119. Learning something new
“Sagalaaa”
Suara khas milik Rena terdengar dari ponsel milik Sagala.
Sagala sendiri menyadari bahwa Rena selalu memanggil dirinya dengan memanjangkan konsonan belakang dari nama depannya. Selalu seperti itu dan entah mengapa Sagala sangat menyukai ketika Rena memanggilnya demikian.
“Ya Ren?”
“Kamu udah jalan kesini?”
“Uh yeah, udah. Lagi di sky-walknya. Dikit lagi sampe.”
“Aku di starbucks! Udah gak di monsieur! Kamu kesini aja gapapa ya? I need my daily dose of caffeine.”
“Ahh okay okay. Ketemuan di starbucks ya?”
“Yes! Kamu mau aku pesenin sesuatu?”
“Nope, thank you.”
“Okay… See you Sagalaaa…”
Tak lama kemudian sambungan telepon tersebut terputus. Namun sebuah senyuman mengembang di wajah Sagala. Ia tertawa pelan dan menggelengkan kepalanya.
“Gimana bisa Rena manggil selucu itu efeknya? Damn Ren…” bisik Sagala pada dirinya sendiri.
Sagala kemudian berputar arah. Kembali ke eskalator untuk naik ke lantai dua dikarenakan tadinya ia sudah hampir sampai di lantai dasar.
Sembari berjalan ke lantai dua, Sagala masih sibuk merevisi pekerjaan-pekerjaan juniornya melalui ponsel. Ia memberikan sedikit revisi disini dan disana kepada Yesha. Untungnya tidak terlalu banyak.
Pandangannya terangkat dari ponselnya saat ia merasakan ia sudah sampai di tujuan. Sagala kemudian mencari-cari sosok Renata.
Tidak butuh waktu yang lama.
Sagala melihat seorang wanita yang duduk di area smoking dengan jaket jeans yang sangat familiar bagi Sagala. Jaket jeans yang sama dengan yang digunakan oleh Rena sebagai profil picturenya di aplikasi messenger. Foto yang akhir-akhir ini sering Sagala lihat.
“Sorry lama…” ujar Sagala sembari menepuk pelan pundak Rena.
Yang ditepuk justru tidak sempat memberikan respon untuk beberapa saat sebelum ia kemudian tersenyum ke arah Sagala.
“Heey! Nggak lama kok!”
Rena cukup terkesima dengan penampilan Sagala malam hari itu. Ia terlalu terbiasa melihat Sagala dengan setelan blazer dan kemeja formalnya.
Namun malam hari itu Sagala menggunakan pakaian dengan warna earth tone, celana bahan, turtleneck, serta cardigan yang dipadu-padankan dengan apik. Rena juga menyadari bahwa Sagala memberikan sedikit aksen ikat pinggang.
Akan tetapi bukan hal itu yang membuat Rena diam seribu bahasa.
Melainkan sebuah kacamata yang bertengger dengan manis di wajah Sagala.
“Kamu pakai kacamata?” tanya Rena spontan.
Sagala tertawa lalu menggelengkan kepalanya.
“Mata aku normal, kacamata ini normal juga. Kadang aku pakai kacamata biar nggak keliatan kayak bocah banget.”
“O…kay?”
Sagala harus menahan dirinya saat melihat kepala Rena sedikit miring ke arah kiri. Kebiasaan Rena yang ia sadari juga akhir-akhir ini, gestur tubuh Rena sangat bervariatif untuk mengekspresikan dirinya.
“Well, long story short, aku dikirim kantor hari ini untuk ikut lunch sama asosiasi gitu lah. Biasa buat client maintenance atau cari klien baru. Makanya hari ini nggak formal-formal banget pakaianku. Tapi supaya aku nggak dikira junior, makanya aku pakai kacamata ini.” tawa Sagala.
Rena tertawa mendengar penjelasan Sagala.
“Senior Associate jarang yang kayak kamu sih emang.” goda Rena.
Sagala memutar kedua bola matanya malas.
“Kok duduk disini sih? Kamu masih ngepods?” selidik Sagala.
“Di dalem penuh Sagalaaa. Liat aja sendiri tuh banyak yang work from cafe kali?”
Sagala memutar tubuhnya, melihat ke arah area non-smoking dan mendapati bahwa Rena berkata jujur.
Belum genap lima menit ia duduk disana, namun Sagala sudah mulai merasakan sesak pada dadanya. Sagala berusaha untuk menarik napasnya secara perlahan agar asap disekitarnya tidak terhirup terlalu banyak.
Namun usaha Sagala tidak berbuah manis. Ia justru merasa semakin sesak hingga akhirnya ia terbatuk cukup parah beberapa kali.
“Ada air mineral nggak?” tanya Sagala disela-sela batuknya.
Sementara itu, Rena mulai khawatir dengan Sagala. Ia melihat bagaimana bahu Sagala mulai terangkat dengan berat.
“Nggak ada…. Mau aku cariin?” tanya Rena khawatir.
Sagala hanya mampu menggeleng sementara ia semakin terbatuk. Ia berusaha untuk meredakan batuknya namun semakin ia berusaha, justru sesak yang semakin ia rasakan.
Perlahan Sagala merasa ingin memuntahkan riak yang ada di tenggorokannya.
“S-sorry, wait here…” ujar Sagala cepat.
Rena cukup terkejut ketika Sagala berlari meninggalkannya. Ia pun dengan cepat menyambar barang belanjaan dan tas miliknya serta tas milik Sagala yang tadi ditinggalkan dibangkunya.
Untungnya Rena masih melihat kemana arah Sagala berlari. Dengan segera Rena mengikuti Sagala dengan harapan ia bisa sedikit membantu kondisi Sagala saat ini.
Saat Rena tiba di toilet, ia mendengar suara seseorang yang sedang berusaha memuntahkan sesuatu. Namun ia tahu itu adalah Sagala karena saat ini toilet tersebut sedang kosong, hanya ada dirinya dan Sagala.
“Sagala?”
“W-wait…”
Rena sedikit mengernyit, cukup khawatir dengan kondisi Sagala.
“Can I help you?” tanya Rena lagi.
Sagala tidak menjawab. Hanya terdengar suara batuk dan muntah-muntah dari dalam bilik yang digunakan oleh Sagala.
“Sagala please, what can I do to help you?” Rena kembali bertanya, dirinya semakin khawatir.
“In...Inhaler. Di…tas….”
Rena buru-buru menaruh barang-barang yang ada ditangannya di atas wastafel. Kemudian ia segera membuka tas milik Sagala dan berusaha mencari inhaler yang dimaksud. Untungnya Sagala menata isi tasnya dengan sangat rapi sehingga Rena bisa dengan cepat menemukan inhaler tersebut.
“Ketemu. Ini gimana cara pakainya?”
“Tunggu disitu aja Ren…” ujar Sagala pelan.
Tak lama kemudian Rena mendengar suara toilet yang disiram serta Sagala yang masih terbatuk beberapa kali sebelum akhirnya ia melihat Sagala keluar dari bilik dengan tisu yang menutupi mulutnya.
Sagala tidak langsung menggubris Rena.
Ia menyalakan salah satu wastafel lalu membasuh mulutnya dengan berkumur sesaat. Setelahnya ia menarik napas dalam satu kali baru kemudian Sagala tersenyum tipis ke arah Rena.
“Maaf banget ya, kamu harus liat aku kayak gini.”
“It’s okay… aku yang minta maaf. Aku gak tau kamu bisa separah itu kambuhnya dan tadi aku mikir nggak bakal lama duduk di smoking area….Sorry Sagala…”
Sagala menggeleng pelan. Tangannya terjulur ke arah Rena, meminta inhaler yang dipegang oleh Rena.
Dengan sigap Rena memberikan inhaler milik Sagala. Ia melihat bagaimana Sagala mengocok inhaler tersebut beberapa kali sebelum akhirnya bibir Sagala menempel dengan rapat di corong inhaler. Setelahnya Sagala menarik napas dalam sembari menekan inhaler tersebut satu kali.
Sagala kemudian berusaha bernapas dengan dalam secara perlahan lalu menghembuskannya pelan-pelan. Setelahnya Sagala menutup corong inhaler dengan rapat dan memasukkan inhaler tersebut ke saku celananya.
Rena masih menatap Sagala dengan penuh khawatir walaupun ia dapat melihat bahwa Sagala berangsur-angsur membaik. Ia hendak bertanya lagi kepada Sagala namun Sagala kembali membilas mulutnya, berkumur-kumur singkat.
“Mendingan?” tanya Rena pelan.
Sagala mengangguk.
“Sorry banget ya Ren…. kualitas udara hari ini jelek banget dari pagi.”
“It’s okay, ga… Kamu mau pulang aja?”
Sagala menggeleng. “Rugi Rena, kita udah beli tiket nontonnya.”
Sebuah tepukan kencang dilayangkan Rena di lengan Sagala, “Kamu nih ngaco deh! Tiket nonton cuma berapa sih harganya? Seratus ribu? Dibandingin kesehatan kamu beda jauh dong!”
Yang dipukul hanya bisa meringis kesakitan. Sagala memijat-mijat lengannya sembari memberikan senyuman jahil ke arah Rena.
“Kayak gini kejadian nggak cuma sekali dua kali, Ren. I’m fine. Serius deh.”
“Beneran?”
Sagala mengangguk.
“Nunggu di bioskop aja yuk?” ajak Sagala yang sudah menyampirkan tasnya di pundak dan mengambil paper bag milik Rena.
Sementara itu Rena justru termangu ketika menyadari bahwa Sagala hanya menyisakan tas milik Rena di wastafel.
“Ayo Ren, aku nggak apa-apa.” panggil Sagala yang sedang menahan pintu toilet agar Rena segera keluar.
“O-okay….”
Keduanya berjalan ke arah sky-walk lalu berbelok ke arah mall dan menuju bioskop yang untungnya terletak di lantai yang sama. Sesekali Rena melirik ke arah Sagala untuk memastikan kondisi Sagala. Walaupun sesekali Sagala masih terbatuk, namun kali ini batuknya tidak separah tadi.
“Seriusan ini kamu nggak apa-apa?” tanya Rena kepada Sagala.
Sagala tidak menjawab Rena, ia justru menarik Rena yang hampir menabrak pengunjung lainnya.
“Beneran Rena…I’m fine.” jawab Sagala yang mengulas senyuman ke arah Rena.
“Watch your step.” lanjut Sagala ketika Rena lagi-lagi hampir menabrak, kali ini anak kecil yang sedang berlarian.
“Astaga!” pekik Rena tiba-tiba.
“What? Why? Why? Why?”
Rena tertawa, “Minuman aku ketinggalan!”
“Mau balik? Siapa tau masih ada?” tanya Sagala yang langsung berhenti berjalan.
Sebuah gelengan dilayangkan oleh Rena. Ia kemudian menarik tangan Sagala yang sedang tidak membawa paper bag.
“Udah langsung aja lah. Balik lagi nanti kamu kena asap lagi. Cuma minuman gitu aja kok.”
“Beneran?”
“Beneran Sagalaaa.”
Sagala mengangguk mengiyakan. Sementara itu Rena terus memegang pergelangan tangannya, sedikit menyeret Sagala sembari berjalan.
“You know? Aku tadi cuma batuk bukan nggak bisa jalan.” goda Sagala.
Mendengar ucapan Sagala, Rena langsung melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan Sagala. Ia juga sedikit menyembunyikan wajahnya di balik rambut panjangnya. Melihat hal ini membuat Sagala tertawa namun tidak bisa bertahan lama karena ia kembali terbatuk.
“Makan tuh karma!” ujar Rena lagi-lagi mengundang tawa Sagala.
Sagala hanya menggeleng pelan. Ia tidak menyangka sosok yang pertama kali ditemuinya di toilet kantor, sosok yang cukup tidak ia sukai, kini berjalan bersama dirinya ke bioskop untuk menonton sequel dari film yang dulu ditontonnya waktu ia masih kecil bersama Bundanya.
“Kamu tau nggak? Aku nonton film petualangan sherina yang pertama itu sama Bundaku.” ujar Sagala tiba-tiba.
“Hmm, aku juga nonton sama mamaku.”
Rena kembali tertegun ketika Sagala membukakan pintu masuk bioskop bagi dirinya. Sagala mempersilakan Rena untuk masuk terlebih dahulu baru kemudian diikuti oleh Sagala.
“Mau beli minuman? Gantiin starbucks kamu tadi.” tanya Sagala.
Rena membaca sesaat deretan-deretan menu yang ada. Namun tidak ada satupun yang cukup menggugah seleranya. Akhirnya Rena menggeleng, menolak tawaran Sagala.
“Kita duduk aja deh, masih dua puluh menitan.” ajak Rena.
Sayangnya, sofa-sofa yang ada sudah terisi penuh. Hampir tidak ada yang kosong. Kalaupun ada, hanya kosong untuk satu orang.
“Uhmm, penuh semua kayaknya. Kamu aja yang duduk. Nanti aku berdiri deket kamu.” ujar Sagala.
“Ih yang lagi sakit itu kamu! Ya kamu aja yang duduk!”
“I’m fine Rena. Beneran kok.”
“Lagian ini bioskop kenapa penuh sih udah malem gini? Heran banget.” kesal Rena.
“Ya orang-orang kan baru bisa nonton habis jam kerja?”
“Tetep aja! Kan jadinya kita nggak bisa duduk!” omel Rena.
Sagala tidak membalas ucapan Rena. Ia tahu bahwa sosok yang ada di hadapannya ini hanya sedang mengomel pada dirinya sendiri. Sagala menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari-cari apakah ada sofa yang ditinggalkan oleh penghuninya.
Mata Sagala justru tertuju pada game center yang masih ada di dalam bioskop tersebut. Ia tersenyum lebar.
“Aku tau kita duduk mana.”
“Hah? Dimana?”
Kini ganti Sagala yang menarik tangan Rena. Ia mengajak Rena memasuki ruangan game center. Tak lupa Sagala menukar beberapa lembar uang dengan kartu yang berisikan deposit dengan nilai yang sama dari uang yang tadi ia berikan.
“Kita main aja. Kan sambil duduk. Mumpung baru kelar kerja, biar sekalian capek.” tawa Sagala.
Rena tidak langsung menimpali ucapan Sagala, ia memilih untuk mengikuti Sagala ke arah mesin arcade balapan. Sagala mempersilakan Rena untuk memilih mesinnya lalu menggesek kartu yang ada di tangannya.
Baru setelah mereka berdua menempati mesin masing-masing, Rena menoleh ke arah Sagala.
“Kamu baru kelar kerja, aku baru mau berangkat kerja.”
“Hah?”
“Iyaaaa, kerjaan aku kan bukan kerjaan kantoran kayak kamu Sagalaaa. Jadwal pemotretan atau syuting video klip atau iklan gitu biasanya malem. Ya ada sih pagi, tapi selama ini aku lebih sering dapet schedule malem.”
Mulut Sagala membulat takjub.
“Jadi ini kamu baru mau kerja?!”
“Iya!” teriak Rena untuk mengimbangi suara bising dari mesin arcade.
“Eh aku ngajak main kayak gini, kamu bisa nyetir nggak sih?” tawa Sagala.
“Main ginian doang nggak perlu bisa nyetir kali!”
“Oooh, jadi nggak bisa nyetir rupanya.” goda Sagala.
“Sampe kamu kalah, gak mau tau pokoknya jajanin aku dunkin satu box.” dengus Rena.
“Deal.”
Sagala memilih pengaturan manual untuk settingan mobilnya, sementara Rena memilih settingan automatic.
Rena beberapa kali berusaha untuk bermain curang dengan menabrak bumper belakang mobil Sagala. Taktiknya berhasil ketika mobil Sagala tergelincir tepat di tikungan terakhir hingga berputar, memberikan waktu bagi Rena untuk finish satu peringkat di atas Sagala.
“Yes! Dunkin satu kotak!” pekik Rena sembari bertepuk tangan kegirangan.
“Curang!”
“Kan tadi nggak ada perjanjian kita harus main fair?” ujar Rena sembari menjulurkan lidahnya ke arah Sagala.
Kening Sagala mengkerut, bibirnya mengerucut masam, matanya menyipit tidak setuju dengan ucapan Rena. Namun sejujurnya bisa dibilang argumen Rena dapat diterima.
Sagala berdiri meninggalkan mesin arcade yang tadi ia tempati. Kepalanya menoleh kesana kemari, mencari permainan lainnya. Ia kemudian melangkah ke arah arcade tembak menembak zombie yang bisa dimainkan oleh dua orang sekaligus.
“Ih kok main ini sih!” protes Rena.
“Kenapa emangnya? Kan asik?”
“Zombie jelek banget tau mukanya! Jijik Sagalaaa!”
“Bilang aja kamu takut.” goda Sagala.
“Mulai nyebelinnya!”
“Yaudah kalau nggak takut, sini duduk makanya.” balas Sagala yang menepuk sisi yang kosong di sebelahnya.
Dengan terpaksa Rena memasuki mesin arcade yang cukup gelap itu. Dari dulu ia paling anti dengan Zombie. Berbeda dengan hantu yang menurut kepercayaannya bisa hilang dengan membaca doa penangkal setan, Zombie hampir tidak memiliki celah untuk dibasmi menurut Rena.
Selain itu penampakan Zombie selalu membuatnya bergidik ngeri, entah karena tubuh yang compang-camping atau karena penampilan aneh lainnya.
“Tugasnya gampang, tembak aja itu Zombie-Zombienya.” terang Sagala.
“Iya aku tauuu!”
Sagala menggeleng sembari tertawa, “Gengsi amat bilang takut.”
Rena hanya melirik kesal ke arah Sagala. Namun tak lama kemudian ia terperanjat kaget saat mesin arcade tiba-tiba mengeluarkan suara yang sangat kencang menandakan permainan hampir dimulai.
Tanpa Rena sadari, tangan kirinya melingkar di tangan kanan Sagala saking ia ketakutan melihat Zombie-Zombie yang terus bermunculan. Sagala akhirnya memindahkan pistol yang ia genggam ke tangan kirinya.
“Itu kepalanya! Kepalanya!” teriak Sagala.
“Amit-amit ketemu yang kayak ginian di-... Aaaaaaaa!”
Rena kembali memekik saat tiba-tiba satu Zombie tiba-tiba muncul dan berlari ke arah layar permainan.
Tentu saja kombinasi mereka berdua tidak bertahan lama karena layar permainan kemudian menunjukan tulisan ‘game over’.
“Mau lanjut main lagi nggak?” tanya Sagala.
“Main ini?!”
Sagala mengangguk.
“Nggak ah! Kalau kamu masih mau main, aku nunggu di luar aja.”
“Okay okay….”
Keduanya segera keluar dari dalam bilik arcade tersebut dan Sagala harus berusaha menahan tawanya karena Rena masih menunjukkan ekspresi kesalnya.
“Mau main apa deh? Itu capit capit boneka?” tawar Sagala.
“Main kayak gitu tuh cuma ditipu tau! Mana pernah ada yang menang?”
“Ada. Mau aku tunjukin?”
Rena menyipitkan matanya menatap Sagala, “Mana coba.”
Merasa dirinya ditantang, Sagala kemudian memilih satu claw machine yang menurutnya dapat dipercaya.
“Tunjuk mau yang mana.” ujar Sagala.
Rena menginspeksi semua boneka yang ada di dalam mesin tersebut.
“Lucu semua Sagalaaa, gimana dong?”
Sagala mendesah pelan, “Ini sisa kartunya cuma cukup dua kali main. Kamu pilih dua deh.”
Ibu jari Rena terangkat, memberikan tanda terima kasih kepada Sagala.
“Hmmm, yang puppy itu sama yang hamster ini.” tunjuk Rena.
“Okay. Liat ya aku dapetin semuanya.” ujar Sagala sembari menarik lengan cardigan yang ia kenakan.
Kepala Rena mendekat ke arah kaca claw machine memperhatikan bagaimana Sagala mengarahkan capitan tersebut ke arah boneka anak anjing yang tadi ia tunjuk. Berdasarkan gelagat Sagala, Rena menebak bahwa Sagala akan mengincar kepala boneka tersebut dan benar saja dugaan itu.
Tetapi Rena sama sekali tidak menyangka bahwa bidikan Sagala mengenai tepat di kepala boneka dan boneka tersebut berhasil dijatuhkan tepat di dalam lubang mesin.
“Tadaaa! Dapetkan?! Apa aku bilang!” sombong Sagala yang kemudian menyerahkan boneka pertama kepada Rena.
Sementara itu Rena cukup tidak percaya bahwa Sagala berhasil mendapatkan boneka yang ia maksud. Selama ini Rena belum pernah satu kalipun memenangi boneka apapun dari claw machine dan sejauh ini Sagala adalah orang pertama yang ia lihat mampu mendapatkan boneka dari claw machine.
“Ini namanya keberuntungan sih. Sampai menang dua kali berturut-turut baru aku percaya kalau ini bukan keberuntungan.” ucap Rena.
Lagi-lagi Sagala merasa tertantang. Ia kembali berfokus pada mesin capitan yang ia gunakan tadi. Namun kali ini Sagala tidak langsung menggesekkan kartu miliknya. Ia menginspeksi terlebih dahulu posisi boneka hamster yang tadi ditunjuk oleh Rena.
Sagala perlu memutar otaknya sedikit. Posisi boneka tersebut terlentang dengan ketinggian sejajar antara kepala hingga kakinya. Cukup sulit, pikir Sagala. Namun wajah Renata yang melihatnya dengan tatapan jahil membuat Sagala semakin bersemangat untuk mematahkan ucapan Rena tadi.
Kali ini Sagala sedikit gambling. Ia memutuskan untuk menyasar perut boneka tersebut dengan harapan capitan tersebut akan menjepit perut boneka dengan lebih erat dibandingkan jika ia menyasar kepala atau kaki boneka.
Tanpa Sagala sadari, ia menahan napasnya ketika mesin capitan tersebut berhasil meraih perut boneka. Namun sayang kali ini boneka tersebut jatuh dan tertahan di ujung lubang.
Melihat hal ini, Rena melompat kegirangan. “See? Tadi tuh cuma beruntung!”
“Tck…” dengus Sagala.
Namun rupanya Sagala tidak kehabisan akal. Ia berputar ke sisi samping mesin capitan tersebut kemudian ia menggoyang mesin tadi dengan sekuat tenaga.
Usahanya berbuah manis karena boneka yang tadi menjadi targetnya kini dengan sukses terjatuh ke lubang mesin. Sagala berjongkok sesaat untuk mengambil boneka tadi dan menyerahkannya kepada Rena dengan senyum puas penuh kemenangan.
“Mana tuh keberuntungan? Ini namanya skill!” ujar Sagala bangga.
“Ih! Mana boleh kayak gitu?!”
“Kan tadi nggak ada perjanjian kita harus main fair?” balas Sagala dengan mengulang kalimat Rena sama persis.
Menyadari hal ini, Rena kembali memukul lengan Sagala. Ia menyadari bahwa Sagala tengah menggoda dirinya.
“Nyebeliiiin!”
Sagala menyengir penuh kemenangan.
“Yang penting aku berhasil dapet dua boneka.” ujar Sagala sembari menjulurkan lidahnya, gantian menggoda Rena.
“Kamu mau yang mana?” lanjut Sagala.
“Ya dua-duanya lah! Kan tadi kamu suruh pilih dua?”
“Idih! Kirain aku mau dikasih satu!” protes Sagala.
“Gak boleh! Ini punya aku!”
Rena memeluk kedua boneka itu dalam dekapannya membuat Sagala tidak bisa menarik salah satu boneka yang tadi berhasil ia dapatkan. Pada akhirnya Sagala memilih untuk mengalah.
“Yaudah deh ngalah sama adek kecil.”
“Siapa adek kecil?!”
“Kamu.”
“Enak aja! Aku nggak kecil! Lagian kamu juga cuma lebih tinggi sedikit dibanding aku!”
Sagala hanya tertawa pelan, ia lalu menepuk puncak kepala Rena.
“Adek kecil” goda Sagala yang kemudian mengambil tasnya dan paper bag milik Rena yang tadi ia taruh di lantai.
Sagala tidak menggubris Rena yang masih memprotes dirinya karena dipanggil ‘adek kecil’. Ia berjalan keluar dari game center tersebut dan berjalan ke arah studio tempat film yang mereka pilih akan di putar.
“Ih Sagalaaa!” panggil Rena yang masih kesal namun tetap mengekor di belakang Sagala.
“Tarik gak omongan kamu? Aku bukan adek kecil!” protes Rena lagi.
“Nih, tantrum kayak gini kalau bukan adek kecil tuh apa? Lagian aku emang lebih tua dari kamu, adek kecil.” tawa Sagala.
“Boong! Nggak mungkin!”
“Background research coba.” goda Sagala lagi.
Rena tidak membalas ucapan Sagala karena Sagala kini sedang memberikan tiket nonton milik mereka kepada petugas untuk diperiksa.
Sagala lagi-lagi mempersilakan Rena untuk berjalan di depannya. Melihat bahwa studio masih cukup sepi, Rena membalikkan tubuhnya dan berjalan mundur agar ia bisa menatap Sagala.
“Emang kamu lahiran tahun berapa sih?”
“1989”
“No way!”
“Gak ada untungnya aku bohong juga. Wait, hati-hati tangga.” ujar Sagala.
Rena kini kembali berjalan ke depan, menaiki tangga demi anak tangga menuju barisan kursi yang mereka pesan.
“Bulan apa lahirnya?” tanya Rena lagi.
“Kalau kamu merhatiin plat mobilku, kamu bisa nebak.”
“Ya mana aku perhatiin Sagalaaa! Mobil kamu aja tuh udah terlalu menarik perhatian karena terlalu mini! Eh row berapa ini?”
“Dua row lagi, row C. Kamu seat nya mau yang di deket aisle atau yang sebelahnya?”
“Sebelahnya aja.”
Sagala mengangguk.
Rena menemukan kursi mereka dengan mudah. Ia kemudian menepuk kursi Sagala, “Cepetan duduk, mau aku interogasi.”
Sang pengacara hanya berdecak pelan, sama sekali tidak menyangka Rena akan kekanak-kanakan seperti ini.
“Seriusan, kapan sih kamu ulang tahun?” tanya Rena saat Sagala sudah duduk dengan sempurna.
“Dibilangin, perhatiin aja plat mobil ku. Nanti kamu bisa nebak.”
Mendengar jawaban tersebut, Rena mencubit tangan Sagala.
“Tinggal jawab aja susah banget.” protes Rena.
“Tinggal liat plat nomor mobilku aja susah banget.” balas Sagala yang kali ini mendapat tinjuan di lengannya.
“Aww! Astaga kekerasan ini namanya!”
Rena hanya menjulurkan lidahnya namun tak lama berselang ia menguap pelan.
“Katanya mau kerja, malah ngantuk.”
“Gak usah mulai nyebelin! Jadwal aku tuh lagi padet.”
“Padet banget?”
Rena mengangguk.
“Kok malah nonton sih sekarang? Kan bisa dipake tidur?”
“Keburu filmnya udah nggak ada di bioskop. Terus Selene juga lagi sibuk, aku udah ngajakin dia tapi ditunda mulu. I didn’t have that many friends.”
“Bahkan dari agensi kamu? Atau temen kerja gitu?”
Rena menggeleng. “Makanya aku agak iri karena kamu deket banget sama coworkers kamu. Ada kak Teira, Sashi, Yesha. You’re lucky.”
“Yeah, I do.”
Sagala melihat bagaimana Rena kembali menguap singkat, kini ia mengerti mengapa Rena tadi sempat berkata bahwa ia membutuhkan daily dose of caffeine.
“Starbucks tadi supaya nggak ngantuk?”
“Kind-...” jawaban Rena tertahan sejenak, ia kembali menguap. “Kinda.”
“Astaga Ren, ini kamu beneran bisa nonton nggak? Tau gitu kita nonton lain kali aja Ren. Mendingan kamu tidur.”
“Bisa Sagalaaa. Udah jangan cerewet.”
Sagala hanya mengendikkan bahunya. Ia kemudian memeriksa ponselnya sejenak, menemukan beberapa chat dari Yesha yang melaporkan hasil kerjanya lalu ada sebagian chat dari Sashi yang memberikannya update tentang kasus Rena.
“Kerja, ga?”
Sagala mengangguk, “Dikit.”
Mendengar jawaban Sagala, Rena memilih untuk diam sejenak agar Sagala bisa fokus terhadap pekerjaannya. Namun heningnya Rena justru membuat Sagala menolehkan kepalanya.
“Kok tiba-tiba diem? Tambah ngantuk?”
“Kamu kan lagi kerja, masa aku ganggu. Lagian ini iklan bioskop aja udah cukup berisik masa aku tambahin?”
“Aku bisa multitasking kok. Kamu ngomong juga aku masih bisa dengerin sambil kerja.” ujar Sagala sembari mengetik beberapa baris arahan untuk Yesha.
Sementara itu, Sagala tidak menyadari bahwa ucapannya justru membuat Rena semakin terbungkam. Sangat mengejutkan bagi Rena mendapatkan perhatian seperti ini. Tiga tahun ia menikah dengan Azkan, kemesraan mereka hanya bertahan beberapa bulan di awal pernikahan. Jauh berbeda dengan saat ketika mereka masih berpacaran.
Rena bahkan tidak bisa mengingat kapan terakhir kali ia memiliki quality time dengan Azkan.
Yang ada dalam memorinya hanyalah pertengkaran demi pertengkarannya dengan Azkan.
“Ren?” panggil Sagala pelan.
“Y-ya?”
“Ini kamu diem karena nahan ngantuk apa gimana?” tanya Sagala yang menoleh ke arah Rena.
Mendapatkan tatapan penuh perhatian dari Sagala membuat Rena tiba-tiba menjadi gugup. Ia kemudian mendorong kepala Sagala agar tidak menatap dirinya lagi.
“Mending kamu cepetan selesaiin kerjaan kamu deh. Daripada nanti masih main handphone pas lampu udah mati.” ujar Rena.
“Udah kelar kerjaan aku. Barusan aku udah suruh Yesha kirim email ke klien. Tinggal chat dari Sashi tapi males ah dibales sekarang.”
“Case aku?”
Sagala menggeleng, “Nggak tau, males buka chatnya.”
“Case aku ya?” tanya Rena lagi.
“Nggak Renaaa, aku gak tau kasus apaa. Paling dia nanya sesuatu tentang laporan keuangan gitu, soalnya siang tadi dia baru konsultasi ke aku masalah cash flow salah satu perusahaan dari klien yang dia pegang. Fraud case.” ujar Sagala berbohong.
“Kamu tuh dulu ambil apa sih kuliahnya? Kok bisa paham kayak gitu juga?”
“Kalau kamu udah kecemplung terlalu dalam jadi corporate lawyer, lama-lama ya paham juga. But to answer your question, criminal law and criminology. Soalnya pas kecil kebanyakan baca detektif conan, terus punya cita-cita jadi detektif.” kekeh Sagala.
“Jauh juga ya kamu dari pidana terus ke corporate gini?”
“Nggak sih, di Oxford aku ambil Master in Law & Finance.”
“Ahh….”
Tak lama kemudian iklan di layar bioskop terhenti diikuti dengan lampu bioskop yang padam. Sagala kembali memeriksa ponselnya untuk memastikan bahwa Yesha sudah mengirim email kepada klien mereka kemudian ia mengubah mode ponselnya menjadi senyap.
Kemudian Sagala menyandarkan tubuhnya dengan sempurna pada kursi bioskop yang ia tempati dengan kedua tangannya tersilang di depan dada.
Sementara itu Rena memeluk kedua boneka yang tadi didapatkan Sagala untuknya. Namun hal ini justru membuat dirinya semakin mengantuk.
Film baru berjalan sepuluh menit, kepala Rena sudah terjatuh ke arah kiri. Mengagetkan dirinya dan pengunjung lain yang duduk di sebelah kirinya.
“M-maaf mas.” bisik Rena yang dibalas dengan anggukan dari pria itu. Sementara itu pasangan pria itu justru menatap Rena dengan tatapan sinis.
Melihat hal ini, Sagala menepuk tangan Rena pelan.
“Sini Ren, nyender bahu aku aja.” ujar Sagala yang kemudian menepuk bahunya.
“Nggak usah. Aku masih kuat kok. Tadi gak sengaja.”
“Gak usah ngeyel deh. Kamu masih harus kerja kan habis ini?” bisik Sagala yang kemudian menahan kepala Rena untuk menyandar di bahunya.
“Tidur dua jam. Nanti aku bangunin.” lanjut Sagala.
“Sagalaaa….” protes Rena.
“Ssst!”
Rena berhenti memprotes Sagala saat mendengar pengunjung lain merasa terganggu. Ia kemudian memilih untuk menuruti ucapan Sagala dan menyandarkan kepalanya di bahu Sagala.
“Segini ketinggian atau aku perlu turun dikit duduknya?” bisik Sagala, mengacu pada posisi tidur Rena.
“I need your hand.”
“Huh?”
“Aku biasanya tidur meluk guling.” bisik Rena.
Secara kikuk Sagala sedikit menggerakan lengan kirinya yang kemudian disambut oleh Rena yang sudah melingkarkan tangannya di lengan Sagala.
“Thank you Sagala. Aku nonton aja kayak gini. Nanti kalau ketiduran bangunin ya.” bisik Rena lagi.
Sagala hanya bisa mengangguk kaku.
Nyatanya Rena tidak kuasa menahan kantuknya. Ia kembali terlelap tak lama setelah mendapatkan posisi yang nyaman.
Di sepanjang film, Sagala menyempatkan diri untuk beberapa kali melirik ke arah Rena. Memastikan bahwa Rena dapat tertidur dengan nyaman. Ia melihat wajah Rena samar-samar dengan bantuan cahaya dari layar bioskop.
Mata Sagala memperhatikan wajah Rena dengan saksama. Kesimpulannya masih sama, Rena memiliki wajah yang sangat menawan. Tak heran ia bisa menjadi finalis Miss Universe, batin Sagala.
Namun kali ini Sagala dapat memperhatikan Rena lebih lama tanpa harus tertangkap basah oleh Rena. Mata Sagala menjelajahi kening, hidung, hingga bibir Rena. Ia kemudian melihat bagaimana bahu Rena bergerak naik-turun secara konstan.
Malam itu Sagala juga baru menyadari bau parfum Rena, kombinasi aroma vanilla dan floral yang menurut Sagala sangat merepresentasikan sosok Rena.
Ia cukup terhenyak ketika menyadari bahwa dirinya semakin mendekat ke arah kepala Rena, berusaha untuk menghirup aroma yang ia cium barusan. Dengan segera Sagala mengalihkan pandangannya ke arah layar bioskop dan menggelengkan kepalanya.
“Damn Sagala, inget Rena itu klien! Don’t jeopardize your job and her case!”
Kali ini Sagala kembali merasakan sesak di dadanya, namun bukan karena masalah kesehatan yang sudah ia alami dari kecil.