youngkimbaeson

501. No space between

Tepat seperti janjinya pada Rena, Sagala tiba di kediaman Anta pukul sepuluh kurang. Sagala memilih untuk menunggu di ruang tamu walaupun ia sudah pernah tinggal di rumah itu untuk beberapa saat.

Sagala kembali mengambil sebuah bingkai foto yang diletakkan di salah satu meja di ruang tamu tersebut. Foto yang menjadi favoritnya sejak pertama kali ia menemukan bingkai foto itu, foto saat Rena masih di bangku taman kanak-kanak dengan baju berwarna merah dan topi bermotif bunga berwarna mayoritas putih. Rena kecil terlihat menatap ke arah kamera dengan sebuah balon di tangannya.

Tangan Sagala secara otomatis mengambil ponselnya yang ia taruh di saku celana bagian belakang. Kemudian ia memotret foto tersebut dan terkekeh pelan.

“Sagala?”

Kepala Sagala menoleh secara otomatis saat ia mendengar suara feminin Yona memanggil namanya.

“Oh, pagi kak.” sapa Sagala sembari kembali menaruh bingkai foto tadi ke tempat semula.

“Kenapa gak langsung masuk aja? Ngapain nunggu di sini?” tanya Yona lagi sembari menguncir rambutnya.

“Nggak enak lah kak.”

“Alah kamu kayak sama siapa aja. Udah sarapan?”

Sagala mengangguk, “Aku kangen bubur komplek, tadi pagi makan itu dulu sebelum kesini.”

“Emang makanan Indo paling nikmat sih. Aku juga nggak terlalu suka lah kalau sama makanan di luar tuh.” tawa Yona.

“By the way, aku mau ke dapur dulu ya, mau buat sarapan buat suamiku sama Acel. Mereka masih tidur, semalem nonton film sampai malem banget heran deh. Kamu langsung naik aja ke kamar Rena. Dia lagi nggak enak badan deh. Papa udah pergi dari subuh, biasa golf. Tapi ya harusnya bentar lagi pulang.” ucap Yona lagi.

“Rena sakit? Kemarin malam aku anter pulang dia masih sehat kak?”

Yona mengibas-ngibaskan tangannya, “Bukan sakit yang gimana, biasa haid. Dia kalau day two bisa sampai tumbang gitu lah dari dulu.”

Kening Sagala mengkerut mendengar ucapan Yona. Seharusnya jadwal Rena masih minggu depan. Namun Sagala memilih untuk tidak membahas hal ini dengan Yona dan lebih memilih untuk segera mendatangi kamar Rena tepat setelah Yona meninggalkan dirinya.

“Rena, aku masuk ya….” ucap Sagala ketika ia mengetuk pintu kamar Rena.

Hal pertama yang menyapa pandangan Sagala adalah posisi Rena yang tengah meringkuk di tengah kasurnya dengan selimut kuning yang Sagala kenali.

“Rena?” panggil Sagala pelan sembari berjalan ke arah kasur Rena.

“Ga?”

“Yeah, kamu dapet?”

“Hmm….yeah…”

“Maju seminggu? Kamu kok kemarin nggak bilang ke aku sih sayang?” tanya Sagala lagi yang kini sudah mendudukkan dirinya di kasur Rena, tangan kanannya mengelus kepala Rena pelan.

“Aku juga kemarin taunya pas udah di rumah kamu. But then yaudah, untung aku juga bawa pembalut dan ya aku gak ngeh juga kalau maju seminggu.”

Sagala mengangguk, tangannya masih mengelus puncak kepala Rena.

“Kita batal aja perginya hari ini. Kamu biasanya sakit perut banget kan kalau hari kedua?”

Bibir Rena mengerucut masam, “Kita tetep pergi aja ga. Kamu pasti udah reserve kan? Kemarin kamu bilang kita mau dinner. Pergi yang siangnya aja yang di cancel, malem aku udah nggak apa-apa kok.”

“Kita liat keadaan kamu dulu ya? Jangan dipaksa.” senyum Sagala.

Rena hanya mengedikkan bahunya. Tangannya kemudian menarik kerah jaket cotton jacket berwarna cokelat yang dikenakan oleh Sagala sembari ia sedikit mengangkat tubuhnya. Perlahan Rena mendekatkan wajahnya ke arah Sagala.

Sementara itu lagi-lagi Sagala dikejutkan oleh Rena yang kembali memberikannya kecupan hangat nan lembut baginya.

Mata Sagala terpejam, fokus indranya kini dipenuhi oleh Rena mulai dari harum aroma tubuh Rena, hangat deru napas Rena, hingga manis bibir Rena semuanya memenuhi indra Sagala dan memabukkannya.

Satu tangan Rena menarik tengkuk Sagala, kali ini ia memperdalam kecupannya dibandingkan kemarin.

She wants more of Sagala.

“Kata kakak kamu ada Saga–....”

Suara Anta memecah kesunyian kamar Rena sekaligus memaksa Rena dan Sagala untuk menyudahi ciuman mereka.

Seperti yang terjadi kemarin, lagi-lagi leher hingga telinga Sagala memerah setelah ia dicium oleh Rena. Ia masih memejamkan matanya namun kini untuk alasan yang jelas berbeda. Sagala memejamkan matanya erat-erat, mengutuk dirinya mengapa dirinya lagi-lagi ‘kecolongan’ dan kali ini parahnya ia mencium Rena tepat dihadapan Anta.

Sementara itu Rena terkekeh pelan, ia masih bisa merasakan bibir Sagala menyentuh bibirnya tipis. Rena pun kembali mencuri satu kecupan dari Sagala sebelum ia menyembulkan kepalanya menatap Anta yang masih terpaku di pintu kamar putrinya.

“Papa bisa nggak sih gak usah ganggu aku sama Sagala? Let me enjoy my time with my girlfriend!” protes Rena kesal.

“Girlfriend?!”

“Girlfriend?!”

Baik Sagala maupun Anta sama-sama berteriak terkejut atas ucapan Rena. Sedangkan Rena langsung menatap Sagala tajam membuat Sagala mengigit bibirnya, nampaknya ia salah bicara. Namun tentu saja Sagala tetap ingin membicarakan hal ini dengan serius.

Anta tertawa melihat Rena dan Sagala yang nampaknya membutuhkan waktu untuk berbincang serius, hanya berdua tanpa dirinya.

“Okay, Sagala juga kaget sama ucapan kamu. Tapi kalau kalian udah sampai kayak gitu….” ucap Anta sembari tersenyum jahil ke arah putrinya.

“....clearly kalian udah more than just best friend. Selesai ngomong sama Rena, gantian om yang mau ngomong sama kamu ya Sagala.” lanjut Anta dengan jari telunjuknya yang teracung ke arah Sagala dan Rena.

Anta pun kemudian meninggalkan kamar Rena dan menutup pintu kamar putrinya.

“Renaa!! Aku harus apa sama papa kamu!” desis Sagala kesal.

Rena hanya tertawa, ia justru kembali mengecup bibir Sagala.

“Oiya, Rena! Papa ingetin ya ini dikunci dulu! Kalau yang masuk Acel gimana!” ucap Anta yang tiba-tiba kembali membuka pintu kamar Rena.

“PAPA!!!” teriak Rena kesal karena ia kembali dipaksa menyudahi ciumannya dengan Sagala.

Rena pun segera meninggalkan kasurnya dan mengunci pintu kamarnya, tepat seperti ucapan Anta.

“Rena astaga aku malu banget sama papa ka–...”

Ucapan Sagala terhenti saat Rena kembali menangkup pipinya, dan kembali menciumnya. Kendati ia mengajukan protes tadi, namun tentu saja Sagala menikmati perbuatan Rena. Perlahan tangannya bergerak mendekap Rena yang kini menunduk menciumnya yang masih dalam posisi terduduk di atas kasur milik Rena.

“Good morning to you, ga…”

Senyuman Rena menyapa Sagala ketika Rena akhirnya menyudahi ciuman mereka. Senyum Sagala pun turut merekah, matanya menatap wajah Rena dengan pancaran kebahagiaan yang terpantul dengan jelas dan terekam oleh memori Rena.

“Jadi ini yang kamu maksud harus aku biasain?” tawa Sagala.

“Yeah….” jawab Rena sembari tangannya mengelus tengkuk Sagala.

“So ini juga yang kamu maksud ketinggalan? Karena harus sepaket? Welcoming kiss and goodbye kiss?”

Rena kembali mengangguk.

Tangan Sagala menarik Rena untuk duduk di sebelahnya. Kedua tangannya kini menggenggam tangan Rena.

“Okay, I like that. But Rena, I think you need to explain–...”

“Be mine please? Jawabannya cuma iya dan iya sih ga. I’ve been waiting for months for this.” potong Rena.

Mulut Sagala menganga lebar.

“Rena! I was–.... Aku udah rencanain to make this official tonight! How come kamu tiba-tiba nikung aku kayak gini!!” protes Sagala sembari tertawa.

Rena menarik tangannya dari genggaman Sagala, ia kemudian menangkupkan kedua tangannya di wajah Sagala lalu mencubit pipinya.

“Aku tau kamu orangnya cliche makanya aku udah nebak you gonna do something tonight, in this valentine day. Apalagi kamu sampai reserve buat nanti malam.”

“Daamn, udah aku duga harusnya aku nggak ngikutin saran Yesha!” gerutu Sagala yang kemudian justru mendapat cubitan keras di pinggangnya.

“Kalau nggak malam ini, terus kamu mau nunda lagi to make our relationship official?!”

“Ih nggak gitu Renaaaaa!”

“So?”

“Ya kan aku mau buat surprise buat kamu! Masa semuanya gagal?!”

Rena tertawa dengan puas dan tentu saja hal ini pun menjalar ke Sagala. Seketika dadanya terasa hangat, hatinya terenyuh, dan ia kembali merasakan bahwa kini ia memiliki rumah untuk pulang.

“Yes.”

Ucapan Sagala yang tiba-tiba membuat tawa Rena terhenti.

“Yes, I’m yours Rena. Even without you asking, I’m already yours.”

491. Like this

Tepat seperti dugaan Rena setibanya ia di rumah Sagala, rumah dua tingkat tersebut masih terlihat sangat hening seakan tidak ada penghuninya. Rena kembali berusaha menelpon Sagala namun hasilnya masih nihil. Tetapi ia dapat mendengar samar-samar suara ponsel Sagala di dalam rumah tersebut.

Rena pun berjalan ke arah pintu samping yang dapat diakses melalui carport rumah Sagala. Ia telah mendapatkan pesan dari Yesha saat junior Sagala itu mendatanginya tadi.

”Kalau orangnya masih tidur, masuk lewat pintu samping kak. Lewat pintu halaman itu. Pintu besi yang di carport, biasanya di gembok tapi ini gue ada kunci gemboknya. Terus nanti masuk aja lewat dapur, pintu dapur kuncinya selalu dicopot, buat jaga-jaga kalau dia ketiduran, gue sama kak Sashi atau kak Tei selalu masuknya dari dapur.”

Rena mengikuti instruksi Yesha tadi satu per satu.

Tak lama setelah ia memasuki rumah Sagala, Rena menemukan sang pemilik rumah tertidur di sofa ruang tengah dengan kondisi beberapa koper yang terbuka dan beberapa barang yang berserakan.

Rena kemudian menaruh tasnya di lantai di dekat sofa yang ditempati oleh Sagala. Ia lalu mulai merapikan beberapa barang yang berserakan, agar tidak ada yang terinjak atau tertendang.

Setelahnya Rena berlutut di depan Sagala.

“Sagala…..ga……bangun….” bisik Rena pelan sembari mengelus lengan Sagala.

Sayangnya beberapa kali percobaan pun Sagala masih terlelap walau ia sempat beberapa kali merespon ucapan Rena dengan dehaman pelan.

Saking gemasnya Rena, akhirnya ia mencubit kedua pipi Sagala.

“Gaaa… banguuun sayaaaaang.”

Percobaan terakhir tersebut sukses membangunkan Sagala dari tidurnya. Ia sempat terlihat linglung dan kebingungan terutama dengan kehadiran Rena.

“Rena?” ucap Sagala saat melihat Rena bersimpuh di sebelahnya.

Sagala sedikit mengangkat tubuhnya, menumpukan dirinya pada tangan kiri sembari menatap Rena kebingungan.

“Akhirnyaaaa kamu tuh yaaa!”

“W-wait how….”

“Aku minta kunci rumah kamu ke Yesha.”

“Right…. Yesha.” tawa Sagala pelan yang lalu kembali merebahkan tubuhnya.

Sang pemilik rumah lalu bergeser hingga tubuhnya menempel pada sandaran sofa, memberikan sedikit ruang yang dapat menampung satu orang lagi disana.

“Come here please…” ucap Sagala dengan suaranya yang masih agak serak.

Rena menatap Sagala dengan lekat. Mempertanyakan apakah Sagala serius dengan ucapannya.

Sang pemilik rumah pun kembali menepuk sisi yang sengaja ia kosongkan.

“Aku masih ngantuk banget, temenin tidur sebentar. I won't do anything I promise.” ucap Sagala lagi.

“Gaa mana muat?”

“Muat sayaaang.”

Rena mengamati Sagala sekali lagi namun akhirnya ia memilih untuk mengabulkan permintaan Sagala.

“Wait here.”

Rena melepas cardigan yang ia kenakan lalu mengambil ponselnya yang tersimpan di dalam tasnya.

Ditaruhnya ponsel tersebut di meja yang berada tepat di seberang sofa. Setelahnya barulah Rena perlahan menempatkan dirinya dalam pelukan Sagala.

“Hold me. Kalau aku jatuh, aku ngambek beneran ya ga…”

“Nggak bakal jatuh sayaang. Aku peluk kayak gini.” ucap Sagala yang telah memeluk Rena dengan erat.

Kini posisi kepala Rena berada tepat di antara ceruk leher dan dada Sagala.

“Aku kesini padahal mau bangunin kamu. Tapi malah diajak tidur.” tawa Rena.

“Give me one hour please. Also, akhirnya aku bisa peluk kamu kayak gini tanpa harus liat ada Acel atau nggak.”

Rena kembali tertawa.

“Right… Kita kemarin harus kucing-kucingan sama Acel. Aku nggak mau dia liat kita kayak dia liat kakak sama suaminya. Nanti aku bingung gimana harus jelasinnya.”

“Huh? Emang Acel pernah liat apa?” tanya Sagala sembari menundukkan kepalanya menatap Rena.

“Like this…”

Tangan kiri Rena menarik tengkuk Sagala sementara ia sedikit mendorong tubuhnya untuk menyamakan posisinya dengan Sagala.

Sebuah kecupan diberikan oleh Rena, bibir keduanya bertemu. Hanya sebuah kecupan polos penuh kehangatan tanpa adanya embel-embel hawa nafsu disana.

Sagala yang awalnya cukup terkejut kini turut memejamkan matanya. Memerintahkan tubuhnya untuk terfokus pada bibir ranum milik Rena.

Sementara itu Rena tersenyum saat ia kembali merasakan hatinya yang bergetar penuh kehangatan. Jika ia boleh sedikit hiperbolis, mungkin saat ini ia sedikit lagi meleleh saking senangnya ia.

“Good morning….” ucap Rena tepat saat ia menarik tubuhnya menyudahi ciuman pertama mereka.

Rena dapat melihat bagaimana wajah dan telinga Sagala memerah. Sedangkan Sagala hanya bisa menggeram malu.

“Renaaa, that was our first kiss??? Aku masih belum mandi, masih pakai baju tidur? Meanwhile you already this gorgeous??” protes Sagala.

Tawa Rena memenuhi indra Sagala, membuatnya turut tersenyum walau ia masih serius dengan ucapannya barusan.

“I don't mind ga. Also, kamu harus biasain…”

“Biasain gimana?!”

Rena tidak menggubris ucapan Sagala.

“You will know later, a warning, aku clingy dan touchy banget.” ucap Rena yang kembali membenamkan wajahnya di ceruk leher Sagala.

485. Home

“Anteeee mana temennyaa……”

Mahen kembali tertawa ketika mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Acel entah untuk keberapa kalinya.

Rena pun meninggalkan bangkunya untuk berjongkok di hadapan Acel sembari menyeka keringat yang membasahi dahi Acel.

“Sabar ya cel, katanya sebentar lagi kok.”

Acel memanyunkan bibirnya malas.

“Ikut om aja yuk? Kita liat pesawat mau nggak, cel?” tawar Mahen.

Tentu saja Acel menyambut dengan antusias tawaran dari Mahen tersebut. Ia langsung melompat turun dari bangku yang didudukinya dan menggandeng tangan Mahen.

“Gue sama Acel jalan-jalan dulu deh kak ke atas. Siapa tau bisa ngintip pesawat parkir dikit.”

“Aku nunggu sini ya, yang.” ujar Yesha yang dibalas anggukan oleh Mahen.

Pria itu mengelus puncak kepala Yesha sejenak sebelum ia kemudian berjalan bersama Acel menaiki eskalator.

“Kalian kalau mau pamer kemesraan jangan depan gue dong….” keluh Rena setelah Mahen sudah tidak terlihat dari tempat keduanya duduk.

“Idih, bentar lagi kan lo juga bisa gitu kak.”

“Iya, kalau bisa. Sagala aja sibuk banget. Gue jadi kepikiran ucapan Richard.”

Ucapan Rena membuat Yesha mengalihkan perhatian dari layar ponselnya.

“Kak Wening emang super sibuk but when it’s for her significant others, she will make time kak.”

“Is she? Kenapa Richard–....”

“Kak Wening tau dia selingkuhin, hence why she didn’t try to make more effort for him.” potong Yesha cepat.

“That’s what Kak Wen said to me and I believe it. Aku emang gak ada disana waktu dia masih sama Richard, tapi aku liat gimana Kak Wen jungkir balik buat selalu bagi waktu selama tante Isa sakit. So I believe her words and I believe now she will do the same for you.”

Mata Yesha menangkap sosok Sagala yang berjalan ke arahnya sembari mendorong troli yang membawa koper-koper Sagala. Ia sengaja tidak memberi tahu Rena karena Sagala pun telah melarangnya, setidaknya Sagala ingin memberi sedikit kejutan bagi Rena.

“She did so many things for you, kak. Gue gak boleh bilang ini sih harusnya but I do hope someday you will know the length she already went through for you so gue harap lo nggak pernah ngeraguin seberapa sayangnya kak Wen ke lo ya kak.” ucap Yesha dengan segera, sebelum Sagala menghampiri dirinya dan Rena.

Tepat disaat Rena hendak menanggapi ucapan Yesha, ia merasakan pundaknya ditepuk oleh seseorang.

Mata Rena membulat dengan sempurna ketika ia memutar tubuhnya dan mendapati sosok Sagala tersenyum lebar ke arahnya dengan kedua tangannya yang terbuka lebar.

“So, someone said she will–.... Oof!”

Sagala tidak sempat menyelesaikan kalimatnya dengan sempurna. Rena sudah terlebih dahulu bangkit dan memeluknya dengan erat.

Tangan Rena melingkari tubuh Sagala dan merengkuhnya ke dalam pelukan. Perlahan tangan Sagala pun melingkari bahu Rena untuk membalas pelukan hangat yang diberikan oleh Rena.

“I miss you so much, ga…” bisik Rena tepat di telinga Sagala.

“I miss you too, more than you can imagine.”

“Adudududu, I miss you too sih kak. I miss you three thousand.” tawa Yesha yang sengaja menjahili pasangan dihadapannya

Sagala dan Rena sama-sama tidak menggubris ujaran jahil yang terlontar dari mulut Yesha. Mereka memilih untuk menikmati momen yang sudah ditunggu-tunggu selama beberapa bulan ini.

Tangan kanan Sagala mengelus punggung Rena saat ia merasakan bagaimana Rena semakin melesakkan wajahnya di ceruk leher Sagala.

“Mana Acel?”

“Sama Mahen.”

“Ini sengaja juga biar gak usah saingan sama Acel ya?” goda Sagala sembari menggoyang tubuhnya dan Rena ke kiri dan ke kanan.

Tingkah Sagala mengundang tawa bagi Rena. Ia pun akhirnya melepaskan pelukannya dan mundur beberapa langkah, memberikan waktu bagi Yesha yang kini ganti memeluk Sagala.

“Feels good to have you back.” ucap Yesha sembari memeluk Sagala singkat.

“You won’t see me sampai akhir Februari ini, gue masih on leave.”

“Suudzon aja sih sama gue!” protes Yesha.

“Karena gue tau maksud lo pasti lo seneng sekarang ada seniornya lagi!”

“Ih lo aja yang gak tau kalau ada senior baru di kantor!” balas Yesha.

Senyuman mengembang di wajah Rena ketika ia kembali melihat interaksi Sagala dan Yesha seperti beberapa tahun silam. Tak lama kemudian manik mata Rena dan Sagala bertemu, membuat Sagala pun turut tersenyum ke arah Rena.

”It feels good to be home.”

481.

Rena terkejut ketika melihat ponselnya berdering tepat setelah Sagala mengirimkan pesan kepadanya. Sebuah permintaan video call dari Sagala kini menunggu keputusan dari Rena untuk diterima atau justru ditolak.

Tentu saja ibu jari Rena mengusap icon berwarna hijau dan tak lama kemudian Rena dapat melihat sosok Sagala yang tersenyum kepadanya.

“Halo, sayaang.”

Rena tidak membalas sapaan dari Sagala tersebut.

“You’re mad”

Rena kembali tidak menggubris Sagala. Ia memilih untuk berpindah tempat sejenak, berjalan ke arah balkon kamarnya untuk sekadar menghirup udara segar.

”Okay, gapapa kamu boleh banget marah sama aku. But at least kamu nggak matiin video call kita.”

Rena menaruh ponsel miliknya di atas meja bundar kecil yang berada di balkonnya. Ia sengaja menyandarkan ponselnya pada hiasan yang ada di atas meja tersebut. Kemudian Rena duduk di kursi yang berada tepat di depan meja tersebut.

Selama beberapa saat keduanya hanya saling menatap.

Kendati Sagala tersenyum ke arahnya, Rena tetap dapat melihat guratan-guratan kelelahan dan kantung mata yang menebal pada wajah Sagala. Rambut Sagala kini sudah lebih panjang dibandingkan dengan saat terakhir kali mereka bertemu di rumah Sagala, begitu pula dengan poninya.

Memori tubuhnya saat memeluk Sagala waktu itu kembali datang. Rena masih mengingat dengan jelas momen demi momen yang mereka bagi bersama, bahkan saat Sagala hanya sekadar menggenggam tangannya sepanjang perjalanan pulang dari rumah Sagala ke rumahnya.

Kini perlahan rasa rindu itu kembali menghampiri Rena.

Walaupun komunikasi mereka sejak november tahun lalu terus terjaga, namun Rena tidak menyangkal bahwa itu semua masih terasa kurang baginya. Ia membutuhkan Sagala disisinya.

“I need you ga, I need you dan kamu kemarin hilang gitu aja. I know kamu ada kesibukan, I know kamu udah bilang ke aku kalau bakalan slow response hence why aku gak bisa apa-apa juga. But it just……sucks.” ucap Rena yang akhirnya membuka percakapan mereka.

”I’m sorry Rena…..”

Lagi-lagi hanya kata maaf yang dapat terucap.

”Do you…perhaps want to talk about it?”

“Aku ketemu Azkan kemarin. Waktu gala dinner.”

Sagala mengerjapkan matanya berkali-kali. Ia sempat melupakan eksistensi mantan suami Rena dan kini ia kembali diingatkan pada fakta itu.

Alarm pada diri Sagala pun secara otomatis kembali aktif.

“Something happened?”

Rena mengangguk pelan.

”Rena, kamu nggak diapa-apain kan? Please be honest, sayang.”

Sikap Rena yang nampak bungkam kini justru membuat Sagala khawatir. Rupanya sebesar apapun usaha Sagala untuk menghindari Azkan kembali hadir dalam dunia Rena masih belum cukup.

”Rena, sayang please say something? You can be mad at me for everything I did, you can stay mad but please for this one, tell me sayang…..kamu baik-baik aja kan?”

Rena menarik napasnya panjang kemudian mengangguk singkat yang tentunya membuat Sagala dapat bernapas sedikit lebih lega.

“I met him, with his w-...”

Ucapan Rena terhenti sejenak.

“Azkan dateng sama cewek itu.” ucap Rena. “I’m sorry ga… it’s not like I can’t say those words but it just reminds me of how he–...”

”It’s okay. I understand. I’ve been there and done that, remember? Bukan berarti kamu belum bisa move on, but sometimes it just hurts.”

Rena mengangguk.

Perlahan ia menaikkan kakinya ke atas kursi yang ia duduki, kemudian memeluk kedua kakinya tersebut.

“They came and looked like a happy family then there was me......and people talked. Ini yang lebih sakit buat aku as if orang-orang lupa apa yang Azkan udah lakuin ke aku and I’m the bad guy.” ucap Rena sembari sedikit mendongakkan kepalanya.

“Sayaang…..don’t cry please?”

Sagala hanya bisa menatap layar ponselnya, melihat Rena yang kini tengah memalingkan ponselnya menatap langit-langit balkon kamarnya agar Sagala tidak melihat air matanya yang mulai membasahi wajahnya.

“Wait, let me rephrase. Kamu boleh nangis but….”

Sebuah helaan napas terdengar dikeluarkan oleh Sagala dan hal ini membuat Rena kembali mengambil ponselnya. Mata Rena mulai memerah, begitu pula dengan pipinya.

“I’m sorry ga….”

“Hey hey…..jangan minta maaf. Kamu nggak ada salah Renaaa….I just…. I hope aku disana. Jadi aku bisa peluk kamu, at least. I am truly sorry aku gak bisa ada disana buat kamu….”

“Aku kesel sama diri aku sendiri. How come Azkan masih bisa bikin kesel aku kayak gini? Dia nggak penting sama sekali buat aku but–...”

“Renaa, itu wajar okay? Denger orang mencibir kita itu gak akan pernah nggak nyakitin hati kita. Like what I said, you can cry… I just feel hopeless right now. I wish I could hug you.”

Sagala tersenyum saat melihat Rena berusaha membendung tangisnya.

“It’s okay sayang, nangis aja. Aku disini, I will always be with you.”

“Don’t make me cry more, ga… I wish you were here too.”

“Sorry….” bisik Sagala pelan sembari berusaha menyentuh wajah Rena melalui layar ponselnya, berharap ia bisa menyeka air mata Rena.

Rena sedikit terisak pelan.

“I miss you and yesterday happened. Nangis aku hari ini lebih ke akumulasi sih…. I am tired ga…. I want you but I know I couldn’t. I need to wait and I will gladly wait, it just….”

”Sucks….” potong Sagala.

“It does….”

Ia kembali memperhatikan Rena dengan saksama, lalu tak lama kemudian Sagala menghela napasnya.

”Rena, awalnya aku mau buat kejutan buat kamu. Rencananya aku mau pulang tanpa bilang ke kamu, terus tau-tau nanti aku ketuk pintu kamar kamu and then ask you out for a date–...”

“Kalau kamu kayak gitu, aku bakal marah banget.” potong Rena.

Sagala terkekeh mendengar ucapan Rena.

”Good thing then, aku nggak jadi kasih kejutan. I think yesterday was a very very bad day for you so maybe this news can lighten up your day?”

“Huh?”

”In a few days aku pulang Rena, I got my degree. Kemarin aku hilang seharian karena professor aku ngadain barbeque party sekalian aku juga farewell party sama professor ku dan beberapa temenku disini.”

Ucapan Sagala sontak membuat Rena mengambil ponselnya, menatap mata Sagala dengan lekat.

“Kamu serius?!”

Sagala mengangguk mantap.

”Maaf ya aku nggak bilang kalau aku udah selesai ujian dan segala macam urusan administrasiku. Itu juga alasan kenapa aku sering ilang-ilangan akhir-akhir ini. Aku sengaja nggak bilang supaya aku nggak nervous dan ya….. I want to surprise you.”

“So kamu bakal pulang ke Indo? You will come home for real?” tanya Rena lagi untuk memastikan.

Terdapat sebuah perasaan yang tidak dapat Sagala gambarkan saat ia mendengar pertanyaan Rena barusan. Ia kembali merasakan kehangatan yang sudah lama hilang dari dirinya.

”Yeah, I’ll be home next week.”

419.

Hanya deru napas yang dapat terdengar selama beberapa saat pertama.

Baik Rena maupun Sagala sama-sama menunggu lawan bicara mereka untuk memulai percakapan.

Baik Rena maupun Sagala sama-sama memandangi foto lawan bicara mereka yang tersaji di layar ponsel mereka.

“H-hai….ga……” ucap Rena memberanikan diri untuk memulai percakapan.

”Halo Rena, it’s been a long time ya? Feels really nice to hear your voice again like this.”

“It feels nice to hear your voice too, ga…”

”Oof, wait sorry….”

Rena dapat mendengar Sagala sedikit kesulitan melakukan apapun yang sedang ia lakukan disana. Ia kemudian mendengar suara pintu yang sepertinya sedang di dorong oleh Sagala dan tak lama setelahnya Rena dapat mendengar sedikit kebisingan di sekitar Sagala.

”Need to keluar perpus dulu sebentar buat telepon kamu. Berisik gak ya ini?”

“It’s fine kok. Eh iya, kamu lagi di perpus ya tadi? Aku ganggu waktu kamu nggak ini ga? Sorry banget...”

”It’s okay Rena, kan aku udah bilang feel free to hit me up. Whenever you need me.”

Rena menggigit bibirnya sejenak.

”Rena? Halo?”

“H-halo…. Ga… sorry…. Aku lagi mikir how to say this…” ucap Rena sedikit terbata.

”Huh?”

Rena memejamkan matanya, meneguhkan hatinya untuk menyampaikan hal yang sudah ingin ia sampaikan sejak pembicaraannya bersama dengan Sultan pada pertemuan pertama mereka.

“I want what Sashi and Selene have too….with you. Even after these past 3 months where I’m trying so hard to forget you, to limit my communication with you, it’s still you Ga….I don’t know maybe I’m not trying that hard or maybe I don’t want to try that hard. You know, I have new friend, his name is Sultan. Dia sempet bilang satu hal ke aku yang bikin aku bener-bener mikir, bahwa aku lebih gampang memaafkan kamu daripada aku harus spend my days forgetting you, hating you.”

”Rena….ini kamu nggak bercanda kan? Aku pengen teriak sekarang kalau kamu serius. Wait, jangan ditutup teleponnya.”

Rena terkekeh saat mendengar Sagala benar-benar berteriak sesaat.

”Okay, sorry aku harus let out my feelings. Aku cuma……seneng banget denger ini semua.”

Rena dapat membayangkan saat ini Sagala tengah tersenyum dan hal ini secara otomatis membuatnya turut tersenyum pula.

“But ga… can we start really slow? I know I want you ga, tapi untuk langsung–...”

”We will do it at your pace. I’m fine with anything you set, Rena.”

“Kamu serius? Aku mikir kalau semua ini nggak adil buat kamu ga…”

”Aku serius. Adil itu sifatnya subjektif Rena. Kamu tau –....”

“Jangan mulai bacain adagium hukum buat aku sekarang!”

Sagala tertawa mendengar ucapan Rena.

”Okaaaay, padahal baru aja aku mau kasih kamu satu adagium sekarang.”

Rena tersenyum saat ia kembali merasakan perasaan yang sulit ia deskripsikan setiap kali ia bersama dengan Sagala seperti yang dulu ia rasakan beberapa tahun lalu.

Secara tidak sadar Rena sedikit menguap dan Sagala mendengar hal ini dengan sempurna.

”Wait, lemme do the math…..Rena disana udah tengah malam kan??”

“Yeah, jam….dua belas hampir jam satu.”

”Istirahat Renaaa. Aku lihat akhir-akhir ini kamu sering banget tidur pagi kan? Ini weekend Rena, please istirahat.”

“I should say the same to you, ga. Kamu juga sering likes instagram aku di jam-jam dini hari disana.”

”Well, namanya juga ngejar lulus Ren.” tawa Sagala.

”Tapi aku serius, tidur dulu ya kamu malem ini? We will talk again jam tujuh pagi disini berarti jam dua siang disana. Gimana?”

“Sure….”

”Okay, that’s a promise ya.”

“Wait ga, berarti kita bisa kontakan kayak biasa lagi kan? I don’t really like using my social media, to be honest.”

”Ya bisa dong Renaaaa. Especially now that we are serious about this, you will get lots of messages from me from now on.” ucap Sagala serius.

Senyuman mengembang di wajah keduanya.

”Don’t worry we will start this slow, at your pace Rena…”

372. Sultan Osmond

Sebuah kekehan pelan keluar dari mulut Rena saat melihat unggahan instagram story milik Sagala.

Rena menyadari bahwa selama ini Sagala selalu memperhatikan seluruh unggahannya, baik hanya sekedar story maupun feeds post. Terkadang Sagala akan meninggalkan jejaknya dalam bentuk likes dan harus Rena akui, terdapat perasaan senang ketika Sagala melakukan hal tersebut.

Rena juga menyadari bahwa Sagala kini lebih aktif mengunggah aktivitasnya melalui instagram story terutama unggahan-unggahan yang bersifat personal hanya khusus untuk close friend list.

Terkadang Rena merasa bahwa unggahan-unggahan Sagala sengaja ditujukan untuknya, sejujurnya sulit untuk tidak berpikir demikian. Namun setelah unggahan hari ini, Rena semakin yakin bahwa memang unggahan yang dilakukan Sagala adalah untuk Rena.

Unggahan foto Sultan yang ia masukkan dalam kategori close friend awalnya merupakan sebuah ketidaksengajaan. Bisa dibilang hal tersebut adalah akibat dari alam bawah sadarnya yang kini perlahan mulai terbiasa membagikan story-nya hanya khusus untuk Sagala. Tetapi agaknya ia merasa bersyukur keteledorannya membuat dirinya dapat melihat respon Sagala yang demikian.

“Lo tuh ketawa-ketawa gitu ngeliat apaan sih?”

“Hm?”

Kepala Rena yang awalnya menunduk memandangi layar ponselnya kini menengadah menatap Sultan.

“Ya, dari tadi lo tiap liat handphone antara senyum atau ketawa.” ucap Sultan lagi.

“Ahh, nothing.” balas Rena sembari memasukkan ponselnya ke dalam tasnya.

“Tck…. kalau mau pacaran tuh jangan di depan orang jomblo gini dong!”

Ucapan Sultan mengundang tawa bagi Rena. Sementara itu Sultan pun turut tersenyum setelahnya.

“Nggak ada yang pacaran.”

“Well but clearly your mind is not here.”

Rena hanya mengedikkan bahunya.

“Gue cakep nggak sih? Cakep kan ya? Menurut gue sih gue cakep. Tapi kenapa ya gue jomblo lama banget?”

Rena kembali tertawa. “Karena lo cerewet dan kepedean tau?”

Sultan memicingkan matanya, tanda ia tidak setuju dengan ucapan Rena.

Sosok Sultan di hadapannya cukup blak-blakan dan talk-active sedikit berbanding terbalik dengan Sagala yang selama ini menunjukkan sikap gentle-nya di depan Rena. Namun seperti apa yang dikatakan oleh Selene, Sultan memang pribadi yang asik dan menyenangkan. Topik-topik pembicaraan yang dibawa oleh Sultan sangat beragam dan Sultan pun cukup bisa mengimbangi Rena dan mendengarkan Rena dalam percakapan-percakapan mereka.

Walau demikian, tetap saja Rena hanya melihat Sultan sebagai teman barunya. Sama sekali tidak terbesit dalam pikiran Rena untuk mengenal Sultan lebih dari itu. Sultan pun memahami hal ini setelah kurang lebih dua jam berbincang dengan Rena dan ia tidak masalah dengan hal ini.

Sebenarnya salah satu hal yang membuat Rena dan Sultan bisa langsung klop berbincang dikarenakan keduanya memiliki minat yang cukup sama. Sultan saat ini bekerja sebagai salah satu fashion buyer di salah satu department store terkemuka dan ia sempat mengatakan bahwa dulu cita-citanya adalah menjadi seorang model walaupun akhirnya ia tidak melanjutkan hobinya dan beralih menjadi seorang fashion buyer.

“Tck… Selene nih ngejanjiin gue ngenalin ke orang yang emang lagi mau cari pasangan. Tapi kenapa udah dua kali dia salah mulu sih!” gerutu Sultan sembari meminum iced caffe latte nya.

“Ya salahnya percaya kok sama Selene.”

“Bener sih. Eh tapi, gue serius ya. Gue ngerasa klop nih ngomong sama lo, jadi habis dari sini please jangan jadi canggung. I’m serious about us being friends.” ucap Sultan.

“I can only offer that. Lebih dari itu….” Rena menggelengkan kepalanya.

“Iya keliatan kok. Tapi kok lo bilangnya nggak pacaran sih? Emang HTS-an? Atau baru putus tapi belum bisa move on? Eh kalau nggak mau jawab juga gapapa lho. Gue penasaran aja.” ucap Sultan.

Rena menggigit bibirnya, ia sedikit ragu untuk bercerita pada Sultan yang notabenenya adalah orang asing baginya. Namun disaat yang sama Rena berpikiran bahwa mungkin ia memang membutuhkan opini dari orang asing yang seharusnya bisa memberikan jawaban netral baginya.

“Yes to both of your questions.” jawab Rena.

Sultan menggeser gelasnya ke tepi meja. Kemudian ia memajukan tubuhnya dengan kedua tangannya yang bersilangan di atas meja.

“Kalo lo mau cerita, gue siap ngedengerin.”

“Sok serius banget ih!”

“Mumpung hidup gue akhir-akhir ini lempeng-lempeng aja, a little bit drama is fine.”

“Sialan!” tawa Rena.

“Jadi?”

“Well, a relationship that ends before it’s even started. She kinda hurts me because she wants to protect me? Help me? I don’t know but bottomline is she lied and hurt me.”

“She? Bukannya lo tuh cerai sama cowok ya? Mantan suami lo kan aktor?” tanya Sultan tanpa adanya nada menilai atau menghakimi, murni sebuah rasa penasaran.

“Well, after my ex-husband.”

“Anjir…..jadi habis jatuh tertimpa tangga?”

Rena menghela napasnya kesal atas ucapan Sultan.

“Eh, jangan marah dong? Kan gue ngomong fakta?”

“Iya fakta! Tapi lo jangan jadi ngeledekin gitu dong! Orang biasanya iba, kok lo malah ngejek sih?!”

Sultan mengangkat kedua tangannya sebagai tanda memohon ampun.

“Okay back to your love life, terus gimana sama si cewek ini? Lo masih suka tapi bingung pengen move on atau nggak karena udah ngerasain sakit hati gara-gara dia?”

Ucapan Sultan membuat Rena terdiam. Laki-laki di hadapannya yang baru ia temui beberapa jam lalu dapat dengan sempurna mendeskripsikan kondisinya saat ini.

Sementara itu Sultan kini mengubah posisi duduknya. Ia bersandar pada sofa yang ia tempati dengan tangan kanan memegang dagu dan tangan kiri menopang tangan kanannya.

“Kalau gue boleh ngomong, kata gue sih lo masih belum selesai sama orang itu.”

“Tell me something I don’t know.” balas Rena sembari memutar kedua bola matanya malas.

“Dengerin dulu makanya! Gak sabaran banget!” gerutu Sultan.

“Gini sih ya menurut gue simple. Lo lebih gampang memaafkan orang itu atau lebih gampang melupakan orang itu? Lo lebih sakit kehilangan orang itu atau lebih sakit kalau harus bersama orang itu?” lanjut Sultan.

Rena terdiam, mencerna ucapan Sultan.

“Eh tapi, orangnya masih suka sama lo nggak?”

“Ngerusak suasana!”

Sultan tertawa melihat wajah kesal Rena. “Ya malu kali kalau masih berharap tapi yang disana gak nyautin? Kasih tak sampai itu mah!”

“Masih sih… harusnya…”

“Dia follow sosmed lo gak? Kalau iya, lo posting foto sama gue sini. Kita liat responnya.”

Rena menyengir ke arah Sultan. “Udah hehe. Sorry ya tadi foto lo gak bilang-bilang.”

“Gapapa, gue tau gue ganteng.”

Lagi-lagi Rena menghela napasnya gemas menanggapi kepribadian Sultan yang cukup unik.

“Terus respon dia gimana?”

Rena menunjukkan unggahan instagram story Sagala kepada Sultan yang kemudian mendapatkan tawa dari Sultan.

“Yah, ini mah emang kalian berdua sama-sama belum selesai. Idih? Ngapain ini dimasukin close friend? Ini mah mau sampai kiamat juga kalian gak bakal move on kalau begini caranya.” ucap Sultan sembari menggelengkan kepalanya.

“Jadi gimana dong? Menurut lo dia masih suka sama gue kan ini? Gue takut kepedean jujur.”

“Lah, kan lo yang kenal dia? Menurut lo gimana?”

“Abis tuh ya, terakhir sebelum gue pisahan, dia bilang that she’s trying to let me go dan dia orang yang selalu pegang ucapannya.”

“Kuping lo kurang di korek kali waktu itu? Ini mah sama sekali nggak trying to let you go. Kalau iya, dia nggak bakal masukin lo di close friend-nya.”

“Itu dimasukin udah lama tau.”

“Terus aja denial sampai keledai lebih tinggi dari jerapah.”

Rena melempar selembar tisu yang sudah ia gumpalkan ke arah Sultan.

“Serius, ini belum move on. Udah kejar aja. Lo juga kayak gini? Saran gue masih sama kayak tadi, lo renungin deh itu, Lo lebih gampang memaafkan orang itu atau lebih gampang melupakan orang itu? Lo lebih sakit kehilangan orang itu atau lebih sakit kalau harus bersama orang itu?”

“Thanks deh, bestie.”

“Bestie? Wah gila, sebuah pencapaian sih gue jadi bestie lo.” tawa Sultan.

“Lo kenapa sih lebay banget, Sultaaaan!”

Sultan kembali tertawa, “Iya sama-sama.”

“Dih nggak nyambung!”

“Mau gue bantu satu kali lagi nggak? Sini foto gue lagi, posting tapi kali ini gak usah di close friend. Kita liat cewek lo itu bakalan respon apa?”

352. Goodbye, Hello

Suara petikan gitar terdengar di dalam ruang tengah rumah Sagala.

Sang pemilik rumah setengah berbaring di atas sofa panjang tempat favoritnya beristirahat selama ini.

Dahulu biasanya Sagala dan Isaura ada di ruang tengah itu hanya untuk sekadar menemani Isaura menonton acara-acara televisi kesukaannya. Biasanya Sagala akan duduk di lantai beralaskan karpet berbulu sembari mengerjakan kerjaan-kerjaannya di depan televisi sementara Isaura akan duduk di sofa yang kini ditempati Sagala.

Setelah beberapa kali memainkan chord gitar yang sama, Sagala kini sudah menghafalnya di luar kepala. Suara penyanyi asli lagu itu pun terdengar mengalun sembari ia memetik gitarnya.

Sementara itu, tepat di depan pintu rumah Sagala kini Rena tengah berdiri termenung masih dengan pakaiannya yang ia gunakan ke acara wedding anniversary orang tua Selene tadi.

Jarinya mengambang kaku tepat di depan bel rumah Sagala. Secara samar-samar Rena dapat mendengar samar-samar suara gitar yang sedang dipetik oleh Sagala.

Pikirannya kembali berkecamuk.

Apakah keputusannya tengah malam buta itu tepat?

Lalu setelah ini apa? Jika ia mengetuk pintu rumah ini dan berbicara dengan Sagala, lalu apa?

Ia sudah mengatai Sagala egois beberapa hari lalu, namun sekarang apa yang ia lakukan juga sama egoisnya.

Jika Sagala sudah hendak melepaskannya, mengapa kini ia kembali mendatangi Sagala?

Rena terbangun dari lamunannya ketika ia mendengar suara kunci pintu yang diputar dan tak lama setelahnya ia bertatapan dengan Sagala.

Kondisi Sagala tidak jauh berbeda dengannya. Mata Sagala cukup merah di balik kacamata yang ia gunakan.

“R-Rena?!” ucap Sagala terkejut. Namun tak lama kemudian ia segera menarik Rena memasuki rumahnya.

Mata Rena menangkap dua buah koper yang sudah berjajar rapi di ruang tamu. Seakan-akan mengingatkannya kembali bahwa Sagala akan pergi.

“Kamu ngapain malem-malem kesini?! Sama siapa?!” cecar Sagala.

“S-sendiri….”

“Astaga Rena!! Ini jam berapa Ren?! Bahaya banget Rena! Kamu juga pakai baju kayak gitu! Tunggu disini bentar.” omel Sagala merujuk pada shoulderless dress berwarna hitam yang dikenakan Rena.

Sagala meninggalkan Rena sejenak, memasuki kamar tidurnya. Ia kemudian kembali dengan sebuah hoodie berwarna abu-abu.

“Udah malem, dingin. Kamu nggak tahan dingin kan? Pakai aja dulu ini.” ucap Sagala yang kemudian kembali meninggalkan Rena.

Sang pemilik rumah sengaja menyibukkan dirinya di dapur untuk memberinya jeda waktu berpikir. Ia sama sekali tidak tahu harus berekspektasi apa dengan kehadiran Rena di rumahnya. Ia sendiri mempertanyakan apakah saat ini nyata adanya atau hanya mimpi belaka.

Akhirnya Sagala memilih untuk menyeduh dua cangkir teh hangat, untuknya dan untuk Rena.

Diletakkannya cangkir teh tersebut di depan meja kaca di ruang tengah.

“A-ada apa Ren? Kamu kesini malam-malam gini?” tanya Sagala berusaha membuka percakapan.

Jantung Sagala berdegup kencang, bahkan jika ia boleh sedikit hiperbola, Sagala rasa setiap detiknya berdegup lebih kencang dan lebih kencang lagi. Menerka-nerka jawaban yang akan diberikan oleh Rena.

“Kalau hari itu aku nggak denger ucapan kamu, apa kamu bakal kasih tau aku semua rencana kamu ini?”

Sagala terdiam menatap Rena yang ada di hadapannya yang kini terlihat sangat kecil di balik hoodie yang ia berikan tadi. Apalagi dengan gestur tubuhnya yang terlihat penuh keraguan. Sagala pun menyadari bahwa Rena sebisa mungkin menghindari kontak mata dengannya.

“Please jujur, ga….” ucap Rena yang tiba-tiba menolehkan wajahnya menatap Sagala.

Keduanya kini beradu pandang. Membuat Sagala menyadari bahwa mata Rena terlihat cukup sembab. Pancaran mata Rena pun penuh rasa lelah.

You owe her the truth, Wening…” batin Sagala.

“Nggak, Rena. Aku nggak pernah sekalipun ada rencana untuk kasih tahu kamu semuanya. Hari itu aku cerita ke Sashi karena aku juga tersiksa bohong sama kamu. I just need to let it out, hoping that maybe Sashi bisa bantu aku mengurai jalan pikiran aku yang kusut. Walaupun kamu gak denger ucapan aku hari itu, aku nggak akan cerita ke kamu tentang semua yang udah aku lakuin. Aku juga masih tetap akan pergi kayak sekarang sambil berharap suatu hari nanti kita ketemu lagi di waktu yang tepat.”

Rena kembali memalingkan wajahnya dari Sagala. Setetes air mata kembali terjatuh di pelupuk matanya. Namun tak lama kemudian Rena kembali menatap Sagala saat ia merasa Sagala menarik tangannya dan meletakkannya tepat di dada Sagala.

“Kamu buat aku kayak gini Rena, can you feel that? What we feel are mutuals, Rena. Aku nggak pernah ada niat mainin perasaan kamu, Rena.” ucap Sagala sembari tersenyum walau kini ia pun mulai berkaca-kaca.

“I admit, awalnya aku cuma berusaha deket sama kamu untuk mancing ayah aku. Tapi niat awal aku adalah deket sama kamu sebagai teman but my feeling grows into something more. It terrifies me, a lot. Aku nggak takut kehilangan license aku, I’m afraid I make you into someone I hate. I hate cheaters Rena. What I did, what we did, almost makes you one. I hate myself for that.” lanjut Sagala.

“How you were so sure, Sagala? Kamu bukan Tuhan. Kenapa kamu lakuin itu semua?”

Sagala menangkup tangan Rena di dalam genggamannya. Ia bersyukur setidaknya Rena masih membiarkannya untuk melakukan kontak fisik seperti ini.

“Manusia itu tempatnya memupuk dendam, Rena. Walau aku udah menerima fakta kalau ayah aku tega kayak gitu, bukan berarti aku nggak dendam sama dia. Any slight chance to hurt him, I will take it. Sidang pertama kamu, disana aku baru tahu kalau kantor ayah aku yang ngewakilin Azkan. Disaat itu juga aku berambisi buat ngalahin ayah aku, embarrass him, anything will do. Aku mutar otak aku gimana caranya menangin kasus kamu. Then it happened, inget waktu kita makan steak? Disana aku sadar kalau kita diikutin orang. I know how he works. Tapi setelah beberapa kali aku lihat orang itu, aku sadar kalau yang diikutin bukan kamu tapi aku. My fathers knows my previous ex-es, jadi aku menyimpulkan dia mau pakai cara kotor. I took his bait.”

“Aku nggak tahu harus ngomong apa, kamu gila…”

Keduanya terdiam.

Sagala yang masih menggenggam tangan Rena berusaha membaca mimik muka Rena. Kembali menerka-nerka apa yang harus ia lakukan.

“S-since when?” tanya Rena lagi.

“Apanya? Aku suka sama kamu atau aku sadar perasaan aku ke kamu?”

“Both..”

“Aku nggak tahu kapan aku mulai suka kamu. Tapi yang jelas aku mulai peduli sama kamu, more than I should, waktu aku datang ke apartemen kamu malam-malam. Habis kamu ribut itu. But aku sadar I have this feeling for you at the theater. I almost kissed you.”

“H-huh?”

“Waktu itu kamu udah tidur di bahu aku. It feels nice to have someone to spend my time with dan udah lama banget aku nggak ngerasa kayak gitu. Disitu aku egois. Aku tahu apa yang aku lakuin salah tapi aku selalu bilang ke diri aku sendiri, ‘it’s okay this gonna be the last.’. Gitu terus tiap hari. Then puncak happened, then that day happened. D-do you hate me more now?” tanya Sagala mengakhiri paparannya.

Rena menarik tangannya dari genggaman Sagala. Lalu menangkupkan kedua tangannya menutupi wajahnya.

Ia tertunduk.

“Aku nggak tahu, ga…. Aku bingung sama diri aku sendiri. I hate you but I do miss you. Apa yang aku bilang di balkon kemarin itu yang aku rasain selama ini. Awal aku temenan sama Sashi itu pas di hari ulang tahun kamu, sebelum kamu pergi. Dia lagi beli pastries buat ulang tahun kamu, aku lagi ada di toko yang sama di mall dimana kita nonton. She saw me cry over a croissant. Dia gak dateng ke ulang tahun kamu kan waktu itu?”

Sagala mengangguk.

“Even smallest things reminds me of you but then waktu aku inget kamu, aku keinget hari itu. So if you ask me, do I hate you? I don’t know, ga. Any question about you, I don’t know the answer.”

Kini ganti Sagala yang meneteskan air matanya. Ia sama sekali tidak menyangka sebesar itu dampak perbuatannya terhadap Rena. Ia kemudian berpindah posisi, kini bersimpuh di depan Rena.

“Rena….aku minta maaf buat semuanya. Maaf karena ambisi aku justru kamu yang jadi tersiksa kayak gini. Can I borrow your phone?” tanya Sagala.

“H-huh?”

“Pinjem bentar handphone kamu.”

Rena kebingungan mendengar ucapan Sagala. Namun ia memilih untuk mengabulkan permintaan tersebut.

Gawai pribadinya itu kini berada dalam penguasaan Sagala.

Rena melihat bagaimana Sagala mencari kontak dirinya dan menghapus semua chat mereka. Sagala kemudian menghapus semua riwayat komunikasi mereka, termasuk nomor pribadinya dari ponsel Rena.

“Sagala!” pekik Rena merebut ponselnya ketika ia menyadari apa yang dilakukan Sagala.

“I like you, I do. Aku sayang sama kamu, Rena. Tapi kalau setiap kali kamu lihat aku malah bikin kamu tersiksa, then I choose to let you go. Maybe dengan kamu dengar penjelasan aku kayak gini, kamu bisa sedikit lebih lega dan lebih mudah buat belajar melupakan semuanya. We start it slow, aku hapus kontakku dari handphone kamu.”

“It is not your place to do that, Sagala!”

“Kamu nggak pernah bener-bener berusaha lupain aku, Rena. That way, kamu bakal terus-terusan tersiksa sama memori tentang aku.”

“But we can start it from a clean slate, ga! Nggak harus sedrastis ini!” protes Rena

Sagala tersenyum kemudian kembali duduk di sebelah Rena. Tangannya menangkup wajah Rena.

“Rena, kita nggak akan pernah bisa jadi teman. Aku pengen kita bisa kayak Yesha dan Mahen, kayak Sashi dan Selene. Sedangkan kamu nggak akan pernah bisa siap kalau kamu sendiri masih tersiksa sama semua memori tentang aku. Aku tahu kamu liat story aku kan? Kinda cringe but I meant it. I’m trying to let you go and hoping you’re gonna be happy from now on.”

“Ga…..” ucap Rena pelan. Ia sudah tidak peduli akan air mata yang sudah membasahi wajahnya.

Melihat kondisi Rena seperti itu serta menyadari bahwa dirinya pun sudah tidak sekuat itu, Sagala kemudian memberanikan dirinya untuk memeluk Rena dengan erat.

“Please be happy Rena. Find yourself again, love yourself again. One day kalau kamu rasa kamu bener-bener siap, then I will be there. But even if kamu nggak pernah siap, just know that it’s okay. Jangan paksa diri kamu ya?”

Rena membenamkan wajahnya di ceruk leher Sagala. Ia hanya mampu terisak dalam diam sembari berusaha menarik nafasnya sedalam mungkin ketika dadanya mulai terasa sesak.

Dari sekian banyak skenario yang terbayangkan oleh Rena, tidak satu pun terjadi malam itu. Perasaannya tak keruan. Namun ia tahu apa yang Sagala ucapkan seluruhnya benar.

“Please jangan pernah nangis karena aku lagi ya Rena….”

349.

Rena masih terpaku menatap layar ponselnya, berusaha mencerna pesan yang Sagala kirimkan lewat instagramnya. Rasa penasarannya pun telah mengantarkannya membuka story yang diunggah oleh Sagala.

Rahangnya mengeras, matanya mulai memanas.

Ia berusaha mengabaikan notes Sagala.

Ia berusaha mengabaikan story yang ia lihat beberapa jam lalu bahwa Sagala ada di tempat dimana mereka sempat berbagi kisah senang bersama.

Ia berusaha mengabaikan direct messages yang dikirimkan oleh Sagala.

Namun nyatanya justru kerisauan yang menemaninya malam ini, pikirannya kacau tak keruan.

”Ini yang kamu mau, Rena. Now why do you feel sad?” batin Rena.

“Ibu jari kamu bakalan pegel nahan storynya Wening terus kayak gitu. Mau kamu pandangin terus-terusan juga orangnya nggak bakal ada disini sekarang, Rena.”

Rena mendongak ketika mendengar suara Sashi dan disapa oleh selembar tisu yang diberikan oleh Sashi.

“You’ve been crying for a while.” ucap Sashi lagi yang kini menemani Rena duduk di atas kasur Selene.

Acara wedding anniversary tuan dan nyonya Parabawa diadakan di kediaman mereka, menghadirkan beberapa orang-orang maupun rekan bisnis terdekat mereka. Rena sedikit bersyukur setidaknya dengan begini ia memiliki ruang ‘khusus’ yang jauh dari pandangan penuh selidik yang diberikan oleh orang-orang asing di sekitarnya.

“Dia besok balik. Aku nggak tahu jamnya, Wening nggak mau ngasih tahu. Yang tau cuma Yesha aja. Kata Wening supaya nggak banyak yang nganter ke bandara, nggak mau ada adegan nangis-nangisan katanya dia. Tapi knowing Wening, aku rasa dia bakal ambil flight paling murah, aku liat ada satu flight jam delapan pagi besok.” tawa Sashi.

“I feel weird, Sas….” ucap Rena.

Sashi mengangguk, membiarkan Rena menata pikirannya dan memberikan waktu bagi Rena untuk melanjutkan perkataannya.

“Kamu tahu seberapa susah aku berusaha baik-baik aja kemarin-kemarin. I think I’m doing fine, but it turns out I’m not. The moment Sagala balik lagi, semuanya terasa aneh di aku. I miss her, I hate her, I long for her, I hurt her, it keeps repeating like that. Whenever aku ended up nyakitin dia karena perkataanku atau perbuatanku, I feel regret.” lanjut Rena.

Sashi menarik napasnya panjang.

“Do you hate her, Ren? Aku nggak bakal kasih tahu jawaban kamu ke siapapun, promise.”

“I hate what happened at that day, tapi aku nggak yakin aku benci Sagala. If I do, aku nggak tidur setiap malam crying while hugging her blanket, Sas. You know how bad it was for me a couple of months after that day.”

“Then my answer is still the same, Rena. Kamu masih nyari that closure from Wening. Kamu masih pengen denger semuanya dari mulut dia, ya kan?”

“I don’t know, Sas. Sometimes aku mikir, apa lebih baik aku nggak denger semuanya and just forget it, forget her.”

“Does it work? Sekarang kalau gantian aku yang nanya, kasih aku definite answer kapan kamu siap denger penjelasan dia?”

Rena memalingkan wajahnya dari tatapan Sashi.

“You will never be ready, Rena. Karena kamu masih berharap Wening deny semua apa yang terjadi di hari itu. Kamu berharap hubungan kamu dan Wening bisa balik kayak dulu. But at the same time kamu tahu kalau itu cuma harapan kamu aja. Kenyataannya kamu sendiri yang selama ini masih nggak mau let it go. Kalau susah buat kamu denger semua penjelasan Wening, at least tanya dia satu pertanyaan yang paling mengganjal di kamu.”

Sashi mengambil ponselnya dan tak lama kemudian ponsel Rena berdenting.

“Itu alamatnya Wening kalau kamu mau datengin dia. Heard from kak Teira kalau Wening sempet ada omongan buat nggak balik kesini for some reason. Aku juga baru denger barusan dari kak Tei waktu kak Tei lihat story-nya Wening.”

Sashi kemudian tersenyum ke arah Rena.

“If you somehow find it in you, tolong maafin sahabat aku yang satu itu ya Rena. She made one mistake but that does not define her as a whole. She lo-..... ” ucapan Sashi terhenti sejenak, ia berdeham pelan lalu merevisi ucapannya barusan, “She cares for you, a lot.”

Rena kembali memalingkan wajahnya, berusaha sedikit menengadah untuk mencegah air matanya kembali terjatuh.

Ucapan Sashi mengingatkannya pada Sagala saat mereka berada di sekolah Acel.

“A little bit dramatic, but I think this time dia serius sama ucapannya buat pergi.”

343.

“Yoo, kak here’s some package for you.” ucap Mahen menyodorkan sebuah totebag kepada Rena.

Rena hanya menatap totebag tersebut, menginspeksi gerak-gerik Mahen.

“Dari siapa?”

“Who else? Also please banget stop jadiin gue dan cewek gue like some sort of an owl? Kalian udah gede kak. Face the problem.” ucap Mahen yang akhirnya menaruh totebag tersebut di atas meja porselen di ruang keluarga kediaman keluarga Parabawa.

Selepas rilis koleksi terbaru dari clothing line mereka, Sweet Simple Series, Selene mengajak Rena untuk merayakan keberhasilan mereka secara kecil-kecilan bersama Sashi, Yesha, dan Mahen.

Sementara itu Selene mengamati ekspresi Rena dengan seksama. Ia tahu bahwa Rena merasa dilema.

“Buang aja hen.” ucap Selene.

“Whaaat? Ini makanan tau! Sayang banget.”

Selene dan Mahen yang hampir beradu argumen tertegun ketika melihat Rena akhirnya mengambil totebag tersebut dan mematung saat melihat isinya.

Mahen sendiri sengaja tidak membuka ikatan dari totebag yang dititipkan oleh Sagala, ia hanya tahu kalau apa yang dititipkan oleh Sagala adalah makanan karena diberitahu oleh Sagala agar totebagnya tidak terguncang atau bahkan terbalik. Sehingga saat ini pun adalah kali pertamanya melihat titipan dari Sagala tersebut.

Sementara itu mata Rena membaca kartu ucapan yang tertempel bersama dengan ‘paket’ yang diberikan oleh Mahen.

Satu kotak dunkin sesuai janji karena kamu menang balapan. Maaf ya telat dua tahun. Maaf karena ingkar janji. Maaf karena ngecewain kamu. The list will go on. I have lots to say but so limited time on my side. At least sebelum aku ngelanjutin studi aku, aku pengen ketemu kamu untuk yang terakhir kali. Kalau kamu setuju, aku bakal nunggu kamu di tempat yang sama dimana aku janji kasih kamu dunkin ini. Besok jam 8 malam. Please come, Rena. I do hope you will come.

SW

322.

Setibanya Sagala di rumah Sashi, ia memarkirkan mobilnya di depan rumah berpagar hitam itu. Disana ia dapat melihat sebuah mobil SUV berwarna putih serta sedan berwarna silver terparkir di carport rumah Sashi.

Sagala mengenali mobil SUV milik Sashi, namun tidak dengan mobil sedan silver yang bertengger manis tepat di sebelah mobil Sashi.

“Sashi gue tinggal kuliah bentar doang udah beli mobil mewah lagi aja.” ucap Sagala pada dirinya sendiri.

Setelahnya Sagala melenggang memasuki halaman rumah tempatnya dahulu sering menginap disana. Ia menekan bel rumah Sashi berkali-kali, tidak cukup sabar untuk menunggu kehadiran temannya.

“Woy buka woy!! Kan tadi udah gue chat!! Segala pake dikunci sih Sas?!”

Betapa terkejutnya Sagala ketika ia mendapati sosok Selene yang membuka pintu rumah Sashi dengan tatapan tajam tidak bersahabat. Namun lebih dari itu, mulut Sagala ternganga ketika ia melihat Selene mengenakan jersey basket yang sering kali digunakan oleh Sashi, yang bahkan ia saja tidak pernah diizinkan untuk menggunakannya.

“Siapa babe?!” teriak Sashi dari dalam rumah.

“BABE?! WOY SASHI!”

Tanpa menghiraukan Selene, Sagala langsung menerobos rumah sahabatnya itu.

Wanita berambut sebahu itu langsung berjalan ke arah datangnya suara dan lagi-lagi ia dikejutkan oleh Sashi yang masih mengenakan bathrobe yang baru saja keluar dari pintu kamar utama.

Mata Sagala melirik ke arah kamar Sashi.

Tanpa perlu diperjelas secara verbal pun Sagala dapat menebak apa yang terjadi di dalam sana sebelum ia datang.

“WHAT THE FUCK, SAS?!”

“Apa sih Wen?! Lo dari kemaren kerjaannya ngamuk ke gue mulu?!”

“Rena udah percaya lo, Sas?! Lo gak inget dia cerai karena apa?! Gue udah mau ngerelain Rena buat lo! Terus lo kayak gini?! Selingkuh sama sahabatnya Rena sendiri?!”

“HAH?! Lo ngomong apa sih Wen?! Gue selingkuh sama siapa! Selene cewek gue! Selingkuh darimananya!”

Mata Sagala mengerjap berkali-kali.

“What?”

“Lo ngomong apa sih? Udah dramanya?” tanya Selene yang mengamati keduanya sedari tadi.

“Wait-wait….” tangan kiri Sagala terangkat untuk menghentikan Sashi berjalan ke arah Selene.

“Lo berdua pacaran?”

Sashi memutar kedua bola matanya malas. “Ya menurut lo deh.”

“Anjing Sashi jawab serius dong! Gue baru mental breakdown semalem!”

“Kalau iya lo mau apa?” tanya Selene menimpali.

“Terus Rena? Bukannya lo berdua deket sekarang? Katanya Rena jadi sering ke kantor? Dia kan juga sering jalan bareng lo, Sas? Terus update pajamas date itu?”

“Kata siapa gue sekarang deket sama Rena?”

“Yesha.”

“Lo nanya gimana ke dia?”

“Ya gue nanya, sejak gue ga di Indo lagi, lo sama Rena jadi deket? Terus dia bilang iya.”

“Lo nanya nggak deketnya buat apa?”

Sagala menggeleng.

Sikap sahabatnya ini membuat Sashi menghela napasnya panjang.

“Kamu mandi deh, aku ngeladenin temen aku yang agak nggak waras ini.” ucap Sashi pada Selene.

Selene memutar kedua bola matanya malas saat ia bertatap mata dengan Sagala. Namun sikap dinginnya tidak bertahan lama ketika Sashi kemudian mengecup pipinya singkat.

“Nanti aku buatin sarapan.”

Kening Sagala mengernyit melihat pemandangan di depannya barusan, cringe.

“Lo ikut gue ke ruang kerja gue.” ucap Sashi pada Sagala setelah ia melihat Selene telah menutup pintu kamar utama.

Sagala pun hanya bisa mengekor menuruti Sashi dengan isi kepalanya yang masih cukup berkecamuk.

“Gue harus ngomong ini jauh dari Selene, kalau nggak nanti kasian Rena.” ucap Sashi sembari menutup pintu ruang kerjanya.

“Hah?”

Sashi mendorong Sagala untuk duduk di kasur kecil yang terdapat di dalam ruang kerjanya tersebut.

“Sejak aksi sok heroik lo itu, Selene benci banget sama lo. Meanwhile, Rena justru masih sering mood swing gara-gara lo. Dia masih sering banget keinget lo, Wen. Hal-hal yang kayak gini yang bikin Selene sama Rena kadang berantem. Rena cuma butuh temen buat dengerin dia aja, Rena gak butuh dinasihatin panjang lebar. Tapi Selene gak bisa menuhin porsi itu. Pasti ada aja ceramah panjang yang dia kasih buat Rena. Gue yang dengerin Rena.” papar Sashi.

“Yesha nggak salah, Rena emang sering ke kantor buat ketemu gue. Tapi untuk alasan yang sama kayak yang gue cerita barusan. Kenapa ke kantor? Karena biasanya Rena curhat sambil gue kerja dan kalau di kantor, dia gak bakal kepergok Selene lagi ngomongin lo. Selain itu, lo tau kan Selene sama Rena ada usaha bareng itu? Lo pikir siapa yang kasih free advice selama ini? Guee!”

“Yeee buat deketin Selene kan lo?” celetuk Sagala.

“Ya gak ada salahnya juga?” balas Sashi.

“Jadi lo gak ada apa-apa sama Rena?”

Sashi menggeleng cepat. “Pure temen. Lagian gila ya lo? Gue tau lo sesuka apa sama Rena. Gue tau berapa banyak pengorbanan lo di belakang layar yang udah lo lakuin buat Rena. Masa gue nikung sahabat sendiri?”

Sagala mengerucutkan bibirnya.

“Gue overthinking hal yang gak pernah kejadian berarti?”

Sebuah spidol papan tulis melayang mengenai kepala Sagala, membuat ia meringis kesakitan.

“Kecewa banget gue! Masa lo mikir gue serendah itu!”

“Dua tahun banyak yang bisa berubah, Sas.”

“True, tapi gue temenan sama lo udah berapa tahun Wening?”

“Ya abisnya! Lo liat dong itu komen-komenan Mahen, Selene, Rena di instagram lo! Gimana gue nggak overthinking!” protes Sagala.

“Ya karena Mahen protes kenapa Rena selalu gue bawa kalau gue mau ngedate sama Selene! Gue nervous kalau cuma berdua Selene doang, Wening! Seenggaknya kalau ada Rena, suasananya jadi lebih kalem!”

“Anjing? Jadi lo bikin Rena third wheelnya?”

“Ya iya? Siapa lagi?? Gue kira lo paham karena gue panggil dia Miss third wheel?”

“What the-..... Itu miss maksud lo reference ke dia yang finalis Miss Universe?!”

Sashi tertawa melihat wajah Sagala yang masih terkejut dengan semua informasi yang diberikannya barusan.

“Ada lagi gak? Selene udah gue janjiin sarapan nih.”

“Rena bilang dia capek sama gue, Sas. Dia bilang dia kesiksa sama semua memori dia sama gue. Apa ini tandanya gue mundur aja ya?”

“Pelan-pelan, Wen. Anak orang jangan lo gas pol gitu. Inget, tiga tahun pernikahan dia kandas terus pas dia baru suka lagi sama orang lain, lo nya malah gitu. Rena nggak benci lo, Wen. Well maybe marah besar iya, tapi gue rasa dia nggak benci lo deh. She just confused. Lo nyadar nggak, ada barang lo di kantor yang ilang?” tanya Sashi tersenyum ke arah Sagala.

“Hah? Apaan?”

“Selimut lo, yang di kantor. Lo liat gak?”

“Wait, selimut bebek kuning gue?!”

Sashi mengangguk.

“Diambil Rena.”