youngkimbaeson

70. Sagala dan Rena

Entah apa yang ada dipikiran Sagala.

Ia pun berkendara sambil terheran-heran. Kenapa juga ia keluar rumah malam-malam hanya untuk memastikan bahwa Rena baik-baik saja?

Dengan pakaian seadanya Sagala keluar rumah dan melajukan Evy ke arah apartemen Rena. Ia melirik ke arah bangku penumpang dimana ia menaruh asal satu kantung plastik milkita miliknya.

“Sagala Wening lo kenapa deh?” gerutu Sagala.

Namun tetap saja Sagala melaju dengan kecepatan konstan.

Setelah beberapa kali terlihat mengunjungi tower apartemen yang dihuni Rena, kini satpam pun sudah mengenali mobil listrik milik Sagala.

Ia melambaikan tangannya pada satpam yang sedang berjaga lalu mencari tempat parkir yang kosong di dekat tower yang dihuni Rena.

Keuntungan mobil mini, ia lebih mudah mendapatkan slot parkir. Seusai memastikan bahwa mobilnya terparkir dengan rapi, Sagala berlari kecil ke arah lobby tower hunian Rena.

Tak lupa tangan kirinya membawa kantung milkita yang ia bawa dari rumah sedangkan tangan kanannya menelpon Sashi.

“Halo Sas? Udah sampe?”

“Sampe mana sih Wen maksudnya?”

“Apart Rena?”

“Udah daritadi. Rena udah gue drop tadi. Sekarang gue balik apart gue.”

“Okay. Hati-hati di jalan ya. Besok lo selesaiin yang sama Kak Teira aja. Gue yang di assign sama Ale.”

“Iya, tadi gue udah di infoin kak Tei. Gue tutup ya telponnya. Bye Wen.”

Setelah sambungan teleponnya terputus, Sagala menatap layar ponselnya yang menunjukkan ruang chat pribadi antara dirinya dan Rena.

Sekarang dirinya merasa konyol sendiri, berdiri di taman yang ada di dekat tower yang dihuni Rena dengan satu kantung plastik milkita yang ia bawa.

Sagala mengurungkan niatnya untuk menelpon Rena. Besok hari senin, walaupun ia tidak mengetahui jadwal kerja Rena tetapi Sagala berasumsi bahwa semua orang benci hari senin. Jadi lebih baik ia membiarkan Rena beristirahat karena dirinya pun butuh istirahat.

“Sagala?”

Sagala memutar tubuhnya ke arah sumber suara. Ia cukup terkejut saat melihat bahwa tak jauh dari tempatnya berdiri, ada Rena yang masih dengan balutan setelan dress berwarna hitam dan pouch bag berwarna senada.

“Kamu nggak langsung naik ke atas?”

Sebuah pertanyaan konyol karena nyatanya Rena berada di taman bersama dirinya.

Rena menggeleng. Tangan kirinya perlahan disembunyikan di belakang tubuhnya.

Gerak gerik Rena ditangkap oleh Sagala. Ia sudah dapat memprediksi apa yang Rena sembunyikan di tangan kirinya.

Sang pengacara menghela napasnya. Tangan kirinya ia sodorkan ke arah Rena.

“Barter sama yang ada di tangan kiri kamu.”

“H-huh”

“Pilih baik-baik apa aku ambil paksa? Berapa kali aku bilang sih Ren? Gak baik buat kesehatan kamu.”

“Iya kan buat aku aja? Gak ada hubungannya sama orang lain, Sagala. Let me have this one. I don't have anyone to share my burden with. Seenggaknya barang yang kamu benci ini bantu aku sesaat.”

Sagala terdiam. Ia sangat risih dengan jawaban Rena barusan.

“Tawarannya aku naikin kalau gitu. Barter pods kamu sama permen aku, plus aku janji bakal dengerin keluh kesah kamu. Anytime. Ya, kecuali kalau aku meeting sama klien.” tawar Sagala lagi.

Kening Rena mengerut. Ia sudah lupa kapan terakhir kali ada orang yang peduli akan dirinya. Kini seorang Sagala, sosok orang asing yang notabenenya 'hanya' pengacaranya, tiba-tiba datang dan memperlihatkan bahwa ia peduli.

Rasanya aneh.

Moodnya sudah acak-acakan sejak insiden tadi. Tanpa perlu dibuat kebingungan oleh sikap Sagala, mentalnya sudah sangat lelah.

Perlahan ia dapat merasakan pelupuk matanya memanas.

Akhirnya Rena melakukan satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang untuk menutupi tangisannya.

Ia berjongkok, memeluk dirinya sendiri. Menutupi wajahnya agak tidak bisa dilihat oleh Sagala.

Sagala sendiri cukup terkejut dengan tindakan Rena. Ia ikut berjongkok dan berusaha mengguncang tubuh Rena pelan.

“Ren…. Jangan nangis Ren… Sumpah aku bingung banget cara nenangin orang nangis gimana...”

“Stop Sagala… Aku capek. Stop… Just stop showing your fake sympathy. Kamu nggak perlu segininya banget untuk nge treat klien kamu…”

Sagala terdiam.

Ia kembali merasa tertuduh. Namun ia tahu, saat ini Rena sedang dalam kondisi kelelahan. Apa yang keluar dari mulut Rena kemungkinan besar tidak bermaksud untuk diutarakan.

“Es krim yuk Ren. Aku kalau badmood biasanya makan eskrim. Aku traktir deh. Mcflurry?” ujar Sagala yang masih berusaha membujuk Rena.

Usaha Sagala nampaknya masih belum berbuah apapun karena Rena masih tidak bergeming. Sagala pun akhirnya memilih untuk duduk di jalan setapak, tetap menemani Rena.

Sagala membiarkan Rena untuk menangis sejenak, sementara ia hanya melirik sesekali untuk memastikan bahwa Rena masih ada didekatnya.

“Kalau lagi kayak gini ya Ren, aku selalu keinget nasihat bundaku. Sakit hati itu wajar, yang gak wajar kalau kita terlalu lama ngebiarin sakit hati itu menggerogoti diri kita. Sampai kita lupa diri. Sebagai perempuan, emang kita lebih sering pakai perasaan. Tapi, ada adagium Cogito Ergo Sum. Aku berpikir, maka aku ada. Yang bedain manusia sama makhluk ciptaan tuhan yang lainnya ya karena manusia punya akal pikiran.” ujar Sagala sembari menepuk-nepuk bahu Rena yang masih bergetar.

“Sorry kalau keliatannya aku noisy banget. Aku juga gak paham kenapa. Oh, tapi-tapi, ada satu adagium lagi yang cukup penting. Opto Ergo Sum.”

“Aku memilih maka aku ada.” potong Rena yang perlahan mengangkat wajahnya.

Mata Sagala membulat mendengar jawaban Rena. Namun tak lama kemudian Sagala tersenyum lebar.

“Gak salah kamu jadi sepuluh besar Miss Universe. Pinter juga.” ledek Sagala.

Rena mendorong bahu Sagala dengan kesal.

“Jadi selama ini kamu mikir aku bodoh?”

“Bodoh sih nggak, nyebelin aja. Eh tapi bener jawaban tadi! Manusia gak akan pernah lepas dari pilihan yang ada dan kewajiban untuk memilih. Tinggal gimana kamu mau ambil pilihan yang baik diantara yang buruk. Contohnya, vape sama permen sama-sama buruk kan? Tapi masih lebih mending permen.” bujuk Sagala.

Rena menyeka sudut matanya yang masih basah. Sementara Sagala sengaja memalingkan wajahnya. Ia rasa Rena akan lebih senang jika diberikan sedikit privasi.

Mata Sagala kembali membulat ketika ia mendapati Rena menarik plastik berisikan permen milkita yang tadi ia tawari. Kemudian Rena menarik tangan Sagala dan memberikan podsnya.

“Kamu tadi janji barter dan dengerin keluh kesah aku. Gak boleh bail.”

Sagala tersenyum lebar. Misinya berhasil!

“Mau eskrim nggak?”

61. Makan Malam

Rena kembali tertawa saat melihat pelayan menaruh pesanan miliknya dan Sagala di atas meja.

“Selamat makan” ujar Sagala.

“Aku nggak nyangka pesenan kita sama persis. Cuma beda di minuman aja. Sumpah tadi aku kira pas kamu nge-order itu kamu lagi orderin buat aku.”

Sagala tertawa, “Sorry ya Ren, kalau udah urusan perut sih urusan masing-masing ya. Kalau aku salah pesen terus kamu alergi kan bahaya.”

“Ya bener sih. Tapi nggak nyangka aja bahkan pilihan dagingnya sampe sama.”

“Hmm this or that. McD atau A&W?” tanya Sagala sambil mengiris steaknya.

“A&W! Aku suka banget wafflenya! Jangan bilang kamu milih A&W juga?”

Sagala hanya memberikan senyuman dan anggukan yang lagi-lagi membuat Rena tertawa.

“Okay gantian aku, hmm Dunkin atau J.CO?”

“Dunkin. I like it original and simple.” jawab Sagala.

“Ya ampun Sagaaa! Aku juga lebih suka Dunkin. Apalagi browniesnya itu.”

“Curang, ikut-ikutan.” ujar Sagala iseng.

Rena memukul bahu Sagala sebagai bentuk protes.

“Mana ada! Yaudah tes terakhir nih. PH atau Domino? Jawab barengan ya… 1…2…3…”

“PH”

“PH”

Kali ini keduanya tertawa bersama. Sagala meminum milkshake oreo miliknya sejenak. Kemudian ia menaruh pisau dan garpunya, tersenyum ke arah Rena.

“Kamu dikasih contekan sama Kak Teira ya?”

“Nggak lah!” geleng Rena yang kini gantian meminum milkshake strawberry miliknya.

Rena mendesis pelan ketika secara tidak sengaja sedotannya mengenai bekas luka di sudut bibirnya.

“Pelan-pelan Ren…”

“It's okay kok.”

“Sakit banget gak?”

“Sekarang sih nggak terlalu, kemaren ya sakit.”

Sagala terdiam. Ia paham maksud Rena. Sedangkan Rena hanya mengulas senyum singkat.

“Sagala, boleh jawab jujur nggak?” tanya Rena.

“Depends, apa dulu pertanyaannya?”

Rena menggigit bibir bawahnya sejenak sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menanyakan rasa penasarannya.

“Tadi kalian lagi bahas kasus aku kan? Sebelum aku masuk ruangan kak Tei.”

Sagala mengangguk.

“Azkan… Kalian udah dapet apa aja tentang dia?”

Sagala menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Menimbang-nimbang sejauh apa ia boleh menjawab pertanyaan Rena.

“Cukup banyak.” ujar Sagala singkat.

“Dia beneran udah punya anak sama orang lain?” tanya Rena.

Kali ini pertanyaan Rena cukup membuat Sagala terkejut. Pasalnya timnya belum berencana untuk membuka informasi ini kepada Rena. Selama ini ia hanya mengira bahwa Rena cuma tahu fakta bahwa Azkan berselingkuh.

Diamnya Sagala dianggap Rena sebagai jawaban afirmatif atas pertanyaannya. Rena mengaduk-ngaduk minumannya dengan ekspresi yang sulit diartikan oleh Sagala.

“Apa dia selingkuh karena aku nggak bisa ngasih keturunan ya, ga?” tanya Rena pada Sagala.

“Nggak pernah ada alasan pembenaran untuk berselingkuh Ren.”

“Tapi mungkin kalau aku dan Azkan punya anak, mungkin dia nggak gini?”

“Ren, coba kita pikir dari sudut lain ya? Gimana misal kamu punya anak dan Azkan tetap selingkuh? I tell you sebagai orang yang ngalamin langsung, nggak enak Ren punya ayah tukang selingkuh.”

Rena terdiam. Ucapan Sagala sangat benar. Tidak ada yang bisa menjamin Azkan tidak berselingkuh walaupun mereka mempunyai momongan. Mungkin Rena justru akan merasa sangat berdosa karena telah membuat anak yang tidak punya salah apapun untuk ikut menanggung beban mental ini.

“Kita nggak pernah bisa memilih untuk lahir dari orang tua yang kayak apa, Ren. Mau denger cerita sedikit nggak?”

“H-huh?”

“Terlahir di keluarga yang nggak utuh itu nggak enak banget. Waktu kecil kadang dapat tatapan iba, kadang dapat tatapan nyinyir. Pas udah dewasa yang ada cuma amarah. Aku hampir kehilangan pekerjaanku karena amarah itu, untung ada kak Teira waktu itu. Walaupun endingnya aku dipindahin sama Pak Ares. Dulu banget aku satu tim sama Sashi.”

53. Call a Truce

Dengan adanya insiden kemarin, Sashi berniat untuk mempercepat semua proses pengumpulan bukti. Posisi tim mereka berada di atas angin saat ini.

Walau demikian, Sashi tetap bersikukuh untuk mendapatkan informasi tentang anak di luar nikah hasil perselingkuhan Azkan. Jika ia mendapatkan bukti itu, ia rasa tamat sudah perjuangan musuhnya.

Hari itu Sashi mengadakan meeting lagi dengan timnya, kali ini Teira memimpin langsung.

“Om Anta udah kasih greenlight ke aku. Dia bilang keselamatan Rena nomor satu. Jadi dia udah nggak peduli kalau kasus ini bakal narik perhatian media.” ujar Teira.

“Kasus KDRT-nya gimana? Kita majuin ke polisi juga kan?” tanya Sagala.

“Kita tunggu keputusan Rena. Hari ini dia mau kesini katanya.” jawab Teira.

“Lo approach dia lah kak. Kasih pengertian. Bujuk supaya masukin laporan polisi. Ini nggak main-main lho kak? Azkan gorila itu gila banget.”

“Sabar Wen. Rena juga kan baru terguncang, lo nggak bisa mikir dengan jalan pikir lo sebagai lawyernya. Pikirin Rena yang sekarang posisinya jadi korban.” potong Sashi.

“Bukan gitu Sas. Semakin lama lo ulur, semakin lo ngasih waktu ke timnya Azkan buat cari celah. Kita gempur sekarang biar mereka gak fokus dan kewalahan.”

“Gue setuju, tapi balik lagi Wen. Kita cuma kuasa dari Rena. Kita gak bisa memutuskan sendiri. Kasih saran is one thing, memutuskan is another thing.” balas Sashi.

“Aduh pake segala video kemaren ternyata nggak kekirim ke Yesha lagi.” dengus Sagala.

“Gak ada kak. Suwer gue udah check whatsapp dari lo nggak ada sama sekali.” ujar Yesha.

“Yaudah yang lewat jangan kelamaan dipikirin. Sekarang moving forward, kita ada amunisi apalagi?” tanya Teira pada forum.

“Karin sama Yesha bilang mereka dapet sesuatu. Ale juga.” ujar Sashi.

“Okay? Apa?”

“Jadi kakak gue baru inget kalau anaknya si Azkan ini, ulang tahun kemaren maret. Dirayain, di rumah anaknya. Perayaannya tertutup jadi emang cuma beberapa orang doang yang di undang. Nggak ada terlalu banyak foto, tapi ada satu foto yang nunjukin kalau Azkan dateng kesana.”

“Wah brengsek banget ini orang. Selingkuhnya udah terang-terangan.” ujar Sagala.

Teira mengabaikan sumpah serapah Sagala. Ia menatap foto yang ditampilkan pada layar.

“Nggak cukup kata gue kak. Ini kurang kuat. Azkan bisa berkilah dia dateng kesana karena kenalan salah satu orang yang ada di undangan.” lanjut Sagala.

“Setuju, tapi kita tampung dulu. Yesha lo dapet apa?” tanya Sashi

“Tadaaa! Kejadian semalam. Setelah peristiwa di rumah Rena, kak Sashi minta buat gue coba mantau rumah Azkan. Dia keluar agak malem dan bener kata kak Sashi, dengan emosi dan nalarnya yang gak jalan itu, dia clubbing.” ujar Yesha sembari menunjukkan senyuman bangga

Yesha menunjukkan sebuah video dengan latar belakang sebuah elite night club. Videonya memang agak sedikit goyang dan terlalu bising, namun Sagala sangat mengenali sosok Azkan disana yang sedang bermesraan dengan seorang wanita. Secara tidak sadar ia meremas tangannya kesal.

“Sial banget video gue gak ke kirim. Azkan masih pakai baju yang sama disana! Gila ya ini orang? Abis mukulin istri sendiri terus ke night club? Buat apaan? Unwind? Sinting!” kesal Sagala.

“Nice. Ini bisa kita pakai. Tapi harus ada bukti pendukung lainnya, i mean bisa aja dia berkilah kalau ini baru kejadian satu kali.” ujar Teira.

“Oh tenang kalo itu kak, bukti tambahan kita ada di Ale. Dia kemaren gue suruh ke lokasi syuting, kita dapet info kalau ternyata script writernya having affair sama Azkan. Gue sama Ale bakal coba untuk dapetin info dari script writer itu.” jawab Sashi.

“Gila banget ini si Azkan kayak orang gak bisa jaga hormon. Gue gak heran kalau dia bener-bener punya simpanan sebanyak itu. Anak lo cewek, bego banget Azkan. Semoga anak lo gak kena karma dari bapaknya.” dengus Sagala kesal.

Pembicaraan di ruangan itu terhenti ketika sekretaris Teira mengetuk pintu dan berjalan memasuki ruangan.

“Bu Teira, Bu Rena sudah datang.”

“Okay, tunggu lima menit ya. Saya wrap-up yang disini dulu.” ujar Teira yang dibalas dengan anggukan oleh sekretarisnya.

“Oke jadi buat next-nya adalah Sashi dan Ale kalian yang cari informasi tentang si script writernya. Karin tetap coba pantau anaknya Azkan ya. Buat Gisha, Meira kalian lanjutin laporan sidangnya dulu. Terutama hasil rekaman sidang kemarin juga itu tolong dilihat lagi dan pastiin nggak ada satupun yang kemarin kita kelewatan. Yesha sama Yuki siapin berkas kita untuk sidang selanjutnya, kalau mau nyicil berkas-berkas lain juga boleh.”

“Gue ngapain?” potong Sagala.

“Lo stay dulu di ruangan ini, ada tugas khusus. Yang lain bisa keluar.”

Satu per satu anggota tim merapikan barang-barang mereka dan meninggalkan ruangan. Menyisakan Sagala dan Teira.

“Mau disuruh apa nih gue?”

“Rena mau ngomong sama lo. Gue nggak tau dia mau ngomong apa. Agak heran sih gue, kalian kan bawaannya berantem mulu. Tapi kalau diliat-liat, dia kayaknya paling nyaman sama lo. Jadi mungkin yang bisa bujuk rena buat ngajuin perkara KDRT-nya itu lo, Wen.”

Sagala menyilangkan kedua tangannya di depan dada, memilih untuk mendengarkan Teira terlebih dahulu.

“Now, hal lainnya yang mau gue omongin. Lo udah kan udah terbiasa kerja sama orang pemerintahan dan korporasi. Tadi lo denger kan bokapnya Rena udah gak masalah kalau kasus ini sampai ke media. Tugas khusus dari gue, yang pertama adalah sebisa mungkin kita tetep bawa kasus ini lowkey. But then, the moment ini kasus ke blow up, gue mau kita udah ada plan b.”

“Lo ngomongnya muter-muter deh kak. Jadi lo mau gue handle media nya atau cari info tentang bokapnya si gorila? Cari info tentang bokapnya gorila gue bisa, tapi kalo media gue gak yakin.”

“Terserah lo. Yang penting gue mau kita ada plan B. Sashi biar fokus urus kasus utamanya. Buat yang ini gue serahin ke lo.”

“Aduh ribet banget ini tuhan.”

“Kementerian bokapnya Azkan itu kementerian yang sering kerja bareng lo Wen.”

“I knooow. Lo mau gue cari tau dari bawahan-bawahannya?”

“Terserah, kayak yang gue bilang tadi, gue mau kita ada plan B.”

Sagala menggaruk pelipisnya yang tidak gatal untuk sesaat, “Iya deh ntar gue pikirin. Terus itu media gimana?”

“Hmm, nanti gue diskusiin sama bokap gue deh. Tapi lo coba pikir sesuatu deh. Mantan lo tuh dihubungin lagi, dia kan punya acara debat terkenal itu sama apasih itu podcast dia. Barangkali bisa kita jadiin senjata.”

“Idih ogah banget ngehubungin mantan buat beginian. Harga diri kak!”

Teira tertawa melihat wajah kesal Sagala. “Namanya juga usaha Wen.”

“Gak gak! Harga diri gue!”

Percakapan Teira dan Sagala terhenti ketika lagi-lagi ruangan Teira diketuk. Kali ini oleh Rena yang kemudian terlihat mengintip dari luar ruangan.

“Gue tinggal dulu, katanya Rena mau ngomong sama lo. Jangan berantem ya Wen.”

“Tuh kan gue mulu! Dibilangin gue tuh selalu sabar sama klien!” dengus Sagala yang kesal karena kembali menjadi tertuduh.

Teira hanya tertawa dan melambaikan tangannya. Berjalan ke arah pintu dan mempersilakan Rena untuk masuk.

“Gue ke toilet bentar ya Ren.” ujar Teira sedikit berbohong, ia ingin memberikan privasi pada Rena.

Sagala cukup kikuk saat Rena tersenyum ke arahnya. Pada akhirnya Sagala menganggukkan kepalanya kaku. Hal ini membuat Rena tertawa namun harus meringis kesakitan ketika tawanya terlalu kencang. Sudut bibirnya masih terluka akibat tamparan Azkan kemarin. Sagala pun masih bisa melihat ada sedikit sisa salep di sudut bibir Rena.

“Thank you ya buat yang kemarin.” ujar Rena.

“Oh itu, uhm… iya sama-sama. Sesama perempuan harus saling melindungi aja gak sih?” balas Sagala kikuk.

Rena menggeleng, “Kata kak Teira kamu nggak bisa bela diri, tapi kamu justru ngebahayain diri kamu kayak kemaren. It means a lot.”

Sagala mengendikkan bahunya. Ia pun menyadari hari ini Rena jauh lebih tenang dan ramah dibandingkan biasanya. Ditambah, hari ini Rena menggunakan sebutan formal yang jauh lebih halus.

“Dia kemaren kena tampar itu kepalanya apa ikutan kejedot ya? Kok jadi baik banget gini.” batin Sagala.

Rena kemudian menyodorkan sebuah paper bag ke arah Sagala.

“Uhm, Sagala, ini buat ganti handphone kamu yang kemaren. Jangan ditolak ya.”

Kini kening Sagala mengkerut. Apakah lagi-lagi Teira mengadukan dirinya ke Rena? Karena percakapan tentang ponsel itu hanya ia lakukan dengan Teira.

“Kak Tei yang nyuruh?”

Rena menggeleng. “Aku kan kemaren juga ada disana. Aku liat handphone kamu rusak gara-gara Azkan. Sorry ya gak aku beliin iphone karena kata kak Tei kamu gaptek, nggak kebiasa pake iphone. Terus kemaren juga handphone kamu android nggak sih? Jadi aku beliin yang ini aja. Bukan model flip kayak yang kemarin, biar nggak patah lagi.”

Lagi-lagi Sagala menggaruk pelipisnya. Ucapan Rena terdengar sangat tulus tetapi mengapa harus ada hinaan gaptek disana? Namun Sagala menyadari bahwa Rena tidak ada niatan buruk. Lantas ia ambil paper bag yang disodorkan oleh Rena.

“Okay, saya terima nih ya. Tapi ini beneran?”

“Yes, anggap aja sebagai bentuk terima kasih.”

“Sure, makasih juga ya Rena. Saya emang belum sempat beli handphone, baru mau sore nanti.” ujar Sagala.

Kemudian Sagala menjulurkan tangannya ke arah Rena, “We call a truce ya?”

Rena kembali tersenyum menahan tawa, “Dari awal aku nggak nganggep kamu musuh.”

“Iya tapi sering banget ngehina, barusan aja ngatain gaptek.”

Rena kembali tidak bisa menahan tawanya, ia memalingkan wajahnya karena setelah tertawa ia kembali meringis kesakitan.

“Okay, okay a truce.”

“Sip.”

Rena membalas jabatan tangan Sagala dengan senyuman sementara Sagala sendiri sedikit merasa malu dengan adegan kekanak-kanakan ini.

“Cihuy udah baikan nih!” goda Teira dari ujung pintu.

“Nggak usah mulai deh kak!” sergah Sagala yang kemudian memalingkan pandangan ke arah Rena, “by the way saya pamit ya? Biar kamu bisa lebih enak ngomong sama kak Tei.”

Rena mengangguk.

“Oh Sagala by the way…”

Ucapan Rena sukses membuat Sagala berhenti berjalan, “Yes?”

“Nggak usah terlalu kaku lagi. Mau pake lo-gue boleh, aku-kamu juga boleh.”

Sagala tersenyum, “I’ll remember that. See you later ya Ren.”

51.

Sagala tidak terlalu ingat bagaimana caranya ia bisa berada di halaman rumah Azkan dan Rena. Tubuhnya bertindak dalam mode autopilot, mengikuti arahan Sashi yang kini bergerak cepat untuk turun dari mobil milik Sashi yang tidak terparkir dengan sempurna.

“Rena mau kemana kamu!!”

Sesosok laki-laki yang berdiri di halaman rumah sembari mencengkram tangan Rena dengan kuat. Tadi Sagala sudah memberitahu Rena bahwa posisinya dan Sashi sudah dekat dengan rumah Rena. Mungkin karena hal itu akhirnya Rena memberanikan diri untuk kabur ke luar rumah dengan harapan bisa segera pergi saat Sagala tiba.

“Lepasin kan! Aku mau pergi dari sini!”

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi Rena.

“Brengsek! Kamu pikir kamu bisa kabur setelah mempermalukan aku kayak tadi?!”

“Azkan stop!” ujar Sashi

“Ngapain lo disini?! Ini namanya trespassing!”

“Saya kuasa hukumnya Rena disini. Menjaga keselamatan Rena juga salah satu tugas saya. Lebih baik sekarang kamu stop bertingkah gegabah, kecuali kamu memang mau kehilangan semuanya.” tawar Sashi.

Menghadapi orang temperamen sudah makanannya sehari-hari. Namun kali ini posisinya tidak menguntungkan. Mereka berada di rumah Azkan bukan di tempat umum. Sashi tidak memiliki pelindung apapun.

Sementara itu Sagala dengan reflek merekam kondisi saat itu. Dalam pikirannya, satu-satunya yang bisa melindungi dirinya saat ini hanyalah rekaman video.

“Eh bajingan! Ngapain lo rekam-rekam?!”

“Precautionary buat menghadapi orang kayak kamu!”

“Siapa lo berani ikut campur urusan gue sama Rena?! Lo nggak tau kenyataannya! Rena itu manipulatif! Lo pikir gue brengsek? Rena lebih bajingan!”

“Well Azkan, seenggaknya Rena punya harga diri. Dia nggak leeching off dari orang lain. Plus Rena bukan tukang selingkuh.” jawab Sagala.

Melihat sosok Sagala membuat Azkan teringat kejadian pagi tadi. Emosinya kian tersulut dengan ucapan Sagala. Azkan berjalan mendekat ke arah Sashi dan Sagala, melepaskan cengkeramannya pada Rena.

“Azkan, stop disitu.” ujar Sashi memperingati namun sama sekali tidak didengar oleh laki-laki tersebut.

“Sashi bawa Rena ke mobil lo sekarang!” ujar Sagala kepada Sashi.

Azkan terus berjalan ke arah Sagala dengan tatapan penuh amarah. Melihat adanya kemungkinan untuk membawa Rena, Sashi segera meninggalkan Sagala untuk membawa Rena seperti perintah Sagala barusan.

Sementara itu Sagala cukup merasa panik didatangi pria yang tubuhnya jauh lebih kekar dan lebih tinggi darinya. Azkan berusaha untuk merebut ponsel milik Sagala sedangkan sang empunya tentu saja berusaha untuk mempertahankan ponselnya.

Sayangnya tentu saja Azkan lebih kuat dibanding Sagala. Laki-laki itu sukses merebut ponsel Sagala lalu menginjak-injak ponsel lipat tersebut hingga patah.

Kesempatan ini digunakan Sagala untuk berlari meninggalkan Azkan dan melompat masuk ke dalam mobil Sashi.

“Sas kabur Sas buruan!! Keburu orang gilanya ngejar kita!” pekik Sagala sedikit ketakutan.

46.

Wening menghela napasnya malas saat melihat Sashi tersenyum jahil ke arahnya.

Sesampainya mereka di kantor selepas sidang tadi, Sashi langsung ‘menculik’ dirinya. Kata Sashi makan siang hari ini ditanggung oleh Sashi sebagai traktiran karena Wening sudah melakukan tugasnya dengan sangat baik.

Kini mereka berada di sebuah mall yang terletak tidak jauh dari kantor mereka. Lebih tepatnya di restoran sushi favorit Wening.

“Nambah lagi Wen, ambil tuh yang lewat-lewat di depan lo.” ujar Sashi dengan senyuman jenakanya.

Sementara itu Wening menyipitkan matanya ke arah Sashi, menyelidik tingkah aneh temannya.

“Gue take away boleh nggak?” tanya Wening, memberikan sebuah tes pada Sashi.

“Boleeeh. Lo nambah sekarang boleh, mau take away boleh. Mau bawa sampe buat besok juga boleh.”

“Lo abis dapet bonus apa gimana sih?” selidik Wening.

“Nggak. Kan gue udah bilang mau traktir lo karena stunt lo tadi di ruang sidang hehe Udah lama gue nggak liat lo sidang Wen. Kangen aja. Apalagi tengil banget tadi, untung gak dilempar sepatu.” tawa Sashi mengingatkan Wening pada salah satu sidang dimana ia sempat dilempar sepatu oleh lawan mereka.

“Beda anjir. Itu kan emang orang daerah sana aja agak bar-bar. Lo nggak inget waktu itu pendukungnya pada kayak preman semua?”

“Tetep aja. Gue suka tadi lo mancing Azkan kayak gitu.”

Wening mengendikkan bahunya. Ia mengambil satu piring sashimi yang lewat di hadapannya.

“Refleks aja. Kesel juga, kenapa dari sekian banyak lawfirm di kota ini bisa-bisanya si Azkan ngehire lawfirm si brengsek.”

“Untung banget bokap lo nggak ada tadi. Kalo ada, gue agak takut lo jadi gegabah.”

“Gue udah tambah dewasa Sas. Yang dulu nggak bakal keulang.”

Sashi tidak menjawab lebih lanjut. Ia hanya memberikan tepukan hangat pada bahu Wening.

“By the way, lo tadi pagi kena suruh client maintenance lagi sama kak Tei?”

Wening menggeleng sembari tetap fokus menyantap sashiminya. “Gue mau nambah fried salmon skin ya Sas.”

“Iya Wen, lo makan sampe kenyang mampus deh siang ini. Eh terus gimana itu pertanyaan gue tadi? Kak Teira kenapa ya kayak getol banget nyatuin lo sama si Rena. Padahal kalian berantem mulu.”

“Hah?”

“Iya, hehe jadi gue tuh kan sering telponan sama Kak Tei buat monitor kasus ini. Selalu yang ditanyain kak Tei ke gue adalah ‘gimana Wening sama Rena? Berantem apalagi mereka hari ini?’ gitu.”

“Ih kalian tuh ya suudzon banget sama gue. Rena tau yang sering memicu amarah gue.” dengus Wening.

“Tapi lucu tau ngeliat kalian berantem tuh. Aneh aja gitu. Rena yang dikenal orang-orang kan model yang cakep, anggun gitu. Sama lo jadi agak bar-bar kayaknya.” tawa Sashi

“Cuih, nggak ada tuh anggun. Lambe turah ada kali. Tiap ketemu gue selalu aja mencibir. Heran banget. Oh ya, yang tadi tuh gue ketemu di parkiran. Apes banget si Evy dapet parkir sebelah mobil Rena.”

“Pasti Evy nyempil lagi ya?”

“Lah emang kosong kok itu lahannya. Eh omong-omong ya, si Rena perokok akut banget anjir. Masa tadi dia ngevape lagi, di dalem mobil dia sih.” bisik Wening.

“Yaudah sih Wen, selama itu gak keliatan media dan khalayak umum. Image dia kan selama ini bersih banget soalnya. Lo tegur gak tadi? Kita harus jaga image Rena juga sampai kasus ini selesai.”

“Gue tegur. Terus gue kasih permen.”

“Lagi? Milkita lo itu?”

“Nggak, big babol hari ini. Milkita gue udah mau habis.”

Sashi tertawa lagi. Kali ini hingga posisi duduknya sedikit mundur.

“Ntar lo gue beliin milkita lagi. Dua lusin kalo perlu.” ujar Sashi yang masih tertawa.

“Bener ya? Gue tagih kalo sampe lo lupa.”

“Iya Wen. Kalo perlu lo beli sendiri, ntar reimburse ke gue.”

Wening mengacungkan jempolnya.

“By the way Sas, lo liat kan tadi Azkan gimana responnya pas gue sentil egonya yang sebesar buah nangka itu.”

“Kenapa nangka sih Wen!” tawa Sashi lagi.

“Soalnya pohon nangka tetangga gue baru pada berbuah tuh. Jadi keingetnya nangka aja. Eh itu si Azkan tadi, kan dia emosian gitu. Kayaknya kita perlu deh cari tahu apakah emosiannya dia itu bisa jadi senjata kita.”

“Iya gue juga tadi udah mikir gitu. In fact, sekarang Ale lagi gue suruh buat kepo si Azkan ke lokasi syuting dia.”

“Emang bisa?”

“Bisa Wen. Seribu satu cara buat kayak gitu mah. Lagian ya, kalau syuting kayak gitu tuh kadang terlalu chaos di lokasi syutingnya. Jadi orang juga nggak terlalu aware siapa aja yang ada disana.”

“Well, tadi gue udah minta kak Tei buat tanya langsung ke Rena juga sih.”

“Good then. Kira-kira siapa lagi ya yang bisa kita kulik?” tanya Sashi pada dirinya sendiri.

“Hasil Karin sama Yesha yang minggu lalu itu gimana? Si bocil itu, beneran anaknya Azkan?”

“Kita dapet informasi-informasi yang cukup esensial tapi masih belum cukup sih Wen. Soalnya bukan direct evidence ke si Azkan.”

“Yang tercatat di sekolah cuma nama ibunya ya?”

Sashi menggeleng, “Nama kakek dan neneknya. Bukan orang tua Azkan tapi.”

“Anjir bisa gitu?”

“Wali murid kan bisa siapa aja. Sebenernya data anak itu pasti ada disekolah. Tapi kan masalahnya gak mungkin dong sekolah buka data muridnya ke kita. Kan kita bukan polisi.”

“Cari tau aja kakek neneknya itu?”

“Iya itu udah gue lakuin. Tapi belum ada hasilnya.”

“Yaudah main kotor lah kita kalo gitu!”

Sashi menatap Wening dengan tidak percaya. Selama ini Wening jarang menyarankan hal-hal gila kepadanya.

“Maksud gue ya, kita pepet si Azkan sampe dia berkicau sendiri. Kalo kata gue, kita mending kepo si Azkan lagi aja. Tukang selingkuh gitu gak mungkin setia cuma sama satu selingkuhan Sas. Dia pasti punya yang lainnya. Ibaratnya ya, si ibunya anak ini cuma salah satunya bukan satu-satunya.”

Wening hendak angkat suara lagi namun kali ini ponselnya berdering. Ia melihat nama Rena disana. Ditatapnya layar ponselnya beberapa saat, cukup enggan untuk mengangkat sambungan telepon.

Pertama, kenapa juga Rena ini suka sekali menghubungi dirinya? Lead kasus ini adalah Sashi.

Kedua, moodnya sedang cukup baik sekarang. Ia tidak mau moodnya berubah drastis karena ucapan-ucapan Rena yang seringkali menyulut emosinya.

Akhirnya Wening memilih untuk tidak mengangkat telepon Rena.

“Siapa Wen? Klien lo yang mana yang gak mau lo angkat?” tawa Sashi.

“Klien lo ini.”

“Rena?”

Wening mengangguk.

“Angkat dulu Wen siapa tau penting.”

“Ih saaas! Kan lo leadnya, kenapa juga gue yang dia telepon sih?!”

“Yaudah kalo Rena telepon lagi, gue yang angkat deh.” tawar Sashi.

“Silakan deh. Mood gue lagi bagus nih abis lo traktir, gamau gue denger suara Rena. Ntar jadi badmood.”

Nyatanya, telepon kedua dari Rena masuk tak lama kemudian. Namun kali ini hanya miss call yang tak lama disusul dengan chat dari Rena.

41. Sidang Pertama

Sudah lebih dari lima belas menit ia tiba di parkiran gedung pengadilan. Rena cukup nervous untuk turun dari mobilnya dan menghampiri lokasi yang tadi sudah disebutkan oleh Sashi.

Rena tidak pernah membayangkan bahwa hari ini akhirnya datang juga. Setelah hampir tiga tahun berusaha untuk mempertahankan pernikahannya, akhirnya ia menyerah.

Pikirannya melompat jauh ke awal-awal masa pernikahannya. Dimana letak kesalahan dirinya? Azkan adalah pacar pertamanya, mungkin cinta pertamanya juga tetapi Rena kini tidak yakin akan hal ini.

Awal pernikahannya dengan Azkan diselimuti dengan penuh kasih sayang, romantisme, kehangatan. Bahkan mereka digadang sebagai pasangan idaman.

Rena tidak paham mengapa semuanya bisa berubah drastis. Memasuki tahun kedua pernikahan, Azkan berubah. Tidak ada lagi peluk hangat, perhatian, kasih yang selama ini ia dapatkan.

Perlahan Azkan juga mulai menunjukkan sisi yang selama ini tidak Rena ketahui. Azkan mulai pulang mabuk, beberapa kali Rena mencium bau parfum wanita yang bukan miliknya. Ketika ia menanyakan hal itu, Azkan akan mengamuk. Pria itu juga mulai main tangan.

Hampir tiga tahun hidup dalam kebohongan dan diikat dalam pernikahan yang penuh sandiwara serta tekanan. Rasanya ia hampir gila.

Rena kembali menghisap vape yang dua tahun belakangan ini selalu ada di dalam tasnya. Alasannya simple, ia butuh pelarian sesaat. Walau sudah berkali-kali diperingatkan oleh orang terdekatnya, Rena tidak peduli. Toh pelariannya ini hanya akan merugikan dirinya saja, ia tidak memakai narkoba atau gonta ganti pasangan.

Awalnya ia sempat mencoba rokok. Namun asapnya terlalu pekat dan baunya menempel pada tubuh. Ia tidak ingin keluarganya tahu kalau dirinya sudah ketagihan menghirup nikotin, akhirnya Rena mencari alternatif lainnya yang tidak meninggalkan jejak.

Ingin rasanya ia mengambil jalan kekerasan. Entah menyewa preman atau pembunuh bayaran untuk membalaskan sakit hatinya.

Namun seorang Justicia Renata memiliki harga diri dan nama baik dirinya serta keluarga yang harus ia jaga.

Mata Rena tertuju pada hilir mudik orang-orang yang berada di kawasan pengadilan. Ia mulai merasakan keringat dingin. Dipejamkan matanya sesaat lalu ditariknya napas dalam-dalam.

Bahkan rasanya hari ini lebih mendebarkan ketimbang waktu ia ikut kontes kecantikan.

Tepat pada saat ia membuka matanya, Rena disajikan pemandangan sebuah mobil listrik berwarna galaxy blue terparkir di sebelah mobilnya. Mengokupasi ruang sempit yang tidak bisa diisi oleh mobil normal.

Alisnya mengernyit, mobil ini cukup ia kenal.

Benar saja karena tak lama kemudian sosok Sagala turun dari mobil tersebut.

Rena tertawa saat melihat Sagala berkaca pada pantulan kaca mobilnya. Pengacaranya itu juga terlihat sedikit nervous. Ia melihat bagaimana Sagala menarik napasnya dan merapikan setelan blazer yang ia pakai. Sagala bahkan juga merapikan rambutnya dan memeriksa riasan tipis di wajahnya.

Rupanya seorang pengacara juga bisa merasakan nervous menjalani pengadilan.

Rena akhirnya memilih untuk turun dari mobilnya. Mungkin memasuki gedung pengadilan bersama Sagala bisa membuatnya lebih tenang.

Sementara itu, Sagala justru mendapatkan kejutan saat ia mendengar pintu mobil di sebelahnya terbuka.

Kejutan itu berlanjut ketika ia mendapati mobil disebelahnya adalah milik Rena.

“Pak Gusti, saya turun ya pak. Bapak tunggu disini aja.” ujar Rena pada supirnya yang menunggu tidak jauh dari lokasi mobilnya terparkir.

Selalu demikian, Rena selalu meminta drivernya untuk menunggu di luar ketika ia sedang resah dan butuh untuk menghirup vapenya.

Kejadian dengan Sagala di luar kebiasaannya. Mungkin karena ia resah ketika menyadari bahwa tekadnya untuk bercerai sudah bulat. Mungkin juga karena ia khawatir mengetahui bagaimana respon Azkan.

“Kok telat sih? Masa duluan klien daripada pengacaranya.”

Tuhan….

Sagala memejamkan matanya.

Belum ada 5 menit dan Rena sudah memancing emosinya.

“Maaf ya Rena, saya nggak telat. Sidang kamu masih nunggu antrian. Lagipula, klien saya nggak cuma kamu. Terakhir, lead kasus ini Sashi bukan saya. Jadi yang harus standby buat kamu itu Sashi.”

Rena hanya mengendikkan bahunya.

Khawatir keributan akan terjadi, Sagala buru-buru meninggalkan Rena. Ia berjalan ke arah ruang tunggu sidang yang tadi sudah diinformasikan oleh Sashi.

Sayangnya Rena justru mengekor dibelakangnya.

“Hari ini kita ngapain? Gue harus apa?” tanya Rena yang berlari kecil berusaha mengejar Sagala.

“Sidang pertama, kamu duduk diem manis aja. Kalau ada hal-hal yang mau disampaikan, bisa bisikin ke Yesha atau Sashi. Jangan gegabah ngeluarin statement apapun. Semua bisa dicatat dan dijadiin amunisi sama lawan.”

Rena mengangguk paham.

“Nggak bisikin ke lo juga?”

“Boleh ke saya juga.”

“Terus apa lagi yang gue gak boleh lakuin?“

“Bukannya kemaren udah di briefing Sashi ya?”

“Udah tapi lupa. Nervous soalnya. Jadi gak boleh apa lagi?” tanya Rena lagi.

Sagala berhenti berjalan sejenak. Ia memandang Rena beberapa saat. Cukup membuat Rena terkejut karena ia hampir menabrak Sagala.

“Ngevape di dalam Ruang Sidang. Saya lihat tadi kamu ngevape. Segitu ketagihan?”

Rena memutar kedua bola matanya malas.

Tangan Sagala merogoh kantung blazer yang ia kenakan. Kemudian ia meraih tangan Rena dan membuka telapak tangan kliennya itu.

“Permen karet, jangan ditelen. Nanti bukan kena kanker atau sakit gigi tapi malah usus buntu. Hari ini Milkita saya udah mau habis jadi nggak bakal saya kasih Milkita.”

Sagala kemudian melenggang pergi meninggalkan Rena yang masih terbengong melihat tingkahnya.

Sementara itu Rena masih memandangi permen karet big babol stroberi yang ada di tangannya. Sebuah tawa terlontar dari sosok seorang Justicia Renata.

“Sagala…. Sagala.. selain cepu ternyata lo suka makan permen ya? Kak Tei kok bisa hire bocil kematian kayak lo sih?” tawa Rena.

Tanpa Rena sadari, keunikan Sagala pagi itu sukses mengurangi rasa khawatir dalam dirinya.

36. Sashi Ursa dan Timnya

Ruangan Teira lagi-lagi dihuni oleh tim yang dipimpin oleh Sashi. Namun kali ini tanpa kehadiran Rena.

Sashi sengaja meminta timnya untuk rapat hari ini supaya informasi-informasi yang diberikan oleh Rena kepada timnya masih terasa fresh.

“Kemaren gue udah kirim Yesha sama Karin buat memantau alamat yang dibilang sama Rena, lo berdua coba paparin apa yang lo temuin.” ujar Sashi kepada Yesha.

Yesha mengangguk kemudian ia membuka sebuah powerpoint yang sudah ia siapkan semalam.

“Basically alamat yang dikasih itu apartemen elit, jadi aku sama Karin agak susah masuk ke dalem. Untungnya, apartemen itu cuma ada satu pintu keluar dan satu pintu masuk. Jadi aku sama Karin masing-masing nunggu di pintu masuk dan keluar.” ujar Yesha sembari mengarahkan pointers laser ke layar.

“Mendekati jam makan siang, mobil sedan punya suaminya Rena masuk gerbang. Si Karin sempet lihat ada anak kecil di dalem mobil, sempet ke foto dikit seragamnya tapi agak burem.” papar Yesha lagi.

“Tunggu tunggu, jadi kemaren yang lo bilang ada tugas tuh lo disuruh nguntit?” tanya Wening kepada Yesha

“Bukan nguntit Wen, ini namanya surveillance.” potong Sashi.

“Gila, ingetin gue buat stay jadi lawyer transaksi aja kalo gini caranya. Emang gaada cara normal aja apa sas?”

“We do it my way, okay Wen? Gue leadnya.”

“Okay okay sorry… Lanjutin Sha”

“Sure… Okay, balik lagi ke foto agak burem ini. We hit jackpot. Karin ngenalin seragamnya.”

“Kok bisa? I mean don't take this as an offense but seragam sekolah swasta kayak gini modelannya lumayan banyak nggak sih?” potong Wening lagi.

“Gue ngenalin soalnya keponakan gue juga sekolah disitu.” kini giliran Karin yang angkat suara.

“Lo yakin?”

“Seratus persen kak. Bahkan gue langsung ke rumah kakak gue kemaren kak. Gue cocokin satu per satu seragamnya ponakan gue.”

“Hasilnya?”

Karin menunjukkan senyuman penuh kemenangannya. Ia mengeluarkan seragam sekolah milik keponakannya dari dalam totebag yang ia bawa.

“Sama kan?” ujar Karin yang membentangkan seragam sekolah tersebut tepat di sebelah layar yang menunjukkan foto buram yang ia ambil kemarin.

“Good newsnya, setiap angkatan punya warna pembeda. Anak itu seangkatan sama keponakan gue kak.” lanjut Karin.

“Damn, we hit the jackpot indeed.” ujar Sashi.

“Lo yakin?” tanya Wening kepada Karin.

“Yakin. Satu keluarga gue sekolah di sana semua kak. Makanya waktu gue liat seragamnya gue langsung familiar.”

“Lupa banget gue kalo lo anak orang kaya. Ngapain sih masih kerja?” ujar Wening asal yang dibalas tawa oleh Karin.

“Okay so, next plan apa? Kita mau korek informasi bocil ini?” tanya Wening dengan jarinya yang menunjuk ke arah layar.

“Karin, tugas lo berarti dapetin informasi tentang anak itu. Lo gue assign sama Yesha lagi. Kalau kalian butuh buat satu hari pergi seharian, kabarin gue nanti gue yang bilang ke HRD.” ujar Sashi yang dibalas anggukan oleh Yesha dan Karin.

“Besok kalo gitu kak. Gue kepikiran buat nganter dan jemput keponakan gue. Sekalian nanti gue cari info tentang anak itu, ngobrol sama orang tua murid disana palingan. Kira-kira gue bakal pergi setengah hari aja sih.”

“Anjir gue ngerasa bersalah banget ngegunain anak kecil buat kepentingan kita gini.” ujar Wening.

“It's all fair in love and war, Wen. Lo harus biasain itu.”

“Gak deh, mendingan gue gak tidur ngurus akuisisi atau ngurus dokumen-dokumen tender.” balas Wening.

“Kak, gue boleh kasih tau lo sesuatu nggak?” tanya Yesha tiba-tiba.

Seluruh penghuni ruangan tersebut menatap Yesha yang sedang menatap lekat ke arah Wening.

“Anak kecil itu, kalau dia emang seumuran sama keponakannya Karin, umur dia tiga tahun sekarang. Lo paham maksud gue kan? Jadi lo nggak usah terlalu merasa bersalah. Bokapnya emang bajingan.”

Wening terdiam. Ia paham maksud Yesha. Ingatan Wening adalah salah satu hal yang sangat ia banggakan dan kali ini Wening bahkan sangat yakin dengan ingatannya.

Bagaimana tidak, ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca berkas Rena yang sekarang sudah ia hapal di luar kepala.

Pernikahan Rena dengan suaminya bahkan baru akan menginjak usia tiga tahun pada bulan Desember mendatang.

Yang artinya bahkan Rena sudah diselingkuhi sebelum pernikahannya berlangsung.

Keheningan singkat itu terputus ketika ponsel milik Wening yang lupa ia silent berdering cukup kencang. Wening melirik ke arah ponselnya dan cukup terkejut ketika menemui nama yang tertera di sana.

“Angkat dulu deh Wen, berisik.” tawar Ninda.

Wening masih terdiam. Ponselnya mati sejenak, namun tak lama kemudian ponselnya kembali berdering.

“Siapa sih Wen?” kini giliran Sashi yang ikut penasaran.

Wening memutar ponselnya, membiarkan seluruh anggota timnya melihat nama yang terpampang di layar ponsel.

Justicia Renata.

26.

Kira-kira baru 30 menit Wening memberikan tumpangan pada Rena, namun rasanya ia sudah hampir mati sesak napas.

Biasanya yang menumpang mobil Wening sudah paham kalau Wening sangat anti dengan asap rokok maupun vape. Sayangnya kali ini yang menumpang murni orang asing yang tidak mengenali Wening. Ditambah lagi status Rena sebagai kliennya, Wening agak ragu untuk menegur wanita yang duduk di sebelahnya.

“Uhm…sorry banget nih. Beneran sorry banget, bisa nggak berhenti ngevape? Bukan nge judge atau gimana, tapi driver kamu sekarang punya penyakit asma.” ujar Wening yang akhirnya memberanikan diri untuk membuka suara.

Rena menolehkan kepalanya ke arah Wening. Lagi-lagi dalam diam, namun ia mengangguk dan memasukkan vape miliknya ke dalam tas.

“Sorry.”

Wening hanya menganggukkan kepalanya singkat.

Selebihnya keheningan kembali tercipta.

Bahkan Wening yang biasanya memutar lagu sembari berkendara, kini hanya diam seribu bahasa. Entah mengapa berada di dekat Rena membuat dirinya sangat canggung.

Wening sangat bersyukur hari ini ia memilih membawa Evy, mobil listrik mungil miliknya itu. Setidaknya ia bisa dengan sigap menyelip disini dan disana, cukup mempersingkat waktu.

“Kenal Kak Teira dari kapan?” tanya Rena tiba-tiba.

“Kuliah.”

“Kenapa tiba-tiba mau masuk tim? Dijanjiin apa sama Kak Teira?” cecar Rena lagi.

Wening melirik Rena sejenak.

“Abis kesambet di kuburan, dapet wangsit. Udah alasannya itu aja.”

Kini ganti Rena yang menatap ke arah Wening dengan pandangan aneh. Ia yakin tadi ia tidak salah dengar ucapan Senior Lawyer yang ada di sebelahnya.

“Nggak percaya?” tanya Wening yang mulai merasa kikuk karena ditatap lekat oleh Rena.

“Lebih tepatnya bingung harus percaya atau nggak, sama-sama gila aja.”

“Percaya aja, saya bisa liat kuntilanak. Di ruangan kak Tei ada tuh.” ujar Wening asal. Kalaupun Rena tiba-tiba bertanya serius, maka ia akan menjual cerita Meira kepada Rena.

Nyatanya Rena malas menanggapi celotehan gila Wening. Ia akhirnya hanya mengendikkan bahunya.

Sementara itu, tanpa disadari Rena, Wening beberapa kali sengaja melirik ke arah sang model. Ia cukup terganggu dengan kaki Rena yang terus bergerak resah. Wening juga menangkap basah Rena yang beberapa kali menggigit bibir bawahnya.

“Ini orang resah satu mobil sama gue atau kebelet pipis sih?” batin Wening.

Untungnya, Wening melihat logo mini market yang buka 24 jam. Ia kemudian berinisiatif untuk berhenti sejenak, barangkali Rena benar-benar butuh ke toilet pikirnya.

“Mampir bentar ya. Kalo mau ke toilet bisa tuh.” ujar Wening tanpa menunggu respon Rena.

Pemilik mobil mungil tersebut sudah pergi meninggalkan sang penumpang yang harus melongo ditinggal sendirian.

Melihat kondisinya cukup ramai, Rena tidak mau mengambil risiko dengan keluar mobil. Akhirnya ia memilih menunggu Wening di dalam mobil mungil tersebut.

Rasa penasaran Rena terhadap pengacaranya itu membuat ia memutar badannya dan mengintip ke kursi belakang. Ia sedikit termenung saat melihat selimut bayi, bantal bayi dan boneka berbentuk kucing tersemat dengan manis di kursi penumpang.

“Sagala udah punya anak?”

Tidak sampai lima menit, Wening sudah kembali. Membuat Rena belum sempat menginspeksi isi mobil Wening lebih lanjut.

“Nggak ke toilet?” tanya Wening.

“Siapa yang mau ke toilet sih?” balas Rena.

Wening kembali mengendikkan bahunya. Ia kemudian melajukan mobil mungilnya ke jalan raya.

“Boleh gak jendelanya dibuka aja, mau ngevape bentar.” tanya Rena setelah mereka sudah menempuh 20 menit perjalanan dari mini market tadi.

Wening tidak langsung menjawab Rena. Ia justru merogoh kantung belanjaannya dan menyodorkan sebuah permen susu.

“Jangan ngevape ya, gak baik buat kesehatan. Probabilitas kena kanker paru-paru jadi semakin tinggi, dan kamu bisa bikin saya juga ikutan kena kanker.”

21. Pertemuan Kedua

Tanpa basa basi Wening segera mengambil laptop dan berkas kasus Rena. Dengan sedikit berlari Wening menuju ke arah lift yang untungnya memang sedang ada yang terbuka dan akan menuju ke lantai atas.

“Sorry, sorry, sorry….” ujar Wening yang berusaha menyela antrian.

Perjalanan ke ruangan Teira berasa lebih lama dari biasanya. Wening sedikit menggigit bibirnya, agak rungsing. Sedikit kesal karena Teira mengeluarkan dia tanpa persetujuan, namun jika diingat-ingat kembali sebenarnya ini juga kesalahan dirinya.

Teira mengatakan bahwa ia akan menunggu keputusan Wening hingga hari rabu, namun Wening tidak kunjung memberikan jawaban. Cukup wajar jika Teira mengira bahwa Wening tetap dalam keputusannya untuk tidak dimasukkan ke dalam tim.

Ketika lift tersebut sudah tiba di lantai dua puluh dua, Wening kembali sedikit berlari hingga ia tiba tepat di depan pintu ruangan Teira. Ia mengatur napasnya sejenak sebelum mengetuk pintu ruangan tersebut.

Wening tidak perlu menunggu jawaban dari orang-orang yang ada di dalam sana, ia langsung membuka pintu tak lama setelah ia mengetuk dua kali.

“Sorry terlambat.” ujar Wening singkat.

Wanita berumur tiga puluh empat tahun itu kemudian mengambil posisi duduk di sebelah Ninda. Kehadirannya cukup mengagetkan Ninda dan Sashi bahkan Teira. Sedangkan Rena hanya menatap Wening datar.

“Dia jadi masuk tim ini?” tanya Rena tanpa memutus pandangan matanya dengan Wening.

Teira menatap Wening, meminta konfirmasi. Sedangkan yang ditatap justru sedang sibuk sendiri menata laptop dan berkas yang ia bawa untuk ditaruh di meja.

Selang beberapa saat kemudian, Wening menunjukkan senyuman profesionalnya yang biasa ia berikan kepada klien-kliennya dan menjulurkan tangannya kepada Rena.

“Sagala, Senior Associate.”

17.

Wening menutup pintu mobilnya dengan sedikit dibanting. Ia cukup kesal siang hari itu.

Fakta bahwa Rena nyatanya sedikit banyak berhubungan dengan sang Ibunda membuatnya cukup badmood.

Entah karena ego atau rasa bersalah.

Selepas makan siang bersama Selene, Wening memutuskan untuk kembali ke makam sang Ibunda. Berkeluh kesah seadanya, karena memang sosok yang ingin diajak bicara sudah tiada. Geledek siang itu yang mengingatkan Wening bahwa ia harus pergi dari sana.

Dengan langkah gontai Wening pun memutuskan untuk menyelesaikan ‘tugas’-nya. Wening kembali berkendara ke arah YKPI. Sudah terlampau sore sebetulnya, biasanya Wening akan mampir tepat setelah ia selesai berkunjung ke makam dan ia akan tinggal disana hingga waktu makan siang.

Namun hari ini ia justru baru tiba sore hari.

Seusai mengunci pintu mobilnya dengan kunci otomatis, Wening berjalan ke arah lobby yayasan. Masih dengan pikirannya yang tak karuan. Ia penasaran akan ucapan Teira namun Wening juga entah mengapa sangat takut akan jawaban yang akan didapatkan jika ia bertanya pada dokter Yona.

Wening menendang kerikil yang ada di sekitaran trotoar. Lagi-lagi hanya sekadar berusaha untuk mengobati hatinya yang kacau.

Tendangan terakhirnya mengenai sebuah mobil sedan hitam. Menyadari hal ini, buru-buru Wening bersembunyi di balik semak-semak. Mood-nya sudah cukup jelek, akan hancur lebur jika ternyata batu kerikil tadi menggores mobil dan ia harus mengganti rugi.

Kekanakan memang, tetapi Wening tidak peduli.

Setelah menghitung beberapa saat, Wening berusaha untuk mengintip dari balik semak-semak. Ia cukup terkejut ketika, lagi-lagi, dunianya harus bertautan dengan Justicia Renata.

Mobil yang tadi terkena kerikilnya, ternyata menjemput sang model. Rena terlihat cukup ramah berbicara dengan ketua yayasan, yang notabenenya juga dikenal oleh Wening. Ia dapat melihat bagaimana keduanya saling bercengkrama bahkan bertukar tawa.

Tak lama kemudian Wening mendapati Rena memasuki mobilnya dan meninggalkan lobby gedung tersebut. Kesempatan ini digunakan Wening untuk buru-buru kembali bersembunyi. Ia memastikan mobil Rena sudah pergi cukup jauh baru Wening memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya.

“Mba Sagala?”

“E-eh ibu….”

Ketua Yayasan tersebut memandang Wening penuh tanda tanya.

“Ngapain nyungsep disitu mba?”

“O-oh nggak bu, tadi ketemu anak kucing lucu.” jawab Wening seadanya, tangannya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Ya ampun mba, saya kira nyungsep. Ayo mba masuk! Saya kira hari ini sibuk jadi nggak datang.”

Wening mengangguk kaku. Ia membersihkan sedikit pasir yang menempel di celananya lalu berjalan mengekor di belakang sang ketua yayasan.

“Tadi siapa bu? Mukanya kayak nggak asing?” tanya Wening berusaha memancing untuk mendapatkan informasi.

“Oh, itu mba Rena. Dia donatur tetap disini, mba. Mungkin familiar karena kan mba Rena dulu masuk kontes kecantikan itu mba, yang internasional itu. Miss Miss apalah itu.”

“Jadi donaturnya sejak ikut kontes Miss Universe itu bu?”

“Nggak mba, udah lama banget. Sejak ibunya mba Rena kena kanker kayak ibunya mba Sagala.”

“Hah?”

“Lho iya mba, ibunya mba Rena itu juga udah almarhumah. Mirip mendiang ibunya mba Sagala, tapi duluan meninggal daripada ibunya mba Sagala.”

Wening terdiam sejenak.

“Bunda kenal Rena nggak bu?”

“Mba Rena kenal sama ibunya mba Sagala. Kalau ibunya mba Sagala lagi berobat sendiri, kadang ditemenin mba Rena sama dokter Yona itu. Kalau dokter Yona pasti kenal kan ya? Dia itu kakaknya mba Rena, makanya Ibu kira mba Sagala kenal sama mba Rena?”

Jawaban sang ketua yayasan cukup membuat Wening serasa disambar petir. Mengapa ia tidak tahu fakta ini? Apakah ia sudah bekerja terlalu keras sampai-sampai mengabaikan ibunya sendiri?

“Mba Sagala jangan kepikiran yang aneh-aneh. Ibu dulu nggak mau cerita ke mba Sagala karena ibu tau mba Sagala sibuk kerja kan? Dulu Ibunya mba Sagala juga bilang ke ibu supaya nggak cerita karena nggak mau bikin mba Sagala tambah kepikiran. Ibunya mba Sagala pasti tau kalau mba Sagala pasti udah usaha maksimal mba, cuma kadang yang namanya anak emang nggak bisa selalu bareng sama orangtuanya aja mba.”