youngkimbaeson

155.

“Masih pagi kok udah cemberut gitu mukanya?” tanya Sagala sembari menyetir.

Rena hanya mengedikkan bahunya, enggan menanggapi juga enggan menjelaskan kalau penyebab moodnya memburuk adalah percakapannya dengan papanya tadi. Lagipula bagaimana juga ia harus menjelaskan percakapannya kepada Sagala jika Sagala secara tidak langsung ikut terseret dalam pembicaraan tersebut.

Sementara itu melihat Rena enggan menjawab pertanyaannya barusan, Sagala memilih untuk mengalihkan pembicaraan. Ia sangat mengerti bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dibagikan oleh Rena kepadanya. Lagipula memangnya siapa Sagala bagi seorang Renata.

“Uhm, suka dengerin lagu apa?” tanya Sagala.

“Anything is fine even dangdut.”

Sagala terbahak ketika mendengarkan jawaban Rena.

“Finalis Miss Universe kita ini emang paling berbudaya.” goda Sagala yang mendapat tinjuan di pundaknya.

“Nggak usah nyebelin.”

“Oke oke.”

Sagala menyentuh panel audio mobilnya, memilih untuk memutar lagu-lagu jazz yang ada di salah satu playlist miliknya.

“Jazz?”

“Yep, why? Mau ganti?”

“Nope. Aku kira kamu lebih suka genre lainnya. Pop or R&B gitu?”

“That I do. Tapi tadi asal aja sih milih playlist. You wanna change it? Ambil aja handphone ku, passwordnya 2115”

Rena terdiam, sedikit terkejut bagaimana Sagala sangat terbuka dengannya. Menurut Rena, handphone adalah salah satu barang paling private yang dimiliki oleh seseorang. Fakta bahwa Sagala dengan santainya menawarkan Rena untuk membuka ponselnya cukup mengagetkan bagi Rena.

Bahkan dalam tiga tahun pernikahannya dengan Azkan, tidak satu kali pun Azkan membiarkan Rena menyentuh ponselnya.

Ia kembali membandingkan Sagala dengan Azkan dan Rena baru menyadari bahwa akhir-akhir ini secara tidak sadar ia sering membandingkan keduanya.

“Can I?” tanya Rena ragu.

“Go on, kan tadi aku udah nawarin. Perlu aku ulang nggak passwordnya?” tanya Sagala lagi.

Rena menggeleng.

Hal pertama yang ia lihat adalah lockscreen di handphone Sagala. Foto Sagala bersama dengan Sashi, Yesha, dan Teira. Nampaknya diambil di sebuah acara outing kantor karena ketiganya menggunakan kaos serupa.

Setelah Rena memasukkan passwordnya, ia disuguhi dengan foto Sagala bersama dengan Isaura ketika Sagala masih kecil. Tebakan Rena kira-kira saat Sagala masih di bangku TK.

“Lucu…” ucap Rena tanpa sadar.

Mendengar ucapan Rena, Sagala secara otomatis menoleh ke arah Rena beberapa detik. Ia agak malu ketika menyadari bahwa Rena sedang melihat foto dirinya sewaktu masih kecil. Namun Sagala tidak membahas hal ini lebih lanjut karena ia paham bahwa Rena mungkin mengatakan hal tersebut secara tidak sadar.

“Susah nggak nyari aplikasinya?” tanya Sagala yang memilih untuk tidak menggubris ucapan Rena tadi.

Ucapan Sagala membuat Rena mengingat tujuan utamanya meminjam ponsel sang pengemudi. Rena dengan cepat melihat isi homescreen milik Sagala. Ia mendapati bahwa Sagala menata icon-icon aplikasi yang ada di ponselnya dengan sangat cermat dan rapi.

Pada homescreen Sagala hanya terdapat beberapa aplikasi saja, kemungkinan yang sering dibutuhkan Sagala dalam waktu cepat. Maps, camera, gallery, teams, whatsapp, email, dan yang terakhir adalah aplikasi pemutar musik yang dicari oleh Rena.

“Ketemu.” jawab Rena.

Jari Rena mengusap layar ponsel Sagala, mencari-cari inspirasi lagu apa yang akan ia pilih untuk diputar saat ini.

Pada akhirnya, Rena memilih untuk memutar lagu berdasarkan artis yang ia sukai.

“Beyoncé?!” pekik Sagala.

“Eh kenapa?” tanya Rena sedikit terkejut.

Sagala tertawa, “I loveeee her!! Damn, sekarang selera musik kita juga sama?! What a coincidence….”

Sebuah senyuman mengembang di wajah Rena. Bahkan fakta-fakta kecil seperti ini mampu mengubah suasana hatinya. Secara tidak sadar Rena menolehkan wajahnya ke arah kaca, berusaha menyembunyikan wajahnya dari Sagala. Ia tidak ingin Sagala melihat bahwa ucapan sederhana tadi mampu membuat Rena tersipu.

“Anyway….” ucap Rena berusaha mengalihkan pembicaraan.

“So tanggal lahir kamu tanggal dua bulan satu atau tanggal satu bulan dua?” sambung Rena, merujuk pada plat mobil Sagala saat ini.

B 21 SW

Sagala menoleh ke arah Rena lalu menjulurkan lidahnya jahil, “Salah semua.”

“Ih katanya suruh liat plat nomor mobil kamu?!”

“Mobil yang satunya, kalau mobil ini cuma tanggalnya aja. Tanggal 21.”

“Terus bulannya kapan?” ucap Rena kembali bertanya.

“Rahasia. Kamu cek aja mobil aku yang satunya.” tawa Sagala.

Mendapati dirinya kembali dijahili oleh Sagala, secara refleks Rena mencubit paha Sagala.

“Aduh! Sakit Renaaaa!” protes Sagala.

“Salahnya sendiri usil!” dengus Rena.

Sagala kembali tertawa, menguji kesabaran Rena mungkin menjadi salah satu hobinya akhir-akhir ini.

Sementara itu, Rena mengamati arah laju mobil yang dikendarai oleh Sagala. Ia kemudian menatap heran ke arah Sagala saat melihat sang pengemudi tidak memilih untuk masuk ke jalan tol dalam kota.

“Kita ke puncak kan?”

Sagala mengangguk sambil matanya awas melihat kaca spion mobilnya. Ia kemudian berpindah lajur.

“Nanti aja masuk tolnya. Biar hemat dikit. Toh jalan biasa juga bisa nih kan udah gak kena ganjil genap.” jawab Sagala santai.

Sementara itu jawaban Sagala justru membuat Rena ternganga, “Ya ampun Sagala! Kan paling cuma beda sepuluh ribu? Lima belas ribu?”

“Tetep aja beda kan?”

Rena menggelengkan kepalanya tidak percaya.

“By the way, kak Teira sering kasih kamu izin kayak gini?”

“Hmm, sebenernya ini kayak perjanjian nggak tertulis sih antara aku sama kak Teira. Aku biasanya paling nggak sebulan sekali ke luar kota kayak gini buat sekadar cari udara bersih aja.” ucap Sagala.

“I see, baik banget kantor kamu ya?”

Sagala berdeham menyetujui ucapan Rena barusan. Ia kembali melirik ke arah spion saat hendak membelokkan mobilnya menuju tol ke arah puncak.

“Kapan terakhir ke puncak?” tanya Rena lagi.

“Udah lama nggak ke puncak. Bulan lalu aku penuh banget jadwalnya. So maybe like four months ago?”

“Itu mah nggak lama! Bahkan aku udah gak inget kapan terakhir ke puncak!” ujar Rena.

“Well, good news dong? Sekarang kamu ke puncak dan lihat gimana perkembangannya dibanding yang dulu?”

Rena tidak menjawab ucapan Sagala saat ia melihat bahwa sebentar lagi mobil mereka akan memasuki jalan tol ke arah puncak. Rena kemudian memutar tubuhnya, sehingga kini ia sedang melihat isi kursi penumpang baris ke-2.

Melihat posisi Rena yang cukup melakukan akrobatik di dalam mobilnya, Sagala perlahan menurunkan kecepatannya.

“Ngapain sih Ren?”

“Mau ngambilin sarapan buat kamu.”

Kening Sagala mengkerut saat ia mendengar ucapan Rena. Sagala mengigit bibir bawahnya sejenak sebelum ia menggelengkan kepalanya.

“Repot-repot amat sih? Kan bisa beli di jalan? Aku tadi sempet mikir kita mampir drive thru aja.”

Rena melepaskan napas lega saat ia telah kembali ke posisi duduk semula.

“Tapi buah-buahan nggak dijual lewat drive thru.” jawab Rena.

“Mau melon atau semangka? Aku cuma ngambil buah yang aku suka aja sih ini.”

“Seriusan?” tawa Sagala.

“Apa lagi?!”

“Ren, sekali lagi kita suka hal yang sama kayak gini, aku bener-bener nggak tau kita tuh sebenernya telepati atau gimana. Anything is fine, aku suka melon dan semangka kok.” tawa Sagala.

Jawaban Sagala kembali membuat Rena kebingungan. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa mereka bisa memiliki banyak kesamaan seperti ini.

Pada akhirnya Rena memilih untuk menghabiskan kotak berisikan semangka terlebih dahulu. Ia menusuk semangka yang dibawanya dengan garpu plastik yang tadi ikut ia siapkan. Tangan kanan Rena terjulur ke arah mulut Sagala.

“Satu-satu ya biar nggak keselek.” ujar Rena.

Sementara itu Sagala cukup terkejut ketika menyadari bahwa saat ini Rena sedang menyuapi dirinya. Sagala menatap ke arah Rena meminta penjelasan, namun melihat bahwa Rena bersikap santai membuat Sagala akhirnya membuka mulutnya dan memakan semangka yang tadi diberikan oleh Rena.

“Aku bukan anak kecil Renaaa” protes Sagala sembari mengunyah.

“Bahaya tau! Mending kamu fokus nyetir aja dan gak usah banyak protes.”

“Eh omong-omong, kamu pergi dadakan gini udah booking penginapan atau belum? Kita nggak nginep di villa yang serem-serem gitu kan?” tanya Rena tiba-tiba.

“Nggak lah! Emangnya aku apaan ngajak kamu ke villa kayak gitu! Tenang aja semua udah beres!” protes Sagala.

Rena tertawa melihat Sagala yang sedikit merajuk saat mendengar pertanyaannya, “Ya abis ini tuh impromptu banget Sagalaaa! Aku nggak pernah kayak gini!”

“Iya tapi tadi aku kan yang ngajak kamu tiba-tiba. Artinya udah tanggung jawab aku buat kasih kamu tempat tidur yang proper juga. Bahkan aku udah kepikiran beberapa itinerary buat di puncak karena kamu bilang udah lama nggak kesana.”

Ucapan Sagala membuat Rena memutar tubuhnya menghadap ke arah Sagala dengan sangat bersemangat.

“Oh ya?! Kita mau ngapain??”

“Rahasia. Tapi tempat pertama kita taman safari.” ujar Sagala dengan senyum lebarnya.

Namun ucapan Sagala barusan justru membuat wajah Rena sedikit berubah ekspresinya yang untungnya tidak ditangkap oleh Sagala.

Masalahnya, Rena sama sekali tidak akrab dengan hewan. Bahkan bisa dibilang ia cukup anti dengan hewan. Namun kini Sagala justru mengajaknya ke tempat yang notabenenya berisikan banyak sekali hewan dengan berbagai jenis.

Tiba-tiba Rena teringat akan satu hal.

“S-sagala…”

“Yes?”

“Setau aku di taman safari ada caravan gitu nggak sih? Yang tempat nginep di dalam caravan gitu?”

“Yes. Ada emang. Kenapa?”

“Jangan bilang kita nginep disitu?”

“Bingo!” ucap Sagala bersemangat.

Akhirnya kini Rena mendapatkan perbedaan antara dirinya dan Sagala yang sangat berbanding terbalik. Tetapi tentu saja ia tidak akan membiarkan Sagala mengetahui hal ini, sekarang. Misinya kali ini adalah menikmati one day getaway-nya bersama Sagala.

Mentoleransi beberapa ekor hewan saja tidak akan bermasalah kan?

a/n: Tentang plat nomor mobil Sagala, pure cuma untuk kebutuhan fiksi aja. Kalau ada kesamaan dengan plat nomor mobil siapapun di kehidupan nyata, mohon maaf sebelumnya.

154. Adrian Antasena dan Justicia Renata

Setelah mendapatkan pesan dari Sagala bahwa ia sudah berangkat dari rumahnya, Rena segera berlari ke kamar mandi. Waktu mandinya yang biasanya terbilang cukup lama, ia pangkas menjadi sesingkat mungkin. Takut kalau-kalau Sagala sampai dengan cepat.

Namun masalahnya tidak berhenti hanya sampai disitu saja, Rena harus berdiri lama di dalam walk-in closet miliknya dengan masih berbalut bathrobe. Ia menimbang-nimbang baju apa yang harus ia pakai hari itu dan pakaian ganti apa yang harus ia bawa.

Rena pada akhirnya memutuskan untuk membawa pakaian yang cukup tebal, mengingat mereka akan menginap di puncak dan mengenakan pakaian casual untuk pagi harinya. Ia juga tidak ingin terlalu berdandan di hadapan Sagala. Agak malu juga saat ia menyadari tingkahnya seperti ini.

Setelah ia selesai memasukan baju-bajunya ke dalam gym bag miliknya. Rena kemudian keluar dari kamarnya dan turun ke lantai dasar. Ia segera menuju ke arah ruang makan.

“Bibiiii!” sapa Rena sembari menaruh tasnya di atas meja makan.

“Pagi mba Rena. Tumben mba bangun pagi? Udah rapi pula.” tawa salah satu asisten rumah tangganya dari arah dapur.

“Iya nih. Kesambet kayaknya.”

“Hush! Ngawur aja mba Rena ini!”

“Bi, masak apa?”

“Oh ini buat bapak. Tadi minta dimasakin omelet. Mba Rena mau?”

“Boleh deh bi, sama sosis ya? Omelet sama sosis aja.”

Sang asisten rumah tangga mengangguk mengiyakan.

Rena pun kemudian membuka lemari es yang berada di ruang makan, ia melihat-lihat stok buah yang ada. Untungnya ada beberapa kotak berisikan buah potong yang memang selalu tersaji di rumahnya. Rena mengambil satu kotak melon dan satu kotak semangka yang sengaja ia pisahkan untuk nanti ia bawa.

Kemudian Rena mengambil beberapa lemon dari sana.

“Mau dibuatin air lemon mba?”

“Ada jeruk nggak sih bi?”

“Ada mba. Ketutupan kotak semangka kali.”

Rena mencari-cari dengan lebih teliti dan menemukan beberapa buah jeruk di pojok lemari esnya.

“Mau ngapain sih mba?”

“Mau buat air jeruk lemon anget.”

“Mba Rena sakit apa gimana?”

Rena menggeleng sembari melanjutkan aktivitasnya. “Buat temen aku.”

Tak lama berselang, Rena mendengar adanya langkah kaki yang memasuki ruang makan. Disana ia melihat sosok papanya, Adrian Antasena, sudah rapi dengan setelan casualnya kemeja polo berwarna putih dan celana khaki.

“Oh Ren?”

“Pagi pa.”

“Tumben? Biasanya papa sampai berangkat kantor juga kamu masih tidur.”

“Iya nih pak. Tadi saya juga ngomong gitu.” kekeh sang asisten rumah tangga.

“Kesambet pa.” jawab Rena asal.

“Ngaco kamu tuh. Eh ini tas siapa? Oh kamu mau nge gym? Berat amat Ren?” cecar Anta yang sedang mengangkat tas milik putrinya.

“Aku mau pergi sama temen aku, ke puncak. Sehari doang. Makanya bangun pagi.”

“Oh sama siapa?”

“Sagala.”

Kening pria itu mengkerut, ia berusaha mengingat-ingat nama Sagala namun nihil. Ia baru mendengar nama itu dari mulut Rena hari ini.

“Sagala siapa Ren?”

“Temenku sama temennya Selene, pa. Temen kak Teira juga”

“Kok papa baru denger namanya?”

“Iya baru dikenalin Kak Teira sama Selene soalnya.”

“Oh…. Yasudah hati-hati. Nginep?”

Rena mengangguk.

“Kabarin papa ya dimana nginepnya. Gini-gini papa tetep suka kepikiran kalau nggak ketemu kamu.”

“Lebay.” tawa Rena.

“Rena, papa serius.” ucap Anta yang cukup membuat Rena berhenti melakukan kegiatannya sejenak.

Rena hanya menghela napasnya lalu melanjutkan memotong lemon tadi.

“Rena, mungkin kamu liatnya papa nggak merhatiin kamu. Papa nggak akan menyangkal kalau dulu memang kepergian mama kamu cukup membuat papa terpukul. Papa juga jadi jarang ngurus kamu dan kakak kamu. Tapi bukan berarti papa berhenti merhatiin kalian dari jauh.”

“Iya tapi papa dan kakak, kalian semua ninggalin aku sendirian.” jawab Rena masam.

Anta hanya bisa terdiam. Ia tahu dirinya memang patut dipersalahkan.

“Gimana kasus kamu? Sudah sampai mana? Weekend kemarin papa mau ketemu Ares ternyata dia lagi di Singapura. Mau ketemu hari ini terus orangnya udah terbang lagi nggak tau kemana.” tawa Anta berusaha mencairkan suasana.

“Ya gitu. Rabu besok sidang lagi.”

“How do you feel? Kamu udah bulat dengan keputusan kamu?”

Pertanyaan Anta mengundang amarah Rena. Pisau yang ada di tangannya dibanting dengan cukup keras oleh Rena.

“Papa masih bisa nanya kayak gitu ke aku? Papa tau nggak aku pernah diapain sama Azkan? Katanya papa merhatiin aku dari jauh? Papa seriusan ngomong kayak gini?”

“Rena…. Bukan itu maksud papa….”

“Terus apa pa? Aku tanya sekarang.”

Anta kembali terdiam.

Rena menggeleng kecewa. Ia kemudian menaruh pisau dengan cukup kasar ke tempat cuci piring. Niatnya membuat air perasan jeruk lemon ia urungkan, diganti dengan infuse water berisikan jeruk dan lemon.

Rena tidak ingin berada di dekat papanya lebih lama lagi.

“Rena…. Dengerin papa dulu…. Bukan itu maksud papa.”

“Terus apa pa?!” tanya Rena dengan kesal.

Pria paruh baya itu menarik napasnya pelan, ia menatap putrinya dengan lekat.

“Akhir-akhir ini papa liat kamu lebih happy dari biasanya. Kamu sadar nggak kamu bahkan sekarang suka nyanyi lagi sambil ngerjain sesuatu? Terakhir kali kamu kayak gitu waktu mama kamu masih ada.”

Jawaban Anta membuat Rena bungkam. Ia tidak menyadari hal ini.

“Setau papa selama sidang cerai itu jalan untuk rujuk selalu dibuka, jadi papa pikir kamu dan Azkan ada arah kesana. Kenapa papa mikir kayak gitu? Karena Azkan satu-satunya laki-laki yang dulu kamu kenalin ke papa dan papa inget banget gimana ekspresi kamu hari itu. Pelan-pelan papa liat kamu yang dulu Renata.” lanjut Anta.

Rena hanya mengendikkan bahunya. Ia enggan merespon ucapan papanya. Rena justru sibuk mencari botol minum berukuran cukup besar yang bisa menampung infuse water buatannya.

“Nggak pa. Aku nggak bakalan rujuk sama Azkan. Cukup tiga tahun aku jadi bodoh.”

Sementara itu Anta hanya bisa memandang punggung putrinya yang enggan menatap balik dirinya. Terdapat kekecewaan dalam diri Anta namun ia tahu hanya dirinya yang bisa ia salahkan.

“You know papa loves you, right Ren? Papa tau papa nggak bisa jadi teman ngobrol sebaik mama kamu. But it’s better late than never, right?”

Rena hanya tersenyum tipis.

“Rena….”

“Yeah, I know.”

“Good. You will tell me anything, right?”

“Sure.”

“Rena…kamu bisa cerita apapun ke papa. Anything.”

“Yea, I will think about it.”

Anta tidak sempat berbicara kembali kepada Rena karena salah satu supir Anta yang akhir-akhir ini menjadi supir pribadi Rena berjalan ke arah ruang makan, terlihat sedang mencari-cari seseorang.

“Nah, mba Rena disini rupanya! Mba temennya udah di depan.”

“Oke, makasih pak. Bilangin tunggu sebentar.”

Rena kemudian mengambil buah yang tadi sudah ia pisahkan, lalu mengambil botol infuse water dan terakhir ia menyambar sling bag dan gym bag yang tadi ia siapkan.

“Mba, ini sarapannya?”

“Udah nggak mood bi, buat bibi aja.” ujar Rena yang kemudian menatap papanya, “Pamit, pa.”

Anta menghela napasnya kembali. Namun ia tahu ia tidak bisa mendorong Rena untuk langsung menerima dirinya seperti Rena menerima mendiang istrinya.

“Siniin tas kamu, papa bawain sampai depan.” ujar Anta yang langsung mengambil gym bag dari tangan kiri Rena.

Anta sendiri tidak menunggu respon Rena dan langsung berjalan ke arah ruang tamu. Ia sedikit penasaran dengan sosok Sagala yang tadi sempat disebutkan oleh putrinya.

Adrian Antasena sempat terkejut saat melihat sosok Sagala yang langsung berdiri saat Sagala melihat Anta. Sagala pun membungkukan badannya sebagai bentuk salam dan penghormatan, lalu menjulurkan tangannya ke arah Anta.

“Saya Sagala, pak.”

“Anta. Nggak usah terlalu formal, panggil om juga nggak apa-apa. Teira dan Selene juga manggilnya om, kamu temannya Rena kan?”

Sagala mengangguk.

“Mau kemana?”

“Puncak, om. Saya punya asma, hari ini mau keluar kota sebentar supaya membaik sedikit kondisinya.”

“Aduh iya, udaranya parah banget emang. Kalian berdua aja?”

Sagala kembali mengangguk.

“Hati-hati ya. Kuat nyetir sendiri? Kalau nggak kuat, ajak aja drivernya Rena.”

“Kuat kok om. Udah sering.”

“Udah ah, ga. Berangkat sekarang aja yuk.” potong Rena.

“O-okay, pamit ya om. Rena nya besok bakal saya pulangin dengan aman.” ujar Sagala sembari tersenyum ke arah Anta.

Sagala mengambil tas yang dibawa oleh Anta kemudian ia membungkukkan badannya sekali lagi dan tak lupa kembali menyalami Anta sebelum ia kemudian mengikuti Rena yang sudah keluar terlebih dahulu.

Rena terhenti di teras rumah saat melihat mobil Sagala yang terparkir rapi tepat di depannya.

Mercedes GLS 450 berwarna hitam.

“Kirain pakai mobil mungil kamu.” goda Rena kepada Sagala saat keduanya berjalan ke arah bagasi mobil.

“Emangnya aku gila apa bawa kamu ke puncak naik mobil mini begitu. Kalo nggak kuat nanjak kamu mau dorongin dari belakang?”

“Ya kamu lah yang dorong! Masa aku?”

“Kan yang nggak bisa nyetir kamu?”

“Nyebelin.”

Sagala hanya menjulurkan lidahnya ke arah Rena.

Pemandangan ini diperhatikan oleh Anta dengan saksama. Ia tersenyum ketika melihat putrinya dibuat tertawa oleh Sagala entah karena apa. Anta pun membalas sapaan Sagala sekali lagi dengan lambaian tangannya.

Adrian Antasena terus memperhatikan mobil SUV hitam tersebut hingga perlahan meninggalkan area rumahnya.

“Sagala…”

119. Learning something new

“Sagalaaa”

Suara khas milik Rena terdengar dari ponsel milik Sagala.

Sagala sendiri menyadari bahwa Rena selalu memanggil dirinya dengan memanjangkan konsonan belakang dari nama depannya. Selalu seperti itu dan entah mengapa Sagala sangat menyukai ketika Rena memanggilnya demikian.

“Ya Ren?”

“Kamu udah jalan kesini?”

“Uh yeah, udah. Lagi di sky-walknya. Dikit lagi sampe.”

“Aku di starbucks! Udah gak di monsieur! Kamu kesini aja gapapa ya? I need my daily dose of caffeine.”

“Ahh okay okay. Ketemuan di starbucks ya?”

“Yes! Kamu mau aku pesenin sesuatu?”

“Nope, thank you.”

“Okay… See you Sagalaaa…”

Tak lama kemudian sambungan telepon tersebut terputus. Namun sebuah senyuman mengembang di wajah Sagala. Ia tertawa pelan dan menggelengkan kepalanya.

“Gimana bisa Rena manggil selucu itu efeknya? Damn Ren…” bisik Sagala pada dirinya sendiri.

Sagala kemudian berputar arah. Kembali ke eskalator untuk naik ke lantai dua dikarenakan tadinya ia sudah hampir sampai di lantai dasar.

Sembari berjalan ke lantai dua, Sagala masih sibuk merevisi pekerjaan-pekerjaan juniornya melalui ponsel. Ia memberikan sedikit revisi disini dan disana kepada Yesha. Untungnya tidak terlalu banyak.

Pandangannya terangkat dari ponselnya saat ia merasakan ia sudah sampai di tujuan. Sagala kemudian mencari-cari sosok Renata.

Tidak butuh waktu yang lama.

Sagala melihat seorang wanita yang duduk di area smoking dengan jaket jeans yang sangat familiar bagi Sagala. Jaket jeans yang sama dengan yang digunakan oleh Rena sebagai profil picturenya di aplikasi messenger. Foto yang akhir-akhir ini sering Sagala lihat.

“Sorry lama…” ujar Sagala sembari menepuk pelan pundak Rena.

Yang ditepuk justru tidak sempat memberikan respon untuk beberapa saat sebelum ia kemudian tersenyum ke arah Sagala.

“Heey! Nggak lama kok!”

Rena cukup terkesima dengan penampilan Sagala malam hari itu. Ia terlalu terbiasa melihat Sagala dengan setelan blazer dan kemeja formalnya.

Namun malam hari itu Sagala menggunakan pakaian dengan warna earth tone, celana bahan, turtleneck, serta cardigan yang dipadu-padankan dengan apik. Rena juga menyadari bahwa Sagala memberikan sedikit aksen ikat pinggang.

Akan tetapi bukan hal itu yang membuat Rena diam seribu bahasa.

Melainkan sebuah kacamata yang bertengger dengan manis di wajah Sagala.

“Kamu pakai kacamata?” tanya Rena spontan.

Sagala tertawa lalu menggelengkan kepalanya.

“Mata aku normal, kacamata ini normal juga. Kadang aku pakai kacamata biar nggak keliatan kayak bocah banget.”

“O…kay?”

Sagala harus menahan dirinya saat melihat kepala Rena sedikit miring ke arah kiri. Kebiasaan Rena yang ia sadari juga akhir-akhir ini, gestur tubuh Rena sangat bervariatif untuk mengekspresikan dirinya.

“Well, long story short, aku dikirim kantor hari ini untuk ikut lunch sama asosiasi gitu lah. Biasa buat client maintenance atau cari klien baru. Makanya hari ini nggak formal-formal banget pakaianku. Tapi supaya aku nggak dikira junior, makanya aku pakai kacamata ini.” tawa Sagala.

Rena tertawa mendengar penjelasan Sagala.

“Senior Associate jarang yang kayak kamu sih emang.” goda Rena.

Sagala memutar kedua bola matanya malas.

“Kok duduk disini sih? Kamu masih ngepods?” selidik Sagala.

“Di dalem penuh Sagalaaa. Liat aja sendiri tuh banyak yang work from cafe kali?”

Sagala memutar tubuhnya, melihat ke arah area non-smoking dan mendapati bahwa Rena berkata jujur.

Belum genap lima menit ia duduk disana, namun Sagala sudah mulai merasakan sesak pada dadanya. Sagala berusaha untuk menarik napasnya secara perlahan agar asap disekitarnya tidak terhirup terlalu banyak.

Namun usaha Sagala tidak berbuah manis. Ia justru merasa semakin sesak hingga akhirnya ia terbatuk cukup parah beberapa kali.

“Ada air mineral nggak?” tanya Sagala disela-sela batuknya.

Sementara itu, Rena mulai khawatir dengan Sagala. Ia melihat bagaimana bahu Sagala mulai terangkat dengan berat.

“Nggak ada…. Mau aku cariin?” tanya Rena khawatir.

Sagala hanya mampu menggeleng sementara ia semakin terbatuk. Ia berusaha untuk meredakan batuknya namun semakin ia berusaha, justru sesak yang semakin ia rasakan.

Perlahan Sagala merasa ingin memuntahkan riak yang ada di tenggorokannya.

“S-sorry, wait here…” ujar Sagala cepat.

Rena cukup terkejut ketika Sagala berlari meninggalkannya. Ia pun dengan cepat menyambar barang belanjaan dan tas miliknya serta tas milik Sagala yang tadi ditinggalkan dibangkunya.

Untungnya Rena masih melihat kemana arah Sagala berlari. Dengan segera Rena mengikuti Sagala dengan harapan ia bisa sedikit membantu kondisi Sagala saat ini.

Saat Rena tiba di toilet, ia mendengar suara seseorang yang sedang berusaha memuntahkan sesuatu. Namun ia tahu itu adalah Sagala karena saat ini toilet tersebut sedang kosong, hanya ada dirinya dan Sagala.

“Sagala?”

“W-wait…”

Rena sedikit mengernyit, cukup khawatir dengan kondisi Sagala.

“Can I help you?” tanya Rena lagi.

Sagala tidak menjawab. Hanya terdengar suara batuk dan muntah-muntah dari dalam bilik yang digunakan oleh Sagala.

“Sagala please, what can I do to help you?” Rena kembali bertanya, dirinya semakin khawatir.

“In...Inhaler. Di…tas….”

Rena buru-buru menaruh barang-barang yang ada ditangannya di atas wastafel. Kemudian ia segera membuka tas milik Sagala dan berusaha mencari inhaler yang dimaksud. Untungnya Sagala menata isi tasnya dengan sangat rapi sehingga Rena bisa dengan cepat menemukan inhaler tersebut.

“Ketemu. Ini gimana cara pakainya?”

“Tunggu disitu aja Ren…” ujar Sagala pelan.

Tak lama kemudian Rena mendengar suara toilet yang disiram serta Sagala yang masih terbatuk beberapa kali sebelum akhirnya ia melihat Sagala keluar dari bilik dengan tisu yang menutupi mulutnya.

Sagala tidak langsung menggubris Rena.

Ia menyalakan salah satu wastafel lalu membasuh mulutnya dengan berkumur sesaat. Setelahnya ia menarik napas dalam satu kali baru kemudian Sagala tersenyum tipis ke arah Rena.

“Maaf banget ya, kamu harus liat aku kayak gini.”

“It’s okay… aku yang minta maaf. Aku gak tau kamu bisa separah itu kambuhnya dan tadi aku mikir nggak bakal lama duduk di smoking area….Sorry Sagala…”

Sagala menggeleng pelan. Tangannya terjulur ke arah Rena, meminta inhaler yang dipegang oleh Rena.

Dengan sigap Rena memberikan inhaler milik Sagala. Ia melihat bagaimana Sagala mengocok inhaler tersebut beberapa kali sebelum akhirnya bibir Sagala menempel dengan rapat di corong inhaler. Setelahnya Sagala menarik napas dalam sembari menekan inhaler tersebut satu kali.

Sagala kemudian berusaha bernapas dengan dalam secara perlahan lalu menghembuskannya pelan-pelan. Setelahnya Sagala menutup corong inhaler dengan rapat dan memasukkan inhaler tersebut ke saku celananya.

Rena masih menatap Sagala dengan penuh khawatir walaupun ia dapat melihat bahwa Sagala berangsur-angsur membaik. Ia hendak bertanya lagi kepada Sagala namun Sagala kembali membilas mulutnya, berkumur-kumur singkat.

“Mendingan?” tanya Rena pelan.

Sagala mengangguk.

“Sorry banget ya Ren…. kualitas udara hari ini jelek banget dari pagi.”

“It’s okay, ga… Kamu mau pulang aja?”

Sagala menggeleng. “Rugi Rena, kita udah beli tiket nontonnya.”

Sebuah tepukan kencang dilayangkan Rena di lengan Sagala, “Kamu nih ngaco deh! Tiket nonton cuma berapa sih harganya? Seratus ribu? Dibandingin kesehatan kamu beda jauh dong!”

Yang dipukul hanya bisa meringis kesakitan. Sagala memijat-mijat lengannya sembari memberikan senyuman jahil ke arah Rena.

“Kayak gini kejadian nggak cuma sekali dua kali, Ren. I’m fine. Serius deh.”

“Beneran?”

Sagala mengangguk.

“Nunggu di bioskop aja yuk?” ajak Sagala yang sudah menyampirkan tasnya di pundak dan mengambil paper bag milik Rena.

Sementara itu Rena justru termangu ketika menyadari bahwa Sagala hanya menyisakan tas milik Rena di wastafel.

“Ayo Ren, aku nggak apa-apa.” panggil Sagala yang sedang menahan pintu toilet agar Rena segera keluar.

“O-okay….”

Keduanya berjalan ke arah sky-walk lalu berbelok ke arah mall dan menuju bioskop yang untungnya terletak di lantai yang sama. Sesekali Rena melirik ke arah Sagala untuk memastikan kondisi Sagala. Walaupun sesekali Sagala masih terbatuk, namun kali ini batuknya tidak separah tadi.

“Seriusan ini kamu nggak apa-apa?” tanya Rena kepada Sagala.

Sagala tidak menjawab Rena, ia justru menarik Rena yang hampir menabrak pengunjung lainnya.

“Beneran Rena…I’m fine.” jawab Sagala yang mengulas senyuman ke arah Rena.

“Watch your step.” lanjut Sagala ketika Rena lagi-lagi hampir menabrak, kali ini anak kecil yang sedang berlarian.

“Astaga!” pekik Rena tiba-tiba.

“What? Why? Why? Why?”

Rena tertawa, “Minuman aku ketinggalan!”

“Mau balik? Siapa tau masih ada?” tanya Sagala yang langsung berhenti berjalan.

Sebuah gelengan dilayangkan oleh Rena. Ia kemudian menarik tangan Sagala yang sedang tidak membawa paper bag.

“Udah langsung aja lah. Balik lagi nanti kamu kena asap lagi. Cuma minuman gitu aja kok.”

“Beneran?”

“Beneran Sagalaaa.”

Sagala mengangguk mengiyakan. Sementara itu Rena terus memegang pergelangan tangannya, sedikit menyeret Sagala sembari berjalan.

“You know? Aku tadi cuma batuk bukan nggak bisa jalan.” goda Sagala.

Mendengar ucapan Sagala, Rena langsung melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan Sagala. Ia juga sedikit menyembunyikan wajahnya di balik rambut panjangnya. Melihat hal ini membuat Sagala tertawa namun tidak bisa bertahan lama karena ia kembali terbatuk.

“Makan tuh karma!” ujar Rena lagi-lagi mengundang tawa Sagala.

Sagala hanya menggeleng pelan. Ia tidak menyangka sosok yang pertama kali ditemuinya di toilet kantor, sosok yang cukup tidak ia sukai, kini berjalan bersama dirinya ke bioskop untuk menonton sequel dari film yang dulu ditontonnya waktu ia masih kecil bersama Bundanya.

“Kamu tau nggak? Aku nonton film petualangan sherina yang pertama itu sama Bundaku.” ujar Sagala tiba-tiba.

“Hmm, aku juga nonton sama mamaku.”

Rena kembali tertegun ketika Sagala membukakan pintu masuk bioskop bagi dirinya. Sagala mempersilakan Rena untuk masuk terlebih dahulu baru kemudian diikuti oleh Sagala.

“Mau beli minuman? Gantiin starbucks kamu tadi.” tanya Sagala.

Rena membaca sesaat deretan-deretan menu yang ada. Namun tidak ada satupun yang cukup menggugah seleranya. Akhirnya Rena menggeleng, menolak tawaran Sagala.

“Kita duduk aja deh, masih dua puluh menitan.” ajak Rena.

Sayangnya, sofa-sofa yang ada sudah terisi penuh. Hampir tidak ada yang kosong. Kalaupun ada, hanya kosong untuk satu orang.

“Uhmm, penuh semua kayaknya. Kamu aja yang duduk. Nanti aku berdiri deket kamu.” ujar Sagala.

“Ih yang lagi sakit itu kamu! Ya kamu aja yang duduk!”

“I’m fine Rena. Beneran kok.”

“Lagian ini bioskop kenapa penuh sih udah malem gini? Heran banget.” kesal Rena.

“Ya orang-orang kan baru bisa nonton habis jam kerja?”

“Tetep aja! Kan jadinya kita nggak bisa duduk!” omel Rena.

Sagala tidak membalas ucapan Rena. Ia tahu bahwa sosok yang ada di hadapannya ini hanya sedang mengomel pada dirinya sendiri. Sagala menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari-cari apakah ada sofa yang ditinggalkan oleh penghuninya.

Mata Sagala justru tertuju pada game center yang masih ada di dalam bioskop tersebut. Ia tersenyum lebar.

“Aku tau kita duduk mana.”

“Hah? Dimana?”

Kini ganti Sagala yang menarik tangan Rena. Ia mengajak Rena memasuki ruangan game center. Tak lupa Sagala menukar beberapa lembar uang dengan kartu yang berisikan deposit dengan nilai yang sama dari uang yang tadi ia berikan.

“Kita main aja. Kan sambil duduk. Mumpung baru kelar kerja, biar sekalian capek.” tawa Sagala.

Rena tidak langsung menimpali ucapan Sagala, ia memilih untuk mengikuti Sagala ke arah mesin arcade balapan. Sagala mempersilakan Rena untuk memilih mesinnya lalu menggesek kartu yang ada di tangannya.

Baru setelah mereka berdua menempati mesin masing-masing, Rena menoleh ke arah Sagala.

“Kamu baru kelar kerja, aku baru mau berangkat kerja.”

“Hah?”

“Iyaaaa, kerjaan aku kan bukan kerjaan kantoran kayak kamu Sagalaaa. Jadwal pemotretan atau syuting video klip atau iklan gitu biasanya malem. Ya ada sih pagi, tapi selama ini aku lebih sering dapet schedule malem.”

Mulut Sagala membulat takjub.

“Jadi ini kamu baru mau kerja?!”

“Iya!” teriak Rena untuk mengimbangi suara bising dari mesin arcade.

“Eh aku ngajak main kayak gini, kamu bisa nyetir nggak sih?” tawa Sagala.

“Main ginian doang nggak perlu bisa nyetir kali!”

“Oooh, jadi nggak bisa nyetir rupanya.” goda Sagala.

“Sampe kamu kalah, gak mau tau pokoknya jajanin aku dunkin satu box.” dengus Rena.

“Deal.”

Sagala memilih pengaturan manual untuk settingan mobilnya, sementara Rena memilih settingan automatic.

Rena beberapa kali berusaha untuk bermain curang dengan menabrak bumper belakang mobil Sagala. Taktiknya berhasil ketika mobil Sagala tergelincir tepat di tikungan terakhir hingga berputar, memberikan waktu bagi Rena untuk finish satu peringkat di atas Sagala.

“Yes! Dunkin satu kotak!” pekik Rena sembari bertepuk tangan kegirangan.

“Curang!”

“Kan tadi nggak ada perjanjian kita harus main fair?” ujar Rena sembari menjulurkan lidahnya ke arah Sagala.

Kening Sagala mengkerut, bibirnya mengerucut masam, matanya menyipit tidak setuju dengan ucapan Rena. Namun sejujurnya bisa dibilang argumen Rena dapat diterima.

Sagala berdiri meninggalkan mesin arcade yang tadi ia tempati. Kepalanya menoleh kesana kemari, mencari permainan lainnya. Ia kemudian melangkah ke arah arcade tembak menembak zombie yang bisa dimainkan oleh dua orang sekaligus.

“Ih kok main ini sih!” protes Rena.

“Kenapa emangnya? Kan asik?”

“Zombie jelek banget tau mukanya! Jijik Sagalaaa!”

“Bilang aja kamu takut.” goda Sagala.

“Mulai nyebelinnya!”

“Yaudah kalau nggak takut, sini duduk makanya.” balas Sagala yang menepuk sisi yang kosong di sebelahnya.

Dengan terpaksa Rena memasuki mesin arcade yang cukup gelap itu. Dari dulu ia paling anti dengan Zombie. Berbeda dengan hantu yang menurut kepercayaannya bisa hilang dengan membaca doa penangkal setan, Zombie hampir tidak memiliki celah untuk dibasmi menurut Rena.

Selain itu penampakan Zombie selalu membuatnya bergidik ngeri, entah karena tubuh yang compang-camping atau karena penampilan aneh lainnya.

“Tugasnya gampang, tembak aja itu Zombie-Zombienya.” terang Sagala.

“Iya aku tauuu!”

Sagala menggeleng sembari tertawa, “Gengsi amat bilang takut.”

Rena hanya melirik kesal ke arah Sagala. Namun tak lama kemudian ia terperanjat kaget saat mesin arcade tiba-tiba mengeluarkan suara yang sangat kencang menandakan permainan hampir dimulai.

Tanpa Rena sadari, tangan kirinya melingkar di tangan kanan Sagala saking ia ketakutan melihat Zombie-Zombie yang terus bermunculan. Sagala akhirnya memindahkan pistol yang ia genggam ke tangan kirinya.

“Itu kepalanya! Kepalanya!” teriak Sagala.

“Amit-amit ketemu yang kayak ginian di-... Aaaaaaaa!”

Rena kembali memekik saat tiba-tiba satu Zombie tiba-tiba muncul dan berlari ke arah layar permainan.

Tentu saja kombinasi mereka berdua tidak bertahan lama karena layar permainan kemudian menunjukan tulisan ‘game over’.

“Mau lanjut main lagi nggak?” tanya Sagala.

“Main ini?!”

Sagala mengangguk.

“Nggak ah! Kalau kamu masih mau main, aku nunggu di luar aja.”

“Okay okay….”

Keduanya segera keluar dari dalam bilik arcade tersebut dan Sagala harus berusaha menahan tawanya karena Rena masih menunjukkan ekspresi kesalnya.

“Mau main apa deh? Itu capit capit boneka?” tawar Sagala.

“Main kayak gitu tuh cuma ditipu tau! Mana pernah ada yang menang?”

“Ada. Mau aku tunjukin?”

Rena menyipitkan matanya menatap Sagala, “Mana coba.”

Merasa dirinya ditantang, Sagala kemudian memilih satu claw machine yang menurutnya dapat dipercaya.

“Tunjuk mau yang mana.” ujar Sagala.

Rena menginspeksi semua boneka yang ada di dalam mesin tersebut.

“Lucu semua Sagalaaa, gimana dong?”

Sagala mendesah pelan, “Ini sisa kartunya cuma cukup dua kali main. Kamu pilih dua deh.”

Ibu jari Rena terangkat, memberikan tanda terima kasih kepada Sagala.

“Hmmm, yang puppy itu sama yang hamster ini.” tunjuk Rena.

“Okay. Liat ya aku dapetin semuanya.” ujar Sagala sembari menarik lengan cardigan yang ia kenakan.

Kepala Rena mendekat ke arah kaca claw machine memperhatikan bagaimana Sagala mengarahkan capitan tersebut ke arah boneka anak anjing yang tadi ia tunjuk. Berdasarkan gelagat Sagala, Rena menebak bahwa Sagala akan mengincar kepala boneka tersebut dan benar saja dugaan itu.

Tetapi Rena sama sekali tidak menyangka bahwa bidikan Sagala mengenai tepat di kepala boneka dan boneka tersebut berhasil dijatuhkan tepat di dalam lubang mesin.

“Tadaaa! Dapetkan?! Apa aku bilang!” sombong Sagala yang kemudian menyerahkan boneka pertama kepada Rena.

Sementara itu Rena cukup tidak percaya bahwa Sagala berhasil mendapatkan boneka yang ia maksud. Selama ini Rena belum pernah satu kalipun memenangi boneka apapun dari claw machine dan sejauh ini Sagala adalah orang pertama yang ia lihat mampu mendapatkan boneka dari claw machine.

“Ini namanya keberuntungan sih. Sampai menang dua kali berturut-turut baru aku percaya kalau ini bukan keberuntungan.” ucap Rena.

Lagi-lagi Sagala merasa tertantang. Ia kembali berfokus pada mesin capitan yang ia gunakan tadi. Namun kali ini Sagala tidak langsung menggesekkan kartu miliknya. Ia menginspeksi terlebih dahulu posisi boneka hamster yang tadi ditunjuk oleh Rena.

Sagala perlu memutar otaknya sedikit. Posisi boneka tersebut terlentang dengan ketinggian sejajar antara kepala hingga kakinya. Cukup sulit, pikir Sagala. Namun wajah Renata yang melihatnya dengan tatapan jahil membuat Sagala semakin bersemangat untuk mematahkan ucapan Rena tadi.

Kali ini Sagala sedikit gambling. Ia memutuskan untuk menyasar perut boneka tersebut dengan harapan capitan tersebut akan menjepit perut boneka dengan lebih erat dibandingkan jika ia menyasar kepala atau kaki boneka.

Tanpa Sagala sadari, ia menahan napasnya ketika mesin capitan tersebut berhasil meraih perut boneka. Namun sayang kali ini boneka tersebut jatuh dan tertahan di ujung lubang.

Melihat hal ini, Rena melompat kegirangan. “See? Tadi tuh cuma beruntung!”

“Tck…” dengus Sagala.

Namun rupanya Sagala tidak kehabisan akal. Ia berputar ke sisi samping mesin capitan tersebut kemudian ia menggoyang mesin tadi dengan sekuat tenaga.

Usahanya berbuah manis karena boneka yang tadi menjadi targetnya kini dengan sukses terjatuh ke lubang mesin. Sagala berjongkok sesaat untuk mengambil boneka tadi dan menyerahkannya kepada Rena dengan senyum puas penuh kemenangan.

“Mana tuh keberuntungan? Ini namanya skill!” ujar Sagala bangga.

“Ih! Mana boleh kayak gitu?!”

“Kan tadi nggak ada perjanjian kita harus main fair?” balas Sagala dengan mengulang kalimat Rena sama persis.

Menyadari hal ini, Rena kembali memukul lengan Sagala. Ia menyadari bahwa Sagala tengah menggoda dirinya.

“Nyebeliiiin!”

Sagala menyengir penuh kemenangan.

“Yang penting aku berhasil dapet dua boneka.” ujar Sagala sembari menjulurkan lidahnya, gantian menggoda Rena.

“Kamu mau yang mana?” lanjut Sagala.

“Ya dua-duanya lah! Kan tadi kamu suruh pilih dua?”

“Idih! Kirain aku mau dikasih satu!” protes Sagala.

“Gak boleh! Ini punya aku!”

Rena memeluk kedua boneka itu dalam dekapannya membuat Sagala tidak bisa menarik salah satu boneka yang tadi berhasil ia dapatkan. Pada akhirnya Sagala memilih untuk mengalah.

“Yaudah deh ngalah sama adek kecil.”

“Siapa adek kecil?!”

“Kamu.”

“Enak aja! Aku nggak kecil! Lagian kamu juga cuma lebih tinggi sedikit dibanding aku!”

Sagala hanya tertawa pelan, ia lalu menepuk puncak kepala Rena.

“Adek kecil” goda Sagala yang kemudian mengambil tasnya dan paper bag milik Rena yang tadi ia taruh di lantai.

Sagala tidak menggubris Rena yang masih memprotes dirinya karena dipanggil ‘adek kecil’. Ia berjalan keluar dari game center tersebut dan berjalan ke arah studio tempat film yang mereka pilih akan di putar.

“Ih Sagalaaa!” panggil Rena yang masih kesal namun tetap mengekor di belakang Sagala.

“Tarik gak omongan kamu? Aku bukan adek kecil!” protes Rena lagi.

“Nih, tantrum kayak gini kalau bukan adek kecil tuh apa? Lagian aku emang lebih tua dari kamu, adek kecil.” tawa Sagala.

“Boong! Nggak mungkin!”

“Background research coba.” goda Sagala lagi.

Rena tidak membalas ucapan Sagala karena Sagala kini sedang memberikan tiket nonton milik mereka kepada petugas untuk diperiksa.

Sagala lagi-lagi mempersilakan Rena untuk berjalan di depannya. Melihat bahwa studio masih cukup sepi, Rena membalikkan tubuhnya dan berjalan mundur agar ia bisa menatap Sagala.

“Emang kamu lahiran tahun berapa sih?”

“1989”

“No way!”

“Gak ada untungnya aku bohong juga. Wait, hati-hati tangga.” ujar Sagala.

Rena kini kembali berjalan ke depan, menaiki tangga demi anak tangga menuju barisan kursi yang mereka pesan.

“Bulan apa lahirnya?” tanya Rena lagi.

“Kalau kamu merhatiin plat mobilku, kamu bisa nebak.”

“Ya mana aku perhatiin Sagalaaa! Mobil kamu aja tuh udah terlalu menarik perhatian karena terlalu mini! Eh row berapa ini?”

“Dua row lagi, row C. Kamu seat nya mau yang di deket aisle atau yang sebelahnya?”

“Sebelahnya aja.”

Sagala mengangguk.

Rena menemukan kursi mereka dengan mudah. Ia kemudian menepuk kursi Sagala, “Cepetan duduk, mau aku interogasi.”

Sang pengacara hanya berdecak pelan, sama sekali tidak menyangka Rena akan kekanak-kanakan seperti ini.

“Seriusan, kapan sih kamu ulang tahun?” tanya Rena saat Sagala sudah duduk dengan sempurna.

“Dibilangin, perhatiin aja plat mobil ku. Nanti kamu bisa nebak.”

Mendengar jawaban tersebut, Rena mencubit tangan Sagala.

“Tinggal jawab aja susah banget.” protes Rena.

“Tinggal liat plat nomor mobilku aja susah banget.” balas Sagala yang kali ini mendapat tinjuan di lengannya.

“Aww! Astaga kekerasan ini namanya!”

Rena hanya menjulurkan lidahnya namun tak lama berselang ia menguap pelan.

“Katanya mau kerja, malah ngantuk.”

“Gak usah mulai nyebelin! Jadwal aku tuh lagi padet.”

“Padet banget?”

Rena mengangguk.

“Kok malah nonton sih sekarang? Kan bisa dipake tidur?”

“Keburu filmnya udah nggak ada di bioskop. Terus Selene juga lagi sibuk, aku udah ngajakin dia tapi ditunda mulu. I didn’t have that many friends.”

“Bahkan dari agensi kamu? Atau temen kerja gitu?”

Rena menggeleng. “Makanya aku agak iri karena kamu deket banget sama coworkers kamu. Ada kak Teira, Sashi, Yesha. You’re lucky.”

“Yeah, I do.”

Sagala melihat bagaimana Rena kembali menguap singkat, kini ia mengerti mengapa Rena tadi sempat berkata bahwa ia membutuhkan daily dose of caffeine.

“Starbucks tadi supaya nggak ngantuk?”

“Kind-...” jawaban Rena tertahan sejenak, ia kembali menguap. “Kinda.”

“Astaga Ren, ini kamu beneran bisa nonton nggak? Tau gitu kita nonton lain kali aja Ren. Mendingan kamu tidur.”

“Bisa Sagalaaa. Udah jangan cerewet.”

Sagala hanya mengendikkan bahunya. Ia kemudian memeriksa ponselnya sejenak, menemukan beberapa chat dari Yesha yang melaporkan hasil kerjanya lalu ada sebagian chat dari Sashi yang memberikannya update tentang kasus Rena.

“Kerja, ga?”

Sagala mengangguk, “Dikit.”

Mendengar jawaban Sagala, Rena memilih untuk diam sejenak agar Sagala bisa fokus terhadap pekerjaannya. Namun heningnya Rena justru membuat Sagala menolehkan kepalanya.

“Kok tiba-tiba diem? Tambah ngantuk?”

“Kamu kan lagi kerja, masa aku ganggu. Lagian ini iklan bioskop aja udah cukup berisik masa aku tambahin?”

“Aku bisa multitasking kok. Kamu ngomong juga aku masih bisa dengerin sambil kerja.” ujar Sagala sembari mengetik beberapa baris arahan untuk Yesha.

Sementara itu, Sagala tidak menyadari bahwa ucapannya justru membuat Rena semakin terbungkam. Sangat mengejutkan bagi Rena mendapatkan perhatian seperti ini. Tiga tahun ia menikah dengan Azkan, kemesraan mereka hanya bertahan beberapa bulan di awal pernikahan. Jauh berbeda dengan saat ketika mereka masih berpacaran.

Rena bahkan tidak bisa mengingat kapan terakhir kali ia memiliki quality time dengan Azkan.

Yang ada dalam memorinya hanyalah pertengkaran demi pertengkarannya dengan Azkan.

“Ren?” panggil Sagala pelan.

“Y-ya?”

“Ini kamu diem karena nahan ngantuk apa gimana?” tanya Sagala yang menoleh ke arah Rena.

Mendapatkan tatapan penuh perhatian dari Sagala membuat Rena tiba-tiba menjadi gugup. Ia kemudian mendorong kepala Sagala agar tidak menatap dirinya lagi.

“Mending kamu cepetan selesaiin kerjaan kamu deh. Daripada nanti masih main handphone pas lampu udah mati.” ujar Rena.

“Udah kelar kerjaan aku. Barusan aku udah suruh Yesha kirim email ke klien. Tinggal chat dari Sashi tapi males ah dibales sekarang.”

“Case aku?”

Sagala menggeleng, “Nggak tau, males buka chatnya.”

“Case aku ya?” tanya Rena lagi.

“Nggak Renaaa, aku gak tau kasus apaa. Paling dia nanya sesuatu tentang laporan keuangan gitu, soalnya siang tadi dia baru konsultasi ke aku masalah cash flow salah satu perusahaan dari klien yang dia pegang. Fraud case.” ujar Sagala berbohong.

“Kamu tuh dulu ambil apa sih kuliahnya? Kok bisa paham kayak gitu juga?”

“Kalau kamu udah kecemplung terlalu dalam jadi corporate lawyer, lama-lama ya paham juga. But to answer your question, criminal law and criminology. Soalnya pas kecil kebanyakan baca detektif conan, terus punya cita-cita jadi detektif.” kekeh Sagala.

“Jauh juga ya kamu dari pidana terus ke corporate gini?”

“Nggak sih, di Oxford aku ambil Master in Law & Finance.”

“Ahh….”

Tak lama kemudian iklan di layar bioskop terhenti diikuti dengan lampu bioskop yang padam. Sagala kembali memeriksa ponselnya untuk memastikan bahwa Yesha sudah mengirim email kepada klien mereka kemudian ia mengubah mode ponselnya menjadi senyap.

Kemudian Sagala menyandarkan tubuhnya dengan sempurna pada kursi bioskop yang ia tempati dengan kedua tangannya tersilang di depan dada.

Sementara itu Rena memeluk kedua boneka yang tadi didapatkan Sagala untuknya. Namun hal ini justru membuat dirinya semakin mengantuk.

Film baru berjalan sepuluh menit, kepala Rena sudah terjatuh ke arah kiri. Mengagetkan dirinya dan pengunjung lain yang duduk di sebelah kirinya.

“M-maaf mas.” bisik Rena yang dibalas dengan anggukan dari pria itu. Sementara itu pasangan pria itu justru menatap Rena dengan tatapan sinis.

Melihat hal ini, Sagala menepuk tangan Rena pelan.

“Sini Ren, nyender bahu aku aja.” ujar Sagala yang kemudian menepuk bahunya.

“Nggak usah. Aku masih kuat kok. Tadi gak sengaja.”

“Gak usah ngeyel deh. Kamu masih harus kerja kan habis ini?” bisik Sagala yang kemudian menahan kepala Rena untuk menyandar di bahunya.

“Tidur dua jam. Nanti aku bangunin.” lanjut Sagala.

“Sagalaaa….” protes Rena.

“Ssst!”

Rena berhenti memprotes Sagala saat mendengar pengunjung lain merasa terganggu. Ia kemudian memilih untuk menuruti ucapan Sagala dan menyandarkan kepalanya di bahu Sagala.

“Segini ketinggian atau aku perlu turun dikit duduknya?” bisik Sagala, mengacu pada posisi tidur Rena.

“I need your hand.”

“Huh?”

“Aku biasanya tidur meluk guling.” bisik Rena.

Secara kikuk Sagala sedikit menggerakan lengan kirinya yang kemudian disambut oleh Rena yang sudah melingkarkan tangannya di lengan Sagala.

“Thank you Sagala. Aku nonton aja kayak gini. Nanti kalau ketiduran bangunin ya.” bisik Rena lagi.

Sagala hanya bisa mengangguk kaku.

Nyatanya Rena tidak kuasa menahan kantuknya. Ia kembali terlelap tak lama setelah mendapatkan posisi yang nyaman.

Di sepanjang film, Sagala menyempatkan diri untuk beberapa kali melirik ke arah Rena. Memastikan bahwa Rena dapat tertidur dengan nyaman. Ia melihat wajah Rena samar-samar dengan bantuan cahaya dari layar bioskop.

Mata Sagala memperhatikan wajah Rena dengan saksama. Kesimpulannya masih sama, Rena memiliki wajah yang sangat menawan. Tak heran ia bisa menjadi finalis Miss Universe, batin Sagala.

Namun kali ini Sagala dapat memperhatikan Rena lebih lama tanpa harus tertangkap basah oleh Rena. Mata Sagala menjelajahi kening, hidung, hingga bibir Rena. Ia kemudian melihat bagaimana bahu Rena bergerak naik-turun secara konstan.

Malam itu Sagala juga baru menyadari bau parfum Rena, kombinasi aroma vanilla dan floral yang menurut Sagala sangat merepresentasikan sosok Rena.

Ia cukup terhenyak ketika menyadari bahwa dirinya semakin mendekat ke arah kepala Rena, berusaha untuk menghirup aroma yang ia cium barusan. Dengan segera Sagala mengalihkan pandangannya ke arah layar bioskop dan menggelengkan kepalanya.

“Damn Sagala, inget Rena itu klien! Don’t jeopardize your job and her case!”

Kali ini Sagala kembali merasakan sesak di dadanya, namun bukan karena masalah kesehatan yang sudah ia alami dari kecil.

115. Tanggal tujuh belas

Tanggal tujuh belas.

Sagala kembali mengunjungi makam sang Ibunda. Sebuah rutinitas yang selalu ia sempatkan. Sekadar bercerita maupun memastikan makam sang Ibunda masih terawat rapi. Mencabut sedikit rumput yang tumbuh liar serta menyiram beberapa botol berisikan air di makam sang Ibunda.

Namun hari ini ia tidak bisa tinggal terlalu lama. Setelah ia bercerita tentang kesehariannya dan beberapa cerita menarik lainnya, Sagala berpamitan kepada sang Ibunda karena ia masih harus mampir ke yayasan sebelum ia kemudian pergi ke kantornya.

Hari ini Sagala hanya bisa izin setengah hari. Maklum, banyak pekerjaannya yang menunggu. Selain itu memang ada beberapa hal yang belum sempat ia review.

Tepat pukul sepuluh, Sagala sudah tiba di yayasan. Sebenarnya Sagala kesana hanya untuk sekadar memastikan apakah donasinya sudah diterima secara baik, atau jika ada hal-hal lainnya yang dibutuhkan oleh yayasan.

Mengingat hari itu jadwalnya cukup padat, Sagala juga tidak bisa berlama-lama berbincang dengan ketua Yayasan.

Tidak sampai satu jam Sagala sudah izin berpamitan.

“Kalau Mba Sagala sibuk jangan dipaksain kesini, Mba. Yayasan ini gak bakal kemana-mana kok.” ujar Ketua Yayasan sembari mereka berjalan ke arah pintu keluar.

Sagala menggeleng pelan, “Aku udah berjanji bu. Janji itu harus ditepati. Lagian setiap tanggal segini emang aku juga nyekar ke makam Bunda, jadi sekalian aja mampir sini.”

Keduanya masih asik berbincang singkat, sebatas memperbincangkan kesibukan Sagala dan beberapa hal lainnya tentang Yayasan.

Sementara itu, tak jauh dari tempat dimana Sagala dan ketua Yayasan bercengkrama, sosok Justicia Renata berdiri dengan pandangan terkejut, menatap ke arah Sagala.

“Sagala?”

Secara refleks Sagala menoleh dan memberikan respon terkejut pula. Namun rasa terkejutnya Sagala tidak bertahan lama karena ia ingat bahwa Rena adalah donatur utama di yayasan ini. Hanya saja ia tidak menyangka akan bertemu Rena sekarang, di yayasan ini.

“Hi Ren.” sapa Sagala.

Rena sedikit kecewa ketika ia mendapati Sagala hanya menyapa dirinya seadanya. Bahkan Sagala hanya tersenyum tipis kepadanya. Rena diingatkan pada fakta bahwa Sagala memang merasa terusik atas pertanyaan yang ia ajukan tempo hari.

“Kalau gitu saya pamit ya bu.” ujar Sagala pada ketua yayasan.

Sagala hanya mengangguk singkat kepada Rena dan berjalan meninggalkan Rena serta ketua yayasan tanpa ada sepatah dua patah kata yang terlontar lagi.

Tanpa sadar Rena menggigit bibir bawahnya. Merasa dilema apakah ia harus mengejar Sagala atau membiarkan emosi Sagala mereda. Namun pada akhirnya Rena memilih untuk mengejar Sagala.

“Sebentar ya bu, ada yang harus saya bicarakan sama Sagala.” ucap Rena singkat tanpa menunggu respon sang ketua yayasan.

Dengan heelsnya, Rena berusaha untuk berlari mengejar Sagala yang sudah tidak nampak dari pintu keluar.

Kepala Rena menoleh ke kanan dan ke kiri, berusaha mencari keberadaan Sagala. Ia sedikit frustrasi mengingat mobil Sagala yang kecil itu pasti tersembunyi, tertutupi oleh mobil-mobil lainnya.

Saat Rena memutuskan untuk berlari ke kanan, ekor matanya melihat adanya blazer Sagala di dekat semak-semak di arah yang berlawanan dari arah yang Rena tuju.

Akhirnya Rena memilih untuk mengikuti instingnya. Ia berlari ke arah semak-semak tadi dan menemukan Sagala tengah berjongkok dan mengelus-elus kepala anak kucing.

“Bulan depan pas aku kesini, aku bawain kamu makanan lagi. Tapi janjian ya kita ketemuannya disini.” ujar Sagala kepada anak kucing tersebut.

Rena tersenyum melihat kejadian di depannya.

Rena mengamati bagaimana Sagala memindahkan kucing tadi dari semak-semak ke arah pinggir gedung yang masih terlindungi dengan atap. Kemudian Sagala menata tempat makan hewan dan mengisinya dengan makanan serta air bersih.

Satu lagi fakta tentang Sagala yang akan ia ingat tentang Sagala, wanita itu kemungkinan besar pecinta hewan.

“Yaya, aku gak bisa lama-lama. Aku tinggal dulu ya! Kita ketemu lagi bulan depan. Nanti aku bawain makanan kaleng.” ujar Sagala dengan semangat. Ia mengusap kucing kecil tadi sekali lagi sebelum memutuskan untuk segera berangkat ke kantor.

Betapa terkejutnya Sagala ketika ia menemukan Rena berdiri tak jauh dari sana dan Sagala yakin bahwa sedari tadi Rena melihat apa yang ia lakukan.

Canggung.

Keduanya hanya bertatap canggung.

Sagala menyunggingkan senyuman tipisnya.

“Oh, uhm, nggak masuk?”

Rena menggeleng, “Ada hal lain yang lebih penting.”

“Oh, right… Uhm, duluan ya?” balas Sagala yang dengan kikuk menunjuk ke arah parkiran.

“Sagala, bisa ngomong sebentar? Sepuluh menit maksimal.”

“Bisa lewat chat aja gak Ren?”

“Five minutes then, please?”

Melihat tatapan memohon dari Rena membuat Sagala akhirnya luluh juga. Ia kemudian hanya mengangguk pasrah.

“I’m so so sorry. Aku nggak ada alasan apapun yang mau aku sampein ke kamu. Prying your privacy is wrong, that’s it. I just…”

Rena menarik napasnya dalam-dalam.

“I just realized that all these time, Azkan cuma manfaatin aku. Hence why, aku sekarang mempertanyakan hampir semua orang yang berbuat baik ke aku. Apakah mereka kayak Azkan juga? Apakah kebaikan mereka karena ada maunya?”

“What?! Ren-...”

“Wait, Sagala. Let me finish, okay? Kamu nggak satu-satunya orang yang aku pertanyakan. Even kak Teira, even Selene. Kamu kenal Selene Parabawa kan?”

Sagala mengangguk.

“Even kak Teira dan Selene yang udah kenal aku dari lama, I can’t help but questioning them too. You can ask them, I ask the same question to them like what I asked you last night. And I’m so sorry because I ended up ngusik privasi kamu.”

“Ren…We had this conversation before right? Stop mikir yang aneh-aneh. Stop nyalahin diri kamu sendiri. It’s nobody's fault, except Azkan.”

“Tapi susah Sagala. I can’t help but to question myself. Tiga tahun Sagala, tiga tahun. Bukan waktu yang sebentar buat aku berusaha tutup mata dan telinga. Aku selalu ngira ada sesuatu yang kurang di aku, that’s why Azkan nyari di tempat lain.”

“Rena stop Ren…. Stop with this mindset of yours okay?”

Rena memalingkan wajahnya, sedikit menengadah. Ia tidak ingin kali ini menjadi kali ketiga Sagala melihatnya menangis. Namun semakin lama ia mencoba, justru air mata Rena semakin terasa tidak terbendung.

Sang model hendak menyeka air matanya namun Sagala sudah lebih dulu memberikannya tisu. Sagala juga menggenggam pergelangan tangannya dan menarik Rena untuk berjalan mengikutinya.

Kini keduanya berada di dalam mobil Sagala.

“Aku rasa kamu nggak mau percakapan kita didenger orang yang lewat-lewat. So, it’s better to talk here.” ujar Sagala.

“Thanks.” ujar Rena yang masih menyeka sudut matanya sesekali.

“I don’t pity you, Ren. At all. I never pity you. Honestly, I took your case for myself. To redeem myself.”

Ucapan Sagala menarik perhatian Rena.

Namun Rena tidak bertanya lebih lanjut, ia tidak mau mengulangi kesalahannya semalam. Ia yakin jika Sagala memang ingin membagikan ceritanya, maka Sagala akan melakukannya secara otomatis. Seperti saat ini.

“Bunda aku meninggal karena penyakit yang sama kayak mama kamu, I know this dari ketua yayasan. She said many things to me about you and your kindness towards my mom. I can’t thank you enough.”

“B-bunda kamu?”

Sagala mengangguk, menyunggingkan sebuah senyuman kepada Rena.

Sementara itu Sagala tidak melanjutkan kalimatnya, ia justru sibuk dengan ponselnya. Namun tak lama kemudian Sagala menunjukan layar ponselnya kepada Rena.

“You know her, right?”

Napas Rena tercekat.

Tentu saja ia mengenal sosok yang ada di layar ponsel Sagala.

“T-tante Isa?”

Sagala mengangguk mantap. “Dia bunda aku.”

Isaura atau yang biasa dipanggil Tante Isa oleh Rena, merupakan sosok yang sangat memperhatikan Rena.

Semenjak kematian ibunya, Rena tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya lagi. Papanya, Adrian Antasena, memilih untuk sibuk mengurus gurita bisnis mereka. Mungkin itu adalah caranya untuk mengobati rasa kehilangan. Begitu pula dengan kakaknya, Audita Yona, yang sibuk mengejar gelar sub-spesialisnya.

Isaura-lah yang sering memperhatikan Rena. Walau tidak secara langsung.

Rena dan Isaura cukup sering bertemu, bahkan setiap hari mereka bertukar pesan. Entah sekadar Isaura menanyakan kondisi Rena atau Rena yang menanyakan kondisi Isaura.

“K-kamu serius?”

Sagala tertawa kecil, “Ngapain aku bohong, Ren? Emangnya Bunda aku nggak pernah cerita tentang aku?”

“Tante Isa sering cerita tentang anaknya. Dia bilang anaknya udah jadi orang sukses. Plus tante Isa bilang kalau anaknya kerja jadi-...”

“Penegak hukum.” potong Sagala.

Rena mengangguk.

Isaura selalu membanggakan putri satu-satunya. Namun ia enggan menyebut Sagala sebagai pengacara.

“Bunda nggak pernah mau nyebut aku pengacara, Ren. Karena kerjaan mantan suaminya juga pengacara. Aku dulu sempet berantem sama Bunda, karena aku ngotot untuk masuk fakultas hukum. Sedangkan Bunda gak mau aku masuk fakultas hukum. Mungkin takut anaknya jadi kayak mantan suaminya, after all buah jatuh nggak jauh dari pohonnya.”

Kini semuanya masuk akal di kepala Rena.

Ia ingat betul bagaimana Tante Isa selalu membanggakan putri tunggalnya. Dari penggambaran Isa, putrinya adalah sosok yang sukses dan cukup sibuk membela kebenaran dan membangun negeri ini. Ia juga ingat bagaimana Isa sempat bercerita kepada Rena tentang ke khawatirannya akan kesibukan putri tunggalnya.

Tante Isa sering khawatir melihat putrinya yang selalu kerja banting tulang. Bahkan Rena sangat ingat alasan mengapa ia mendonasikan lebih banyak dana kepada Tante Isa secara anonim, karena Tante Isa pernah bercerita kepadanya dengan ekspresi sedihnya tentang bagaimana seorang Isaura merasa bersalah kepada putrinya. Kesehatan Isaura yang terus menurun membuat putrinya harus bekerja lebih keras untuk membiayai pengobatannya.

Rena yang waktu itu mengetahui bahwa kondisi kesehatan Tante Isa sedang menurun, tanpa pikir panjang memutuskan untuk membantu Tante Isa sebanyak yang ia mampu. Ia tidak ingin kekhawatiran Tante Isa menambah beban pikirannya.

Jujur saja, awalnya Rena mengira putri dari Tante Isa adalah Jaksa atau Hakim karena Tante Isa selalu menyebut putrinya adalah penegak hukum. Rena pun tahu, jika seorang jaksa atau hakim bekerja dengan jujur, gajinya masih pas-pasan untuk menanggung biaya pengobatan tante Isa. Karena itulah Rena membantu Tante Isa tanpa sepengetahuan Tante Isa maupun putrinya.

“I’m so sorry for your loss, Sagala. Tante Isa orang yang udah aku anggap kayak mama aku sendiri. Sometimes, I miss her too. Aku shock banget waktu nemuin tante Isa pingsan di taman rumah sakit. Mungkin orang-orang ngiranya tante Isa lagi duduk di kursi taman dan suster kebetulan nggak ada yang nyadar juga karena kondisi tante Isa lagi membaik beberapa hari itu.”

Sagala buru-buru mengambil tisu untuk dirinya sendiri. Ia tidak menyangka bahwa hari dimana Rena akan membicarakan tentang Bundanya tiba secepat ini.

Rena menggenggam tangan kiri Sagala dengan erat.

“Tante Isa gak kesakitan kok waktu hari itu, Sagala. Semuanya berlalu cepet banget.”

Sagala menengadahkan kepalanya, berusaha membendung tangisnya.

“Jujur waktu itu aku sempet marah banget sama sosok anaknya tante Isa. Karena orang rumah sakit bilang anaknya nggak bisa dihubungin. Aku juga kecewa sama diri aku sendiri, gimana bisa aku nggak pernah minta nomor anaknya tante Isa. If only I had your number at that time.”

“A-aku….” ucapan Sagala terhenti. Ia menggigit bibirnya kencang.

“It’s okay Sagala, kalau kamu mau nangis sekarang giliran aku yang nemenin kamu.”

Sagala menundukkan kepalanya dalam-dalam. Namun Rena dapat melihat tetes demi tetes air mata membasahi celana Sagala.

Seorang Sagala yang selama ini terlihat kuat, hari ini terlihat sangat rapuh di depan Rena. Namun Rena juga memahami bagaimana rasa sakit ditinggal oleh sosok ibu yang sangat dekat dengan putrinya.

Tangan Rena menepuk-nepuk pundak Sagala dengan pelan.

“It’s okay Sagala….”

“B-bunda waktu itu nggak kesakitan kan?”

“Nggak, ga. Aku ada disamping tante Isa terus. Tante Isa ngedrop dan –....” Rena memilih untuk tidak melanjutkan kalimatnya.

“Everything went so fast. Dari waktu dimana aku nemuin tante Isa sampai akhirnya tante Isa pergi. Maaf banget aku nggak bisa datang pemakaman tante Isa karena aku udah diikat kontrak untuk kerjaan lain. Tapi hari itu aku udah titip pesan ke Kak Yona untuk urus semuanya.”

Sagala menarik napasnya dalam-dalam. Ia sempat terisak sejenak.

“I met her at the funeral.”

“Yeah, kak Yona nawarin untuk video call aku tapi aku nggak ngerasa sanggup. Aku harus kerja profesional, sementara kepergian tante Isa juga cukup berat buat aku. Tante Isa udah kayak mama aku sendiri, Sagala. Tante Isa selalu cerewet nanyain aku udah makan belum? Lagi apa? Sehat nggak?”

“Sounds like her.” tawa Sagala ditengah-tengah tangisannya.

“Kamu tau nggak? Di hari aku nemuin tante Isa di taman, hari itu sebenernya tante Isa mau ngasih kontak orang yang bisa bantuin aku. Kayaknya tante Isa mau ngenalin aku ke kamu.”

“Huh?”

Rena tersenyum, “Aku pernah nggak sengaja ketemu tante Isa, di Mall. Aku lagi sama Azkan. Malemnya tante Isa telepon aku dan nanyain apakah orang yang sama aku itu suamiku atau bukan. Ya aku jawab iya. Terus tante Isa nanya apakah aku bahagia sama suamiku atau nggak. Disitu aku nggak bisa jawab pertanyaan tante Isa.”

Ibu jari Rena mengelus punggung tangan Sagala dengan hangat. Ia sedikit tersenyum lega ketika menyadari bahwa Sagala sedikit demi sedikit mulai berhenti menangis.

“Sejak saat itu tante Isa jadi jauh lebih perhatian ke aku. Sampai suatu hari tante Isa lihat tanganku memar. Disitu tante Isa marah banget sama aku. Dia kecewa karena aku nggak pernah cerita kalau Azkan suka main fisik. Tante Isa yang dorong aku buat cerai. Kata tante Isa, diantara hubungan pernikahan yang udah nggak bisa diselamatkan, paling nggak aku harus bisa nyelamatin diri aku sendiri. She said I should love myself first and foremost. But few months ago, tante Isa ngelakuin sesuatu hal yang bener-bener bikin aku akhirnya mutusin untuk kontak kak Teira.”

“T-tapi Bunda kan udah meninggal-...”

“Hampir setahun yang lalu, I know. Habis tante Isa meninggal, aku juga sibuk sama kerjaan aku bolak balik pemotretan ke luar negeri jadi pikiran untuk cerai sempet hilang dari otak aku karena toh aku jarang ketemu Azkan karena kerjaan. But, this march. Ada kiriman bunga di hari ulang tahun aku. Lengkap sama kartu ucapan dan brownies kesukaan aku. Bunda kamu yang kirim itu, katanya udah dipesen dari November tahun lalu.”

“Bunda aku?”

Rena mengangguk, “Kalau kamu nggak percaya, aku bisa tunjukin kartu ucapannya. Disana tante Isa nanyain kabar aku dan apakah aku bahagia atau nggak. Terus tante Isa sedikit cerita tentang perceraian dia dan bagaimana dia jauh lebih bahagia walau cuma hidup berdua sama anak perempuannya. Tante Isa bilang kebahagiaan bisa dicari dimana aja dan sama siapa aja. Tante Isa juga bilang kalau aku perlu apa-apa, aku bisa cerita ke tante Isa dan dia bilang kalau tante Isa seneng bisa punya dua anak perempuan.”

Rena tersenyum ke arah Sagala dan disana Sagala bisa melihat air mata Rena tertahan di pelupuk matanya.

“That’s my last straw, Sagala. Aku udah hubungin kak Teira dari maret, beberapa kali kontakan untuk bahas perceraian aku. Tapi aku sendiri kepalang sibuk sama jadwal-jadwal aku dan baru dua bulan terakhir akhirnya bahas dengan serius.”

“I’m glad you did.”

“I know, i’m glad too and I can’t thank your mom enough. Mau cerita ke tante Isa juga aku nggak tau dimana makamnya.” senyum Rena.

“Kenapa nggak tanya ke kakak kamu?”

Mulut Rena ternganga, “Bener juga. Kok aku nggak kepikiran ya?”

Sagala dan Rena tertawa pelan.

“Tiga hari sebelum hari kematian Bunda, aku ditugasin jauh banget Ren, ke Papua. Disana lagi gencar proyek pembangunan pemerintah. Awalnya aku udah nolak untuk berangkat, memohon bahkan. Tapi kak Teira posisinya lagi ada urgent matters lain, jadi dia assign aku untuk kesana. Plus memang waktu itu aku lead timnya dan kak Teira ngejanjiin aku cuma pergi tiga hari aja. Akhirnya aku setuju.” ujar Sagala ganti bercerita.

“Flight direct ke Papua cuma sedikit. Ada satu yang berangkat tengah malam dan mendarat pagi jam tujuh waktu setempat. Kak Teira beliin aku dan timku tiket direct itu dan setelah mendarat tim ku langsung ke hotel. Kita mutusin buat istirahat karena siangnya mau langsung ngelihat pembangunan jalannya.” tambah Sagala.

Rena menyimak sembari terus mengelus punggung tangan Sagala. Berusaha untuk menenangkan Sagala yang nampaknya cara ini cukup efektif.

“Sampai disana aku baru tau kalau ternyata cuma ada satu provider yang bisa nangkap sinyal dengan cukup stabil. Jadi selama disana aku pakai nomor lain. Otomatis telepon dari rumah sakit nggak ada yang masuk ke handphone ku. Aku juga nggak ngerti kenapa nggak ada yang kirim chat ke aku, mungkin semua panik. The rest, you know it.”

“I’m so sorry, Sagala….”

“It’s okay, none of it is your fault. Aku malah berterima kasih banget karena kamu nemenin Bunda. Aku selalu ngerasa gagal jadi anak setiap inget kejadian itu. Masalahnya, aku nggak punya pilihan. Flight dari Papua ke Jakarta, yang direct di hari itu cuma ada satu. Jam sembilan dari sana dan landing jam dua belas disini. Aku bersyukur banget kak Teira dan kak Yona yang bantu urus pemakaman Bunda. Setelah landing aku langsung ke pemakaman dan itu saat terakhir aku lihat Bunda. I can’t touch her anymore, I can only see her from afar. That’s how I lost my world.”

“I understand, ga. I’ve been there, done that. Jadi sendirian itu nggak enak.”

“But you have your dad and your sister?”

Rena menggeleng, “I lost my dad and my sister, the moment my mom died. Cara orang mengatasi kehilangannya beda-beda dan papa maupun kak Yona memilih untuk menyibukkan diri mereka. Sometimes I feel kalau mereka menghindari aku, mungkin karena wajahku mirip mama banget.”

“Your mom is so pretty then.”

Rena tertawa, “Gak usah ngegombal! Lagi ngomong serius gini juga!”

“Aku ngomong jujur. Kalau kamu nggak cantik, gimana bisa jadi model dan finalis Miss Universe?”

Jawaban Sagala cukup membuat Rena tersipu malu.

“Apa karena itu kamu berusaha mempertahankan Azkan?” tanya Sagala.

“Mungkin?”

“Leave him, Ren. Not worth it. Someone else out there would be very lucky to have you, to become your lifetime partner.”

“Is it? Aku nggak yakin. Maksudku dengan ucapan kamu barusan that someone will be lucky enough to be my lifetime partner.”

“Hey, hey, Inget-...”

“Azkan brengsek dan dia yang salah. I know, i know.” potong Rena disambung dengan tawa dari Sagala.

“Tapi, ga…. Sorry banget, kalau gitu kamu ngambil kasus aku karena tau aku ini-...”

Sagala menggeleng cepat. “Awalnya aku ngerasa gitu. I feel indebted to you, but then the more I know about this case, the more I feel the need to make him pay. Selain itu aku juga mau mempermalukan orang lain.”

Kening Rena mengkerut tidak memahami ucapan Sagala.

“Mau denger TMI nggak?” tanya Sagala tiba-tiba.

“Awas ya dark jokes kayak waktu itu! Kaget tau aku pas kamu bilang mau bikin geng anak piatu!” protes Rena.

Sagala tertawa lebar, “Nggak kok.”

“Apa?

“Namaku, Sagala, itu gabungan nama kedua orangtua ku. Isaura dan Gala Abiseka.” ujar Sagala dengan santai sembari menunggu respon Rena.

“Gala Abiseka? Namanya kok agak familiar ya? Gala Abiseka…..Gala Abiseka….. Aku pernah denger dimana ya?”

Sagala tersenyum, membiarkan Rena terus-terusan mengali ingatannya. Kini Rena mengeluarkan ponselnya dan mencari nama Gala Abiseka di mesin pencarian.

“Gala Abiseka yang ini?!” tunjuk Rena pada layar ponselnya yang menampilkan foto Ayah Sagala beserta logo lawfirm yang dimiliki oleh Gala Abiseka.

“Bingo.”

“Wait, wait. Dia bukannya lawyernya Azkan?!”

“That he does. Hence why, Ren. I never pity you, I did it for myself. I wanna make Azkan pay for what he did. Also, I hate how dia ngambil case nya Azkan. Well, tukang selingkuh ngebantuin tukang selingkuh, what’s new sih? So, I wanna show my father that he sucks at what he did.”

Baik Sagala maupun Rena terdiam sesaat. Keduanya menyandarkan diri mereka pada kursi mobil Sagala dengan posisi miring, saling menatap.

Mata Rena memperhatikan wajah Sagala dengan seksama. Ia sudah mengetahui bahwa Sagala memang cantik, namun hari ini entah mengapa Sagala terlihat jauh lebih cantik dari hari biasanya.

Sedangkan Sagala, bertemu dengan klien-klien yang memiliki paras cantik ataupun menawan sudah merupakan hal lumrah baginya, namun sosok Rena memiliki auranya tersendiri dan Sagala baru menyadarinya hari itu.

Ia lagi-lagi memaki Azkan dalam hatinya. Benar-benar laki-laki bodoh.

Kemudian Sagala teringat akan penuturan Rena barusan. Hatinya terasa sangat lega. Setidaknya sang Ibunda pergi dengan damai dan tanpa rasa sakit. Baginya itu semua sudah lebih dari cukup.

“Sagala…” panggil Rena membuyarkan lamunan Sagala.

“Yep?”

Sagala sedikit kebingungan saat melihat Rena bertingkah cukup malu-malu dihadapannya.

“Can I ask for a hug?”

“Eh?”

“W-well, I think you need a hug right now. Maaf kalau keliatannya aku sok tau. Tapi I think you do.”

“Jadi yang mau minta peluk itu aku atau kamu?” goda Sagala.

“Jangan mulai nyebelin!”

Sagala tertawa namun tak lama kemudian ia menarik Rena ke dalam pelukannya. Tangan Sagala melingkar erat di bahu dan pundak Rena.

“Thank you, Ren.” bisik Sagala.

“You’re welcome. Feel free to hug me anytime you think you need it.”

110. Makan siang berdua

“Sagala!”

Mendengar namanya dipanggil, Sagala langsung menolehkan kepalanya dan melihat sosok Rena yang sudah melambaikan tangannya ke arah Sagala.

Sagala pun langsung mengucapkan terima kasih kepada pelayan yang tadinya akan mengantarkannya ke meja yang telah dipesan oleh Rena. Ia tidak perlu bantuan untuk menemukan Renata karena saat ini sosok yang ia cari sudah ia temukan, tersenyum sumringah ke arahnya.

“Sorry ya lama…”

Rena menggeleng, kemudian menunjukkan jam yang ada di ponselnya.

“Lima belas menit itu super cepet buat di kota ini.”

Sagala tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi putihnya. “Her gummy smiles is so beautiful” batin Rena.

“Makanya punya mobil mungil kayak punyaku! Bisa sat set sat set. Udah gitu gampang cari parkir lagi, apalagi karena yang nyetir cewek jadi bisa dapet ladies parking area.”

Rena tertawa. Sagala sangat bangga dengan mobil mungilnya itu dan entah kenapa menurut Rena hal ini merupakan salah satu keunikan lainnya dari Sagala yang cukup membekas pada diri Rena.

“Aku udah orderin buat kamu, kalau kamu nggak suka nanti kamu order lagi aja gimana?”

“Fine by me. Siapa tau selera kita sama lagi.” tawa Sagala.

“Hahaha right…. Sebenernya awalnya cuma mikir supaya pas kamu sampe, makanannya udah sampe juga. Kalau nunggu kamu sampe sini terus baru order, nanti aku nyita waktu kamu lama banget.”

Sagala mengibas-kibaskan tangannya, menyangkal ucapan Rena.

“Santai aja Ren, kan aku yang ngajak makan.”

“Abis kata kak Teira kamu tuh mageran gitu lho, ga. Plus kak Teira bilang kamu kadang lebih mending tidur daripada makan siang. Udah gitu kata Yesha kamu sibuk banget. Kan aku jadi nggak enak juga kalau kamu kelamaan keluar kantor?”

“Gak usah didengerin mereka tuh. Suka melebih-lebihkan aja.” tangkis Sagala.

“By the way, aku belum ngucapin terima kasih buat yang semalem. Makasih ya, Sagala. Agak malu sedikit sih, kamu udah liat aku nangis dua kali gini.” tawa Rena sedikit kikuk.

Sagala menepuk tangan Rena pelan walau ia awalnya sedikit ragu.

“Kejadian nggak enak gak usah diinget-inget. Oh! Atau kamu bisa chat aku, ketik Reg spasi lupa. Nanti dalam tiga detik aku bakal lupain kejadian-kejadian yang bikin kamu nggak enak.”

Rena terkekeh. “Emangnya ini film?”

“Well, maybe? Kehidupan ini sendiri kan satu skrip cerita yang ditulis sama Sang Pencipta?”

“Okay, selain suka politik, hukum, dan bisnis, ternyata kamu agamis juga?”

Sagala menggeleng cepat, “Mana ada. It’s just a basic philosophy. Lagian ya Rena, aku emang nggak terlalu suka nginget masa lampau. Sesekali boleh, tapi kalau udah terlalu sering itu nggak bagus. Mau denger satu adagium nggak buat hari ini?”

Rena berpura-pura mengerucutkan bibirnya, “Uhmm boleh deh sambil nunggu makanan.”

“Lex prospicit-....”

Sagala belum sempat menyelesaikan kalimatnya, namun Rena sudah lebih dulu memotong ucapan Sagala.

“….non respicit?”

“KOK TAU?!”

Reaksi Sagala yang sangat terkejut membuat Rena tersenyum bangga.

“Emangnya kamu pikir kenapa namaku Justicia?”

“Huh? Jangan bilang…..”

Rena tersenyum lalu mengangguk mengiyakan.

“Mendiang mama aku juga lawyer kayak kamu. Dari kecil aku sering liat mama kerja, nggak tertarik sih. Tapi sedikit-sedikit adalah yang aku ingat walau ya dikiiiit banget. Mama selalu bujuk aku buat masuk fakultas hukum tapi aku tolak. Aku lebih suka sama dunia modeling.”

“Whoaaa, new information. Okay noted, mantan calon anak fakultas hukum.” ceplos Sagala.

“Nggak lah Sagaaaa! Lagian aku dulu kadang suka bacain buku-buku mama karena keren aja gitu. Ditambah kalau mama pakai jubahnya itu, kayak film harry potter rasanya kalau liat mama pakai jubah pengacaranya itu. Dan yaaa, kadang bahasa-bahasa latinnya keren.”

“But still, kamu setiap hari bikin aku takjub. I love it when lawan bicaraku knowledgeable gitu. Bukan maksud gimana ya, kadang kalau aku ngomong serius gitu dikiranya aku yang sombong. Padahal emang yang lagi lewat di kepalaku ya itu?”

“Paham kok.” senyum Rena.

“Okay, berarti kamu tau arti adagiumnya dong?”

“Kalau kamu mau jelasin, aku lebih seneng lagi.”

Sagala menyipitkan matanya, “Ini pura-pura gak tau karena lagi ngetes aku ya?”

“Mana ada! Aduh gak mungkin lah aku ngetes lulusan Leiden dan Oxford??”

“LOH KOK TAU LAGI?!”

Kali ini tawa Rena terdengar lebih keras sampai-sampai mata Rena membentuk bulan sabit dan tangan kanannya menutupi mulutnya. Rena benar-benar terhibur dengan adanya Sagala dihadapannya saat ini.

“Background check dong! Bukannya lawyer harus selalu background check?” goda Rena.

Sagala mengerucutkan bibirnya kesal, “Ini pasti curang sih. Nanya ke kak Teira ya? Soalnya seingetku di website aku cuma nyantumin pendidikan terakhirku aja.”

“Aku tanya Yesha.” jawab Rena sembari menjulurkan lidahnya, berusaha membuat Sagala untuk lebih kesal lagi.

“Wah itu bocah udah bocorin apa aja ke kamu?”

Rena menggeleng, “You have a very very loyal junior. Aku mau kepo tentang kamu ke Yesha tapi dia nggak jawab banyak. Cuma info-info basic aja.”

“Alright, for this one aku percaya. Salah satu traits Yesha yang aku suka selain karena etos kerja dia, ya karena dia loyal banget.”

“You should reward her, seriously.”

“I did! Sering tau aku nge-traktir Yesha! Dia udah kayak adik aku sendiri. Oh! By the way! Adagium tadi sebenernya lebih sering dipakai di kasus pidana, it means that generally laws are deemed or presumed not to have retroactive effect. Jadi hukum atau peraturan itu sendiri nggak bisa diberlakukan surut.”

“Okay… bu lawyer, lanjutin.”

Sagala mendesis kesal mendengar Rena yang kembali menggodanya.

“Tapi aku kadang lebih suka suka liat literal meaningnya, hukum melihat ke depan, bukan ke belakang. Well, back to our previous topic. Kita harus melihat ke masa depan, bukan sibuk melihat apa yang ada di belakang. We live for today and tomorrow, not yesterday. Oh wow, did I just say that?” papar Sagala.

“Sounds so old doesn't it? Definitely, my younger self can’t say something like that.” tawa Sagala.

Satu lagi traits yang Rena temui dalam diri Sagala hari ini, Sagala adalah sosok yang dewasa dan bijaksana.

Dan di siang hari itu Rena menyadari bahwa berbincang dengan Sagala adalah hal yang menyenangkan baginya.

102. Sagala dan Sashi

Sagala berjalan dengan wajah yang sangat serius.

Beberapa junior maupun rekan kerja yang bertemu dengannya bahkan tidak mendapat teguran dari Sagala. Tentu saja mereka menangkap adanya kegentingan. Mungkin salah satu proyek yang dipegang Sagala, pikir mereka.

Tanpa mengetuk pintu sama sekali, Sagala langsung membuka pintu ruangan Sashi.

Pemilik ruangan tersebut mengalihkan pandangannya dari layar komputernya ke arah Sagala. Masih dengan ekspresi tenangnya.

“What happened? Kenapa lo masuk ruangan gue marah gini?”

Menghabiskan bertahun-tahun lamanya sebagai sahabat Sagala membuat Sashi dengan mudah membaca ekspresi maupun suasana hati Sagala dan kali ini Sashi menangkap adanya amarah pada diri Sagala.

“Tarik Karin sekarang.”

“Huh?”

“Tarik Karin sekarang, Sashi.”

Sashi sedikit keheranan dengan sikap Sagala. Bahkan ia merasakan bahwa Sagala tengah berusaha untuk tidak meninggikan nada bicaranya.

Menyadari bahwa rahang Sagala sedikit mengeras, Sashi kini menatap Sagala lekat-lekat.

“Tell me something that I don’t know and you do.” ujar Sashi sembari menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya.

Sementara itu tingkah Sashi justru membuat Sagala kesal. Ia merasa tidak dianggap serius oleh gestur tubuh Sashi.

“Azkan kemaren datengin apartemen Rena, Sas. Lo tau? Dia hampir nyakitin Rena lagi.”

Sashi menghela napasnya, “Okay, and then? I mean kita semua tahu Azkan orangnya violent.”

“That’s because he knew! He knew tim kita nguntit anaknya!”

“Kapan kejadiannya? Rena kabarin lo langsung?”

“Sore kemaren dan gue ada disana Sas! Lo tau, kalau gak ada gue, maybe Rena udah kena pukul lagi!”

Kali ini emosi Sagala tidak terbendung, sementara Sashi justru masih menanggapi Sagala dengan santai. Namun Sashi tidak bisa menyangkal bahwa dirinya kini justru berbalik khawatir.

“Sore? And why were you there? Why didn't you tell me right away? Lo tau kan dengan lo keep info penting kayak gini lo justru ngebahayain anggota tim?”

Sagala balik terdiam.

“Wen?”

Sagala menjatuhkan dirinya pada kursi yang ada tepat di hadapan Sashi. Ia mengusap wajahnya lelah.

“Sorry. Gue kemarin panik and after I went home, gue cuma mastiin kalau Rena baik-baik aja and work on my other task right away.”

“Kenapa Rena bisa ada sama lo?”

“Acara peresmian kemarin dia diundang juga. Kita ketemu disana dan Rena numpang mobil gue buat balik.”

Sashi mengambil ponselnya kemudian menelepon Karin langsung. Untungnya juniornya itu berkata bahwa ia sudah tidak membutuhkan informasi apapun dari sekolah keponakannya itu. Kemudian Sashi juga meminta Karin untuk segera kembali ke kantor dan untuk sementara waktu ia akan ditarik dari semua tugas lapangan.

“You are very lucky, Wen. Karin hari ini lagi nggak ngerjain tugas buat kasusnya Rena. Gue kecewa kenapa lo gak kasih tau gue atau kak Teira info sepenting ini?”

“Sorry Sas….”

“Why?”

“Ya gue panik? Gue khawatir aja Rena bakal diapa-apain sama Azkan karena Azkan bahkan ngancem Rena. Azkan bilang kalau sampai anaknya dia kenapa-kenapa gara-gara Rena, Azkan gak bakal tinggal diam.”

“Lo gak khawatir Karin diapa-apain sama Azkan?” selidik Sashi.

“Ya kan Karin udah kebiasaan tugas gini Sas. Lagian kenapa juga dia bisa teledor sampe Azkan notice Karin?”

Sashi menggelengkan kepalanya serta menghela napas panjang.

“Wen, bokapnya Rena bahkan kemana-mana bisa sewa patwal. Masalah gini doang ya, kalau sampai ke telinga bokapnya Rena, gue yakin dia bisa sewa bodyguard buat Rena. You got my point?”

“Ya mungkin aja Rena nggak enak buat bilang ke bokapnya?”

“And then? Is it our task to babysit her? To protect her from Azkan? Wen, lo sendiri yang bilang kalau kita ‘cuma’ kuasa hukum Rena.”

Sagala hanya mengendikkan bahunya.

“Wen, gue udah jadi temen lo lama banget. Gue tau lo banget, Wen. Sagala Wening yang gue tau sekarang udah dewasa. Bertindak tenang, nggak pakai emosi. Jangan balik ke Sagala Wening yang dulu, Wen.”

“Yeah, I know. Thank you for the reminder” ujar Sagala sembari memutar kedua bola matanya dengan malas.

Defensif.

Sashi menangkap adanya sinyal-sinyal defensif dari Sagala.

“Inget ya Wen, Rena sebatas klien kita. You didn’t owe her anything. Also, lo nggak perlu gue ingetin code of conduct kita sebagai lawyer dan peraturan di lawfirm ini kan?”

Sagala berdiri dari kursinya. Ia enggan mendapatkan nasihat-nasihat dari Sashi. Rencana awalnya adalah memprotes cara kerja tim Sashi, kenapa sekarang malah balik ia yang mendapatkan wejangan dari Sashi?

Melihat Sagala berniat meninggalkan ruangannya, Sashi semakin yakin bahwa Sagala berniat untuk menghindari dirinya.

“Wen, gue belum selesai ngomong.”

“Sibuk Sas.”

“Wen” panggil Sashi sekali lagi namun tidak digubris oleh Sagala.

“Sagala Wening…”

Tangan Sagala berhenti meraih pintu ruangan Sashi, sahabatnya itu sangat jarang memanggilnya dengan nama lengkap. Sementara itu Sashi menggunakan kesempatan ini untuk menyelesaikan kalimatnya.

“Gue harap lo tetap profesional okay? Or else, gue akan jadi orang pertama yang nyaranin lo buat dikeluarin dari tim. Gue udah pernah kehilangan lo sekali dengan lo dipindahin grup dari litigasi ke infrastruktur. Gue nggak mau harus kehilangan lo dari kantor ini.”

100. A shoulder to cry on

“Muat kan Sha?” tanya Sagala, kepalanya sedikit merunduk untuk melihat posisi juniornya yang duduk di kursi belakang.

“Aman kak.” jawab Yesha sembari mengacungkan ibu jarinya.

“Beneran Yesha? Atau kamu di depan aku yang di belakang?” tawar Rena.

“Muat kok kak. Aman seriusan. Kak Rena duduk depan aja sama kak Sagala.”

Rena tidak terlalu mempercayai ucapan Yesha, namun ia tidak mau memperlama perdebatan mereka. Akhirnya Rena menempati kursi penumpang di barisan depan.

“Kalau kamu kesempitan, bilang aja ya Yesha. Nanti aku majuin kursiku.” ujar Rena lagi.

“Iya kak, santai aja kok. Dulu juga pernah rame-rame sama kak Sashi begini.”

“Oiya bener juga. Dulu berempat gak sih bahkan? Sama kak Tei juga?” ujar Sagala dibalas anggukan Yesha.

“Berempat?!” pekik Rena terkejut.

Sagala menghidupkan mobilnya sambil tertawa.

“Berempat. Jadi waktu itu kak Tei lagi pengen nonton film hantu, tapi dia nggak berani sendirian. Akhirnya ngajak aku sama Yesha karena waktu itu emang lagi lembur bertiga. Pas turun ketemu Sashi di lift dan ternyata Sashi juga lagi pengen nonton film itu. Yaudah akhirnya berempat deh.”

“Gila…. Aku nggak nyangka mobil ini muat berempat.”

“Muat kok kak. Aku sama kak Sashi duduk belakang. Kak Tei di depan.”

“Ini kita ngedrop Yesha dulu nggak apa-apa ya Ren? Soalnya kalau drop kamu duluan malah jadi nggak searah.”

“It’s okay. Aku kan numpang.”

Mobil mungil Sagala perlahan meninggalkan area parkir stasiun. Di sepanjang perjalanan, Rena dan Yesha banyak berbincang-bincang terutama tentang fashion dan luxury brand. Sementara Sagala hanya ikut mendengarkan karena ia tidak begitu tertarik dengan topik pembicaraan.

Sesekali Rena menanyakan beberapa hal kepada Sagala agar sang pengemudi tidak terasa ditinggalkan oleh dirinya dan Yesha.

“Kalo mau ngomong sama Kak Sagala tuh topiknya yang serius-serius kak. Gossip mah mana mau dia.” goda Yesha.

“Heh! Gini-gini tetep tau gossip ya gue!” balas Sagala sembari melirik ke arah Yesha melalui kaca spion.

“Bohong tuh kak Rena! Orang pas pertama aja kak Sagala gak tau siapa kak Rena.”

“Yesha! Wah minta dikasih hukuman ini bocah!” panik Sagala. Ia tidak ingin Rena salah paham.

Rena tertawa melihat pertengkaran antara Sagala dan Yesha yang masih berlanjut. Ia cukup terkejut ketika menyadari bahwa hari ini ia banyak tertawa lepas, bukan tawa yang sengaja ia buat-buat.

Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dirinya bisa tertawa selepas ini.

“It’s okay… It’s okay. To be fair aku juga ngira Sagala anak magang.” goda Rena yang kali ini mengundang tawa Yesha yang mengingat betul pertemuan pertama mereka dengan Rena.

“Fine…. Fine…. Terus aja kalian godain.”

Rena dan Yesha terus tertawa melihat bagaimana Sagala sedikit merajuk.

Perjalanan mereka sore itu uniknya tidak memakan waktu terlalu lama, entah bagaimana tetapi jalanan masih belum begitu ramai. Bahkan Sagala merasa bahwa perjalanan sore hari ini lebih cepat dibandingkan dengan pagi tadi.

“Malem ini tidur aja Yes, gak usah dilemburin yang kerjaan itu. Mulai lagi aja besok.” ujar Sagala kepada Yesha saat ia menurunkan Yesha di kos eksklusif yang dihuni Yesha.

“Alhamdulillah, puji tuhaaan. Makasih lho kak.”

Sagala melambaikan tangannya, memberikan kode kepada Yesha untuk segera masuk ke gedung kosannya yang dibalas dengan acungan jempol dari Yesha.

“Kamu sama Yesha kayak tom and jerry ya?” tanya Rena.

Kini mobil Sagala kembali melaju membelah jalanan ibu kota.

“Banyak yang bilang gitu sih….”

“Takjub lho aku. Baru sekali ini ketemu lawyer senior se-laid back kamu, Sashi juga.”

“Banyak kok Ren yang laid back. Tapi mungkin kamu ketemu lawyer pas mereka lagi kerja, jadi keliatan serius aja.”

“By the way, story kamu kemaren itu. Kamu emang selalu nyetok permen?”

Sagala meringis, mengiyakan ucapan Rena.

“Astagaaa. Aku beneran kaget ketemu orang dewasa yang sesuka itu sama permen anak kecil.”

“Eh permen anak kecil tuh justru bervariasi dibanding permen orang dewasa yang pedes-pedes gitu. Ya walaupun aku punya sih, soalnya kadang suka kambuh sesak napasnya.”

“Asma dari kapan, ga?”

“Uhmmm, dari kecil? Cuma makin gede makin mendingan sih. Kecuali kalau lagi jelek banget polusinya, aku kumat.”

“Ya ampun… tapi kak Tei emang pernah cerita sih katanya kamu kadang sampe ngajuin kerja dari rumah?”

Sagala mengangguk.

“Aku kalau tumbang lama recoverynya, Ren. Sedangkan proyek yang aku pegang banyak.”

“Sampe pake inhaler gak kamu?”

“Pake. Di tas ku ada kalau kamu mau liat.”

Rena mengernyit, merasa bersalah. Ia mengingat bagaimana waktu pertama kali dirinya menumpang di mobil ini dan justru menempatkan Sagala di posisi yang membahayakan kesehatannya.

“Sorry ya, ga. Yang waktu itu aku ngevape disini.”

“It’s okay. Kamu nggak tau waktu itu.”

“Kalau ada apa-apa sama kesehatanmu, kabarin aku ya. Kakak ku dokter, ya bukan dokter spesialis paru sih. Tapi dia pasti punya temen yang spesialis paru.”

“It’s okay Ren. Santai aja. Also, aku kenal sama kakak kamu. Dokter Yona kan?”

Kepala Rena menoleh sempurna saat mendengar ucapan Sagala.

“K-kok tau? Kayaknya di berkas yang aku kasih gak ada info itu?”

“That’s another story for another day. Tapi yang jelas aku kenal kakak kamu, maybe bukan sebagai Sagala.”

Kening Rena mengernyit keheranan. Kakaknya adalah dokter subspesialis onkologi dan ginekologi, dimana Sagala bisa mengenal kakaknya? Apakah Sagala juga merupakan pasien kakaknya?

“Gak usah kepikiran Rena, aku nggak sakit yang kayak kamu bayangin kok.” ujar Sagala berusaha menenangkan Rena yang terlihat khawatir.

“I swear, that’s another story for another day. Maybe one day aku bakal cerita ke kamu. But for now, kamu harus pulang dulu buat istirahat.”

Rena tertegun mendengar ucapan Sagala. Namun tak lama berselang, ia memahami maksud ucapan Sagala. Tidak terasa, kini bangunan apartemen huniannya sudah nampak tidak terlalu jauh.

Mobil Sagala yang sudah dikenali oleh security dapat memasuki area apartemen dengan mudah. Ia berbelok ke arah parkiran tamu di tower apartemen yang dihuni oleh Rena.

“Kok parkir? Drop-off aja Sagala. Biar kamu bisa cepet istirahat.”

“Gak apa-apa Rena. Biar aku mastiin kamu safe and sound, liat kamu masuk tower atau sampai masuk lift kalau perlu.”

Rena terkejut mendengar ucapan Sagala.

Terakhir kali ia mendengar ucapan seperti itu adalah pada masa-masa ia berpacaran dengan Azkan. Bahkan di tahun pertama pernikahan mereka, kepedulian Azkan sudah cukup menurun jika dibandingkan dengan masa pacaran mereka.

Rena tiba-tiba merasa sangat bodoh. Mengapa ia tidak menyadari hal ini lebih cepat? Apakah ia terlalu dibutakan oleh perasaannya kepada Azkan?

“Ren? Gak turun?”

Sang model cukup terkejut ketika menyadari bahwa Sagala sudah memarkirkan mobilnya dengan sempurna. Rena kemudian segera turun dari mobil listrik milik Sagala dan berjalan berdampingan dengan Sagala ke arah lobby tower apartemennya.

Tanpa keduanya sadari, sosok Azkan sudah menunggu Rena di parkiran dan segera berjalan ke arah mereka berdua saat melihat Rena turun dari mobil pengacaranya.

Sementara itu, Rena yang sama sekali tidak melihat sosok Azkan cukup terkejut saat ia tiba-tiba ditarik dengan kasar hingga tubuhnya hampir terjatuh.

“Bangsat!”

Sagala dengan refleks menahan tangan Azkan yang hendak menampar Rena. Dengan sekuat tenaganya ia mendorong Azkan untuk menjauhi Rena.

“Hey! Azkan! Rena ini masih istri kamu! Gak cukup yang kemaren kamu udah ngelukain dia?!” sergah Sagala.

Kini Sagala sudah berdiri di depan Rena, memberikan jarak antara Azkan dengan Rena.

“Lo nggak usah ikut-ikut!”

“Ini jadi urusan saya! Sekali lagi kamu sentuh klien saya, saya akan ajuin laporan ke polisi! Visum yang kemarin masih ada di meja saya!”

Azkan menatap ke arah Sagala dan Rena penuh amarah.

“Brengsek ya lo Rena!” ujar Azkan sembari menunjuk ke arah Rena penuh amarah.

“Lo mau main kotor dengan nguntit anak gue?!”

“Nguntit apa sih kan?!”

“Gak usah sok gak tau!”

“AKU BAHKAN BARU TAU KAMU PUNYA ILLEGITIMATE CHILD ITU BEBERAPA HARI YANG LALU, AZKAN! KAMU BISA MIKIR SEDIKIT NGGAK SIH? JANGAN NGERASA AKU YANG JAHAT DISINI! YANG JAHAT ITU KAMU!” bentak Rena.

“Jauhin anak gue, Ren! Atau lo bakal nyesel!”

“Kamu pernah mikir nggak, kan? Anak kamu perempuan, she even shared the same birthday as mine. Kamu pernah mikir nggak kalau suatu hari nanti karma datengin anak kamu, kamu bakal gimana perasaannya? Anak kamu bakal gimana perasaannya?”

“SHUT UP RENA!”

“NO! YOU SHUT UP!”

“Lo denger ucapan lo barusan gak Ren? Nyumpahin anak kecil? Pantesan lo mandul! Nggak bisa punya anak! Bahkan gue gak yakin lo bisa jadi seorang ibu yang baik! Sampah!”

Emosi Azkan terlihat semakin tidak terjaga, membuat Sagala mulai panik. Jika ada Sashi yang bisa bela diri saja handphonenya sudah menjadi korban, bagaimana sekarang? Apakah dirinya yang akan menjadi korban?

Selain itu Sagala juga mulai melihat beberapa orang menatap ke arah mereka bertiga dengan penasaran. Tiba-tiba Sagala teringat akan pesan Teira yang meminta dirinya untuk sebisa mungkin menjaga kasus Rena agar tidak terendus media.

Jika begini keadaannya, bukan media yang akan memblow-up kasus Rena. Tetapi justru masyarakat luas. Apalagi dengan kekuatan internet saat ini, keributan seperti ini bisa dengan cepat tersebar.

“Azkan! Stop! Pergi sekarang atau saya telepon polisi! Sekarang orang-orang mulai merhatiin keributan ini. Kamu yakin mau buat semua orang tau kalau Javas Azkantara selingkuh dan punya illegitimate child?” desis Sagala.

Mendengar ucapan Sagala, Azkan melirik ke sekelilingnya dan mendapati bahwa apa yang dibicarakan oleh Sagala benar adanya.

“Anjing lo Ren. Inget kata-kata gue! Sampe lo sentuh anak gue, gue gak akan diem aja.” ancam Azkan yang kemudian meninggalkan Sagala dan Rena.

Sagala menatap Azkan dengan tajam, ia memperhatikan Azkan hingga laki-laki itu kembali ke mobilnya dan meninggalkan area parkir apartemen.

Sementara itu Rena masih mengepalkan tangannya, rahangnya masih mengeras. Ia sedang menahan amarah dan tangis.

“Ren?”

Rena tidak bisa menjawab panggilan Sagala. Ia takut saat ia membuka mulut maka ia akan menangis sejadi-jadinya.

Bertengkar dengan Azkan bukanlah hal yang jarang terjadi. Bahkan pria itu beberapa kali juga sempat main tangan.

Namun mendengar bagaimana Azkan memilih keluarga tidak sahnya, bagaimana Azkan menyumpahinya barusan benar-benar menusuk hatinya.

Tanpa Rena sadari, tetes demi tetes air mata turun membasahi pipinya.

Sagala yang tidak siap dengan kejadian ini hanya bisa terpaku. Namun ia secara refleks berjalan mendekat ke arah Rena.

“Rena… masuk apartemen dulu yuk? Jangan nangisin Azkan disini.” ujar Sagala yang tengah menyeka air mata Rena dengan ujung blazer yang ia kenakan.

Rena menggeleng pelan. Ia berusaha menarik napasnya.

“Yang tadi nggak usah didenger ya? Ucapan Azkan tadi ngaco semua.”

Sagala tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Sesungguhnya ia pun tidak tahu kalimat seperti apa yang bisa ia berikan kepada Rena sekarang, dengan kondisinya yang seperti ini. Ia dapat melihat bagaimana Rena tertunduk dan berusaha membendung tangisnya.

Bahu Rena bergetar.

Akhirnya Sagala menghela napasnya dan melakukan satu-satunya hal yang terlintas di kepalanya.

Sagala perlahan mendekati Rena dan memeluk Rena dengan erat, “It’s okay Rena, it’s okay. Kamu bisa nangis kok, kamu boleh banget nangis. Aku temenin. Tapi kita masuk apartemen kamu dulu ya?”

Ucapan Sagala dan pelukan hangatnya justru membuat tangis Rena pecah. Ia menangis sejadi-jadinya di pundak Sagala sore hari itu.

Sementara itu Sagala dengan sabar membiarkan Rena menumpahkan perasaannya. Ia juga bersyukur bahwa tidak banyak orang yang berlalu lalang sekarang.

Tangan Sagala mengelus-elus punggung Rena secara konstan.

“It’s okay… keluarin semuanya sekarang Ren. It’s okay. It’s fine, you’re only human.”

92. Wuuuush

Rena berjalan meninggalkan gerbong keretanya ketika ia melihat kesempatan dimana artis-artis dan influencer lainnya sedang sibuk merekam isi kereta maupun sibuk bercengkrama satu sama lain.

Dari awal gerbongnya dan gerbong manajer dari agensinya memang berbeda, jadi Rena tidak perlu susah-susah untuk meminta izin dari manajernya untuk sekadar menghilang sesaat dari gerbong yang ia tempati.

Sang model masih merasa penasaran apakah sosok yang ia lihat tadi memang benar-benar Sagala atau tidak.

Beberapa gerbong sudah ia lewati namun masih nihil. Kini ia berada di gerbong 5, Rena berusaha memperhatikan satu per satu penumpang yang ada.

Tepat di ujung gerbong, Rena bertatap mata dengan sosok yang ia ingat merupakan junior Sagala.

“Bu Rena?”

Rena tersenyum lega. Dugaannya memang tepat.

“Yesha kan?”

Yesha mengangguk.

Melihat gelagat bahwa Rena berkeinginan untuk duduk di dekatnya, Yesha mengangkat tasnya yang tadi ia taruh di bangku yang kosong di sebelahnya untuk memberikan ruang bagi Rena.

Seulas senyuman nampak pada wajah Rena diikuti dengan ucapan terima kasih.

“Kamu sendirian Yesha?”

“Oh nggak bu, sama Kak Sagala.”

“Jangan panggil ibu dong! Pakai kak aja kayak ke Sagala.”

Yesha tertawa kikuk. Sejujurnya ia juga agak bingung memanggil Rena apa. Namun karena Rena masih berstatus kliennya, ia memilih untuk menggunakan panggilan formal.

“Oiya, Sagala kemana? Toilet?”

Kini Yesha menggeleng, “Ada diskusi private sama bos-bos. Jadi aku ditinggal disini.”

“Aku temenin deh kalau gitu.” ujar Rena yang kemudian mendekatkan dirinya dan berbisik di telinga Yesha.

“Gerbong aku gak enak. Isinya artis sama influencer. Gak ada yang aku kenal. Heran juga kok aku bisa diundang, kan aku cuma model?”

“Ya kak Rena model tapi internasional kak! Udah gitu finalis Miss Universe.” tawa Yesha.

“Ya still, nothing special.” balas Rena sembari mengendikkan bahunya.

Rena melihat laptop yang ada di pangkuan Yesha. Ia kembali teringat bagaimana Sagala tempo hari melewatkan sesi rapat bersama dirinya.

“Lagi kerja Yes?”

Sebuah anggukan diberikan oleh Yesha. Namun ia kemudian menutup laptopnya untuk disimpan dalam tasnya.

“Dikit kak. Nyicil yang bisa dicicil aja sih. Semalem abis lembur sama Kak Sagala. Malem ini kalo bisa sih mau tidur cepet aja.”

“Sagala sesibuk itu?”

“Emang lagi banyak sih yang dipegang kak Sagala. Apalagi proyeknya kak Sagala kebanyakan proyek infrastruktur atau proyek transportasi, you name it hampir semua bentuk transportasi ada. Kereta? Ada. Bandara? Ada. Jalan tol? Ada.”

Rena mengangguk kagum. Ia berusaha untuk menyimpan informasi ini di dalam memorinya.

“Terus proyek apa lagi ya yang lagi on-going…… Oh! Itu proyek air minum terus pembangkit listrik. Kebanyakan proyeknya kak Sagala sekarang lagi kayak gitu sih kak. Kalau dulu ya kayak merger, akuisisi, spin-off perusahaan…..” lanjut Yesha.

Kendati Rena tidak begitu memahami alur percakapan, namun entah mengapa ia merasa kagum dengan penjelasan Yesha. Mungkin Selene ada benarnya, kasusnya yang remeh temeh ini seharusnya memang aman di tangan Sagala yang sudah menangani banyak hal-hal rumit lainnya.

“Kamu udah lama jadi juniornya Sagala?”

Yesha mengangguk mantap, “Dia mentor aku dari awal.”

“Sama Sashi juga?”

Kali ini Yesha menggeleng.

“Kak Sashi fokus ke litigasi kak. Kalau kak Sagala itu lebih ke transaksi-transaksi bisnis begini lah. Aku dari awal di plot sama kak Teira buat dimasukin ke grup nya kak Sagala karena katanya aku good looking.” tawa Yesha yang diikuti dengan tawa Rena.

Sejujurnya Rena setuju. Tim Sagala dan Sashi semuanya terlihat good looking, namun Sagala dan juniornya memiliki aura yang berbeda.

“Grup?”

“Oh itu maksudnya apa ya…. Pembagian spesialisasi gitu.”

“Omong-omong tentang Sagala, berarti kamu kenal banget dong sama Sagala?”

Kening Yesha sedikit mengkerut, bibirnya agak mengerucut. Yesha sedang berpikir keras untuk memberikan jawaban karena sejujurnya ia dan Sagala memang cukup dekat, namun Rena adalah orang asing bagi dirinya dan Sagala. Ia tidak tahu apakah Sagala akan cukup nyaman untuk dibicarakan seperti ini.

Pada akhirnya Yesha memilih untuk menjawab jujur dengan pertimbangan bahwa Rena adalah sosok yang dikenal dengan sangat baik oleh Teira.

“Kenal lumayan deket. Tapi yang paling kenal kak Sagala itu kak Sashi dan kak Teira. Katanya sih kalau kak Sashi itu udah temen dari kuliah, terus kalau kak Teira itu senior di kampus. Tapi Kak Sagala dan Kak Teira punya dua almamater yang sama. Mereka berdua lulusan Leiden dan terus lanjut ke Oxford. Kalau kak Sashi cuma sama-sama lulusan Leiden aja tapi terus dia lanjut Leiden lagi.” jawab Yesha.

“Oh wow….”

Yesha tertawa, rata-rata reaksi orang-orang ketika mengetahui latar belakang pendidikan senior-seniornya memang selalu memberikan respon kagum.

“Tapi Sagala emang orangnya gitu ya? Laid back banget? Jujur aku agak kaget pas pertama ketemu dia, bahkan dia berani gitu lho ke aku.”

Yesha kembali berpikir.

“Uhm… ya lumayan. Tapi tergantung sih kliennya siapa.” ujar Yesha yang kemudian mendekatkan diri ke arah telinga Rena.

“Kalo kliennya pemerintahan kayak gini, nanti kak Rena bakalan liat kak Sagala yang super sopan. Beda banget deh. Ntar liat aja sendiri. Mungkin karena kliennya fosil semua.”

Ucapan Yesha mengundang tawa Rena cukup keras. Rena buru-buru mengontrol tawanya, takut mengganggu penghuni gerbong lainnya.

“Kayaknya kak Tei nempatin kamu sama Sagala selain karena sama-sama good looking, tapi karena kamu juga orangnya asal nyeplos kayak Sagala.”

“Hehehe mungkin?”

“Uhmm, aku mau tanya satu pertanyaan lagi Yes. Boleh gak? Tapi kalau kamu gak mau jawab juga nggak masalah.”

“Huh? Apa tuh kak?”

“Kenapa Sagala against banget sama kasus aku? I mean, aku tau orang tuanya Sagala cerai karena alasan yang sama. Tapi dia bener-bener against banget sama kasus aku gitu lho? Aku mikir apa dia juga pernah diselingkuhin apa gimana? Soalnya Sagala pernah ngomong sesuatu ke aku yang bikin aku mikir kalau Sagala pernah ada di posisiku.”

Kali ini Yesha sedikit tertegun, ia ragu untuk menjawab pertanyaan Rena.

“Uhm… aku gak bisa kasih tau kak Rena karena ini privasinya kak Sagala. Tapi aku cuma bisa kasih tau aja kalau aku pribadi cukup kaget pas kak Sagala akhirnya mutusin untuk ikut di tim karena kasus divorce terakhir kak Sagala itu yang bikin kak Sagala dipindahin grupnya dan itu waktu kak Sagala masih di posisi junior baru mau naik jadi middle associate kayak aku. Walaupun aku berharap dia ikut, tapi aku awalnya cuma bercanda. Ya cuma kayak berharap pelindungku ikut aja gitu. I mean kan aku bukan anaknya kak Sashi atau kak Ninda.”

Jawaban Yesha cukup memberikan gambaran bagi Rena walaupun masih banyak tanda tanya dalam kepalanya. Namun Rena juga menghormati privasi Sagala, sehingga akhirnya ia menyudahi rasa penasarannya cukup sampai disana.

Tak lama berselang, sosok Sagala memasuki gerbong lima. Betapa terkejutnya ia saat melihat Rena sedang berbincang dengan Yesha.

Namun Sagala tidak langsung menyapa Rena dan Yesha karena ia memilih untuk mempersilakan orang-orang kementerian untuk kembali ke bangku masing-masing, sementara Sagala masih berdiri di dekat pintu gerbong.

Sagala berada di urutan paling belakang. Setelah kondisi lebih kondusif, Sagala menghampiri bangkunya dan Yesha.

“Rena?”

“Nah ini dia orangnya! Bener kan abis ngomong sama bos-bos.” ujar Yesha.

“Hi Sagala.” lambai Rena.

“Kok bisa disini sih? Kaget banget aku liat kamu lagi sama Yesha gini.”

Rena berdiri dari bangkunya, kemudian berbisik ke telinga Sagala. “Gerbong aku isinya artis sama influencer. Males.”

“Oh? Right…. Aku suka lupa kalau kamu model. Abis kamu jutek dan nyebelin dulu.”

Buk!

Satu pukulan mendarat di bahu Sagala.

“Kan aku bilang dulu, Ren!”

“Tetep aja!”

Sagala masih mengusap-usap lengannya, “Terus sekarang mau sama aku sama Yesha aja?”

“If you don’t mind. Disana aku nggak ada temen ngobrol.”

“I think it’s fine. Kamu bisa duduk di bangku aku.” ujar Sagala yang menunjuk kursi yang tadi ditempati Rena.

“Terus kamu dimana?”

“Gerbong ini gak diisi full kok. Aku bisa cari kursi yang kosong.”

“Aku ikut kamu aja deh, ga. Boleh nggak? Don’t take this personally ya Yesha, cuma aku ada beberapa hal yang mau ditanyain ke Sagala. Tentang kasusku.”

“It’s okay kak. Malah mending kak Sagala dibawa aja deh sama kak Rena. Soalnya kalau kak Sagala duduk sebelahku tuh pasti dia bakal ngomongin kerjaan ke aku! Kalau sama kak Rena, nanti aku bisa tidur tenang disini.”

Rena kembali tertawa sementara itu Sagala mendesis pelan ke arah Yesha.

“Nanti lo gak gue tumpangin pulang baru tau rasa.”

“Eh jangan gitu dong kak!”

“Yaudah nanti Yesha pulang sama aku aja.” goda Rena.

Sagala menggelengkan kepalanya, “Gak gak. Bercanda doang kok. Yaudah, kita cari kursi yang kosong aja yuk?”

83.

Sebuah ketukan pelan di pintu ruangan Teira menghentikan percakapan di antara Teira, Sashi dan Yesha.

“Sore bu Teira, bu Rena sudah hadir.” ucap sekretaris Teira.

Yesha secara otomatis menengok ke arah jam dinding. Rena datang lebih awal lima belas menit. Seingatnya Rena baru dijadwalkan untuk mengikuti rapat pada pukul empat sore.

“Oh okay, suruh masuk aja.”

Tak lama setelahnya Rena berjalan memasuki ruangan Teira. Ia mengulas senyuman kepada Sashi dan Yesha, lalu memilih untuk duduk tepat di seberang Sashi.

“Di jalan nggak macet Ren?”

Rena menggeleng, “Nebeng papa tadi, jadi pakai patwal makanya nggak macet.”

“Patwal?” celetuk Yesha keheranan.

“Papa kalau kemana-mana sewa jasa polisi pengawal itu. Time is money, katanya. Tadi dia mau berangkat ke embassy, ada undangan dinner atau apalah tadi papa sempet bilang. Mumpung searah, jadinya aku nebeng deh.” tawa Rena sedikit tersipu malu.

Yesha hanya bisa mengangguk pelan meskipun sebenarnya ia ingin menganga tidak percaya.

“Well, okay kalau gitu sekarang kita mulai aja. Lebih cepat mulai, siapa tau jadi lebih cepat selesai.” ujar Teira.

Rena menatap Teira sedikit kebingungan, pasalnya ia hanya melihat Sashi dan Yesha di dalam ruangan ini. Tidak ada kehadiran Sagala disana.

“Sekarang? Timnya udah lengkap? Atau nanti ada yang bakal nyusul lagi?” tanya Rena.

“Sudah. Beberapa anggota tim berhalangan hadir karena ada keperluan untuk kasus lainnya. Don’t worry, Ren. Sekarang ada Yesha dan kak Teira, cukup kok untuk pembahasan hari ini.” terang Sashi.

Rena menerima penjelasan Sashi. Ia paham seorang pengacara pasti sangat sibuk, hanya saja ia sedikit merasa kekosongan dengan tidak hadirnya Sagala pada sore hari itu. Padahal ia sudah sangat menunggu paparan Sagala.

Sashi mengangguk ke arah Yesha, memberikan tanda kepada Yesha.

Yesha menyodorkan sebuah dokumen yang tidak begitu tebal kepada Rena. Sang model hanya menatap ke arah dokumen tersebut dengan ekspresi yang sulit digambarkan. Pada akhirnya Rena hanya menghela napasnya.

“Well, kalau mau dijelasin sekarang silakan.” ujar Rena

“Secara keseluruhan, bukti-bukti yang kita dapatkan sudah semakin bertambah dan saling melengkapi. Sidang lusa kita bakal kasih jawaban atas sanggahan dari tergugat, timnya Azkan. Dokumen udah ready dan udah dapat approval dari kak Teira. Untuk bukti-bukti lainnya kita buka di sidang lain.”

Rena mengangguk, memberikan tanda bagi Sashi untuk melanjutkan pemaparannya.

“Sebagai lead, aku nggak menyarankan Rena untuk membaca semua isi dokumennya. Walaupun secara teknis, boleh aja kalau Rena mau baca isi dokumennya.”

“Nope, I won’t spend my time reading about his infidelity.”

“Guess so too. Aku dan Sagala juga udah discuss tentang hal ini. Akhirnya kami berdua sepakat untuk bikin summary aja supaya Rena tahu kemana arah yang dituju oleh tim. Semisal ada hal-hal yang kurang dan mau Rena tambahin nantinya, we’ll open to any input.”

“Ini hasil diskusi sama Sagala?” tanya Rena merefer pada dokumen yang ada di tangannya.

Sashi mengangguk, “Itu beberapa saksi kunci yang sudah tim pilah dan pilih. Nggak semua bukti-bukti ada disitu karena dokumen di tangan kamu cuma summary aja.”

Rena menarik napasnya panjang berusaha menenangkan dirinya. Ia kemudian membuka lembar demi lembar. Napasnya sedikit tercekat ketika melihat beberapa foto yang cukup menyakiti hatinya.

Foto Azkan bersama anak perempuan dan seorang wanita yang Rena kenali. Foto di hari ulang tahun anak Azkan.

“I-ini…”

“I’m so sorry Rena…” ucap Teira.

Tangan rena mengepal keras. Sekarang ia paham mengapa Azkan sangat sulit merayakan ulang tahun dirinya selama pernikahan mereka. Usaha yang Azkan berikan hanya sebatas dinner bersama namun selebihnya pria itu selalu menghilang di hari ulang tahun Rena.

Rena dan anak perempuan itu memiliki tanggal ulang tahun yang sama. Azkan lebih memilih keluarga tidak sah nya dibandingkan dengan Rena.

“Kita paham ini berat untuk kamu Ren, kalau kamu mau kamu bisa percayakan semuanya ke tim. Aku yang supervise langsung tim ini dan akan mastiin semua berjalan lancar.” ujar Teira sembari berusaha membaca raut wajah Rena.

Rena menggeleng, ia melanjutkan melihat lembar demi lembar ringkasan yang sudah disiapkan oleh Sagala untuk dirinya.

“Feeling aku bener waktu itu? Azkan beneran selingkuh sama lawan main dia?” sarkas Rena.

“Ini bank statements punya cewek itu?” lanjut Rena.

“Sagala berhasil bujuk aktris ini untuk kasih bukti bahwa Azkan transfer sejumlah uang ke dia. Aku pribadi nggak tahu gimana cara Sagala untuk bujuk, tapi bukti ini cukup untuk menguatkan dalil kita dan nunjukin kalau Azkan memang nggak punya itikad baik.” jawab Sashi.

Rena tertawa, “Kalau dia punya itikad baik, dari awal dia gak bohong kalau dia udah punya anak dan malah nikahin aku. Kalau dia punya itikad baik, dari awal dia nggak bakal selingkuh.”

Yesha hanya bisa melirik ke arah Sashi yang kemudian menggeleng ke arah Yesha. Memberikan tanda untuk tidak berkomentar sedikit pun.

“Azkan kirim uang supaya selingkuhan-selingkuhan dia bungkam?”

“Asumsi ku dan Sagala seperti itu.”

“Who the fuck did I marry?” ujar Rena pada dirinya sendiri. Ia kemudian menatap ke arah Sashi dengan penuh amarah. “Kalian yakin bukti ini bisa dipakai di persidangan?”

Sashi mengangguk mantap, “Bisa. Untuk bank statements itu bahkan Sagala udah buat surat pernyataan kalau aktris itu nggak dalam tekanan apapun dan memberikan copy bank statements secara sukarela. Dia juga bersedia untuk dijadikan saksi di persidangan, i think aktris ini beneran menyesal sekarang. Oh, in fact, ada titipan dari Sagala.”

Sashi menyodorkan secarik kertas ke arah Rena.

“Sagala titip pesan, kemarin waktu dia ketemu aktris itu dia sempat ngobrol cukup banyak kayaknya. In the end, aktris itu mau minta maaf secara personal ke kamu. Ini nomor telepon dia, kalau kamu mau ketemu bisa telepon ke nomor ini.”

Rena merobek-robek kertas yang diberikan oleh Sashi dan menaruh sobekan kertas itu di atas meja.

“Terlambat, aku harap dia bakal merasa menyesal seumur hidupnya.”

74. Permen Milkita

Rena yang sedang sibuk melihat ponselnya sedikit terperanjat ketika tiba-tiba seseorang duduk di sebelahnya. Namun raut wajah khawatirnya berubah drastis ketika ia mendapati Selene tengah tersenyum lebar ke arahnya.

“Gue kangen banget sama lo kaaaak!” ujar Selene sembari memeluk Rena dengan sangat erat.

Rena hanya tertawa dan membalas pelukan Selene.

“Apasih? Kan kita sering chattingan?” tawa Rena.

Selene melepas pelukannya pada Rena, berusaha menginspeksi tubuh Rena dari atas ke bawah.

“Tapi kita udah lama nggak ketemu! Kak Rena kan juga kemaren-kemaren di luar negeri mulu!“ balas Selene.

Rena kembali tertawa, “Mumpung lagi ada tawaran job gue ambil semua, Sel. Lagian abis kasus gue selesai, kayaknya gue mau healing dulu deh. Nggak mungkin gak ke blow-up, even if orang-orang taunya setelah putusan cerainya keluar.”

Selene mengelus tangan Rena sebagai bentuk memberikan semangat.

“How do you feel, kak?”

“Honestly? I don’t know anymore. Tiga tahun gue berusaha tutup mata dan telinga, berharap Azkan balik kayak dulu tapi gue terlalu naif. Gue udah gak inget Azkan yang dulu gue nikahin kayak apa dan gue baru sadar kalau Azkan bahkan udah gak sayang gue lagi.” ujar Rena menghela napasnya, ia kemudian tersenyum singkat.

Terlihat adanya guratan-guratan kelelahan pada wajah Rena. Selene lagi-lagi hanya bisa memberikan semangat kepada Rena, ditepuknya punggung tangan Rena pelan.

“Kalau lo butuh temen curhat atau sekedar nemenin lo ngapain gitu, kabarin gue ya kak?”

“Thanks, Sel.”

Selene tersenyum kembali ke arah Rena. Ia kemudian mengambil ponselnya untuk memindai QR code yang berisikan menu restoran tersebut.

“Karena gue baru naik pangkat, lo gue traktir deh kak.”

“Hah?”

Selene mengibaskan rambutnya kemudian memberikan kartu namanya kepada Rena, kartu nama serupa dengan yang juga ia berikan kepada Sagala.

“Tadaa!”

“Ya ampun! Anak bawang sekarang udah gede banget!” tawa Rena.

“Yeee! Gue aja bahkan badannya udah lebih gede dari lo sekarang kak.”

Rena memukul lengan Selene sebagai bentuk protes karena Selene selalu membawa masalah tinggi tubuh disaat-saat seperti ini.

“By the way! Kok tumben sih lo milih duduk di non-smoking area? Tadi tuh gue langsung nyari lo di area luar situ tuh.”

Rena hanya mengendikkan bahunya.

“Lo gak bawa pods lo atau pods lo ikut ketinggalan di rumah lo sama Azkan?” cecar Selene.

“Nggak kok. Nih ada di tas. Lagi nggak mau aja ngepods.” jawab Rena santai

“Tumben. Ya tapi bagus deh, udah sampe berbusa-busa gue ngingetin lo supaya berhenti.” sindir Selene

“Lagi gak pengen aja, mau nyoba yang lain.”

“Awas ya lo sampe aneh-aneh kak. Gue aduin ke kak Yona atau kalo perlu gue aduin ke Om Anta.” ancam Selene.

“Jangan gitu dong. Lo aduin gue ke kak Yona masih gak masalah, tapi kalo ke bokap gue bisa kena serangan jantung dia. Tega lo sama gue.”

“Ya makanya stop kak. Stop.”

Rena memutar kedua bola matanya malas. Ia kemudian mengeluarkan permen milkita dari tas yang ia bawa.

“Nih, gue nyoba makan permen aja. Who would have known kalau ini permen anak kecil ternyata enak juga?”

Selene mengamati permen milkita yang ada di meja. Alisnya terangkat keheranan.

Satu-satunya orang dewasa yang ia tahu sangat suka memakan permen milkita hanyalah Sagala. Apakah permen ini ada hubungannya dengan Sagala atau hanya sebuah kebetulan semata?