youngkimbaeson

214. Counter Attack

Selasa, 5 Desember 2023

Seperti ucapan Sagala kepada Teira, baik dirinya maupun Yesha kembali disibukkan dengan pekerjaan awal mereka. Sejujurnya menurut Sagala ada baiknya juga ia dikeluarkan dari tim yang menangani kasus Rena, setidaknya workloadnya cukup berkurang.

Namun Sagala tidak bisa memungkiri bahwa ia pun cukup penasaran dengan kelanjutan kasus Rena, terutama untuk sidang hari rabu esok dimana merupakan saat bagi tim kuasa hukum Azkan untuk melakukan pembuktian.

Tetapi Sagala tahu, ia tidak boleh mengikuti rasa penasarannya. Apa yang ia lakukan saat ini sudah sesuai dengan salah satu rencananya.

“Kak sumpah sih, gue mau ambil cuti panjang akhir tahun.” keluh Yesha yang kini sedang berada di dalam ruangan Sagala sembari menikmati waktu istirahat sepuluh menit yang diberikan Sagala.

Sebuah keluhan yang sering kali diucapkan oleh Yesha, namun sangat jarang terealisasikan.

“Mau liburan lo?”

“Iya lah! Kemana kek! Liat salju minimal!” dengus Yesha.

“Sama gue yuk? Jepang mau gak?”

“Anjir?! Jauh banget?”

“Katanya lo mau liat salju! Kalo mau deket, lo dateng aja ke mall-mall yang ada mainan salju-saljuan!”

“Lo serius gak ini kak? Kalo serius gue izin bokap nih?”

“Ya serius lah Yes! Kalo lo mau, gue bakalan seneng banget ada temennya. Secara, kan gue udah gak punya keluarga.”

Sebuah tinjuan keras mendarat di bahu Sagala.

“Sumpaaaah benci banget gue kak kalo lo udah mulai dark jokes bawa-bawa keluarga gini!” rengek Yesha.

Sagala hanya tertawa mendengar protes yang keluar dari mulut juniornya.

Namun tawa Sagala harus terhenti ketika pintu ruangannya dibuka dengan kasar oleh Sashi yang kemudian menutup pintu ruangan Sagala dengan dibanting cukup keras.

Sashi melempar satu amplop cokelat ke meja kerja Sagala.

Tindakan Sashi ini cukup membuat Yesha bergidik ngeri karena baru kali ini ia melihat Sashi mengamuk seperti itu.

“Apa sih Sas? Lo dateng marah-marah gini?!”

“Gue dari awal udah ngingetin lo Wen! Gila ya lo?! APA YANG LO CARI DARI RENA?! DIA ITU KLIEN WEN! KLIEN! DAN DIA ITU ISTRI ORANG!”

“APAAN SIH?!” Sagala balik membentak Sashi.

“LO BUKA ITU AMPLOP! GILA YA LO?! BESOK SIDANG PEMBUKTIAN ANJING! SEKARANG KITA MAU COMEBACK PAKE APA?!”

Sagala mengambil amplop yang tadi dilempar ke arahnya.

Sebuah amplop cokelat yang dikirim melalui jasa pengantaran barang dengan nama pengirim Sagala yang ditujukan kepada Sashi.

Kening Sagala mengkerut. Ia tidak pernah mengirim apapun kepada Sashi.

Tangannya membuka amplop cokelat tersebut dan betapa terkejutnya ia saat melihat foto-foto dirinya bersama dengan Rena ada disana.

Foto dirinya saat makan bersama Rena di restoran steak.

Foto dirinya saat berada di yayasan.

Foto saat dirinya mengantar Rena pulang dari proyek kereta api.

Dan beberapa foto lainnya.

Tangan Sagala bergetar sembari melihat satu per satu foto-foto tersebut.

Tepat seperti apa yang Teira katakan, Sagala memang selalu menyerang lawan-lawannya tanpa memberi jeda. Namun kali ini Sagala sama sekali tidak memprediksi bahwa lawannya pun bisa memberikannya serangan balik secara cepat.

207.

Pertemuan pertama antara Adrian Antasena dan Sagala Wening hanya berlangsung tidak lebih dari sepuluh menit. Tidak pernah terbesit dalam pikiran Adrian Antasena bahwa ia akan kembali bertemu dengan Sagala Wening dalam keadaan yang lebih formal.

Beberapa jam yang lalu Anta cukup terkejut ketika mendapatkan telepon dari nomor yang tidak ia kenali namun tak lama setelahnya sebuah pesan singkat dari nomor yang sama memperkenalkan diri sebagai Sagala Wening.

Pertemuan sepuluh menitnya dengan Sagala ditambah interaksi antara Sagala dengan putrinya cukup membekas bagi Anta. Maka tanpa pikir panjang ketika Sagala meminta untuk bertemu dengan dirinya secepat mungkin, Anta langsung menerima permintaan tersebut.

Kini keduanya berada di salah satu restoran hotel berbintang di pusat kota, tidak jauh dari kantor Sagala berada.

Sagala menunjukkan beberapa dokumen kepada Anta melalui laptopnya. Meminta Anta untuk melihat beberapa hal yang menurut Sagala perlu untuk diketahui oleh Anta.

Selepas ia selesai membaca seluruh dokumen yang diberikan oleh Sagala, Anta melepaskan kacamata bacanya dan menaruhnya tepat disebelah cangkir kopi miliknya.

“Saya nggak nyangka Azkan bisa memperlakukan Rena sejahat ini.” geram Anta.

“Dan mungkin bisa lebih jahat lagi, apalagi setelah melihat hasil sidang pembuktian penggugat kemarin. Karena itu saya hubungin Om pagi tadi. Saya sudah dikeluarkan dari tim karena kecerobohan saya sendiri, Om. Sekarang saya sudah tidak punya kewenangan untuk ada di dekat Rena lagi. Jadi saya mohon Om bisa pertimbangkan untuk meningkatkan keamanannya Rena.” ucap Sagala.

“Rena hanya bilang kalau dia semalam kerampokan.”

“Mungkin Rena nggak mau bikin Om khawatir, ditambah kejadian semalam memang cukup membuat Rena shock. Jadi mungkin dia juga belum siap untuk mendapatkan banyak pertanyaan dari keluarga.”

Anta menghela napasnya panjang, ia menatap Sagala dengan penuh kekhawatiran.

“Sekarang kamu mau saya ngapain? Saya ngerasa gagal ngelindungi Rena selama ini, jadi sekarang saya akan ikuti instruksi kamu.”

“Permintaan saya sederhana, Om. Tolong usaha untuk bisa mengerti Rena dan jadi teman bicara Rena seperti mendiang mamanya Rena dulu dan satu lagi, tolong tingkatin keamanan di sekeliling Rena mulai dari hari ini sampai satu tahun ke depan.”

Kening Anta mengkerut.

“Satu tahun?”

Sebuah anggukan mantap diberikan oleh Sagala.

“Pengalaman saya aja. Tipe-tipe kayak Azkan masih akan berusaha nyelakain Rena sampai satu tahun ke depan dan selama satu tahun ke depan pasti kasus perceraian Azkan dan Rena masih hangat buat media juga.”

“Gimana kalau lebih dari itu Sagala?”

Sagala tersenyum ke arah Anta.

“Senin pagi, Om bakal lihat alasan kenapa Azkan nggak akan bisa bertahan buat ngusik Rena lebih dari satu tahun.”

“Maksud kamu?”

Tangan Sagala meraih ponsel yang ia taruh di atas meja. Anta melihat Sagala memeriksa isi ponselnya beberapa saat sebelum kemudian disodorkan oleh Sagala kepada Anta.

Anta menatap Sagala kemudian mengambil ponsel Sagala sembari tangan kirinya mengambil kacamata yang tadi ia taruh. Matanya membulat terkejut ketika ia membaca informasi yang ada pada ponsel tersebut.

“I-ini?”

Sagala mengangguk, “Senin pagi semua orang akan lihat ini di setiap berita nasional. Karena itu Saya minta Om untuk lindungin Rena, terserah gimana caranya.”

205.

“Meeting apa sih ini?” tanya Teira pada Sashi yang sudah duduk di sofa ruang kerjanya.

“Have no idea. Wening gue tanyain juga cuma bilang urgent.”

“Wants some coffee?” tanya Teira lagi, kali ini sembari mengangkat teko berisikan air hangat yang ada di tangan kanannya.

“Nggak deh kak. Gara-gara adek kesayangan lo itu bilang urgent, gue tadi skip beli sarapan.” jawab Sashi.

Teira tertawa mendengar jawaban Sashi. Bukan rahasia bahwa Teira memang sangat dekat dengan Sagala layaknya saudara. Hal ini pun dibuktikan dengan sikap Teira yang cukup lunak pada Sagala walau Senior Associate yang satu itu sering kali melakukan hal-hal di luar nalar.

“Jangan ngambek gitu dong, Sas. Gue juga sayang sama lo kok.” goda Teira sembari mengaduk cangkirnya.

“Si Wening lagi renyeng banget abis balik dari puncak. Ngambek sama lo apa gimana sih Sas? Gara-gara gak bisa lo temenin karena lo pergi sama bokap gue.” lanjut Teira.

Sashi hanya mengedikkan bahunya.

“Again, I have no idea.” ucap Sashi.

Tak lama berselang, pintu ruangan Teira dibuka dengan cukup kasar oleh Sagala yang terlihat cukup terburu-buru dan kemudian melempar sebuah dokumen ke atas meja yang berada tepat di depan Sashi.

“Selamat pagi Wening, coffee or tea?” sapa Teira dengan senyumannya.

Sementara itu Sashi hanya bolak-balik melihat antara dokumen yang tadi di lempar Sagala dan teman baiknya itu.

“Preambule?” tanya Sashi dengan tenang.

Baik Teira maupun Sashi sangat paham jika Sagala sedang tantrum seperti ini, lebih baik untuk menanggapi Sagala dengan tenang.

“Rena diserang orang nggak dikenal semalam. Itu laporan polisinya.”

Mendengar ucapan Sagala, Sashi kemudian mengambil dokumen tersebut dan membaca baris demi baris laporan yang dimaksud. Sementara itu Teira membawa cangkir kopinya lalu duduk di sebelah Sashi yang sudah memberikan laporan polisi tersebut kepada Teira.

“Why do I have zero information about this?” tanya Teira kepada Sagala.

“Now you do.” balas Sagala.

“Wen, ini bukan kejadian pertama dan lo ngulangin lagi?!” tanya Sashi yang kini mulai kesal dengan sikap Sagala.

“Wait wait wait, bukan yang pertama?”

Sagala membuang mukanya, enggan menatap Teira. Sementara itu Sashi memutar kedua bola matanya malas.

“Rena sempet diserang Azkan di hari yang sama setelah sidang. Untungnya waktu itu Sagala lagi sama Rena karena dia ketemu di proyek kereta cepat dan nganterin Rena pulang. Adek lo ini nggak langsung ngasih tau tim kalau Azkan ngancem Rena karena dia tau anaknya diikutin sama Karin. Dia baru bilang besok paginya.” jelas Sashi.

“Lo terus nutupin ini juga dari gue?” tanya Teira pada Sashi.

Sashi menganggukan kepalanya malas.

Teira memijat pelipisnya berulang-ulang kali kemudian menarik napasnya dalam-dalam.

“Sas, Wen, lo berdua itu udah jadi Senior Associate disini berapa lama? Lo udah kerja di kantor ini berapa lama? Nggak perlu kan gue bacain aturan main kantor ini di depan kalian, sekarang? Atau perlu? Atau perlu gue panggil Yesha kesini buat gue tanyain basic rules kantor ini dan biar dia jawab di depan muka kalian?”

Sagala hanya mengedikkan bahunya. Sedangkan Sashi hanya menatap Teira sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

“Keluar dari ruangan ini, lo berdua bakal gue kasih SP 1.” ucap Teira.

“Sekarang balik ke kasus ini dulu. Terus udah ada update apa dari polisi?” lanjut Teira.

“Belum ada. Gue dan Yesha belum di kontak apa-apa.”

“Yesha tau?! Dia kok gak kasih tau gue?!”

“Gue yang larang dia. Look, gue tau kalo gue kasih kabar ke lo semalem, yang ada lo bakal bikin Rena capek karena dia bakal dicecar bokapnya. I just want her to rest first.” jawab Sagala.

“Wening, gue bukan anak kemarin sore! Gue tau apa yang harus dan gak harus gue lakuin! Lo nggak berada dalam kapasitas untuk nentuin apa yang gue boleh dan gak boleh lakuin! Gila ya kalian? Gue kira udah tambah banyak jam terbangnya bisa lebih dewasa cara pikirnya. Kalian mau yang kejadian bertahun-tahun lalu terulang? Wening, lo hampir dipecat dari kantor ini gara-gara lo pakai perasaan dan logika lo sendiri!”

Teira bangkit dari sofa kemudian berjalan ke arah meja kerjanya. Ia kemudian mengangkat telepon yang ada di mejanya dan menekan beberapa tombol.

“Yesha ke ruangan gue sekarang!”

Tak sampai lima menit, Yesha sudah mengetuk pintu ruangan Teira. Ia cukup kebingungan saat melihat suasana di ruangan Teira sudah tidak kondusif.

“Uhm… kenapa ya kak gue dipanggil?”

“Lo gue kasih SP 1 karena lo nggak ngasih tau peristiwa sepenting semalem ke gue dan ke lead tim lo right away. Paham?”

“Kak! Dia gue suruh!” bela Sagala.

“So? Tetep aja Yesha udah ngelanggar basic rules!”

“It’s okay kak…” bisik Yesha pada Sagala.

“Satu hal lagi, semua timnya Wening gue keluarin dari casenya Rena. Keputusan gue final, lo gak usah protes lagi.” tunjuk Teira pada Sagala.

Sashi cukup terkejut dengan ucapan Teira. Ia kemudian dengan cepat berusaha untuk bernegosiasi dengan atasannya itu, “Kak, tapi tim gue tetep butuh orang-....”

“Gue bakal kasih lo tim pengganti. Keputusan gue final. Wening, Yesha, Meira, semua out dari tim.”

“Fine. Tim gue out, tapi lo pastiin kejadian kayak gini nggak kejadian lagi.” ucap Sagala dengan telunjuk yang mengacung pada laporan polisi kasus penyerangan Rena.

Teira tertegun ketika menyadari tatapan penuh amarah pada mata Sagala. Tatapan tersebut pernah ia lihat sebelumnya untuk pertama dan terakhir kalinya pada saat kematian Isaura. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Sagala akan menatapnya seperti itu lagi namun kali ini dipicu oleh seorang Justicia Renata.

201.

Sesuai janji Sagala, malam itu ia dan Yesha melakukan pengecekan satu kali lagi atas dokumen final legal opinion yang akan dikirimkan kepada Teira untuk mendapatkan review terakhir sebelum dikirimkan oleh kantor mereka kepada klien.

Seperti biasa, Sagala dan timnya akan mengerjakan pekerjaan mereka di ruangan Sagala. Meskipun ruangan Sagala tidak sebesar ruangan Teira, namun ruangan Sagala cukup nyaman dan memiliki persediaan makanan yang cukup lengkap.

Ruangan Sagala sangat sederhana. Hanya berisikan meja kerja beserta komputernya, lalu meja dan sofa untuk kapasitas empat orang tepat di seberang meja kerja Sagala. Di pojok ruangan terdapat kulkas kecil berisikan minuman kaleng dan minuman botol.

Biasanya jika Sagala dan junior-juniornya hendak bekerja hingga larut malam, Sagala akan mendorong sofa dan meja ke pinggir ruangan agar dirinya dan junior-juniornya bisa lesehan dengan leluasa.

Namun karena malam ini hanya ada dirinya dan Yesha, Sagala tetap duduk di kursinya sementara Yesha duduk di sofa sedikit rebahan.

“Lo cek final typo sama formatting ya, Sha. Gue ngecek kontennya sekali lagi. Harusnya semua issue udah kita jawab sih ini.” ucap Sagala sembari membaca ulang legal opinionnya.

“Yep, ini lagi gue cek kak. Tadi fontnya ada yang beda dikit. Harusnya georgia malah pake times new roman.” jawab Yesha mantap.

Keduanya kembali bekerja dalam keheningan. Hanya terdengar sesekali bunyi keyboard dari Yesha yang membenarkan kesalahan-kesalahan penulisan.

“Anyway kak….”

“Hm?”

“Lo dicariin kak Sashi tau tadi sore. Pas lo bilang ke gue gak mau diganggu itu.”

Sagala berhenti membaca dokumen yang ada di layar komputernya.

“Terus lo bilang gue kemana?”

“Ya gue bilang nggak tau. Kan kata lo kalo yang nyari bukan klien, gue disuruh bilang gak tau. Kak Teira juga nyariin lo tadi tuh.” ucap Yesha lagi.

“Hmm..”

Yesha menaruh laptop yang ada di pangkuannya ke atas meja di depan sofa yang ia duduki kemudian ia memutar tubuhnya menghadap Sagala.

“Kak Rena juga chat gue, nyariin lo.”

Ucapan Yesha kali ini sukses membuat Sagala sepenuhnya meninggalkan pekerjaannya. Mata Sagala beradu dengan Yesha meminta penjelasan.

“Sejak kapan lo deket sama Rena?”

“Sejak proyek kereta cepat. Tukeran nomer handphone disitu.”

Sagala menghela napasnya, “Rena chat apa?”

“Selasa nanyain gue lo lagi sama gue apa nggak. Terus hari ini nanyain lo lagi sibuk apa nggak.”

Sagala menyandarkan tubuhnya pada kursi kerjanya. Ia kemudian memejamkan kedua bola matanya.

“Lo udah cerita ini ke siapa aja selain ke gue?”

Dengan cepat Yesha menggelengkan kepalanya walau Sagala tentu tidak akan melihat dirinya.

“Gak ada lah! Ngapain gue ngegosipin lo, kak.”

“Don’t tell anybody about this. Not even Sashi, not even kak Teira.” ucap Sagala.

“Sure…?”

Sagala kemudian menghela napasnya panjang.

“Kalau Rena nanyain gue lagi, lo jawab aja Sha. Kasih aja info seadanya, jangan terlalu detil tapi juga jangan terlalu pendek.”

“O…kay? Tapi kenapa nggak kak Rena chat lo langsung sih kak? I mean kalian pasti punya nomer satu sama lain kan?”

Sagala menggeleng pelan, “Bahaya.”

Jawaban singkat dari Sagala sukses membuat Yesha bertanya-tanya. Namun ia juga tak ingin mengulik lebih jauh jika Sagala tidak ingin berbagi cerita kepadanya. Akhirnya Yesha hanya menganggukkan kepalanya patuh.

“Thank you, Sha.” ucap Sagala saat melihat jawaban afirmatif dari gestur tubuh Yesha.

“Kayak sama siapa aja sih kak.”

Sagala tersenyum tipis. Namun keduanya kemudian dikagetkan oleh suara dering telepon dari ponsel milik Sagala.

Sebuah nomor lokal tak dikenal.

“Siapa kak?”

“Gak tau nih. Nomernya sih 021 ya….”

“Angkat aja, penting kali? Kan 021?”

“Males, Sha. Biasanya yang begini nih marketing bank nawar-nawarin kartu kredit lah, asuransi lah…”

“Lah kak, ini udah jam…..” ucapan Yesha terjeda sesaat dikarenakan Yesha mengecek penunjuk waktu yang ada di layar laptopnya sejenak.

“....mau jam sembilan malem kak. Telemarketing mana yang masih kerja jam segini?”

Ucapan Yesha menyadarkan Sagala. Apa yang dikatakan oleh Yesha ada benarnya.

“Sekali lagi bunyi, kata gue mending di angkat deh kak. Takut gue kalo emergency. Soalnya kapan itu ada telepon masuk ke gue, nomer 021 juga. Terus ternyata adek gue kecelakaan, yang nelpon kantor polisi.”

“Kalo ini penipuan gimana, Sha? Kan modus gini banyak.”

“Pake feeling sih gue kak. Feeling lo gimana?”

Sagala terdiam.

Selang beberapa menit kemudian, ponsel Sagala kembali berdering oleh nomor yang sama. Sagala menaruh jari telunjuknya di depan bibir, memberikan tanda bagi Yesha untuk tetap diam.

Kali ini telepon tersebut dijawab oleh Sagala namun ia dengan sengaja menjawab telepon tersebut dalam mode loudspeaker.

“Malam?”

“Selamat malam, saya AKP Yoga dari Polda Metro.”

Kening Sagala mengkerut saat mendengar jawaban yang ia dapatkan. Yesha pun kini berdiri dari sofa yang ia duduki dan berdiri tepat di sebelah Sagala.

“Malam pak, ada yang bisa saya bantu?”

“Benar ini nomor Ibu Sagala?”

“Saya sendiri, pak.”

“Bisa Ibu datang ke kantor kami? Kami membutuhkan kehadiran ibu untuk mendampingi Ibu Renata. Beliau baru mengalami penyerangan di ATM drive thru-....”

“Tunggu… Tunggu…. Bisa diulang pak?”

“Begini bu, saat ini klien ibu berada di kantor kami karena baru menjadi korban penyerangan di ATM drive thru yang terletak di sebelah kantor kami. Taksi yang ditumpangi oleh Ibu Rena dihancurkan kacanya oleh sekelompok orang tidak dikenal saat bu Rena mampir ke ATM drive thru. Supir taksi mengalami sedikit luka-luka tetapi Ibu Rena dalam keadaan aman. Untungnya tadi satpam bank melihat kejadian tersebut, jadi pelakunya langsung kabur. Ibu Renata meminta didampingi kuasa hukumnya terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan. Maka dari itu kami menghubungi ibu.”

“O-okay pak. S-saya kesana. Polda metro kan? Sepuluh menit saya sampai.” ucap Sagala cepat.

Ia langsung menyambar tasnya dan mengambil blazer yang ia gantung di kursi kerjanya. Sagala kemudian bergegas meninggalkan ruangan kerjanya.

“Kak! Gue gimana!” teriak Yesha.

Langkah kaki Sagala terhenti, ia kemudian berlari kembali ke ruangannya.

“Lo ikut gue sekarang. Laptop lo bawa aja. Lanjutin kerjaan lo dari kantor polisi nanti.”

Yesha mengangguk cepat. Untungnya barang bawaannya tidak banyak berserakan.

Baik Sagala maupun Yesha sama sekali tidak bertukar kalimat apapun. Namun Yesha sesekali melirik ke arah Sagala dan melihat guratan kekhawatiran pada wajah Sagala.

Perjalanan dari lawfirm mereka ke kantor polisi terasa sangat cepat bagi Yesha namun justru sebaliknya bagi Sagala.

Bahkan Sagala langsung berlari saat tiba di Polda Metro Jaya, membuat Yesha sedikit keteteran.

“Pak, saya mau ketemu AKP Yoga. Kemana ya?” tanya Yesha pada salah seorang polisi yang pertama kali ia lihat.

Keberuntungan menyambangi keduanya karena polisi yang baru saja ditanyai oleh Yesha dapat mengantarkan keduanya ke tempat tujuan yang rupanya tidak terlalu jauh dari lokasi mereka saat ini.

Yesha membungkukkan tubuhnya sebagai tanda terima kasih saat mereka tiba di ruangan yang dimaksud.

Di ruang tunggu tersebut Sagala langsung melihat sosok Rena yang masih shock atas kejadian yang menimpanya. Dengan cepat ia mendatangi Rena tanpa menunggu Yesha terlebih dahulu.

“Ren….”

Mendengar namanya disebut, Rena langsung mendongakkan kepalanya. Tubuh Rena bergetar ketika Sagala langsung memeluk tubuhnya dengan erat. Rasa takutnya tadi kembali datang bersamaan dengan perasaan lega karena kini setidaknya ada orang yang ia kenali bersama dengan dirinya.

“Ga….”

“I’m here…. I’m here…..”

Rena balas memeluk tubuh Sagala dengan erat. Wajahnya ia sembunyikan di ceruk leher Sagala sementara Sagala mengusap-usap punggung Rena.

“Kamu ada yang luka?” tanya Sagala.

Rena menggeleng.

Sebuah helaan napas lega dikeluarkan oleh Sagala.

“God….thank you…” ujar Sagala pada dirinya sendiri.

“S-sorry aku ngerepotin kamu malem-malem gini…”

“Kamu nggak pernah ngerepotin aku, Rena… Aku khawatir banget waktu tadi dapet telpon dari polisi… Untung aku masih di kantor sama Yesha tadi.”

Sementara itu Yesha yang terdiam mengamati keduanya kemudian memilih untuk menunggu di luar ruang tunggu agar bisa memberikan lebih banyak privasi bagi Sagala dan Rena.

Di luar ruang tunggu, Yesha bertemu dengan AKP Yoga yang tadi menelpon Sagala. Yesha pun memperkenalkan dirinya sebagai salah satu kuasa hukum Rena dan menanyakan kejelasan penyerangan yang tadi sempat dibicarakan oleh Yoga.

Dari keterangan supir taksi, ia menceritakan bahwa dirinya mengangkut Rena dari salah satu mall yang terletak tidak jauh dari sana. Kemudian Rena meminta untuk mampir sebentar di ATM drive thru yang kebetulan memang searah dengan rute perjalanan. Pada saat taksi tersebut keluar dari drive thru, mobilnya dihadang oleh dua buah sepeda motor yang mengacungkan senjata tajam ke arah taksi yang ditumpangi oleh Rena.

Supir taksi yang terkejut akan hal ini lalu menekan klakson mobil cukup lama dan hal ini membuat para penyerang tersebut marah dan memecahkan kaca di sisi pengemudi. Nasib baik bagi Rena, ia duduk di sisi kiri mobil sehingga walaupun kaca mobilnya pecah, namun ia hanya terkena sedikit pecahan kaca.

Tak lama berselang, security gedung pusat bank tempat dimana ATM drive thru berada banyak yang berdatangan setelah mendengar kegaduhan dari klakson taksi tersebut dan membuat penyerang ini langsung meninggalkan tempat kejadian.

“Motifnya terlihat seperti perampokan.” ucap Yoga.

Yesha mengernyit tidak percaya.

“Jalanan di sebelah itu terang banget lho pak? Dan gedung sebelah itu juga Bank pusatnya, otomatis banyak satpamnya. Terus sebrangnya persis kantor polisi ini. Nekat banget ngerampok deket kantor polisi?”

“Kami belum bisa mengambil kesimpulan ke arah lain. Semua kemungkinan yang ada mengerucut pada percobaan perampokan. Pelaku juga tidak terdeteksi karena motornya tidak berplat. Taksi yang ditumpangi juga tidak memiliki dashcam.”

“CCTV? CCTV di drive thru ATM kan ada pasti?” selidik Yesha lagi.

“Ada, tapi disana juga hanya merekam kejadian yang tadi saya ceritakan. Dari CCTV pun pasti orang akan berkesimpulan kalau ini percobaan perampokan.”

Yesha menggaruk pelipisnya frustrasi. Ia merasa penyerangan ini hal yang cukup janggal dan terlalu berani untuk dilakukan tepat di sebelah sarang polisi.

Tepat saat Yesha akan kembali berargumen, Sagala keluar dari ruang tunggu. Ia kemudian menyalami AKP Yoga dan meminta penjelasan atas penyerangan yang dialami oleh Rena. AKP Yoga pun kembali menjelaskan kepada Sagala sebagaimana ia menjelaskan kepada Yesha.

Sagala pun kemudian memiliki kesimpulan yang sama dengan Yesha. Namun ia juga memahami maksud dari AKP Yoga, bukti mereka tidak cukup.

Sagala kemudian menyampaikan bahwa Rena sudah siap untuk dimintai keterangan dan meminta agar polisi yang akan mencatat keterangan Rena untuk melakukan sesi tersebut di dalam ruang tunggu bersama dengan dirinya.

Tidak lupa Sagala meminta Yesha untuk berkomunikasi dengan sang supir taksi untuk mengurus biaya berobat dan biaya untuk memperbaiki taksi yang dirusak tadi. Sagala mengatakan bahwa Rena bersedia untuk menolong supir taksi tadi dan meminta bantuan dari dirinya dan Yesha untuk menyelesaikan hal ini.

Sekitar dua jam berselang, Rena sudah selesai memberikan keterangan dan Yesha sudah menyelesaikan tugasnya. Sementara Sagala sudah bertukar kontak dengan AKP Yoga untuk mengusut lebih lanjut kasus penyerangan ini. Polisi pun berjanji akan segera mengabari Sagala jika mendapatkan bukti lebih lanjut.

Kini ketiganya sudah berada di dalam mobil listrik milik Sagala dan berencana untuk mengantarkan Rena ke rumahnya terlebih dahulu baru Sagala akan mengantarkan Yesha pulang.

Disepanjang perjalanan, memang tidak ada kalimat yang terlontarkan di antara ketiganya namun Yesha melihat bagaimana Rena sama sekali tidak melepaskan genggaman tangan Sagala dan bagaimana Sagala tidak berhenti mengelus punggung tangan Rena menggunakan ibu jarinya.

Sagala pun secara konstan melirik ke arah kirinya untuk memastikan keadaan Rena.

“What the fuck just happened???!” batin Yesha.

199.

Sagala melirik layar ponselnya yang kembali menyala ketika terdapat notifikasi chat yang masuk. Ia menatap layar ponselnya untuk beberapa saat, membaca baris demi baris chat yang dikirimkan oleh Rena.

Ibu jari Sagala mengambang di atas layar ponselnya. Namun pada akhirnya Sagala hanya menghela napasnya kemudian kembali mengunci ponselnya dan menaruh ponselnya dalam keadaan tertelungkup agar tidak mengganggu fokusnya.

Sementara itu Teira yang awalnya sedang mereview dokumen yang diberikan oleh Sagala, kini berhenti sejenak. Ia menatap juniornya sesaat.

Teira menaikkan alisnya. Sedikit heran dengan sikap dua juniornya di minggu ini.

Sashi yang tiba-tiba menelponnya dan menyampaikan bahwa akan menarik Sagala dari seluruh persidangan, dengan alasan Sagala memiliki workload terlalu banyak dan kesehatannya yang menurun.

Lalu Sagala yang terlihat jauh lebih diam dari biasanya. Sagala berubah menjadi sosok yang penurut, tidak melayangkan satu bentuk protes pun pada Teira padahal biasanya Sagala selalu mendebat atau sekadar mengomentari keputusan atau statement yang Teira keluarkan.

Belum lagi Rena yang tiba-tiba mempertanyakan ketidakhadiran Sagala dalam sidang kemarin.

“You good?” tanya Teira.

Sagala hanya mengedikkan bahunya.

“Gimana tulisan gue?” tanya Sagala pada Teira, enggan membahas pertanyaan Teira barusan.

“Good.”

“Any comment?”

Teira menggeleng. “Kalau lo udah yakin sama ini, lo kirim aja. Dari gue udah nggak ada tambahan. Lagian ngapain sih kayak gini masih minta review gue lagi?”

“Butuh second opinion aja.”

Teira kembali mengamati Sagala. Ia cukup terkejut karena tidak ada komentar jenaka yang keluar dari mulut Sagala.

“Lo lagi badmood apa mau datang bulan? Abis balik dari puncak bukannya lebih fresh malah lebih suram.” ujar Teira to the point.

Sagala kembali mengedikkan bahunya dan kali ini Teira memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut.

“By the way, lunch ini gue mau bahas case Rena sama Sashi. Lo mau ikut nggak? Lunch on me.” lanjut Teira.

“Nggak deh. Kerjaan gue banyak. Mau submit dokumen yang udah lo review, terus gue juga harus review kerjaan Yesha dan ngajarin Meira bikin berita buat media.”

Jawaban Sagala kembali membuat Teira terkejut. Biasanya Sagala tidak pernah menolak makanan gratis.

“Yaudah ikut makannya doang aja kalo gitu? Lo jangan keseringan skip makan deh, Wen.”

“Santai kak, gue makan kok. Udah pesen delivery tadi.” jawab Sagala sembari merapikan barang-barangnya.

Percakapan keduanya terhenti saat terdengar suara ketukan dua kali pada pintu ruang kerja Teira. Baik Teira maupun Sagala secara otomatis menoleh ke arah pintu tersebut dan mendapati Sashi muncul dari balik sana.

“Kak, jadi nggak?” tanya Sashi pada Teira.

Sashi sempat sedikit terkejut saat melihat Sagala. Ia kemudian memasuki ruangan Teira dan berdiri tepat di sebelah meja Teira.

“Oh lagi sama Wening…..Ini gue ganggu gak?” tanya Sashi.

“Nggak Sas. Gue udah selesai sama kak Tei.”

Sagala kemudian bangkit dari kursinya dan membawa laptopnya kemudian pergi melewati Sashi dan keluar dari ruangan Teira.

“Wen! Sore kita bahas tugas yang dari gue bisa ya?”

Panggil Teira satu kali lagi namun tidak digubris oleh Sagala yang sudah melambaikan tangannya pada Teira tanpa menatap atasannya itu.

“Temen lo kenapa deh Sas? Perlu gue yang ngajak ngomong atau lo yang maju duluan?”

Sashi hanya mampu melihat punggung Sagala dari balik pintu ruangan Teira yang sudah tertutup kembali.

“Just Wening being Wening. Biar gue aja yang ngomong sama dia.”

189. Lapse of Judgement

“Ren? Rena?”

Sagala mengguncang tubuh Rena pelan, berusaha membangunkan Rena dari tidurnya.

Berbanding terbalik dengan Sagala yang mudah terbangun, rupanya Rena justru cukup sulit terbangun dari tidurnya. Hal ini membuat Sagala sedikit tertawa.

Lima menit berselang, Rena masih belum kunjung bangun.

Mobil Sagala kini sudah sampai di depan rumah Rena, namun sang empunya masih belum terbangun. Melihat ada sebuah mobil asing berhenti di depan pagar, salah satu penjaga rumah keluar dari pos jaganya kemudian mengetuk kaca mobil Sagala.

“Oh temennya mba Rena.” ucap sang penjaga saat melihat Rena tertidur di kursi penumpang.

“Pagi pak, boleh minta tolong turunin barang Rena dulu aja nggak pak? Saya coba bangunin Rena dulu.” ujar Sagala.

“Masuk dulu aja mba sekalian biar aman.”

Sagala mengangguk mengiyakan, ia kemudian melajukan mobilnya memasuki halaman rumah Rena dan memarkirkannya seperti saat ia menjemput Rena.

Sementara itu sang penjaga rumah kemudian membuka bagasi mobil Sagala dan menurunkan tas milik Rena.

“Rena… bangun Ren…. udah sampai rumah….” ucap Sagala lagi, kali ini sembari mengusap kepala Rena.

“Hngg?”

Rena mengeluarkan suara-suara yang menurut Sagala terlalu lucu untuk dikeluarkan oleh wanita dewasa sembari meregangkan tubuhnya. Hal ini membuat Sagala tersenyum saat melihat Rena yang masih berusaha menyesuaikan dirinya dengan keadaan.

“Kita udah sampai Ren”

“Rumahku?”

“Iya…” senyum Sagala.

“Hngggg kenapa liburan kita cepet bangeeet.” keluh Rena yang masih meringkuk di kursi penumpang.

Tangan Sagala terjulur ke puncak kepala Rena, sedikit mengacak-acak rambut Rena. “Lain kali lagi deh.”

“Janjiii?” rengek Rena.

“Janji. Ayo turun, biar kamu bisa tidur di kasur dan aku bisa pulang ke rumah supaya ke kejar buat berangkat meeting yang jam 9.”

“Kamu tidur rumah ku aja Sagalaaa. Masih pagi giniiii, bahaya tau!” rengek Rena lagi.

“Nggak bisa Rena, mobil aku ganjil. Hari ini tanggal genap. Ayo turun dulu ya? Nanti aku janji kita jalan-jalan lagi.”

Rena mengusap-usap matanya sejenak. Berusaha untuk mengumpulkan nyawanya. Ia kemudian meringis kesakitan saat Sagala mencubit pipinya.

“Sakit Sagalaaaa!”

“Makanya jangan lucu-lucu kayak gini. Udah gede, Ren.” kekeh Sagala.

Rena hanya mampu mengerucutkan bibirnya sebagai tanda protes. Tetapi belum sempat ia memprotes Sagala, ekor matanya secara tidak sengaja menangkap jam yang tertera pada panel audio mobil Sagala. Ia tahu ia tidak boleh menahan Sagala lebih lama lagi.

“Yaudah hati-hati ya di jalan? Kabarin aku kalau udah di rumah.”

Sagala mengangguk.

“Will do. Makasih ya udah nemenin kemarin.” lanjut Sagala.

Rena tersenyum, ia kemudian memutar tubuhnya mencari tasnya yang ada di belakang.

“Udah diturunin sama orang rumah kamu.”

“Oh….”

Rena hanya bisa menyengir.

Ia kemudian membuka pintu mobil Sagala.

Akan tetapi, entah dari mana asal keberaniannya, Rena yang sudah hendak turun dari mobil Sagala kemudian mengurungkan niatnya dan justru berbalik menatap Sagala.

“Kenapa Ren?”

Pertanyaan Sagala tidak dijawab oleh Rena. Sang model justru mendaratkan satu kecupan di pipi Sagala.

“Thank you Sagala, aku seneng banget dua hari ini. Drive safely.”

Sagala hanya bisa mematung.

Ia bahkan tidak tahu kapan Rena sudah turun dari mobilnya dan berlari memasuki rumahnya.

Mata Sagala mengerjap berkali-kali, berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Tangan kirinya perlahan terangkat dan memegang pipi kirinya yang tadi dikecup oleh Rena.

“Rena…. Don’t do this….”

187.

Hening terus melanda mobil yang ditumpangi oleh Sagala dan Renata. Bahkan ketika keduanya sudah tiba di resort tempat mereka menginap, Rena masih diam seribu bahasa.

Pun sama halnya ketika mereka perlu untuk menaiki golf car untuk diantarkan ke caravan yang telah disewa oleh Sagala, Rena masih terdiam walau ia sempat memegang lengan Sagala karena sedikit takut dengan kondisi taman safari yang sudah gelap.

Dalam benak Rena ia hanya takut tiba-tiba ada hewan yang melintas. Selebihnya ia masih berusaha untuk menjinakkan perasaan liar nya terhadap Sagala.

Kondisi ini terlalu membingungkan dirinya.

Sementara itu Sagala pun tidak banyak berujar. Ia tahu masih ada yang mengusik pikiran Rena saat ini dan Sagala memilih untuk memberikan waktu bagi Rena untuk menyelesaikannya terlebih dahulu.

Sesampainya mereka di caravan yang telah disewa oleh Sagala, Rena mengekor di belakang Sagala dengan gymbag yang terselampirkan di bahunya.

Rupanya Sagala menyewa sebuah caravan dengan kapasitas 4 orang. Hal ini terbukti dari adanya 4 gelas bersih dan 4 sandal hotel yang terpampang rapi.

Kening Rena mengkerut.

Mengapa Sagala menyewa caravan dengan kapasitas 4 orang?

Namun jawaban didapatkan oleh Rena tak lama setelahnya.

“Uhm… Ren… kamu tidur di kamar utama ya. Aku tidur di bed ini.” ucap Sagala yang menunjuk sebuah bunk bed yang berada tepat di depan kamar utama.

Alasan Sagala memilih kamar dengan kapasitas 4 orang dikarenakan ia tidak ingin membuat Rena tidak nyaman karena harus berbagi kasur dengannya.

Sebuah alasan sederhana namun lagi-lagi mampu membuat Rena terkesima. Bahkan untuk hal-hal seperti ini sudah direncanakan dengan detil oleh Sagala.

“Kamu kalau mau mandi duluan aja Ren, aku di depan ya…” lanjut Sagala sembari memberikan senyuman kepada Rena.

Tak lama berselang, Sagala menepati ucapannya. Ia sudah keluar dari caravan dan duduk di teras caravan membawa laptop miliknya, entah mengerjakan apa.

Kecanggungan pun terus berlangsung hingga larut malam.

Perlahan diamnya Sagala justru membuat Rena resah. Rena terlalu terbiasa dipaksa untuk menjelaskan, dipaksa untuk melakukan hal yang tidak ia inginkan hanya untuk membuat Azkan tidak terlampau emosi terhadapnya.

Kini saat Rena diberikan ruang oleh Sagala, sedikit perasaan takut timbul dalam hati Rena. Apakah ini tandanya Sagala akan meninggalkannya? Apakah ini tandanya Sagala sudah tidak akan peduli lagi kepadanya? Kapan Sagala akan mengajaknya bicara?

Pertanyaan itu terus timbul dalam benak Rena. Sehingga apa yang diresahkan oleh Rena justru kian membuat dirinya memikirkan hal yang tidak-tidak.

Sayangnya Rena lupa kalau Sagala bukanlah Azkan. Mereka berdua memiliki sifat yang jauh berbeda.

Rena mengambil ponselnya yang ia taruh di dekat kepalanya.

Hampir pukul 12 malam.

Di dalam caravan yang saat ini sudah dimatikan lampunya, Rena dapat mendengar suara alam di sekitarnya serta suara detak jantungnya sendiri. Namun Rena tidak bisa merasakan kehadiran Sagala.

Kening Rena mengkerut. Ia tidak menyukai perasaan ini.

“Sagala….” panggil Rena pelan, sedikit ragu apakah Sagala masih terbangun.

Nihil. Tidak ada balasan.

“Sagala….” lirih Rena satu kali lagi.

Tak lama berselang, Rena mendengar suara selimut yang disibak.

“Rena?” panggil Sagala ragu.

“Y-yeah…”

“Kenapa Ren?”

Rena sedikit kebingungan harus merespon seperti apa. Pada dasarnya ia hanya ingin memastikan bahwa Sagala masih berada bersamanya. Namun tidak mungkin ia mengatakan hal ini kepada Sagala.

“Ren?” tanya Sagala lagi.

Posisi keduanya saat ini masih berada di atas kasur masing-masing, terpisahkan dinding kamar namun Sagala masih dapat mendengar Rena dengan jelas karena Rena memilih untuk tidak menutup pintu kamarnya.

“I’m sorry….” ucap Rena.

“Hm?”

Sagala awalnya sudah hampir terlelap. Namun kini ia kembali terjaga dengan sempurna.

Sama seperti Rena, Sagala pun memilih untuk tidur dengan posisi terlentang menatap langit-langit caravan mereka.

“I’m so sorry karena aku terlalu moody.” ujar Rena.

“It’s okay…. Well aku sedikit bingung kenapa kamu marah tadi, tapi it’s fine. Is it something that I do?” balas Sagala yang kini bertanya pada Rena.

“No… well…. Maybe a bit but it’s not you. It’s me and my head.”

Sagala terdiam sejenak, namun pada akhirnya ia memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut.

“Nggak bisa tidur, Ren?”

“Iya….”

“Wanna listen to some music? Mungkin bisa bantu kamu?”

“Nope. I tried, but it didn't help.”

“Hmm… kita ngapain ya biar ngantuk….”

“Kamu tadi udah mau tidur kan, ga? Tidur duluan aja. Sorry malah bikin kamu kebangun.”

Sagala tertawa pelan, “No problem Rena, aku emang gampang kebangun orangnya. Udah kena sih ini mentalnya, setiap denger notif chat dari klien pasti langsung kebangun.”

“Astagaa…Segitunya banget?” Rena ikut tertawa.

“Terpupuk gara-gara dulu punya Senior yang cukup kejam. Pernah kena marah gara-gara Senior ku nggak terinfo ada email. Padahal aku emang nggak dimasukkan ke chain email itu. Tapi dia tetep marah. Junior bisa apa kalau Seniornya marah gak jelas kayak gitu?”

“True… Senioritas sucks.” cibir Rena.

“Iya, makanya aku nggak mau gitu ke junior ku. Sebisa mungkin aku selalu memposisikan kalau kami sejajar. Sometimes they're smarter than I, bisa kasih ide-ide yang brilliant. Satu-satunya privilege orang yang lebih tua itu jam terbang aja.”

“They're lucky to have you as their senior, ga. I can tell…”

“I hope so…Aku cuma mau bikin mereka nyaman aja. In this crazy professional world, it feels nice to have someone that makes you comfortable. I find it in kak Teira and I wanna do the same things to my juniors.”

“I think you already did. Yesha dan junior kamu lainnya pasti bakal kasih testimoni yang sama.”

Sagala tidak menggubris ucapan Rena lebih lanjut.

“Mau main ask me anything aja nggak atau that twenty something game? Otak aku udah nggak tau mau ngomong apa.” ucap Sagala diselingi dengan suaranya yang tengah menguap.

Rena cukup terkejut mendengar tawaran Sagala. Namun ini adalah kesempatan emas bagi Rena untuk mengenal Sagala lebih jauh yang tentu saja tidak mau ia lewati.

“Boleh. Kalau ada pertanyaan yang nggak mau dijawab, bilang pass aja gimana?” tawar Rena.

“Deal.”

“Tanggal lahir?” tanya Rena dengan cepat.

Sagala tertawa mendengar pertanyaan sederhana dari Rena. Pertanyaan ini bisa ia jawab dengan sangat mudah.

“Bali, 21 Februari 1989.”

“Bali?!” pekik Rena terkejut.

“That’s another question, Rena. Now my turn, what’s yours?”

“New York, 29 Maret 1989.”

“Ooohhh, menarik. Dari kecil udah level internasional.” goda Sagala.

“Mulai nyebelin kan? Itu tuh gara-gara mama aku nggak mau ditinggal papa waktu hamil. Jadi waktu itu papa ada rencana ngelebarin bisnis disana and well things happened. Aku lahir prematur, by the way.”

“See? Berarti kamu itu emang lebih muda dari aku.” tawa Sagala yang mendapat dengusan kesal dari Rena.

“Berisik! Gantian aku! Kamu lahir di Bali? Kamu dulu tinggal di Bali? Setau aku tante Isa justru cerita kalau kalian pernah tinggal di Jogja?”

“Ayah aku orang Bali, Rena. Aku tinggal disana sampai TK. Terus pindah ke Jakarta karena dulu ayah aku mau bikin lawfirm sama temennya di Jakarta. Akhirnya pindah ke Jakarta buat nemenin ayah aku. Eh orangnya malah selingkuh terus orang tua aku cerai, akhirnya Bunda milih pindah dari Jakarta, alasannya karena biaya hidup disana tinggi. Tapi aku rasa juga karena Jakarta udah kasih dia bad memories. Tapi anaknya malah yang akhirnya bikin dia pindah ke Jakarta lagi.”

“Well…. Sometimes it can be helped. That’s life.” ucap Rena.

“True…. Next question ku apa ya… I have no idea, aku pass dulu deh. Nanti aku nanya double aja.” lanjut Sagala yang semakin mengantuk.

“Tell me about your childhood.”

“Nothing special, Ren. Bunda bikin restoran kecil dari uang pembagian harta bersama yang dia dapet setelah cerai. Maybe karena dia emang jago masak dan masakannya enak, restorannya terus berkembang dan jadi besar. Sisanya ya aku sekolah kayak anak pada umumnya, sambil bantu Bunda dikit-dikit.”

“Di jogja?”

“Yeah, sampai waktu SMA aku datang faculty fair dan tertarik untuk sekolah ke luar negeri. Disana aku ketemu Sashi, di pameran itu. Kebetulan dateng ke booth pameran yang sama dan disitu banyak nanya-nanya ke penjaga boothnya. Dari situ terus kita nyadar kalau ternyata kita berdua minat masuk fakultas yang sama. Akhirnya jadi sering kontakan. Lagian jogja kecil, Ren. Ternyatanya aku dan Sashi itu satu tempat les yang sama juga.”

“Hah? Lama banget dong kenal Sashi? Kata Yesha kalian kenal karena satu tempat kuliah?”

Sagala terkekeh, “Ini behind story yang nggak banyak orang tahu. Tapi emang secara official mulai jadi temen deket ya pas kuliah, maklum namanya merantau bareng di negeri orang.”

“Kamu nggak ada keluarga lain, ga? Dari tadi kamu cuma cerita tentang kamu dan tante Isa aja.”

“Nggak ada, Rena. Bunda aku yatim piatu dari kecil. Terus sejak cerai, bunda udah nggak mau kontak keluarga ayahku karena ayahku juga udah secara terang-terangan nggak mau ngurus aku dan malah nikah lagi. It’s only two of us. Yang bisa aku anggap keluarga sekarang cuma kak Teira dan Sashi, plus Yesha.”

“I’m so sorry Sagala….”

“What for? Kamu nggak ada salah sama sekali. Udah ah kok jadi gloomy gini sih? Gantian aku aja yang nanya! What about your childhood?”

Rena menghela napasnya panjang, mencoba menggali memori masa kecilnya.

“It’s the best childhood ever, I guess. I have loving parents and an older sister, you know that. Tapi aku nggak pernah pindah-pindah kayak kamu. Selalu tinggal di Jakarta, kecuali waktu kerusuhan mei itu. Papa bawa satu keluarga ke Amerika, disana awal mula aku jadi lebih aware sama dunia modeling. Masalah sekolah, aku nggak secemerlang kamu Sagala, bisa dibilang aku pemalas bahkan.” tawa Rena.

“Kenapa somehow aku bisa bayangin kamu bolos sekolah sama temen-temen kamu buat nongkrong di suatu tempat?” ucap Sagala usil.

“Well, nggak salah. Aku dulu sering bolos kelas, tapi bukan untuk nongkrong. Ada kerjaan aja. Sebenernya aku udah mulai dapet job-job foto gitu dari SMA. Sedikit-sedikit, terus lama-lama jadi serius. Untungnya karena sekolahku international school, jadi mereka cukup lenient masalah kayak gini selama emang aku bolos untuk hal lain yang produktif. Tapi pada intinya aku males aja belajar di kelas. Capek dibandingin sama kak Yona.”

“Terus gimana ceritanya kamu bisa ikut kontes kecantikan, Ren?” Sagala menguap lebar sebelum ia melanjutkan kalimatnya, “Don’t get me wrong, tapi setau aku biasanya kan di kontes kecantikan itu juga butuh wawasan luas?”

“Aku males belajar di kelas bukan berarti aku nggak belajar di tempat lain, Sagalaaa. Mama aku selalu bilang belajar itu nggak harus duduk di kursi dan mama juga bilang kalau setiap orang itu punya keahliannya masing-masing. Kak Yona excellent di bidang eksak. Sedangkan aku nggak suka yang kayak gitu.”

“True…”

“There goes my highschool era. Terus aku ambil course course singkat di London College of Fashion dan akhirnya jadi serius di dunia modeling ini. Then aku iseng nyoba ikut kontes kecantikan dan disana aku pertama kali ketemu Azkan, from a friend of mine. Azkan orang pertama yang memuji aku tanpa aku harus dibandingin sama kak Yona. Now that I think about it, maybe it’s the reason why I fell for him at that time. Selain karena yaa emang perlakuan dia manis banget.”

“Hence why aku takut kalau apa yang kamu lakuin sekarang bakal kayak apa yang dulu Azkan lakuin, Sagala…” batin Rena.

Hening melanda caravan tersebut untuk beberapa saat.

“Sagala?”

Tidak ada balasan dari Sagala.

“Sagala?” panggil Rena lagi.

Diam yang diterima Rena membuat dirinya memilih untuk bangkit dari kasurnya dan memeriksa Sagala langsung.

Sebuah senyuman mengembang di wajah Rena saat melihat Sagala sudah tertidur dengan mulutnya yang sedikit terbuka.

Rena memilih untuk mengamati Sagala beberapa saat dalam kegelapan sebelum ia kemudian menarik selimut Sagala agar lebih menutupi tubuh Sagala dan memberikannya kehangatan.

“Sleep tight, Sagala.”

185. Promise means to be broken

Mobil SUV milik Sagala meliuk ke kanan dan ke kiri mengikuti arah jalan dengan kecepatan konstan. Mengingat hari mulai beranjak gelap, Sagala memilih untuk lebih berhati hati apalagi saat ini posisinya mereka sedang turun ke arah taman safari.

Posisi warung bakso favorit Sagala dan Isaura berada cukup jauh di atas. Suhu disana cukup dingin. Rena bersyukur ia menaruh jaketnya di tumpukan teratas gym bag nya.

“Kedinginan ya?” tanya Sagala yang melihat Rena kembali mengusap kedua tangannya.

“Sedikit. But no worries.”

“You sure? Mau beli minuman hangat? Atau jagung bakar?” tawar Sagala.

“Kita kan baru makan Sagalaaa? Masa udah makan lagi sih?” protes Rena.

“Emangnya kenapa? Kalau emang butuh ya nggak kenapa-kenapa juga kan?”

“Nggak ah…”

Sagala tidak menggubris ucapan Rena lebih jauh. Namun mata Sagala tetap awas memperhatikan gerak gerik Rena. Ia beberapa kali melihat Rena menggosok-gosokan tangannya, lalu berusaha menghembuskan udara hangat dari mulut ke tangannya.

“Kamu kalau lagi di luar negeri terus musim dingin gimana Ren?” tanya Sagala penasaran.

“I hate winter. Badan aku nggak terlalu bisa adaptasi sama suhu rendah. I once got nosebleeds saking parahnya. Jadi aku usahain gak ada job di negara empat musim waktu Winter.”

“Tapi pernah?”

“Hmm yeah, pernah. Jangan ditanya karena itu isinya bad memories. Niatnya mau sekalian honeymoon padahal.”

Mendengar jawaban Rena, Sagala memilih untuk tidak membahas topik tadi lebih lanjut.

Tak jauh dari posisi mobilnya saat ini, Sagala melihat warung pinggir jalan yang sepertinya menjual jagung bakar. Sagala kemudian menepikan mobilnya tepat di depan warung tersebut.

“Tunggu disini sebentar.” ucap Sagala tanpa menunggu respon dari Rena.

Kali ini Rena tidak mendengarkan perintah Sagala, ia memilih untuk ikut turun dari mobil dan mendatangi Sagala yang sudah berbicara dengan pemilik warung.

“Ga, ngapain?”

“Beliin kamu minuman hangat sama jagung bakar. Hidung kamu udah merah banget gitu Rena.”

“It's okay Sagalaaa. Aku cuma butuh selimutan aja paling.”

“Jangan ngeyel. Aku nggak mau kamu sakit habis pulang dari puncak. Mending sekarang kamu masuk mobil aku lagi, ada selimut ku kamu pakai dulu aja.”

“Sagalaaa…. Tapi aku udah nggak laper! Nanti sayang kalau nggak kemakan!”

Sagala menghela napasnya. Ia kemudian mendorong Rena untuk kembali masuk ke dalam mobilnya, duduk di kursi penumpang.

Sang pemilik mobil lalu meninggalkan Rena sejenak untuk mengambil selimut yang ada di kursi penumpang baris kedua.

Selimut tersebut kemudian ia gunakan untuk menyelimuti tubuh Rena.

“Rena, please dengerin aku ya? Tangan kamu udah dingin banget, hidung kamu udah merah kayak gini. It's just a precaution okay?” ucap Sagala yang kini tengah menggosok-gosokan tangannya dengan tangan Rena.

“Aku bukan anak kecil Sagalaaa!”

“Yeah, that's right. Tapi tadi pagi aku udah janji ke papa kamu buat mulangin kamu dalam keadaan baik. Ini salah satu cara aku buat mastiin kamu baik-baik aja selama pergi sama aku. Janji itu harus ditepati, Rena.”

Ucapan Sagala membuat Rena tertegun.

Sedikit dejavu baginya. Mengingatkannya akan salah satu percakapan antara dirinya dengan Azkan, dahulu sekali.

Azkan juga pernah menjanjikan hal yang sama kepada papanya. Namun sekarang kenyataan yang ada sangat berbanding terbalik.

“Jangan ngaco. Janji itu dibuat untuk dilanggar, ga.” ucap Rena yang kemudian mendorong Sagala untuk menjauh.

Tangan Rena meraih pintu mobil lalu ditutupnya pintu tersebut, membuat Sagala kebingungan.

Sementara itu, Rena justru kian ketakutan akan perasaan yang muncul di dalam dirinya akhir-akhir ini. Terutama setiap kali ia bersama Sagala.

Logika seorang Justicia Renata mulai mengirimkan sinyal-sinyal peringatan kepada dirinya bahwa Sagala adalah sosok yang mampu meruntuhkan logika rasional seorang Justicia Renata.

177. Jet Coaster

Mata Sagala berbinar bersemangat saat ia melihat papan tanda wahana jet coaster dari kejauhan. Tanpa menunggu lama, ia langsung menoleh ke arah Rena.

“Naik jet coaster yuk?” ucap Sagala.

Sebenarnya kalimat barusan lebih tepat disebut sebagai pernyataan ketimbang pertanyaan karena Sagala sudah memegang pergelangan tangan Rena dan setengah menarik wanita tersebut, mengajaknya untuk mengantri wahana jet coaster.

“Kamu beneran nggak ada vertigo kan?” tanya Sagala sembari mereka berjalan ke arah wahana.

Rena menggeleng mantap.

“Nggak ada.”

“Yes! Kalau gitu kita bisa naik banyak wahana. Bebas teriak-teriak ya, Ren! Jangan malu nanti aku temenin!”

Rena justru terkekeh mendengar ucapan Sagala, “Emangnya kamu yakin aku bakalan teriak?”

Sebuah ibu jari diacungkan oleh Sagala.

“Yakin! Mumpung udah naik wahana, sekalian aja kamu lepasin semuanya. Teriakin aja apa yang pengen kamu teriakin.”

Rena hanya bisa tertawa melihat kepercayaan diri Sagala.

Ia juga cukup bersyukur kecanggungan yang sempat tercipta saat makan siang tadi sudah hilang entah kemana. Mungkin Rena harus berterima kasih dengan hewan-hewan yang ada di baby zoo yang tadi sempat mereka kunjungi sebentar.

Pasalnya Rena menyadari bahwa kehadiran hewan-hewan di sekeliling Sagala cukup membuat mood Sagala meningkat drastis. Sepanjang mereka berjalan di kawasan baby zoo, Sagala tidak berhenti menyapa atau sekadar membaca informasi tentang hewan-hewan yang ada. Sagala pun selalu berusaha untuk mengikutkan Rena dalam aktivitasnya karena Sagala ingat bahwa Rena tidak terlalu bersahabat dengan hewan.

“Ga, kalau kamu kayak gini terus, aku nggak yakin sanggup ketemu kamu cuma sebatas temen.” batin Rena sembari menatap pergelangan tangannya yang masih digenggam oleh Sagala.

Sesampainya mereka di lokasi yang dituju, Rena cukup terkejut ketika ia mendapati hanya ada dirinya dan Sagala disana. Belum ada pengunjung lainnya.

Akhirnya baik Sagala maupun Rena diminta menunggu terlebih dahulu oleh petugas, dengan alasan diminta untuk menunggu pengunjung lainnya.

Namun demikian, hampir lima menit menunggu, Sagala dan Rena masih belum melihat ada pengunjung lainnya yang hendak menaiki wahana yang sama.

Melihat hal ini membuat Sagala cukup resah. Ia tidak mau gagal menaiki jet coaster siang hari ini.

“Mas, boleh gak sih dua orang dulu aja?”

“Tunggu dulu ya mba?”

“Sampai kapan maaas?” protes Sagala tidak sabar.

“Sepuluh menit ya mba?” ucap sang petugas yang kembali duduk di kursinya.

Sagala memutar kedua bola matanya kesal melihat sikap petugas yang menurutnya tidak berusaha untuk mencari pengunjung lainnya untuk memenuhi kuota minimum agar jet coaster tersebut dapat berjalan.

Namun seorang Sagala Wening tidak kehabisan akal. Ia berjalan ke arah ujung tangga naik dan melihat kondisi sekitarnya.

Rena terperanjat kaget saat Sagala tiba-tiba menggunakan kedua tangannya sebagai corong dan berteriak cukup kencang.

“BAPAK-BAPAK! IBU-IBU! ADEK-ADEK SEKALIAN! AYO CEPETAN KESINI JET COASTERNYA UDAH MAU MULAI! INI KLOTER TERAKHIR SEBELUM DITUTUP! AYO AYO AYO! LIMA MENIT LAGI BERANGKAT!”

Sementara itu sang petugas pun ikut terkejut karena pengumuman palsu yang diberikan oleh Sagala.

“Maaf ya mas, temen saya emang kelewat unik.” tawa Rena.

Usaha Sagala nampaknya membuahkan hasil karena satu rombongan anak sekolah terlihat berlari dengan cepat saat mendengar pengumuman palsu barusan. Melihat hal ini, Sagala tersenyum puas.

“Let’s go Ren! Kamu pilih mau duduk di baris yang mana.”

“Mba! Mba! Tunggu dulu!”

“Apalagi sih mas? Itu udah ada satu rombongan tuh mas! Cukup kan?” ucap Sagala yang tak lama kemudian dibuktikan dengan adanya segerombolan anak sekolah yang sangat berisik tengah menaiki tangga.

Rena hanya bisa tertawa melihat senyuman penuh kemenangan di wajah Sagala. Ia kemudian memilih untuk duduk di deretan tengah bersama dengan Sagala.

“Sagala” panggil Rena sembari ia berusaha untuk memasang sabuk pengamannya.

“Yes?”

“Makasih ya, I’m so happy today.”

171. Insecurity

“Alright we are here!” ucap Sagala bersemangat setelah menarik tuas rem tangan mobilnya.

Setelah menyelesaikan satu putaran mengelilingi area satwa taman safari, Sagala melajukan mobilnya ke arah parkiran mobil yang terletak paling dekat dengan zona rekreasi dan baby zoo.

Sang pemilik mobil menoleh ke arah Rena, masih dengan senyumannya yang mengembang sempurna.

“Kita makan siang dulu, nanti lanjut lagi.” ujar Sagala.

“Lagi?!” pekik Rena yang dibalas anggukan oleh Sagala.

“Di atas masih ada wahana permainan, plus ada baby zoo juga. Kamu nggak mau mampir kesana?”

“Well….”

“Kamu tuh takut hewan ya?” tanya Sagala.

“Agak…”

“Sorry ya, aku nggak nanya dulu kamu takut hewan atau nggak. Aku gak nyangka kamu setakut itu sama hewan. Kita mau ganti tempat rekreasi aja? I want you to enjoy today as much as you can.”

Rena menggelengkan kepalanya cepat.

Walaupun ia tidak bersahabat dengan hewan, bukan berarti ia akan mengorbankan tujuan mereka hari ini dan membuat Sagala kecewa. Lagipula dari awal Sagala pergi ke puncak ini adalah untuk memulihkan kesehatannya, bukan untuk memenuhi keinginan Rena.

“No! No! No! Jangan Sagalaaa. Aku takut….dikit…” ucap Rena sembari jari telunjuk dan ibu jarinya memberi tanda seberapa takut dirinya.

“Tapi bukan berarti kita harus cancel atau pindah tempat. I’m okay kok, seriusan. Cuma… please jangan paksa aku kasih makan kayak tadi! Atau jangan godain aku kayak waktu ada singa tadi aku takut banget!” lanjut Rena dengan sedikit memanyunkan bibirnya merujuk pada saat mereka melewati area satwa liar seperti singa dan harimau dimana Sagala sedikit bercanda dengan menakut-nakuti Rena.

Sagala terkekeh, kemudian mengacungkan jari kelingkingnya ke arah Rena.

“Okay, I promise. Gak ada lagi ngasih makan hewan kayak tadi and I won’t tease you.”

Rena menyambut uluran Sagala. Kedua kelingking mereka bertautan.

“Alright, now now sebelum kamu turun….”

Sagala menggantungkan kalimatnya, ia kemudian mengambil barang yang ada di kursi baris kedua dan memberikannya kepada Rena.

“......wear this. Di luar panas. Tenang aja, ini topinya baru aku laundry kok.” ucap Sagala sembari memberikan topi kepada Rena dan mengenakan topi lainnya untuk dirinya sendiri.

Keduanya turun dari mobil Sagala dan berjalan ke arah restoran terdekat. Namun setelah melihat-lihat menunya, Rena tidak begitu menyukai menu yang disajikan di restoran tersebut. Akhirnya mereka memilih untuk sedikit jalan lebih jauh, menuju restoran lainnya.

Sebenarnya alasan utama Rena tidak setuju makan di restoran pertama adalah karena restoran tersebut terlalu ramai dan saat ini Rena sangat ingin menghindari keramaian. Ia ingin bisa berbincang dengan Sagala tanpa perlu merasa khawatir percakapan mereka akan didengarkan oleh orang lain.

“Aku kayaknya mau makan yang simple aja. Fish and chip gitu paling. Kamu mau apa?” tanya Sagala saat melihat menu yang tersaji.

“Samain aja deh, ga. Aku lagi males mikir menu makan siang.” jawab Rena sembari menyengir.

Setelah Sagala memesan dua porsi fish and chips serta ice lemon tea, Sagala kemudian mengangkat tasnya yang tadi ia taruh di kursi yang berada di sebelah kirinya ke atas meja dan mengeluarkan laptop dari tas punggung yang tadi ia bawa.

“Bentar ya Ren, ada yang perlu aku kerjain dikit.” ucap Sagala sambil menghidupkan laptopnya.

Rena mengangguk. Ia pun memilih untuk memperhatikan Sagala yang kini sudah fokus dengan laptopnya.

Hal pertama yang menarik perhatian Rena dan membuatnya takjub adalah kesederhanaan Sagala.

Tas punggung yang digunakan Sagala bukanlah tas dengan merek terkemuka berharga jutaan. Bahkan logo merek dari tas tersebut adalah logo toko perabotan rumah tangga. Rasa penasaran Renata membuatnya mencoba mencari harga tas tersebut dan Rena kembali takjub saat melihat harga tas tersebut bahkan tidak sampai dua ratus ribu rupiah.

“Kamu suka warna-warna gelap ya?” tanya Rena tiba-tiba.

“Hm?”

“Tas kamu ini abu-abu gelap, terus biasanya tas kamu yang lain yang aku udah pernah lihat juga warnanya hitam.”

Sagala menoleh sesaat dari layar laptopnya, menatap Rena.

“Oh, well kalau hitam atau warna gelap biar bisa dipakai lebih lama aja. Nggak gampang kelihatan kotor dan maintenancenya lebih gampang daripada kalau warna-warna terang.” ucap Sagala santai.

“Bener sih…. Anyway, ngerjain kerjaan ga?”

Kini Sagala tersenyum dan menggeleng.

“Bukan kerjaan. Ini lagi minta bantuan kak Teira menyusun jalan setapak untuk kehidupanku di masa depan.”

“Maksudnya? Please stop bercanda, aku beneran nggak pahaaam.” rengek Rena.

Sayangnya Sagala tidak mengelaborasi lebih lanjut. Ia hanya menjulurkan lidahnya ke arah Rena.

“Just a document that will define my future. Aku butuh bantuan kak Teira sedikit.”

“Sok misterius banget…” balas Rena sembari menyipitkan matanya.

“Tapi berhasil kan? Buktinya kamu penasaran?”

Jawaban Sagala sukses membuat Rena mendengus kesal. Lagi-lagi Sagala berhasil menggodanya.

“Anyway, kamu nggak ada vertigo kan? Aku mau ngajak kamu naik wahana nanti. Masih nanti sih soalnya habis makan mendingan kita ke baby zoo dulu buat nurunin makanan.”

“Nggak ada kok.”

“Okay good. Next question, perut kamu nggak sensitif kan?”

“Hah??”

Sagala menggaruk pelipisnya yang tidak begitu gatal, agak malu untuk menanyakan hal ini kepada Rena.

“Uhm… well, aku pengen ngajak kamu makan jagung atau bakso di pinggir jalan malam nanti. I mean, you are you, Justicia Renata. Kemewahan pasti selalu ada di dekat kamu, meanwhile yang mau aku ajak itu….”

Rena menghela napasnya, sedikit tersinggung dengan ucapan Sagala barusan.

“Sagala, hari ini harinya kamu. Lakuin aja semua itinerary yang pengen kamu lakuin. Jangan gara-gara ada aku, kamu jadi harus ubah semuanya. Lagipula ya, aku tersinggung banget sekarang kamu ngomong kayak gini seakan-akan aku high maintenance dan gak mau makan di pinggir jalan.”

“S-sorry….” ucap Sagala tak enak hati.

“...bukan maksud gimana Rena….I just, I don’t know…. Setelah aku lihat rumah kamu dan papa kamu tadi pagi, aku sadar kalau keluarga kamu pasti dari dulu selalu kasih yang terbaik buat kamu. Look…. I’m a bit different than most people with the same title as mine, I get it. It’s just….nevermind. It’s stupid.” lanjut Sagala.

Sagala tersenyum tipis, sedikit mengedikkan bahunya.

Sementara itu Rena justru kebingungan dengan sikap Sagala.

“Kenapa sih ga? Ini bukan pertama kali kita jalan bareng. Bedanya apa? Bahkan kamu pertama kali ketemu aku aja ngasih permen milkita yang harganya nggak sampai lima ribu. Kenapa sekarang kamu tiba-tiba jadi mikir kalau aku butuh dikasih hal-hal mahal?”

Sagala menggelengkan kepalanya, “Nothing…”

“It’s not nothing kalau bikin kamu sampai kayak gini, Sagala.”

Sebuah helaan napas panjang dikeluarkan oleh Sagala. Ia juga tidak memahami dirinya sendiri. Yang ia tahu, Sagala hanya ingin memberikan kenyamanan bagi Renata. Sedangkan Sagala tahu beberapa sifatnya yang sederhana mungkin tidak cocok dengan Rena yang sejak kecil pasti dikelilingi oleh kemewahan.

“Aku pernah jajan telor gulung, batagor gerobak waktu sekolah dulu. Jadi jangan mikir aku nggak pernah jajan di pinggir jalan.” dengus Rena kesal.

“I'm so sorry Rena… S-sebenernya aku mau ngajak kamu ke warung bakso favorit aku dan Bunda… That place holds so many good memories to me, aku cuma nggak mau kamu kecewa sama tempatnya terus akhirnya aku juga jadi ikutan kecewa. It’s so stupid of me, I know….”

“Ya ampun Sagalaaa! Emang selama ini kamu pernah lihat aku ngerendahin sesuatu?”

Sagala menggeleng.

“Kamu pernah lihat aku gak ngehargain apa yang kamu kasih?”

Sagala kembali menggeleng.

“You got your answer then. Aku masih tersinggung kamu bisa mikir kayak gitu ke aku. But I understand your point, so kali ini kamu aku maafin. Topik ini aku tutup disini.” kesal Rena.

Sagala pun mengangguk mengiyakan. Ia juga sudah kepalang tidak enak hati dengan Rena.

Canggung melanda keduanya.

Rena memilih untuk berfokus pada ponselnya, ia ingin menurunkan emosinya sejenak. Ucapan Sagala tadi cukup membuat dirinya kesal. Sementara itu Sagala sempat beberapa kali mencuri pandang ke arah Rena, berusaha membaca suasana hati Renata.

“Nggak usah lirik-lirik, mending selesaiin deh itu kerjaan kamu.” ucap Rena saat menyadari Sagala melirik ke arahnya.

“Bisa multitasking kok.”

“Tck…Bandel…Dasar nyebelin!” omel Rena.

Ucapan Rena barusan justru membuat Sagala tersenyum lebar. Ia tahu saat Rena sudah bisa melayangkan protes dan memanggilnya ‘menyebalkan’ atau apapun yang sama artinya dengan itu, tandanya Rena sudah memaafkan dirinya.

“Maaf ya, Rena. Nanti aku kasih milkita sebagai permohonan maafku”

“Nggak usah cerewet mending cepet itu diselesain! Lagian emang yang sekarang suka bawa milkita kamu doang?!”

Tawa Sagala terdengar sangat renyah di telinga Rena.

Mungkin ini adalah pertengkaran pertama mereka setelah keduanya berbaikan di ruangan Teira. Namun kejadian hari ini justru membuat Rena paham bahwa seorang Sagala pun masih memiliki rasa insecure.

Tetapi hal ini justru membuat tanda tanya dalam benak Rena, sebenarnya selama ini Sagala menganggap dirinya sebagai apa?