youngkimbaeson

Amoureux de…(Seungwan) part 6-52

Dentingan pelan dari alat makan yang beradu dengan piring porselen dapat terdengar dari dalam yacht mewah yang dipinjam oleh Joohyun. Namun kali ini yang menghuni yacht tersebut bukanlah Joohyun dan Seungwan, melainkan Taeyeon, Ojé, Yerim, Sooyoung, dan Minjeong yang sudah lebih dahulu tiba di kapal mewah tersebut.

Minjeong masih sibuk hilir mudik memeriksa kelengkapan yang sekiranya akan dibutuhkan untuk acara ulang tahun malam hari nanti. Sedangkan Taeyeon dan Ojé memilih untuk menikmati hidangan yang saat itu sudah tersedia. Berbeda lagi bagi Yerim dan Sooyoung yang sudah sibuk mengambil gambar satu sama lain.

“Ini Kak Joohyun sama Seungwan kemana sih?” tanya Ojé santai sembari kembali menyantap penne bolognaise yang ada di hadapannya.

“Joohyun kalau udah jatuh cinta nggak usah dicari, cuma bikin capek aja. Mending lo habisin itu makanan, abis ini temenin nyari kamar kosong di atas.” jawab Taeyeon.

Ojé menolehkan kepalanya ke arah Taeyeon, “Kamar kosong?”

“Do you think we’re gonna stay sober tonight? Tadi gue nguping telponnya Minjeong sama Jennie, si Jennie mesen banyak minuman tuh.” jawab Taeyeon lagi.

“Lah kan ada om sama tante malam ini?”

“Pasti mereka balik cepet sih.”

Ojé mengangguk paham. Ia pun kembali menyantap hidangannya dengan lahap sembari sesekali mengambil gambar pemandangan indah yang tersaji di hadapannya.

Tak lama berselang, Taeyeon dan Ojé mendengar pekikan khas ala Yerim dari ujung geladak utama yang diikuti dengan teriakan tak kalah heboh dari Sooyoung.

“Nah ini dia balik juga orangnya!!”

“Lo kelamaan yang iya-iya sama kakak gue ya!!” tuduh Yerim.

“Apasih?! Gue cuma jalan-jalan aja muter-muter naik jetski!” bantah Seungwan.

Sementara itu Joohyun hanya tertawa mendengar kelakar yang dilemparkan oleh Yerim dan Sooyoung.

“See? Kalau nggak dicari, ntar orangnya balik sendiri.” kekeh Taeyeon.

“Tapi yang kali ini tuh Kak Joohyun kayak in a whole nother level. Dulu kayaknya pas sama Kak Na nggak segininya amat.”

Taeyeon menaikkan alisnya sejenak, “Well, in a way emang yang ini terasa beda karena Joohyun juga sekarang udah punya power. Gue yakin kalau dulu dia juga punya uang dan power yang sama, dia bakal segininya.”

“Udah puas ngomongin gue belom?”

Mendengar suara Joohyun, Ojé langsung bertingkah seakan-akan ia sangat fokus menyantap penne miliknya. Sementara itu Taeyeon hanya mengangkat bahunya, tidak begitu peduli dengan reaksi Joohyun.

“Fakta kok.” ujar Taeyeon santai.

Sang CEO menyipitkan matanya, berusaha berpikir cepat untuk membalas ucapan Taeyeon namun pekikan lainnya dari geladak utama memecah fokusnya.

“Kak Jeeeeen!!! Kak Seuul!!!”

Taeyeon dan Joohyun sama-sama menoleh ke arah jendela kapal yang mengarah ke ujung pelabuhan dimana mobil-mobil mereka terparkir.

Terlihat dua mobil sedan berwarna hitam yang sudah terparkir bersebelahan.

“Lo sambut tuh ibu mertua lo.” goda Taeyeon yang dibalas dengan dengusan kesal dari Joohyun.

Joohyun pun melangkahkan kakinya meninggalkan Taeyeon dan Ojé. Wajahnya yang masam perlahan menjadi sumringah kala ia melihat Seungwan yang sudah lebih dahulu menyapa mamanya dan kedua orang tua Joohyun.

Pelukan hangat diberikan oleh Nyonya Bae bagi Seungwan dan tentu saja dibalas tak kalah hangat oleh sang solois.

Lesung pipi yang jarang nampak bahkan kini terpampang jelas. Saking lebarnya senyuman yang diberikan oleh Seungwan, Joohyun berpikir apakah nanti otot pipi kekasihnya itu akan tertarik karena Seungwan yang tak henti menyajikan senyum lebar miliknya itu.

“Joohyun mana?” tanya nyonya Bae pada Seungwan.

“Uhh, tadi….”

Baru saja Seungwan hendak memutar tubuhnya untuk mencari keberadaan Joohyun, ia sudah merasakan sentuhan di pinggangnya. Sebuah tangan yang melingkar dengan nyaman, seakan-akan kembali mengklaim posisi favoritnya.

“Aku disini.” potong Joohyun yang kini sudah memeluk nyonya Bae dan dihadiahi kecupan di pipinya oleh sang Ibunda.

“Kamu tuh ya nggak sopan banget! Masa mindahin lokasi nggak ada pengumuman dulu!” protes nyonya Bae.

Joohyun hanya bisa tertawa kecil karena ia pun tahu bahwa protes yang dilayangkan oleh Bundanya hanyalah sebuah candaan.

“Ayah mana?”

“Nah, itu dia ayah kamu masih di mobil. Bantuin Bunda ambil barang dulu!” ujar Nyonya Bae pada Joohyun yang kemudian menatap Seungwan sejenak. “Kamu sama mama kamu dulu aja Seungwan. Tadi setau Bunda, katanya mamamu laper deh. Coba kamu tawarin makan dulu.”

Seungwan mengangguk setuju. “Bunda mau aku siapin makanan juga?”

“Minuman aja. Tolong sekalian buat ayah kamu juga ya?”

“Jus?”

“Boleh.”

Seungwan pun beranjak meninggalkan Joohyun, namun tangan Joohyun sudah menarik lengan sang solois terlebih dahulu.

“Ciumnya mana?”

Seungwan memberikan tatapan takjub pada Joohyun dan mengajukan protes kecil, “Joohyun, ini rame! Ada orang tua kamu juga! Ada mama aku!”

“Cium dulu kalau nggak, kamu nggak boleh pergi. Please ya…..sayang?” rengek Joohyun yang berusaha memberikan tatapan memelas kepada Seungwan.

Sang solois hanya bisa menggelengkan kepalanya, ia menoleh kesana kemari berusaha untuk memastikan bahwa tidak ada orang yang mencurigakan yang sedang memperhatikan mereka dan tak lama kemudian ia mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibir Joohyun.

“Yang hari ini ulang tahun itu aku, tapi yang manja nggak karuan kenapa kamu sih?!” omel Seungwan.

Namun kontras dengan gestur tubuhnya, wajahnya justru menampilkan senyuman sedikit malu-malu. Matanya membulat saat secara tiba-tiba ketika Joohyun mencuri satu kecupan lagi dari bibirnya.

“Tadi kamu udah cium aku, sekarang aku cium kamu biar impas.” tawa Joohyun sebelum kembali mengecup Seungwan, kali ini di pipinya dan berlari menyusul nyonya Bae yang sudah berjalan di depannya cukup jauh.

Sang solois masih terpaku di posisinya. Perlahan kepalanya menengadah menatap langit senja hari itu. Ia tertawa kecil pada dirinya sendiri, siapa yang menyangka bahwa ia dan Joohyun bisa bertahan sejauh ini?

Tak lama kemudian Seungwan merasakan getaran yang berasal dari ponselnya. Ia pun mengusap layar ponselnya untuk memasukkan passcode dan menemukan sebuah notifikasi pesan dari Joohyun.

“Seungwannie!” teriak Joohyun dari ujung jalan.

“I love you!” sambung Joohyun.

Seungwan lagi-lagi hanya bisa terdiam keheranan dengan tingkah Joohyun hari ini. Entah sudah berapa kali hari ini Joohyun membuatnya tersipu malu.

ASA

Winara Salim, seorang gadis muda berparas cantik nan imut dengan tubuh mungil, kembali menghela napasnya ketika ia harus mengekor di belakang kakaknya yang sibuk keluar-masuk toko-toko bunga di pagi hari itu.

Sementara itu Thalia Salim sempat melirik sekilas untuk memastikan keadaan adik bungsunya dan tertawa kecil ketika ia mendapati ekspresi kesal di wajah Winara.

“Udah capek kamu?” tanya Thalia.

Winara hanya menggeleng sembari menarik bibirnya sehingga kini wajahnya menimbulkan satu ekspresi malas.

“Ya menurut kakak aja deh, ini udah toko ke berapa yang kita masukin? Mau ngapain sih sebenernya?”

“Cari bunga lah! Orang ini udah jelas-jelas di pasar bunga.”

“Jawaban bodoh. Semua orang juga tau kalau mau cari bunga karena kita ada di pasar bunga. Maksud aku bunga apa yang mau kakak cari sih?” dengus Winara.

Mendengar adiknya yang melayangkan protes, Thalia justru kembali tertawa. Tangannya mengacak-acak rambut Winara, sedikit menghancurkan ikatan rambut Winara yang sebenarnya sudah cukup berantakan.

“Mau cari bunga yang kualitasnya bagus. Daritadi kakak belum nemu yang cocok. Coba kamu saranin ke kakak dong kira-kira yang kamu suka yang mana?”

“Nggak ada. Aku kan nggak suka bunga, kak.” jawab Winara malas sembari memutar kedua bola matanya.

Winara hanya menunjuk asal, mengisyaratkan kepada kakaknya untuk terus berjalan dan kali ini Thalia memilih untuk mengikuti saran adiknya itu. Kedua kakak beradik tersebut kembali menelusuri sepanjang jalan raya yang terkenal sebagai ‘Pasar Bunga’ di kota mereka.

Winara dengan ekspresi malasnya dan Thalia yang sesekali berhenti di depan toko bunga untuk sekadar menanyakan stok bunga dan harganya kepada sang penjual.

“Kak, sebenernya kakak tuh nyari bunga yang bagus terus murah kan?” cecar Winara ketika ia menyadari toko yang baru saja didatanginya memiliki koleksi bunga yang cukup banyak dan terlihat menjanjikan, namun Thalia kembari mengurungkan niatnya untuk membeli bunga.

Thalia hanya tertawa dan mengangkat jari telunjuk serta jari tengahnya membentuk huruf ‘v’ ke arah Winara.

“Nggak usah kayak orang susah deh kak. Kalau memang udah ketemu bunga yang kakak suka, kenapa sih masih harus cari yang murah lagi di tempat lain?”

“Kepuasan. Kakak belum puas kalau belum nemu bunga yang kakak suka dengan harga yang menurut kakak worth it. Kamu juga gitu kan kalau lagi cari alat tulis?” jawab Thalia sembari mencium bunga baby breath yang ada di etalase salah satu toko.

Mendengar jawaban kakaknya, Winara kembali menghela napasnya.

“Ya terserah.”

Tak lama kemudian Winara merasakan sebuah tepukan keras di bahunya yang berasal dari Thalia. “Tck! Kamu nih nggak ada romantis-romantisnya deh, kakak heran! Kok bisa ya kamu nulis novel sampe selaris itu!”

Winara kembali memutar kedua bola matanya.

“Kalimat yang tidak ada korelasinya. Lagian ya kak, aku bukan penulis novel romantis. Sure, di novelku ada selipan bagian yang romantis tapi aku nggak pernah nulis novel yang ide utamanya tentang romansa-romansa kayak yang kakak suka baca itu.”

Mendengarkan jawaban Winara, Thalia menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia kemudian menatap adik bungsunya itu.

“Kamu belum aja ketemu sama seseorang yang buat kamu merasakan indahnya jatuh cinta. Being romantic to someone is not a crime, jangan terlalu skeptis sama sesuatu nanti kamu kena karmanya. Kakak udah nemuin yang kakak mau, kamu tunggu sini aja deh. Mood bunga-bunga ini bakalan jadi jelek kalo kena hawa negatif kamu.” ujar Thalia sembari menyentil dahi Winara.

“Aduh! Kak!”

Winara kembali mendengus kesal namun setidaknya kini ia bisa sedikit bernapas lega karena kakaknya telah menjatuhkan pilihan.

Secara otomatis, tangan kanannya merogoh saku celana yang ia kenakan dan mengambil ponselnya yang ia simpan disana.

Jemarinya menavigasikan dirinya menyelami media sosial miliknya untuk memeriksa reaksi dari para pembaca setianya atas berita acara fansign novel terbaru yang ia keluarkan satu bulan yang lalu.

Setelahnya Winara memeriksa kotak masuk e-mail miliknya, barangkali ada balasan dari editor sekaligus sahabatnya itu.

Lima menit berubah menjadi lima belas menit, Winara masih berdiri di depan toko bunga bernama “Summer Love” menunggu kehadiran kakaknya yang masih sibuk berkutat dengan bunga-bunga pilihannya. Namun tiba-tiba ia terlonjak kaget saat mendengar teriakan kakaknya yang memanggil dirinya.

“Win!!” panggil Thalia.

“Apa?”

“Bantuin kakak sini, kamu angkat ini vas bunga soalnya kakak mau ukur seberapa panjang tangkai yang harus dipotong.” ujar Thalia yang tanpa basa-basi langsung memberikan sebuah vas bunga kaca kepada Winara.

Winara kembali menghela napasnya, ia memeluk vas bunga yang menurutnya lebih mirip sebagai akuarium ikan hias. Sesekali ia memalingkan wajahnya akibat tangkai bunga yang mengenai kepalanya.

“Ah, okay. Mas ini dipotong segini aja ya. Jangan kelebihan loh!” ujar Thalia kepada salah satu petugas toko bunga yang sedari tadi melayani dirinya.

Tak lama kemudian Thalia kembali masuk ke dalam toko, kembali meninggalkan Winara di depan toko bunga.

Belum lama ia menikmati keheningan, lagi-lagi Winara menghela napasnya saat merasa sebuah tepukan di pundaknnya.

“Ap-...”

“Mbak, ini harga bunganya berapa ya?” tanya seorang gadis berambut hitam legam yang berdiri tepat di hadapannya.

“Saya bukan penjualnya.” jawab Winara singkat.

“Eh?! Ya ampun maaf ya mbak!!”

Gadis tadi melayangkan permintaan maaf beberapa kali sembari membungkukan badannya, cukup membuat Winara merasa terganggu karena ia menjadi pusat perhatian beberapa orang asing yang melintas disana.

“I-iya, nggak apa-apa. Yang punya toko di dalam.” ujar Winara lagi.

Sang novelis berdoa agar gadis asing di depannya itu menyadari bahwa kalimat barusan merupakan sebuah usiran halus yang dilayangkan oleh Winara kepadanya. Sayangnya gadis tersebut tidak menangkap sinyal tersebut, ia justru kembali mengajak Winara berbicara.

“Ih vasnya lucu banget mbak! Beli dimana ini?”

“Nggak tau, punya kakak saya.”

“Oh gitu. Eh ini bunganya masih seger-seger ya mbak? Cantik-cantik banget!”

Winara mengerutkan dahinya. Sejujurnya ia hanya melihat semua bunga tersebut sebagai ‘tanaman’, tidak lebih. Winara bahkan tidak bisa membedakan mana bunga daisy, bunga baby breath, sedap malam, dan apalah itu semua yang sedari tadi keluar dari mulut sang gadis yang berdiri di sampingnya.

“Sama aja.”

“Hah?”

“Semuanya sama aja.” ulang Winara.

“Ih nggak!! Ini semua tuh beda-beda! Masih keliatan seger banget juga! Coba deh dicium baunya, beda-beda kan mbak?”

“Iya kali ya? Lagian mereka juga beberapa hari bakalan layu, jadi sama aja.” jawab Winara yang semakin enggan menanggapi.

Gadis disebelahnya kini menghela napasnya pelan, namun masih sangat kentara bagi Winara. Gadis tersebut kemudian menatap Winara tepat di kedua manik matanya, membuat Winara mau tidak mau turut memperhatikan iris cokelat milik sang gadis asing.

“Mbak, semua makhluk hidup punya perasaan. Bunga-bunga ini juga. Mereka semua itu beda-beda, dengan makna mereka sendiri. Walaupun pada akhirnya mereka layu, tapi mereka itu udah usaha untuk mengeluarkan bau khas mereka untuk meninggalkan kenangan baik bagi orang-orang yang suka sama mereka. Lagian ya mbak, bunga itu melambangkan kebahagiaan. Seenggaknya, mbaknya juga pasti sadar kan kalau setiap ada kejadian bahagia pasti ada kiriman bunga.”

Kali ini Winara mengangguk pelan.

“Nah itu! Bunga itu datang bersama dengan kebahagiaan!”

“Terus kalau bunga buat nyekar ke makam orang?” celetuk Winara.

“Sama aja! Itu pesan bahwa orang-orang yang sudah pergi nggak akan dilupain sama mereka yang masih disini. Bunga itu lambang asa! Ada harapan yang terselip dari setiap karangan bunga yang dikirimkan. Saya nggak tau kenapa mbaknya segitunya banget sama bunga-bunga yang nggak bersalah ini, tapi saya harap kedepannya kalau mbak nggak suka sama mereka, jangan ditunjukin kayak gini. Tanaman juga punya perasaan.”

Winara berkedip beberapa kali ketika mendapati orang asing yang ada dihadapannya mendengus kesal satu kali sebelum ia meninggalkan Winara dan memasuki toko bunga tersebut.

Baru kali ini ia bertemu dengan seseorang yang berani menceramahi dirinya panjang lebar seperti tadi. Biasanya jika ia bertemu orang asing dan menunjukkan gestur tidak bersahabat, orang-orang tersebut akan dengan sendirinya meninggalkan dirinya.

Mungkin hari ini berbeda.

Patut diakui, ucapan gadis asing tadi cukup membekas bagi Winara. Secara otomatis ia mendangakkan kepalanya, menatap bunga sedap malam yang berada di dalam vas bunga yang ia peluk.

“Maaf ya kalau ucapanku daritadi bikin kamu sedih, tapi wangi kamu enak kok. Uhm, aku suka. Jangan sedih lagi ya. Omong-omong kalau pemakaman gitu bisa nggak sih ada bunga kayak kamu yang ikut ditaruh disekitar makamnya gitu? Wangi kamu beneran enak soalnya.” celoteh Winara.

“Win?”

Thalia memandang Winara dengan satu alisnya yang terangkat.

“Kamu ngobrol sama bunga??” tanya Thalia.

Winara hanya mengangkat bahunya, tidak menggubris kalimat kakaknya.

“Kita pulang yuk, udah selesai semua. Kamu bawa itu aja, sisanya kakak yang bawa sama nanti dibawain mas-masnya ini.”

Winara mengangguk. Ia menyempatkan dirinya satu kali untuk menoleh ke dalam toko bunga, mencari sosok gadis asing tadi.

Dari luar, Winara dapat melihat ekspresi senang yang terpancarkan di wajah gadis tersebut. Senyuman mengembang tiada henti dari wajah cantik gadis itu. Winara dapat menebak bahwa gadis tadi sudah berbincang panjang lebar dengan sang pemilik toko.

Sang novelis tersenyum kecil.

Baginya melihat seseorang yang sangat passionate akan sesuatu merupakan suatu hiburan tersendiri yang membuat hatinya ikut bahagia.

Seperti dirinya dengan pena dan kertas, mungkin gadis tadi memiliki ikatan dengan bunga-bunga yang ada di dunia ini.

Merasa dirinya dipandangi oleh seseorang, gadis asing tadi berhenti berbicara untuk sejenak dan menolehkan kepalanya ke arah Winara. Ia cukup terkejut saat melihat Winara menatap ke arahnya dan menganggukkan kepalanya singkat.

Sejujurnya, Winara pun tak kalah canggung saat mendapati dirinya tertangkap basah menatap sosok orang asing yang telah menceramahinya kurang dari sepuluh menit yang lalu. Secara refleks Winara hanya menganggukkan kepalanya kemudian berjalan menyusul Thalia yang sudah lebih dahulu berjalan kembali ke arah mereka memarkirkan mobilnya.

“Asa ya? A….sa….” bisik Winara pelan.

Amoureux de…(Seungwan) part 6-46

Kicau burung pagi itu membangunkan Joohyun dari tidurnya. Harus ia akui tidurnya sangatlah tidak nyenyak kendati ia memiliki Seungwan di pelukannya.

Pembicaraannya dengan Yerim semalam cukup membuat ia kepikiran. Apakah lagi-lagi ia bertingkah egois sehingga ia tidak menyadari perasaan orang-orang yang ia cintai?

Tanpa Joohyun sadari, ia mengeratkan pelukannya pada Seungwan. Didekapnya dengan erat tubuh Seungwan, seakan-akan Joohyun takut bahwa saat itu adalah kali terakhir ia bisa mendekap Seungwan demikian.

Pelukan tersebut ternyata justru membangunkan Seungwan dari tidurnya. Perlahan kelopak matanya terbuka dan mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan intensitas cahaya yang diterima oleh matanya.

Mendapati Seungwan yang kini terbangun, Joohyun mendaratkan satu kecupan di dahinya.

Good Morning, Love.

Seungwan tidak segera membalas sapaan tersebut, dirinya masih berusaha mengumpulkan ‘nyawa’-nya dan berusaha mengingat-ingat dimanakah ia saat itu.

Happy birthday, Seungwan. Please remember to be happy wherever and whenever you are. Also please know that I always love you, no matter what.” bisik Joohyun tepat di telinga Seungwan dan kemudian mencium pelipis sang solois.

Seungwan menengadahkan kepalanya, netranya menatap lekat wajah Joohyun.

Morning, Joohyun. I love you too. Makasih udah sabar sama aku.”

Joohyun tersenyum kemudian mengecup bibir Seungwan.

“Masih ngantuk?”

Pertanyaan tersebut dijawab dengan anggukan, “Boleh nggak sih kita seharian gini aja? Aku nyaman kayak gini.”

“Ya aku sih boleh-boleh aja dan aku juga nggak nolak kalau seharian bisa peluk kamu kayak gini. Tapi kan ada ayah bunda dan mama kamu yang nanti siang bakal mendarat disini.”

Seungwan mengerang sebagai bentuk protes kecil.

“Boleh nggak sih gak usah dirayain?”

Joohyun terdiam sejenak, teringat akan kata-kata Yerim.

Namun tak lama kemudian Joohyun dapat merasakan Seungwan mendekatkan dirinya dan menyembunyikan wajahnya di celah leher Joohyun.

Honestly, aku seneng karena kalian semua seneng. Selebihnya aku biasa aja, bahkan aku jadi mikir harusnya hari ini aku nggak pernah ada. I am a product of my father's infidelity, Joohyun.”

Kali ini Joohyun memilih untuk membiarkan Seungwan mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya. Ia hanya memilih untuk mengeratkan pelukannya dan mengusap punggung Seungwan pelan.

“Aku ngerusak mood banget ya?” bisik Seungwan.

“Nggak kok. Kan dulu aku udah pernah bilang, apapun yang kamu rasakan itu valid. Semua perasaan senang ataupun sedih, itu semua nyata adanya and that’s exactly what makes us human. Aku justru mau berterima kasih sama kamu karena kamu jujur tentang perasaan kamu sekarang.” bisik Joohyun.

I would like to thank you for everything, Joohyun. Aku nggak bisa ngomong apa-apa lagi selain terima kasih dan maaf. Kamu pasti capek ya denger aku yang tiba-tiba negatif gini di hari yang seharusnya kita semua bahagia.”

You are wrong Seungwan. Aku sama sekali nggak capek sekarang, In fact, I am so happy right now. Kamu memilih untuk cerita kayak gini bikin aku ngerasa kalau aku orang yang spesial buat kamu. Artinya kamu percaya sama aku dan itu udah lebih dari cukup.” ujar Joohyun.

I love you, Joohyun. Please jangan pernah tinggalin aku ya? Aku cuma minta dua kado dari kamu dan aku harap kamu mau ngabulin permintaanku. Pertama, jangan pernah tinggalin aku. Kedua, aku suka kamu yang gak kaku kayak gini.”

Joohyun terkekeh pelan, ia teringat ucapan Seungwan semalam.

“Iya, aku gak bakalan kaku lagi ke kamu ya sayang?”

Baik Joohyun dan Seungwan sama-sama tertawa dengan perubahan gaya bicara Joohyun.

“Masih belum kebiasa sih, tapi gapapa aku suka.” ujar Seungwan.

“Sekarang masih ngantuk? Aku udah siapin sarapan buat kamu, tapi kalau masih ngantuk kita kayak gini dulu aja.” ujar Joohyun lagi.

Seungwan menoleh sebentar ke arah pintu masuk, kemudian ia menatap Joohyun kembali.

“Gendong.”

“Hah?”

“Makanannya pasti kamu siapin di dek depan itu kan? Yang ada tempat bisa buat berjemur?”

“Hehe ketebak ya?”

“Ya kamu kan suka sok romantis gitu, borderline cringe.” tawa Seungwan yang kemudian mengecup leher Joohyun singkat dan mendapatkan balasan dari Joohyun yang mengacak rambutnya pelan.

“Hari ini hari ulang tahun kamu, jadi kamu bebas minta apa aja sama aku. Your word is my command, ma’am!

Seungwan mencubit pelan pinggang Joohyun, namun dirinya tetap saja tersenyum lebar.

“Pagi-pagi gak usah mulai gombal deh Joohyun!”

“Loh, bukan gombalan kalau aku emang ngomongnya dari hati, ya kan sayang?”

“Tuh! Tuh!”

Kedua sejoli itu kembali tertawa lepas.

Pagi itu, yacht yang tergolong cukup besar tersebut tidak terasa sepi. Sebaliknya justru terisi dengan tawa dan teriakan-teriakan protes dari Seungwan akan tingkah Joohyun yang mengundang decak protes maupun tawa baginya.

Joohyun sendiri memilih untuk mendengarkan nasihat adiknya dan lebih memperhatikan detil emosi yang Seungwan rasakan. Ia rasa ia harus berterima kasih pada Yerim nanti ketika mereka bertemu.

Amoureux de…(Seungwan) part 6-40

Terdengar suara tawa pelan dari sosok Seungwan yang tengah duduk berselonjor di atas kasur queen size yang terdapat di dalam kamar yacht tersebut.

Joohyun yang baru selesai mandi dapat melihat bagaimana Seungwan asik dengan gawainya sendiri, tersenyum dan tertawa entah karena apa.

“Kamu lagi ngapain sayang?” tanya Joohyun yang penasaran sembari mengeringkan rambutnya.

“Uhm balesin chat, terus iseng aja searching nama aku, sama tadi ngetweet di akunku.” ujar Seungwan dengan mata yang masih terfokus pada layar ponselnya.

Joohyun mengangguk pelan, ia melanjutkan kegiatannya mengeringkan rambut sembari berdiri di depan kaca kemudian merapikan rambutnya. Setelah merasa cukup puas dengan penampilannya saat itu, Joohyun kemudian menjemur handuk yang ia gunakan sebelum akhirnya ia merebahkan dirinya di atas kasur.

“Joohyun rambut kamu masih basah!” protes Seungwan.

Omelan Seungwan barusan tidak digubris oleh Joohyun yang sudah menggunakan paha Seungwan sebagai alas kepalanya. Sang CEO lebih memilih untuk menikmati harum tubuh Seungwan sembari tiduran menghadap ke perut sang solois.

Kendati ia sempat mengomel, namun Seungwan nyatanya membelai kepala Joohyun dan memainkan poni serta anak rambut Joohyun.

“Rambut kamu panjang banget deh.”

“Iya, saya juga ngerasa ini udah kepanjangan. Mau saya potong sih rencananya, kamu ada ide nggak?”

Seungwan berhenti menatap layar ponselnya untuk sejenak.

“Potong pendek terus di keriting kayak aku.”

Mendengar jawaban tersebut, Joohyun menghela napasnya kencang. Ia tahu ia sedang digoda.

“Seungwan…”

“Hmm?” jawab Seungwan singkat yang masih membelai kepala Joohyun dan sesekali bermain dengan poni dan anak rambut yang menutupi kening Joohyun.

“Kamu ngapain sih masih fokus sama handphone kamu? Kan ada saya disini?” ujar Joohyun yang mengerucutkan bibirnya.

Untuk sesaat Seungwan kembali mengalihkan pandangannya dari ponselnya dan ia harus menahan tawanya saat matanya bertemu dengan manik milik Joohyun.

“Nanggung, bentaran dikit lagi ya.”

“Emangnya apa sih? Ada yang seru?” tanya Joohyun.

“Hmm, ini sih cuma fans aku biasa bahas tentang salah satu tamu yang dateng ke radio. Mereka nunjukkin kalau dia ternyata udah suka sama aku dari lama.”

Jawaban Seungwan otomatis membuat guratan-guratan ekspresi di kening Joohyun, sebuah ekspresi tidak suka.

Tangan Joohyun perlahan menarik tangan Seungwan yang sedang memegang ponselnya dan ia ambil alih ponsel tersebut untuk ditaruh di nakas yang terdapat di sebelah kasur mereka.

“Mulai deh…” ujar Seungwan malas sembari memutar kedua bola matanya.

Sejujurnya saat ini Seungwan sengaja menggoda Joohyun, ia ingin mengetahui bagaimana reaksi Joohyun.

“Suka yang gimana?” tanya Joohyun dengan dahi yang mengerut.

“Ya suka, nge fans? I don’t know if it is more than that. Not that I care too.

“Siapa?”

“Ya ada deh, hayo kamu nggak merhatiin radio ku ya? Katanya nonton setiap hari.” goda Seungwan lagi.

Kali ini Joohyun seakan berada dalam posisi skakmat karena ia tidak bisa melontarkan jawaban dengan cepat. Hal ini membuat Seungwan tertawa.

“Kamu tuh ya masih aja cemburuan buat hal nggak penting.”

“Ini penting, Seungwan.” protes Joohyun.

Seungwan menggelengkan kepalanya sebagai bentuk penyangkalan.

“Nggak penting kalau aku nggak peduli sama mereka. Yang aku bales perasaannya cuma kamu, Joohyun.”

Jawaban Seungwan cukup membuat Joohyun melunak.

“Hmm good. Jangan lirik yang lain.”

“Kamu baru kayak gini aja udah posesif, gimana kalo tau konsep laguku yang selanjutnya.” tawa Seungwan lagi.

“Emang apa konsepnya?” tanya Joohyun dengan mata yang menyipit.

“Konten dewasa.”

Wajah Joohyun bersemu merah namun ada ekspresi meredam marah disana. Seungwan harus mati-matian menahan tawanya, ia benar-benar lupa rasa euphoria menggoda Joohyun dengan seribu rasa cemburunya itu.

Sementara itu, ingin rasanya Joohyun mengomel dan melarang Seungwan namun ia teringat akan janjinya yang tidak akan mencampuri urusan pekerjaan Seungwan selama hal tersebut murni urusan pekerjaan dan tidak membahayakan Seungwan.

Mulut Joohyun terbuka dan tertutup untuk beberapa kali, kesulitan untuk memformulasikan kalimatnya dengan sempurna. Alisnya saling bertautan. Kerutan di dahinya semakin terlihat jelas.

“S-seberapa dewasa?”

Seungwan tersenyum tipis, ia berusaha mati-matian menahan tawanya dengan menggigit bibirnya. Ia tahu wanita yang terpaut 3 tahun lebih tua darinya itu sedang berusaha untuk bersikap netral walaupun jauh dalam lubuk hatinya Joohyun pasti sedang bergejolak.

“Nggak sedewasa yang pernah kita lakuin sih, tapi ya nggak innocent banget juga. French kiss minimal?”

Jawaban Seungwan tadi rupanya merupakan limit dari Joohyun. Ia berdiri dari posisinya kemudian mengambil ponsel pribadinya yang tadi sedang ia charge.

Seungwan dapat melihat bahwa kini Joohyun tengah mencari-cari sesuatu menggunakan ponselnya dan tak lama kemudian Joohyun mendekatkan ponsel hitam miliknya ke telinganya.

“Halo! Kak batalin aja itu comebacknya Seungwan! Pokoknya gue nggak-...”

Hah? Gimana?

Menyadari bahwa Joohyun saat ini tengah menelpon Taeyeon, dengan cepat Seungwan menyambar ponsel milik Joohyun.

“Sorry! Sorry! Joohyun mabok!” ujar Seungwan yang kemudian mematikan sambungan telepon tersebut dan melempar ponsel Joohyun ke atas kasur.

Sang solois kemudian menangkupkan tangannya di pipi Joohyun sebelum kemudian ia mencubit gemas pipi Joohyun dan mendaratkan satu ciuman singkat di bibir kekasihnya.

“Kamu tuh beneran deh lucu banget kalo lagi cemburuan gini. Lagian ya, kalau aku bakal ngeluarin suatu project udah pasti kamu bakal aku tanya pendapatnya. Emang akhir-akhir ini aku sempet nanyain sesuatu ke kamu?”

Joohyun masih dengan wajah cemberutnya menggeleng pelan, “Bercandaan kamu nggak lucu.”

Seungwan tertawa sekali lagi namun kali ini ia tersenyum hingga matanya melengkung cantik di mata Joohyun. Seungwan kembali mencium Joohyun namun kali ini lebih lama dan lebih dalam.

Kedua bibir tersebut bertemu dengan hangat dan intim. Seungwan melumat bibir Joohyun dengan pelan, berusaha mengirimkan sinyal-sinyal pada Joohyun agar sang kekasih melupakan kekhawatirannya itu.

Setelah keduanya merasa membutuhkan pasokan oksigen, Joohyun lebih dulu menyudahi ciuman mereka dan menyandarkan dahinya pada dahi Seungwan.

Dengan jarak yang sedekat itu, Seungwan dapat melihat dengan jelas manik mata cokelat milik Joohyun. Manik mata favoritnya yang selalu memberikan ketenangan dan keteduhan bagi hatinya.

“Maaf ya bercandaku nggak lucu. Tapi aku serius, kalau aku ada kerjaan aku pasti ngomong dulu ke kamu. Kayak kamu yang sekarang udah terbuka banget sama aku, aku juga mau terbuka sama kamu. Jadi nggak usah khawatir lagi ya?”

“Tapi saya masih nggak boleh masuk ke studio musik kamu.” sindir Joohyun.

Lagi-lagi Seungwan tertawa, “Iya boleh. Tapi kalau agak susah sinyal jangan salahin aku loh ya?”

“Beneran?”

“Iya beneran Joohyun. Aku tau kamu udah dari lama pengen banget masuk studio ku kan? Padahal nggak ada yang istimewa dari studioku.”

“Ada, studio itu dunia kamu. Saat kamu bolehin aku masuk kesana, artinya kamu udah percaya sama aku.”

Seungwan kembali menangkupkan tangannya di wajah Joohyun kemudian mencium bibir Joohyun dengan cepat.

I like it

“Huh?” tanya Joohyun keheranan.

“Aku suka waktu kamu nggak pake kata-kata “saya”. It feels more intimate to me. Aku tau kamu udah kebiasaan aja kayak gitu tapi kadang aku mikir apa bedanya aku sama rekan bisnis kamu coba kalau di rumah pun kamu tetep pake “saya” kayak gitu.”

You….like it?

Seungwan mengangguk. “Kamu cuma bakalan keceplosan pake “aku” kalau lagi emosian kayak gini sih. Jadi nggak tau juga ya mendingan tetep pake “saya” atau jadi “aku”.”

If you like it, then maybe I can try?

“Nyoba apa? Supaya nggak emosian?” goda Seungwan lagi.

“Kamu masih belum puas ya ngerjain…..aku. Dari kemarin loh? Ngerencanain penculikan, terus pake segala pura-pura telpon….aku buat nenangin di pesawat. Sekarang ini.” gerutu Joohyun.

Seungwan tersenyum lebar, “Lucu banget dengerin kamu nggak pake “saya” lagi. Terusin ya, siapa tau kamu makin lucu.”

“Seungwaaaan.” rajuk Joohyun.

Belum lama Joohyun merajuk, ponsel kerja milik Joohyun tiba-tiba berdering. Baik Joohyun maupun Seungwan sama-sama menoleh ke arah datangnya suara.

“Katanya waktu kamu sepenuhnya buat aku, kok masih ada calling dari kantor sih.” sindir Seungwan.

Joohyun tersenyum tipis, ia sendiri tidak tahu siapa yang menghubunginya.

“Cepet selesaiin kerjaan kamu atau hp kamu aku lempar ke laut.” ancam Seungwan.

Sang CEO dengan cepat mengambil ponselnya kemudian mencium bibir Seungwan cepat lalu mencium kening Seungwan.

10 minutes. Lebih dari itu kamu boleh lempar handphone aku ke laut.”

“Cepet sana-sana, berisik banget gak suka deh.” protes Seungwan merujuk pada suara panggilan dari ponsel Joohyun.

Sang CEO kemudian tersenyum pahit sebelum ia meninggalkan kamar mereka, mencari lokasi yang cukup jauh dari Seungwan agar tidak mengganggu waktu istirahatnya.

Sementara itu Seungwan menatap punggung Joohyun yang berjalan keluar dari kamar mereka dengan senyuman tipis.

”Honestly, aku dari kemarin-kemarin ragu mau ngerayain ulang tahun aku. Tapi ngeliat kamu seseneng ini, aku juga ikutan seneng. Tomorrow is the day that proves my father's infidelity to my mom, Joohyun. I just hope I can forget it so I can be happy with you here.”

Amoureux de…(Seungwan) part 6-34

“Minjeong sama Jennie kenapa sih?” tanya Joohyun sembari meletakkan ponselnya.

“Hm?”

“Itu di grup nggak jelas itu. Apa yang saya lewatin selama kamu ngerjain saya?” tanya Joohyun yang telah menjulurkan tangannya dan mencubit hidung Seungwan dengan sengaja.

“Oh itu, adek kamu yang awalnya mulai godain mereka sih. Awalnya karena tiap Kak Jen nanya sesuatu, pasti Minjeong bisa jawab. Terus Yerim bilang kok Minjeong bisa merhatiin Kak Jen segitunya? Dan yaa terus mulai dari sana.”

Seungwan menggelengkan kepalanya untuk melepaskan tangan Joohyun yang kini tengah mencubit hidungnya sebagai bentuk protes kecil.

“Joohyuuun sakit!! Iseng banget sih!” omel Seungwan yang langsung menepis tangan Joohyun.

Yang terkena omelan hanya tertawa kecil. Ia kemudian mengamati Seungwan yang kini sudah bersiap untuk kembali memejamkan matanya untuk kembali menikmati sepoi suasana sore hari itu.

“Seungwan…” panggil Joohyun lembut.

“Hm??”

“Kamu…udah puas belum sore hari ini?”

Perlahan kelopak mata Seungwan terbuka sering dengan keheningan yang tercipta setelah pertanyaan yang dilontarkan Joohyun barusan.

Kini Seungwan menatap ke arah Joohyun yang sedang terduduk di sampingnya sembari memeluk kedua kakinya yang terlipat di depan dada. Angin pantai sore hari itu mengusik rambut hitam legam milik Joohyun namun bagi Seungwan pemandangan di depannya tetaplah indah.

“Kenapa? Mau pulang ya?”

Seungwan menjadi sedikit malu saat Joohyun tidak menjawab pertanyaannya. Sang CEO hanya terdiam menatap dirinya dengan senyuman hangatnya.

Setelah merasa cukup puas menatap Seungwan, Joohyun kemudian menggeleng pelan dengan senyuman yang masih terpatri di wajahnya.

“Bukan pulang tapi pergi ke tempat kita malam ini menginap. Kalau kamu masih belum puas, masih pengen disini, yaudah saya tungguin.”

Raut wajah Seungwan sedikit berubah ketika ia mendengar ucapan Joohyun. Nampaknya ia bisa menebak kemana arah mereka akan menghabiskan malam mereka hari itu.

“Kita mau ke glamping site?”

Joohyun tidak langsung menjawab. Ia hanya memperhatikan Seungwan yang terlihat sedikit gelisah dan kemudian memilih untuk bangkit dari posisi tidurnya.

Sang solois kini duduk bersila di atas tikar yang disewa oleh Joohyun. Ia membuat gambaran-gambaran abstrak di atas pasir.

“Kamu gelisah.” ucap Joohyun singkat.

Pernyataan tersebut tidak disambut dengan reaksi apapun dari Seungwan. Sang solois hanya menarik dan menghela napasnya berkali-kali.

Setelah merasa cukup memberikan waktu bagi Seungwan, Joohyun kemudian menghentikan tangan Seungwan yang masih mengukir pasir di hadapannya.

“Seungwan, ada apa? Cerita sama saya. Setiap kamu gelisah kayak gini, artinya ada yang bikin kamu sangat kepikiran dan kamu cuma gelisah kayak gini untuk hal-hal tertentu, ya kan?”

Seungwan menggeleng pelan.

“Nothing…Kamu belum jawab pertanyaan aku tadi, by the way.” ujar Seungwan yang merujuk pada pertanyaan awalnya kepada Joohyun.

“It’s not nothing kalau buat kamu gelisah kayak gini. Cerita ya sama saya? Mungkin saya bisa menebak apa isi kepala kamu, tapi tebakan saya belum tentu tepat kan?”

Seungwan lagi-lagi menghela napasnya dan kembali mencoba menatap Joohyun. Lagi-lagi ia hanya menemukan Joohyun tersenyum ke arahnya, namun kali ini ditemani dengan pandangan teduh yang disajikan oleh Joohyun hanya untuknya.

Perlahan Seungwan balas menggenggam tangan Joohyun, berusaha mengumpulkan keberaniannya.

“Aku gak mau spoils the supposed happy days. Aku tahu kalian semua sebenernya udah nyiapin banyak untuk rayain hari ulang tahun aku tapi jujur sebenernya waktu aku harus kembali ke sini, ada perasaan senang dan takut di dalam diri aku. Senang karena this is our happy place, hyun.” bisik Seungwan lirih.

Joohyun mengusap punggung tangan Seungwan dan kembali mengencangkan genggamannya, seakan-akan ingin memberikan kekuatan bagi Seungwan untuk melanjutkan kalimatnya.

“Tapi aku juga takut untuk kesini lagi. Terutama ke glamping site, knowing who owns it.”

Joohyun mengangguk paham.

“Jadi dari tadi kamu maksain diri kamu buat kelihatan senang ada disini?” tanya Joohyun berhati-hati.

Mata Seungwan membulat besar, ia buru-buru menggelengkan kepalanya. Satu-satunya yang tidak ia inginkan adalah membuat Joohyun merasa bahwa apa yang sedari tadi ia tampilkan hanyalah kebohongan.

“N-nggak! Apa yang aku rasain dari tadi, that’s true and sincere! Aku seneng bisa ada disini sama kamu but I can’t help it to think about the bad things.”

Tepat setelah ia menyelesaikan penjelasannya, Seungwan dapat melihat Joohyun bernapas sedikit lega.

“Saya kira dari tadi kamu tertekan.” tawa Joohyun.

“Seungwan, yang paling penting buat saya itu kebahagiaan kamu. Lain kali kalau kamu merasa nggak akan enjoy untuk berada di suatu tempat, kasih tahu saya ya? Jangan mikir nggak enak sama saya. Kamu ngerasa nggak sih ini semua akan jadi efek domino, because like what I said I am happy whenever you are happy.

“Tapi hyun… Aku tau kalau aku bilang, pasti kamu langsung batalin. Jadi aku gak mungkin bilang aku nggak mau kesini setelah aku tahu usaha kamu dan usaha orang-orang. Aku harus ngehargain waktu dan tenaga kalian.” ujar Seungwan dengan suaranya yang kian mengecil.

Joohyun menarik Seungwan ke dalam pelukannya. Ia tidak peduli jika saat ini mereka berada di tempat umum karena yang ia tahu instingnya berkata demikian. Tangan Joohyun bergerak naik-turun, mengusap punggung Seungwan.

“Okay, okay. Kamu benar, saya pasti batalin kalau saya tau dari kemarin.”

Sang CEO tertawa ketika ia mendengar erangan protes dari Seungwan.

“Hyuuun! Tuh kan!”

“Dengerin dulu, sayang. Tapi kita berdua sekarang sudah sama-sama belajar kan? Saya belajar dengerin kamu dan kamu sekarang juga lebih terbuka sama perasaan kamu. Kayak sekarang ini contohnya.”

“Ya tapi kan!” protes Seungwan yang sedikit teredam oleh bahu Joohyun.

Sang CEO mendorong tubuh Seungwan pelan, melepaskan pelukan mereka. Kedua tangannya berada di bahu Seungwan.

“Kita bisa buat memori baru yang lebih indah, Seungwan. Kamu percaya sama saya kan?”

Seungwan mengangguk. “Tapi please jangan ke glamping site?”

“Kalau kamu nggak mau, kita nggak akan kesana. Walaupun jujur, tempat itu udah jadi salah satu rencana awal saya.”

“Tuh kan… pasti kamu udah nyiapin yang aneh-aneh deh.” gerutu Seungwan dengan bibirnya yang mengerucut kesal.

“Nggak kok. Kamu bisa telepon Minjeong kalau nggak percaya. Tanya ke dia, apa yang saya siapin buat kamu.”

“Ih curang bawa-bawa Minjeong. Dia kan bisa aja bohong, soalnya dia nurut banget sama kamu!”

Joohyun lagi-lagi tertawa saat ia melihat ekspresi Seungwan. Ia sendiri tidak tahu sudah berapa kali ia tertawa semenjak ia bersama Seungwan hari ini.

“Nggak, ngapain saya bohong? Lagian setelah dulu saya cerita tentang….papa kamu…” Joohyun berhenti bicara sebentar untuk melihat ekspresi Seungwan dan kembali melanjutkan kalimatnya saat ia merasa bahwa Seungwan baik-baik saja.

“Waktu beliau datang ke kantor saya itu dan saya lihat betapa marahnya kamu, saya juga yakin kamu pasti akan pikir-pikir ulang untuk pergi ke glamping site lagi. Jadi sebenarnya walau glamping site ada di list saya, tapi itu ada di urutan terbawah.” jelas Joohyun.

“Terus ini kita mau nginep dimana? Kenapa gak pulang aja ke rumah kamu sih?”

Joohyun berdiri dari posisi duduknya dan merapikan serpihan-serpihan pasir yang kentara menempel pada celana jeans hitam yang ia kenakan. Tak lama kemudian ia mengulurkan tangannya pada Seungwan ditemani dengan senyuman khas miliknya.

“Saya mau waktu kamu untuk saya sepenuhnya, seperti waktu saya yang sepenuhnya saya kasih untuk kamu sekarang dan seminggu ke depan. Kalau kamu terima tawaran saya, genggam tangan saya dan kita akan pergi ke tempat selanjutnya. Tapi kalau kamu lebih ingin pulang dan menghabiskan waktu dengan teman-teman kita…. Kamu boleh cium saya deh.”

“Ih! Itu mah kamu yang cari kesempatan!” protes Seungwan sambil tertawa.

Senyuman di wajah Joohyun merekah saat ia merasakan uluran tangannya disambut oleh Seungwan.

“Nggak usah nyebelin mukanya.” ujar Seungwan sembari memutar kedua bola matanya seolah-olah ia merasa malas dengan Joohyun. Padahal di dalam hatinya ia sedang berusaha keras menyembunyikan rasa malu dan gembira.

“Jadi kamu lebih milih saya nih ya dibanding temen-temen kita?”

“Pikir sendiri aja deh jawaban dari pertanyaan konyol kamu itu. Udah buruan ini mau kemanaaaaa!”

Untuk kesekian kalinya Joohyun kembali tertawa lepas saat melihat tingkah Seungwan yang menghentak-hentakkan kakinya merengek pada Joohyun. Ia hanya menggelengkan kepalanya kemudian berjalan ke tempat dirinya memarkirkan kendaraan mereka untuk sejenak.

Sementara itu Seungwan melirik ke arah tangannya yang digenggam erat oleh Joohyun lalu melirik ke arah Joohyun yang bersenandung kecil sembari berjalan di atas setapak menuju mobil mereka.

“Jangan diliatin terus, nanti tambah suka.” goda Joohyun.

“Kamu bisa gak sih balik kayak Joohyun yang pas pertama kali aku kenal? Joohyun yang diem aja gitu loh. Capek aku tuh digodain gini terus!” omel Seungwan yang tersipu malu karena ketahuan mengamati sang kekasih.

Sang CEO menoleh sejenak ke arah Seungwan dan secepat kilat ia mengecup singkat pipi Seungwan.

“Kalau saya cerewet tandanya saya sudah super duper nyaman sama orang itu.”

Lagi-lagi Seungwan dibuat mati kata oleh Joohyun. Ia pun memilih untuk menolehkan wajahnya ke arah pantai, menikmati pemandangan sunset dimana langit perlahan berubah warna dari jingga menjadi lebih gelap.

Pemandangan tersebut entah kenapa membuat Seungwan sedikit merasa melankolis. Namun kehangatan yang ia rasakan dari genggaman tangan Joohyun seakan menyadarkannya bahwa ia tidak sendirian saat itu.

Joohyun ada disana bersama dengannya.

Joohyun ada disana menawarkan bahunya sebagai tempatnya untuk beristirahat sejenak.

”Akan ada hari-hari dimana kita nggak bisa kayak gini, akan ada hari dimana kita pasti akan bertengkar, akan ada hari dimana aku bahkan benci untuk sekedar hidup but if it’s with you, I think I can handle it, Joohyun. I trust you.”

Amoureux de…(Seungwan) part 6-27

Tepat seperti yang dijanjikan, Seungwan menemani Joohyun hampir lebih dari separuh waktu penerbangan. Sang solois berusaha menghibur hati Joohyun dengan cara mengalihkan perhatian Joohyun dari kewajiban business trip dadakan yang cukup menghancurkan mood sang CEO.

Namun tidak hanya berusaha menghibur Joohyun, Seungwan juga berusaha membuat Joohyun melunak agar tidak melampiaskan kemarahannya pada Minjeong yang saat itu merupakan satu-satunya sosok yang menemani Joohyun dalam penerbangan tersebut selain awak kabin.

Awalnya mood Joohyun cukup membaik, namun ketika Seungwan harus menyudahi panggilan tersebut Joohyun mulai kembali merajuk dan hal ini dapat dirasakan oleh Minjeong.

Sang gadis berambut sebahu kembali merapalkan doa-doa agar suasana hati Joohyun kembali membaik sembari ia mengamati gerak-gerik sang bos besar.

Sementara itu, selepas teleponnya dengan Seungwan, Joohyun memilih untuk memejamkan matanya dan menetralkan emosinya yang mulai bergejolak. Ia sadar bahwa tidak seharusnya kekesalannya itu dilampiaskan pada orang lain.

Sayangnya, Joohyun pun tidak tahu bagaimana ia harus mengawali percakapan dengan Minjeong. Joohyun sempat mencoba beberapa kali melirik ke arah Minjeong yang duduk menghadap ke arahnya dengan lokasi sedikit serong dari kursi yang ditempati olehnya dan mendapati asisten pribadinya itu terlihat cukup gelisah.

“Maaf.” ujar Joohyun singkat berusaha memecah keheningan.

“Huh? G-gimana kak?” tanya Minjeong cepat.

Sejujurnya saat ini Minjeong sangat mengantuk, sehingga fokusnya mulai menurun. Ucapan Joohyun barusan tidak benar-benar ditangkap olehnya dengan sempurna.

“Maaf, saya nggak seharusnya marah kayak tadi ke kamu.” ulang Joohyun.

Mulut Minjeong membulat, membentuk huruf ‘o’ kemudian ia mengangguk.

“N-nggak apa-apa kak. Salah aku juga.”

Kali ini Joohyun menggelengkan kepalanya tidak setuju. Ia kemudian membenarkan posisi duduknya agar lebih tegak, lalu menyilangkan kakinya. Joohyun mengerutkan keningnya, mencoba untuk berpikir akan membuka pembicaraan mulai dari titik sebelah mana.

Terdapat keheningan sejenak yang justru membuat Minjeong menjadi lebih khawatir. Namun kali ini Joohyun sudah lebih dulu memecah keheningan tersebut.

“Kamu, Jennie, Seulgi. Cuma kalian yang bisa saya benar-benar percaya. Jennie dan Seulgi sudah bersama saya dari kecil, jadi kami bertiga sudah saling mengenal satu sama lain. Sedangkan kamu, mungkin orang-orang cuma lihat kamu sebagai asisten saya. Sebagai anak kemarin sore yang kerjaannya nempel sama saya. Tapi saya nggak pernah lihat kamu seperti itu.” ujar Joohyun membuka percakapan.

Ucapan Joohyun membuat Minjeong menjadi kikuk. Ia tidak menyangka bahwa Joohyun akan melakukan pembicaraan serius seperti ini dan jujur saja, Minjeong saat ini tidak tahu bagaimana ia harus menyikapi ucapan sang atasan.

“Kamu gak harus kasih respon kok. Ini saya cuma mau ngomong aja ke kamu dan nanti setelah saya selesai, saya rasa kamu akan dapat kesimpulan kenapa saya ngomong kayak gini.” potong Joohyun yang melihat wajah Minjeong berubah sedikit panik.

“O-oh… oke kak…”

“Kim Minjeong…Saya memang sempat beberapa kali jadi pembicara sebagai alumni di kampus kita, tapi jujur saya nggak terlalu ingat tentang kamu. Awalnya saya nggak merasa perlu menambah asisten karena sudah ada Johnny, tapi Jennie yang pertama kali usulin ke saya untuk ambil kamu dan taruh kamu dibawah Johnny. She knows I am a workaholic and that’s the ultimate reason for that time. Tapi setelah masa magang kamu, saya mulai melihat potensi lainnya di diri kamu yang punya hal-hal yang saya butuhkan. Skills, personality, loyalty. Penilaian saya nggak salah karena selama ini kamu selalu menunjukkan kinerja yang hampir sempurna dan saya sangat puas.” lanjut Joohyun.

“Waktu ada masalah sama kantor kemarin, akhirnya saya harus split antara kamu dan Johnny untuk back-up Jennie. Saya pilih Johnny karena dia lebih senior dan pasti bisa lebih meringankan beban Jennie. Sejujurnya saya waktu itu agak ragu kamu bisa ngikutin ritme kerja saya tapi lagi-lagi kamu buat saya takjub. You made it. Saya rasa ini semua yang akhirnya buat saya selalu menaruh ekspektasi tinggi ke kamu. Makanya kamu sadar nggak, sekalinya kamu buat salah saya bisa marah besar karena kesalahan yang kamu buat itu biasanya yang sepele.”

Minjeong terdiam. Ia tidak menyangka Joohyun akan bicara dengan sangat serius. Tiba-tiba ia memikirkan bagaimana nasibnya nanti saat Joohyun mengetahui bahwa ini semua hanyalah bagian dari rencana untuk memberikan kejutan bagi sang CEO.

“Saya tahu kalau saya kelewat perfectionist dan karena itu pagi tadi saya marah terlalu berlebihan sama kamu. Maafin saya ya? Saya cuma kesal aja karena ini kesalahan sangat sepele.”

“Dan besok hari ulang tahun Kak Wendy juga.” potong Minjeong.

Joohyun mengangguk dan menghela napasnya panjang. Matanya menerawang jauh di antara awan-awan putih yang menghiasi pemandangan dari pesawat yang ia tumpangi.

“Besok itu pertama kali Seungwan merayakan ulang tahun bersama dengan keluarga. Saya tadinya mau buat ulang tahun dia menjadi sangat spesial. Tapi ternyata belum bisa, karena tiba-tiba saya harus pergi kayak gini. Lagipula saya juga ragu sebenarnya bisa merayakan hari ulang tahun dia besok karena saya masih belum dapat izin dari Taeyeon.”

“Emang kemarin-kemarin kak Wendy sendirian?” tanya Minjeong polos.

Joohyun menatap ke arah Minjeong untuk beberapa saat. Ia sadar bahwa Minjeong tidak sepenuhnya mengetahui tentang keadaan keluarga Seungwan.

“Karena saya rasa kamu akan ada di hidup saya untuk waktu yang cukup lama, saya akan cerita sedikit ke kamu tentang saya dan Seungwan. Tapi ini rahasia ya?”

“Eh?”

“Saya dan Seungwan itu awalnya dijodohkan. Mungkin kamu berpikir saya bercanda, tapi nggak Minjeong, bahkan sampai sekarang pun masih ada yang namanya perjodohan. Awalnya saya biasa saja karena saya juga tidak begitu ingat Seungwan, dia dulu teman masa kecil saya. Klise ya?”

“Ini seriusan kak?”

Joohyun tertawa, “Serius. Saya, Seulgi, Seungwan dulu tetanggaan. Kami bertiga juga pergi ke satu sekolah yang sama dan dulu, Seungwan kecil sering diganggu di sekolah. Saya nggak suka lihat hal itu karena dulu saya sempat menemukan Seungwan sampai memar.”

“Hah?!” lagi-lagi Minjeong bereaksi.

“Terus saya minta ke ayah saya untuk bawa dia ke rumah sakit punya keluarganya Ojé. Singkat cerita sejak saat itu kami jadi lebih dekat sampai akhirnya Seungwan pindah karena masalah keluarganya. Yang ini saya belum bisa cerita ke kamu.”

Minjeong mengangguk paham. Ia pun cukup kaget Joohyun mau bercerita tentang kehidupan pribadinya sebanyak itu.

You may call it puppy love, tapi yang jelas dulu saya selalu merasa harus melindungi Seungwan kecil. Waktu itu saya pikir karena saya menganggap Seungwan seperti adik saya sendiri, seperti Yeri, jadi timbul rasa tanggung jawab di diri saya untuk melindungi dia. But then, years later saya dipertemukan lagi dengan Seungwan dalam keadaan yang jauh berbeda. Waktu pertama kali saya ketemu lagi sama Seungwan, dia sudah berubah jadi sosok yang totally rebellious.” tawa Joohyun.

“Hehe I know that. Aku juga sempet beberapa kali lihat Kak Wendy bolak-balik jadi headline berita. Jujur pas pertama kali aku tau kalau Kak Joohyun itu sama Kak Wendy ada hubungan, aku sempet kaget sih. Dikit.”

“Kami kayak beda banget ya?”

Minjeong mengangguk. “Kak Wendy sebagai artis dan Kak Wendy sebagai dirinya sendiri itu beda banget juga sih kak. Aku juga kalau gak kenal Kak Wendy kayak sekarang, juga pasti cuma tau dia sebagai artis aja. Paham maksud aku nggak?”

“Saya paham maksud kamu. Wendy dan Seungwan memang punya perbedaan. Wendy itu lebih carefree, selalu terlihat riang, rebellious at some point. Seungwan….she has her soft side and the other side that no one knows.”

“Ada satu titik di hubungan saya dan Seungwan yang membuat saya ingin melindungi Seungwan lagi. Rasa yang dulu pernah saya rasakan waktu saya kecil, saya merasakan itu lagi.”

“Jadi kakak udah suka kak Wendy dari dulu?!” pekik Minjeong tidak percaya.

Joohyun mengangguk malu. “Saya nggak mau munafik, saya dulu juga sempat suka sama orang lain dan perasaan saya juga cukup dalam untuk orang itu. Tapi yang terjadi saat ini, kenyataannya adalah saya sangat menyayangi Seungwan bahkan jauh lebih dalam. We have been through a lot, We have been losing each other so many times. Now, I wanna make every second count.

“Well, obviously sih kak. The length you go for Kak Wendy just makes me speechless, most of the time.

Joohyun tertawa, “Kamu juga pasti gitu kalau sudah ketemu orang yang sangat kamu sayang. Contohnya aja, kamu rela melepaskan impianmu demi orang tua kamu kan? Itu juga salah satu contoh, but just a different kind of love.”

“Selama bertahun-tahun kami nggak saling kontakan, masing-masing dari kami sudah melewati banyak hal and I want to make it up for the time that we’ve lost. Itu kenapa saya selalu mau yang terbaik untuk Seungwan. Tapi tadi Seungwan ngomel ke saya dan itu cukup bikin saya berpikir sih.” lanjut Joohyun.

“Tadi pas di telpon kak?”

Joohyun mengangguk, “She said, her happiness should not come at the cost of someone else's happiness. Well, tadi dia ngomel banyak ke saya karena saya marah masalah trip hari ini. Agak panas sih kuping saya, soalnya dia bener-bener telpon saya lama banget. Kamu denger gak sih tadi?”

“Denger dikit kak hehe” ujar Minjeong menunjukkan ibu jari dan telunjuknya.

“Ya, Seungwan pokoknya belain kalian, kamu, Seulgi, Jennie. Tapi saya tahu, yang kali ini saya kelewatan. Jadi saya minta maaf ya? Cerita saya tadi bukan berarti saya mencari pembenaran, saya cuma mau cerita aja kenapa saya semarah itu pagi tadi. Yang jelas, tetap aja marahnya saya tadi pagi itu tidak bisa ditolerir dan saya salah.”

Minjeong mengangguk. Ia ingat betul bagaimana Joohyun membentak dirinya habis-habisan lewat sambungan telepon dan meminta Minjeong, Seulgi, dan Jennie untuk segera datang ke kantor. Lalu setelah Seulgi dan Jennie datang, keduanya pun tak luput dari amukan Joohyun.

Peristiwa pagi tadi cukup memberikan gambaran pada Minjeong bagaimana kedepannya jika ia benar-benar membuat kesalahan dan hal ini membuat Minjeong bersumpah bahwa ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak pernah melakukan kesalahan.

“Pulang dari trip hari ini, kamu saya kasih libur satu minggu. Kamu mau liburan kemana? Saya bayarin. Ini sebagai bentuk permintaan maaf dan reward atas kinerja kamu yang selama ini sangat baik.”

“Hah?! Jangan kak! Aduh gak enak!” ujar Minjeong melambaikan tangannya dengan cepat, menolak tawaran Joohyun.

“Kalau kamu nggak mau liburan, mau saya kasih bonus aja? Tapi nanti kamu ambil sendiri di rumah saya ya ceknya. Saya gak mau transfer ke kamu, nanti orang kantor tahu dan ngira kalau kamu main belakang. Padahal kamu kan memang pantas untuk itu.” tawar Joohyun sekali lagi.

Sang asisten hendak menolak kembali tawaran menggiurkan tersebut namun lampu tanda sabuk pengaman sudah lebih dahulu menyala, menandakan bahwa sebentar lagi pesawat jet pribadi milik Bae Corporation akan segera mendarat di bandara tujuan.

Ting!

Baik Joohyun maupun Minjeong segera mengencangkan sabuk pengaman mereka dan tak lama kemudian terdengar suara pilot pesawat mengumumkan bahwa sebentar lagi pesawat tersebut akan tiba di bandara tujuan.

Seluruh proses pendaratan berjalan dengan mulus, pesawat mereka pun dapat segera taxing dan pada akhirnya pesawat tersebut berhenti dengan sempurna. Namun demikian, Joohyun merasakan sedikit kejanggalan saat sang pilot tidak mengumumkan lokasi pendaratan.

Akan tetapi, sang CEO tidak terlalu banyak mempermasalahkan hal tersebut dan berpikiran bahwa mungkin dirinya lah yang tidak begitu memperhatikan seluruh proses pendaratan karena toh hal ini bukanlah hal yang baru baginya.

Minjeong sudah terlebih dahulu melepaskan sabuk pengaman yang ia kenakan dan berdiri dari kursinya, melakukan sedikit peregangan tubuh.

“Kak…” panggil Minjeong tiba-tiba sembari berdiri di hadapan Joohyun.

“Hm?”

“Aku harap Kak Joohyun bisa sedikit lebih santai dalam menjalani kehidupan kakak. Nggak selamanya kakak dikejar-kejar sama sesuatu. Enjoy your time with your beloved one, kak.”

Joohyun berdecak pelan. Sedikit lucu baginya mendengar hal tersebut keluar dari mulut Minjeong. Namun tentu saja ucapan tersebut tidak hanya dianggap sebagai angin lalu oleh sang CEO.

Lantas Joohyun pun ikut berdiri dan menepuk pundak Minjeong pelan.

“Kalau saya santai, berarti kamu yang harus kerja banting tulang.” tawa Joohyun.

“B-bukan gitu maksudnya!!”

Kali ini Joohyun tertawa lebih kencang sembari menggelengkan kepalanya, “Iya, saya paham. Makasih sudah mengingatkan saya untuk lebih santai.”

Minjeong hanya tersenyum dan menunjukkan deretan gigi putihnya. Ia kemudian berjalan ke arah pintu pesawat lebih dahulu yang kemudian diikuti oleh Joohyun.

“Minjeong, nanti sampai hotel kita-...”

Kalimat Joohyun terhenti tatkala matanya menatap sosok Seungwan tepat di ujung tangga pesawat dan Minjeong yang sudah menuruni anak tangga dan berdiri di sebelah Seungwan dengan senyuman jahilnya.

“Surprise?” sambut Seungwan sembari membentangkan tangannya lebar-lebar.

Ucapan Seungwan sontak membuat Joohyun menoleh ke kanan dan ke kiri, barulah ia sadar bahwa saat ini ia tidak berada di tempat tujuan yang semestinya.

Kening Joohyun berkerut. Ia tidak paham.

“Lapor, rencana penculikan selesai dengan lancar!” ujar Minjeong pada Seungwan yang disambut dengan tepuk tangan oleh Seungwan.

“Hah? Ini apa?” tanya Joohyun masih dengan ekspresi terkejut.

“Well, turun dulu dong. Pegel ini leher aku kalau harus tengadah gini terus.” protes Seungwan.

Perkataan Seungwan bagaikan sebuah perintah bagi Joohyun. Sang CEO pun menuruni anak tangga kendati ia masih kebingungan. Joohyun berusaha berpikir keras dan mengurutkan semua kronologi kejadian yang ia alami hari ini karena ia yakin pasti ada satu atau dua hal yang bisa ia jadikan petunjuk.

“Welcome! Sebelum kamu nanya, yes hari ini kamu dikerjain. Nggak ada trip yang harus kamu datengin, itu semua rencana buat ngerjain kamu yang disusun sama sepupu-sepupu kamu, plus adik kamu dan aku. Well, Minjeong nggak ikut ngerencanain tapi dia yang jadi tim pelaksana banyak banget sih.” jelas Seungwan.

“Hah? G-gimana?”

“Nggak ada trip kak. Dari awal aku gak pernah salah masukin jadwal kakak. Dokumen yang ada di tangan kakak itu palsu semua.” tawa Minjeong.

Joohyun dapat mendengar dengan jelas suara tawa keluar dari mulut Seungwan dan bagaimana kedua mata Seungwan ikut menunjukkan eye smile seiring dengan tawa tersebut.

Melihat Joohyun yang masih dalam mode bingungnya, Seungwan pun berinisiatif untuk mengambil tas yang dibawa oleh Joohyun lalu memberikannya kepada Minjeong. Sang solois kemudian menangkupkan kedua tangannya di wajah Joohyun untuk beberapa saat sebelum ia mencubit pipi Joohyun cukup kencang.

“Bukan kamu aja yang bisa bikin kejutan.” goda Seungwan.

Sang solois kemudian menggandeng tangan Joohyun, berjalan ke arah sebuah mobil berwarna putih yang sudah terparkir rapi tidak jauh dari lokasi pendaratan.

“Oh iya, Minjeong! Kamu duluan aja ke rumahnya Joohyun. Kak Taeyeon, Yerim, Sooyoung udah duluan ke sana. Kamu nyusul aja. Joohyun mau aku culik lagi.” teriak Seungwan yang sedikit menoleh ke arah Minjeong dan dibalas dengan sebuah acungan jempol oleh sang asisten.

“Selamat ngedate!! Tapi jangan sampe nambah kerjaan aku!!” teriak Minjeong menggoda Joohyun dan Seungwan yang sudah tertawa mendengar ucapannya.

Amoureux de…(Seungwan) part 5-26

“Kamu sering ngobrol sama Mama?”

Joohyun menoleh sekilas ke arah Seungwan dan mendapati sang solois tengah mengembalikan ponsel milik Joohyun ke kompartemen tengah mobil yang memisahkan kursi pengemudi dan kursi penumpang.

“Tadi mama yang ngechat?” tanya Joohyun.

Sang CEO tadi memang meminta Seungwan untuk memeriksa ponselnya ketika ia mendengar bunyi notifikasi dari ponsel pribadinya. Namun ia tidak menyangka bahwa yang mengirimkan pesan kepadanya adalah Nyonya Do.

“Iya, mama yang ngechat. Sekalian aku bales, gapapa ya?”

“Nggak apa-apa. Mama bilang apa?”

“Nanyain kita dimana? Terus tadi bilang kalau kita disuruh cepetan pulang, nggak boleh mampir.”

Joohyun tertawa pelan.

“Terus kamu balas apa?”

“Ya aku bilang kalau kita emang udah menuju ke rumah mama. Sama tadi aku bilang gausah disiapin makan malem, eh ternyata mama udah nyiapin.”

Joohyun mengangguk pelan.

“Yaudah nanti kalau ternyata kita masih kenyang, makanan yang mama siapin kita bawa pulang aja ya pakai tempat makan biar nanti bisa kita makan di rumah. Nggak enak udah disiapin.”

“Ih ribet ah, Hyun!”

“Seungwan, kasian mama kamu dong kan udah capek-capek masakin?”

“Mama kalo masak kan dibantuin sama orang rumah, Hyun. Nggak kayak Bunda yang emang masak semuanya sendiri.”

“Tetep aja Seungwan, hargain dong usaha mama ya? Nanti saya deh yang makan.”

“Bener ya?”

Joohyun kembali menganggukkan kepalanya, kali ini sambil tertawa.

Sore hari itu jalanan terlampau lengang, sehingga mobil yang dikendarai Joohyun dapat melaju dengan cepat menuju kediaman keluarga Do. Sang pengemudi memperkirakan setidaknya hanya butuh lima belas menit sebelum mereka akhirnya tiba disana.

Sedikit banyak Joohyun sudah dapat menebak alasan Nyonya Do menghubunginya. Kini tinggal bagaimana Joohyun membangun argumen untuk melakukan pembenaran atas tindakan impulsifnya tadi.

Joohyun sendiri masih bisa bernapas dengan cukup lega karena hingga saat ini Seungwan masih belum memeriksa ponselnya dan masih belum mengetahui tindakan impulsif Joohyun tadi. Ia yakin sekali jika Seungwan tahu, pasti saat ini dirinya sudah kena omel habis-habisan.

“Pertanyaan aku tadi belum dijawab, Hyuuun!” rengek Seungwan yang sudah bosan menggonta-ganti channel radio di mobil Joohyun.

“Apa? Saya sering ngobrol sama mama?”

“Iya.”

“Ya lumayan. Kenapa emangnya?”

“Nggak, aku baru tau aja.”

Tangan kanan Joohyun melepaskan kemudi yang ia pegang sejenak untuk mengacak-acak rambut Seungwan.

“Nggak usah ngambek gitu. Kamu kan juga sering chattingan sama Bunda.”

“Bukan ngambek. Aku cuma seneng aja.”

Ucapan Seungwan membuat Joohyun menolehkan kepalanya sejenak. Namun Seungwan sedang memalingkan wajahnya ke arah jendela sehingga Joohyun tidak bisa melihat ekspresi wajahnya.

Sang pengemudi kemudian memilih untuk kembali fokus menyetir setelah menoleh beberapa kali dan masih mendapati Seungwan yang memalingkan wajahnya.

“Kenapa senang? Kan itu sudah hal yang wajar?”

“Ya aku seneng aja kamu mau terima aku dan keluargaku. Aku kira selama ini kamu nggak terlalu sering ngobrol sama mama sejak kita break kemarin.”

Oh…

Tangan kanan Joohyun kembali melepas kemudi yang sedang dipegang dan kini berusaha untuk menggapai tangan Seungwan.

“Kepikiran lagi ya sama yang kemarin?”

“Hmm…”

“Saya sering kok ngobrol sama mama. Ngomongin bisnis, ngomongin kamu, ngomongin tentang kita.”

Joohyun kembali menoleh sekilas namun kali ini ia mendapati Seungwan sedang menatapnya.

“Kenapa? Kok kaget?”

“Ngomongin aku?”

“Iya, ngomongin saya juga. Ngomongin kita. Kemarin waktu saya nggak bisa ketemu kamu, saya sering kok chat Mama untuk sekadar tahu keadaan kamu. Saya juga sering tanya ke Taeyeon, tanya Sam juga.”

“Mama ngomong apa lagi?”

“Banyak, mama cerita banyak ke saya. Kalau Bunda dan kamu bisa dekat, saya dan Mama juga bisa sama dekatnya. Kamu dan Bunda suka masak bareng, kan? Saya dan Mama suka diskusi tentang bisnis. Orang tua kamu itu orang tua saya juga, seperti kamu memperlakukan ayah dan bunda layaknya orang tua kamu sendiri. Saya masih ingat speech kamu, Seungwan.” terang Joohyun sembari mempererat genggaman tangannya.

“Huh?”

“Pas kamu menang penghargaan. Kamu ngucapin terima kasih untuk orang tua saya.”

“O-oh… itu…I-iya, tiba-tiba kepikiran Ayah sama Bunda.”

“Nah saya juga gitu, kadang kalau lagi baca berita bisa tiba-tiba ingat Mama juga.” tawa Joohyun.

“Ih, aneh banget!” protes Seungwan.

Joohyun tertawa, namun dalam hatinya ia bernapas lega. Nada bicara Seungwan sudah kembali normal. Setidaknya ia berhasil membuat Seungwan tidak terlalu banyak memikirkan hal negatif.

“Iya, contohnya aja ya saya lagi baca berita tentang pergerakan nilai saham. Terus ada nilai perusahaan farmasi yang menurut saya nilainya oke, ya saya jadi ingat mama. Kamu tau kan Mama lagi ingin ke arah sana?”

“Tau…”

“Nah ya saya ngobrol tentang itu. Kayak kamu sama mama bisa lama banget ngomongin jenis daging sapi sama cara masaknya itu loh, kan udah kayak ilmuwan mau bikin penelitian.” goda Joohyun yang langsung mendapatkan satu cubitan kencang di pinggang Joohyun.

“Gak usah mulai godain deh.”

“Hehe iya nggak lagi. Tapi intinya gitu, saya dan mama deket kok. Kayak kamu sama Bunda. Ada yang kepikiran lagi?”

Seungwan menggelengkan kepalanya dan membiarkan keheningan menyelimuti mereka berdua.

Untuk saat ini ia sudah cukup puas dengan jawaban Joohyun yang berhasil memadamkan api kekhawatiran dalam hatinya.


Setibanya mereka di kediaman keluarga Do, Joohyun dan Seungwan terkejut saat mendapati Nyonya Do tengah duduk di ruang keluarga dengan remote televisi yang ada di genggaman tangannya.

Joohyun melirik sekilas ke arah Seungwan dan ia masih mendapati bahwa Seungwan belum mengetahui aksi nekatnya tadi. Namun saat Joohyun menatap ke arah Nyonya Do, ia tahu persis bahwa orang tua dari Seungwan itu sudah mengetahui tindakan cerobohnya sore tadi.

“Mama?”

“Oh, kalian sudah sampai? Mama nggak dengar suara pintunya.”

“Iya barusan. Mama ngapain disini? Tumben? Biasanya juga kalau nonton di kamar?” tanya Seungwan yang menatap ke arah Nyonya Do dengan sedikit heran.

Melihat gelagat Seungwan dan Joohyun, nyonya Do pun mengetahui jika Seungwan belum menyadari postingan Joohyun. Sang ibu kemudian tersenyum kepada putrinya.

“Kamu ke atas duluan aja. Mama mau bicara sama Joohyun sebentar.”

Kening Seungwan berkerut.

“Ngomong apa? Tumben banget aku diusir alus gini?”

“Saham. Mama kamu mau ngomongin saham. Kamu duluan aja ke kamar, beresin barang-barang kamu. Nanti saya susul.” potong Joohyun yang menepuk kedua pundak Seungwan dan mendorongnya untuk menaiki tangga ke lantai dua sembari sedikit melemparkan candaan pada Seungwan.

“Mama kenapa sih?” bisik Seungwan.

“Nggak apa-apa. Kan saya bilang mau ngomongin saham. Kamu emang mau ikut dengerin?”

“Ih ogah banget. Yaudah deh, buruan ngomong sama Mama abis itu bantuin aku!”

“Iya, iya sayaaang. Sana kamu duluan, biar cepet selesai.”

Seungwan memicingkan matanya ke arah Joohyun satu kali lagi sebelum ia mulai menaiki anak tangga menuju lantai dua.

Sementara itu Joohyun tertawa kecil untuk sesaat. Namun ketika ia mengingat calon ibu mertuanya yang sudah menunggu di ruang tengah, tiba-tiba nyalinya seakan menciut.

Sang CEO menelan ludahnya sejenak dan mempersiapkan dirinya kemudian melangkahkan kakinya kembali ke arah ruang tengah.

“Joohyun, duduk situ. Mama ingin bicara.”

Bingo.

Joohyun mengangguk kemudian mengambil posisi tepat di hadapan Nyonya Do. Ia duduk dengan tegap sembari menatap mata lawan bicaranya dengan sangat yakin, walau sejujurnya dalam hati Joohyun pun ia sedikit bergeming.

“Mama tebak kamu sudah tahu apa yang ingin mama bicarakan?”

Sebuah anggukan mantap.

“Bagus, kalau gitu langsung ke intinya saja. Kenapa? Kenapa kamu dengan cerobohnya melakukan itu?”

Sang CEO menarik napasnya pelan, berusaha agar tindak-tanduknya tidak tertangkap oleh Nyonya Do.

“Because I want to tell the world that Seungwan was with me and I am so thankful for that.”

“Jawaban kamu nggak cukup baik, Joohyun. Mama bersyukur Seungwan bisa ketemu kamu dan menjalin hubungan sampai sejauh ini, tapi kamu bukan anak kuliahan atau anak SMA lagi. Kamu sekarang pimpinan tertinggi di Perusahaan keluarga kamu, Perusahaan yang udah dibangun susah payah. Di pundak kamu sekarang ada nasib banyak orang.”

Joohyun mengeraskan rahangnya saat ia diingatkan akan fakta itu lagi.

“Joohyun, Mama bukan meragukan kemampuan kamu. Mama disini mengingatkan kamu. Ada banyak orang yang gak suka dengan keputusan Ayah kamu untuk menyerahkan Perusahaan ke kamu dan kamu tahu itu. Jangan buat kesalahan yang bikin kamu jadi santapan empuk buat mereka.”

Joohyun tahu itu, Joohyun paham hal ini dengan sangat baik. Ada alasan kenapa ia sangat mendekap erat Seulgi dan Jennie sebagai orang kepercayaannya. Hanya mereka yang bisa Joohyun percaya untuk tidak menusuknya secara tiba-tiba dan hanya mereka yang bisa Joohyun pegang ucapannya.

Posisi pimpinan tertinggi yang dahulu ditempati oleh Ayahnya merupakan posisi yang diincar banyak orang. Fakta bahwa Tuan Bae tidak memiliki seorang anak laki-laki, menjadikan hal ini sebagai kesempatan untuk “mengambil-alih” posisi tertinggi tersebut.

Terlalu muda. Belum berpengalaman.

Merupakan alasan yang kala itu sering digaungkan untuk mengganjal langkah Joohyun menempati posisi tersebut.

Kemudian setelah Joohyun berada di posisi tertinggi dan berhasil mematahkan argumen-argumen tersebut, datang alasan lainnya.

Dikhawatirkan tidak bisa memisahkan profesionalitas dan kehidupan pribadinya karena keadaan Joohyun sebagai perempuan yang suatu saat nanti akan berkeluarga.

Joohyun tentu saja tertawa akan alasan ini, sangat mengada-ada.

“Mama tau bagaimana irasionalnya mereka saat mencari-cari alasan agar kamu bisa diturunkan dari posisimu.” tambah Nyonya Do.

Joohyun mengangguk paham.

Tentu saja.

Nyonya Do juga pernah berada di posisi yang sama persis dengan dirinya.

“Kamu tahu alasan paling gila apa yang waktu itu pernah diungkit tentang mama?”

“Ayah pernah sedikit cerita, apa maksud Mama adalah waktu mereka mengungkit tentang pernikahan mama?”

Nyonya Do mengangguk, “Nggak masuk akal kan? Mama sudah bercerai dan legal secara hukum. Mama tidak menjalin hubungan dengan siapapun dan Mama waktu itu bahkan hanya terlihat seorang diri, dianggap tidak punya anak.”

Joohyun kembali mengangguk.

“Gimana proyek terakhir kamu yang di Paris itu? Sudah tanda tangan?”

“Belum, maret besok kami tanda tangan.”

“Kenapa lama sekali?”

“Buyer kemarin melakukan beberapa kali due diligence apalagi setelah kasus pajak kemarin. Tapi aku dan timku sudah berhasil meyakinkan mereka. Baru tandatangan maret besok karena permintaan dari mereka yang ingin datang kesini langsung.”

Nyonya Do terdiam sejenak.

“Hubungan kamu dan Seungwan, kita belum bisa umumkan itu sampai proyek terakhir kamu sudah resmi ditandatangani. Jangan buat nilai saham perusahaan kamu nggak stabil sampai proyek kamu resmi ditandatangani. Itu akan buat alasan baru untuk mereka nyerang kamu lagi.”

Lagi-lagi Joohyun hanya bisa terdiam.

“Joohyun, mama harap kejadian hari ini bisa kamu jadikan pelajaran. Kamu nggak cukup melindungi Seungwan aja, kamu juga perlu melindungi diri kamu sendiri. Secara nggak langsung kalian berdua akan saling mempengaruhi kedepannya. Kamu juga harus belajar gimana caranya mencari keseimbangan antara kerjaan kamu dan keluarga kamu nanti. Nggak selalu keluarga kamu akan jadi prioritas, ada kalanya kamu harus mementingkan pekerjaan kamu untuk sejenak. Be realistic. Tapi bukan artinya kamu melupakan bahwa kamu punya keluarga yang juga butuh waktu dan kehadiran kamu.”

Sang CEO kembali mengangguk.

“Mama sudah kontakan sama kakak sepupu kamu dan sama asisten kamu itu yang rambut pendek.”

Joohyun tiba-tiba membayangkan wajah Minjeong dan rasanya ia ingin tertawa. Pasti Minjeong sudah keringat dingin saat melihat postingannya tadi, apalagi sampai harus dihubungi oleh Nyonya Do tadi.

“Minjeong?”

“Iya, Minjeong. Untuk sekarang kami sepakat untuk diam dulu sampai ada berita yang naik. Setelahnya baru kita ambil langkah. Malam ini asisten kamu dan manajernya Seungwan lagi cari ide untuk counter article yang bisa kita rilis. Selain itu kami sepakat, malam ini kamu dan Seungwan harus menginap disini. Kalian gak bisa balik ke apartemen dulu. Disini jauh lebih aman. Besok sore Minjeong akan jemput kamu dan antar kamu pulang ke rumah orang tua kamu. Sampai keadaan lebih kondusif, kamu dan Seungwan harus pisah sebentar. Seungwan akan tinggal disini dan kamu juga harus tinggal di rumah orang tua kamu.”

Amoureux de…(Seungwan) part 5-22

Seungwan harus menahan tawanya saat ia melihat ekspresi Joohyun yang sangat serius ketika memilih film dan nomor bangku yang akan mereka beli. Masalahnya menurut Seungwan hal ini terlalu sepele untuk mendapatkan perhatian dan usaha maksimal dari Joohyun.

Namun Seungwan membiarkan Joohyun dengan ‘peperangannya’. Ia hanya berdiri di samping Joohyun sambil sesekali membantu sang CEO ketika ia terlihat mulai menemui kendala.

Satu hal yang membuat Seungwan merasa senang adalah saat ia melihat raut kepuasan pada wajah Joohyun. Sang CEO terlihat sangat puas dan berbangga hati sudah menyelesaikan tugas sederhananya itu.

“Tada!!” ujar Joohyun memamerkan tiket mereka berdua.

Seungwan hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia tahu Joohyun saat ini tengah tersenyum lebar ke arahnya walaupun ekspresi tersebut tertutup oleh masker yang dikenakan oleh sang CEO.

“Kamu tuh ya, lain kali kalau kayak gini gak usah sampai ngerepotin Minjeong dong. Kasian kan dia juga butuh istirahat.” omel Seungwan sembari tertawa gemas.

“Ya kalau bukan dia, terus saya minta tolong siapa lagi?”

“Kan ada aku? Gini doang mah simple banget Joohyun.”

Joohyun menggeleng, “Kalau kita lagi-...”

“Kalau kita lagi ngedate, aku tinggal terima beres. I know that dan aku berterima kasih sama kamu. Tapi lain kali, kalau kita ngedate lagi cukup kita berdua aja yang ngurus. Orang lain gak butuh ikutan ngurusin. Okay?” potong Seungwan cepat.

Gestur sederhana dari Seungwan yang saat ini sudah mengusap punggung tangan Joohyun sembari tersenyum ke arah Joohyun nyatanya mampu membuat Joohyun luluh.

Sang CEO mengangguk pasrah.

“Okay…Uhm, mau masuk sekarang?”

“Jangan deh, nanti aja. Tunggu lampunya udah mati.”

“Kamu kayaknya pengalaman ya kayak gini?”

Seungwan merasa bersyukur saat ini ia pun mengenakan masker karena kini ia tengah menggigit bibir bawahnya, menahan tawa.

Ia paham betul nada-nada kecemburuan yang terdengar dari sosok sang CEO.

“Gini doang mah udah khatam.” goda Seungwan.

Joohyun menghembuskan napasnya kencang dan Seungwan yakin saat ini Joohyun pasti sudah sedikit cemberut.

“Nggak usah cemburu, itu udah di masa lalu.”

“Gak bisa, saya tetep cemburu.”

Tawa Seungwan akhirnya pecah. Ia menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.

“Kok malah ketawa sih?”

“Ya abis kamu lucu.”

Joohyun memutar kedua bola matanya malas. Ia enggan membicarakan hal ini lagi dan memilih untuk menawarkan pada Seungwan untuk membeli camilan dan minuman ringan.

Lagi-lagi, Seungwan dan Joohyun terlibat dalam debat kecil dimana Seungwan hanya memilih membeli minuman dengan alasan ia sudah makan cukup banyak. Sedangkan Joohyun merasa bahwa Seungwan tidak makan terlalu banyak siang tadi.

Pada akhirnya mereka sepakat untuk membeli satu buket popcorn ukuran sedang dan chips serta dua cup minuman bersoda.

“Kamu ambil tiketnya aja ini. Makanan dan minumannya saya yang bawa.”

Joohyun tidak menunggu jawaban Seungwan. Ia sudah lebih dahulu menyerahkan tiketnya pada Seungwan dan mengambil pesanan mereka.

Setelah dirasa waktu yang mereka ulur sudah lebih dari cukup, Joohyun dan Seungwan akhirnya memasuki studio mereka dengan Joohyun yang berjalan di depan Seungwan. Ia sengaja berjalan terlebih dahulu untuk memastikan agar Seungwan cukup mengikuti dirinya saja dan tidak tersandung akibat minimya pencahayaan.

Untungnya studio mereka tidak terlalu padat, namun juga tidak terlalu sepi.

“Udah kelewat banyak ya filmnya?”

“Ini aja aku gak tau film apa.”

Jawaban Seungwan membuat Joohyun menoleh ke arah yang lebih muda. “Loh, saya kira kamu tau filmnya?”

Seungwan membuka maskernya sejenak kemudian mendaratkan satu kecupan singkat di bibir Joohyun.

“Nggak, aku cuma mau nonton aja sama kamu. Aku sendiri nggak tau ini film apa.”

Wajah Joohyun merah padam, telinganya pun ikut memerah dan membuat Seungwan tertawa kecil.

“Siniin lengan kamu, aku mau peluk.” tambah Seungwan.

“O-okay…”

Dengan sigap Seungwan mengaitkan lengan kirinya dengan lengan kanan Joohyun dan menyandarkan kepalanya di bahu Joohyun. Tak lupa ia genggam erat buku-buku jari Joohyun.

Merasakan tingkah Seungwan yang cukup manja saat itu, Joohyun pun dengan senang hati meladeni Seungwan. Ia sengaja duduk dengan posisi yang cukup nyaman bagi Seungwan untuk menyandarkan kepalanya di bahu Joohyun. Sang CEO pun beberapa kali mengecup singkat puncak kepala Seungwan.

“By the way, makasih ya Joohyun.”

“Hm?”

”Thank you, for everything.”


Film yang berdurasi hampir dua jam itu nyatanya hanya ditonton oleh Joohyun seorang diri setelah ia menemukan Seungwan yang terlelap di tengah paruh waktu pertunjukan.

Tentu saja Joohyun membiarkan Seungwan tetap terlelap sepanjang film tersebut diputar.

Ia baru membangunkan Seungwan ketika film hampir selesai dan memberikan waktu bagi Seungwan untuk menyesuaikan diri sejenak sebelum mereka keluar dari studio tersebut kendati filmnya belum selesai.

“Kenapa aku nggak dibangunin!” protes Seungwan.

Kini keduanya berjalan keluar dari area bioskop.

“Kamu kelihatan nyenyak banget tidurnya. Saya nggak mau ngambil kenyamanan itu apalagi saya tahu kalau semalam kamu nggak bisa tidur.”

“Ya tapi kan aku jadi nggak enak sama kamu!” sungut Seungwan kesal.

Joohyun hanya tersenyum dan mengusap puncak kepala Seungwan cepat.

“Kenapa harus nggak enak? Yang penting saya lihat kamu nyaman, itu udah lebih dari cukup. Nonton film bisa kapan-kapan lagi kan?”

Melihat Seungwan yang masih tidak puas dengan jawabannya, Joohyun kemudian kembali mengangkat suara.

“Yaudah gini aja supaya kamu gak ngerasa bersalah, temenin saya cari buku mau? Hitung aja sebagai pengganti tadi kamu nggak jadi nemenin saya nonton.” tawa Joohyun.

Mendengar tawaran tersebut, mata Seungwan langsung berkilat setuju. Ia menganggukkan kepalanya mantap.

“Oke! Kalau gitu sekarang kita ke toko buku!” ujar Seungwan yang langsung menggandeng tangan Joohyun dan setengah menyeretnya untuk berjalan lebih cepat.

Joohyun menggelengkan kepalanya takjub. Namun disatu sisi ia tahu saat ini ia sedang merasa sangat bahagia, apalagi ketika ia melirik ke arah tangannya yang bertautan dengan tangan milik Seungwan.

”Mulai sekarang setiap weekend saya harus bisa menghabiskan waktu saya sama kamu, Seungwan.”

Amoureux de…(Seungwan) part 5-6

Selepas Seungwan menemani Joohyun menyantap makan malamnya, yang sangat terlambat itu, Seungwan melemparkan pertanyaan-pertanyaan kepada Joohyun setelah Seungwan melihat bahwa apartemen mereka terlihat sedikit berbeda dengan apa yang ia ingat terakhir kali.

”Iya, ruang tengah jadi lebih padat ya? Saya udah gak pernah tidur di kamar lagi soalnya. Kalau disana saya kangen kamu terus. Jadi saya selalu tidur di sofa ini, kalau kerja juga di ruang makan kayak tadi.” ujar Joohyun menjelaskan secara singkat.

Keduanya kini tengah duduk dengan nyaman di sofa ruang tengah. Mungkin lebih tepat disebut dengan cuddling karena posisi Seungwan yang memeluk Joohyun dari belakang, bertindak sebagai big spoon saat itu.

Mata keduanya hanya menerawang jauh ke depan sembari menikmati kehangatan dan keberadaan pasangan mereka.

Tak henti-hentinya Seungwan mencium harum rambut Joohyun, sedangkan Joohyun memilih untuk melesakkan tubuhnya agar lebih dekat dengan Seungwan.

Kendati Joohyun tidak benar-benar memeluk Seungwan, namun ia memanfaatkan tangan Seungwan yang melingkari tubuhnya untuk menjadi target afeksinya malam itu. Joohyun belum berhenti mengelus lengan Seungwan dan ia pun berusaha untuk sedapat mungkin menggunakan lengan kiri Seungwan sebagai bantalan kepalanya.

“Kamu sama Minjeong sekarang deket ya?” tanya Seungwan, membuka percakapan.

“Hmm, iya. Sejak kita break, dia yang selalu nemenin saya dan seperti yang pernah saya bilang, Minjeong mengajarkan banyak nilai-nilai kehidupan ke saya.”

“Glad to hear that you have someone that you can trust.” bisik Seungwan.

“Selama beberapa bulan ini kamu ngapain aja?” kini ganti Joohyun yang bertanya.

“Banyak banget, sampe bingung mau mulai dari mana.”

“Mulai dari hari pertama aja, saya mau dengar semuanya.”

“Hari pertama…. Well aku nggak terlalu inget deh. Tapi Joohyun, ada satu hal yang harus kamu tahu, sebelumnya janji dulu ya kamu dengerin aku sampai selesai?” pinta Seungwan.

Joohyun menolehkan kepalanya agar ia bisa menatap manik mata Seungwan dengan lekat. Malam itu ia hanya bisa melihat senyuman di wajah Seungwan beserta pandangan matanya yang jauh lebih tenang dan teduh.

“Okay, janji.”

“Inget kan kemarin aku menang penghargaan itu? Aku…..ketemu Papa disana.”

Seungwan dapat merasakan bahwa napas Joohyun sedikit tercekat. Benar saja, tak lama kemudian ia mendapati Joohyun sudah memutar tubuhnya dan mengubah posisinya menjadi duduk menghadap ke arah Seungwan.

“Kamu…gimana? Apa kamu….”

“Papa jahat banget Joohyun. Papa sengaja dateng kesana karena dia tahu aku nggak mungkin nolak dia di hadapan orang banyak kayak gitu. Papa juga bawa dia. Mereka ngomong banyak ke aku, terutama Papa. Papa masih keras kepala, nggak berubah masih egois. Terus kamu tau nggak? Dia juga ada disana dan sempet berlutut di depan aku. Dia bilang mau memperbaiki kesalahan mereka di masa lampau.” cerita Seungwan.

Joohyun menggenggam tangan Seungwan erat. Mengelus punggung tangan Seungwan dengan ibu jarinya dan Seungwan sangat menghargai gestur ini.

Dia bilang mereka mau minta kesempatan satu kali lagi ke aku karena mereka nggak mau kehilangan aku kayak mereka kehilangan adik aku. Aku punya adik, Joohyun.” sambung Seungwan yang berusaha menahan tangisnya.

Tiap kali Seungwan teringat akan percakapannya dengan Papanya dan Kathrine, Seungwan selalu teringat akan fakta bahwa ia pernah memiliki seorang adik yang bahkan hingga akhir hayatnya tidak pernah bertemu dengan Seungwan.

Joohyun yang sedang mendengarkan cerita Seungwan pun turut terkejut dengan fakta yang dibeberkan oleh Seungwan. Namun ia tahu bahwa Seungwan belum selesai dengan ceritanya, maka Joohyun memilih untuk tetap diam dan memberikan waktu pada Seungwan untuk melanjutkan ceritanya.

“Maaf, aku waktu itu hampir melakukan kebodohan lagi. Tapi….ada Taeyeon, Yerim, Sam dan Ojé disana, I owe them. Setelah aku ketemu Papa, aku marah banget. Aku gak bisa mikir apapun kecuali keinginan aku untuk pulang kesini dan tidur di kasur kita. Aku sempet mikir jalan pintas supaya aku bisa tidur tapi nggak bisa. Aku malah semakin panik malam itu, aku berusaha telpon kamu karena aku kangen kamu banget dan satu-satunya yang bisa aku lakuin cuma usaha untuk menuhin indra aku dengan kamu supaya bisa ngerasa kehadiran kamu. Tapi waktu aku telpon ke ponsel kamu, yang angkat orang lain. Itu bikin aku makin mikir yang aneh-aneh.” lanjut Seungwan.

“M-maksud kamu? Kamu mikir saya kayak Papa kamu?”

Seungwan mengangguk. “Itu bikin aku mual dan pusing banget. Hal terakhir yang aku inget adalah aku pergi ke kamar mandi dan setelahnya aku gak inget lagi. Tau-tau aku udah bangun di kasur.”

“Seungwan, kamu tau kan saya nggak mungkin melakukan apa yang Papa kamu lakukan?”

“Nggak ada yang gak mungkin, Joohyun. Aku akan terus kayak gini dan ada kemungkinan kamu akan lelah suatu saat nanti.”

“Saya nggak-...”

“Dengerin dulu, dengerin aku dulu. Itu yang ada dipikiran aku di hari itu. Tapi aku inget janji aku ke kamu kalau aku mau usaha untuk bisa jadi your strong and dependable home juga. Waktu itu, waktu kamu pulang kesini, aku memutuskan untuk pulang ke rumah mama karena aku belum siap ketemu kamu, tapi itu juga sebagai salah satu akibat karena aku mau usaha untuk bisa sembuh. Aku….. harus bisa berdiri sendiri. Aku nggak mau selalu berlindung di balik kamu, Joohyun.”

Joohyun menarik napasnya. Ia menarik Seungwan ke dalam pelukannya.

You’re doing great, sayang. Saya bangga sama kamu.”

Seungwan tersenyum lega saat mendengar ucapan Joohyun. Ia pun membalas pelukan tersebut tak kalah erat.

“Mama yang bikin aku yakin untuk pulang kesini hari ini. Awalnya aku masih ragu untuk pulang, aku belum ngerasa pantas buat sama kamu. Tapi terus mama bilang yang bisa menilai aku pantas atau nggak buat kamu, ya cuma kamu aja-..”

“Saya setuju sama mama kamu.”

“Dengerin dulu!!” protes Seungwan saat Joohyun menyela dirinya.

Seungwan melepaskan pelukan mereka, ia merasa bahwa ia harus menatap Joohyun saat melanjutkan ucapannya.

“Terus mama juga bilang, nggak baik buat kamu nunggu kelamaan. Mama ngasih saran ke aku untuk tanya ke kamu, apa kamu mau tunggu sampai aku siap atau kamu lebih milih untuk jalan bareng aku dan bantu aku untuk siap.” ujar Seungwan memberi jeda bagi dirinya sendiri.

“Sekarang, semuanya terserah kamu, Joohyun. Apa kamu mau terima aku yang masih banyak cacatnya gini? Atau kamu…. mau kita udahan aja? Aku mikir nggak adil buat kamu untuk punya pasangan kayak aku. Kamu bisa dapat orang yang jauh lebih sempurna.”

Joohyun mengerutkan keningnya. Cerita yang Seungwan beritahukan padanya saat ini justru membuat dirinya ingin marah. Namun Joohyun tahu ini semua bukan salah Seungwan dan Seungwan bukanlah sosok yang tepat untuk merasakan amarahnya malam itu.

“Stop sebut diri kamu cacat. Kamu nggak cacat, kamu….Kalau kamu butuh ribuan kali untuk saya yakinin bahwa saya cuma mau untuk menghabiskan masa hidup saya sama kamu, then I will do it. Saya akan ingetin kamu alasan kenapa saya memilih dan akan selalu memilih kamu, setiap hari saya akan lakukan itu.”

“Tapi Joo–...”

“Nggak, Seungwan. Jawaban saya sudah final dari berbulan-bulan lalu saat saya melamar kamu dan saya bukan orang yang suka meragukan keputusan yang sudah saya yakini benar. Satu lagi, saya sangat menghargai kamu mau berbagi cerita ke saya seperti sekarang ini. Tapi boleh saya mohon ke kamu untuk langsung ceritakan ke saya apapun itu, terutama hal yang penting yang menyangkut keselamatan kamu.”

“Terus janji janji yang dulu kamu minta aku janji ke kamu itu gimana?” ujar Seungwan mengingatkan.

“Anggap itu gak ada, saya egois sama kamu kemarin-kemarin.”

“Jadi aku boleh nih ya pergi sendiri?”

Joohyun terlihat berat untuk mengabulkan permintaan tersebut namun ia menganggukkan kepalanya.

“Dengan catatan kamu tolong kabarin saya ya kalau pergi kemana-mana. Nggak harus kasih kabar yang gimana-gimana banget, just let me know that you’re okay.”

Seungwan tertawa saat ia memahami maksud dari perkataan Joohyun.

“Termasuk aku boleh naik taksi sekarang?”

“Boleh, tapi kayak yang saya bilang tadi. Kasih tau saya keadaan kamu. Intinya, kalau kamu ngerasa kamu dalam bahaya atau kamu butuh saya, tolong langsung telpon saya.”

“Wow, Minjeong ngapain kamu sih kemarin di Paris?”

“Ngajak saya ke gereja.”

Seungwan tertawa kencang, “Serius? Minjeong?”

“Iya, awalnya dia minta buat foto di pohon natal yang tinggi. Terus kami sekalian ke gereja pas sore sebelum malam natal.”

“Joohyun…”

“Iya?”

“Aku boleh minta sesuatu dari kamu? Kali ini aku bukan minta jarak, tapi aku minta waktu kamu dan kesabaran kamu. Well, aku mau minta maaf juga karena aku selalu ngerepotin kamu.”

“Tanpa kamu minta pun, bukannya saya selama ini udah kasih kamu itu? Apa itu kurang? Ini saya beneran tanya, karena kalau kurang saya akan berusaha lebih untuk memenuhi permintaan kamu.”

Seungwan menggeleng, “Nope, nggak kurang. But I want to remind you again.”

“Okay, thank you for that but actually you need to remind me about lots of things, by the way. This is one of them.”

Joohyun menarik tubuh Seungwan untuk kembali mendekat kepadanya. Kali ini tangan Joohyun menangkup sisi wajah Seungwan dan kemudian ia mencium bibir Seungwan dengan perlahan. Berusaha untuk memberitahukan betapa rindunya ia pada sosok tunangannya itu.

”One step at a time, Seungwan. We will get there.”

Amoureux de…(Seungwan) part 5-1

Seungwan menghentakkan kakinya pelan sembari memandangi lampu indikator penunjuk lantai. Terdapat perasaan yang tidak bisa ia gambarkan saat ini. Seungwan benar-benar tidak tahu bagaimana ia harus mendeskripsikan apa yang ia rasakan sekarang.

Mungkin jika ia boleh membandingkan, jauh lebih mendebarkan dibandingkan saat ia berdiri dibalik tirai sebelum ia ‘beraksi’ di atas panggung.

Seungwan melirik sejenak ke arah layar ponselnya.

Pukul 23.00.

Hari itu ia sengaja mengulur-ulur keputusannya.

Seungwan memilih untuk menyelesaikan kewajiban-kewajibannya yang tertunda seperti jadwal latihan vocalnya, jadwal latihan dance, bahkan setelah ia selesai pun, hari itu Seungwan memilih untuk mengurung dirinya di studio musik yang kosong yang terdapat di gedung agensinya karena hari ini ia tidak memiliki jadwal siaran langsung di radio.

Sang solois baru menginjakkan kakinya di kediaman keluarga Do setelah matahari terbenam, itu pun karena Mamanya yang sudah menelpon ponselnya beberapa kali.

Bahkan keputusannya untuk akhirnya pulang pun merupakan dorongan dari Mamanya yang sudah terlampau cerewet padanya. Namun Seungwan bersyukur atas hal itu, karena sesungguhnya ia memang merasakan kebimbangan dan membutuhkan dorongan untuk mengambil satu langkah tersebut.

Lift yang ia tumpangi berdenting dan berhenti tepat di lantai dimana hunian yang selama ini ia tempati berada.

Seungwan menarik napasnya panjang.

Sudah cukup lama juga ia tidak menginjakkan kakinya disini.

Tanpa ia sadari, tubuhnya sudah bergerak secara otomatis, membawanya ke unit apartemen miliknya.

Lagi-lagi ia merasakan kebimbangan tersebut, Seungwan terdiam mematung tepat di depan pintu unit apartemennya.

Apakah hari ini adalah hari yang tepat?

Pertanyaan itu terus muncul sejak ia memulai aktivitasnya hari ini.

Lamunan Seungwan terpecah saat suara notifikasi ponselnya mengejutkan dirinya.

Mama: Kamu sudah sampai ya? Tadi supir mama laporan katanya sudah sampai di apartemen kamu.

Mama: Salam untuk Joohyun ya sayang. Kalau sempet, kalian mampir sini ya temenin Mama.

Mama: Inget ya sayang, pintu rumah mama selalu terbuka buat kamu dan buat Joohyun. Jadi jangan pernah ngerasa kalau kamu ninggalin mama.

Seulas senyuman terpampang di wajah Seungwan. Ia memilih untuk membalas pesan singkat dari Mamanya tersebut dan menarik napasnya sekali lagi sebelum ia memasukkan password unit apartemennya.

Hal pertama yang menyapanya adalah keadaan sunyi senyap. Maklum, ia pun sebenarnya tidak berharap akan menemukan apartemennya dalam kondisi ramai mengingat Joohyun hanya seorang diri tinggal disana dan mengingat sifat dari Joohyun yang cukup pendiam.

Lagi-lagi ia tersenyum saat melihat Joohyun telah sedikit mengubah tampilan apartemen mereka.

Seungwan menemukan satu bingkai foto kecil yang terpampang di atas meja kecil yang terletak di lorong pintu masuk, tempat dimana biasanya para tamu duduk di kursi yang tersedia untuk sekadar melepas atau menggunakan sepatu mereka.

Foto yang terpampang adalah foto dirinya dan seekor anjing putih yang mereka temui di pantai yang terletak tidak jauh dari beach house milik Joohyun.

Seungwan meletakkan bingkai tersebut dan melepaskan sepatunya secara asal. Biar saja apartemennya sedikit berantakan malam itu, besok pagi akan ia benahi.

Sang pemilik apartemen melangkah lebih jauh memasuki rumah-nya.

Sebuah kerutan nampak di dahi Seungwan, ia terkejut mendapati lampu ruang tengah tidak menyala redup seperti kebiasaan yang selalu Joohyun lakukan dulu. Sang pemilik apartemen kemudian menyadari bahwa ia mendengar suara sayup-sayup dari ruang makan.

“Saya kok belum puas ya sama laporan dari timnya Pak Aloysius.” ujar Joohyun.

”Kemarin udah dimintain revisi kan Kak? Yang aku kasih ini revisiannya.”

Seungwan menggelengkan kepalanya. Sepertinya Joohyun masih bekerja malam itu.

“Iya, ini notes yang saya kasih sudah beberapa mereka revisi. Tapi kayak masih ada yang mengganjal aja di saya.”

”Kemarin Kak Jennie nyaranin buat pakai pihak ketiga kalau emang Kakak masih ragu. Mau nyoba itu aja?”

“Menurut kamu gimana, Minjeong?”

”Uhm, tapi waktu kita sempit banget sih kak. Apa keburu ya? Unless, Kakak udah punya saran kantor hukum yang bisa jadi rekomendasi.”

“Ada sih. Coba saya chat dulu teman saya itu ya. Sementara itu, tolong kamu kosongin jadwal saya habis makan siang.”

”Okay kak, on it.”

“By the way Minjeong, saya lapar. Kamu ada saran nggak ya saya enaknya makan apa?”

”Hah?! Kak?! Ini udah jam segini dan belum makan? Wah parah sih.”

“Gak usah cerewet, saya minta saran menu.”

”Uhm, kalo jam segini paling ayam bumbu rasa-rasa gitu kali ya? Ayam fast food?”

“Joohyun nggak bisa makan ayam.” potong Seungwan singkat.

Kini sang pemilik apartemen sudah berdiri tak jauh dari meja makan tempat Joohyun sedang mengerjakan pekerjaannya. Ia dapat melihat bahwa Joohyun sedang sibuk dengan layar laptopnya sementara tablet miliknya ada di sebelah kiri Joohyun dan menampilkan tampilan zoom dengan nama Minjeong yang terpampang besar disana.

“Iya saya nggak bisa makan ayam.” sahut Joohyun.

”Oh iya, lupa kalo kakak nggak makan ayam.” ujar Minjeong membenarkan.

Sebuah keheningan tercipta sejenak sebelum Joohyun secepat kilat menoleh ke arah datangnya suara. Sementara itu Minjeong berteriak kencang saking takutnya ia.

”KAK ITU SUARA SIAPA? KAKAK KAN SENDIRIAN DI APARTEMEN?!”

Namun pekikan Minjeong sama sekali tidak digubris oleh Joohyun yang saat ini sudah terpaku di kursinya. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali, seakan-akan tidak yakin dengan apa yang ia lihat malam itu.

“S-seungwan?”

“Surprise?”

“KAK WENDY?!” pekik Minjeong lagi.

Joohyun menoleh ke arah tabletnya dan menekan tombol leave, membiarkan Minjeong untuk bertanya-tanya sendirian malam ini.

Joohyun tidak ingin diganggu.

“S-seungwan? Kamu….”

Joohyun menggantung kalimatnya, ia tidak tahu kalimat apa yang pantas untuk ia utarakan malam itu. Disatu sisi ia berharap bahwa Seungwan memang sudah pulang hari ini namun disisi lain, ia takut kecewa akan harapannya itu.

Bisa saja malam itu Seungwan hanya mampir bukan?

“Halo, Joohyun.” ujar Seungwan canggung namun ia membentangkan tangannya lebar, mengundang Joohyun untuk masuk dalam pelukannya.

Berbanding terbalik dengan apa yang Seungwan bayangkan, Joohyun justru tetap terduduk di kursi yang ia tempati. Namun perlahan tangannya terangkat dan melepaskan kacamata yang ia pakai dan mengusap kedua matanya dengan punggung tangan.

Melihat hal ini, Seungwan menyadari bahwa Joohyun tengah menahan tangisnya dan cukup terkejut melihat Joohyun bereaksi demikian.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Seungwan berjalan mendekati Joohyun dan memeluk Joohyun sembari mengelus punggung Joohyun pelan dengan wajah Joohyun yang terbenam di perut Seungwan.

“Kok nangis sih? Nggak seneng aku pulang?”

Pulang.

Kata-kata itu justru membuat Joohyun semakin tidak bisa menghentikan tangisnya. Bahu Joohyun yang kemarin ia gunakan untuk menangis, kini bergetar sebagai pertanda bahwa Joohyun berusaha keras untuk menghentikan tangisnya.

“Maaf ya aku pergi kelamaan.” ujar Seungwan yang hanya dibalas oleh Joohyun dengan anggukan.

Seungwan dapat merasakan bahwa Joohyun mengeratkan pelukannya untuk sesaat sebelum perlahan ia melonggarkan pelukan tersebut dan mendongakkan kepalanya.

“W-welcome… h-home...” ujar Joohyun sedikit terisak dengan bibir yang terlihat sedikit cemberut.

“I’m home. Aku tepat janji kan? Aku bakal pulang.”

Joohyun mengangguk.

“Kenapa kamu cemberut sih?”

“Ya kamu kenapa tiba-tiba datengnya? Kan saya kaget!”

“Iya sih, saking kagetnya sampe nangis.” goda Seungwan yang hanya mendapatkan tatapan protes dari Joohyun.

“Gak usah pesen makanan, aku masakin ya?”

Joohyun menggeleng, “Nggak mau. Kamu baru dateng masa udah ninggalin saya lagi buat masak?”

Ucapan Joohyun mengundang reaksi dari Seungwan yang memutar kedua bola matanya malas.

“Jangan berlebihan deh Hyun. Lagian ya, aku mau marah dulu nih kamu kok bisa-bisanya belum makan?! Ini udah jam segini loh?! Kamu tuh cerewet ke aku tapi sama diri sendiri nggak tertib!”

“Iya saya salah, maaf ya?”

Seungwan menatap Joohyun terkejut, “Tumben kamu nggak keras kepala? Biasanya kamu membela diri?”

“Kapok. Nggak mau kayak gitu lagi. Saya tau yang kemaren-kemaren saya salah, saya egois dan nggak mau dengerin kamu.”

“Bagus deh insyaf. Sekarang kamu beresin kerjaan kamu itu dan biarin aku masak.”

“Tapi saya boleh ikut kamu masak ya?”

“Emang kamu tau aku mau masak apa?”

Joohyun menggeleng, “Yang penting saya bisa sama kamu.”

“Haduh lupa banget ini orang satu mulutnya manis. Ya, ya cepet sana kamu beresin dulu kerjaan kamu.”

Sang CEO bertepuk tangan puas, kemudian dengan cepat ia merapikan gawai-gawai yang berserakan di meja makan sembari sesekali melirik ke arah Seungwan.

“Barang kamu mana?”

“Di rumah mama.”

Joohyun yang awalnya gembira, tiba-tiba terdiam dan Seungwan menyadari hal ini.

“Tenang aja, aku beneran pulang kok. Kamu jangan khawatir ya? Besok barangku dianterin sama supir mama. Lagian barangku kan semua ada di rumah kita ini?”