sleep tight, Sagala.”