youngkimbaeson

13.

Selene Parabawa.

Putri dari Konglomerat Yoshua Parabawa.

Satu dari sedikit klien yang masih cukup sering berkomunikasi dengan Wening di luar kontrak mereka sebagai Klien dan Pengacaranya.

Awalnya Wening cukup sering berkomunikasi dengan Selene karena salah satu proyek akuisisi yang ditangani oleh Wening. Salah satu perusahaan milik Parabawa Corp mengakuisisi sebuah perusahaan perbankan digital.

Wening dan timnya merupakan lawyer yang dipilih oleh Yoshua Parabawa untuk melakukan legal due diligence. Sedangkan Selene waktu itu merupakan project manager untuk proyek tersebut.

Kendati mereka cukup sering berkomunikasi, Wening masih lah seorang Sagala bagi Selene. Sebisa mungkin Wening tetap menjaga batas-batas professionalisme. Bagaimanapun juga, Selene tetap lah kliennya, dulu dan mungkin di masa depan nanti.

Kedekatan mereka hanya Wening anggap sebagai salah satu usaha client maintenance, tidak lebih. Walau harus Wening akui, Selene merupakan sosok yang menyenangkan. Jika mereka bertemu sebagai teman terlebih dahulu ketimbang bertemu sebagai Klien dan Pengacaranya, saat ini mungkin dirinya adalah Wening bagi Selene.

“Kak Saga!!”

Seorang wanita bertubuh jangkung terlihat berdiri dari kursinya dan melambaikan tangan ke arah Wening. Tentu saja hal ini dibalas dengan lambaian oleh Wening yang disertai senyuman sumringah.

“Selene, apa kabar?” tanya Wening sembari memeluk singkat tubuh Selene.

“Good good. Duduk dulu kak. Aku tadi udah order tenderloin steak buat Kak Saga. Well done, black pepper sauce, mashed potato kan? Minumnya Ice Lychee Tea?” ujar Selene dengan fasih.

Wening tersenyum dan mengangguk mantap. Memang menu tadi adalah salah satu menu andalannya.

“Thank you, Sel. Jadi nggak enak.”

“Kayak sama siapa aja kak, kan aku yang ngajak ketemuan. Lagian, hari ini aku sekalian mau ngasih tau kakak nih.”

Tangan Selene menyodorkan sebuah kartu nama dengan logo yang sangat Wening kenali. Diambilnya kartu nama tersebut dan Wening ternganga ketika membaca jabatan Selene saat ini.

Vice Director of HRD and Public Relations.

“Oh my God!! Congrats!!” pekik Wening sembari menepuk-nepuk tangan Selene.

“Thanks to you Kak. Kata papa ujiannya pas akuisisi waktu itu. You helped me a lot.”

“Nahh, aku cuma ngelakuin kerjaanku. Selebihnya, it's on you.”

“Iya, tapi karena tim kakak jadinya smooth banget transisinya. By the way, tim Kakak masih sama Yesha dan kak Sashi?”

Percakapan mereka terhenti sejenak ketika minuman milik Wening diantarkan oleh pelayan.

“Aslinya Sashi beda group sama aku. Dia litigasi, waktu itu dimasukin karena ada possibility fraud dan tax evasion. Aku yang minta dia masuk tim ku. Kalau aku, lawyer transaksi. Yesha dibawah aku.”

Selene mengangguk-angguk berusaha memahami.

“Kalau kak Tei? Udah naik pangkat belum?”

Wening tertawa.

“Udah, sekarang udah jadi partner. Termuda di kantor. Walaupun ada beberapa partner yang gak suka sama Kak Tei karena dia anak yang punya lawfirm, tapi menurutku kak Tei deserves her promotion. Lagian Pak Ares juga selama ini selalu main fair kok.”

“Ih kok kak Tei nggak bilang sih ke aku! Tau gitu aku kirimin sesuatu! Udah lama dia jadi partner?”

Wening mengangguk, “Hampir setahun. In fact, seinget aku bulan oktober ini genap setahun.”

“Kalo kak Saga sekarang lagi sibuk apa? Kata Papa tim kakak susah di hire nih akhir-akhir ini.” goda Selene.

“Bercanda itu papa kamu…. Klien yang masuk di aku kan bukan pilihan aku, Sel.”

“Ih papa kan ngobrolnya sama Om Ares. Masa iya Om Ares bohong. Dia bilang katanya tim kakak udah over.”

“Iya sih… Kadang aku mikir kayaknya bisa tiba-tiba mati kena serangan jantung.” tawa Wening

“Ngaco ah kak!”

Keduanya tertawa mendengar kelakar Wening. Mata Selene melihat ke arah Wening, mencari momen untuk membahas tentang Rena.

“Tapi emang sesibuk itu kak? Minta libur lah ke Kak Teira atau ke Om Ares. Lah iya, hari ini lowong nih?“

“Kemaren aku harusnya cuti Sel. Tapi diganggu sama Kak Tei, terus aku protes deh minta diganti.”

“Urgent banget sampe diganggu cutinya? Emang pengacara kondang sih Kak Saga.” goda Selene.

“Bukan kondang, Sel. Tapi aku tuh spesialis bersih-bersih kerjaan orang. Kak Tei sama Pak Ares aja yang suka berlebihan bilang kalau aku orang kepercayaan mereka.”

“Tapi kan emang iya kak…Papa juga bilang gitu kok.”

“Yang kemaren nggak tapi. Aku tiba-tiba dikasih case yang bukan forte ku.”

“Ah masa ada sih case yang bukan fortenya kak Saga?”

“Ada, Sel. Makanya jangan terlalu mikir ketinggian tentang aku.”

Percakapan mereka kembali terhenti ketika pelayan kembali menyambangi meja mereka, kini untuk mengantarkan steak milik Wening.

“Tapi tandanya mereka percaya sama Kak Saga kali?”

Wening menggeleng, “Terlalu percaya. Itu udah langkah konyol. Kalau mau perang itu nggak boleh terlalu percaya diri, gak boleh sombong.”

“Casenya berat banget kayaknya.”

Wening hanya mengendikkan bahunya, ia tidak mau mengelaborasi lebih banyak. Sementara itu, Selene kembali menghela napasnya. Susah juga untuk mengulik Wening.

“Seharian ini libur kan tapi kak?”

Wening mengangguk sembari memotong steaknya kecil-kecil.

“Temenin aku shopping dong kak.” pinta Selene, ia ingin mengambil waktu Wening lebih lama.

“Nggak bisa, Sel. Sorry banget tapi tiap tanggal tujuh belas itu peringatan kematian Bunda aku. Pagi tadi aku udah nyekar, tapi sore aku mau ke Yayasan Kanker yang dulu bantu Bunda aku.”

Selene terhenyak, ia sama sekali tidak mengetahui hal ini.

“S-sorry kak…Aku nggak tahu. Ih kenapa kita pergi hari ini sih? Aku jadi nggak enak.”

“It's okay, kan aku juga nggak nolak. Sekalian udah keluar rumah Sel.”

“Eh kak Yayasan mana sih? Kalau boleh tahu.”

“YKPI situ, Sel. Tau nggak?”

“YKPI? Ih aku tau banget itu! Kak Rena kan donatur tetap disana.”

“Rena?”

“Oh.. Itu temen aku. Temen kak Teira juga. Itu lho kak, Justicia Renata. Tau dong?”

Kening Wening mengerut. Nama itu lagi.

6. Pertemuan Pertama

Wening menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celananya. Ia menyandarkan tubuhnya malas pada dinding lift. Matanya secara otomatis melihat pantulan dirinya di dinding lift yang terbuat dari cermin.

Ia tertawa kecil.

Pakaiannya hari ini jauh dari kata-kata profesional. Celana jeans, kaos putih, dibalut dengan jaket jeans senada dengan celana yang ia kenakan. Jangan lupa dengan sepatu converse yang ia pakai. Rambutnya ia biarkan tergerai hari ini, tanpa ia blow sama sekali.

Sebuah aksi 'mogok' yang dilakukan oleh Sagala Wening. Ia harap saat Teira melihat style-nya hari ini, Teira paham bahwa ia tidak mau bekerja.

Hari ini hari liburnya! Jatah cuti yang sebenarnya pun seharusnya bukan cuti.

Tiga minggu bekerja tanpa henti, bahkan di hari sabtu dan minggu.

Menurutnya cukup adil jika timnya meminta cuti di hari senin ini untuk sekadar memenuhi kuota jam tidur mereka yang sudah terkuras habis selama tiga minggu kemarin.

Sejujurnya Wening cukup khawatir dengan keadaan timnya. Ia, Yesha, dan Meira sudah meneguk entah berapa banyak cangkir kopi dan minuman energizer demi melawan kantuk. Bahkan Meira sudah bercanda bahwa dirinya terkadang melihat makhluk-makhluk penunggu di kantor mereka.

Entah halusinasi atau juniornya itu benar-benar memiliki kemampuan sixth sense.

Yesha juga beberapa kali sempat berkata bahwa telinganya berdengung dan ia bisa merasakan detak jantungnya meningkat drastis.

Kalau ada berita tiga wanita ditemukan tewas di rumah masing-masing karena serangan jantung, Wening rasa itu adalah tim-nya.

Lift yang membawa Wening ke lantai dua puluh dua akhirnya tiba di tujuan.

Wening kembali menghela napasnya malas.

Apes sekali dirinya. Keluar dari lift, ia langsung bertemu dengan sekretaris Teira.

“Mba Sagala, sudah ditunggu di dalam.”

“Uhm, gue ke toilet dulu deh ya. Kebelet.” jawab Wening asal.

Sekretaris Teira hanya mengangguk. Ia juga tidak punya hak untuk memaksa Wening, yang notabenenya Senior Associate di kantor hukum tersebut, untuk segera memasuki ruang bosnya. Toh, klien mereka belum datang juga.

Dengan segera Wening berjalan ke arah toilet yang terletak di ujung lantai tersebut.

Ia menjatuhkan dirinya pada sofa yang terletak di dalam toilet mewah itu.

Maklum, lantai ini berisikan partner-partner kantor hukum mereka. Termasuk managing partner dan foreign consultant. Jadi kemewahan memang sudah lekat dengan lantai ini.

Sebuah helaan napas panjang dikeluarkan oleh Wening.

“Wen, kata gue lo habis ini ke dufan. Terus lo naik wahana sambil teriak-teriak. Kalo nggak dikit lagi lo bisa gila tau.” ujar Wening pada dirinya sendiri.

Ia bangkit dari sofa tadi kemudian menghidupkan keran wastafel. Entah, ia hanya mencari kesibukan saja. Setidaknya berlama-lama di dalam toilet ini masih lebih mending ketimbang ia harus segera memasuki ruangan Teira.

“Teira sumpah kalo lo ga beneran kasih gue bonus, gue resign. Kenapa lo gila kerja sih Teiraaaa!” dengus Wening lagi, entah pada siapa.

Tepat tak lama setelahnya, Wening dikejutkan dengan suara slot kunci bilik toilet yang terbuka.

Ia tiba-tiba teringat cerita Meira yang berkata bahwa ia pernah melihat sosok kuntilanak di kantor mereka. Walaupun waktu itu Meira bilang ia melihat hantu tersebut di lantai dua puluh, tetapi bisa saja kan hantu lantai itu bermigrasi ke lantai dua puluh dua?

Namun tentu saja pikiran gila nya itu hanya sebatas kegilaan yang dialami oleh orang yang kurang tidur.

Dari bilik paling ujung terlihat seorang wanita dengan balutan suits formal berwarna putih berjalan ke arah wastafel.

Old Money.

Itu kesan pertama yang didapatkan oleh Wening. Hal ini nampak dari barang-barang branded yang melekat pada tubuh wanita tersebut.

Selebihnya ia dapat menebak bahwa wanita tadi merupakan sosok yang tidak bisa ia anggap remeh.

Maka dari itu tubuhnya secara refleks mengangguk ramah sebagai bentuk sapaan.

Sayangnya niat baik tersebut tidak dibalas dengan tindakan serupa. Wanita tadi hanya meliriknya sekilas tanpa membalas sapaan tadi.

Suasana berubah menjadi canggung. Wening tidak tahu harus berbuat apa. Selebihnya ia merasa kesal. Sombong sekali manusia satu ini?

Wanita tadi selesai membasuh tangannya lebih dulu dari Wening. Ia kemudian meninggalkan toilet tersebut seakan-akan Wening tidak ada disana.

Setelah memastikan bahwa dirinya benar-benar sendirian di dalam toilet tersebut, Wening kemudian melontarkan sederet sumpah serapah pada wanita yang tidak ia kenal itu.

“Dasar orang kaya! Sombong banget tai! Kesini juga pasti karena lo ada masalah hukum kan?! Amit-amit gue punya klien kayak gitu!”

Wening memijat pelipisnya sesaat kemudian menarik napasnya panjang. Mencoba menata mood-nya yang kian memburuk.

Lima menit berselang, akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari toilet tersebut dan bergegas ke ruangan Teira.

Sesampainya disana, tepat seperti ucapan Yesha, seluruh tim sudah hadir.

Tiba-tiba ia teringat percakapannya dengan Sashi. Kenapa juga timnya semua perempuan.

Tanpa basa-basi, Wening mengambil tempat di paling ujung. Sisi terjauh dari Teira. Tentu saja aksi protesnya ini ditangkap dengan sempurna oleh Teira yang hanya mampu berdecak pelan sembari menggelengkan kepala.

“Kamu mau ngambek di depan junior-junior kamu?”

“Ini bukan ngambek ya kak. Gue hanya menjunjung hak-hak gue.”

“Terserah kamu deh Wen. Kita udah telat briefing, sekarang kalian baca cepet aja profil klien kita. Sambil jalan nanti aku jelasin. Jam 10 dia bakal dateng kesini.”

Secara otomatis semua perempuan yang ada disana melirik ke arah jam yang ada di ponsel mereka masing-masing. Waktu mereka kurang dari tiga puluh menit.

Tak lama berselang, sekretaris Teira membagikan satu bundel file kepada masing-masing pengacara yang duduk di ruangan itu. Tebal berkas mereka bervariasi.

Tentu saja berkas Wening, Sashi, dan Ninda paling tebal. Sedangkan berkas Karin, Meira, dan Gisha adalah yang paling tipis.

“Apaan nih balik ke style jaman baheula?” ujar Wening sarkas.

Biasanya file briefing akan ditampilkan di layar dan soft-file akan diunggah melalui teams mereka. Namun kali ini semua informasinya justru disajikan dalam bentuk hardcopy.

“Kalian skim dulu aja informasinya. Selebihnya, berkas itu nggak boleh keluar dari kantor ini. Yes, we go back to old style.”

Ucapan Teira sontak membuat semua orang yang ada di ruangan itu melirik pada sang partner.

“Fishy banget sih? Gue gak mau baca ini. Gue lagi cuti. Meira lo baca aja deh berkas lo kenceng-kenceng. Word per word. Kita go through pakai berkas junior aja.” ujar Wening.

Yang disebut namanya hanya melirik sejenak ke arah seniornya dan mendapati bahwa Wening serius dengan ucapannya. Meira kemudian menoleh ke arah Teira yang kemudian menganggukkan kepalanya.

“Kasus perceraian-…”

“Gue out.” potong Wening yang kemudian menatap Teira. “Kak, lo tau kan gue nggak mau ambil kasus perceraian? Sadis lo sama gue.”

Hening melanda ruangan tersebut.

Sebagian besar tidak memahami maksud Wening. Hanya Sashi dan Teira yang mengerti.

Sagala Wening selalu menolak kasus perceraian, bahkan ia sangat membenci kasus perceraian.

Alasannya?

Wening adalah korban broken home. Kedua orang tuanya sudah bercerai bahkan sejak ia duduk di bangku sekolah dasar.

Simple, ayahnya berselingkuh. Ibunya tidak tahan diselingkuhi berkali-kali. Siapa juga yang tahan?

Setelah kedua orangtuanya bercerai, Wening hidup dengan sang Ibunda. Hanya berdua. Susah senang mereka lalui bersama. Bahkan ketika Ibunya divonis mengidap kanker, mereka lalui berdua saja.

Terakhir ia mengetahui informasi tentang ayahnya, laki-laki itu sudah berkeluarga lagi.

Lucunya, Wening mengambil jalur pekerjaan yang sama persis dengan ayahnya. Bedanya, ayahnya itu pengacara litigasi. Pengacara kondang bahkan.

Laki-laki itu erat namanya dengan media. Keluar masuk pengadilan sudah jadi makanan sehari-hari.

Karena hal ini pula Wening memilih untuk menjadi corporate lawyer. Alasannya agar ia tidak pernah bertemu ayahnya di pengadilan.

“Wening, aku minta kamu profesional dulu. Setelah rapat pagi ini kita ngomong berdua. Meira, kamu bisa lanjut baca profil nya.” ujar Teira tegas.

Meira mengangguk mengiyakan. Kemudian ia kembali melanjutkan membaca baris demi baris informasi.

“Kasus perceraian Justicia Renata-…”

“Hah?! Ini Justicia Renata yang Itu?!” kini giliran Yesha yang memotong Meira.

Ujaran Yesha sebenarnya juga diamini oleh orang-orang lainnya yang sedang membolak-balikan halaman yang ada ditangannya.

“Iya, Justicia Renata yang itu.” ujar Teira.

“Dia mau cerai?! Wah gila, masuk headline news ini sih.” ujar Yesha.

“Siapa sih?”

“Kak beneran gatau Justicia Renata?” bisik Meira kepada Wening yang dijawab dengan gelengan kepala.

Sementara itu Sashi hanya bisa menggaruk kepalanya. Selama keributan-keributan tadi berlangsung, ia membaca berkas yang ada ditangannya dengan tekun.

Justicia Renata.

Anak bungsu dari orang terkaya kedua di negara ini sekaligus model internasional yang pernah menyabet peringkat sepuluh besar Miss Universe beberapa tahun silam.

Menikah dengan seorang aktor papan atas yang merupakan putra dari salah seorang menteri yang kini digadang-gadang akan mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilihan umum tahun depan.

Singkatnya, perceraian powerful couple dengan latar belakang keluarga yang tidak kalah powerful.

“Kak, tuduhannya disini suaminya selingkuh. Tapi bukti yang dikasih sama klien kita nggak kuat. Apalagi bokapnya si suami ini orang pemerintah yang cukup punya nama. Ini sama aja kita gali lubang kubur sendiri.” ujar Sashi yang akhirnya angkat suara.

“Rena bilang dia punya bukti tapi nggak semua orang bisa dia tunjukin buktinya. Hari ini kita cuma mau kick-off meeting aja sebenernya. Rena mau liat tim kita dulu baru setelahnya dia bakal buka informasi krusialnya.”

Wening menyilangkan tangannya di depan dadanya. Ia semakin tidak menyukai arah pembicaraan.

“Kalau gue nolak?”

“Feel free to leave then. Saya nggak butuh orang kayak kamu.”

Seketika penghuni ruangan tersebut terkejut ketika mendengar suara orang yang tidak familiar. Namun tidak lama kemudian, tim pilihan Teira meneguk ludah mereka.

Berdiri di pintu ruangan tersebut, sosok Justicia Renata.

Sementara itu Wening justru semakin malas dengan kasus ini. Ternyatanya Justicia Renata adalah sosok yang ia temui di toilet tadi.

“Wah gila, manusia congkak yang tadi di toilet?” bisik Wening pada dirinya sendiri.

“Kak Teira, kalau dia nggak mau ada di tim ini mending dikeluarin dari sekarang. Aku nggak butuh orang nggak profesional kayak dia yang bahkan mencaci maki bosnya di toilet.”

Wening dan Rena saling bertukar tatapan sinis. Sementara Teira hanya bisa memijat pelipisnya. Belum mulai saja sudah terjadi ketegangan seperti ini.

“Ren, ini tim terbaik aku. Kamu juga yang minta supaya semuanya harus perempuan, ya mereka ini orang-orangnya. Aku yang bakal hands-on di case ini. Kalau kamu keluarin Wen-…”

“Sagala. Let's be professional now. Dia klien kita kak, buat dia, saya ini Sagala.” potong Wening.

Sementara itu Sashi dan Yesha menghela napas mereka. Wening selalu seperti ini, membagi sisi profesionalnya dan sisi pribadinya. Tetapi kalau Wening sudah terang-terangan seperti ini, tandanya Wening sudah memasuki mode mogok kerja. Apalagi Wening tantrum di depan klien mereka.

“Okay, Sagala. Kalau kamu keluarin Sagala, penggantinya cuma ada laki-laki. Aku nggak bisa ngurangin jumlah orangnya Ren.” ujar Teira.

Ekspresi Rena tidak berubah sama sekali, begitu pula dengan Wening.

“Dia kan cuma junior, kenapa segitunya dipertahanin sih kak?” tanya Rena seakan-akan Wening tidak bisa mendengar ucapannya.

Yesha harus menahan tawanya ketika mendengar ucapan Rena. Kejadian seperti ini seringkali terjadi.

“Ren, Sagala itu-….”

“Madam, asal tau aja ya. Saya Senior Associate disini!”

Rena menaikkan alisnya. Matanya melihat tubuh Wening dari atas ke bawah. “Kak, mending dia dikeluarin aja deh. Senior tapi nggak profesional.”

“Pardon?!”

Tuhan….

Baru sekali ini Teira sudah dibuat pusing padahal pertempuran dengan musuh asli mereka masih jauh di depan.

Amoureux de…(Seungwan) part 7-78

”Do you want coffee or tea? Or something else?” tawar Joohyun pada Michelle.

Kedua pemilik perusahaan tersebut kini berada di dalam ruang kerja milik Joohyun, sengaja memisahkan diri dari rombongan mereka setelah acara inti selesai. Joohyun serius dengan niatnya untuk berbicara dengan Michelle.

”Do you have any suggestions? Anything is fine, especially if it’s your choice.”

Napas Joohyun terhenti sejenak, ia sedikit bersyukur saat ini posisinya tengah membelakangi Michelle sehingga ekspresi wajahnya saat ini tidak dapat dilihat oleh siapapun.

Joohyun benar-benar merasa bodoh tidak menyadari perasaan Michelle lebih awal. Apalagi setelah ia pikir-pikir, selama ini Michelle telah memberikan kode-kode padanya yang cukup nyata. Ia menyadari bahwa sedikit banyak, dirinya pun turut andil dalam kekacauan ini.

Tangan Joohyun berhenti menuangkan air hangat ke dalam cangkir, matanya melihat box kayu kecil tempat Seungwan biasa menyimpan teh yang Seungwan siapkan khusus bagi Joohyun setiap kali Joohyun bekerja hingga larut malam.

”Teh ini yang selalu aku minum kalau jadwalku padet. Such a life saver and I think, kamu juga harus minum ini setiap kamu lembur.”

Joohyun tersenyum kecil ketika ia mengingat ucapan Seungwan. Terdapat perasaan hangat yang menyelimuti dirinya saat ia mengingat-ingat kembali momen-momen antara dirinya dan Seungwan. Hal ini seketika membuatnya ingin segera menyelesaikan pembicaraan dengan Michelle dan segera pulang untuk bertemu dengan Seungwan.

Tangan Joohyun kemudian mengambil dua kantung teh dan memasukkannya ke masing-masing cangkir, lalu mengaduk pelan keduanya. Setelahnya Joohyun membawa cangkir tersebut dan meletakkan satu cangkir di depan Michelle.

”Here you go. This tea is good for your health, or so.” senyum Joohyun pada Michelle.

”Whoa thank you. I feel cared for.”

Lagi-lagi napas Joohyun tercekat, Michelle kembali menyalahartikan perbuatannya dan bukan ini tujuan yang ingin ia capai.

“So, Irene, what do you want to talk to me about?”

”I want to thank you for your company’s help and there is another thing I want to talk to you seriously about.” ucap Joohyun sembari berusaha menebak arah jalan pikir Michelle saat ini.

”Look, Michelle, I should be honest with you because that’s the least I can do. I’m not stupid, I know that you might think of me differently but I’m so sorry I can’t.” lanjut Joohyun.

Michelle yang awalnya tengah meminum teh buatan Joohyun, kini menghentikan aktivitasnya sejenak dan meletakkan cangkir tersebut kembali ke atas meja.

”Why? Because I’m a woman too?”

”No. That’s not. It’s because I like–....I already love someone else and we will be getting married soon. In fact, the tea that you just drank was from her. I respect you as a colleague, that’s why I want to talk to you about this matter privately.”

”Well, you said it yourself. You aren’t married yet, right? So I still have a chance.”

”Michelle, please don’t make it hard for both of us. I am asking you nicely to stop whatever you are trying to do to me because I will never reciprocate it.”

Michelle tertawa pelan, ia berdiri dari posisinya dan berjalan mendekat ke arah Joohyun.

“Irene, people do stupid or even crazy things when they’re in love, you know that right? Like you, I’m crazily and madly in love with you.”


Seungwan terperanjat kaget ketika ia mendengar suara Joohyun yang menggelegar di dalam ruang kerjanya. Sang solois kemudian memilih untuk kembali ke dalam ruang kerja milik Minjeong karena ia pikir Joohyun saat ini sedang berbicara serius dengan salah satu pegawai kantornya.

Namun tepat saat Seungwan hendak memutar tubuhnya, pintu ruangan Joohyun terbuka dengan kasar dan nampak di hadapannya saat ini adalah sosok Joohyun dengan mukanya yang merah padam.

Joohyun pun tak kalah terkejut ketika ia mendapati sosok Seungwan berdiri mematung di hadapannya. Sedetik kemudian, mata Joohyun membelalak khawatir.

“S-Seungwan….K-kamu sejak k-kapan disini?” tanya Joohyun yang langsung menggenggam tangan Seungwan dengan erat.

Seungwan cukup terkejut ketika mendapati tubuh Joohyun bergetar hebat dan ia baru menyadari bahwa Joohyun saat ini sedang mencoba mengatur ritme napasnya.

“H-hey, kamu kenapa? I heard your voice from here.” tanya Seungwan sembari mengelus punggung tangan Joohyun.

Jawaban Seungwan justru membuat Joohyun semakin ketakutan. Ia tidak ingin Seungwan salah paham.

“S-sayang, please dengerin aku dulu.”

Sementara itu Seungwan justru merasa kebingungan dengan sikap Joohyun. Namun tak lama kemudian ia mendengar seseorang melempar sesuatu barang pecah belah dari dalam ruangan Joohyun. Sontak hal ini membuat Seungwan tambah berpikir keras. Tidak ada orang lain yang memiliki posisi lebih tinggi daripada Joohyun di perusahaan ini, lantas siapa orang yang berani melakukan hal seperti itu?

“Siapa yang ada di dalam ruangan kamu, Joohyun?” tanya Seungwan.

“Seung-...”

“Joohyun, please. Just answer me, siapa?”

Joohyun mengeratkan genggamannya pada Seungwan, ia takut Seungwan akan pergi ketika ia mendengar jawaban yang akan diberikan olehnya.

“M-Michelle…”

Seungwan sama sekali tidak berekspektasi akan mendengar jawaban tersebut.

“Seungwan, please dengerin aku. Ini nggak yang kayak kamu bayangin, sayang. You read my message right? I was talking with her about that.”

Napas Seungwan perlahan menjadi tidak stabil. Ingatannya kembali memutar segala memori-memori yang ada tentang Joohyun dan tentang Michelle. Kemudian memorinya tentang masa lalu kedua orang tuanya.

Joohyun pun menyadari bahwa perlahan Seungwan mulai mengalami serangan panik. Ia mencoba untuk memanggil nama Seungwan namun kini Seungwan sudah terlalu terlarut dalam pikiran dan dunianya sendiri.

“Seungwan, honey, sayang, please dengar aku. Seungwan.”

“J-Joohyun!”

Joohyun menoleh ke arah pintu lift dan mendapati Jennie berlari ke arahnya dengan terengah-engah.

“I saw it.” ucap Jennie singkat, kemudian ia menatap ke arah Seungwan “Lo harus percaya Joohyun, okay? Gue bersumpah sama nyawa gue sendiri, Joohyun nggak bohong dan gue punya buktinya.”

Seungwan masih terdiam, tubuhnya masih enggan bereaksi apalagi setelah mendengar ucapan Jennie.

She didn’t know what exactly happened, but the alarm on her body told her it was something bad and she did not want to know.

“Seungwan, sayang…. Please jangan dengerin suara yang ada di kepalamu.” ujar Joohyun lagi yang kali ini berusaha untuk menyejajarkan pandangannya dengan Seungwan.

“Lo bawa Seungwan ke ruangan gue dulu aja, biar cewek gatel itu gue yang urus.”

Joohyun mengangguk, ia pun menuntun Seungwan untuk memasuki lift menuju ruang kerja milik Jennie.

Sesampainya disana, Joohyun segera mendudukan Seungwan di sofa yang memang disediakan bagi pengunjung ruangan tersebut.

Seungwan masih terdiam.

Ia terlihat beberapa kali meneguk air liurnya sendiri dan menggelengkan kepalanya, seakan-akan berusaha untuk mengabaikan pikiran-pikiran negatif yang ada disana. Hal ini membuat Joohyun semakin merasa khawatir.

“H-hyun…p-please tell me k-kamu nggak ngapa-ngapain kan…sama dia….”

“No, of course not. Please percaya aku.”

Seungwan mengangguk.

“Peluk aku, Joohyun.” pinta Seungwan lemah.

Otomatis Joohyun segera memeluk Seungwan. Tangannya melingkari bahu Seungwan, mendekapnya erat sembari mengelus punggung Seungwan.

“Seungwan, apa yang ada di pikiran kamu sekarang, kalau itu negatif, itu semua nggak bener ya sayang. I would never do that.” bisik Joohyun pelan.

“Aku nggak percaya sama diriku sendiri. I want to run, I want to yell at you, I want to blame someone for this.” balas Seungwan yang kini mencoba menarik napasnya panjang.

Tubuh Seungwan perlahan melemas ketika ia menghirup aroma tubuh Joohyun yang sudah beberapa hari ini tidak memenuhi indranya.

“Aku benci papa dan aku nggak mau harus benci kamu juga, Hyun.” tambah Seungwan.

“I love you Seungwan, I do. Aku nggak akan pernah melakukan apa yang papa kamu lakukan. I’m so sorry you have to see that when you were a kid. Tapi please percaya sama aku kalau aku nggak akan pernah kayak gitu.”

Seungwan mengangguk pelan, tangannya perlahan turut memeluk Joohyun. “Just hug me. I need time. Aku sangat-sangat ingin kabur dari sini. That’s the easiest way I know for all my life, tapi aku nggak akan kabur lagi. I will stay and listen.”

“I’m sorry Seungwan, I’m so sorry. Aku harusnya lebih peka tentang perasaan kamu, tentang Michelle. Aku terlalu fokus sama prinsip aku sendiri tanpa mengingat kalau kamu pun punya batasan. Aku terlalu percaya diri sama prinsipku dan lupa kalau aku nggak bisa mengatur semuanya.”

Napas Seungwan kembali tercekat, ia memejamkan matanya dengan rapat.

“M-maksud kamu? Kamu ngapain? Dia ngapain?” tanya Seungwan sembari menekankan kata dia dengan penuh kebencian.

Sementara itu Joohyun menggigit bibirnya sejenak, berusaha untuk mempertimbangkan keputusannya. Namun kemudian ia teringat bahwa ia tidak akan pernah membohongi Seungwan. Joohyun hanya bisa berharap keputusannya ini tepat.

“She…tried to kiss me.” ucap Joohyun pelan sembari mempererat pelukannya, kemudian ia melanjutkan kalimatnya.

“But it didn’t happen. Aku berani sumpah. Jennie juga bilang punya buktinya kan? My room has cctv dan aku yakin maksud Jennie adalah rekaman itu. I swear, Seungwan. Please believe me.”

“...”

“Seungwan, I’m so sorry you have to see me like this but I swear nothing happened. Aku juga sudah terminate the contract. Aku nggak peduli kalau aku harus kerja beribu-ribu kali lipat lebih keras untuk bayar penalti dan untuk menanggung kerugian perusahaan ini. Kamu yang paling penting buat aku. Aku bakal–....”

“Thank you Joohyun…” potong Seungwan cepat dan membenamkan wajahnya di ceruk leher Joohyun. “What you did is more than enough.”

“Tapi aku juga bisa nuntut—....”

“Enough Joohyun, aku nggak mau bahas dia lagi. Aku percaya kamu dan kalaupun aku penasaran, aku akan minta kak Jennie untuk nunjukin rekamannya ke aku, but I don’t think I wanna see it.”

“Okay…” jawab Joohyun yang tanpa sadar tengah menghela napas lega.

“I almost slapped her, you know. Tapi terus aku ingat kalau aku nggak pernah suka main fisik dan kalau aku nampar dia, malah nanti dia bisa nuntut aku.” lanjut Joohyun.

“Aku denger tadi kamu teriak dan aku kaget. Setauku ruangan kamu kedap suara dari luar” ucap Seungwan pelan sembari terkekeh pelan, berusaha mencairkan suasana.

“You did? Oh my god, aku nggak tau tadi aku semarah itu.”

“Yeah, and it was so scary. Aku udah mau balik ke ruangan Minjeong. By the way, please talk about something else, Hyun. Aku nggak mau kepikiran terus sama yang tadi.”

“You are pretty.”

“Oh my god, yang lain.”

“I am lucky to have you.”

“Joohyuuun!”

“I miss you. I want to hug you. I want to cuddle with you, watching your lame american netflix series. I want to kiss you.”

Seungwan melepaskan pelukan mereka.

“Hey! Netflix series punyaku jauh lebih menarik daripada natgeo punya kamu!”

“Nggak, punyaku lebih seru.”

“Joo–...”

Ucapan Seungwan terhenti ketika Joohyun menyesap bibir bawah milik Seungwan dengan pelan. Menyalurkan rasa rindunya pada sang solois. Sementara itu, Seungwan pun merespon kecupan tersebut dengan halus dan tidak terburu-buru.

Tangan Seungwan menjalar di tengkuk Joohyun untuk memperdalam ciuman mereka. Tangan Joohyun pun tak kalah liar, ia menarik tubuh Seungwan dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya menelusup ke dalam kemeja putih yang Seungwan kenakan dan mengelus perut Seungwan dengan sangat pelan.

She missed them.

Seungwan sudah hampir berpindah ke pangkuan Joohyun saat yang lebih tua justru menyudahi ciuman mereka dan menempelkan kening mereka masing-masing, berusaha untuk mengatur napas.

“Seungwan, you don’t know how much I want to make love to you right now, right here. Tapi ini ruangan Jennie so I wont. Let’s just go home.”

“Okay, I agree.”

Amoureux de…(Seungwan) part 7-74

Bohong jika Seungwan berkata bahwa ia mengabaikan seluruh pesan dan panggilan masuk dari Joohyun karena pada faktanya Seungwan telah membaca semua pesan singkat dan melihat panggilan masuk dari Joohyun yang pada akhirnya ia biarkan untuk tidak ia angkat.

Saat ini ia bukan sedang kabur dari permasalahan. Namun Seungwan merasa butuh waktu untuk memproses segalanya. Informasi yang ia dapatkan dari Minjeong kembali memicu kekhawatirannya dan sedikit banyak membuatnya selalu memikirkan hal-hal yang buruk.

Walau ia sepenuhnya menyadari bahwa Joohyun dan Papanya adalah dua sosok yang berbeda, namun tetap saja bayang-bayang itu terus menghantui dirinya, membuat Seungwan selalu bertanya pada dirinya sendiri bagaimana jika hubungannya dengan Joohyun akan berakhir seperti Papa dan Mamanya?

Seungwan pun tahu seharusnya ia berbicara langsung dengan Joohyun. Namun ia pun tahu bahwa saat ini kondisinya mungkin tidak ideal bagi mereka berdua untuk duduk dan berbicara serius tentang permasalahan ini. Seungwan dengan sejuta kekhawatirannya dan Joohyun dengan rasa lelahnya di kantor.

Sang solois tidak ingin mengulang kejadian yang sudah-sudah dimana mereka berakhir dengan pertengkaran yang hebat. Mereka berdua sudah cukup sering saling menyakiti satu sama lain dan kali ini Seungwan tidak ingin mengulanginya kembali.

Untuk itu Seungwan memilih mengabaikan Joohyun untuk sementara waktu sampai ia merasa benar-benar sudah tenang dan siap untuk membicarakan tentang permasalahan antara Joohyun dan Michelle, mungkin esok hari setelah Joohyun selesai melakukan penandatanganan proyeknya dengan perusahaan milik Michelle.

“Lho, kamu disini? Mama pikir kamu pulang ke rumah Joohyun?”

Seungwan terperanjat ketika mendengar suara mamanya, ia pikir saat ini hanya dirinya saja yang masih terjaga.

“Nggak, ma…”

“Kenapa? Berantem lagi?”

Kalimat tersebut membuat Seungwan tertegun dan menyadari betapa seringnya orang-orang lain yang ikut terseret dalam permasalahan antara dirinya dan Joohyun.

“Seungwan sayang, Mama paham betul sama sifatmu. When you love something you always give your hundreds and you tend to be hurt along the way. Seiring dengan kamu bertambah dewasa, kamu semakin menyadari rasa sakit itu dan sekarang kamu fokus untuk melindungi diri kamu sendiri dari rasa sakit itu, ya kan?”

Seungwan mengangguk.

“Nasihat mama akan selalu sama. Intinya ada di komunikasi dan usaha. Semua kekhawatiran kamu itu valid, semua perasaan kamu itu valid. Begitu pula dengan Joohyun. Kalian kan bukan cenayang yang bisa memahami satu sama lain lewat telepati, jadi bicarakan semua hal yang mengganjal bagi kalian. Pelan-pelan kalian akan bisa memahami satu sama lain dengan lebih mudah. Wajar sekali kalau saat ini kalian berdua masih belum bisa berkomunikasi dengan benar, kalian baru bersama-sama berapa lama sih? Belum ada lima tahun kan? Pasangan yang sudah menikah puluhan tahun aja masih bisa miskomunikasi, apalagi kalian.”

“Well, ma… tapi yang ini tuh…” Seungwan menghela napasnya panjang. Ia kemudian membuka ruang chat antara dirinya dan Minjeong.

“Mama bisa baca ini semua dan mama akan paham kenapa aku sekarang ada disini.”

Nyonya Do mengernyitkan dahinya sesaat sebelum ia mengambil ponsel yang ada di tangan putrinya. Jemarinya bergulir pelan membaca isi pembicaraan antara Seungwan dan Minjeong secara saksama.

Nyonya Do meletakkan ponsel milik Seungwan di atas meja kaca yang ada di dekat sofa tempat mereka duduk, kemudian ia menggenggam kedua tangan Seungwan dengan hangat.

“Sayang, Mama paham sekali apa penyebab kekhawatiran kamu. Tapi Mama juga mau mengingatkan kamu kalau nggak adil bagi Joohyun untuk selalu dibandingkan dengan Papa kamu setiap kali ada kejadian yang serupa. Percaya sama Mama, kedepannya nggak cuma sekali atau dua kali akan terjadi hal yang seperti ini. Sekarang tinggal bagaimana kalian berdua memilih untuk menyelesaikannya.”

“Ma, ucapan mama bukan bikin aku tenang tapi bikin aku tambah overthinking.” jawab Seungwan pelan.

“Mama bicara realitanya aja. Kayak yang tadi mama bilang, komunikasi. Kekhawatiran kamu itu wajar, perasaan kamu itu valid dan nggak boleh ada orang yang bilang kalau kamu terlalu overthinking. You love her, that’s why you’re worried. Masalahnya, kamu nggak tahu kan apa yang ada di kepala Joohyun saat ini, rencana dia, alasan dia atas segala perbuatannya.”

Seungwan menggeleng pelan.

“Maka dari itu kalian butuh bicara serius. Kamu boleh kok kasih tahu ke Joohyun batasan-batasan yang kamu nggak ingin Joohyun lakukan ke orang lain, do and donts. Yang nggak boleh adalah kamu memaksakan kehendak kamu. Kalau sekadar bicara, mama rasa nggak ada salahnya. Begitu pula dengan Joohyun. Inget kan, Joohyun nggak suka kamu naik taksi dan dulu Joohyun suka ngatur dan ngelarang kamu. Kesel nggak?”

“Banget.” dengus Seungwan.

“Tau alasan Joohyun kayak gitu?”

Seungwan mengangguk, “Dia cuma khawatir aja. Dia maunya aku selalu aman.”

“Sekarang ada cara lain nggak supaya Joohyun tetap tahu kalau kamu aman tanpa dia harus ngelarang kamu ini dan itu?”

Nyonya Do tertawa kecil saat melihat perubahan ekspresi di wajah Seungwan dan menyentuh puncak hidung Seungwan untuk menggoda putrinya.

“Ya kan? Semua kalau didiskusikan dengan baik, pasti ada jalan keluarnya, sayang. Jadi sekarang kamu stop berpikiran yang negatif, okay? Sekarang sudah tahu apa yang harus kamu dan Joohyun lakukan?”

“Hmm…ya…” jawab Seungwan sedikit malu.

“Kalian ini sudah besar tapi kayak anak baru sekali pacaran.”

“Ya emang.” celetuk Seungwan.

“Oh ya? Dokter park dulu gimana? Terus itu temen-temen cowok kamu itu, yang dulu suka ketemu di klub malam?”

“Ih apaan sih maaaa! Nggak ada, nggak ada.” jawab Seungwan dengan defensif. Ia kemudian bangkit dari posisinya dan mengambil ponselnya, berinisiatif untuk segera pergi dari ruang tengah sebelum mamanya kembali menggodanya.

“Mama kira kamu dulu bakalan sama dokter park?” goda Nyonya Do lagi.

“Maaa, stop it! Iya aku dulu emang pernah sama Ojé and it was one of my happiest moments but that’s it. Aku dan Ojé lebih cocok jadi sahabat. So, stop it ma, kalo Joohyun denger nanti dia ngambek lagi ke aku!” rengek Seungwan.

Nyonya Do terkekeh, “Oke, dokter park off-limit.”

“Yep, off-limit.”

“Okay kalau gitu godain kamu tentang orang lain boleh?”

“Mama!”

Amoureux de…(Seungwan) part 7-26

Tiada kata lain selain ‘canggung’ yang bisa menggambarkan suasana di ruang makan pada siang hari itu, setidaknya bagi Joohyun.

Sejatinya Joohyun, dan segala hambatan yang ia ciptakan sendiri, yang membuat siang hari itu terasa canggung. Terbukti dengan Yerim yang terlihat santai menyantap hidangannya serta Seungwan yang terlihat sangat akrab berbincang-bincang dengan tuan dan nyonya Bae.

Sang solois memang sempat terlihat kikuk ketika tuan Bae menanyakan perihal berita ‘skandal’ antara putri sulungnya dan Seungwan. Namun hal ini tidak berlangsung lama karena kepala keluarga Bae tersebut langsung menambahi bumbu-bumbu godaan dalam kalimatnya yang secara otomatis disambut dengan godaan lainnya dari Yerim.

Joohyun sesekali tersenyum kecil, berusaha menahan tawanya. Agaknya ia masih sedikit gengsi mengingat kemarin ia baru bertengkar dengan ayahnya yang sebenarnya hanya sebuah kesalahpahaman dan belum lagi ‘masalah’-nya dengan Seungwan yang belum selesai.

“Ketawa tuh jangan ditahan nanti jadi kentut tau kak!” celetuk Yerim.

Mendengar ocehan Yerim barusan, semua mata tertuju pada Joohyun yang kini sudah bersungut kesal ke arah sang adik.

“Gengsi itu kakakmu. Lebih tinggi dari badannya.” goda tuan Bae.

Tentu saja hal ini membuat seisi ruang makan terkekeh, tak terkecuali dengan Seungwan. Namun berbeda dengan yang lainnya, setelah ia tertawa, tangan Seungwan secara otomatis menepuk dan mengelus tangan Joohyun yang ada di atas meja.

“Makanya jangan diem sendirian.” ujar Seungwan disela tawanya.

“Mau nambah, kak?” tawar nyonya Bae untuk mengalihkan perhatian.

Joohyun hanya menggeleng dan memberikan senyuman

“Yaudah kalau nggak mau, tapi nanti kalau lapar lagi kamu minta bibi aja ya?”

Joohyun mengernyitkan keningnya saat melihat sang Ibunda seakan bersiap-siap meninggalkan meja makan.

“Mau kemana?” tanya Joohyun.

“Oh ngurusin bunga-bunganya Bunda. Ada yang baru datang kemarin. Ah iya! Mas, kamu udah janji mau bantuin loh ya, Yerim juga.”

Tuan Bae dan Yerim saling melempar pandang, mereka nampaknya tidak ingat akan janji tersebut namun ketika keduanya melihat sang ibu rumah tangga mendelik kesal, tentu saja baik kepala keluarga maupun anak bungsu tersebut langsung beringsut berdiri dari kursi mereka.

“Adek ganti baju dulu deh. Nanti nyusul ke taman.”

“Ayah mau ganti celana pendek juga deh.”

“Bun, mau aku bantu–...”

Kalimat Seungwan terpotong saat ia merasakan Joohyun menarik tangannya pelan. Otomatis Seungwan menoleh ke arah Joohyun, meminta penjelasan.

“B-bisa disini s-sebentar nggak? Aku…m-mau…”

“Dih dibilang kayak petugas SPBU aja!” potong Yerim yang sudah melarikan diri menghindari amukan sang kakak.

“Kenapa Hyun?”

Tak lama berselang, tuan dan nyonya Bae pun memahami bahwa putri sulung mereka sedang membutuhkan waktu untuk berbicara dengan Seungwan. Keduanya pun ikut meninggalkan ruang makan, membiarkan Joohyun dan Seungwan untuk berbicara empat mata.

Mata Joohyun terus mengikuti pergerakan kedua orang tuanya hingga keluar dari ruang makan baru setelahnya ia kembali menatap Seungwan.

Sementara itu Seungwan masih duduk di kursinya, dengan sabar menunggu Joohyun untuk memulai percakapan. Semua pergerakan Joohyun tak luput dari pengamatan Seungwan.

Bagaimana Joohyun mengetukkan jari-jarinya di atas meja secara pelan namun konstan.

Bagaimana Joohyun mengernyitkan keningnya, membuat guratan-guratan di dahinya.

Bagaimana Joohyun terlihat berusaha mengatur napasnya beberapa kali.

Seungwan menatap Joohyun kebingungan ketika Joohyun tiba-tiba bangkit dari kursinya dan menggandeng tangan Seungwan dengan erat.

“Kita ke kamar aku aja. Semuanya ada disana.” ujar Joohyun singkat.

Seungwan pun pada akhirnya hanya mengikuti permintaan Joohyun, berjalan ke arah kamar yang mereka tempati semalam dan malam-malam sebelumnya setiap kali mereka menginap di kediaman keluarga Bae.

Sesampainya disana, Joohyun meminta Seungwan untuk duduk di kasur sembari ia mencari-cari box dimana dirinya menyimpan kenangan-kenangan masa kecilnya. Ia sempat tersenyum getir untuk beberapa saat sebelum menghela napasnya dan menarik box tersebut keluar dari lemari pakaiannya.

Sementara itu Seungwan hanya mengamati dalam diam, menunggu Joohyun untuk menjelaskan seluruh sikap dan perbuatannya.

Hal pertama yang Joohyun lakukan adalah mendorong box tersebut hingga berada tepat di depan Seungwan. Kemudian ia buka box tersebut dan barang pertama yang ada di atas sana adalah foto Joohyun bersama dengan sesosok gadis yang jika Seungwan ingat dengan benar adalah sosok Nana.

“Uhh, ini…. Foto di hari pengumuman masuk universitas. Aku, Nana, dan Seulgi pergi ke taman hiburan ini. Yang ngefotoin ini Seulgi.” ujar Joohyun sembari mengambil pigura dan menjelaskan cerita dibalik foto tersebut.

“Seungwan…aku nggak mau bikin salah sangka di antara kita berdua. Aku tau aku belum pernah cerita ke kamu tentang hubungan aku dan Nana. Sejujurnya alasan kenapa selama ini aku nggak cerita karena aku cuma nggak mau bikin kamu kepikiran dan jadi bandingin diri kamu sama Nana. Kalian berdua sama-sama spesial untuk aku tapi di tempat yang berbeda.” lanjut Joohyun menjelaskan.

Seungwan menatap paras Joohyun dan Nana yang terabadikan dalam foto tersebut. Joohyun di foto itu memang terlihat lebih muda, namun bukan hal ini yang menarik perhatian Seungwan. Justru fakta bahwa Joohyun terlihat lebih santai dan carefree membuat Seungwan cukup tertegun.

“Asik banget bisa pergi bareng temen-temen ke taman hiburan kayak gini. Aku sampai sekarang nggak pernah kayak gini.” ucap Seungwan.

“Habis aku selesai sama proyek dengan Mills, kita jalan-jalan ke disneyland mau? Aku janji bakal lowongin waktuku seminggu buat liburan.”

“Jangan bikin janji kalau sulit ditepati. Aku cuma ngomong kayak tadi ya karena memang faktanya aku belum pernah main ke taman hiburan kayak gitu.”

“Iya nanti pertama kali ke taman hiburan sama aku.”

Seungwan mengangkat bahunya, tanda ia tidak mau berbalas kata dengan Joohyun perihal janji tadi. Ia lebih memilih untuk menatap Joohyun dengan lekat.

“Joohyun, jujur aku selama ini memang penasaran sama Kak Nana, sama cerita kalian. Apalagi setelah lihat kamu terpukul banget kayak kemarin. Aku bingung, Aku takut, tapi aku juga tahu kalau aku nggak boleh memaksa kamu untuk cerita kalau kamu memang belum siap. That’s only fair because you did the same to me..”

Tangan Joohyun terjulur, meraih tangan Seungwan.

Kini kedua tangan Seungwan sudah digenggam erat oleh Joohyun, ibu jarinya mengelus punggung tangan Seungwan secara berirama.

“Maaf karena sikapku bikin kamu ragu, ya? Aku nggak tahu harus cerita darimana, aku juga nggak yakin apakah ceritaku bakal bikin kamu ngerti atau justru bikin kamu semakin bertanya-tanya. Tapi Yerim bilang kalau aku harus cerita semuanya, tanpa ada yang aku kurangi atau tambahkan. Sisanya biar kamu yang menilai.”

Seungwan mengangguk setuju.

“Alright then, aku bakal cerita dari awal aku ketemu Nana.”


Flashback

Spring, 2001

“Pak, berhenti disini aja. Aku nanti jalan sendiri ke rumah, janji nggak lama kok pak.” ujar Joohyun ketika mobil sedan yang ia tumpangi semakin mendekati gerbang rumahnya.

Sang pengemudi pun mengangguk mengiyakan perintah dari nona muda yang sudah bertahun-tahun menjadi majikannya. Toh ia pun tahu bahwa Joohyun tidak akan mengingkari janjinya, janji yang sama yang sudah berkali-kali Joohyun ucapkan selama beberapa bulan kebelakang.

Perlahan mobil sedan tersebut menepi dan tak lama setelahnya Joohyun turun dari kursi penumpang, tas sekolahnya ia tinggalkan di dalam mobil.

Setelah pintu mobil tertutup rapat, mobil sedan tersebut kembali melaju menuju gerbang kediaman keluarga Bae.

Sementara itu Joohyun melangkahkan kakinya menyebrang jalan, lalu berusaha mengintip ke dalam rumah Seungwan melalui celah-celah pagar. Betapa terkejutnya ia saat menemukan sosok seorang gadis yang tengah berjongkok di tengah-tengah taman, tempat biasanya ia dan Seulgi bermain bersama Seungwan, membelakangi posisi Joohyun berada saat ini.

Awalnya Joohyun sudah bersorak gembira dalam hatinya, mengira bahwa sosok gadis tersebut adalah Seungwan. Sosok yang sudah tidak ia lihat semenjak musim dingin tahun lalu dan selalu ia cari keberadaannya hingga sekarang. Sosok yang menghilang tanpa jejak, tanpa pemberitahuan.

Joohyun terkejut tatkala ia melihat gadis tersebut bangkit dari posisinya dan menyadari bahwa orang itu bukanlah Seungwan.

“Hei kamu!!!” teriak Joohyun refleks.

Sosok yang diteriaki sontak terlonjak kaget. Ia memalingkan tubuhnya dan mendapati Joohyun sudah berdiri di balik pagar, lagi-lagi berteriak ke arahnya.

“Hei!! Kamu siapa??!!”

Tentu saja sang pemilik rumah kebingungan mendapati seorang gadis asing berteriak ke arahnya masih dengan seragam sekolah lengkap, seakan-akan ia adalah penyusup yang tidak diharapkan kedatangannya padahal properti ini milik keluarganya.

“Kamu yang siapa!”

“Loh? Kok malah nyaut balik sih? Kamu siapa? Seungwan mana?!” tanya Joohyun kesal.

“Ih aneh banget sih?! Aku yang punya rumah! Kalau teriak-teriak terus, mending kamu pergi deh dari pada aku panggilin satpam!”

Belum sempat gadis itu berteriak memanggil satpam rumahnya, seekor anjing penjaga sudah lebih dahulu menyalak ke arah Joohyun, membuatnya lari tunggang langgang.

Jika melihat Amanda saja ia sudah tidak berani mendekat, apalagi anjing penjaga bukan?

Flashback End


Seungwan tertawa mendengar cerita Joohyun. Ia sama sekali tidak menyangka Joohyun bisa bertindak layaknya preman namun lari ketakutan hanya karena seekor anjing penjaga.

“Hey! Kok malah ketawa sih?!” gerutu Joohyun.

“Lucu aja ngebayangin Kak Joohyun yang selalu kelihatan nyeremin tapi ternyata bisa lari ketakutan gara-gara anjing doang.” tawa Seungwan.

That’s not the point!!! Aku tuh dulu nyariin kamu kemana-mana! Kamu pindah tanpa kasih kabar ke aku.”

“Ooh, jadi dulu kamu nyariin aku nih? Padahal dulu tuh kamu suka sok-sok nggak mau ketemu aku tuh kalau di sekolah?” goda Seungwan.

Joohyun hanya mengerucutkan bibirnya, tanda ia mengaku kalah dalam perdebatannya dengan Seungwan.

“Kamu tuh ya, dari kecil gengsinya udah setinggi gunung everest. Heran banget deh aku. Yaudah terus lanjutin ceritanya, kok bisa jadi deket sama Kak Nana? Kayaknya pertemuan pertama kalian tuh nggak dalam taraf yang baik-baik aja deh?”


Flashback

9 Maret 2001

Hari itu Joohyun melangkahkan kakinya memasuki gerbang sekolah dengan wajah yang nampak dipenuhi pikiran. Masalahnya pagi tadi saat ia berangkat sekolah, lagi-lagi Joohyun melihat sosok gadis ‘penyusup’ di rumah Seungwan. Gadis itu terlihat sedang mengelus-elus kepala anjing penjaga yang kemarin menyalak ke arahnya.

Ia berniat mengajak Seulgi untuk mendatangi rumah Seungwan sore hari nanti. Mereka harus mendapatkan identitas gadis tadi secepatnya agar Joohyun bisa segera mencari tahu dimana keberadaan Seungwan saat ini. Pasalnya kedua orang tuanya pun tidak tahu menahu perihal keberadaan teman kecilnya itu.

“Ih Joohyun! Jalan liat-liat dong!” omel salah satu teman sekelasnya yang tidak sengaja ditabrak oleh Joohyun ketika ia berjalan memasuki ruang kelas.

“Ya kamu juga ngapain lari sih!” protes Joohyun.

“Itu ada anak baru! Kita penasaran!”

Joohyun mengernyit heran. Memangnya ada apa dengan anak baru? Joohyun mengangkat bahunya, ia tidak tertarik. Sebaliknya, Joohyun tetap bertingkah seperti hari-hari biasanya, berjalan menuju bangku yang biasanya ia tempati.

Namun ia justru terkejut ketika mendapati bangku yang biasanya ia tempati sudah diisi oleh orang asing yang tidak ia kenali.

Baru saja Joohyun hendak melayangkan protes, anak baru tersebut sudah lebih dulu menunjuk wajahnya dan berteriak heboh.

“KAMU?!”

Merasa dirinya tidak terima diteriaki oleh orang asing, Joohyun pun balas meneriaki ‘teman’ barunya itu.

“Apaan sih nunjuk-nunjuk?! Omong-omong ya, itu kursi aku!”

“Kata siapa?!”

“Ya kata aku lah barusan!”

“Nggak ada namanya tuh disini!”

“Uhh, mending kamu duduk di kursi aku aja deh Hyun.” bisik Seulgi yang tiba-tiba sudah ada di samping Joohyun.

Seulgi baru saja kembali dari toilet dan cukup terkejut mendapati Joohyun sudah beradu argumen dengan teman baru mereka. Ia pun sengaja menawarkan bangkunya karena ia tahu Joohyun tidak suka duduk di area belakang, sahabatnya itu lebih suka duduk di area tengah atau depan.

“Nggak ah! Aku nanti sebelahan sama orang aneh ini! Gak kenal aja udah teriak-teriak!” dengus Joohyun sembari berjalan menghentakkan kakinya, memberi sinyal pada semua orang bahwa moodnya sudah hancur berantakan pagi ini.

“Loh kok aku yang aneh! Kamu tuh yang aneh! Masa kemaren teriak-teriak di pagar rumah orang?!”

Mendengar ucapan tersebut, tiba-tiba Joohyun menyadari siapa sosok yang telah ‘mencuri’ tempat duduknya.

“Kamu siapanya Seungwan!”

“Apaan sih dari kemarin Seungwan mulu! Aku aja gatau siapa Seungwan!”

Mendengar nama salah satu kawannya disebut, Seulgi melihat ke arah Joohyun dan anak baru secara bergantian.

“Dia kenal Seungwan, Hyun?” bisik Seulgi.

“Nggak tau! Tapi dia kemarin ada di rumah Seungwan, pagi ini juga! Aneh kan?” balas Joohyun.

“Saudara kali?” bisik Seulgi lagi.

“Mana mungkin! Seungwan kan anak tunggal!”

Mulut Seulgi membulat membentuk huruf ‘o’ saat ia menyadari bahwa tebakannya sudah pasti salah. Benar juga ucapan Joohyun, Seungwan adalah anak tunggal jadi mana mungkin tiba-tiba ia memiliki saudara yang sebaya dengan dirinya dan Joohyun.

Flashback End


“Ih masih nggak menjawab pertanyaan! Itu kamu belum cerita gimana kamu bisa deket sama Kak Nana.” protes Seungwan pada Joohyun.

Joohyun menggaruk pelipisnya sesaat, berusaha mengingat-ingat kembali.

“Uhh, intinya tuh kami berdua sekelas kan. Terus sejak saat itu aku sering satu kelompok sama dia kalau dapat tugas.” jelas Joohyun.

“Oh jadi maksudnya deket karena terbiasa?”

Joohyun mengangguk, “Bisa dibilang gitu. Kami sekelas terus bahkan sampai masuk SMP. Ya walaupun pas SMP cuma sekelas satu tahun aja sih. Faktor lainnya mungkin juga karena Nana itu tetangga aku, jadi sering banget ketemu.”

“Sengaja apa nggak sengaja tuh?”

Kening Joohyun mengkerut, “Ini kamu lagi cemburu ya?”

“Idih! Aku kan nanya, yaudah kalau nggak mau jawab!”

Joohyun perlahan tersenyum menggoda ke arah Seungwan. Ucapan Yerim ada benarnya juga, memang lebih baik semuanya dimulai dari awal.

“Aku pertama kali deket sama Nana waktu pelajaran olahraga. Sekitar dua bulan setelah kami berkenalan.”

“Emang pas kelas olahraga kalian ngapain?” selidik Seungwan lagi.


Flashback

Suatu hari di jam pelajaran olahraga, 2001

Joohyun menghela napasnya kesal karena hari ini lagi-lagi datang, hari rabu, hari dimana kelasnya mendapatkan jatah untuk kelas olahraga.

Berbeda dengan Seulgi yang selalu bersemangat saat mata pelajaran olahraga, Joohyun justru selalu berusaha menghindari mata pelajaran ini. Namun begitu bukan berarti ia membolos kelas olahraga, hanya saja ia selalu mengeluarkan usaha seminimum mungkin.

“Hari ini kita mau ngapain lagi sih!” dengus Joohyun kesal. Ia menyilangkan tangannya di depan dada.

“Lompat jauh, Hyun! Seenggaknya kita nggak terlalu banyak lari deh hari ini!” sahut salah satu teman satu kelasnya.

Mendengar informasi tersebut, Joohyun memejamkan matanya sebagai bentuk usaha untuk meredam emosinya. Baru mendengar tentang kegiatan mereka hari ini saja sudah membuatnya cukup sakit kepala.

Joohyun mengekor di barisan paling belakang saat guru olahraga sedang memberikan penjelasan tentang teori untuk melakukan lompat jauh. Beberapa orang terlihat antusias dan beberapa orang lainnya nampak mengacuhkan penjelasan sang guru.

Joohyun tidak termasuk dalam kategori keduanya karena ia masih berusaha mendengarkan penjelasan gurunya walaupun ia tidak ada niatan untuk mendapatkan nilai terbaik.

Disela-sela ia mendengarkan penjelasan guru, karena ia berdiri di barisan paling belakang, Joohyun dapat mendengarkan pula bisik-bisik yang dilakukan oleh beberapa teman laki-laki di kelasnya.

Mereka terlihat berbisik-bisik sembari menatap salah satu murid perempuan kelasnya dan ketika Joohyun menelusuri pandangan mereka, nampak bahwa murid laki-laki sedang membicarakan Nana.

Hwang Jin Ah atau yang kerap disapa Nana, gadis yang merupakan murid pindahan yang juga berstatus sebagai tetangga baru keluarga Bae.

Keluarga Hwang merupakan penghuni baru kediaman yang sebelumnya ditempati oleh Seungwan dan keluarganya. Nana merupakan anak tunggal keluarga Hwang, mengetahui hal ini, nyonya Bae pun pernah berujar kepada orang tua Nana agar putri mereka bisa lebih sering bermain dengan Joohyun dan Yerim agar mereka tidak kesepian.

Hubungan Nana dan Joohyun bisa dibilang tidak lah dekat namun juga tidak bermusuhan. Kesalahpahaman mereka sudah diluruskan semenjak keluarga Hwang bertamu ke rumah keluarga Bae untuk menyapa tetangga baru mereka.

Di hari yang sama pula Joohyun mengetahui bahwa keluarga Hwang merupakan keluarga pebisnis seperti keluarganya, hanya saja mereka memiliki bidang yang berbeda.

Keluarga Hwang lebih berfokus di bidang IT, hal ini juga mungkin cukup menjelaskan bagaimana Nana terlihat lebih fasih menggunakan semua gawai-gawai yang tersaji di kelas saat menjalani kelas IT.

Awalnya Joohyun tidak begitu peduli dengan bisik-bisik yang dilakukan oleh teman-temannya, namun lambat laun telinganya dapat mendengar bahwa mereka mulai membicarakan tentang tampilan fisik Nana.

Joohyun memang menyadari bahwa anggota tubuh Nana nampaknya tumbuh dewasa lebih cepat dibanding rata-rata teman sebaya mereka. Nana memiliki postur yang tinggi langsing dengan ukuran dadanya yang mungkin bisa dibilang sedikit di atas rata-rata untuk ukuran anak sebayanya.

Ia memutar kedua bola matanya dengan malas ketika menyadari bahwa Nana kemungkinan sudah menjadi objek pelecehan oleh teman satu kelasnya sendiri. Kini Joohyun berusaha berpikir sekiranya apa yang patut ia lakukan saat ini.

Adu fisik sudah pasti bukan jawabannya, ia pun malas kalau harus baku hantam. Melapor ke guru pun belum tentu akan direspon dengan serius, apalagi ia tidak punya cukup bukti.

Ditengah-tengah waktunya berpikir, Joohyun melihat ada kupu-kupu yang hinggap di dekatnya. Sejujurnya ia tidak takut terhadap kupu-kupu, namun Joohyun merasa bahwa hal ini adalah kesempatan emas mengingat teman-teman satu kelasnya pun sudah tahu bahwa ia seringkali takut pada binatang.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Joohyun berpura-pura terkejut melihat kupu-kupu tersebut dan berteriak kencang. Kemudian ia sengaja berlari ke arah gerombolan anak laki-laki sembari sengaja memukul-mukul tangannya kesembarang arah, seakan-akan ia ingin menghalau kupu-kupu tadi.

Berkat aktingnya tadi, Joohyun berhasil memukul beberapa anak laki-laki serta menendang kaki mereka dengan sangat brutal.

Tentu saja kelas olahraga mereka tiba-tiba menjadi heboh karena ulah Joohyun.

Ia pun berlari ke deretan dimana Nana berada lalu kembali bersandiwara sembari menatap gurunya dengan raut wajah ketakutan.

“A-ada serangga pak!”

Guru olahraga tersebut hanya bisa menggelengkan kepalanya.

“Ya sudah kamu makanya berdiri di depan sini!”

Tentu saja Joohyun mengangguk.

Pelajaran pun kembali dilanjutkan, kini sang guru olahraga memanggil nama muridnya satu per satu.

“Kamu tuh udah tau baju seragam olahraga warnanya putih, kenapa cari ukurannya yang ketat sih? Udah gitu itu undergarment kamu warnanya terlalu mencolok juga.” omel Joohyun sembari melepaskan jaket yang ia gunakan.

“H-hah?”

“Aku tau kamu denger ucapan mereka, kamu nggak nyaman. Kenapa diam aja?”

Nana tersenyum malu, “Aku nggak enak kalau harus minta beli seragam lagi ke Mami aku. Harganya kan nggak murah, Hyunie.”

“Hyunie?” tanya Joohyun.

“Eh, iya aku kemarin denger Bunda kamu manggil kayak gitu dan kedengeran lucu menurutku. Boleh aku panggil kayak gitu juga?”

“Nggak. Cuma keluarga doang yang boleh.” potong Joohyun singkat dan kini telah menyampirkan jaketnya menutupi baju olahraga milik Nana.

“Mendingan kamu minta Mami kamu buat beli baju seragam baru deh, aku yakin beliau nggak masalah. Atau kalau kamu nggak mau, mending kamu pakai jaket. Hari ini aku pinjemin jaket aku, tapi minggu depan gak bakalan.”

“Kamu tuh aslinya perhatian tapi kenapa sih suka sok keren?” dengus Nana

“Udah dibantuin malah cerewet, ih males.”

Joohyun melengos meninggalkan Nana. Ia sedang tidak ingin beradu argumen dengan temannya yang satu ini, sudah cukup energinya terkuras habis untuk berakting tadi dan belum lagi ia masih harus menunggu gilirannya untuk melakukan lompat jauh.

“Hyunie makasih!!” teriak Nana

Flashback End


“Jaket? Kamu olahraga bawa jaket? Aneh banget deh!” ucap Seungwan.

“Ih ya aku nggak mau gosong gara-gara panas-panasan lah!”

“Eh tapi kalau dipikir-pikir ya, pertama kali kita ketemu juga kamu minjemin jaket kamu ke aku, inget nggak?” tanya Seungwan.

“Iya juga ya? Waktu kamu nangis sendirian di taman itu kan?”

Seungwan memukul lengan Joohyun dengan cukup keras saat ia menyadari bahwa kini Joohyun berbalik menggodanya.

“Lucu tau kamu dulu! Nangis dipojokan sendirian! Digodain ada hantu langsung lari.” tawa Joohyun.

“Nggak usah sok keren kalo kamu juga takut hewan!”

Joohyun tertawa lepas. Ternyata berbicara empat mata dengan Seungwan tentang Nana tidak semenakutkan yang ia bayangkan.

“Ini aku lanjut cerita atau kamu masih ada yang mau di tanyain ke aku?”

Seungwan terdiam sejenak, berusaha berpikir apakah ada hal-hal terkait Nana yang ingin ia ketahui saat ini.

“Kak Nana sering main kesini?” tanya Seungwan, merujuk pada kediaman keluarga Bae.

Tangan Joohyun secara otomatis terangkat menuju pipi Seungwan lalu mencubit pipi kesayangannya.

“Kamu tuh kalau mau tanya langsung to the point aja. Mau tanya Nana deket sama keluarga aku atau nggak?”

Seungwan mengangkat bahunya, sedikit malu mengakui bahwa Joohyun sudah menebak dengan tepat.

“Deket. Ya kita tetangga, tuh cuma diseberang situ. Kayak kamu dulu, kalau sore gitu suka main kesini.” ujar Joohyun.

Lagi-lagi Seungwan menemukan kesamaan antara dirinya dan Nana, hal ini mulai membuatnya berpikir terlalu jauh. Namun kali ini Joohyun menangkap kegelisahan Seungwan. Ia mengelus puncak kepala Seungwan dengan lembut.

“Kalian itu sama dan berbeda disaat yang bersamaan. Tapi aku nggak pernah liat kalian sebagai orang yang sama. Kalau kamu kesini kan biasanya ngerecokin aku atau nemenin Bunda kan? Kalau Nana kesini biasanya main sama Yerim dan Seulgi. Mereka sama-sama suka hewan soalnya. Mungkin kalau kita saat ini membandingkan antara kamu dan Nana, siapa yang lebih dekat dengan Ayah dan Bunda, jawabannya Nana. Tapi ini juga karena faktor Nana kenal sama Ayah dan Bunda jauh lebih lama kalau dibandingkan dengan kamu kenal sama Ayah dan Bunda. Tapi nggak usah khawatir you have so many years to come. Lagipula ya, kamu belum ada genap satu tahun kenalan lagi sama Ayah dan Bunda but you already take their hearts.”

Seungwan menyandarkan kepalanya di bahu Joohyun, matanya melihat barang-barang lainnya yang ada di dalam box.

“Sorry, aku cuma….. insecure aja.” bisik Seungwan.

I know... mau dilanjut lagi atau udahan?”

“Kak Nana juga kenal sama sepupu kamu? Kalian pernah main bareng gitu nggak?”

Joohyun kembali tertawa pelan.

“Kamu lucu deh, lupa ya aku sama Chanyeol pernah suka sama Nana disaat yang bersamaan? Otomatis sepupu aku tahu Nana. Lagian ya, kami semua kan sekolahnya barengan terus dari kecil sampai SMA baru pisah pas masuk kuliah.”

Seungwan tersenyum kikuk, menampilkan deretan gigi putihnya.

“Ya karena kami seumuran jadi sering main. Sebenernya ya bukan main yang gimana banget sih, kayak anak sekolahan pada umumnya aja. Tapi emang jadi agak canggung setelah aku dan Chanyeol sama-sama confess ke Nana.”

“Canggung gara-gara kamu yang terlalu gengsi dan kompetitif?”

Joohyun menggeleng, “Nana yang jadi canggung. Ya gini aja deh, kamu dulu juga canggung kalau ada aku sama Ojé.”

Terdengar pekikan dari mulut Joohyun saat ia merasakan Seungwan mencubit pinggangnya dengan kencang.

“Kok nyubit?!”

“Ya kamu kok malah bahas Chaeyoung sih!”

“Tuh! Canggung kan?”

Seungwan hanya bisa mendengus kesal karena sejujurnya ia paham maksud dari ‘canggung’ yang diutarakan oleh Joohyun.

By the way, tadi kamu bilang kalau kamu confess?”

Joohyun mengangguk.

“Berarti Kak Nana tau dong kalau kamu suka sama dia?”

“Hmm, sebenernya nggak bisa dibilang confess juga sih. Well, I did tapi indirectly and yes, she knew. Dia bilang sendiri di surat kemarin.”

“Ih aku penasaran deh, pas kamu tau Kak Nana lebih milih Chanyeol, kamu galaunya kayak apa? Next time aku bakal tanya ke adik dan sepupu kamu.”

Joohyun kembali tertawa gemas, ia tidak menyangka respon Seungwan akan sebaik ini. Kalau dipikir-pikir ini lebih tepat dikategorikan menjadi sebuah interogasi dibalut ekspresi imut dan lucu yang ditunjukkan oleh Seungwan.

“Aku nggak galau, kamu mungkin kalau tanya aja sama yang lain mereka bakal ngira aku galau. Memang ada masa dimana aku menjauh dari Nana, tapi itu semua karena aku menghormati Chanyeol. Walaupun aku sahabatnya Nana, tapi dia pacarnya Nana. Aku nggak berada di posisi yang boleh terlalu dekat sama Nana walaupun dia sahabat aku. Lagipula kalau aku memaksakan untuk tetap dekat sama Nana itu sama aja nyakitin semua orang. Nyakitin diri aku sendiri, Nyakitin Nana dan Chanyeol juga. Jadi ya emang aku menjauh sebentar.”

“Aku tebak, pasti ini berhubungan sama prinsip kamu untuk nggak maksain apapun ke orang lain?”

Joohyun mengangguk, “Bisa dibilang gitu.”

“Eh wait, kamu bilang dulu sempet ngira suka sama Kak Seul kan? Itu kapan? Terus suka sama Kak Nana kapan?”

Joohyun terlihat berpikir sejenak, “Seulgi duluan deh. Soalnya aku inget dulu sempet ngeliat Seulgi kayak sosok yang keren banget itu pas ada porseni waktu SMP. Kalau suka Nana tuh baru sadar pas akhir-akhir SMP.”

“Gara-gara apa tuh sadarnya?”

“Kamu nih cocok loh jadi polisi yang interogasi penjahat gitu.” goda Joohyun.

“Nggak usah nyebelin deh, dijawab aja itu pertanyaanku.”

“Aku rasa sih dari dulu aku selalu suka sama orang yang intelek, dalam arti bukan cuma intelek kayak pelajaran gitu ya. Pokoknya yang punya wawasan luas gitu. Aku nggak pernah menilai dari visual, ya maybe iya ngeliat visual juga tapi itu bukan prioritas utama. Tapi yang buat aku sadar kalau aku suka sama Nana, dan ini juga yang bikin aku sadar kalau aku suka sama kamu, karena kalian berdua bukan tipe orang yang nurut gitu aja sama aku. Kalian berdua sama-sama cerdas dan punya pendirian. Apalagi waktu ngelakuin sesuatu yang kalian suka atau bahkan itu passion kalian, kalian semakin keliatan keren di mata aku. Kayak apa ya, cantik luar dan dalam gitu? Itu adalah sifat yang selalu buat aku kagum.”

“Emang aku sama kak Nana segitu samanya ya?”

Joohyun menggeleng, “Kayak yang aku bilang ada sifat kalian yang mirip tapi lebih banyak yang beda. Contoh yang paling mendasar, kamu suka banget sama musik sedangkan Nana was bad at it. Beneran deh, kayaknya dia kalau pelajaran seni musik selalu dapat nilai pas-pasan. Kalian berdua sama-sama keras kepala, tapi kalau kamu itu lebih frontal yang nantangin gitu. Kalau Nana lebih soft. Banyak sih yang lainnya tapi nanti kepanjangan kalau aku sebutin satu per satu. Tapi ada satu fakta yang bener-bener bikin kalian beda.”

“Apa?”

“Nana nggak pernah lihat aku lebih dari seorang sahabat and I can feel it. Cara Nana natap aku beda sama cara kamu natap aku. Semua sentuhan yang Nana lakuin ke aku, nggak pernah lebih dari sekadar teman. Ini juga alasan kenapa aku mundur setelah aku confess ke Nana.”

Joohyun berhenti berbicara sebentar, ia merengkuh tangan Seungwan dan meletakkannya tepat di dadanya sehingga Seungwan bisa merasakan ritme pelan yang berasal dari detak jantung Joohyun.

“Aku pernah suka sama Nana, itu fakta. Aku sayang sama Nana, itu juga fakta. Tapi aku nggak tahu apakah aku sampai benar-benar di tahap cinta sama dia. Kalaupun sekarang Nana masih hidup, aku tahu dia nggak akan pernah memilih aku dan aku pun bukan orang yang akan mengejar sesuatu hal yang aku tahu nggak akan pernah terwujud. Ingat dulu kamu pernah tanya ke aku untuk memilih Seulgi atau kamu?” tanya Joohyun yang disambut dengan anggukan kepala.

“Kalau kamu sekarang tanya apakah aku lebih memilih kamu atau Nana, jawabannya pun sama. Kamu, Son Seungwan. Mungkin kamu nggak percaya waktu aku ngomong sekarang, tapi aku harap suatu saat nanti kamu bisa paham maksud aku. Bukti pertama, bahkan ketika kita nggak ngapa-ngapain, cuma duduk kayak gini, aku tetep aja deg-degan ada di dekat kamu.”

“Tapi kita berawal dari perjodohan, Hyun. Sedangkan kamu sama Kak Nana itu natural?”

Joohyun menggeleng, “Rasa sayang aku ke kamu udah ada dari pertama kali aku lihat kamu nangis sendirian. Aku pernah cerita ini ke Minjeong, awalnya aku sayang ke kamu sebagai sosok kakak yang ingin melindungi kamu dimanapun kamu berada. Tapi aku masih ingat gimana rasa frustasi yang aku rasain dulu waktu kamu hilang gitu aja. Aku khawatir, aku takut, aku marah. Mungkin bagi kamu, kita baru kayak gini setelah tanggal 9 Mei tahun lalu, di glamping site. Tapi bagi aku rasa sayang ini udah ada sejak pertama kali aku lihat kamu nangis sendirian.” ujar Joohyun.

Ia kembali menggenggam kedua tangan Seungwan.

“Memang kita nggak ketemu dan nggak tumbuh bersama selama bertahun-tahun, tapi Seungwan, ada alasan kenapa aku pun dulu menerima perjodohan kita dengan sangat mudah. Because I know it is you. Mungkin kamu bertanya-tanya, memori kamu tentang aku waktu dulu kita masih kecil adalah sosok aku yang kamu rasa selalu menganggap kamu nggak ada, tapi itu karena aku di masa kecil masih merasa kalau aku hanya boleh suka sama laki-laki, That's why I always ignore you as much as I can, which is not that often. I was just afraid, I guess.”

Joohyun menghela napasnya. Entah mengapa dadanya terasa sangat lega setelah ia menyelesaikan kalimatnya barusan.

“Seungwan, kemarin kamu lihat aku benar-benar terpukul karena ada fakta-fakta yang baru aku ketahui bertahun-tahun setelah kepergian Nana. Ada hal-hal yang buat aku lega tapi ada juga hal yang buat aku marah sama diri aku sendiri. Kamu bisa baca surat dari Nana kalau kamu mau dan aku bakal jelasin satu per satu ke kamu. Kehilangan Nana dulu benar-benar pukulan terbesar buat aku karena I was there and I could have prevented what happened to her, If only I pushed her more. Aku….aku dulu nggak pernah mau maksa orang untuk pakai cara berpikirku. Tapi sejak kejadian itu, aku selalu keras kepala untuk memaksakan caraku dengan harapan aku udah meminimalisir hal-hal buruk yang mungkin terjadi.” lanjut Joohyun.

Tepat setelah Joohyun selesai berbicara, Seungwan memeluk tubuh Joohyun dengan erat. Ia mengelus kepala serta punggung Joohyun secara halus.

Joohyun, you did well. You always did well. Tapi terkadang ada yang namanya takdir Tuhan. Sekuat apapun kamu berusaha, akan ada kemungkinan bahwa hasil akhirnya nggak seperti yang kamu inginkan. Aku mau berterima kasih untuk semua usaha ekstra yang udah kamu lakuin selama ini, untuk aku, Kak Nana, Yerim, Ayah, Bunda, untuk semua orang. Kamu terlalu fokus menjaga kebahagiaan orang lain sampai kadang-kadang kamu lupa kalau kamu juga butuh istirahat dan berbahagia. Jadi mulai sekarang stop menaruh terlalu banyak ekspektasi sama diri kamu sendiri ya? Setiap kamu terlalu khawatir akan sesuatu, please, cerita ke aku. Aku….nggak selemah yang kamu kira, Joohyun.” bisik Seungwan.

Joohyun mengangguk pelan, perlahan ia meneteskan air matanya yang merupakan semua akumulasi dari perasaan yang ia timbun selama ini.

After the Mills, we will go to that theme park, okay? Kamu butuh refreshing.” ucap Seungwan.

Joohyun kembali mengangguk.

“Oh, by the way, kamu stop gengsi-gengsian ke Ayah dan Bunda deh. Minta maaf duluan sana. Aku denger-denger kemarin kamu berantem ya?”

Lagi-lagi Joohyun hanya mengangguk, masih menikmati pelukan Seungwan dan ia pun takut jika berusaha bersuara justru tangisnya akan semakin menjadi-jadi.

“Joohyun, aku tahu gimana rasanya kehilangan orang tua. Jadi aku harap kamu nggak akan pernah merasakan hal yang sama. Setiap kesalahpahaman kamu sama Ayah dan Bunda, lebih baik segera diselesaikan sebelum semuanya terlambat buat kamu. Janji ke aku ya? Nanti kamu harus lebih duluan minta maaf ke Ayah dan Bunda.”

Sebuah anggukan lainnya diberikan oleh Joohyun.

“Ini kamu diem aja, kamu tidur apa lagi nangis sih?” goda Seungwan.

Kali ini bukan sebuah anggukan melainkan Joohyun mengeratkan pelukannya pada tubuh Seungwan dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher sang solois. Tak lama kemudian Seungwan perlahan merasakan adanya tetesan-tetesan yang membasahi kulitnya.

Joohyun-nya tengah menangis dalam diam.

“Nangis aja kalau kamu pengen nangis, terkadang nggak ada jalan lain untuk meluapkan kesedihan atau rasa frustasi kita selain dengan nangis. It’s okay, Joohyun. I got you.”

Amoureux de…(Seungwan) part 7-21

Pagi itu suasana rumah keluarga Bae cukup sunyi senyap. Belum tampak satupun anggota keluarga Bae yang beraktivitas seperti biasanya.

Begitu pula dengan Seungwan.

Walau saat ini ia sudah terjaga, namun Seungwan masih enggan bergerak dari posisinya.

Alasan pertama, ia tidak ingin membangunkan Joohyun dari tidurnya. Alasan kedua, jika alasan pertama terjadi, ia tidak tahu bagaimana harus mengawali percakapannya dengan Joohyun.

Dulu ia sempat merasa khawatir harus berkompetisi dengan Nana, yang bahkan tidak ia ketahui sosoknya. Namun Joohyun saat itu berhasil meyakinkan Seungwan bahwa Nana hanyalah masa lalu.

Kini keraguan itu kembali muncul dalam benak Seungwan setelah ia menyaksikan betapa terpukulnya Joohyun “hanya” karena sepucuk surat yang ditinggalkan oleh Nana.

Seungwan menerawang jauh. Matanya menatap kosong ke arah pigura-pigura yang menghiasi dinding serta beberapa perabot yang ada di dalam kamar pribadi Joohyun.

Sejauh matanya memandang, Seungwan hanya mendapati foto-foto Joohyun bersama dengan keluarga dan dengan dirinya. Tidak ada satupun foto sepupu-sepupu Joohyun, tidak ada foto Seulgi, apalagi Nana.

Lantas Seungwan menarik napasnya panjang serta memejamkan matanya sejenak. Perlukah ia meragukan perasaan Joohyun saat ini?

“Kalau Kak Nana memiliki ruang yang begitu besar dan tidak tergantikan bagi Joohyun, lalu bagaimana dengan aku?”

Seungwan kembali menghela napasnya dan berusaha untuk menepis pikiran buruk yang mulai berdatangan. Ia berusaha untuk fokus pada hal-hal baik yang bisa sedikit melegakan perasaannya.

Bukan saat yang tepat baginya untuk membiarkan pikiran-pikiran buruk tersebut menghantuinya.

Saat ini Joohyun sedang membutuhkannya.

Pandangan mata Seungwan beralih pada sosok Joohyun yang masih meringkuk dalam pelukannya.

Bekas jejak air mata masih tertinggal dengan jelas di wajah Joohyun. Guratan kesedihan pun masih nampak kendati saat ini Joohyun masih terlelap.

Jemari Seungwan menyibak rambut yang menutupi wajah Joohyun, dipandanginya wajah sang kekasih.

Ingin rasanya Seungwan masuk dan menjelajahi pikiran Joohyun.

Seungwan tersentak kaget untuk beberapa saat.

Apakah ini yang juga dirasakan oleh Joohyun disaat Seungwan sedang dalam masa-masa sulitnya?

Namun Seungwan tidak mempunyai waktu yang cukup lama untuk memikirkan hal tersebut saat ia merasakan tubuh Joohyun menggeliat pelan.

Joohyun mempererat cengkramannya pada bagian depan kemeja yang dikenakan oleh Seungwan.

Keduanya memang masih mengenakan pakaian yang sama sejak mereka tiba di kediaman keluarga Bae.

Kemarin sore Joohyun mendatangi dirinya yang sedang berbincang ringan dengan Minjeong dan Bibi kepala pelayan keluarga di ruang makan. Awalnya senyuman lebar disajikan oleh Seungwan untuk menyambut kedatangan Joohyun. Namun ketika Seungwan mendapati tatapan sendu yang diberikan oleh Joohyun, disanalah Seungwan merasakan ada hal buruk yang siap kapan pun mengejutkan dirinya.

Joohyun terlihat sangat terdisorientasi kala itu. Bahkan ia hanya mampu mengucap satu kata.

Seungwan.

Suara Joohyun terdengar sangat pelan dan terasa kehilangan kepercayaan dirinya.

Melihat kondisi yang demikian, Seungwan pun memilih untuk berbicara dengan Joohyun di kamar pribadi Joohyun.

Sayangnya saat mereka tiba disana, Joohyun masih terdisorientasi. Joohyun masih dalam diamnya. Tangannya memegang sebuah amplop dengan sangat erat.

Cukup lama Joohyun memandangi amplop yang ada di tangannya sebelum Joohyun menatap Seungwan penuh arti dan mulai menitikan air matanya. Awalnya Seungwan sempat berpikiran untuk memberikan ruang bagi Joohyun namun sang CEO menahan Seungwan dan memintanya untuk tetap bersamanya.

Tentu saja Seungwan memenuhi permintaan tersebut. Namun ia tetap memberikan privasi bagi Joohyun dengan tidak ikut membaca isi surat tersebut walaupun dalam lubuk hatinya ia tahu kalau sejujurnya ia ingin mengetahui setiap detilnya.

Kendati demikian, kiranya Seungwan dapat menebak-nebak. Ia ingat betul bagaimana emosi Joohyun berubah di setiap baris kata yang mereka baca kemarin.

Seungwan dapat merasakan betapa terpukulnya Joohyun saat ia dipaksa untuk kembali membuka luka masa lalunya.

Masih teringat dengan jelas bagaimana suara isak tangis Joohyun dan bagaimana Seungwan hanya dapat menawarkan pelukan hangat dan janji untuk tetap bersama Joohyun hingga pada akhirnya Joohyun kelelahan dan terlelap dalam pelukan Seungwan.

Lagi-lagi lamunan Seungwan buyar, kali ini ia dapat merasakan deru napas Joohyun di lehernya. Sebuah helaan napas panjang terasa menyapa kulit leher Seungwan diikuti dengan tubuh Joohyun yang semakin melesak mendekati tubuh Seungwan.

Kini Joohyun menempelkan dahinya di tulang selangka Seungwan, seakan-akan sedang berusaha menyembunyikan wajahnya.

“Joohyun?” bisik Seungwan pelan.

Tidak ada jawaban yang menyapa Seungwan. Lagi-lagi hanya helaan napas panjang.

Seungwan berusaha untuk menarik dirinya agar dapat melihat wajah Joohyun, memeriksa keadaan sang kekasih, namun gerakannya ditahan oleh tangan Joohyun yang masih menggenggam sisi depan dari kemeja yang Seungwan kenakan.

“D-don’t move…Please stay…” bisik Joohyun dengan suara seraknya. Kemudian ia kembali menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Seungwan.

Sementara itu sang solois terdiam sejenak, ia berusaha berpikir sekiranya kalimat apa yang paling tepat untuk menyapa Joohyun pagi ini setelah apa yang mereka lewati kemarin.

Pada akhirnya Seungwan memilih untuk tidak membahas apa yang terjadi kemarin. Ia tidak ingin memaksa Joohyun dan ia pun tidak tahu apakah ia akan siap menerima respon dari Joohyun yang berkaitan dengan Nana.

“Good morning.” sapa Seungwan pelan.

Joohyun hanya berdeham pelan sebagai balasan.

Seungwan cukup terkejut ketika ia merasakan sebuah kecupan pelan yang ditinggalkan oleh Joohyun tepat di lehernya. Jika saja ia tidak ingat kejadian kemarin, pagi ini rasanya seperti pagi-pagi normal lainnya dimana Joohyun akan menghujaninya dengan morning kisses dan dimana Seungwan akan tertawa dan membalas kecupan-kecupan tersebut.

Sayangnya baik Seungwan maupun Joohyun sama-sama merasakan adanya aura-aura kecanggungan di antara mereka berdua.

Terbukti dengan Joohyun yang lagi-lagi menghela napasnya panjang. Namun kali ini Seungwan tidak hanya tinggal diam, ia mengeratkan pelukannya pada tubuh Joohyun dan meninggalkan sebuah kecupan pelan di puncak kepala Joohyun.

Sebuah tindakan yang selalu Joohyun lakukan pada dirinya ketika ia sedang merasa hilang arah. Biasanya setelah Joohyun berlaku demikian, Seungwan akan merasa jauh lebih baik karena setidaknya ia tahu bahwa ia tidak sendirian bahwa Joohyun ada disana bersamanya.

Kini saat keadaannya terbalik, Seungwan berharap dengan sebuah gesture sederhana seperti tadi, Joohyun pun dapat merasakan bahwa ia tidak sendirian dan bisa sedikit berbagi cerita pada Seungwan.

Entah sudah berapa kali Joohyun menghela napasnya pagi ini. Lagi-lagi Seungwan dapat merasakan deru hangat napas Joohyun di lehernya.

Seungwan sudah siap untuk membuka mulutnya untuk menanyakan keadaan Joohyun namun tanpa ia duga Joohyun justru sudah terlebih dahulu mengangkat suaranya.

“Maaf…” bisik Joohyun pelan namun masih dapat didengar dengan jelas oleh Seungwan.

“Hm?” tanya Seungwan terkejut sembari berusaha melihat wajah Joohyun.

“No, please just stay like this.”

Sang CEO kembali berusaha menyembunyikan wajahnya. Entah karena tidak ingin wajahnya dilihat oleh Seungwan atau justru karena ia belum sanggup untuk melihat Seungwan dan menemukan tatapan yang meminta penjelasan kepadanya.

“Okay, aku nggak akan maksa lihat wajah kamu. Walaupun aku penasaran dan pengen tau gimana perasaan kamu sekarang.” ujar Seungwan.

“Maaf…”

“Kenapa minta maaf?”

Joohyun memejamkan matanya. Ia berusaha memfokuskan dirinya mendengar detak jantung Seungwan dan elusan tangan Seungwan di punggungnya.

“Maaf karena kamu harus lihat aku kayak kemarin.”

“Hm? Kenapa harus minta maaf? Semua orang punya cerita mereka masing-masing, kan? Dan di setiap cerita hidup tersebut pasti ada cerita yang sedih maupun menggembirakan. Itu wajar, Joohyun.”

Joohyun kembali menghela napasnya, “....but I should be your strong and dependable home. Yesterday is clearly far from that.”

“Joohyun…kamu itu masih manusia tau nggak? Stop membebankan ekspektasi-ekspektasi yang terlalu tinggi sama diri kamu sendiri. Seneng, sedih, bahagia, kecewa, bingung, hilang arah itu wajar banget buat kita rasain. Dokter Tiffany pernah bilang ke aku kalau aku harus bisa memilah dan memisahkan hal apa yang ada dalam kendali aku dan hal mana yang memang di luar kuasaku. After all, we are only human.

Mendengar ucapan Seungwan, Joohyun secara refleks memeluk Seungwan lebih erat lagi.

“Joohyun, kamu dulu pernah bilang ke aku kalau aku nggak akan pernah sendirian. Kalau kamu akan selalu ada untuk aku dan aku boleh kapan aja bersandar di bahu kamu kalau aku lelah dan butuh waktu untuk beristirahat. Kamu juga bilang kalau aku bisa bebas kapan aja minta peluk kalau aku lagi ingin sembunyi dari dunia luar untuk sejenak. Aku harap kamu tahu kalau kondisi-kondisi itu juga berlaku buat kamu. Kamu nggak sendirian, ada aku disini yang juga siap untuk denger cerita kamu. Ada aku disini yang juga bisa kamu jadiin tempat bersandar walau mungkin bahu aku nggak sekokoh bahu kamu.”

“I know…thank you…”

Jawaban singkat yang diberikan Joohyun justru membuat Seungwan frustasi. Ingin rasanya Seungwan berteriak bahwa Joohyun tidak perlu memendam semuanya sendirian.

Pun jika dipikir-pikir, Seungwan tidak mengetahui tentang Joohyun sebanyak apa yang Joohyun ketahui tentang Seungwan. Ia hanya bisa mengetahui cerita-cerita tentang Joohyun ketika ia sedikit memaksa Joohyun untuk menceritakan secuil tentang masa lalunya.

Walau memang semenjak masa break mereka akhir tahun lalu hingga awal tahun ini, Joohyun menjadi sosok yang lebih terbuka dan mampu menceritakan tentang kesehariannya tanpa harus Seungwan minta.

Putus asa rasanya jika Seungwan membayangkan Joohyun akan kembali menjadi Joohyun yang tertutup seperti awal mula mereka saling mengenal satu sama lain.

“Nana…dia bilang kalau ada hal-hal yang dia sembunyiin dari aku. Salah satunya tentang keinginan dia untuk mengakhiri hidupnya. Aku…aku marah. Aku kecewa….sama diri aku sendiri.”

Seungwan terdiam, memberikan ruang bagi Joohyun untuk meluapkan isi hatinya.

“Aku terlalu fokus sama kemarahanku atas kejadian hari itu sampai-sampai aku lupa bahwa ada yang lebih penting dari menghukum orang bejat itu. Ada Nana yang butuh perhatian lebih dan aku harusnya bisa menyadari itu semua.” ucap Joohyun.

Seungwan lagi-lagi masih terdiam. Ia mengelus punggung Joohyun naik dan turun, berusaha untuk menenangkan Joohyun.

“Tapi Nana juga bilang kalau aku udah usaha sekuat tenaga untuk ada buat dia. Aneh nggak kalau aku bilang aku lega?” tanya Joohyun yang kali ini menarik dirinya menjauhi Seungwan sembari berusaha untuk menatap wajah Seungwan.

Mata Joohyun menatap manik mata Seungwan dengan lekat.

Sementara itu Seungwan yang ditatap lekat oleh Joohyun kini mengerti apa yang dibutuhkan oleh Joohyun saat ini. Seulas senyuman ia berikan pada Joohyun, satu senyuman yang tulus yang Seungwan harap dapat menyentuh hati Joohyun.

“Joohyun, when you love someone you always love them hard and we can feel it. Justru kadang aku ngerasa apa aku terlalu banyak mendapatkan dibandingkan dengan memberi balasan ke kamu. Aku rasa Kak Nana juga pasti berpikir demikian. Aku selalu mikir kalau kamu selalu fokus mencintai aku, apa kamu juga punya waktu untuk mencintai diri kamu sendiri? Aku cuma berharap kamu juga bisa bahagia tanpa harus memikirkan kebahagiaan orang lain. Kamu berhak bahagia Joohyun, tanpa adanya embel-embel nama belakang kamu tanpa adanya ekspektasi-ekspektasi yang orang lain maupun yang kamu berikan buat diri kamu sendiri.”

Ucapan Seungwan kembali memantik lonjakan emosi yang dirasakan oleh Joohyun. Ia kembali menangis dalam pelukan Seungwan, namun kali ini untuk alasan yang berbeda.

“I love you and you should love yourself too.” bisik Seungwan.

Amoureux de…(Seungwan) part 7-18

Mobil sedan berwarna putih yang digunakan untuk menjemput Joohyun, Seungwan, dan Minjeong dari helipad pribadi milik keluarga Bae terlihat memasuki pekarangan rumah mewah kediaman tuan dan nyonya Bae.

Sepanjang perjalanan Joohyun hanya mengulas senyuman dan merespon secara singkat atas pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Seungwan atau sesekali menanggapi percakapan yang dibangun oleh Minjeong.

Bukan tanpa alasan Joohyun bertindak demikian.

Dalam pikirannya telah berkecamuk berbagai kemungkinan mengapa kedua orang tuanya sampai bertindak jauh, mulai dari memutus jalur komunikasi untuk mengurus ‘masalah’ berita pagi tadi dan kini ia diminta pulang oleh kedua orang tuanya tanpa membawa Seungwan.

Tentu saja Joohyun tidak akan meninggalkan Seungwan sendirian.

Alhasil, ia tetap nekat membawa Seungwan ke kediaman keluarga Bae tanpa meminta izin kepada orang tuanya terlebih dahulu. Toh menurut Joohyun hanya dirinya yang mengetahui permintaan aneh dari Ayahnya itu.

Sementara itu di lain sisi, Seungwan sebenarnya sudah merasakan ada hal yang sedang ditutupi oleh Joohyun. Namun ia tahu saat ini bukanlah saat yang tepat untuk meminta Joohyun menceritakan kegelisahannya.

Seperti saat ini, Seungwan hanya bisa memastikan bahwa Joohyun tidak terlalu resah dan memastikan bahwa Joohyun tahu ia tidak sendirian. Ia menoleh kesamping dan dapat dilihat jelas olehnya, kini Joohyun sedang terlarut dalam pikirannya.

Sang solois kembali mempererat genggaman tangannya pada tangan Joohyun dan menyandarkan kepalanya di bahu Joohyun.

“Tangan kamu dingin banget. Kamu kedinginan?” pancing Seungwan yang berusaha membuyarkan lamunan Joohyun.

“Oh… kayaknya dari tadi kena AC terus makanya dingin gini.”

“I see… if you are not feeling well, please do tell me ya. Aku nggak mau kamu sakit, Hyun.”

“Sure. Don’t worry about me.” jawab Joohyun singkat diikuti dengan kecupan di puncak kepala Seungwan.

Mungkin dirinya terlalu tenggelam dalam pemikiran-pemikiran negatifnya hingga Joohyun cukup terkejut ketika ia mendengar ucapan penuh syukur yang datang dari sang asisten pribadi.

“Okay, we are here. Fyuh, thank god nggak ada kendala apapun.” ucap Minjeong, sebenarnya lebih pada dirinya sendiri, saat mobil pribadi milik nyonya Bae telah terparkir dengan sempurna.

Mendengar ucapan Minjeong, Joohyun memejamkan matanya sejenak dan menarik napas dalam-dalam, berusaha mengatur ulang emosinya agar tetap stabil.

Lagi-lagi hal ini membuat Seungwan bertanya-tanya sebenarnya seberapa buruk damage yang diberikan oleh artikel pagi tadi? Baru kali ini Seungwan mendapati Joohyun dengan gesture tubuh yang sangat tegang ketika menjajaki kakinya di rumah keluarga Bae.

Minjeong sudah lebih dahulu turun dari kursi penumpang dan merapikan pakaiannya. Ia membungkukkan badannya saat salah satu pelayan keluar dari pintu depan.

“Hyun? Nggak turun?”

“O-oh… ya. Sorry…” jawab Joohyun kikuk.

Seungwan mengecup singkat pipi Joohyun dan memeluk sang CEO.

“Aku tau ada yang kamu pikirin dan belum mau kamu bagi ke aku but please tell me about it soon, ya? Bagi beban kamu ke aku juga.” bisik Seungwan tepat di telinga Joohyun.

Napas Joohyun sempat tercekat untuk beberapa saat namun tak lama kemudian tubuhnya menjadi lebih rileks saat ia merasakan bahwa Seungwan mempererat pelukannya.

“Yeah…later. Aku harus…..” Joohyun menghela napasnya panjang, kemudian melanjutkan ucapannya, “...isi kepala aku lagi kusut. Aku harus mengurai masalahnya satu per satu. Nanti aku pasti cerita ke kamu.”

“Aku bisa bantu apa?”

“Tetap ada disisiku, jangan pergi. Cuma itu aja udah lebih dari cukup.” ujar Joohyun pelan. Tanpa ia sadari secara otomatis ia pun mempererat pelukannya dengan Seungwan.

“Okay… easy. Emang kamu pikir aku bakal pergi kemana?” canda Seungwan.

Joohyun tersenyum dan menggeleng.

Reaksi canggung dari Joohyun lagi-lagi membuat Seungwan bertanya-tanya. Namun ia tidak ingin menambah beban pikiran Joohyun dan pada akhirnya lebih memilih untuk melepaskan pelukannya dan mencium bibir ranum milik Joohyun.

Mata mereka terpejam selama mereka saling mencurahkan perasaannya.

“I love you.” ujar Seungwan sesaat setelah menyudahi ciuman mereka.

“I love you too. Always.”

Joohyun menarik napasnya panjang satu kali lagi sebelum ia membuka pintu mobil.

Rupanya kini sudah ada beberapa pelayan keluarga Bae serta Yerim yang menyambut Joohyun, Seungwan, dan Minjeong.

“Lama banget lo berdua.”

“Meeting dulu tadi.” jawab Joohyun singkat.

Yerim mengangguk pelan.

‘Rombongan mini’ tersebut berjalan memasuki kediaman keluarga Bae dengan Yerim dan Joohyun berjalan di urutan paling depan dan disusul oleh Seungwan dan Minjeong.

“Kak, lo ditunggu ayah di ruangannya.”

Lagi-lagi Joohyun terlihat gelisah di mata Seungwan. Hal ini pun terbukti saat Seungwan dapat melihat bahu Joohyun yang kembali menegang dan tanpa Joohyun sadari, ia meremas tangannya.

Melihat hal ini Seungwan kemudian berinisiatif untuk menggenggam tangan Joohyun.

“Ketemu Ayahnya mau sambil aku temenin?” tanya Seungwan halus, matanya menatap penuh arti pada Joohyun.

Namun lagi-lagi Joohyun hanya tersenyum simpul dan menggeleng pelan.

“Ayah mau ketemu aku sendiri dulu. Nanti ya…bukan kamu nggak boleh tau…tapi–...”

“It’s okay, Joohyun. Aku cuma nawarin buat nemenin kamu. Kalau memang ada hal personal yang harus kamu omongin sama Ayah, aku nggak akan maksa untuk nemenin kamu.”

“Tapi aku nggak mau–...”

Seungwan mengeratkan genggamannya, ibu jarinya mengelus punggung tangan Joohyun untuk menenangkan sang kekasih.

“It’s okay. It’s okay. Aku paham, okay? Aku bakal nunggu kamu di ruang lain. Lagian ada Minjeong juga yang bisa nemenin aku.”

Melihat asistennya yang mengangguk mantap, Joohyun pun sedikit merasa lebih baik.

“Okay….. Kalau kamu bosan, kamu baking atau masak aja. Bisa ajak bibi atau ajak nih Yerim, biar dia bisa masak dikit-dikit.”

“Lo nyuruh gue masak itu sama aja nyuruh Seungwan ngajarin gue bakar rumah, tau nggak?” potong Yerim cepat.

Kelakar Yerim sukses membawa tawa bagi Joohyun dan Seungwan.

“Santai aja, Hyun. Aku udah berapa kali kesini? Kamu nggak usah khawatir deh.”

“Tau! Adanya gue yang harus khawatir sama lo!”

Mendengar ucapan Yerim, Joohyun langsung mengirim kode agar adiknya itu tidak berbicara lebih lanjut. Namun Seungwan sudah lebih dahulu menangkap sinyal-sinyal tersebut dan membuat dirinya semakin yakin untuk menanyakan hal ini kepada Joohyun nanti.

Untuk saat ini sang solois memilih menarik napasnya dalam-dalam dan memamerkan seulas senyuman bagi Joohyun. Setidaknya ia tidak ingin membuat Joohyun mengkhawatirkan dirinya.

“Aku tinggal dulu ya?”

“Yep, good luck. For whatever it is that you might face but please cerita ya nanti? We are in this together right?”

Minjeong dan Yerim hanya bisa bertukar pandang. Mereka berdua sedikit lebih banyak mengetahui dari apa yang Seungwan ketahui saat ini.

“Yeah, later I will.” ujar Joohyun yang memilih untuk memeluk Seungwan satu kali lagi sebelum ia harus menemui ayahnya.

Sang CEO kemudian melepaskan pelukan singkat tersebut dan mendorong Seungwan serta Minjeong untuk berjalan ke arah ruang keluarga.

“On second thought, kayaknya aku mau di taman aja.” ujar Seungwan.

“Okay, nanti aku kesana setelah selesai sama Ayah.”

Seungwan melambaikan tangannya singkat dan kemudian merangkul Minjeong, berjalan ke arah taman belakang.

Sementara itu, Yerim masih berdiri di ujung anak tangga menuju lantai dua. Ia menunggu kakaknya untuk berjalan bersamanya ke ruang kerja milik ayah mereka.

“Kak, you good?” tanya Yerim saat Joohyun sudah berjalan beriringan dengannya.

“Depends, tapi gue punya lo kan?”

“Of course, you dummy.” ujar Yerim yang menawarkan kepalan tangannya ke arah Joohyun.

Gesture Yerim justru mengundang tawa pelan dari Joohyun yang kini memilih untuk mengacak rambut Yerim pelan.

“Gak usah sok gangster, lo aja dimarahin bokap sering ciut.”

“Ih, nggak ya! Kali ini gue nggak bakal ciut!”

Joohyun kembali tertawa pelan dan menggelengkan kepalanya.

“Wish me luck, mim.”

“Apaan sih? Segitunya banget?”

“I guess so? Ayah udah motong jalur buat langsung hubungin Kak Taeyeon, it says a lot. Plus minggu lalu gue sempet berantem sama ayah juga, he knows mim.”

“Seungwan?”

“Yeah…”

“That bad? Lagian kan Seungwan udah terapi?”

“There is something that you don’t know about her and you might know it later, when we enter this room.”

Yerim mengernyit. “As long as Seungwan bukan kriminal, gue nggak ada alasan buat menilai dia berbeda.”

“Yeah, I wish Ayah dan Bunda juga bakal berpikiran sama.”

Joohyun menarik napasnya satu kali lagi, kemudian ia mengetuk pintu dua kali sebelum ia membuka pintu ruang kerja ayahnya tersebut.

Di dalam sana terlihat tuan Bae yang sedang sibuk dengan gawainya dan nyonya Bae yang sedang duduk sembari memegang remote televisi.

Sontak ketika nyonya Bae melihat putri sulungnya berjalan memasuki ruangan, ia berdiri dan menghampiri Joohyun. Diambilnya kedua tangan Joohyun sembari matanya melihat tubuh putrinya dari ujung kaki hingga ujung kepala, berusaha memastikan jika putrinya dalam keadaan yang baik.

“Joohyun, kamu baik-baik aja kan?”

Joohyun mengangguk pelan. Ia berikan satu senyuman kecil bagi Bundanya.

“I’m good, Bun. Makasih udah bantu aku dan Seungwan.”

“Seungwan disini?” tanya tuan Bae.

“Di taman, lagi sama Minjeong.”

“Yerim, kasih tau Minjeong dan Seungwan untuk tetap di dalam rumah. Jangan di taman.” perintah tuan Bae singkat.

“Kalau aku keluar, jangan dikunciin ya tapi! Aku juga mau tau semuanya.”

Tuan Bae terdiam sejenak, kemudian menatap ke arah Joohyun, “Terserah kakak kamu.”

“It’s okay mim. Nggak akan gue kunci.”

Yerim menatap ke arah kakaknya kemudian ke arah tuan Bae, memberikan peringatan bagi keduanya untuk tidak mengingkari ucapan mereka dan setelah ia yakin pesannya sudah tersampaikan, Yerim pergi meninggalkan ruang kerja tersebut.

“Apa kabar kamu, Joohyun?” tanya tuan Bae berusaha memecah keheningan setelah putri bungsunya meninggalkan ruang kerja miliknya.

“I’m good, before the news. Sekarang, in between.”

Tuan Bae mengangguk pelan. Ia berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah meja yang berisikan seperangkat coffee maker dan toples yang Joohyun ketahui berisikan teh-teh favorit ayahnya.

Sang kepala keluarga tetap dalam diamnya, membuat dua cangkir teh hangat yang terlihat dari kepulan asap di atas permukaan cangkir tersebut.

Setelahnya tuan Bae kemudian memberikan salah satu cangkir tersebut kepada nyonya Bae.

“Kalau kamu mau bikin sendiri.” ujar tuan Bae sambil terkekeh pelan.

Joohyun tetap duduk dalam diamnya, berusaha membaca alur percakapan sore hari ini.

Melihat suami dan putri sulungnya masih sama-sama keras kepala, nyonya Bae kini ganti berinisiatif untuk mencairkan suasana. Ia tersenyum ke arah Joohyun yang tentu saja membuat fokus Joohyun cukup buyar.

“Joohyun, gimana Seungwan?”

“Baik, dia justru kelihatan santai kali ini.”

“Tentu dia santai. Berita kali ini responnya positif, kan?”

Joohyun mengernyitkan keningnya, tidak mengira bahwa ayahnya akan memberikan respon yang demikian. Namun ia tetap berusaha untuk menjaga ekspresinya. “Ya, syukurnya gitu.”

“Menurut kamu, memang responnya positif atau ada andil orang lain?”

“Mas…” nyonya Bae membuka suara saat ia merasakan bahwa tensi mulai meningkat.

“Nggak, aku cuma mau buat Joohyun ini paham kalau–...”

Ucapan tuan Bae terpotong ketika Yerim memasuki ruang kerja tersebut dengan cukup gaduh. Terlihat keringat sedikit mengaliri pelipisnya.

“Whoops, gais gak usah pake urat. Ini aja baru mau mulai!” potong Yerim yang langsung mengambil posisi duduk di sebelah Joohyun.

“Tadi ayah mau bilang apa?” tanya Joohyun, matanya menatap lurus ke arah tuan Bae.

“Iya, ayah mau bilang kalau kamu harus tau apa yang kamu lihat di depan mata kamu itu nggak seperti yang kamu bayangkan. Kamu pikir berita tentang kalian berdua saat ini benar-benar dapat respon positif?”

“Cut the case, jadi maksud ayah ada yang udah bantu aku dan Seungwan? Siapa? Biar aku bilang terima kasih.”

Tuan Bae menyesap teh hangat miliknya secara perlahan. Ia sengaja menjeda kalimatnya agar memberikan waktu bagi Joohyun untuk menata ulang emosinya yang mulai terpancing. Tuan Bae sangat memahami anak sulungnya, cukup dapat dimengerti mengingat keduanya memiliki tabiat yang mirip.

“Yerim, tolong ambil kertas-kertas yang ada di meja kerja Ayah. Kamu kasih kakak kamu.”

Yerim menatap tuan Bae dengan kerutan di dahinya, namun ia tentu saja tetap bangkit dari kursinya dan berjalan ke meja kayu yang terletak di belakang sofa yang saat ini ditempati tuan Bae.

Betapa terkejutnya Yerim saat ia melihat banyaknya kertas yang bertumpuk. Beberapa kertas yang ia baca secara sekilas merupakan print-out dari runtutan email. Sang bungsu keluarga Bae merapikan kertas tersebut kemudian segera memberikannya kepada Joohyun walaupun sejujurnya ia pun penasaran dengan informasi-informasi yang ada disana.

Sementara itu, Joohyun pun harus mengakui bahwa ia cukup terkejut. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia hanya bisa berdoa bahwa tumpukan kertas yang diserahkan oleh Yerim tidak akan membawa petaka baginya.

Satu per satu kertas ia baca dengan saksama dan betapa terkejutnya Joohyun ketika ia menyadari bahwa kertas-kertas tersebut merupakan chain e-mail antara pihak Ayahnya dan pihak media yang mengatakan akan membeberkan lebih banyak informasi perihal hubungan Joohyun dan Seungwan.

“Kamu terlalu sombong, Joohyun. Ayah rasa baik Ayah maupun Bunda kamu, kami nggak pernah mengajarkan kamu untuk berperilaku sombong. Kamu terlalu yakin bahwa kamu bisa menyelesaikan semuanya seorang diri. Kamu terlalu yakin bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana kamu.” ujar tuan Bae dengan tenang.

“Terlalu banyak masalah yang kamu simpan seorang diri. Kamu dan strategi mu itu, justru sekarang sedang membelit lehermu, kan? Punya rahasia itu wajar, punya masalah apa lagi. Tapi kamu lupa bahwa dari dulu yang Ayah ajarkan ke kamu adalah untuk mampu menyelesaikan permasalahanmu satu per satu. Bukan justru menunda semua penyelesaiannya hingga akhirnya yang terjadi sekarang justru masalahmu lebih banyak daripada jalan keluarnya.”

Joohyun dapat merasakan nyawanya perlahan meninggalkan tubuhnya ketika matanya membaca dengan cepat kertas demi kertas.

Beberapa kertas hanya berisikan paragraf-paragraf yang menggambarkan tentang kencan-kencan yang sudah dilakukan oleh Joohyun dan Seungwan. Beberapa kertas lainnya berisikan kronologi kencan beserta foto, mulai dari yang terlihat buram hingga yang menampilkan dengan jelas sosok Joohyun dan Seungwan.

Bahkan beberapa foto tersebut terlihat sangat intim dimana beberapa diantaranya merupakan foto Joohyun yang sedang mencium Seungwan, atau sebaliknya.

Namun yang membuat Joohyun benar-benar lemas adalah satu bundel kertas yang dapat menceritakan dengan jelas tentang kehidupan pribadi Joohyun dan Seungwan. Tentang malam dimana Seungwan hampir kehilangan nyawanya. Tentang malam dimana Seungwan mengalami episode-episodenya.

Otak Joohyun bekerja dengan sangat cepat dan hanya ada satu kemungkinan yang terlintas di kepalanya.

Apartemen Seungwan sudah diselundupi oleh orang yang memiliki niatan tidak baik.

“I-ini s-semua…”

“Kenapa kak….” tanya Yerim yang kini pun mulai khawatir.

“Sudah sadar sekarang betapa sombongnya kamu sampai kamu kecolongan hal penting seperti ini?” tanya tuan Bae dengan tenang.

“Mas… tadi kamu janji ke aku bukan ini yang mau kita bahas.” potong nyonya Bae.

“Nggak, sayang. Ini harus diselesaikan dulu baru kita bisa bahas Seungwan. Kalau Joohyun masih sesombong ini dan masih belum bisa mencerna niat baik orang-orang yang peduli dengannya, apa kamu rasa dia bisa keluar dari permasalahannya sekarang ini?”

“Wait wait wait, ini tuh apa sih? Adek nggak paham. Kakak sombong gimana? Ayah nolongin kakak apa? Terus ini masalah apa lagi?”

“Minggu lalu, saat ulang tahun Seungwan, ayah ajak kakak kamu bicara. Sebenarnya awalnya ayah dan bunda mau membahas kertas-kertas yang ada di tangan kakak kamu itu. Bedanya, minggu lalu Ayah dan Bunda menyinggung hal lain terlebih dahulu, hal yang nggak kalah penting sama kertas-kertas itu” tunjuk tuan Bae pada kertas yang masih digenggam erat oleh Joohyun.

Rahang Joohyun mengeras saat ia mengingat kejadian minggu lalu.


Flashback

Joohyun masih melangkah dengan ringan, sedikit berjalan melompat-lompat di belakang nyonya Bae yang lebih dahulu meninggalkan dirinya dan Seungwan.

”Kamu tuh kalau lagi seneng kelihatan banget.” goda nyonya Bae.

”Hehe Joohyun emang lagi seneng sekarang. Hari ini hari spesial buat Seungwan dan Joohyun berhasil bikin Seungwan seneng.” jawab Joohyun diiringi dengan senyuman lebar di wajahnya.

Nyonya Bae tersenyum melihat tingkah putrinya. Ia kemudian menyelipkan tangannya dan memeluk lengan Joohyun.

”Kamu cepet banget gede ya? Bunda inget banget dulu setiap hari kamu ngekor di deket Bunda dan selalu nanya ini itu. Bunda ini apa? Bunda itu apa? Terus kamu sering bantu Bunda kerja. Inget nggak?”

Joohyun mengangguk, “Inget sedikit. Aku inget nemenin Bunda cari-cari bahan. Terus kita makan eskrim setelah selesai.”

”Dulu kamu selalu minta bayaran eskrim setelah bantu Bunda.”

”Ya kan kalau bukan aku, terus siapa? Dulu belum ada Yerim, Ayah juga sibuk.”

”Ayah kamu sibuk juga kan cari uang untuk kamu dan Bunda, sayang.” ujar nyonya Bae yang kemudian menyampirkan rambut Joohyun ke belakang telinganya.

”Well, still. Bottom line, there was a time when it was just you and me, against the world.”

”Iya, sayang. Makanya Bunda juga sekarang kadang-kadang keinget masa-masa itu dan sedih karena kamu cepet banget gedenya.”

”Aku masih Joohyun yang sama, Bun. Cuma lebih tinggi aja.”

Nyonya Bae dan Joohyun sama-sama tertawa karena sama-sama tahu bahwa topik tentang tinggi badan adalah topik yang cukup sensitif bagi keduanya.

Kini nyonya Bae dan Joohyun berdiri tepat di samping mobil sedan hitam, dimana tuan Bae nampak masih sibuk dengan gawainya di dalam mobil.

”Ayah dan Bunda mau bicara serius sama kamu sebentar, bisa ya?”

Ucapan nyonya Bae tentu saja menarik perhatian Joohyun. Jarang sekali kedua orang tuanya berbicara serius sampai-sampai harus menjauh dari kerumunan. Memang hal ini pernah dilakukan sebelumnya, namun sangatlah jarang.

”Err… okay. Something bad happened?” tanya Joohyun.

Nyonya Bae hanya tersenyum. Ia kemudian menepuk bahu Joohyun pelan.

”Ayah kamu mau ngomong, tapi kamunya sibuk banget. Bunda juga ingin ngomong penting sama kamu, tapi kamunya nggak ada waktu.”

Mendengar ucapan Bundanya, Joohyun hanya bisa tersenyum getir. Ia pun memilih untuk mengikuti permintaan sang Ibunda dan memilih untuk duduk di kursi penumpang bagian depan, menyadari bahwa tidak mungkin mereka bertiga sama-sama duduk di bangku penumpang bagian belakang.

”Mas, udahan itu handphonenya. Anaknya udah disini sekarang.” tegur nyonya Bae saat melihat bahwa suaminya masih terfokus dengan gawai yang ada digenggamannya.

”Oh, iya iya maaf hehe. Keasikan itu liat video klip.”

”Ayah kamu tuh, sekarang suka ngeliatin grup grup anak muda gitu. Heran deh bisa tau darimana.” terang nyonya Bae.

”Ayah ada yang ngefans? Kalau ada, coba kasih tau namanya. Siapa tahu Seungwan kenal, nanti bisa aku mintain tanda tangannya.” kekeh Joohyun.

”Oh! Ide bagus itu! Nanti deh ayah chat ke kamu nama grupnya. Susah itu ejaannya ayah juga bingung bacanya.”

Joohyun menggelengkan kepalanya, tertawa pelan atas keunikan sang ayah.

”Kata Bunda, Ayah mau ngomong? Ngomong apa sih sampai serius gini?”

Tuan dan Nyonya Bae bertukar pandang sejenak, sebelum pada akhirnya Tuan Bae kembali membuka suara.

”Joohyun, ada hal yang ingin Ayah konfirmasi ke kamu. Ayah punya orang-orang kepercayaan Ayah, tapi Ayah akan jauh lebih percaya kamu sebagai anak Ayah.”

”O…kay?”

”Ayah tahu ada yang kamu sembunyikan dari Ayah dan Bunda, berkaitan dengan hubungan kamu dan Seungwan. Sebelum kamu protes, Ayah nggak akan bicara tentang bagaimana kamu menjalin hubungan dengan Seungwan karena kalian sudah dewasa dan Ayah percaya sama kalian.”

”Terus maksud Ayah apa?”

Tuan Bae mengambil gawai miliknya dan menyerahkannya kepada Joohyun.

”Ayah baru menemukan fakta ini tentang Seungwan. Ini informasi penting bagi Ayah dan Bunda.”

Joohyun mengambil gawai yang diserahkan oleh Tuan Bae dengan perlahan. Matanya menatap gawai itu dengan sangat tajam.

Disingkapnya cover yang menutupi layar gawai tersebut dan seketika ia merasakan emosinya mulai memuncak tatkala matanya membaca baris demi baris yang tersedia di layar gawai tersebut.

“Ini maksudnya apa? Aku sudah tahu ini semua. Terus dengan nunjukin ini ke aku, maksudnya ayah dan bunda ingin dapat reaksi seperti apa dari aku?”

”Jadi informasi ini benar? Bahwa Seungwan bukan anak kandung Do Jin Ae?” tanya tuan Bae dengan hati-hati.

”Kenapa informasi ini jadi penting? Apa bedanya Ayah dan Bunda tahu informasi ini atau nggak?”

”Joohyun, tentu informasi ini penting untuk kami juga. Kami butuh tahu siapa pendamping hidup kamu dan bahkan Yerim nantinya. Tolong jangan salah paham dulu ya, sayang?” ucap nyonya Bae dengan halus.

”Informasi ini penting untuk kami ketahui karena background Seungwan bisa membahayakan kamu, Joohyun. Ayah perlu–....”

”Background lagi, background lagi. Kalau ini semua masih ada sangkut pautnya sama posisi aku di kantor, lebih baik kita berhenti diskusi disini. Alasan Ayah nggak masuk akal.” potong Joohyun dengan cepat.

”Joohyun, bukan begitu maksud Ayah kamu. Kami disini cuma mengkhawatirkan kalian berdua, itu aja.”

”Kalau gitu, kenapa Ayah sama Bunda harus pakai cara kayak gini?”

”Sekarang Ayah balik tanya ke kamu, akan sampai kapan kamu rahasiakan informasi sepenting ini dari kami? Apakah kamu ada niatan untuk kasih tahu ini semua ke Ayah dan Bunda kamu?”

Rahang Joohyun mengeras. Tentu saja ia tidak tahu kapan waktu terbaik untuk memberitahukan informasi sepenting ini kepada kedua orang tuanya. Disisi lain, Joohyun pun selalu merasa khawatir akan respon dari keluarganya jika mereka mengetahui informasi ini.

”Aku pasti akan kasih tahu Ayah dan Bunda, sebelum pernikahan. Aku sendiri masih nunggu kapan waktu terbaik untuk kasih tahu ini semua. Ada perasaan Seungwan yang harus aku jaga. Tapi karena sekarang Ayah dan Bunda sudah tahu lebih dulu, aku harap penilaian Ayah dan Bunda terhadap Seungwan nggak akan berubah. Satu lagi, aku harap Ayah dan Bunda stop kebiasaan untuk ngecek siapa orang yang lagi dekat sama aku atau Yerim. Kami berdua mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Apa yang Ayah dan Bunda lakukan selama ini justru buat kami berdua kecewa sama Ayah dan Bunda.”

Setelah ia menyelesaikan kalimatnya, Joohyun segera keluar dari mobil sedan tersebut tanpa mengindahkan panggilan dari nyonya Bae. Sementara itu tuan Bae hanya menghela napasnya, lagi-lagi Joohyun menyalahartikan tindakannya dan tindakan istrinya.

Flashback End


Yerim ternganga saat ia mendengarkan semua penuturan yang keluar dari mulut Ibundanya. Ia melirik ke arah Joohyun kemudian ke arah Ayahnya yang masih sama-sama terlihat keras kepala.

Sang bungsu keluarga Bae menghela napasnya panjang.

“Okay, okay. Ini informasi baru juga untuk aku. No offense kak, bukan gue belain Ayah atau Bunda, tapi informasi sepenting ini lebih baik untuk lo buka ke kami semua. Ini penting buat gue, bukan karena status Seungwan tapi artinya orang yang tahu informasi ini either dia kawan atau lawan. You know that, right?” ujar Yerim sembari menepuk punggung tangan Joohyun dengan pelan.

“Satu lagi, adek setuju sama kakak. Ayah dan Bunda harus stop terlalu ngurusin hal-hal pribadi aku atau kakak. Kami berdua udah gede, udah bisa urus diri kami masing-masing. Lagian ya, Ayah sama Bunda tuh udah tua. Mendingan nih ya waktunya dipake buat seneng-seneng daripada pusing mikirin aku atau kakak.” sambung Yerim.

Mendengar ucapan Yerim, tuan Bae pun memicingkan matanya ke arah anak bungsunya.

“Hey, hey. Walaupun tua begini, Ayah dan Bunda kamu masih sanggup untuk ngurus kalian ya. Coba Ayah dan Bunda nggak background check itu cowok kamu, kalau ternyata dia masih punya utang dan cuma manfaatin kamu gimana?”

“Ih Ayah! Kan udah aku bilang, Seojun nggak gitu!”

“Ya kan pertanyaan Ayah, kalau misal kayak gitu gimana? Kamu aja nggak tau kalau keluarga dia pernah kelilit utang!” dengus tuan Bae.

“Mas…” panggil nyonya Bae pelan sembari menggelengkan kepalanya, berusaha untuk menghentikan suaminya agar tidak terlalu mencampuri kehidupan kedua anak gadis mereka.

“Hargain privasi aku sama Kakak. Lagian selama ini apa kami berdua pernah bahayain keluarga kita? Nggak kan?” omel Yerim.

“Bukan itu intinya Bae Yerim.” ujar tuan Bae dengan nada yang lebih serius, kali ini membuat Yerim cukup bergidik ngeri.

“Ayah dan Bunda sudah susah payah membesarkan kalian, menjaga kalian sampai kalian sebesar ini. Kami hanya nggak ingin melihat kalian kesusahan atau terluka. Tentu Ayah dan Bunda ingin kalian untuk mendapatkan pendamping hidup yang pantas untuk kalian. Mungkin sekarang kalian belum bisa paham dengan ucapan Ayah dan Bunda, tapi suatu saat nanti saat kalian punya anak, kalian pasti akan berpikiran hal yang sama.”

Sementara Yerim dan tuan Bae masih saling berbalas kata, Joohyun hanya terdiam di posisinya dan hal ini tidak luput dari pengamatan nyonya Bae. Sang Ibunda berdeham pelan, memaksa seluruh anggota keluarga untuk berhenti sejenak dan memusatkan perhatian mereka kepadanya.

“Joohyun, Bunda disini cuma khawatir sama kalian semua. Kamu dan Seungwan, juga Yerim dan Seojun. Kalian semua anak-anak Bunda yang harus Bunda jaga semaksimal mungkin.” ujar nyonya Bae lembut.

“...walaupun dengan menjaga kalian terkadang kalian harus membenci kami, Ayah dan Bunda akan tetap lakukan itu.” sambung tuan Bae.

“Ayah tahu masih ada kemarahan yang kamu simpan untuk Ayah dan Bunda kamu perihal kepergian Nana dan terkadang kamu membenci Ayah dan Bunda karena hal itu. Ayah paham betul.” ujar tuan Bae lagi.

Mendengar nama Nana disebut, Yerim melirik ke arah Joohyun. Semua orang pun tahu, Nana merupakan sosok yang tidak bisa asal disebut di hadapan Joohyun.

“Ungkapkan kekesalan kamu, Joohyun. Sudah cukup lama kamu memendam itu semua dan ayah rasa ini sudah saatnya ayah untuk bersikap tegas ke kamu. Sudah cukup lama kami semua berusaha memahami kamu yang sulit dimengerti.”

“Aku sulit dimengerti?” tanya Joohyun dengan nada yang sangat datar.

“Iya, kamu sulit dimengerti. Kamu sadar nggak berapa banyak orang yang selalu berhati-hati di dekat kamu saat harus menyebut nama Nana?” tanya tuan Bae.

“Kamu sadar nggak bahwa kamu sudah berubah jadi orang yang nggak bisa Ayah atau Bunda kenali sejak kejadian itu?”

“Stop…” pinta Joohyun.

“Hari itu, Ayah dan Bunda harus memaksa kamu untuk pulang karena kamu bahkan sudah nggak peduli sama kesehatan diri kamu sendiri. Kamu nggak akan bisa menyelamatkan orang lain kalau kamu sendiri butuh pertolongan. Ironis kan? Sekarang kamu ada diposisi yang sama, Joohyun. Ayah sudah pernah kehilangan kamu satu kali dan kali ini Ayah nggak mau kehilangan kamu lagi. Seungwan dia–....”

“Stop! Stop Ayah! Stop!”

Tubuh Joohyun bergetar hebat. Ia menahan amarah dan tangisnya disaat yang bersamaan.

“Kalau Ayah minta aku untuk pergi lagi untuk ninggalin orang yang aku sayang kayak waktu itu, aku nggak akan ngelakuin hal yang sama! Aku pun nggak mau kehilangan lagi!”

Tuan Bae menarik napasnya.

“Kamu lagi-lagi nggak mau dengar orang lain. Ayah belum selesai berbicara, Joohyun.”

“Apa?! Ayah mau minta aku apa?! Ninggalin Seungwan?!” tanya Joohyun dengan penuh amarah, kali ini ia sudah tidak mampu lagi membendung tangisnya.

“Ayah nggak pernah tahu gimana rasanya duniaku runtuh waktu aku kehilangan Nana! Ayah nggak pernah tahu berapa banyak malam yang aku habisin dengan rasa sesal! Ayah nggak pernah tahu gimana rasanya kesepian, sendirian, sementara disaat yang bersamaan kita tahu bahwa dunia terus berjalan! Ayah nggak pernah tau!”

“Butuh waktu yang lama sampai aku bisa menemukan orang yang aku sayang lagi. Orang yang selalu aku tunggu kehadirannya. Orang yang aku harap bisa nemenin aku sampai aku harus mengkhawatirkan anak-anak aku seperti yang ayah bilang tadi. Aku–...” ucapan Joohyun terhenti sesaat ketika ia menyeka airmatanya.

“...–aku nggak mau kehilangan Seungwan juga. Ayah nggak ada disana saat aku hampir kehilangan Seungwan…. Ayah nggak ada disana….” tangis Joohyun.

“Kak…”

Yerim merangkul tubuh kakaknya. Seumur hidupnya, hanya dua kali ia melihat sosok Joohyun, sosok yang sangat ia hormati, terlihat sangat rapuh. Pertama adalah di hari kepergian Nana dan Kedua adalah saat ini.

“Yerim, I have you right?”

Yerim mengangguk mantap, “Iya kak. Lo tenang dulu ya? Ayah belum selesai ngomong kan tadi?”

“No, please…. Stop this. I know where this is going.”

Melihat putri bungsunya sedang berusaha menenangkan kakaknya, tuan Bae bangkit dari posisinya, berjalan ke arah meja kerja dan berjongkok tepat di belakang kursi kerja miliknya. Sang kepala keluarga memasukkan kombinasi angka-angka untuk membuka brankas miliknya.

Menyadari gelagat suaminya, nyonya Bae pun memilih untuk meninggalkan Joohyun bersama dengan Yerim sementara ia berjalan ke arah suaminya.

“Mas… udah mas. Janji kamu tadi nggak gini!” ujar Nyonya Bae saat menyadari apa yang akan dilakukan oleh suaminya.

“Joohyun harus tahu. Sudah terlalu lama juga dia seperti ini. Kamu dengar sendiri kan ucapan Joohyun tadi? Joohyun harus berhenti dihantui oleh bayang-bayang hari itu. Joohyun harus berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Selama ini Joohyun selalu berusaha untuk menanggung semua beban itu sendirian karena dia nggak bisa percaya sama orang-orang sekitarnya, kepergian Nana yang buat dia seperti itu. Dia harus tahu fakta dibalik kepergian Nana.”

Tuan Bae menatap sepucuk surat di tangannya.

“Percaya sama aku. Kita harus lakukan ini, Joohyun berhak tau. Lagipula dia punya kita semua kan? Ada aku, kamu, Yerim, dan Seungwan.” ujarnya lagi sembari mengelus lengan nyonya Bae untuk menenangkan istrinya.

Nyonya Bae terlihat ragu dengan keputusan suaminya itu. Namun disisi lain ia pun merasa bahwa putrinya harus bisa keluar dari bayang-bayang masa lalunya.

Pada akhirnya nyonya Bae menghela napasnya, menyetujui keputusan suaminya.

“Biarin aku yang kasih ke Joohyun. Dia udah terlalu kesel sama kamu.”

Tuan Bae tertawa pelan lalu mengangguk. “Iya, aku juga nggak mau dia benci aku lebih dari ini.”

“Joohyun nggak benci sama kamu kok, mas.”

Sang kepala rumah tangga hanya bisa berharap bahwa ucapan istrinya adalah benar. Ia pun tidak ingin putri sulungnya membenci kehadirannya. Tuan Bae sudah melihat bagaimana Seungwan dapat membenci papanya dan ia tidak ingin merasakan hal yang sama, walaupun ia tahu ia tidak pernah dan tidak akan pernah melakukan apa yang sudah dilakukan oleh orang tua Seungwan.

Sementara itu nyonya Bae terdiam sesaat. Berusaha untuk mencari waktu yang tepat baginya untuk menyita perhatian Joohyun.

“Sayang…” panggil nyonya Bae sembari membelai kepala Joohyun yang saat ini masih dipeluk oleh Yerim.

“Bunda dan Ayah nggak pernah mau merenggut kebahagiaan kamu. Kami berdua sangat-sangat menyayangi kalian berdua, maaf jika rasa sayang kami ditangkap berbeda oleh kalian. Tetapi sungguh, Bunda dan Ayah hanya ingin melihat kalian bahagia. Sebelum kamu salah paham lagi, nggak kok Bunda dan Ayah nggak ada yang akan memisahkan kamu dan Seungwan.”

Joohyun menengadahkan kepalanya, matanya menatap lekat mata Sang Ibunda. Dalam tatapannya itu nyonya Bae dapat merasakan bagaimana Joohyun berusaha memohon kepadanya.

“Yang terjadi di hari ulang tahun Seungwan, kamu salah paham, nak. Informasi tentang latar belakang Seungwan nggak akan membuat Bunda atau Ayah memandang dia berbeda. Karena nyatanya, Seungwan adalah sosok yang sangat hebat, kan? Dia bisa tumbuh hingga seperti sekarang dengan usahanya sendiri. Seperti yang Yerim bilang tadi, informasi tentang siapa Seungwan sebenarnya menjadi sangat penting bagi Bunda dan Ayah karena kami ingin melindungi kalian berdua.”

“Bunda…”

Nyonya Bae dengan segera merengkuh tubuh putri sulungnya.

“Pancaran mata kamu saat kamu sedang bersama Seungwan nggak pernah bisa Bunda lupakan. Itu adalah pancaran mata yang sama seperti yang Bunda lihat saat dulu kita pergi berdua bersama-sama. Saat kamu minta eskrim, inget? Kamu bahagia, tulus dari dalam hati kamu, dan Bunda ingin menjaga kebahagiaan kamu, Joohyun.” ujar nyonya Bae kali ini sembari membelai kepala Joohyun.

Kendati ia tidak diikutkan dalam percakapan kali itu, namun hati sang bungsu keluarga Bae pun ikut terenyuh. Tanpa sadar ia pun ikut meneteskan air matanya. Belum sempat ia berlaku demikian, Yerim merasakan kepalanya diacak-acak pelan oleh tuan Bae.

“Tumben bisa nangis, biasanya paling jahil.” goda sang Ayah yang mendapat cubitan kencang dipinggangnya.

“Ada banyak sekali yang mau Bunda dan Ayah bicarakan sama kamu dan Seungwan. Tapi sebelum itu semua, ada satu hal penting yang ingin Bunda kasih ke kamu.” lanjut nyonya Bae, tangannya menyerahkan sepucuk surat yang sudah bertahun-tahun disimpan rapat oleh tuan Bae.

“Maafkan Ayah dan Bunda, serta orang tua Nana yang menyimpan ini semua dari kamu. Saat itu kami merasa kamu belum siap untuk mengetahui ini semua. Kamu terlalu hancur hari itu dan kami nggak ingin kehilangan kamu juga, Joohyun. Tapi nampaknya keputusan kami justru membuat kami kehilangan Joohyun yang dulu kami kenal. Nggak ada yang tahu apa isi amplop ini karena Nana meninggalkan ini khusus untuk kamu dan kami menghargai itu semua. Bunda cuma minta satu hal ke kamu, tolong setelah ini lepas kepergian Nana ya, sayang? Berhenti menyalahkan diri kamu, tolong ingat disini ada kami yang membutuhkan kehadiran kamu juga. Ada Seungwan yang butuh kamu.”

Amoureux de…(Seungwan) part 7-14

Bunyi halus selimut yang ditarik menutupi tubuh dua sejoli dapat terdengar dengan indah, mengisi kesunyian di kamar utama.

Erangan pelan keluar dari mulut Seungwan ketika ia merasakan Joohyun mengeratkan pelukannya, menarik tubuh Seungwan untuk lebih mendekat kepada tubuh Joohyun.

“Morning, love.” sapa Joohyun dengan suara seraknya, tak lupa ia tinggalkan kecupan di bahu mulus milik Seungwan.

Seungwan berdeham pelan untuk sekadar membasahi tenggorokannya. Kemudian memutar tubuhnya agar ia bisa menatap Joohyun dan meninggalkan satu kecupan balasan di leher Joohyun.

“Pagi, babe. Ugh, untung hari ini aku nggak ada rekaman. Tenggorokanku sakit banget.” gerutu Seungwan pelan, kini ia sudah menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Joohyun.

Mendengar protes dari Seungwan, Joohyun hanya bisa tertawa kecil. Pasalnya ia pun merasakan hal yang sama. Nampaknya semalam mereka berdua terlalu bersemangat dan berlebihan dalam melakukan aktivitas dewasa mereka.

“Sorry… I just miss you so much, I guess? Tapi badan kamu nggak ada yang sakit kan?” tanya Joohyun, kali ini ia tinggalkan satu kecupan di puncak kepala Seungwan.

“Nope… ehhm… cuma tenggorokan aku aja agak sakit.”

“Nanti aku buatin jeruk nipis hangat kayak biasanya ya? Sekarang aku mau lanjut tidur lagi sama kamu.”

Seungwan sama sekali tidak memprotes ucapan Joohyun, justru ia semakin melesakkan tubuhnya ke dalam pelukan sang CEO.

Pagi ini, tanpa perlu banyak berkata-kata, keduanya saling setuju untuk menghabiskan pagi mereka bersama.

Joohyun tahu ia harus memanfaatkan setiap detik yang ada bersama dengan Seungwan karena minggu depan sudah dapat dipastikan ia akan disibukkan dengan pekerjaannya. Sementara itu Seungwan pun dapat merasakan bahwa minggu ini adalah saat dimana ia bisa menghabiskan waktu bersama dengan Joohyun.

Semalam selepas mereka melakukan impromptu date, Joohyun dan Seungwan memilih untuk berendam di jacuzzi tub sembari membersihkan tubuh mereka setelah berpergian.

Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, but a kiss leads to another kiss, Joohyun dan Seungwan pun berakhir dengan menghabiskan malam mereka hingga dini hari untuk menjelajahi tubuh satu sama lain. Menunjukkan perhatian dan cinta kasih mereka kepada satu sama lain.

Pagi ini pun Joohyun sempat beberapa kali mencuri-curi ciuman singkat di bibir Seungwan. Harus Joohyun akui, Seungwan adalah candu baginya.

“Babe…”

“Hmm?”

“Ini jam berapa sih?” tanya Seungwan pelan.

Sang solois kini sudah lebih sadarkan diri dan perlahan mengingat-ingat pukul berapa semalam keduanya terlelap. Otaknya mulai mengkalkulasi secara sederhana.

“Wait, Hyun… We fall asleep jam berapa tadi pagi?” tanya Seungwan lagi, kali ini ia sedikit mendongakan kepalanya agar ia bisa menatap wajah Joohyun.

“Uhm… I don’t know? We arrived past midnight for sure. Jam 1 kayaknya kita baru sampai sini? Terus mandi… and then you know what we do…” jawab Joohyun santai, lagi-lagi mengecup Seungwan, kali ini tepat di kening sang solois.

“Love language kamu bener-bener physical touch ya?”

“Suddenly?”

“Kemaren pas di beach house kan kita sempet main ituu! Yang sama Minjeong segala.”

“Oh, ya aku nggak terlalu mentingin yang kayak gitu sih.”

“Aku kaget Kak Jen ternyata love language ke orang tuh act of service.”

“Honestly? I think that's part of my family traits, kalau dipikir-pikir kami semua pasti ada indikasi act of servicenya.”

“Hmm… setuju sih.”

Seungwan kembali memeluk Joohyun, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher sang kekasih. Lagi-lagi mencoba menghirup aroma tubuh Joohyun.

“By the way, aku gak mau buka gordennya soalnya aku yakin itu matahari udah di atas.” bisik Seungwan lagi.

“Ah… right. Aku juga nggak mau. Eh, heran deh kok alarm ku nggak bunyi ya?”

“Wait, handphone kamu dimana?”

Pertanyaan Seungwan membuat Joohyun perlahan terjaga. Ia berusaha mengingat-ingat reka ulang adegan semalam, mulai dari ia tiba di apartemen hingga berakhir di ranjang berukuran queen size tersebut.

“Uhm, kayaknya handphoneku somewhere in the living room. Semalem kan aku nggak bawa tas, handphonenya ada di saku celana jeans and well, celananya gak tau sekarang ada dimana.” tawa Joohyun disambut dengan cubitan pelan di pinggangnya.

“Kayaknya kita harus bangun deh, kamu kan juga kerja hari ini?”

“Hmm, 5 more mins?”

“Ya terserah, aku mau bangun sekarang.”

Seungwan melepaskan pelukan Joohyun, berjalan ke arah kamar mandi. Namun ia harus mendengus kesal saat mendengar siulan pelan dari Joohyun.

“Nice abs honey!”

“Mesum!!”


”Gimana? Udah ketemu Joohyun?”

“Belum, Kak Joohyun kayaknya masih di kamar deh sama Kak Wen. Aku nggak berani ketok pintunya.”

Minjeong dapat mendengar dengusan panjang dari seberang sambungan telepon.

”Suka heran deh sama sepupuku yang satu itu. Udah dua kali ya dia bikin bumi gonjang-ganjing tapi malah santai-santai aja!”

“Well, no comment sih aku. Kak Jen disana gimana?”

”Aman terkendali, well harus nurunin lebih banyak security sih. Tapi semua terkendali. PR team udah gerak juga tadi. Tapi masalahnya, sekarang aku harus menghadapi Board of Directors dan Shareholders yang minta penjelasan! Nih si Joohyun kayak gatau aja deh yang beginian jadi santapan banget buat tu om-om haus kekuasaan.”

“Iya, yang sabar ya kak. Aku bantu apa dari sini?”

”Nggak ada, aku cuma ngomel aja kok. Kamu urus Joohyun aja. By the way, udah dihubungin Sam?”

“Belum? Aku kira Kak Jen yang langsung kontakan sama Kak Taeyeon?”

”Huh? Aneh banget? Aku belum ada kontakan sama agensinya Kak Tae? Aku kira kamu yang udah kontakan sama mereka. Terus yang ngeluarin statement dari ACE Ent siapa?”

“Uhh, aku belum ada kontakan apa-apa sih kak. Aku kira tuh statement dari ACE ya hasil diskusi kakak? Apa aku tanya ke Nyonya Do aja ya?”

”Boleh deh. Sekalian aku tanya Kak Taeyeon. Tumben banget deh mereka nggak ada koordinasi gini.”

“Eh, kak udah dulu ya. Itu pintu kamarnya ke buka.”

”Okay, take care Jeong. Call me kalau butuh apa-apa.”

“Sure, you too kak.”

Minjeong memutus sambungan teleponnya dengan Jennie tepat saat pintu kamar utama terbuka dan terlihat Joohyun berjalan keluar dengan bathrobe-nya.

“Uh, Kak Joohyun, are you decent? Aku ada disini by the way.” teriak Minjeong dari kursi ruang tamu.

“Huh? Jeong?”

Joohyun menaikkan alisnya, ia mengambil ponselnya yang tergeletak di meja ruang tengah dan menemukan ponselnya sudah mati kehabisan baterai. Sang CEO kemudian berjalan ke arah meja ruang makan untuk mencari kabel charger yang seingatnya masih tergeletak bersama dengan gawai yang ia gunakan untuk bekerja.

Tak lama kemudian barulah Joohyun melangkahkan kakinya ke tempat dimana Minjeong tengah duduk dengan posisi awkward.

“Ngapain kamu disini?”

Minjeong hanya bisa mengatupkan mulutnya terbuka dan tertutup, matanya mengerjap keheranan.

“Uhm, mau ringkasan berita aja atau mau aku jelasin panjang lebar?”

“Ringkas. Buruan, aku mau nyiapin sarapan buat Seungwan.”

Minjeong mengangguk, ia kemudian mengambil tab yang sedari tadi tersimpan rapi di dalam tas jinjingnya.

“Semalam waktu Kak Joohyun pergi sama Kak Wen, kalian diikutin sama dispatch. Foto kalian kesebar dan pagi ini satu artikel yang cukup compromising udah naik dan viral.” ujar Minjeong sembari menunjukkan artikel yang dimaksud.

Penjelasan Minjeong menyita seluruh atensi Joohyun. Dapat Minjeong saksikan bagaimana kerutan-kerutan di dahi Joohyun perlahan mulai nampak.

“It’s one hella article, I must say kak. Kita juga belum banyak bicara. ACE juga cuma kasih statement ambigu. Well, ditambah postingan sosmed kalian juga….nyambung. Ah, right. As of now all your social media accounts are under Kak Jennie’s surveillance. Tenang aja, cuma yang official kok kak.”

“Okay. Gimana respon publik?” tanya Joohyun setelah mengembalikan tab yang ia pegang kepada Minjeong.

“Hmm, I don’t think you should worry about Kak Wen untuk sekarang. Responnya bagus, well nggak semuanya but mostly kinda rooting for you. Tapi yang harus kita khawatirin sekarang… justru ini.” jawab Minjeong yang mengekor di belakang Joohyun.

Kali ini Minjeong menunjukan pergerakan nilai saham perusahaan mereka pagi ini sebelum berita dikeluarkan dan setelah berita tersebut dikeluarkan.

“We got calls from the Mills.” lanjut Minjeong.

“What did they say?”

“Mereka minta kita tetap pada perjanjian kita di Paris. No scandal, no bad news. I gotta say, nilai saham kita yang pagi ini jadi fluktuatif, kind of a bad news.”

“What else?”

“Jangan deket-deket jendela, soalnya di bawah banyak reporter.”

“Kamu tadi gimana bisa kesini?”

“Aku dikira penghuni sih kak. Ya siapa yang nyangka sih orang kayak aku tuh asistennya kakak? Udah gitu tadi aku sengaja kesini pake baju kayak gini.” jawab Minjeong sembari menunjukkan fashionnya pagi itu.

Celana training, kaos putih, dan jaket windbreaker yang terlihat terlipat rapi di atas sofa ruang tamu.

“Right, kamu kayak bocah.”

“Bocah-bocah gini aku sering nyelametin kakak loh ya?”

“Iya, iya bocil. Kalau gitu kamu sekarang setup meeting aku, Jennie, Seulgi, Taeyeon. Kalau bisa sekalian hubungin asisten mamanya Seungwan. Aku mandi dulu, give me 10 mins.”

“Roger that, boss.”

Dispatch News

Breaking! Singer-Songwriter Wendy Son is reportedly in a stable relationship with the CEO of Bae Corp

reporter: baemysonshine39 March, 1st 2022

Dispatch News

The nation's singer-songwriter Wendy Son and CEO of Bae Corp, Irene Bae, have been swept up in dating rumors.

A photo taken in the midnight featuring individuals resembling Wendy and Irene recently spread on online communities, leading to rumors that the two are in a relationship.

Dispatch News

When reached out for a response by news outlets, Wendy’s agency ACE Entertainment briefly commented, “We have nothing to say [regarding this matter],” and added, “We will inform you if we have a different response to share.”

In another hand, Bae Corp did not comment at all regarding the rumors.

But the fans been digging on their social media posts and past photos of the two and found some clue that the two might be in a stable relationship!

Dispatch News

From their social media posts fans been guessing if Wendy and Irene were celebrating Wendy's birthday together in a luxurious ship and spend their time together.

Dispatch News

Furthermore, once again the fans been finding that the two might or might not wearing a couple ring leading to the allegation that the two are already in a serious and committed relationship.

Dispatch News

Dispatch News


Comments

ssw221: Daamn, it's none of your or our business. Let them be

cupcakesgirlz: lol if you follow her activities, you will realize that her behavior kinda changed A LOT since a year ago. Might be the sign of the start of their relationship

wabsolute: Y'all gotta cry because they're looking so good with each other. I wanna see more picture of themmmm.

nomintchoco: PLEASE! I THINK I SAW THEM AT THE XX PARK YESTERDAY!!! OMG OMG

hotwan_: now I'm gonna pay more attention to their post xixixi

hiddengems: their story is article worthy because they're powerful. I wonder if this happened to nugu person like us, will the world accept it? Anyway, congratulations girls.

Amoureux de…(Seungwan) part 6-54

“Muka ditekuk amat.” ujar Seulgi dibarengi dengan sebuah tepukan pelan dipundak Joohyun.

Sang wanita bermata monolid tersebut menempati bangku yang kosong tepat di samping Joohyun, bangku yang tadinya ditempati oleh Seungwan. Setelah ia mendapatkan posisi yang nyaman, Seulgi kemudian menawarkan segelas orange squash kepada Joohyun yang diterima dengan baik oleh sahabatnya itu.

Namun setelahnya tidak ada percakapan yang tercipta di antara keduanya.

Seluruh perhatian Joohyun terpusat pada Seungwan yang saat ini sedang bersenda gurau bersama dengan Yerim dan Sooyoung. Tanpa ia sadari, Joohyun ikut tersenyum bahkan tertawa kecil kala ia melihat betapa Seungwan menikmati waktunya malam ini.

Sementara itu, Seulgi pun terfokus pada Sooyoung namun sesekali ia melirik ke arah Joohyun untuk melihat bagaimana suasana hati sahabatnya saat itu.

Hal ini bukanlah tidak beralasan. Suasana hati Joohyun malam ini nampaknya sedang tidak baik, Joohyun tidak banyak berujar. Ia bahkan terlihat unresponsive pada sebagian besar orang malam itu.

Hanya Seungwan dan Minjeong yang masih mendapatkan tanggapan positif dari Joohyun. Minjeong pun sebenarnya hampir tidak bisa masuk hitungan karena Joohyun hanya berbicara dengan Minjeong jika ia membutuhkan bantuan asistennya yang berkaitan dengan Seungwan.

Bahkan dengan kedua orangtuanya sekalipun, Joohyun terkesan dingin. Sepanjang acara makan malam Joohyun terlihat menghindari kontak dengan kedua orang tuanya, ia bahkan terlihat jauh lebih ramah pada nyonya Do dibandingkan dengan tuan dan nyonya Bae.

Tidak ada yang tahu apa yang terjadi, Yerim sekalipun. Namun mereka bisa menebak bahwa kemungkinan besar Joohyun terlibat sedikit pertengkaran dengan kedua orang tuanya.

Bahkan hingga tuan dan nyonya Bae beserta dengan nyonya Do pamit untuk kembali ke beach house milik Joohyun, tidak ada tegur sapa berlebih yang terjadi di antara sepasang orang tua dan anak sulung mereka.

Hal ini cukup membuat Seungwan dilanda rasa bingung. Pasalnya Joohyun masih terlihat baik-baik saja sampai sore tadi sebelum ia membantu kedua orang tuanya di parkiran mobil. Namun mood Joohyun terlihat langsung berubah 180 derajat setelahnya.

Joohyun pun tidak mau menjawab ketika ditanya oleh Seungwan.

Nanti.

Begitu jawaban Joohyun setiap kali ditanya oleh Seungwan.

Akhirnya Seungwan berhenti bertanya pada Joohyun, ia khawatir jika terlalu mendorong Joohyun untuk bercerita justru membuat mood kekasihnya semakin buruk. Alhasil, Seungwan berusaha mengubah taktik dengan meminta bantuan Seulgi untuk berbicara dengan Joohyun. Mungkin jika Joohyun tidak dapat bercerita kepadanya, Seungwan harap Joohyun mau sedikit terbuka kepada Seulgi.

“Hyunnie.” panggil Seulgi pelan, sengaja menggunakan panggilan masa kecil mereka untuk mendapatkan perhatian Joohyun.

Tentu saja Joohyun cukup terkejut saat mendengarkan panggilan tersebut dari Seulgi. Sejak kepergian Nana, Seulgi selalu memanggilnya dengan nama ‘Irene’. Bahkan setelah ada Seungwan pun, dapat dihitung jari berapa kali Seulgi memanggilnya ‘Joohyun’.

Menyadari bahwa kini ia telah mendapatkan perhatian Joohyun, Seulgi tersenyum ke arah sahabatnya. Ia menggaruk bagian belakang telinganya sebelum tangannya masuk ke dalam saku hoodie yang ia kenakan.

“Gue mau ngomong serius.” ujar Seulgi membuka percakapan.

“Apa?”

“Gue tau sekarang kantor lagi sibuk, terutama proyek lo sama Mills. Inc. Then your wedding. Oh congratulations for your wedding by the way, kayaknya gue belum pernah ngomong ini langsung ya?”

Joohyun tertawa pelan, “Iya, belum. Tapi gue somehow udah ngerasa kalo lo udah ngasih selamat ke gue.”

“Telepati kita kebangetan sih dari dulu. Pantesan Seungwan sama Sooyoung suka jealous.”

Ucapan Seulgi barusan membuat keduanya sama-sama tertawa karena memang benar adanya.

“Tapi sekarang kan mereka udah paham. Seungwan sih terutama, after I propose to her, dia lebih jarang jealous sama lo.”

“Well, talking about proposing, gue mau propose Sooyoung. Hubungan gue sama Sooyoung udah jauh lebih lama dan stabil dibandingin sama lo dan Seungwan, no offense. Tapi gue iri karena masih belum berani kayak lo, hyun. When you love something, you always put your hundred percent effort.”

“Huh, finally!! Seungwan udah sering cerita kalau Sooyoung nungguin lo buat propose! Oh my god! I’m happy for you, Gi!”

Mata Seulgi membulat, terkejut.

“Kok lo nggak ngasih tau ke gue?!”

“Sorry, dilarang Seungwan. Karena harusnya Seungwan juga nggak cerita ke gue. Sooyoung maunya lo propose karena lo siap, bukan karena paksaan.”

“Well, I am ready. Always, cuma gatau aja dari kemarin kayak ngerasa belum saatnya. But my final push adalah ketika gue liat Sooyoung nemenin Seungwan di butik nyokap lo pas liat-liat katalog gaun. I can see that she wants it too and so do I.”

“Kapan lo bakal propose?”

“Abis lo nikah. Sekalian gue mau ngomong sebagai bawahan lo dikantor, gue mau minta supaya workload gue dikurangin. No more weekend duty, unless it is really necessary. Gue mau luangin waktu gue untuk Sooyoung. No offense Hyun, gue udah kasih waktu gue buat kantor banyak banget dan gue rasa sekarang saatnya gue mulai tata ulang prioritas hidup gue.”

“Jangan abis gue nikah. Kayak gitu aja artinya lo udah lebih memprioritaskan kantor daripada Sooyoung. Propose as soon as you feel you are ready. Urusan kantor, itu tanggung jawab gue. Thank you by the way udah ngasih tau gue duluan. Also congratulations, Gi.”

Senyuman lebar tersungging di wajah Seulgi. Awalnya ia memang mau melamar Sooyoung secepat mungkin, namun ia tahu bahwa Joohyun pun masih membutuhkan bantuannya setidaknya sampai acara pernikahan Joohyun dan Seungwan selesai terselenggara. Namun kini saat ia sudah mendapatkan lampu hijau dari Joohyun, sudah tidak ada halangan baginya untuk segera melamar sang kekasih hati.

“Lo mau gue peluk gak? Atau gue cium gitu pipinya? Sumpah gue seneng banget dapet lampu ijo gini!”

Pertanyaan Seulgi mengundang tatapan horor dari Joohyun. Ia buru-buru menjauhkan tubuhnya dari Seulgi.

“Najis tau nggak? Kalau kita masih SD dulu nggak apa-apa! Lagian, lo mau diamuk sama cewek lo plus Seungwan?!”

Seulgi hanya tertawa, masih menunjukkan senyuman lebarnya.

“Ya biarin aja, gue lagi seneng banget ini soalnya. Oh iya, omong-omong lo lagi ada masalah?” tanya Seulgi lagi.

“Nggak. Kenapa lo nanya gitu?”

“Lo lagi badmood. Semua orang bisa ngerasa, bahkan Seungwan sekalipun. Dia yang minta tolong ke gue buat ngomong sama lo. Tapi tanpa Seungwan minta pun, gue dari tadi udah gatel pengen nanya sekalian ngomong yang tadi juga.”

“Hmm, ya ada sesuatu sih.”

“Something personal?” lanjut Seulgi.

“Iya.”

“Seungwan?”

Joohyun terdiam sejenak, ia menatap lurus ke depan ke arah dimana Seungwan terlihat sedang menikmati malam bersama dengan orang-orang terdekatnya. Senyuman Seungwan sama sekali tidak memudar dan justru membuat Joohyun ikut tersenyum.

Sang solois terlihat sedang beradu skor karaoke bersama dengan Yerim, Sooyoung, Ojé, dan Minjeong. Sementara itu Taeyeon dan Jennie terlihat sibuk merekam kejadian kejadian konyol yang tersaji di depan mereka.

“Gue sayang banget sama Seungwan, Gi.”

“Obviously…” tawa Seulgi.

“No, you don't understand. Gue sayang banget sama Seungwan, lebih dari apapun. Lebih dari gue sayang sama diri gue sendiri. I can't imagine if I have to lose her again. Dua kali Gi, and it was a hell for me. Gue bakal mastiin nggak ada yang ketiga.”

“Gue nggak paham… Emang ada apa? Kok lo tiba-tiba ngomong gini?”

“Gue benci banget sama dunia yang sudah terlalu kejam sama Seungwan. She deserves to be happy, to feel that she is loved. Gue bakal berjuang habis-habisan untuk Seungwan, even if it means gue harus against her parents or even against mine.”

Seulgi mengerutkan keningnya.

“Dan gue harap, gue nggak harus against lo semua.” sambung Joohyun.

“Gue masih gak paham. Jadi ada orang yang ngusik Seungwan maksud lo? Atau apa sih?”

Belum sempat Joohyun menjawab, Seungwan sudah lebih dahulu menginterupsi percakapan di antara dua sahabat tersebut.

“Joohyun!!” panggil Seungwan yang terlihat berlari ke arah Joohyun dan Seulgi.

“Hey, having fun tonight?”

Tangan Joohyun terjulur ke arah Seungwan yang otomatis langsung disambut oleh Seungwan. Kini sang solois tengah terduduk di pangkuan Joohyun mengingat kursinya saat ini digunakan oleh Seulgi.

“Yep! Tapi kalian berdua malah mojok disini!” dengus Seungwan.

Joohyun tertawa pelan. Jemarinya menyibak poni yang menutupi kening Seungwan.

“Poni kamu tambah panjang.”

“Nggak nyambung deh! Tapi iya sih ini tambah panjang. Oiya!! Tadi anak-anak pada minta aku buat jemput kamu sama Kak Seul!”

“Jemput?” tanya Seulgi

“Iya! Pada mau bikin api unggun di deket parkiran. Tadi Minjeong sama Kak Jen udah minta staff buat nyiapin.”

“Ahh, okay. Gue duluan kesana deh. Kalian berdua jangan kelamaan ya disini.” goda Seulgi.

Sementara itu Seungwan hanya menjulurkan lidahnya ke arah Seulgi. Lama kelamaan ia mulai terbiasa dengan godaan yang dilontarkan oleh teman-teman mereka.

Seulgi kemudian menepuk pundak Joohyun sekilas sebelum meninggalkan Joohyun dan Seungwan.

“Yang tadi rahasia ya, hyunnie!” ujar Seulgi memperingati Joohyun.

Ucapan barusan mengundang rasa penasaran dalam diri Seungwan. Ia menoleh ke arah Joohyun dan Seulgi secara bergantian.

“Kalian ngerahasiain apa?” tanya Seungwan.

“Yang namanya rahasia itu nggak boleh dibagi, sayang. Kecuali rahasia aku yang ini, semua orang boleh tahu.”

“Huh? Apa?”

“I love you.” bisik Joohyun tepat di telinga Seungwan.

“Hmm? Suddenly?” tanya Seungwan terkejut.

“Do you love me too?”

“I do, Joohyun. I love you.”

Joohyun tersenyum singkat kemudian menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Seungwan, berusaha menghirup aroma tubuh Seungwan yang juga merupakan aroma favoritnya.

“Kamu kenapa?” tanya Seungwan sembari membelai kepala Joohyun dengan pelan.

“Kangen aja sama kamu. Pengen berdua aja.”

“Gombal!”

“Aku serius, sayaaang. Dari tadi kan kamu selalu sama yang lain, well understandable karena hari ini hari bahagia kamu.” ucap Joohyun, matanya menatap manik mata cokelat milik Seungwan dengan sangat lekat.

Namun tindakan ini justru membuat Seungwan dapat merasakan bahwa Joohyun sedang gelisah. Tangan Seungwan terangkat untuk membelai rambut Joohyun dan menyampirkan rambutnya ke belakang telinga.

Tanpa keduanya sadari, jarak di antara mereka mulai terkikis sedikit demi sedikit.

Mata keduanya secara otomatis terpejam ketika mereka menyadari apa yang akan terjadi selanjutnya.

Perlahan Joohyun menyesap bibir bagian bawah milik Seungwan. Begitu pula dengan Seungwan yang kini tengah menikmati manis dan lembutnya bibir Joohyun.

Deru napas keduanya saling beradu. Kehangatan di antara keduanya tercipta secara otomatis.

Pelan dan Lembut.

Dalam dan Intim.

Keduanya sama-sama tidak mempedulikan sekeliling mereka. Saat itu Joohyun hanya memiliki satu tujuan, yaitu menyalurkan perasaannya kepada Seungwan melalui ciuman mereka. Seungwan pun telah memblokade seluruh inderanya dan hanya mencurahkan seluruh perhatiannya pada Joohyun.

Perlahan tangannya menyentuh rahang Joohyun untuk memperdalam ciuman mereka. Ibu jari Seungwan mengelus pipi Joohyun sembari tangan kirinya menahan tengkuk Joohyun, memaksa sang CEO untuk memperdalam ciuman mereka.

Lain halnya dengan Joohyun yang kini sudah memegang pinggang Seungwan dengan kokoh, berusaha untuk menjaga Seungwan agar tidak terjatuh dari posisi duduknya. Telapak tangan kanannya sudah bergerak naik-turun, mengelus punggung Seungwan.

Mereka sangat menikmati setiap detik yang berlalu, setiap hembusan napas yang menerpa wajah mereka, setiap erangan pelan atas kenikmatan yang tengah mereka rasakan.

“Haloooo spadaaaa!!”

Teriakan Yerim sontak menghentikan kegiatan Joohyun dan Seungwan. Keduanya tertawa pelan, sama-sama berusaha mengatur ulang napas mereka dan sexual tension yang tadi sempat tercipta.

Sang CEO merengkuh tubuh Seungwan dan memeluknya erat. Tangannya melingkari tubuh mungil Seungwan, kepalanya terbenam di ceruk leher sang solois. Sementara Seungwan mengelus kepala Joohyun dengan penuh kasih.

“Adek kamu selalu aja dateng disaat kayak gini, aku heran.” tawa Seungwan.

“I’m asking the same question.”

“Yuhuuu! Lo berdua decent-kan? Gue mau jalan kesana nih?” teriak Yerim dari ujung tangga lantai satu.

“Tunggu situ aja! Gue sama Joohyun udah mau turun kok!”

“Loh kata siapa kita mau turun sekarang?” bisik Joohyun memprotes ucapan Seungwan.

“Ih, kamu nih ya! Kita udah ditungguin tuh, ayo turun!”

“Nggak mau! Nanti aja, sepuluh menit lagi!”

Seungwan memutar kedua bola matanya, tangannya mencubit pinggang Joohyun.

“Mendingan kamu lepas deh ini tangan kamu, daripada adek kamu nemuin kita kayak gini.”

“Woy Cepetan! Lo berdua tuh udah ditungguin dari tadi tau nggak?! Lo kira gue gak denger ini bisik-bisik tetangga?!”

Omelan terakhir dari Yerim akhirnya membuat Joohyun dengan terpaksa melepaskan pelukannya. Namun ia berhasil mencuri satu kecupan singkat sebelum Seungwan berhasil melepaskan diri dari kekangan Joohyun.

“Lo berdua kalo gak turun juga, gue naik nih ya. Hitungan ketiga. Satu!”

“Iya! Iya! Ini turun!”


Malam hari itu cukup berawan dan dingin. Tak heran mengingat saat itu masih peralihan musim dingin ke musim semi. Sembilan orang gadis yang tengah melingkari satu api unggun malam itu sukses membuat kegaduhan.

Terdengar pekikan-pekikan, tepuk tangan, maupun erangan protes yang saling sahut menyahut. Yang awalnya merupakan ’pesta’ api unggun, kini telah bergeser menjadi permainan Truth or Dare.

Entah sudah berapa banyak alkohol yang mereka konsumsi.

Namun Taeyeon dan Joohyun tetap berusaha mengontrol keadaan agar tetap terkendali. Bagaimanapun juga mereka tetap memiliki image yang harus dijaga.

“Ayo lagi! Lagi!!” pekik Minjeong.

Sang gadis termuda nampaknya sudah mulai kehilangan kesadarannya.

“Berhenti minum deh, udah mabok nih.” ujar Jennie yang mengambil gelas digenggaman Minjeong.

“Belom kaaak!! Aku masih perfectly sobeeer!!”

“That’s exactly what drunk people would say, Jeong.” ujar Joohyun yang tengah menahan kepala Minjeong agar tidak terantuk sandaran kursi kayu yang ia tempati.

“It’s okay babee, biarin aja dia sesekali kayak gini. Aku yakin biasanya juga dia nggak gini kan? Lagian kan ada kita semua.” bisik Seungwan tepat di telinga Joohyun diselingi tawa-tawa kecil.

“Two drunk people, great.”

“Tiga, cewek gue mulai tipsy tuh.” sahut Seulgi.

Joohyun tidak begitu menyadari keadaan namun yang ia tahu tiba-tiba Yerim menepuk pundaknya kencang-kencang sembari menyerahkan botol kaca yang rupanya tadi mengarah kepadanya.

“Yuhuuu!! Your turn sistaaaah!!”

“Apaan? Gue nggak ikutan!”

“Ughh party pooper boooooo” ejek Seungwan dengan ibu jari menghadap ke bawah.

Dengan malas Joohyun memutar botol kaca yang diberikan kepadanya.

“Loh, tunggu kalo gue puter maksudnya apaan?” tanya Joohyun yang baru menyadari perbuatannya.

“Lo milih dare artinya, kak.” tawa Ojé.

“Lah? Gue aja nggak setuju?!”

Nampaknya malam hari itu kesabaran Joohyun sedang diuji, botol yang tadi ia putar kini menghadap lurus ke arah Seulgi yang sama-sama memberikan ekspresi terkejut.

“Wohoo!! Kak Seul!! Cepet! Cepet! Ini ambil kartunya!!” ujar Yerim kegirangan.

Joohyun menghela napasnya kasar, namun tangannya tetap mengambil tumpukan kartu paling atas. Terlihat kerutan di dahinya sesaat setelah ia membaca kartu yang ada di tangannya.

“Pepero game?”

“Yah! Kita gak ada pepero!!” protes Yerim.

“Ada spaghetti kak!!” sambung Minjeong.

“Heh kata siapa gue setuju!!”

Ujaran protes Joohyun sama sekali tidak digubris. Yerim sudah berlari ke arah yacht mereka dan meminta salah satu staf untuk mengambil sepiring spaghetti bagi mereka.

Sementara itu sang CEO hanya bisa memijat keningnya dan berkali-kali menghela napasnya gusar.

“Kalo gue tolak, apa sih hukumannya?”

“Lo minum tuh satu gelas.” tunjuk Taeyeon pada satu gelas besar berisikan Rum.

“Hah? Gila, lo semua emang niat mau mabok apa gimana sih?!” gerutu Joohyun.

“Your choice kak, minum itu atau lanjutin gamenya. Pepero game tuh intinya lo harus gigit ujung batang pepero terus orang lainnya gigit ujung satunya, nah kalian harus patahin peperonya sependek mungkin.” ucap Ojé menjelaskan aturan mainnya.

“Gue kayaknya milih minum aja deh Ren….”

Seulgi melirik ke arah Sooyoung namun ia justru melihat kekasihnya itu seakan-akan menantangnya untuk melakukan dare tersebut. Tak jauh berbeda dengan Sooyoung, Seungwan pun terlihat tersenyum jahil ke arah Joohyun.

“It's just a game! Kita nggak masalah kok! Lagian, palingan apa sih? Bibir kalian nempel doang kan? Ya nggak?” ucap Seungwan kepada Sooyoung yang dibalas dengan anggukan kepala.

“Once and for all, biar akuuu….” tunjuk Sooyoung pada dirinya, kemudian telunjuknya beralih menunjuk ke arah Seungwan

“....sama Seungwaaaan enggaak penasaran lagi kaliaaann berdua tuh ada rasa atau nggak.”

“Girls, kalian udah mabuk. Ini kalian ngomong gini pasti nggak sadar deh.” ujar Seulgi yang berusaha menengahi suasana.

Joohyun menatap Seungwan dan gelas yang berisikan Rum secara bergantian. Disatu sisi ia tidak merasa kuat untuk menghabiskan satu gelas alkohol tersebut. Namun di sisi lain ia cukup khawatir jika ia menerima tantangan tersebut, esok hari Seungwan akan merajuk padanya mengingat malam ini Seungwan tidak nampak dalam keadaan yang sepenuhnya sadar.

“Yuhuuu the spaghetti is here!!”

Joohyun kembali menatap Seungwan dan kali ini tatapannya dibalas dengan tatapan menantang dari Seungwan. Pandangan mata sang solois tertuju pada piring spaghetti kemudian ia menggoda Joohyun dengan menaikkan alis matanya.

“Sure, just a game.” batin Joohyun.

Joohyun menarik napasnya panjang satu kali sebelum ia mengambil seuntai spaghetti. Sang CEO melirik ke arah Seungwan sekali lagi kemudian ia memberikan aba-aba kepada Seulgi untuk segera menuntaskan permainan tersebut.

“Lo gigit aja, diem nggak usah gerak. Gue aja yang gerak.” perintah Joohyun.

“Oooh someone is in charge eh?” goda Yerim.

Joohyun hanya bisa memutar kedua bola matanya malas. Kedua tangannya kini memegang bahu Seulgi, berusaha menjaga keseimbangannya.

“Gue cuma harus gigit ini sampai sisanya sependek mungkin kan?”

“Yep, the rules should be like that. Kalau without modification.” jawab Ojé.

“Okay…”

Kini semua mata tertuju pada Joohyun dan Seulgi.

Seulgi yang sudah mengigit ujung spaghetti dan diam tak bergerak dan Joohyun yang terlihat kembali mengatur napasnya.

Perlahan Joohyun mulai mengigit ujung spaghetti di sisi miliknya.

Tantangan tersebut berjalan mulus sampai Joohyun dapat merasakan Seulgi sudah semakin dekat di hadapannya. Mau tidak mau ia harus memiringkan kepalanya ke arah kanan dan Seulgi pun menerima kode dari Joohyun dengan sangat baik, ia memiringkan kepalanya ke arah yang berlawanan.

Perlahan namun pasti, hidung keduanya sudah hampir bersentuhan.

Seulgi sesekali melirik ke arah spaghetti yang ada di bibirnya dan di ujung bibir Joohyun.

“Ren… gak usah terlalu kompetitif ren…” bisik Seulgi memperingati Joohyun.

Sementara itu Joohyun justru semakin terfokus pada tantangan yang harus ia lakukan. Memang tidak ada batas minimum yang harus ia penuhi, namun Joohyun yakin jika ia tidak memutus spaghetti tersebut dan menyisakannya dengan sangat pendek, pasti Seungwan dan Sooyoung atau bahkan Yerim akan meminta tantangan tersebut untuk diulang.

“Gi, diem.” perintah Joohyun sembari mencengkram bahu Seulgi yang terlihat mulai bergerak tidak sabar.

“Emang sepupu gue paling kompetitif sejagad raya!” sorak Jennie yang disambut dengan tepuk tangan meriah dari Minjeong dan Yerim.

“Ren….”

“Gi, diem.”

Tik

“Gigit sekarang, Gi. Lepeh kesini.” perintah Joohyun yang menyodorkan telapak tangannya yang sudah ia lapisi dengan tisu kering.

Ia pun melakukan perintah Joohyun dan kini bisa bernapas lega saat melihat potongan sisa spaghetti yang tadi telah ia sisakan.

“Anjir ini mah nggak ada satu senti?”

“Liat kak! Liat!”

Tak butuh waktu lama bagi Joohyun untuk menjadi pusat kerumunan. Ia pun tersenyum bangga karena telah menyelesaikan tantangan tersebut dalam sekali percobaan.

Joohyun kemudian menjewer telinga Yerim dan Minjeong yang ia anggap sebagai biang keladi atas permainan malam ini.

“Kalian berdua besok pagi harus bisa bangun lebih pagi dari gue, or else lo berdua bakal nyesel.” gerutu Joohyun.

Tentu saja pemandangan ini mengundang tawa bagi orang-orang yang tidak terkena amukan Joohyun.

“Sorry tadi kena dikit.” bisik Seulgi pada Joohyun saat keduanya sudah kembali duduk di posisi semula.

“Cerewet lo, mending diem deh sebelum ada yang nyadar!” desis Joohyun.

“Next round! Next round!!”

Tanpa menunggu aba-aba, Seungwan sudah mengambil botol kaca yang tadi digunakan oleh Joohyun dan memutar botol tersebut dengan tangan kirinya.

Semua mata tertuju pada satu botol kaca yang kini mulai berputar dengan lambat.

Seungwan dengan kilatan mata jahilnya dan Joohyun dengan ekspresi serius yang tidak bisa lepas dari wajahnya.

“Wendeeeeeeeh!!!” teriak Yerim saat menemukan botol tersebut justru mengarah tepat ke arah Seungwan.

“Easy peasy, dare honey!”

Yerim tersenyum jahil. Ia kemudian kembali memutar botol kaca tersebut dan kali ini berhenti mengarah pada Ojé.

Rahang Joohyun mengeras saat ia menyadari bahwa kini Seungwan harus melaksanakan dare tersebut dengan sepupunya sendiri yang juga mantan kekasih dari Seungwan.

“Take the card!! Take the card!!” ujar Jennie yang turut meramaikan suasana dan menyerahkan setumpuk kartu yang berisikan perintah-perintah untuk melakukan tantangan tersebut.

Dengan santai Seungwan mengambil kartu di tumpukan teratas dan membaca isi perintah dengan lantang.

“Kiss someone on the lips. More than peck.”

Mata Joohyun dan Ojé sama-sama membulat untuk dua alasan yang berbeda. Keduanya menatap Seungwan lalu saling bertukar pandang. Sementara itu yang lainnya justru bersorak lantang, ada yang menggoda Seungwan, ada yang menggoda Ojé, dan tentu saja ada yang menggoda Joohyun.

“You should work on your temper and jealousy, sis.” goda Taeyeon sembari kembali menenggak minuman beralkohol yang ada di tangannya.

Joohyun membuang wajahnya dan memejamkan matanya, berusaha untuk menghalau semua suara yang ada dan melupakan apa yang harus ia lihat.

“She is someone who has that kind of track record AND not to mention dia bakal kerja sama banyak stranger juga kedepannya. This is just a game and we can trust Ojé, gimana kalau kedepannya dia bakal ada proyek yang harus skinship sama orang lain lebih dari ini dan dengan orang yang lo sendiri nggak bisa percaya?” lanjut Taeyeon.

Belum sempat Joohyun membalas ucapan Taeyeon, sudah terdengar kegaduhan yang diciptakan oleh Yerim, Sooyoung, dan Jennie.

“Whooaaaa!!”

“Bottom up!! Bottom up!!!”

“Daaang!! Sis you sure know how to drink!!”

Rupanya Seungwan lebih memilih untuk tidak melaksanakan tantangannya dan meminum segelas rum yang merupakan hukuman baginya.

“Enough.”

Joohyun bangkit dari posisi duduknya dan menghentikan Seungwan yang sudah hampir menghabiskan satu gelas rum tersebut.

Tentu saja semua mata tertuju pada Joohyun terutama saat sang CEO mengambil gelas yang ada di genggaman Seungwan dan menggendong tubuh Seungwan, entah mendapatkan kekuatan dari mana.

“Pulang sekarang.” ujar Joohyun tegas pada Seungwan.

Sementara itu Taeyeon menggelengkan kepalanya dan menghabiskan sisa-sisa minumannya sebelum ia ikut berdiri dan menepuk tangannya dengan kencang untuk menyita perhatian dari sepupu-sepupunya.

“Okay, that’s it girls. Now go back to your room! Shooo shooo. Malam ini kelar sampai sini aja!”