youngkimbaeson

Amoureux de…(Seungwan) part 4-14

Hari itu Joohyun benar-benar menepati janjinya.

Seungwan dibawa untuk mengenal Joohyun “versi muda” oleh sang CEO. Tidak hanya toko alat seni, Joohyun juga membawanya ke kios-kios lokal di sekitar taman tersebut.

Ini adalah kali pertama Seungwan mendapati Joohyun yang sangat cerewet menjelaskan setiap seluk beluk dari daerah tersebut.

Mereka sempat mampir di sebuah toko yang menjual berbagai macam kartu pos dan alat tulis lainnya. Di tempat itu Joohyun memilih untuk singgah sebentar dan membeli kartu ucapan yang ia tulis tangan untuk Seulgi.

Setelahnya Joohyun dan Seungwan hanya keluar-masuk toko yang menurut mereka menarik sembari menunggu lukisan yang mereka buat agar lebih kering dan bisa mereka bawa pulang.

Hari itu Seungwan kembali diingatkan mengapa ia pernah jatuh hati pada Joohyun.

Ia diingatkan kembali pada sosok Joohyun yang sangat perhatian.

Bagaimana Joohyun tanpa perlu ia minta, akan menyodorkan botol air mineral padanya ketika ia mulai merasa haus. Bagaimana Joohyun yang selalu menarik Seungwan agar berjalan di sisi dalam dari trotoar. Bagaimana Joohyun memberikan input kepadanya saat ia bingung memilih kartu ucapan untuk Seulgi, tanpa ia minta.

Seungwan juga diingatkan pada sosok Joohyun yang sabar dan selalu mengalah.

Bagaimana Joohyun dengan telaten mengajarinya untuk melukis. Bagaimana Joohyun hanya tertawa setiap kali Seungwan melayangkan protes karena lukisan mereka tidak memenuhi ekspektasinya. Bagaimana Joohyun dengan sabar mendengarkan omelan Seungwan saat mereka memasuki restoran ini pada saat Seungwan melihat menu-menu makan siang yang terpampang disana.

”Joohyun! Ini semua makanan berat! Aku lagi diet ketat sekarang!”

”Iya sayang, saya tahu. Tapi bukan berarti kamu sampai nggak makan berat dong? Siang ini kita sharing aja ya? Satu menu berdua. Kamu juga gak usah makan satu porsi nasi full, nggak apa-apa asalkan kamu tetap makan berat ya?”

”Nggak bisa Joohyun!”

”Bisa. Harus bisa ya? Saya nggak mau lihat kamu sakit. Sedikit aja ya? Jangan cuma makan buah atau salad aja. Inget kan dulu pas SD diajarin apa? Makan 4 sehat 5 sempurna.”

Kira-kira begitu percakapan yang terjadi dan akhirnya Seungwan luluh juga dengan kesabaran Joohyun. Mereka berdua akhirnya memasuki restoran yang disarankan oleh Joohyun walau dengan keadaan Seungwan yang masih sedikit merajuk.

Joohyun hanya tersenyum dan mencubit pipi Seungwan singkat. Kemudian ia menyuruh Seungwan untuk mencari tempat duduk yang berada di pojok restoran tersebut dan meminta sang solois untuk mencari posisi kursi yang menghadap tembok untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Sementara itu sang CEO mendatangi kasir dan memilih menu makan siang mereka hari itu.

Seungwan meletakkan ponselnya di atas meja ketika Joohyun tiba di meja yang mereka tempati dan menaruh nampan berisikan makan siang yang telah dipesan. Sang CEO memindahkan satu per satu piring ke atas meja dan Seungwan dapat melihat senyum lebar dan kepuasan tersendiri yang terpancar di wajah Joohyun.

“Hari ini kita makan yang murah-murah aja. Saya mau ngenalin ke kamu restoran yang sering banget saya datengin dulu habis ngajar. Restoran ini kayak yang kamu lihat, menunya itu udah standar kayak gitu aja. Dulu tiap sore habis ngajar, saya dan Seulgi selalu ajak anak-anak yang ikut belajar untuk makan disini.” ujar Joohyun menerangkan sembari menaruh piring berisikan lauk di tengah-tengah meja, di antara dirinya dan Seungwan.

“Kamu baik banget ya jadi orang?”

Joohyun menggeleng pelan, sembari tetap fokus menyendok porsi nasi untuk Seungwan dan menaruhnya di piring Seungwan.

“Saya cuma berbagi sedikit dari apa yang bisa saya nikmatin setiap hari. Saya beruntung cuma beruntung aja, Seungwan. Ada orang-orang yang nasibnya nggak seberuntung saya. Kita nggak pernah bisa milih untuk lahir dari keluarga dengan latar belakang tertentu dan saya beruntung lahir dari ayah dan bunda Saya. Saya memilih untuk mengikuti ajaran Ayah dan Bunda untuk selalu berbagi.”

Seungwan terdiam sejenak. Mungkin Joohyun tidak sadar, namun ucapannya barusan cukup membuat Seungwan terhenyak.

“Joohyun…” panggil Seungwan singkat.

“Iya?”

Joohyun masih sibuk menaruh lauk-pauk di piring Seungwan sehingga ia tidak terlalu menyadari perubahan mood yang terjadi pada Seungwan. Namun ketika ia merasakan keheningan di antara mereka terlalu lama berlanjut, ia mendongakkan kepalanya dan cukup terkejut ketika melihat ekspresi wajah Seungwan.

“Kenapa, sayang?”

“Kalau aku benci sama orang tuaku. Aku jahat nggak?”

Joohyun tercekat untuk sesaat. Ia berusaha untuk memikirkan jawaban terbaik yang bisa ia berikan kepada Seungwan.

“Aku tahu buat kamu keluarga itu penting banget, Hyun. Tapi maaf, keluarga aku nggak kayak keluarga kamu.” sambung Seungwan.

Joohyun meraih tangan Seungwan yang terkulai tanpa tenaga di atas meja. Ia menangkupkan kedua tangannya dan mengelus punggung tangan Seungwan dengan hangat.

“Kamu benar kok, buat saya keluarga itu penting banget. Saya selalu punya cita-cita kalau sudah tua nanti bisa lihat anak-anak saya main sama sepupu-sepupunya, ya kayak saya dan sepupu-sepupu saya. Tetapi Seungwan, ada banyak cara buat saya untuk bisa mewujudkan impian itu dan kalau pun ternyata impian itu memang hanya akan berakhir sebatas mimpi, saya nggak masalah.” ujar Joohyun sembari mengeratkan genggamannya.

“Kamu nggak akan bisa dapat itu dari aku, Joohyun. Bahkan aku aja nggak tau yang mana yang bisa aku sebut dengan keluarga.”

“Kamu bisa sebut keluarga saya sebagai keluarga kamu. Kamu bisa sebut keluarga mama kamu sebagai keluarga kamu juga. Intinya, keluarga itu nggak terbatas hanya karena berbagi darah. Gini deh, inget acara charity Perusahaan saya waktu hari donor darah sedunia?”

Seungwan mengangguk.

“Nah, saya kan donor darah hari itu. Apa itu bikin saya jadi otomatis bersaudara sama orang yang dapat transfusi darah saya? Kan nggak.”

Seungwan tertawa kecil, “Analogi kamu agak aneh tapi bisa diterima.”

“Ya, tapi kamu dapat intinya?”

Sebuah anggukan diberikan oleh Seungwan.

“Lagian Seungwan, saya yakin saya masih bisa mewujudkan mimpi saya itu kok. Sepupu-sepupu saya itu, paling minimal punya anak satu lah. Yerim bisa lebih malah, dia suka banget sama anak kecil.” tawa Joohyun.

“Setuju sih. Dia kayak magnet buat anak-anak.”

Joohyun mengangguk setuju, “See? Jadi kamu nggak perlu mikir tentang mimpi saya yang itu terlalu jauh ya? We will get there, someday. Tentang pertanyaan kamu tadi, apakah kamu jahat atau nggak.”

Seungwan menatap mata Joohyun dan ia menemukan bahwa Joohyun sempat menarik napasnya panjang sebelum tersenyum ke arahnya.

“Jangan pernah simpan akar kebencian dalam hati kamu, Seungwan. Kebencian cuma akan menggerogoti sisi baik dari diri kamu. Saya tahu kamu orang yang baik, saya sudah merasakan kebaikan kamu. Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa tanya ke penggemar kamu. Mungkin menurut kamu, kami bias. Tapi sejujurnya, kami sangat peduli sama kamu sampai-sampai kami bisa melihat hal-hal kecil yang nggak bisa kamu lihat.”

Seungwan mengeraskan rahangnya, ia tidak ingin menangis saat itu.

“Jadi saya mau minta sama kamu, stop benci orang tua kamu ya? Jangan pupuk akar kebencian dalam hati kamu betapapun mereka sudah melukai kamu, setidaknya hargai mereka sebagai orang tua kamu. Saya nggak minta kamu untuk langsung memaafkan mereka, saya nggak punya hak untuk itu. Apapun yang kamu rasakan hingga saat ini, itu valid. Nggak ada satupun orang yang tahu bagaimana rasanya jadi Son Seungwan. Saya cuma mau minta kamu untuk stop benci mereka dan stop menghukum diri kamu sendiri atas apa yang nggak kamu lakuin. Lebih baik waktu yang kamu punya digunakan bersama-sama dengan orang yang kamu sayangin daripada kamu habiskan untuk membenci mereka yang sudah melukai kamu.”

Joohyun bangkit dari posisinya dan mengisi bagian kosong dari sofa yang ditempati oleh Seungwan. Ia sengaja merangkul Seungwan karena ia tahu saat ini Seungwan sudah tidak membutuhkan kata-katanya lagi, namun Seungwan membutuhkan bahu yang bisa ia gunakan untuk bersandar dan beristirahat sejenak.

“Kamu nggak pernah sendirian, Seungwan. Kalau kamu lelah, jangan menyerah ya? Ada saya disini. Kamu bisa pakai bahu saya untuk istirahat sejenak. Kamu bisa minta saya untuk peluk kamu dan ngelindungin kamu dari dunia luar untuk sejenak. Saatnya kamu siap nanti pun, saya akan ada disisimu untuk menyemangati kamu dan membantu kamu menjalani hari-harimu.”

Amoureux de…(Seungwan) part 4-9

Joohyun tertawa geli saat melihat ekspresi wajah Seungwan yang terkejut kala sang CEO mengajaknya memasuki sebuah toko yang menjual alat-alat lukis.

“Dulu pas saya SMA, saya sering kesini sama Seulgi. Jennie juga tapi dia nggak sering. Kamu lihat taman tempat tadi saya parkir mobil kan? Di taman itu kalau sore banyak anak-anak yang main, dulu sempat ada program sekolah untuk turun ngajar anak-anak yang kurang mampu. Saya dan Seulgi kebagian ngajar di daerah sini.”

Seungwan mendengarkan penuturan Joohyun dengan saksama sembari mengikuti Joohyun yang berjalan masuk lebih dalam ke toko tersebut.

“Kamu tau nggak kalau Seulgi suka melukis?” tanya Joohyun yang dijawab dengan gelengan kepala.

“Iya sih, kalau kamu tau yang ada saya yang cemburu. Anyway, selain berbagi hobi fotografi, kami berdua juga suka melukis. Saya nggak sejago Seulgi, tentunya. Tapi nggak jelek-jelek amat. Kami berdua suka kesini habis ngajar di saung taman sana.”

“Beli alat lukis? Tapi disini kan jauh dari rumah kalian. Emang nggak susah bawa belanjaannya?”

Joohyun menggaruk tengkuknya, “Uhm, iya sih tapi dulu saya selalu dibantuin sama supirnya ayah. Jadi nggak susah.”

“Lupa banget sih ngomong sama tuan putri.” ujar Seungwan sembari menghela napasnya.

Joohyun hanya tertawa karena ia pun tidak ingin menyangkal ucapan Seungwan.

“Jadi maksud kamu kreatif itu kamu mau beliin Kak Seul alat lukis?”

Joohyun mengangguk mantap, “Seulgi suka banget sama alat-alat yang dijual disini, kata dia lebih dapet feelnya.”

“Aku kirain maksud kamu kreatif tuh ya bikin sesuatu yang handmade gitu” protes Seungwan.

“Oh iya, selain peralatan lukis, disini juga ngasih kursus lukis. Hari ini saya udah booking slot buat kita belajar ngelukis. Kamu sih yang belajar, kalau saya udah bisa. Untuk menjawab sindiran kamu tadi, selain beliin alat lukis, saya juga mau buat lukisan sederhana untuk Seulgi. Memori saya tentang taman tadi dan Seulgi.”

“Hah?!”

Joohyun tertawa kencang.

“Saya udah bilang kan? Hari ini kamu akan saya ajak untuk mengenal Bae Joohyun lebih jauh.”

Joohyun kemudian menyapa sang pemilik toko yang rupanya sudah sangat mengenal Joohyun, terlihat dari gestur tubuh sang pemilik toko dan kekasihnya itu.

“Oh ini?”

Seungwan menaikan alisnya saat mendengar bisikan sang pemilik toko.

“Mas kira kamu itu sama Seulgi. Terjawab deh sekarang rasa penasarannya.”

Ekspresi wajah Seungwan berubah ketika ia kembali mendengar celotehan sang pemilik toko.

“Nggak usah didengerin ya, dia emang orangnya suka ngaco. Saya sama Seulgi nggak pernah ada apa-apa kok.” ujar Joohyun cepat-cepat.

“Ya kalo ada apa-apa, yang ngamuk ke kamu nggak cuma aku aja kok. Ada Sooyoung juga. Oh jangan lupa juga sih, aku punya banyak fans.” jawab Seungwan ketus sembari menaiki tangga ke lantai dua, mengekor di belakang Joohyun.

“Kamu kalau cemburu gini lucu ya? Tapi saya suka kok. Berarti nggak cuma saya yang sayang sama kamu, kamu juga sayang sama saya.”

“Iya kali ya?”

“Kamu kalau malu, lebih lucu lagi.”

Seungwan kini tidak mau menjawab Joohyun lagi, namun ia memilih untuk mencubit pinggang sang CEO dengan kencang.

“Aduh! Oke oke, saya diem.”

“Nah, ini udah Mas siapin sesuai yang kamu minta ya.”

“Joohyun tapi aku gak bisa ngelukis. Ada alasan kenapa aku jadi penyanyi bukan jadi pelukis!” protes Seungwan.

Joohyun hanya tertawa geli. Ia kemudian berjalan mengitari tiap sudut di lantai dua tersebut, memperhatikan kanvas-kanvas yang ada disana.

“Mas, ukuran ini aja deh. Kasian anaknya nanti stress kalo langsung disuruh bikin yang segede gitu.”

“Oh boleh sih. Oh! Sekalian aja kalian bikin couple painting gitu gimana?”

“Huh?” Joohyun menatap ke arah pemilik toko dengan bingung.

“Iya, jadi sekarang tuh lagi jaman gitu. Pasangan yang gambar satu pemandangan tapi dibagi dua sisi. Jadi nanti hasil akhirnya harus di satuin sama pasangan itu untuk dapat gambar yang utuh.”

Joohyun mengangguk paham, ia kemudian menoleh ke arah Seungwan. “Gimana? Kamu mau?”

“Ya kalo boleh milih sih aku nggak mau ngelukis ya. Tapi udah sampe sini juga, yaudah deh gapapa. Tapi kalo jelek jangan godain aku!”

“Mana mungkin digodain sama dia. Dia itu orang paling sabar yang pernah saya temuin, mbak.” celetuk sang pemilik toko.

Seungwan setuju akan hal ini. Joohyun adalah orang paling sabar yang pernah ia temui.

“Yaudah iya deh.”

“Okay kalian mau bikin pemandangan apa? Ada beberapa contoh foto atau gambar yang bisa kalian pakai untuk inspirasi.”

Seungwan menaikkan bahunya, menyerahkan keputusan pada Joohyun.

“Night sky? Langit malam ada nggak?”

Amoureux de…(Seungwan) part 4-6

Pagi itu Seungwan cukup terkejut saat melihat Joohyun sudah berada di lantai satu rumah keluarga Do.

Kekasihnya, jika ia masih pantas menyebut Joohyun demikian, sedang memperhatikan foto-foto yang ada di bingkai-bingkai kecil yang terletak di ruang tamu.

Seungwan tahu alasan Joohyun memperhatikan foto-foto tersebut. Foto-foto yang dilihat oleh Joohyun adalah foto-foto yang sebelumnya tidak ada disana. Mamanya baru saja menata ulang seluruh bingkai foto yang ada di rumah tersebut mulai dari yang kecil tertata di atas meja hingga ukuran besar yang tergantung di dinding rumah.

Sang solois sempat mengigit bibirnya malu saat melihat Joohyun mengambil salah satu bingkai foto dan tertawa kecil ketika menatap foto tersebut. Seungwan tidak tahu foto yang mana yang dilihat oleh Joohyun namun ia tahu deretan foto yang ada disana adalah foto masa kecilnya ketika ia masih bayi.

Tidak ingin melihat reaksi Joohyun lebih lama lagi, karena ia yakin ia akan bertambah malu, Seungwan memilih untuk melihat jam yang tertera di layar ponselnya.

Pukul 09.30 pagi.

Seingatnya ia meminta Joohyun untuk menjemputnya pukul 10, artinya Joohyun tiba lebih awal 30 menit sebelum waktu yang diperjanjikan.

”Untung aja udah siap-siap dari tadi.” batin Seungwan.

“Kenapa cuma di liatin aja? Samperin dong sayang.”

Seungwan terlonjak kaget saat mendengar suara mamanya yang baru saja keluar dari kamar utama, masih dengan gaun tidurnya dan rambut yang diikat tinggi.

“Uhm, nanti aja deh. Lagian janjiannya jam 10.” geleng Seungwan pelan.

“Nggak baik bikin orang nunggu kelamaan, Seungwan.”

Seungwan terdiam saat mendengar ucapan Mamanya. Ia tahu maksud ucapan tersebut hanya ditujukan untuk saat itu, Mamanya menyuruh dirinya untuk segera mendatangi Joohyun dan segera pergi untuk memenuhi tujuan utama mengapa Joohyun pagi ini ada di rumah itu.

Namun entah mengapa, ucapan mamanya sangat menohok hati Seungwan.

Ia tahu ia sudah membuat Joohyun menunggu terlalu lama.

“Ayo turun, daritadi Joohyun udah nunggu kamu di bawah.” ajak Nyonya Do.

“Dari tadi? Emang dia udah dateng dari jam berapa?” tanya Seungwan yang sudah pasrah di dorong oleh Nyonya Do untuk ikut turun ke lantai satu.

“Jam 9 mungkin? Tadi pagi Joohyun udah nemenin Mama sarapan bahkan pagi tadi kami udah diskusi ringan tentang proyek baru dia.”

Seungwan memutar kedua bola matanya.

“Stop talking about business. Otakku nggak nyampe.”

Nyonya Do hanya tertawa ringan. “Iya, mama tau. Makanya mama seneng ada Joohyun, jadi ada yang diajak diskusi.”

“Ya asal mama nggak ajak ngomong politik aja sih. Nggak suka aku.” ujar Seungwan ketus.

Nyonya Do hanya mengelus puncak kepala putrinya. Ia paham alasan Seungwan sangat membenci dunia politik.

“Nggak kok. Joohyun juga nggak minat ke arah sana. See? She is different from your father. Stop membandingkan mereka berdua ya?”

Seungwan hanya terdiam.

Langkah kaki keduanya membuat fokus Joohyun buyar. Ia meletakkan bingkai yang menampilkan wajah Seungwan di masa kecilnya, tebakkan Joohyun foto tersebut diambil sebelum ia mengenal Seungwan.

“Maaf ya nunggu lama, ini anaknya udah siap kalo sekarang.” ujar Nyonya Do pada Joohyun.

“Oh, iya nggak apa-apa ma. Saya yang emang datang terlalu cepat.”

“Tuh, ma!” protes Seungwan pada Nyonya Do.

“Yaudah berangkat sekarang gih. Biar bisa lebih lama perginya.”

Joohyun mengangguk menyetujui ucapan Nyonya Do.

Matanya terpaku pada sosok Seungwan yang berdiri di hadapannya. Seungwan dengan celana jeans berwarna putih, kaos berwarna biru, dan rambutnya yang ia ikat sedikit berantakan serta poninya yang sudah mulai menyentuh alisnya.

“Kenapa?” tanya Seungwan yang tahu bahwa Joohyun sedang mengamati dirinya.

“Nggak, kamu cantik hari ini. Well, selalu cantik. Tapi hari ini saya suka karena kamu pakai pakaian yang memang nyaman buat kamu.” jelas Joohyun yang kemudian berpamitan pada Nyonya Do tanpa menyadari bahwa Seungwan sedikit malu saat mendengar ucapan tadi.

“Hati-hati ya kalian. Nggak usah ke tempat yang terlalu ramai.”

“Iya ma. Hari ini ke tempat yang cuma Joohyun aja yang tau.”

“Ma aku mau diculik?! Boleh nggak jadi pergi aja nggak?”

Nyonya Do tertawa melihat interaksi keduanya.

“Saya pamit ya ma? Nanti Seungwan saya antar ke radio sekalian.”

Seungwan menggelengkan kepalanya, “Gak boleh. Sam bilang aku harus ke radio berangkat sendiri.”

Sempat ada jeda sejenak di antara mereka berdua dan Nyonya Do sengaja untuk tidak ikut campur.

“Saya nggak setuju sama sam, tapi saya paham maksud dia. Kita omongin ini nanti ya?” ujar Joohyun pada Seungwan yang kemudian berjalan ke arah pintu rumah tersebut diikuti oleh Seungwan dan Nyonya Do.

“Mobil kamu baru lagi?” tanya Nyonya Do saat melihat kendaraan yang digunakan oleh Joohyun.

“Nggak ma, ini mobil Seulgi. Sengaja saya pinjam buat hari ini.”

“Oh, bagus deh. Soalnya ada yang udah hapal plat nomor mobil kamu.”

Joohyun mengangguk.

“Ini apa ya? Apa yang Mama dan kamu tahu tapi aku nggak?” celetuk Seungwan.

“Nothing, just precautionary.” ujar Joohyun santai, tangannya sudah membukakan pintu mobil dan mempersilakan Seungwan untuk duduk di kursi penumpang.

Seungwan mendengus kesal, ia tahu pasti ada yang disembunyikan oleh Mamanya dan Joohyun. Ia akan mencoba mencari tahu di lain waktu.

Joohyun berpamitan sekali lagi sebelum ia berlari ke arah kursi pengemudi dan menghidupkan mobil milik Seulgi yang sengaja ia pinjam hari itu.

“Hari ini kita mau kemana?” tanya Seungwan tepat saat mobil mereka keluar dari area pekarangan rumah.

“Rahasia. Kamu tinggal duduk manis aja dan nemenin saya. Hari ini saya mau ajak kamu untuk tahu tempat-tempat menarik yang nggak banyak orang tahu.”

Joohyun menoleh ke arah Seungwan sekilas dan tersenyum.

”A day with your Bae Joohyun.”

Seungwan melengos kesal. Kenapa juga kalimat sederhana seperti itu mampu membuat dirinya senang dan membuatnya berekspektasi tinggi? Sebisa mungkin Seungwan menahan senyuman di wajahnya.

“Kayaknya kamu minta aku buat cari kado buat Kak Seul deh?”

“Iya, kita emang mau cari kado buat Seulgi. Kamu minta saya kreatif kan? Ini saya lagi berusaha kreatif.” tawa Joohyun.

“Terserah kamu deh. Tapi ini by the way mau kemana sih? Nggak ke mall kan?”

Joohyun menggeleng. Ia kemudian mengetukkan jari-jarinya yang sedang memegang kemudi mobil dan bersenandung pelan.

“A whole new world. Hari ini kamu mau saya kenalin ke dunianya Bae Joohyun versi pas dia masih muda dan hari ini cuacanya sangat mendukung. Kayaknya semesta hari ini ada di pihak saya buat ajak kamu senang-senang.” tawa Joohyun lagi.

Déjà vu

Terakhir kali Joohyun mengatakan bahwa ia akan memperkenalkan Seungwan pada tempat baru adalah kali pertama Seungwan jatuh cinta kepadanya.

Memori ini membuat hati Seungwan kali ini pun ikut berdebar tak karuan.

Ekspektasinya pun kian tinggi.

Seungwan memalingkan wajahnya ke arah jendela. Memilih untuk mengamati pemandangan dan langit yang hari ini sangat cerah.

”Kamu selalu nggak sadar bahwa sikap sederhana dan kecil kayak gini yang buat aku jatuh hati sama kamu, Joohyun. Mungkin untuk kali ini aku akan jauh lebih cepat buat jatuh lagi sama kamu, dengan versi aku yang lebih baik.”

HOT TEA, CUTIE (part 20)

Irene masih memperhatikan gadis yang ada di hadapannya dengan saksama. Kalau ia boleh jujur, gadis di hadapannya ini terlihat sangat menarik di mata Irene.

Gadis dengan rambut panjang hitam legam, dagunya yang lancip, tatapan matanya yang tidak bisa Irene gambarkan dengan kata-kata -karena menurut Irene disatu sisi tatapan gadis ini cukup tajam, namun disisi lain kadang ia terlihat seperti anak kucing yang tersesat-.

“Kamu nggak nyaman?” tanya Irene santai.

“Oh, uhm…. N-nggak kok kak hehe”

Yang lebih tua hanya mengangguk sekilas, kemudian meneguk cocktail miliknya yang sudah ia pesan lebih dahulu.

“Gimana masih penasaran?” tanya Irene lagi.

“H-hah?”

“Iya, kamu masih penasaran sama isi tempat ini?”

Karina menggeleng pelan, malu karena sosok orang asing di hadapannya mampu menebak salah satu alasan mengapa ia ada di klub tersebut malam itu.

Irene baru saja hendak membuka mulutnya lagi, namun kali ini seorang waitress yang tiba di meja mereka memotong percakapan antara Irene dan Karina untuk sejenak.

“One hot tea”

“Okay thank you.” ujar Irene singkat yang kemudian menyodorkan cangkir teh tersebut ke arah Karina.

“One hot tea, for the cutea.” goda Irene.

Ucapan Irene sontak membuat Karina ingin mengubur dirinya dalam-dalam. Ia bersyukur malam ini memilih untuk tidak mengikat rambutnya sehingga telinganya tersembunyi di balik rambut panjangnya. Karina sangat yakin saat ini telinganya sudah sangat memerah.

“M-makasih kak…”

Karina terburu-buru untuk meminum tehnya, berharap ia dapat menyembunyikan wajahnya di balik cangkir teh tersebut.

“Yes, sama-sama….wait aku harus manggil kamu apa?”

“Uhh rina for short? Temen-temen aku biasanya manggil kayak gitu.”

“Oh, what a pretty name. Tapi kalau aku mau manggil kamu pakai sebutan yang berbeda gimana? Just to make it different from your friends.”

Karina mengerutkan keningnya dan tanpa sadar bibirnya ikut maju seperti anak kecil yang sedang kebingungan.

”Oh god, what a cute pout there” batin Irene.

“Kar?”

Irene tertawa pelan saat menyadari bahwa ada kemungkinan bahwa gadis di hadapannya ini baru saja memberitahukan nama aslinya pada dirinya. Terlihat dari bagaimana gadis di hadapannya itu berpikir dengan sangat keras.

“Oh so your name is Karina?” pancing Irene.

Karina terbatuk saat mendengar pertanyaan Irene. Ia langsung merutuki dirinya sendiri karena baru saja dengan ceroboh memberikan nama aslinya pada sosok orang asing di hadapannya itu.

Sedangkan sikap Karina ini membuat Irene semakin yakin bahwa gadis di hadapannya secara tidak sengaja memberikan nama aslinya.

”Cute. Bener-bener baru sekali kayak gini rupanya.” batin Irene.

“Salam kenal ya, Karina. Aku Irene.” ujar Irene memperkenalkan dirinya menggunakan nama aslinya.

Irene ingin berlaku adil pada sosok gadis di depannya. Toh, ia pun yakin bahwa Karina bukanlah sosok yang berbahaya bagi dirinya.

Selama kurang lebih satu jam, Irene dan Karina bercakap-cakap ringan. Sebenarnya lebih banyak Irene yang memancing pembicaraan di antara mereka berdua.

Namun setidaknya Irene sudah mendapatkan beberapa info seperti fakta bahwa Karina merupakan mahasiswi semester 6 di salah satu perguruan tinggi negeri di kota tersebut. Lalu fakta bahwa gadis berambut pendek yang datang bersama Karina merupakan dalang dari ‘terdampar’-nya ia malam itu di klub malam tersebut.

“Jadi kamu nggak pernah datang ke tempat kayak gini sebelumnya?” tanya Irene singkat.

Karina menggelengkan kepalanya sembari mengambil kentang goreng yang dipesan oleh Irene.

“Ini semua ide gila temenku yang tadi.”

“Oh, tapi berarti kamu tau ini tempat apa?”

Karina mengangguk pelan, wajahnya memerah.

“Aww, cute. Jangan malu, rin. By the way, kamu bisa nggak jawab pertanyaan selanjutnya kalau kamu nggak mau jawab. Tapi aku penasaran, kamu dan temen kamu tadi, kalian lagi kesulitan finansial?”

Karina buru-buru mengibas-ngibaskan tangannya tanda ia tidak setuju dengan ucapan Irene dan hal ini justru membuat Irene tertawa gemas.

“Nggak! Nggak gitu! Aduh, aku malu banget kalo cerita!!” Karina menyembunyikan wajahnya dengan menangkupkan kedua tangannya untuk menutupi keseluruhan wajah mungilnya itu.

“So, cuma mau cari pengalaman?” tanya Irene lagi, kali ini dengan niat menggoda Karina.

“Bukan juga!! Ah kak, jangan godain aku terus! Mukaku merah nih!” protes Karina.

Tentu saja tawa Irene semakin kencang.

“Okay, okay. Aku nggak akan nanya lebih jauh. Anyway, Karina, makasih ya malam ini kamu udah nemenin aku dan buat aku ketawa kayak gini.”

“Uhm, aku nggak ngapa-ngapain sih kak….” jawab Karina malu.

“Oh no, you did something. Seriously. Kamu aja yang gak sadar kok. Tapi intinya kamu udah buat aku cukup senang malam ini. It’s nice to meet you, Karina.”

“A-aku juga seneng ketemu orang baik kayak kakak. Uh, can I do something else to repay your kindness tonight?”

Irene terbatuk mendengar pertanyaan Karina, gadis di hadapannya ini benar-benar polos.

“Saran dari aku, kamu kalau ke tempat kayak gini hati-hati ya. Kamu itu cantik banget, Karina. There are lots of people out there who want you. Percaya sama aku. Tapi sayangnya kamu masih terlalu polos.”

Karina mengernyitkan keningnya, ia tidak suka jika dianggap seperti anak kecil “Aku nggak polos! Aku tau banyak juga kok!”

“Yeah, yeah. Karina yang tahu banyak.” tawa Irene, kali ini ia sedikit maju dari posisi duduknya dan mengacak-acak rambut Karina.

“Anyway, aku harus pulang sekarang. Well, sebenarnya ini rahasia, tapi kakakku malam ini pulang dari luar negeri.”

“Oh, kakak harus acting like a good girl!” kali ini Karina berusaha untuk menggoda Irene.

“You can say that. So, see you later? Oh iya, kalau kamu mau balas kebaikanku malam ini, kamu bisa kasih aku satu pelukan perpisahan.”

Karina menggigit bibir bawahnya sejenak, mempertimbangkan permintaan sosok orang asing yang bahkan ia tidak begitu yakin benar-benar bernama Irene.

Namun setelah ia pikir-pikir, tidak ada ruginya juga jika memberikan satu pelukan bagi Irene. Mungkin harinya sedang buruk dan sebuah pelukan bisa membuat harimu lebih cerah bukan?

Akhirnya Karina mengangguk dan berdiri dari posisinya.

“See you kak. Makasih udah traktir aku malam ini.” ujar Karina yang membentangkan tangannya, menunggu Irene untuk memeluknya.

Tentu saja Irene tersenyum dan balas memeluk Karina.

“My tea has never tasted like this before, Karina.” ujar Irene lagi-lagi dengan senyumannya yang mampu membuat Karina merasa salah tingkah.

“Oh, uh…. I-iya….”

“Ini nomor handphone aku, text me if you need anything okay?” bisik Irene di telinga Karina dan menyelipkan tisu makan ke tangan Karina.

Saking terfokusnya Karina pada sosok Irene yang tengah menginvasi ruang pribadinya, Karina sama sekali tidak menyadari bahwa Irene memasukkan hal lain ke dalam sling bag yang Karina kenakan malam itu.

HOT TEA, CUTIE (part 14)

Irene Side

Sesuai dengan kesepakatan, Wendy tiba di Club Paradise tepat pukul 20.30. Ia langsung menuju ke meja tempat favorite Irene ketika ia mengunjungi klub malam tersebut.

Ia harus menahan tawanya saat melihat Irene sudah berada di meja yang terletak di dekat kaca jendela, tidak terlalu jauh dari bar tempat memesan minuman.

“Wendy is here!” sapa Wendy dengan heboh.

Irene hanya memutar bola matanya ketika mendapati tingkah aneh dari sahabatnya itu.

“Terserah pesen apa, on me.”

“Whoa, lagi badmood beneran?” tanya Wendy yang tidak dibalas oleh Irene sama sekali.

Sang wanita berambut sebahu itu kembali tertawa kecil namun kali ini sembari membolak-balik buku menu yang ada di atas meja.

“Gue kayaknya nggak minum malem ini.”

Ucapan Wendy menarik perhatian Irene karena sangat jarang Wendy menolak traktiran seperti sekarang ini.

“Misi gue malam ini adalah membantu lo mencari degem baru.” tawa Wendy.

“Apaan sih?”

“Halah sok nggak paham. Lo baru putus kan sama degem lo yang kemaren? Siapa itu namanya? Gue lupa.”

“Nggak putus kalo emang dari awal nggak jadian.”

“Okay fair enough.” tawa Wendy. Kali ini ia mengangkat tangan kanannya untuk menarik perhatian waiter.

“Tapi ya, gue penasaran deh. Apa motivasi lo cari sugar baby kalo lo juga gak pernah ngapa-ngapain sama mereka?”

“Sedekah.”

Wendy terbatuk kencang setelah ia mendengar jawaban Irene.

“Sedekah mah ke panti asuhan! Bukan nyari sugar baby! Tapi serius sih, lo selama ini kalo dapet degem gitu ngapain aja?”

“Yang jelas nggak sampe kayak lo ya Wendy.”

Wendy lagi-lagi tertawa, “So, how far? Cuddle?”

Irene mengangkat bahunya.

“Tuh, lo kalo emang cuma buang-buang uang mending sumbangin ke panti asuhan atau yayasan deh.”

“Gausah bawel deh. Kalo itu gue udah but this is different. At least I can buy someone’s time to accompany me in exchange for some money. Lagian lo tau kan gue selalu cari yang anak kuliahan ya biar bantu kebutuhan mereka juga.”

“Terserah apa kata lo deh, yang jelas malem ini gue nemenin lo buat cari degem baru.”

Irene memutar kedua bola matanya. Ia kembali mengamati isi klub malam tersebut, mencari ‘mangsa’ baru.

Sudah hampir satu jam ia tiba disana dan Irene masih belum menemukan sosok yang tepat baginya. Sebenarnya selama ini pun ia hanya mengandalkan instingnya untuk memilih sosok gadis-gadis muda yang bisa ia ajak untuk ‘berkencan’. Namun sejak sugar baby-nya yang terakhir, harus Irene akui ia menjadi lebih selektif.

Kendati ia tahu para sugar baby tersebut hanya memanfaatkan dirinya dan menginginkan uangnya, namun setidaknya Irene selalu mencari sosok yang bisa ia ajak berbicara dan sedikit berbagi tentang kehidupannya.

Ia tidak ingin mengulang kejadian yang sama dimana sugar baby-nya yang terakhir adalah sosok yang benar-benar ia benci dalam kehidupan sehari-hari. Tipe-tipe manusia yang tidak menghargai manusia lainnya. Tipe manusia yang hanya cantik parasnya namun tidak memiliki hati yang cantik pula.

“Rene, arah jam sembilan lo. Cakep tuh.” ujar Wendy membuyarkan pikiran Irene.

Yang lebih tua memilih untuk sedikit menoleh ke arah yang dimaksud oleh Wendy. Namun dengan cepat ia menggelengkan kepalanya.

“Looks like a headache to me.”

Wendy kembali tertawa, “Agree. Clingy type. Definitely not yours.”

Irene menghela napasnya kemudian ia merogoh hand bag yang ia bawa, hendak mencari ponselnya.

“Damn!”

Wendy yang awalnya sedang memperhatikan isi klub malam tersebut, kini menatap ke arah Irene penuh tanya.

“Kenapa?”

“Handphone gue ketinggalan di mobil. Lo tunggu sini deh. Gue ke parkiran dulu.”


Karina Side

Entah apa yang ada di benaknya pagi tadi namun kini Karina dan Minjeong sudah berada di kawasan yang terkenal akan deretan klub malam VVIP di kota mereka.

Minjeong yang sudah terbiasa datang kesana terlihat jauh lebih rileks, bahkan ia terlihat terlalu bersemangat. Sangat kontras dengan Karina yang terlihat penuh keraguan.

“Jeong, kayaknya gue balik deh.” bisik Karina.

“Lah? Udah sampe sini kita?”

Karina tersenyum simpul ke arah Minjeong. Dalam hatinya ia merutuki keputusannya siang tadi yang dengan sangat impulsif mengirimkan chat kepada Minjeong untuk mengantarnya ke tempat dimana ia bisa menemukan banyak sugar mommy.

“Balik aja deh gue. Sorry banget ya Jeong? Gue tiba-tiba takut.”

Minjeong mengangguk paham. “Kalo gini gimana, kita masuk dulu aja ke dalem terus liat-liat keadaan aja? Sayang aja gitu, Rin. Kita udah sampe sini. At least, gue tunjukin dulu tempatnya ke lo. Sumpah gue gak akan ninggalin lo sendirian.”

Karina terdiam untuk sejenak. Ia mempertimbangkan ucapan sahabatnya itu dan tanpa ia sadari, Karina menggigit bibir bagian bawahnya tanda bahwa ia saat ini sedang bimbang.

“Oke deh… Tapi beneran ya kita cuma liat-liat aja?”

Minjeong mengacungkan ibu jarinya pertanda ia menyetujui ucapan Karina dan berjanji bahwa malam itu mereka hanya sekadar melihat-lihat keadaan.

Sang gadis berambut pendek kemudian melepaskan seat-belt yang ia gunakan. Kemudian merapikan rambutnya sejenak sembari melihat pantulan dirinya dari kaca spion sebelum ia turun dari mobil milik kakaknya yang malam itu ia pinjam.

“Let’s go Rin!” ajak Minjeong yang sudah turun dari mobil lebih dahulu.

Karina memejamkan matanya dan menarik napasnya panjang.

”Tenang Karina. Malam ini lo cuma hangout aja sama Minjeong, nggak lebih.” batin Karina.

Karina meneguk ludahnya saat ia sadar bahwa di parkiran tersebut terpampang mobil-mobil mewah kelas atas. Melihat sikap temannya, Minjeong tertawa kecil.

“Gue nggak harus ngejelasin ke lo lagi kan tempat ini bau duitnya kayak gimana?” tawa Minjeong.

“Gue kira ini showroom mobil.”

“Well, saran pertama dari gue. Lo kalo kesini mending naik taksi aja. Kendaraan butut kita alias motor, nggak bakal diterima. Itu alasan gue kenapa malem ini gue pinjem mobil kakak gue.” jelas Minjeong.

Karina mengangguk paham.

Kedua gadis itu kemudian berjalan ke arah pintu masuk yang telah dijaga dengan ketat oleh beberapa petugas keamanan berbadan kekar.

Tentu saja, setibanya mereka disana, Karina dan Minjeong langsung dihadang oleh petugas keamanan tersebut.

“Reservasi atas nama?”

Minjeong mengerutkan keningnya. Selama ini ia tidak perlu reservasi untuk bisa masuk ke dalam klub tersebut.

“Emang sekarang wajib reservasi? Kemaren-kemaren saya kesini nggak perlu reservasi tuh.”

“Ketentuan baru.”

“Kali ini aja deh pak, biarin saya dan temen saya masuk. Kami berdua udah jauh-jauh sampe sini loh pak.”

“Tidak bisa. Kecuali kalian berdua pelanggan VVIP klub ini. Cuma pelanggan VVIP yang bisa datang tanpa butuh reservasi.” jelas petugas keamanan tersebut.

“Ayolah pak, sekali aja ya pak. Please?” tawar Minjeong lagi.

“Tidak bisa. Lebih baik adik-adik ini sekarang pergi dan cari klub lain.”

“Tapi pak, yang saya cari tuh ada di dalem!”

Sang petugas keamanan tetap diam tidak bergeming.

“Kalau kalian memaksa, kami akan usir secara paksa.” ancam petugas keamanan lainnya.

Melihat situasi mungkin menjadi heboh, Karina menarik ujung sweatshirt navy blue yang dikenakan oleh Minjeong.

“Udah deh Jeong, bukan rejeki gue buat masuk ke dalem.” bisik Karina.

“Ya elah Rin! Ini tuh gue yakin kita gak bisa masuk bukan karena belom reservasi, tapi karena penampilan kita malem ini yang kurang meyakinkan! Orang biasanya gue gak pake reservasi!” desis Minjeong.

Karina tertawa kecil mendengar omelan sahabatnya itu.

“Gue jadi penasaran lo biasanya dandan kayak apa kesini.”

Si gadis yang lebih pendek hanya memutar kedua bola matanya malas. Ia tahu Karina sedang menggoda dirinya.

“Pak, malem ini aja deh pak. Biarin saya dan temen saya masuk. Seriusan besok-besok kita berdua reservasi dulu.” tawar Minjeong sekali lagi.

“Tidak bisa ya tidak bisa!”

Karina mengambil satu langkah mundur secara refleks saat ia dibentak oleh salah seorang petugas keamanan dan hal ini membuat Minjeong geram karena ia tahu sahabatnya itu merupakan sosok yang sangat halus dan mudah terkejut.

Tepat disaat Minjeong hendak melayangkan protesnya, terdapat suara seorang wanita yang telah lebih dahulu memotong pembicaraan yang tengah memanas tersebut.

“Ada apa ini ribut-ribut?”

Minjeong dan Karina sama-sama menoleh ke arah datangnya suara. Seorang wanita yang mereka yakini berumur lebih tua dari mereka berdua dengan balutan busana serba berwarna pink dan baret beludru berwarna pink tengah berdiri tak jauh dari mereka berdua.

Melihat wanita tersebut meminta penjelasan dan entah mengapa Minjeong merasa bahwa wanita tersebut dapat diandalkan olehnya saat itu, ia langsung mengadukan keluhannya tanpa basa-basi.

“Ini masa katanya aku dan temenku harus reservasi dulu buat masuk? Biasanya aku nggak pernah reservasi!” protes Minjeong.

“Seberapa sering kamu kesini?” tanya wanita itu lagi.

Minjeong mengerutkan keningnya, “Berapa ya? Cuma sering kok! Aku selalu kesini sama kak Seul-...”

Minjeong langsung menghentikan ucapannya saat ia hampir saja kelepasan menyebut nama orang yang sama sekali tidak relevan untuk ia sebutkan saat ini.

Namun demikian hal itu justru menarik perhatian Irene.

“Seul?”

“Uhm, itu ya gitu pokoknya.” ujar Minjeong berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia tidak ingin Karina mendengarkan nama sugar mommy-nya karena selama ini pun Minjeong selalu menyimpan rapat-rapat nama dari deretan sugar mommy yang telah ia koleksi.

“Well, I don’t know if this Seul is the same Seul that we know but….” Irene menghentikan ucapannya sejenak, sengaja menggantung kalimatnya sembari menatap kedua gadis yang ada di hadapannya ini dari ujung kaki hingga ujung kepala dan berusaha menahan tawanya.

Si gadis berambut pendek dengan matanya yang berapi-api dan si gadis yang lebih tinggi dengan balutan busana serba hitam dengan tatapan malu-malunya.

“Biarin mereka masuk, mereka sama saya.” ujar Irene pada petugas keamanan dengan nada yang datar dan tatapan yang tak kalah menakutkan.

Mendengar kalimat tersebut, Minjeong tersenyum penuh kemenangan dan sedikit memberikan gestur provokatif kepada petugas keamanan yang tadi sempat membentak mereka.

Irene berjalan lebih dahulu di depan Minjeong dan Karina. Ia tidak banyak pikir tentang apa alasan dua gadis tersebut datang ke klub tersebut karena menurutnya hal itu bukanlah urusannya.

Toh, ia pun dulu pernah datang ke tempat-tempat seperti ini saat umurnya masih terbilang sangat muda seperti dua gadis ini.

Wendy yang sedang mengamati isi klub tersebut menaikkan alisnya saat melihat Irene kembali dengan dua gadis yang mengekor di belakangnya. Seingatnya tadi Irene hanya ingin mengambil ponselnya yang tertinggal, mengapa sekarang ia justru kembali dengan dua gadis?

Ia memberikan tatapan penuh arti pada Irene yang tentu saja dibalas dengan malas oleh Irene. Namun ia mengerti mengapa Wendy memberikan tatapan seperti itu padanya.

Dua gadis tadi masih mengekor dengan setia di belakangnya.

“Oh, kalian gak perlu ngikutin aku by the way.” ujar Irene.

“Ooh, iya. Ini aku sama temenku cuma belum tau mau duduk dimana.” jawab Minjeong dengan santai.

“Tapi kalau kalian mau join aku dan temanku disana, aku juga nggak ngelarang.”

Selepas Irene bersuara, ia langsung merasa kebingungan dengan dirinya sendiri.

Malam ini ia hanya ingin melepas penatnya bukan mencari sugar baby baru seperti apa yang Wendy bilang. Ia benar-benar hanya ingin menikmati waktunya seorang diri, ditemani oleh Wendy. Namun mengapa ia justru memberikan ajakan pada dua gadis ini untuk bergabung dengannya?

Irene mengangkat bahunya sebagai bentuk jawaban pada dirinya sendiri atas pertanyaan tadi. Ia pun memilih kembali ke mejanya untuk meladeni tatapan penuh arti yang diberikan oleh sahabatnya itu.

Lain hal dengan Irene, Minjeong merasa mendapatkan jackpot saat mendengar ajakan tersebut dan ia langsung menyikut Karina pelan.

“That’s a really one in your lifetime invitation.” bisik Minjeong.

“Kan tadi gue bilang apa!” desis Karina yang mengingatkan pada janji mereka malam ini bahwa Karina sudah mengundurkan diri dari maksud awalnya datang ke klub tersebut.

“Yaudah sih, just let it flow.” balas Minjeong yang kini sudah menarik Karina agar berjalan mengikutinya ke arah meja yang telah ditempati wanita yang tadi sudah membantu mereka.

Sementara itu, Irene yang sudah lebih dulu tiba di mejanya memilih untuk berpindah tempat duduk dan menempati sisi yang kosong tepat di sebelah Wendy.

“Uhm, permisi. Aku sama temenku boleh gabung disini?” tanya Minjeong dengan senyuman paling menawan yang bisa ia berikan.

Sementara itu Karina cukup shock dengan perubahan suara dan gestur yang Minjeong tunjukkan. Biasanya temannya tidak pernah bertingkah imut seperti ini.

“Sure, bisa duduk disitu.” ujar Irene yang menunjuk dua tempat yang kosong tepat di hadapannya.

Wendy menahan senyumnya saat ia melihat bagaimana sahabatnya berlagak seakan-akan tidak peduli padahal ia tahu betul bahwa saat ini Irene sedang memperhatikan dua gadis di hadapan mereka dengan saksama.

Minjeong memilih untuk duduk tepat di hadapan Wendy sehingga Karina mau tidak mau harus duduk di hadapan Irene. Jujur saja bagi Karina, tatapan orang asing di depannya itu benar-benar membuat hatinya berdebar.

Ia merasa kecil, takut, dan…..malu?

“Kalian masih kuliah?” tanya Wendy.

“Iya hehe.”

“Sekampus?” tanya Wendy lagi.

Lagi-lagi Minjeong yang menjawab pertanyaan dengan anggukan bersemangat.

Irene tersenyum ke arah Karina, kemudian ia menoleh pada Minjeong. “Temen kamu pemalu ya?”

Merasa dirinya sedang disindir, Karina langsung membuat tanda silang tepat di depan dadanya sebagai bentuk jawaban.

“N-nggak! A-aku cuma gak tau mau ngomong apa aja kak.”

Mata Karina membulat saat ia menyadari bahwa ia sudah dengan seenaknya memanggil dua wanita di hadapannya dengan sebutan kakak.

Irene tertawa kecil melihat sosok gadis di depannya yang tiba-tiba terlihat panik, “It’s okay. Kak juga nggak apa-apa.”

“Well, asal jangan grandma. Nanti dia pasti marah.” goda Wendy yang langsung mendapat satu pukulan kencang di tulang rusuknya.

“Ugh….. see?” ujar Wendy sembari mengusap bagian yang baru ditinju oleh Irene.

“Kalian mau minum apa? Gak usah mikir harganya, it's on me” potong Irene singkat agar Wendy tidak terlalu banyak berbicara.

“Oh my god!! Thank you kak!”

Minjeong bertepuk tangan singkat sebelum ia kemudian membolak-balikkan buku menu. Sementara itu Karina yang takut mendapatkan tatapan tajam dari sosok yang ada di hadapannya, memilih untuk mengintip buku menu dari bahu Minjeong.

Ia harus berpura-pura sibuk.

“Uhm, aku udah tau mau pesen apa! Ini boleh?” tanya Minjeong yang menunjuk Daiquiri.

“Ooh I see someone is an expert.” goda Wendy yang melihat Minjeong mampu menemukan minuman pilihannya dalam waktu singkat.

“A bit?” balas Minjeong yang mengangkat ibu jari dan telunjuknya.

“Sure, kalau kamu mau minum apa?” tanya Irene pada Karina.

“Uhm…aku….teh aja ada nggak?”

Ucapan Karina sontak mendatangkan tawa dari mulut Wendy. Sementara itu Minjeong mengusap wajahnya malu.

Namun berbeda dengan Wendy dan Minjeong, Irene justru menganggap pilihan Karina sangat unik dan menggemaskan.

”Such a pure baby” batin Irene.

“Sure, kita tanya mereka nyediain teh atau nggak ya.” ujar Irene yang tersenyum kecil ke arah Karina.

Gestur sederhana tersebut rupanya mampu membuat wajah Karina memanas. Ia dapat merasakan pipinya memerah dan ia yakin bahwa saat ini telinganya pun sudah memerah.

”I am doomed tonight” batin Karina.

cw // sedikit NSFW, kissing, implied sex scene


Love and Leashes (Part 158)

Joohyun kembali mendongakan kepalanya saat ia mendengar suara pintu lift yang terbuka. Namun seperti yang sudah-sudah, ia kembali harus menunggu lebih lama ketika mendapati bahwa sosok yang keluar dari pintu lift bukanlah Seungwan.

Sore tadi ia memilih untuk tetap berada di kantor hingga larut malam. Ia memilih untuk menyelesaikan seluruh pekerjaannya hari itu juga agar ia tidak terlalu banyak memikirkan tentang dirinya dan Seungwan. Namun pesan masuk dari Seulgi telah membuyarkan semua rencananya.

Chat tersebut membuatnya merasa ketakutan karena kini ia tahu persis siapa dalang dari semua kekacauan yang harus ia lalui pagi tadi. Hal itu pun membuatnya semakin bergidik ngeri karena ia tidak tahu sejauh apa Seulgi telah menguntitnya selama ini.

Alhasil dengan pikiran yang kalut, Joohyun segera merapikan barang-barangnya dan pergi ke satu tempat yang menurutnya cukup aman baginya saat ini.

Sudah hampir dua jam ia duduk tepat di depan unit apartemen milik Seungwan. Kendati ia mengetahui password apartemen tersebut, namun Joohyun tidak ingin lancang memasuki unit apartemen juniornya itu.

Seungwan masih belum pulang hingga detik ini dan hal ini cukup membuat Joohyun khawatir. Selama satu bulan mengenal Seungwan lebih jauh, Joohyun menyadari bahwa juniornya itu merupakan tipe yang lebih senang untuk langsung pulang setelah jam kerja habis.

Namun saat ini sudah hampir pukul sebelas malam dan Joohyun masih belum melihat batang hidung Seungwan sejak pertemuan mereka pagi tadi di ruang kerja milik Taeyeon.

Joohyun kembali merangkul kedua kakinya dan menyembunyikan wajahnya disana sembari berdoa agar Seungwan segera tiba.

Ia kembali mendengar dentingan suara pintu lift, namun kali ini Joohyun sudah lelah menunggu dan ia memilih untuk tidak memeriksa siapa sosok yang baru saja keluar dari lift tersebut. Toh seingat Joohyun, Seungwan pernah bercerita bahwa lantainya dihuni oleh sepuluh tenant dan setidaknya ia baru bertemu dengan 5 orang tenant malam itu.

“J-joohyun?”

Suara Seungwan memantik refleks Joohyun. Dengan cepat ia mendongakkan kepalanya dan betapa terkejutnya Joohyun ketika melihat kondisi Seungwan yang sangat berantakan. Joohyun segera berdiri dan berlari ke arah Seungwan namun ia kembali terkejut ketika Seungwan tiba-tiba bersimpuh di depannya.

“Seungwan, please berdiri….”

Seungwan menggeleng, “Aku minta maaf, aku nggak seharusnya ninggalin kamu kemarin. Aku nggak seharusnya ninggalin kamu tadi pagi. Aku nggak seharusnya ngelakuin semua itu ke kamu.”

“Seungwan, please…”

Joohyun ikut bersimpuh di depan Seungwan dan menangkupkan kedua tangannya di wajah sang junior. Baru kali ini ia melihat Seungwan berlinang air mata. Iris cokelat milik Seungwan yang selama ini terasa hangat dan ada kalanya membakar gairahnya, kini terlihat sangat sedih dan penuh penyesalan.

“I-it’s okay. We are both at fault, Seungwan.”

Seungwan kembali menggeleng pelan. Ia menyentuh kedua tangan Joohyun dan menggenggamnya halus. Seungwan kemudian menyingkap ujung lengan turtleneck yang dikenakan oleh Joohyun.

Rahangnya mengeras ketika ia melihat garis-garis merah tipis di sekitar pergelangan tangan Joohyun.

“Aku dulu pernah berpikir bahwa aku nggak akan sama seperti Seulgi. Bahwa aku nggak akan pernah ninggalin luka buat kamu. But who am I kidding? I did this to you, Joohyun. You should hate me.”

Joohyun menarik tangannya dan melingkarkannya di bahu Seungwan. Menarik juniornya ke dalam pelukan.

“Aku nggak akan pernah bisa benci kamu, Seungwan.”

Sang junior membenamkan wajahnya di ceruk leher Joohyun. Berusaha menghirup aroma tubuh Joohyun sedalam mungkin.

“Kamu harus benci aku. Kamu nggak boleh stay sama orang yang bikin kamu luka. Kamu harus stay sama orang yang bisa bikin kamu nyaman and keeping you safe. Banyak orang di luar sana yang lebih baik daripada aku.”

Joohyun dapat merasakan Seungwan mengeratkan pelukannya dan entah mengapa ia tiba-tiba merasakan ketakutan menjalar dalam dirinya. Pelukan ini seakan-akan seperti sebuah perpisahan baginya.

Pikiran ini membuat Joohyun pun ikut mengeratkan pelukannya. Ia tidak mau kehilangan Seungwan. Joohyun tahu saat ini hubungan mereka sangatlah kacau namun ia ingin meluruskan semua kekacauan itu.

“Jangan tinggalin aku, Seungwan. I hate being lonely and you managed to fill that space in my heart.”

Napas Seungwan tercekat ketika ia mendengar ucapan Joohyun barusan. Seungwan berusaha mengerjapkan matanya beberapa kali, memeriksa apakah ini semua hanya ada dalam angan pikirannya saja.

“J-joohyun?”

Sang submissive melepaskan pelukan mereka dan kembali menangkup wajah Seungwan. Namun kali ini ia terkejut ketika menyadari sebuah luka lebam di pipi Seungwan dan luka sobek tipis di ujung bibir sang dominan.

“Astaga? Kamu luka?”

Seungwan tertawa kecil, “Iya, hostage situation remember?”

Joohyun dengan segera bangkit dari posisinya dan menarik Seungwan untuk ikut berdiri.

“Ayo kita masuk ke apartemen kamu. Kita harus obatin luka kamu sekarang, Seungwan.”

Seungwan tersenyum getir melihat tingkah Joohyun. Harusnya ia yang mengobati Joohyun baik secara fisik maupun mental. Luka yang Seungwan rasakan bahkan hanya secuil dari luka yang ia timbulkan pada diri Joohyun.

Sang dominan kemudian mengekor di belakang sang submissive dan membiarkan Joohyun untuk melakukan apapun yang ia inginkan.

Seungwan duduk dengan manis di kursi meja makan, sembari Joohyun berjalan mondar-mandir di dapur, mengambil handuk dan es batu untuk mengkompres luka di wajah Seungwan.

Déjà-vu

Hanya saja kali ini peran mereka berbanding terbalik.

Saat sang senior sudah selesai dengan persiapannya, ia kemudian kembali ke meja makan dan memilih untuk berdiri diantara kedua kaki Seungwan. Tangan kirinya menengadahkan kepala Seungwan kemudian tangan kanannya ia gunakan untuk mengkompres wajah sang junior.

Dalam jarak yang sangat dekat tersebut, Seungwan memilih untuk memperhatikan tiap lekuk wajah Joohyun. Ia sangat mengagumi setiap keindahan pada diri Joohyun dan detik itu pula ia mengakui pada dirinya sendiri bahwa ia benar-benar telah jatuh pada pesona seniornya itu.

“Sakit nggak?”

“Jangan sedih karena aku.”

Keduanya saling bertukar tatap untuk sejenak ketika menyadari ucapan yang terlontar bersamaan tadi. Seungwan-lah yang pertama kali menyudahinya dengan menggelengkan kepalanya pelan.

“Udah biasa. Ayah selalu main tangan kalau aku messed-up somewhere.”

“I’m s-sorry…” bisik Joohyun.

“Don’t be. Kamu nggak salah apapun, Joohyun. Oh also, kamu nggak usah khawatir ya. I will do anything to keep you in S&E. Kamu nggak akan pergi kemana pun, Joohyun. I know how big your love for this team is.” ujar Seungwan sembari mengelus pinggang Joohyun dengan pelan, sebagai tanda bahwa ia serius dengan ucapannya.

Mata Joohyun memperhatikan wajah Seungwan, tangan kirinya kini menyingkap poni rambut Seungwan yang sedikit menutupi mata sang junior.

“Aku hampir gila kemarin.” bisik Joohyun.

“S-sorry…”

“Yeah, kamu emang harus minta maaf sama aku. Apalagi setelah kamu ninggalin aku gitu aja. Tapi kamu udah minta maaf ke aku berkali-kali dan aku tau kamu tulus. That’s enough, Seungwan. Stop beating yourself.”

Seungwan menggeleng pelan.

“Seungwan, kamu bilang aku harus stay sama orang yang bikin aku nyaman dan keeping me safe. That’s you.”

Joohyun tertawa ketika melihat kedua bola mata Seungwan membulat. Tangan kirinya menyentil dahi Seungwan.

“Silly, kamu nggak ngerasa kalau aku terlampau nyaman sama kamu?”

Seungwan menggeleng.

“As weird as it sounds, karena kita baru bener-bener deket sebulan ini but I like it when I’m with you.”

“I like it when I’m with you too.” senyum Seungwan.

Joohyun kembali menekan kompresnya dan kali ini Seungwan sedikit menahan rasa sakitnya.

“Ini bakalan parah banget sih besok pagi.” ujar Joohyun.

“Yeah, I know. Tapi aku udah pernah ngalamin yang lebih parah dari ini, so this is nothing. Lagipula, perks of being the daughter of the owner of the company, besok aku kerja dari rumah.” tawa Seungwan pelan.

“You shouldn’t laugh when you are hurting, Seungwan.”

Sang junior hanya mengangkat bahunya. Ia kemudian menarik tangan Joohyun dari wajahnya dan menaruh handuk basah tersebut ke dalam baskom. Yang Seungwan lakukan selanjutnya cukup membuat Joohyun salah tingkah.

Seungwan memeluk tubuh Joohyun, ia membenamkan wajahnya di perut sang submissive.

“Anyway, aku tadi hampir mutusin buat pulang ke apartemen kamu. Aku mau minta maaf dan well, aku pengen peluk kamu. Aku harusnya peluk kamu semenjak hari itu, aku harusnya peluk kamu pagi tadi. Tapi aku baru punya keberanian sekarang untuk peluk kamu. Let’s say I am lucky enough karena aku milih buat balik kesini.” ujar Seungwan.

Joohyun membalas pelukan tersebut sembari mengelus kepala Seungwan.

“Glad you know that you should’ve hugged me two days ago and this morning.” tawa Joohyun.

“I love to hug you, you know?”

“I know. Kamu clingy banget everytime we finished having sex.”

Seungwan mengerutkan keningnya. “I called it making love though.”

Joohyun mencubit lengan Seungwan yang melingkari tubuhnya. “Stop saying non-sense.”

“But I do love you! I know that.” ujar Seungwan yang kini telah menengadahkan kepalanya.

“Tadi aja mukanya sedih ngerasa bersalah, sekarang udah balik jadi buaya.”

“Aku bukan buaya! Ini tuh jujur!” protes Seungwan.

Joohyun tertawa, ia kemudian mencium bibir Seungwan sekilas. “I know, I love you too, Seungwan.”

“Really?”

Joohyun mengangguk.

“Yah!” Sang senior memekik terkejut ketika Seungwan tiba-tiba berdiri dari posisinya.

“Let’s continue this in our room.”

“Our room?”

“Yes, our room. What’s mine is yours because you’re mine now and I am yours.”

Lagi-lagi Joohyun tertawa, “Hey! Kita bahkan gak pernah setuju untuk menjalin hubungan yang serius?”

Ucapan Joohyun membuat Seungwan menghentikan langkahnya. Ia kemudian membalikkan badannya dan menghadap Joohyun.

“Can I be your girlfriend?”

“Ooh, cheesy.” goda Joohyun walau sebenarnya dalam hatinya ia merasakan kebahagiaan yang tidak dapat ia gambarkan.

“This is me giving you the option to take me or to dump me. Come on Joohyun!”

Sang senior kembali tertawa, namun tak lupa dilumatnya bibir Seungwan sebagai bentuk jawabannya.

Senyuman mengembang di wajah Seungwan saat Joohyun menyudahi ciuman mereka.

“That’s enough to answer your question?”

“Not really. Not until I fix my mistake.”

Kali ini Seungwan yang lebih dulu menginisiasi ciuman mereka sembari berjalan menuju kamar tidur utama.

Baik Joohyun maupun Seungwan sama-sama tersenyum dan tertawa malam itu. Keduanya sama-sama menyalurkan perasaan mereka melalui sentuhan-sentuhan intim yang saling mereka lakukan satu sama lain.


Malam itu baik Seungwan maupun Joohyun seakan-akan sama-sama tidak ingin terlelap. Mereka hanya ingin menghabiskan waktu bersama satu sama lain.

Setelah mereka selesai memuaskan rasa rindu mereka, Joohyun dan Seungwan memilih untuk berbaring dan melakukan deep talk tentang kehidupan mereka.

Joohyun menceritakan bagaimana ia pertama kali dikenalkan dengan dunia uniknya itu dan bagaimana Taeyeon merupakan satu-satunya orang yang bisa ia andalkan dan sudah ia anggap seperti seorang kakak. Bagaimana ia dulu sempat ditendang dari kantor lamanya karena preferensi uniknya yang diketahui oleh rekan kerjanya. Lalu bagaimana hal tersebut kemudian menjadi awal mula dirinya bertemu dengan Seulgi.

Joohyun juga menceritakan bahwa Taeyeon lah yang kemudian menariknya untuk bekerja di perusahaan milik keluarga Seungwan dan berjanji pada Joohyun bahwa mereka akan saling menjaga satu sama lain. Itu juga alasan mengapa Taeyeon sangat keras kepala membujuk Joohyun untuk menyudahi hubungan tidak sehatnya dengan Seulgi.

“I am sorry you have to go through that, Joohyun.” bisik Seungwan pelan sembari memberikan kecupan di puncak kepala Joohyun.

Joohyun menghela napas panjang. Ia mengeratkan pelukannya di tubuh Seungwan, berusaha merasakan kehangatan yang terpancar dari tubuh Seungwan mengingat keduanya sama-sama tidak menggunakan sehelai benang apapun untuk menutupi tubuh mereka.

“It’s okay. Itu semua udah lewat.” jawab Joohyun yang membalas kecupan Seungwan dengan mengecup dada sang dominan.

“Aku cuma dua bersaudara. As you know, Naeun is my big sister but she never acts like one. Maybe she did but it’s not enough. Naeun selalu playing safe dan hal ini yang buat dia jadi anak kesayangan ayah. Naeun selalu ikut perintah ayah, sedangkan aku lebih suka untuk menentukan hidupku sendiri.”

Joohyun menengadahkan kepalanya, menatap mata Seungwan dengan lekat. Tangannya kemudian membelai pipi Seungwan pelan serta ibu jarinya menyentuh ujung bibir Seungwan. Sang dominan kemudian menahan tangan Joohyun agar tetap menyentuh pipinya.

“Kamu sering kayak gini?”

“Dipukul atau ditampar?”

Joohyun menelan ludahnya. Ia tidak ingin membayangkan apa yang sudah dilakukan oleh orang tua Seungwan pada anak bungsunya itu.

“Aku udah biasa kayak gini, udah dari kecil. Ini belum seberapa Joohyun. Yang buat aku sekalut tadi bukan karena ayah mukul aku, tapi karena aku takut apa yang ayah bisa lakuin ke kamu. Aku juga takut nggak bisa dapet maaf kamu.”

“I already forgive you, Seungwan.”

“Yeah, I know. Tapi aku bakal selamanya mengingat kesalahan aku itu.”

Joohyun memejamkan matanya dan mempererat pelukannya sekali lagi. Ia tahu saat ini Seungwan masih terlampau merasa bersalah sehingga entah berapa kali ia berujar bahwa ia telah memaafkan sang dominan, Seungwan pun akan tetap menghukum dirinya seperti itu.

”We will work on it slowly, okay Seungwan.” batin Joohyun.

“Anyway, orang kantor nggak ada yang tahu masalah ini kan?” bisik Seungwan.

“Aku cuma kepikiran sama kamu.” tambah Seungwan.

Joohyun menggeleng pelan, “Semua beraktivitas seperti biasa. Aku kena skors seminggu, by the way.”

Seungwan sedikit memundurkan posisi tubuhnya untuk menatap wajah Joohyun dan memastikan bahwa seniornya itu tidak bercanda.

“Taeyeon sama Tiffany yang kasih hukuman, bukan kakak kamu. Mereka bilang supaya adil sama hukuman kamu. Wait emang hukuman kamu apa?”

Seungwan meringis, “Well don’t be sad tapi aku bakal di transfer lagi. Next month sih, supaya nggak terlalu mencolok perhatian. Now I need to handle the corporate matters.”

Joohyun mengernyitkan keningnya. “Maksud kamu?”

“Iya aku bakal pindah ke bagian manajemen. Probably under Tiffany or maybe if I’m not lucky ya dibawah Naeun langsung. They will announce my official status too and I hate it. Aku lebih suka kerja sama kalian. Bahkan aku sekarang lebih milih dipindah ke tim Real Estate & Property deh.” gerutu Seungwan.

“I’m sorry….” bisik Joohyun.

Sang submissive mengingat betul bahwa pagi tadi Seungwan telah membelanya di depan kakaknya dan bertaruh bagi dirinya. Ia kini tahu harga apa yang harus Seungwan bayar hanya untuk ‘menyelamatkan’ dirinya.

“Don’t be Joohyun. Ini keputusan aku. It’s okay, lagian sooner or later aku tau aku pun akan ambil alih posisi Naeun. Ayah butuh dia di tempat yang lebih tinggi dan lebih bagus.” ujar Seungwan santai.

“Anyway, aku penasaran siapa yang kirim email. Aku udah minta Mbak Tiffany untuk kirim email itu dan minta untuk dilacak sama orang IT, tapi hasilnya baru keluar besok katanya.”

Seungwan tertawa saat melihat ekspresi terkejut di wajah Joohyun. Ia mengira bahwa Joohyun terkejut karena Seungwan telah melacak sumber email tersebut.

“Jangan kaget. Keluarga aku emang kayak gini, aku dulu pernah skinny dipping pas sekolah di luar negeri. Fotonya pernah hampir kesebar but well ayah bikin semua fotonya lenyap. Ya walaupun habis itu aku babak belur sih, but I kind of berterima kasih karena dia udah usaha segitunya buat jaga nama baik aku.”

“Tetep aja itu nggak membenarkan ayah kamu yang main tangan.” omel Joohyun.

Seungwan kembali mengecup puncak kepala Joohyun. “Iya, aku tau.”

“By the way, Seungwan. Aku tau siapa yang kirim emailnya.” ujar Joohyun. Ia bangkit dari posisinya sejenak dan mengambil ponselnya yang tadi ia letakan di nakas di sebelah ranjang milik Seungwan.

Joohyun kemudian menunjukkan isi percakapannya dengan Seulgi.

“Tapi aku gak tau gimana dia bisa masuk kantor kita.”

Seungwan menarik napasnya dalam. “Well, hari itu kantor rame banget sih emang. Jadi bisa aja security nggak terlalu ngamatin pengunjung luar. Info ini bakal aku kasih tau juga sih ke pengacaraku, let's see nanti bakal gimana. Tapi tuh ya, Mantan kamu psikopat banget. Dia berarti udah ngikutin kamu kemana-mana.”

“Well, that’s also the reason why I came here. Aku tadi lagi lembur di kantor buat nyelesaiin semua kerjaanku but then that text come. Jujur aku takut banget dan satu-satunya yang kepikiran di kepalaku ya cuma kesini.”

“As you should. Kayaknya kamu tinggal sama aku dulu aja disini sampai kita punya cara buat bikin dia pergi dari hidup kamu.”

Seungwan kemudian kembali menarik Joohyun untuk berada dalam pelukannya. “Tinggal sama aku aja ya?”

Tangan Joohyun mencubit perut Seungwan dengan kencang, “Akal-akalan kamu bisa aja!”

“Loh, aku serius ini. Bahaya banget kalau kamu sendirian dan Seulgi juga pasti udah tau apartemen kamu kan? Bahkan mungkin dia tau password apartemen kamu juga.”

Joohyun tertawa saat mendengar ujaran kecemburuan tersebut.

“Passwordnya udah aku ganti. Gak usah cemburu.”

Seungwan hanya memutar kedua bola matanya.

“Iya, aku tinggal disini sama kamu. Tapi cuma sampai keadaan lebih baik aja ya? Aku nggak mau orang kantor nanti mikir yang aneh-aneh tentang kita. Apalagi kamu juga udah mau gantiin kakak kamu kan?”

“Ya kalau mereka mau mikir yang aneh-aneh itu hak mereka sih. Yang penting aku gak tau aja, karena kalau aku tau pasti bakalan aku tindak lanjut.” gerutu Seungwan.

Joohyun beranjak dari posisinya, kini ia berada tepat di atas Seungwan dengan kedua tangannya yang mengurung sang dominan.

“Let’s just make good memories from now on. Termasuk good impression buat orang di sekitar kita. As for your father, aku takut dikit sih but we will think about it later.” tawa Joohyun yang kemudian mengecup bibir Seungwan dalam.

Joohyun mengikis jarak di antara mereka, mencium Seungwan dengan pelan dan perlahan. Tidak lama, ciuman itu semakin dalam dan semakin intim. Keduanya mencoba untuk saling mendominasi dan menyalurkan perasaan mereka.

Seungwan melingkarkan tangannya di pinggang Joohyun sementara sang senior mengurung tubuh Seungwan dan membelai kepala sang dominan sembari memperdalam ciuman mereka.

“I love you.” bisik Seungwan tepat di depan wajah Joohyun.

“I love you too.”

Love and Leashes (part 150)

Setibanya Seungwan di departemen Sport & Entertainment yang kini menaunginya, ia diberikan tatapan penuh arti dari rekan-rekan kerjanya. Sooyoung dan Yerim menatapnya dengan penuh kekecewaan sementara Jisung hanya memberikannya senyuman tipis. Kendati demikian, Seungwan tidak ambil pusing atas sikap mereka.

Seungwan memilih untuk langsung berjalan lurus ke arah meja kerjanya dan menaruh tasnya terlebih dahulu sebelum ia menuju ruangan milik Taeyeon yang berada di lantai 12.

Jika ia boleh jujur, Seungwan sama sekali tidak bisa menebak kemana arah meeting dadakannya itu. Mungkin ia sudah memiliki tebakan, namun Seungwan berharap tebakannya tidaklah tepat.

Ia tidak ingin Taeyeon untuk ikut campur atas hubungannya dengan Joohyun.

Satu tarikan napas panjang Seungwan ambil saat pintu lift terbuka di lantai 12. Hari itu untungnya lantai 12 sedang tidak terlalu ramai, ia enggan bertegur sapa dengan tim manajemen ataupun personil eksekutif lainnya.

Tok! Tok!

Tidak terdapat jawaban dari dalam ruangan, namun Seungwan menganggap hal tersebut sebagai izin untuk memasuki ruangan atasannya tersebut.

Sekali lagi ia tarik napas dalam-dalam, sebelum tangannya mendorong pintu ruang kerja tersebut.

Seungwan cukup terkejut ketika ia mendapati ruangan tersebut telah dihuni oleh beberapa orang.

Namun hanya ada satu sosok yang menjadi pusat perhatiannya pada pagi hari itu.

Joohyun.

Seniornya itu duduk dengan kepala yang sedikit menunduk. Kedua tangannya terletak di atas pahanya dan Seungwan tahu saat ini Joohyun sedang merasa gugup.

Perhatiannya kemudian beralih ke penampilan Joohyun hari itu. Turtleneck berwarna hitam dan Wide-Leg jeans berwarna biru terang. Rambut sang senior diikat rapi, tidak terlalu tinggi.

Hati Seungwan sedikit bergejolak ketika keduanya bertemu pandang. Namun ia berusaha sebisa mungkin untuk tetap menjaga ekspresinya walau jauh dalam hatinya ia sudah merindukan sosok Joohyun yang sudah satu hari lebih tidak ia jumpai.

Fokus Seungwan terpecah kala ia mendengar Tiffany berdeham pelan. Kini Seungwan kembali menyadari bahwa di dalam ruangan itu terdapat Chief Editor, Chief Human Resource, dan Sang Direktur Utama perusahaan media tempatnya bekerja.

Seungwan mengeraskan rahangnya ketika menemui sang Direktur menatapnya dengan tajam.

“Okay sekarang Seungwan sudah disini, kita bisa memulai percakapan dengan serius.” ujar Tiffany membuka percakapan.

Seungwan mengangguk pelan. Ia berjalan menuju satu-satunya kursi yang tersisa baginya.

Ia dipaksa untuk berbagi satu sofa panjang bersama dengan Joohyun, berhadapan langsung dengan Taeyeon dan Tiffany yang mengisi sofa yang berada tepat di seberang Joohyun. Di posisi kanan dari posisi mereka duduk, sudah diisi oleh Son Naeun sang Direktur Utama dan posisi ini membuatnya merasa saat ini ia dan Joohyun sedang dihakimi.

Seungwan sempat berusaha untuk melirik Joohyun sejenak, untuk membantunya memahami situasi saat ini. Ia pun sempat berusaha untuk membaca ekspresi Taeyeon yang duduk tepat di hadapannya. Namun kedua usahanya ini tidak membuahkan hasil apapun.

“Malam tadi pihak manajemen mendapatkan email anonim, dimana dalam email tersebut terdapat file attachment berupa rekaman suara. Pagi ini kita berkumpul disini sebagai tindakan awal sebelum pihak perusahaan akan mengambil tindakan atas peristiwa indisipliner tersebut.” ujar Tiffany lagi.

Seungwan mengerutkan keningnya.

Sedangkan Joohyun mengeratkan genggaman tangannya, meremas celana yang ia gunakan dengan cukup kuat. Dalam hatinya ia berdoa agar ia tidak mengalami kejadian yang sama seperti beberapa tahun lalu.

Sementara itu Seungwan melihat bagaimana wajah Taeyeon merah padam. Seungwan dapat melihat bagaimana sang mentor mengeraskan rahangnya.

“Bisa kah kita nggak usah muter rekaman suaranya? Just…talk normally?” tanya Taeyeon kepada Naeun.

Naeun menggelengkan kepalanya. “Nope, biar berandalan satu ini tau sejauh apa kerusakan yang udah dia buat. Nggak cuma satu kali dia udah dibelain sama kamu, Mbak.”

Joohyun mengernyitkan alisnya, ia cukup bingung dengan percakapan ini. Mengapa Taeyeon dan Naeun, yang notabenenya merupakan pemimpin perusahaan terdengar sangat akrab? Lalu juga terdapat fakta bahwa Naeun baru saja memanggil Seungwan dengan sebutan ‘berandalan’.

“Naeun….please? Ini terakhir kali aku akan bela Seungwan.” tawar Taeyeon satu kali lagi.

Lagi-lagi sang dirut menggelengkan kepalanya. “It’s final. Mbak Tiffany, bisa tolong diputar rekamannya.”

Tiffany menghela napasnya sejenak namun kemudian ia menekan tombol play di gawai yang ia bawa.

”Telat tiga menit dua puluh sembilan detik.”

Terdengar suara seorang wanita menggema di dalam suatu ruangan.

Rahang Seungwan mengeras ketika ia menyadari kira-kira apa isi rekaman tersebut. Sementara itu Joohyun memejamkan matanya dengan erat, rasanya ia ingin menangis. Mengapa akhir-akhir ini ia didatangi oleh kesialan bertubi-tubi?

Taeyeon memijat pelipisnya. Ia sama sekali tidak bisa menatap Seungwan ataupun Joohyun. Terdapat kekecewaan yang mendalam yang ia rasakan pada kedua juniornya itu. Taeyeon pun tahu kali ini ia sama sekali tidak berdaya untuk membantu dua juniornya.

Seluruh penghuni ruangan tersebut terus mendengarkan isi rekaman tersebut. Naeun duduk dengan tenang, dengan kedua kakinya yang bersilangan. Sementara Tiffany memandangi Seungwan dan Joohyun silih berganti.

“I don't fucking care. Aku tahu hari ini kamu sengaja buat aku marah.”

Tak lama kemudian terdengar rintihan kesakitan.

Seungwan menahan napasnya. Baru kali ini ia mendapatkan perspektif sebagai orang ketiga dan hal ini semakin membuat Seungwan takut akan dirinya sendiri. Ia memejamkan matanya saat mengetahui kalimat yang akan ia dengar selanjutnya.

“Hold your moan. Hold your climax until I say so. Remember Bunny, I call the shots.”

“Stop!” sergah Seungwan.

Seungwan menatap Naeun dengan tatapan penuh amarah. Ia merasakan napasnya mulai berderu kencang.

Seungwan tidak ingin mendengarkan lanjutan dari rekaman tersebut karena ia tahu persis bagaimana percakapan yang akan mereka dengar selanjutnya. Ia tidak ingin mendengar nama Joohyun keluar dari mulutnya, ia ingin setidaknya menyelamatkan Joohyun dari rasa malu yang sebentar lagi akan mereka rasakan.

Mendengar bentakan Seungwan, Tiffany hampir menghentikan rekaman tersebut namun Naeun meminta agar rekaman tersebut terus diputar.

“GUE BILANG STOP!!” teriak Seungwan.

Lagi-lagi Tiffany berpikiran untuk menghentikan rekaman tersebut namun kali ini gawai yang ada di tangan Tiffany diambil oleh Naeun.

Sang Direktur Utama menghentikan rekaman tersebut untuk sejenak.

“Melihat reaksi kalian, sepertinya kita sudah dapat jawaban.” ujar Naeun tenang.

“Sesuai peraturan perusahaan, hal ini akan ditindaklanjuti lebih jauh lagi lewat Dewan Disipliner. Besok kalian–....”

“STOP IT NAEUN! APA LAGI YANG LO MAU DARI GUE?!”

Joohyun menolehkan kepalanya saat mendengar Seungwan berbicara seperti demikian kepada sang Direktur Utama.

“Seungwan, kontrol diri kamu sekarang juga. Jangan memperkeruh suasana.” perintah Taeyeon.

“No, stop it! Gue udah ngikutin semua permainan keluarga aneh ini and I am so fucking tired! Lo mau apa lagi dari gue?!” tantang Seungwan.

Naeun hanya tersenyum kecil. “As always, merasa sebagai yang paling banyak berkorban. Aku cuma mau kamu bertanggung jawab, Seungwan. You have to bear the responsibility.”

Seungwan menggenggam tangannya erat, berusaha meredam emosinya.

“I never ask for this, Naeun. Never.” desis Seungwan.

Seungwan menoleh ke arah Joohyun sekilas dan tiba-tiba ia teringat akan ucapan Taeyeon bagaimana sang mentor meminta dirinya untuk menjaga hubungan profesional antara ia dan Joohyun serta bagaimana Taeyeon meminta agar Seungwan tidak melakukan hal-hal yang membuat Joohyun ‘pergi’ ke tempat baru lagi.

Kini Seungwan mengerti akan hal ini. Setidaknya ia mendapatkan bayangan tentang apa yang mungkin telah terjadi pada Joohyun.

Ia pun teringat bagaimana Joohyun menangis tersedu-sedu di taman apartemen milik Joohyun. Bagaimana Joohyun menyebut dirinya sendiri dengan sebutan ‘aneh’. Bagaimana Joohyun berkata pada Seungwan bahwa ia telah nyaman bekerja dengan tim S&E. Bagaimana Joohyun memohon pada Seungwan agar ia tidak harus mencari pekerjaan baru lagi.

Seungwan memejamkan matanya.

“Gue akan tanggung semua damage yang udah gue lakuin but please, Joohyun nggak ada urusannya sama ini semua. Leave her alone.” ujar Seungwan pada Naeun.

Sang Direktur Utama memandang Seungwan dengan penuh tanya.

“Son Seungwan, jelas-jelas dalam rekaman tersebut kita semua tau ada dua nama yang terdengar disana–...”

“Please, kak. Gue mohon. Leave Joohyun alone.” ucap Seungwan pasrah.

Joohyun terkejut ketika mendengar Seungwan memanggil Naeun dengan sebutan “Kakak”. Namun Joohyun bukan satu-satunya orang yang terkejut karena Naeun, Taeyeon, dan Tiffany pun terkejut ketika mendengar sebutan itu keluar dari mulut Seungwan.

Selama ini Seungwan selalu menghindar dari Naeun bahkan bisa dibilang Seungwan cukup membenci Naeun. Tiffany dan Taeyeon tahu akan hal ini.

Son Seungwan dan Son Naeun merupakan dua kakak-beradik yang memiliki hubungan yang tidak terlalu harmonis. Sebenarnya selama ini Naeun sama sekali tidak menaruh perasaan buruk terhadap Seungwan, berbeda dengan sang adik yang sangat membenci kakaknya.

Menurut Seungwan, ia telah kehilangan mimpi-mimpinya dan itu disebabkan oleh Naeun dan Ayah mereka. Bagaimana Seungwan dipaksa untuk meninggalkan cita-citanya di dunia aviasi dan harus mengenyam pendidikan di bidang jurnalis dan bisnis untuk melanjutkan perusahaan keluarga mereka.

Bagaimana Seungwan berkali-kali harus mendengar hardikan sang ayah yang tidak menerima preferensi-nya dan Bagaimana Naeun hanya tinggal diam tiap kali ia mendapatkan perlakuan buruk tersebut.

Biasanya Seungwan akan membangkang dan melawan kakaknya itu, namun kali ini apabila ia harus tunduk demi menyelamatkan Joohyun, maka Seungwan akan melakukan semuanya. Setidaknya ini adalah satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk menebus dosanya pada Joohyun.

Naeun menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Ia memperhatikan Joohyun dan Seungwan dengan saksama.

“Is she the one who’s staying at your apartment lately?” tanya Naeun dan dijawab dengan anggukan oleh Seungwan.

“Dia siapa kamu, Seungwan?”

“Lo gak butuh tau detilnya.”

“Aku butuh tau. It will help me to decide whether I will drag her or not.”

Seungwan memejamkan matanya dan menarik napas dalam.

“I care about her a lot. Maybe I love her? I don’t know for sure but I know I care about her a lot. Gue udah nyakitin dia dan gue nggak mau bikin dia sakit lebih banyak lagi, Kak. Please, jangan buat Joohyun kehilangan hal yang berharga buat dia kayak gimana lo dan ayah bikin gue kehilangan hal berharga milik gue. I will bear the responsibility all by myself, just leave Joohyun alone, please Kak?”

“At all costs?”

“At all costs.”

Naeun mengangguk. “Sure. We will talk later then.”

Joohyun hanya bisa terdiam saat mendengar semua penuturan Seungwan. Beberapa pertanyaan yang selama beberapa hari ini berkecamuk di kepalanya terjawab sudah.

Sang kepala departemen terkejut ketika ia merasakan tangannya digenggam oleh Seungwan. “I am sorry, Joohyun. I truly am.”

Seungwan tersenyum getir untuk sesaat sebelum ia berdiri dan meninggalkan ruangan tersebut. Joohyun hanya mampu menatap punggung Seungwan yang kini sudah menghilang di balik pintu.

”Kenapa lo selalu ninggalin gue gitu aja kalau lo emang peduli sama gue?”

Love and Leashes (part 87)

Jalanan hari itu cukup padat dan membuat Seungwan harus menahan rasa kesalnya setiap ia harus bertemu dengan pengendara yang tidak taat aturan atau pengendara yang tidak cekatan layaknya orang yang baru belajar mengemudi.

Sesekali Seungwan menoleh ke arah Joohyun dan mendapati atasannya itu masih sibuk dengan ponselnya.

“Joohyun.” panggil Seungwan singkat.

Seperti dugaannya, Joohyun tidak mendengar panggilannya. Ia masih sibuk dengan ponselnya, entah untuk apa.

Namun Seungwan dapat merasakan terjadi sesuatu hal yang tidak baik pada Joohyun karena wanita itu terlihat menggigit bibirnya beberapa kali.

“Joohyun, lo kenapa?” tanya Seungwan satu kali lagi, kini tangannya menyentuh paha Joohyun sekilas untuk meminta perhatian Joohyun.

Tindakan Seungwan sontak membuat Joohyun terkejut, pahanya adalah salah satu titik sensitifnya walaupun saat ini ia menggunakan celana panjang.

“Please jadi Master baru aku.” ujar Joohyun spontan tanpa ia sadari.

Mendengar ucapan Joohyun, mobil yang mereka kendarai sempat mengerem secara drastis karena sang pengemudi yang terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar.

Tidak hanya Seungwan, Joohyun pun terkejut saat mendengar ucapannya sendiri. Ia buru-buru menoleh ke arah Seungwan dan mengibas-ibaskan tangannya dengan panik.

“N-nggak! N-nggak!! Yang tadi keceplosan!”

Tingkah Joohyun yang demikian justru membuat Seungwan tertawa.

“Okay, gue surprise sama ucapan lo. Tapi, keceplosan? Berarti lo emang udah ada pikiran kesitu dong?”

Lagi-lagi Joohyun mengibas-ibaskan tangannya dengan panik.

“N-nggak!! M-maksud gue…. Uhm…. Itu… Uhm…. Pokoknya yang tadi gak usah di denger!” ujar Joohyun panik dengan wajahnya yang memerah.

Seungwan lagi-lagi tertawa.

“Okay, okay. Gue akan berhenti nanyain daripada muka lo tambah merah kayak gitu. Tapi kalo lo emang serius, well bisa gue pertimbangkan.” goda Seungwan sembari mengerlingkan matanya.

Love and Leashes (part 77)

“Pagi!” sapa Seungwan sembari merapikan selimut dan menata bantal yang ia gunakan untuk begadang semalaman.

“Pagi…” bisik Joohyun pelan yang langsung berjalan ke arah pantry yang menjadi satu dengan area dapur dan meja makan.

Matanya membelalak kaget saat ia melihat dua porsi sarapan sudah tersaji dengan kepulan asap tipis yang mengudara dari hidangan tersebut.

“Oh, right. Maaf ya gue nggak izin dulu. Tapi gue rasa izin pun pasti lo bolehin sih, lo dari kemaren belum makan kan?” ujar Seungwan santai yang kini sudah berjalan ke arah meja makan.

Apa yang Seungwan katakan tidaklah salah.

Joohyun memang belum menyantap apapun sejak kemarin siang. Namun hal ini membuat dirinya mengerutkan keningnya. Bagaimana Seungwan bisa tahu?

Melihat perubahan-perubahan ekspresi di wajah Joohyun membuat Seungwan menggelengkan kepalanya dan tertawa gemas.

Ia benar-benar harus berpikir ulang tentang alasan mengapa dahulu ia sangat takut akan sosok seniornya ini karena pada kenyataannya, Joohyun lebih mirip seperti seekor anak anjing yang membutuhkan perhatiannya ketimbang sosok senior galak yang selama ini ada di benaknya.

“Iya gue tau lo nggak makan dari kemaren. Pertama, lo nggak ikut makan siang sama sekali. Kedua, di pantry departemen kita, gue nggak ngeliat ada sisa makanan. Jisoo dan Sooyoung kan kemaren nggak di kantor, terus Mbak Taeyeon dia makan di luar dan gue gak sengaja ketemu pas balik abis makan jam siang. Artinya lo selama istirahat makan siang tuh cuma sendiri di departemen kita. Terus pas kemaren malem, gue liat piring lo masih banyak isinya. Mungkin kalopun lo makan, itu cuma satu-dua sendok.”

Seungwan menjelaskan itu semua dengan santai sembari menyeduh teh hangat. Ia menuangkan dua cangkir teh hangat dan menyodorkan salah satunya bagi Joohyun.

“Lo nggak suka kopi dan gak bisa minum kopi karena asam lambung. Lo nggak suka sarapan yang berat-berat, jadi tiap pagi lo cuma makan roti.” lanjut Seungwan.

Kerutan di dahi Joohyun semakin dalam.

“Lo nguntit gue?”

Seungwan menarik kursi yang ada tepat di seberang Joohyun dan mendudukan dirinya disana.

“Kalo iya, kenapa? Kalo nggak, kenapa?”

Sang junior tertawa saat melihat ekspresi kesal di wajah Joohyun, kemudian ia memilih untuk menyudahi aksi jahilnya pagi itu.

“Nggak kok. Gue nggak nguntit lo. Gue cuma inget kebiasaan lo aja dulu pas gue jadi intern di bawah lo, Mbak Joohyun.”

Joohyun mendengus kesal. Namun untuk saat ini ia memilih untuk mengurus perutnya yang sudah kelaparan terlebih dahulu.

Seungwan bisa ia urus nanti.

Di lain sisi, sang junior pun ikut menyantap sarapannya pagi itu. Ia memotong waffle buatannya dengan perlahan sembari sesekali memeriksa keadaan Joohyun.

“Stop ngeliatin gue.”

“Well, can’t help it.”

Joohyun menghela napasnya panjang. Ia menaruh garpu dan pisau yang sedari tadi ia gunakan, kemudian tangan kirinya menyeka rambut panjangnya kebelakang untuk sekedar memberinya jeda waktu berpikir.

Gerakan tangan Joohyun justru membuat Seungwan melihat kembali pergelangan tangan Joohyun yang agak kebiruan. Hal ini sontak membuat Seungwan tidak nyaman.

Ia telah membaca puluhan artikel tentang preferensi unik dari seniornya ini, namun dari semua artikel tersebut memberinya satu kata kunci yaitu consent. Kata-kata ini membuat Seungwan berpikir ulang apakah Joohyun terbelit dalam hubungan yang rumit ini karena kemauannya atau ia terjebak pada hubungan yang sudah tidak sehat.

Apalagi ia melihat bagaimana mantan kekasihnya itu memperlakukan Joohyun, bahkan di tempat umum sekalipun.

Seungwan meneguk teh hangatnya kemudian ia berdiri dari kursinya.

Joohyun melihat bagaimana Seungwan berjalan mondar-mandir di dapur apartemennya itu dan tak lama kemudian Seungwan menarik kursi kosong yang ada di sebelahnya.

“Tangan lo, siniin.”

Joohyun menatap Seungwan dengan heran, namun detik berikutnya Seungwan menarik tangan Joohyun untuk berada dalam penguasaannya.

“Gue nggak akan komentar apapun sama preferensi unik lo itu. Mbak Taeyeon udah cerita ke gue, mungkin belum semuanya tapi udah cukup buat gue sedikit paham.” ujar Seungwan membuka percakapan.

Sang junior dengan telaten membasahi kain bersih yang ia temukan di dapur kemudian menaruh beberapa es batu yang kemudian ia balut dengan kain bersih tadi. Perlahan ia tempelkan pada permukaan kulit Joohyun yang terlihat membiru.

Joohyun meringis pelan. Antara kaget karena suhu yang dingin dan karena sikap Seungwan saat ini.

“Rahasia lo aman sama gue. Cuma gue minta satu sama lo, jaga diri lo baik-baik. Kalo emang preferensi unik lo itu bahagia, then go on. Tapi kalau udah sampe bikin lo kayak gini, lo harus re-consider, Joohyun.”

Mata Joohyun bergerak kesana-kemari dengan perlahan, mulai dari posisi tangannya yang berada dalam penguasaan Seungwan dan wajah Seungwan yang terlihat sangat serius menangani luka di tangannya itu.

Lagi-lagi Joohyun harus meringis saat Seungwan menekan balutan es batu tersebut di titik yang terlihat berwarna biru keunguan.

“See, sakit kan? Luka kayak gini tuh biasanya belum sembuh tapi udah kena pressure lagi di tempat yang sama. Bahaya buat lo.”

Joohyun menunduk, menahan rasa dingin yang menjalar di pergelangan tangannya.

“Lo obatin gak ini? Minimal pake salep gitu? Kayaknya gue baca deh semalem ada yang namanya aftercare.” ujar Seungwan.

Ucapan tersebut sontak membuat Joohyun memukul lengan Seungwan dengan tangan kanannya yang tidak sedang dipegang oleh Seungwan.

“Kok gue dipukul?!” protes Seungwan.

“Ya abis lo ngomong seenaknya aja.”

“Lah, gue kan cuma tanya ke elo. Mantan lo itu ngelakuin aftercare nggak? Gue perasaan baca deh semalem, biasanya Master ngelakuin aftercare buat Sub-nya mereka setelah selesai.”

Wajah Joohyun merah padam. Ia sama sekali tidak membayangkan akan melakukan perbincangan seperti ini dengan Seungwan.

“Tck.. tapi kalau kayak gini lebamnya sih pasti nggak. Lo ganti Master deh, tinggalin aja tuh mantan lo. Nggak jago dia, nggak all-in.” ledek Seungwan sembari menatap mata Joohyun.

“Kayak lo tau aja Master yang jago gimana!” timpal Joohyun.

“Hmm… gue mikir dulu ya. Nih mantan lo tuh abusive, terus obsesi, terlalu pede, egois deh pokoknya. Lo yakin kalo kalian lagi berhubungan, itu semua dua arah? Bukan buat dia doang?”

Joohyun terdiam.

Ia tahu jawaban dari semua pertanyaan Seungwan, ia tahu persis.

Namun seperti apa yang sudah berkali-kali ia pikirkan, ia ragu apakah ia bisa benar-benar lepas dari Seulgi?

“Joohyun, gue nggak tau apakah Seulgi itu Master pertama lo apa gimana. Tapi gue bilang ya sama lo, di dunia ini nggak mungkin kan cuma lo, Seulgi, dan Taeyeon yang punya preferensi unik? Pasti ada orang lain di luar sana yang bisa cocok sama lo. Tinggal lo-nya aja mau nyari lagi atau nggak.”

Perhatian keduanya terpecah saat mereka mendengar suara ponsel Seungwan yang berdering.

Seungwan menoleh sejenak ke arah ponselnya, kemudian menatap Joohyun. Selanjutnya ia mengambil pergelangan tangan kanan Joohyun dan menelusuri telapak tangan Joohyun dengan jari telunjuknya membentuk segitiga dengan setiap kata yang ia lontarkan.

Intimacy, Passion, Commitment. Dapetin tiga itu dan lo bakal tau gimana indahnya rasa cinta itu sendiri.” ujar Seungwan yang kemudian menutup telapak tangan Joohyun seakan-akan meminta seniornya untuk tidak melepaskan tiga hal yang tadi ia sebutkan.

“Itu pasti Mbak Taeyeon yang udah bawel minta dijemput dibawah.” lanjut Seungwan.

“Gue ke bawah dulu, lo pegang ini es batu paling nggak lima menit lagi. Jangan kangen.” goda Seungwan yang kali ini mengacak rambut Joohyun pelan.

Sementara itu Joohyun hanya bisa terpaku di tempat duduknya. Ia menatap handuk basah yang saat ini sedang ia pegang.

Selama ia bersama dengan Seulgi, bisa dihitung dengan jari berapa kali mantannya itu melakukan aftercare untuknya dan bisa dihitung dengan jari pula berapa kali Joohyun merasakan perasaan yang tidak bisa ia jelaskan dengan kata-kata saat mendapatkan treatment tersebut.

Sedangkan Seungwan baru satu kali melakukan aftercare untuknya, itu pun Seungwan tidak menyadari hal ini, namun Joohyun sudah merasakan perasaan yang perlahan menyelimuti hatinya itu.

“Nggak, nggak. Ini semua gara-gara Taeyeon.”

Love and Leashes (part 62)

Seungwan sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan mendapatkan panggilan masuk dari Joohyun secepat itu. Merasa masih tidak percaya, Seungwan akhirnya menoleh ke arah meja yang ditempati oleh Joohyun untuk memastikan apakah Joohyun memang sengaja menelpon dirinya.

Si junior tidak dapat melihat ekspresi Joohyun yang duduk membelakangi dirinya namun ia menangkap adanya sedikit kegelisahan dari gestur tubuh Joohyun.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Seungwan kemudian mengambil tas ransel miliknya dan berjalan ke arah meja Joohyun. Ia cukup bersyukur bahwa tadi ia sudah membayar pesanannya.

Semakin ia mendekati meja Joohyun, semakin ia dapat merasakan bahkan mendengar detak jantungnya.

Seungwan berusaha untuk berpikir cepat, saat ini ia harus bertindak sebagai apa?

Teman dekat?

Sahabat?

Pacar (bohongan)?

Apa?

Belum sempat ia memutuskan, kakinya sudah membawanya berdiri tepat di samping Joohyun dan otomatis membuat perhatian Joohyun beserta Seulgi beralih kepadanya.

“Ayo pulang.” ujar Seungwan singkat.

Ia sendiri tidak tahu mengapa yang keluar dari mulutnya untuk pertama kali adalah ajakan untuk pulang.

“Tck.. Lo lagi?”

Seungwan mengernyitkan keningnya saat melihat si orang asing yang duduk di hadapan Joohyun kembali meremehkan kehadirannya.

Namun kali ini Seungwan memilih untuk tidak menggubris Seulgi sama sekali.

“Joohyun, ayo pulang.” ujar Seungwan sekali lagi, kali ini dengan lebih tegas.

Seungwan pun tidak tinggal diam, ia mengambil ransel serta jaket milik Joohyun yang tergeletak di kursi di sebelah Joohyun. Kemudian ia menggenggam tangan Joohyun dan mengajaknya untuk berdiri.

“Hey! Joohyun lagi sama gue!” bentak Seulgi yang kini menahan Joohyun untuk berdiri.

Seungwan memutar kedua bola matanya dengan malas.

“Hey, Ms. Pencari Perhatian. Lo bisa nggak sih gak usah teriak di tempat umum? Gue nggak budek. Also, Joohyun clearly udah nggak mau ada disini, can't you see?” ujar Seungwan dengan santai.

Tanpa basa basi Seungwan melepaskan cengkraman tangan Seulgi pada pergelangan tangan Joohyun dan kembali mengajak Joohyun untuk bangkit dari kursinya.

“Joohyun, kamu boleh pergi sekarang tapi kamu harus inget kalau kamu nggak bakal jauh-jauh dari aku.” ancam Seulgi

“Dih ngatur.” cibir Seungwan.

“Bisa, dia bisa jauh dari lo selama ada gue.” lanjutnya.

Tidak ingin berlama-lama berada satu ruangan dengan orang yang posesif dan obsesi seperti itu, Seungwan kemudian melangkah menuju pintu keluar dengan tangannya yang masih menggandeng tangan Joohyun.

Sementara itu Joohyun hanya bisa tertunduk dengan hatinya yang berdebar. Ia cukup takut jika Seulgi akan melakukan hal gila di tempat umum seperti ini. Ia pun merutuki kebodohannya karena menyeret Seungwan ke dalam kehidupannya yang unik.

Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir mobil, keduanya sama sekali tidak bertukar kata.

Seungwan masih terdiam karena ia tiba-tiba rasanya ingin marah, entah karena alasan apa. Menurutnya mungkin karena ia kesal Joohyun tidak mendengarkan nasihatnya untuk menjauhi orang aneh seperti si Seulgi-Seulgi itu.

Di lain sisi, Joohyun pun takut untuk bersuara karena ia tahu saat ini Seungwan sedang tidak ingin diajak bicara. Lagipula, genggaman erat yang ia dapatkan dari Seungwan sudah cukup menjadi bukti bahwa saat ini Seungwan sedang tidak se-ramah biasanya.

Mobil SUV berwarna putih milik Seungwan kini sudah berada dalam jarak pandang mereka berdua. Si pemilik mobil berjalan menuju pintu penumpang dan membukakan pintu bagi Joohyun.

“Masuk.” perintah Seungwan singkat.

Ia kemudian menaruh tas miliknya dan milik Joohyun di kursi belakang sebelum berjalan menuju pintu pengemudi.

“Lo ada tempat lain selain apartemen lo nggak?”

“H-hah?”

“Malem ini lo jangan balik apart lo deh. Nanti si orgil itu nyamperin lo.”

“A-apart aja, nggak apa-apa.”

“Aduh lo tuh ngeyel banget sih? Kemaren udah gue bilang gak usah ketemu dia lagi dan lo malah ketemuan. Sekarang gue bilang jangan balik apart lo dulu, lo malah ngeyel. Untung banget tempat makan tadi masih deket area kantor dan untungnya gue makan disana. Lo bayangin gak kalo tadi nggak ada gue gimana?” omel Seungwan.

“Gue emang gak punya siapa-siapa disini, Seungwan.” ujar Joohyun dengan lirih.

deg!

Ucapan Joohyun mengingatkan Seungwan pada cerita Jisoo bahwa Joohyun memang tinggal seorang diri di kota itu. Ia tidak memiliki sanak saudara.

Namun apakah ia benar-benar tidak memiliki teman lain?

Seungwan menghela napasnya. Kini ia merasa bersalah.

Tangannya meraih tombol ignition untuk menyalakan daya mobilnya kemudian ia memasukkan alamat apartemen Joohyun ke GPS mobilnya.

Untuk sekarang, ia akan membawa Joohyun ke apartemen milik seniornya itu. Nanti ia akan memaksa untuk diperbolehkan menginap disana paling tidak hingga besok pagi.

“Sorry Joohyun. Gue nggak ada maksud.” ujar Seungwan singkat.

Ia tidak mendapatkan balasan apapun dari Joohyun.