youngkimbaeson

Queendom Restaurant

78. Lesson

Selama perjalanan dari apartemen hingga Queendom Restaurant, Joohyun masih sesekali membalas chat dari Sooyoung walaupun jujur saja ia sudah mulai malas membuka ruang chat dengan sahabatnya itu.

Alasannya sangat sederhana, ia tidak ingin membahas lebih lanjut topik yang baru saja diungkit, takut apabila Sooyoung lagi-lagi menamparnya dengan fakta-fakta yang cukup membuat dirinya pusing.

“Miii” panggil Minjeong yang duduk di kursi belakang.

“Ya sayang?”

“sih auh?”

“Ayo ngomong yang bener. Mami nggak mau jawab kalau Minjeong ngomongnya belum bener.”

“Miiiii” rengek Minjeong.

Sang anak semata wayang mendengus kesal lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi penumpang saat ia tidak mendapatkan tanggapan apapun dari Maminya. Ia berusaha untuk akting merajuk karena ia tahu Maminya paham maksud perkataannya barusan.

Joohyun menggeleng.

Kalau Minjeong mau keras kepala, ia pun bisa lebih keras kepala lagi. Sejak awal Joohyun selalu memiliki prinsip untuk memperlakukan Minjeong layaknya orang dewasa, termasuk dalam hal berbahasa. Joohyun hampir tidak pernah menggunakan bahasa bayi saat berbicara dengan Minjeong.

Sementara itu Seungwan yang berada di kursi kemudi berusaha untuk melirik ke arah Joohyun dan mendapat tatapan tajam dari Joohyun.

“Jangan respon Minjeong.” Kira-kira begitu peringatan yang Joohyun berikan pada Seungwan melalui tatapan matanya.

Seungwan mengangguk pelan dan menahan tawanya, apalagi setelah ia melirik ke arah kaca spion untuk melihat kondisi Minjeong yang cemberut duduk di kursi penumpang. Sejujurnya Seungwan pun tidak mau ikut campur untuk masalah seperti ini. Joohyun memiliki caranya sendiri untuk mendidik Minjeong dan Seungwan menghormati cara tersebut.

Setelah seminggu Joohyun dan Seungwan saling mengenal satu sama lain, Joohyun menyadari bahwa Seungwan cukup mudah terkecoh dan terbujuk oleh Minjeong. Sedangkan Joohyun merupakan kebalikan dari Seungwan.

Joohyun memiliki 3 prinsip yang haram untuk dilanggar oleh Minjeong dan anak semata wayangnya itu paham akan hal ini.

Kesehatan, sopan-santun, dan taat aturan hukum.

3 hal ini adalah prinsip utama yang harus Minjeong taati dan masalah berbahasa termasuk dalam sopan-santun, maka dari itu Joohyun cukup keras pada Minjeong dalam hal ini.

“Miiiii” rengek Minjeong lagi.

“Ya?”

“Masih jauh?” tanya Minjeong, kali ini dengan bahasa yang benar.

Joohyun harus menahan tawanya karena ia mendengar suara helaan napas yang keluar dari anak kesayangannya itu.

Kali ini Seungwan membuka mulutnya saat ia sudah melihat perempatan terakhir sebelum ia harus berbelok ke kanan, “Sebentar lagi sampai kok. Sabar ya? Wannie cari parkiran dulu habis itu kita turun.”

“Udah mau sampai?!” pekik Minjeong senang.

Seungwan menjawab dengan anggukan mantap yang kemudian disambung oleh Joohyun.

“Sekarang Minjeong duduk tenang, siapin tas yang tadi udah Minjeong bawa. Terus itu Mr. Frog mau ditinggal di mobil atau mau kamu bawa turun?”

“Uhmm….” bola mata Minjeong melirik ke kanan dan kiri, tanda bahwa ia sedang berpikir matang-matang.

“Wannie, nanti kita banyak kena air nggak? Soalnya Mr. Frog takut air.” tanya Minjeong.

“Hah?” tanya Seungwan secara spontan. Pertanyaan yang Minjeong lontarkan kepadanya sama sekali di luar prediksi Seungwan.

“Nanti waktu bikin eskrim, kira-kira banyak butuh air nggak? Atau tempatnya basah gitu nggak? Mr. Frog takut air, kalau banyak interaksi sama air artinya Mr. Frog harus ditinggal di mobil.” ujar Joohyun mengulangi pertanyaan Minjeong sekaligus memberikan penjelasan yang dibutuhkan oleh Seungwan.

“Oooh, hmm kalau mau bawa Mr. Frog bisa kok. Nanti pas kita di dapur, Mr. Frog dititipin aja ke temennya Wannie. Mau?”

Minjeong langsung mengangguk antusias saat mendengar tawaran dari Seungwan. Ia langsung meraih Mr. Frog yang sedari tadi duduk manis disebelahnya dan mengajak bicara boneka kodok berwarna hijau tersebut, menjelaskan bahwa sebentar lagi mereka akan tiba di rumah makan milik Wannie dan mereka akan belajar cara membuat es krim.

Lagi-lagi Seungwan tertawa saat melihat tingkah Minjeong kemudian melirik pada Joohyun. “Minjeong unik banget ya?”

Welcome to parenthood, setiap hari kamu bakal dituntut untuk belajar banyak hal dan mempersiapkan diri kamu buat hal-hal tak terduga, contohnya tadi menerjemahkan bahasa anak kecil ke bahasa orang dewasa and vice versa” tawa Joohyun.

Sounds so tough and challenging. Keren banget kamu bisa do your role as her mom perfectly.”

Joohyun menggeleng dan tertawa pelan, “Aku masih jauh dari sempurna, Seungwan. Nggak ada orang tua yang bisa sempurna, tapi seenggaknya aku mau berusaha keras supaya bisa jadi yang terbaik buat Minjeong.”

“Hmm, setuju sih nggak ada yang sempurna. Tapi menurut aku kamu udah sebisa mendekati kesempurnaan itu sih.”

Seungwan melirik ke arah Joohyun dan melayangkan senyuman khas miliknya yang akan selalu terlihat kala ia menggoda Joohyun. Sementara itu Joohyun sama sekali tidak menyangka akan digoda seperti itu.

Joohyun bersumpah bahwa saat itu dirinya berusaha sebisa mungkin untuk tetap tenang walau sejujurnya perasaannya saat itu sudah kalang kabut. Kalau ia boleh sedikit hiperbola, Joohyun bersumpah ia bisa mendengar detak jantungnya yang berdebar sangat kencang.

“Udah sana nyetir yang serius, gak usah ngegombal gak jelas!” balas Joohyun cepat sembari melayangkan sebuah pukulan pelan ke lengan Seungwan.

Joohyun menolehkan wajahnya ke arah yang berlawanan, ia tidak yakin bisa lebih lama lagi menahan ekspresinya untuk tetap tenang jika Seungwan lagi-lagi menggodanya. Namun pilihannya untuk mengalihkan perhatiannya dari Seungwan justru membawa Joohyun kembali mengingat chat terakhir dari Sooyoung.

Aku masih jauh dari sempurna, Seungwan. Contoh paling simpel, aku masih sering menghindar dari kenyataan.

Queendom Restaurant

78. Lesson

Selama perjalanan dari apartemen hingga Queendom Restaurant, Joohyun masih sesekali membalas chat dari Sooyoung walaupun jujur saja ia sudah mulai malas membuka ruang chat dengan sahabatnya itu. Alasannya sangat sederhana, ia tidak ingin membahas lebih lanjut topik yang baru saja diungkit, takut apabila Sooyoung lagi-lagi menamparnya dengan fakta-fakta yang cukup membuat dirinya pusing.

“Miii” panggil Minjeong yang duduk di kursi belakang.

“Ya sayang?”

“sih auh?”

“Ayo ngomong yang bener. Mami nggak mau jawab kalau Minjeong ngomongnya belum bener.”

“Miiiii” rengek Minjeong.

Sang anak semata wayang mendengus kesal lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi penumpang saat ia tidak mendapatkan tanggapan apapun dari Maminya. Ia berusaha untuk akting merajuk karena ia tahu Maminya paham maksud perkataannya barusan.

Joohyun menggeleng.

Kalau Minjeong mau keras kepala, ia pun bisa lebih keras kepala lagi. Sejak awal Joohyun selalu memiliki prinsip untuk memperlakukan Minjeong layaknya orang dewasa, termasuk dalam hal berbahasa. Joohyun hampir tidak pernah menggunakan bahasa bayi saat berbicara dengan Minjeong.

Sementara itu Seungwan yang berada di kursi kemudi berusaha untuk melirik ke arah Joohyun dan mendapat tatapan tajam dari Joohyun.

“Jangan respon Minjeong.” Kira-kira begitu peringatan yang Joohyun berikan pada Seungwan melalui tatapan matanya.

Seungwan mengangguk pelan dan menahan tawanya, apalagi setelah ia melirik ke arah kaca spion untuk melihat kondisi Minjeong yang cemberut duduk di kursi penumpang. Sejujurnya Seungwan pun tidak mau ikut campur untuk masalah seperti ini. Joohyun memiliki caranya sendiri untuk mendidik Minjeong dan Seungwan menghormati cara tersebut.

Setelah seminggu Joohyun dan Seungwan saling mengenal satu sama lain, Joohyun menyadari bahwa Seungwan cukup mudah terkecoh dan terbujuk oleh Minjeong. Sedangkan Joohyun merupakan kebalikan dari Seungwan.

Joohyun memiliki 3 prinsip yang haram untuk dilanggar oleh Minjeong dan anak semata wayangnya itu paham akan hal ini.

Kesehatan, sopan-santun, dan taat aturan hukum.

3 hal ini adalah prinsip utama yang harus Minjeong taati dan masalah berbahasa termasuk dalam sopan-santun, maka dari itu Joohyun cukup keras pada Minjeong dalam hal ini.

“Miiiii” rengek Minjeong lagi.

“Ya?”

“Masih jauh?” tanya Minjeong, kali ini dengan bahasa yang benar.

Joohyun harus menahan tawanya karena ia mendengar suara helaan napas yang keluar dari anak kesayangannya itu.

Kali ini Seungwan membuka mulutnya saat ia sudah melihat perempatan terakhir sebelum ia harus berbelok ke kanan, “Sebentar lagi sampai kok. Sabar ya? Wannie cari parkiran dulu habis itu kita turun.”

“Udah mau sampai?!” pekik Minjeong senang.

Seungwan menjawab dengan anggukan mantap yang kemudian disambung oleh Joohyun.

“Sekarang Minjeong duduk tenang, siapin tas yang tadi udah Minjeong bawa. Terus itu Mr. Frog mau ditinggal di mobil atau mau kamu bawa turun?”

“Uhmm….” bola mata Minjeong melirik ke kanan dan kiri, tanda bahwa ia sedang berpikir matang-matang.

“Wannie, nanti kita banyak kena air nggak? Soalnya Mr. Frog takut air.” tanya Minjeong.

“Hah?” tanya Seungwan secara spontan. Pertanyaan yang Minjeong lontarkan kepadanya sama sekali di luar prediksi Seungwan.

“Nanti waktu bikin eskrim, kira-kira banyak butuh air nggak? Atau tempatnya basah gitu nggak? Mr. Frog takut air, kalau banyak interaksi sama air artinya Mr. Frog harus ditinggal di mobil.” ujar Joohyun mengulangi pertanyaan Minjeong sekaligus memberikan penjelasan yang dibutuhkan oleh Seungwan.

“Oooh, hmm kalau mau bawa Mr. Frog bisa kok. Nanti pas kita di dapur, Mr. Frog dititipin aja ke temennya Wannie. Mau?”

Minjeong langsung mengangguk antusias saat mendengar tawaran dari Seungwan. Ia langsung meraih Mr. Frog yang sedari tadi duduk manis disebelahnya dan mengajak bicara boneka kodok berwarna hijau tersebut, menjelaskan bahwa sebentar lagi mereka akan tiba di rumah makan milik Wannie dan mereka akan belajar cara membuat es krim.

Lagi-lagi Seungwan tertawa saat melihat tingkah Minjeong kemudian melirik pada Joohyun. “Minjeong unik banget ya?”

“Welcome to parenthood, setiap hari kamu bakal dituntut untuk belajar banyak hal dan mempersiapkan diri kamu buat hal-hal tak terduga, contohnya tadi menerjemahkan bahasa anak kecil ke bahasa orang dewasa and vice versa” tawa Joohyun.

Sounds so tough and challenging. Keren banget kamu bisa do your role as her mom perfectly.”

Joohyun menggeleng dan tertawa pelan, “Aku masih jauh dari sempurna, Seungwan. Nggak ada orang tua yang bisa sempurna, tapi seenggaknya aku mau berusaha keras supaya bisa jadi yang terbaik buat Minjeong.”

“Hmm, setuju sih nggak ada yang sempurna. Tapi menurut aku kamu udah sebisa mendekati kesempurnaan itu sih.”

“Udah sana nyetir yang serius, gak usah ngegombal gak jelas!” balas Joohyun cepat sembari melayangkan sebuah pukulan pelan ke lengan Seungwan.

Joohyun menolehkan wajahnya ke arah yang berlawanan, ia tidak yakin bisa lebih lama lagi menahan ekspresinya untuk tetap tenang jika Seungwan lagi-lagi menggodanya. Namun pilihannya untuk mengalihkan perhatiannya dari Seungwan justru membawa Joohyun kembali mengingat chat terakhir dari Sooyoung.

Aku masih jauh dari sempurna, Seungwan. Contoh paling simpel, aku masih sering menghindar dari kenyataan.

Amoureux de…(Joohyun) part. 13

Senyuman Joohyun adalah hal pertama yang menyapa Seungwan malam itu. Seulas senyuman yang cukup ia rindukan selama beberapa hari ini.

Untuk beberapa saat, keduanya hanya saling pandang, mengamati tiap lekuk wajah yang mereka rindukan. Mereka hanyut dalam diam. Baik Seungwan maupun Joohyun sibuk memperhatikan setiap detil dari sosok yang mereka kasihi, sosok yang mereka rindukan, sosok yang sangat ingin mereka gapai saat ini namun terhalang jarak ratusan mil.

Dibalik senyum sumringah yang Joohyun sajikan, Seungwan bisa merasakan betapa lelahnya wanita yang beberapa hari ini membuat moodnya tak karuan. Seungwan juga menyadari kantung mata Joohyun yang terlihat lebih dalam dari yang ia ingat sebelumnya.

Sementara itu, dari sisi Joohyun, ekspresi garang dari Seungwan merupakan pemandangan yang tersajikan baginya. Wanitanya itu sudah memandangnya seakan-akan ia siap untuk mengomel selama berjam-jam.

Biarlah, toh Joohyun memang berada dalam posisi yang salah. Percakapannya dengan Yerim cukup membuat Joohyun sadar bahwa kali ini ia memang melangkah terlalu jauh tanpa menanyakan pendapat Seungwan. Ia akui, kali ini dirinya memang egois.

“Hey” sapa Joohyun pelan, lebih tepatnya ia setengah berbisik.

Seungwan hanya menggumam pelan. Ia masih belum ingin membuka suara.

“Maaf ya saya baru bisa kontak kamu selarut ini. Kamu beneran mau ngomong sekarang?”

Kali ini Seungwan menghela napasnya panjang. Kemudian Joohyun mendapati Seungwan berusaha untuk mengubah posisi tidurnya, mencari posisi yang nyaman baginya.

Layar yang Joohyun pandang sempat bergerak kesana-kemari tak karuan dan menimbulkan suara-suara gesekan yang berisik, pertanda bahwa Seungwan sedang bergerak secara cepat.

Sorry” ujar Seungwan singkat.

It’s okay. Cari posisi yang nyaman dulu aja.”

Setelah beberapa saat akhirnya Joohyun kembali melihat wajah Seungwan. Kini sang solois sudah dalam posisi berbaring miring dan tak lama kemudian Joohyun juga mengikuti posisi Seungwan.

Senyum Joohyun semakin merekah saat ia menyadari bahwa kaos putih yang Seungwan kenakan malam itu adalah miliknya. Sebut ia terlalu percaya diri, namun Joohyun yakin bahwa Seungwan sengaja menggunakan baju miliknya karena wanita itu terlalu merindukan dirinya.

Mata Joohyun kemudian mengamati hal-hal kecil yang dapat ia lihat melalui sambungan video call mereka.

“Saya bener kan? Tanpa make-up pun kamu tetap cantik, Seungwan.”

“Kamu ngeforsir badan kamu lagi ya?” tanya Seungwan yang tidak mengindahkan kalimat Joohyun sebelumnya.

Joohyun tersenyum pahit, “Sedikit. Saya mau cepat-cepat menyelesaikan semua tugas saya disini dan kembali ke sana.”

“Aku masih kesel sama kamu karena kejadian kemarin, tapi aku bakalan jauh lebih kesel atau bahkan marah kalau kamu forsir badan kamu dan akhirnya kamu malah sakit.”

Joohyun mengangguk, senyuman di wajahnya tidak memudar sama sekali. Hal ini justru membuat Seungwan menjadi kesal, ia kira Joohyun tidak benar-benar memperhatikan peringatan yang ia berikan barusan.

“Aku serius ya Bae Joohyun.”

“Iya, saya janji untuk tetap jaga kesehatan.”

Don’t push yourself too hard please. Aku beneran nggak mau dapet berita kalau kamu drop disana. Nanti siapa yang rawat kamu?” lanjut Seungwan.

“Tenang aja, disini ada Jennie dan Minjeong kok.”

“Jadi maksud kamu, kalo sampe kamu drop, kamu mau minta dirawat sama mereka? Kamu tuh lupa atau sok lupa atau sengaja bikin aku kesel sih? Kalau kamu sakit tuh kamu selalu jadi manja, minta peluk lah, minta dielus lah. Terus berarti maksudnya kalau kamu kenapa-kenapa disana, bakal minta itu semua ke Minjeong sama Kak Jennie?”

Joohyun tertawa mendengar ucapan Seungwan yang sangat menggebu-gebu. Ah, ia sangat merindukan Seungwan dan omelan-omelannya.

Thank you for your concern honey. Kalau saya boleh jujur, kamu yang lagi jealous gini lucu banget.”

Seungwan mendengus kesal, “Aku serius kok malah diketawain?!”

“Saya salah lagi ya?”

“Pikir sendiri.”

Mendapati Seungwan yang semakin terlihat kesal terhadap dirinya, Joohyun akhirnya berhenti menggoda Seungwan. Ia mengulas senyumannya lagi dan tanpa sadar jemarinya mengusap layar ponselnya seakan-akan ia bisa mengusap wajah Seungwan dengan langsung.

“Seungwan, kamu harusnya tahu kalau saya cuma mau ngelakuin itu semua sama kamu. Nggak pernah sedetik pun saya kepikiran untuk melakukan hal-hal yang kamu sebut tadi selain sama kamu. Maksud saya tadi, kamu gak usah khawatir karena saya dibantu Minjeong dan Jennie disini. Saya capek? Iya tentu saja. Tapi disini kami bertiga udah bagi porsi kerjaan masing-masing. Jadi jangan khawatir ya?”

“Terserah.”

“Udahan ya marahnya? Tadi niat kita videocall kan bukan buat marah kayak gini.”

“Ya abis kamu nyebelin!”

“Iya, saya minta maaf ya sayang?”

“Hmm….”

Selepas Seungwan menjawab kalimat Joohyun, kini keduanya kembali terlarut dalam keheningan, sama-sama saling menunggu lawan bicara mereka untuk angkat suara.

“Seungwan…. saya minta maaf untuk kejadian tempo hari. Maaf karena saya egois.” ujar Joohyun lebih dulu.

“Alasan kamu apa sih sebenernya?” lagi-lagi Seungwan menghela napas.

“Kamu inget nggak, waktu itu kamu pernah cerita kalau kamu ingin punya keluarga yang utuh? Saya cuma mau bantu kamu mewujudkan hal itu. Waktu papa kamu mendatangi kantor saya, disitu saya sama sekali nggak expect kalau beliau akan datang bersama dia. Saya pun nggak mengira kalau tiba-tiba mereka meminta saya untuk mengurus glamping site itu.”

Joohyun berhenti sejenak, ia berusaha untuk menebak apa yang ada dalam pikiran Seungwan.

“Terus terang, aku sekarang udah gak peduli sama impianku waktu itu. Lebih baik aku sendirian kayak gini.” ujar Seungwan singkat. ”dan definisi keluarga utuhku sekarang itu sama kamu Joohyun.

“Maafin saya ya Seungwan? Saya benar-benar nggak ada maksud buruk.”

“Aku maafin tapi dengan syarat kamu nggak boleh nutupin apa pun dari aku, bahkan ketika hal itu menyangkut aku sekalipun.”

“Saya cuma nggak mau kamu kepikiran aja Seungwan. Niat saya awalnya saya akan urus semuanya sendiri dulu, nanti setelah semuanya beres baru saya kasih tau kamu. Saya nggak pernah ada pikiran untuk nutupin sesuatu dari kamu.”

“Itu sama aja Joohyun! Intinya tuh cerita! Share your problem with me. Jangan kamu nuntut aku buat selalu terbuka sama kamu tapi kamunya malah gini. Itu egois tau nggak? Aku nggak bakal bisa ngerti apa yang ada di kepala kamu kalau kamu nggak bagi itu ke aku. Aku nggak bakal bisa tau seberapa besar beban di pundak kamu kalau kamu nggak pernah cerita apapun ke aku. As much as I appreciate that you always be there for me, I want to be there for you too Joohyun.

Okay….I’m sorry.

“Okay apanya?”

“Iya, saya bakal cerita ke kamu. Saya boleh bicara lagi?”

Seungwan memutar kedua bola matanya. “Ya tujuan kita vidcall kan emang buat ngomong?”

Tawa pelan terdengar dari mulut Joohyun.

“Kamu tau kan saya cukup bermasalah dengan yang namanya komunikasi? Yerim juga bilang selain masalah itu, saya juga control freak dan perfectionist. Nggak salah, dia bener banget malah. Dari kecil saya sudah terbiasa melakukan semuanya sendirian, saya selalu maksa diri saya untuk menyelesaikan masalah saya dengan cara saya sendiri dan orang lain tinggal tahu beres. Itu ekspektasi yang saya taruh di pundak saya sendiri. Saya berpikir bahwa sebagai anak sulung keluarga Bae, itu yang harus saya lakukan. So, the bottomline is, ini semua juga baru bagi saya. Dulu yang ada di pikiran saya cuma kerja dan buat bangga orang tua saya. Tapi tiba-tiba ada satu sosok wanita yang masuk di kehidupan saya dan mengubah itu semua. Saya ingin hidup sama dia, saya ingin memenuhi semua kebutuhan dia. Yang ada di kepala saya, ”Seungwan hanya tau beres. Seungwan nggak boleh kesusahan”, tapi kalau itu semua justru buat hubungan kita jadi renggang, justru buat kamu nggak nyaman, saya nggak akan melakukan hal itu. Prinsip saya masih dan akan selalu sama, Seungwan.”

Yang diajak bicara hanya bisa terdiam. Ia benar-benar speechless.

“Yaudah janji kamu harus lebih banyak cerita ke aku. Kalau kamu nuntut aku untuk tinggalin habits buruk aku, sekarang aku nuntut kamu untuk lebih banyak cerita ke aku. Share beban kamu ke aku juga.”

”Okay…. I just don’t wanna put my burden on you actually. Lagipula, saya minta kamu untuk ninggalin kebiasaan buruk kamu kan juga untuk kebaikan kamu.” ujar Joohyun melakukan pembelaan diri.

“Aku nggak serapuh itu Joohyun. Permintaan aku ini juga buat kebaikan hubungan kita. Mama aku, Bunda kamu, semua bilang komunikasi itu yang utama. Nurut aja kenapa sih?”

Kali ini Joohyun tertawa dengan kencang. “Nurut? Coming from you is so cute

“Godain aja terus. Aku matiin nih vidcall-nya?”

“Jangan, saya masih kangen.”

I miss you too, nyebelin. Proyek kamu masih lama nggak sih? Kapan pulang?”

Joohyun mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Dari layar ponselnya, Seungwan bisa melihat saat ini Joohyun sedang berpikir. Kemungkinan besar sedang mengkalkulasi jawaban dari pertanyaan yang barusan ia lontarkan.

“Kayaknya saya mundur deh pulangnya, ada hal yang kemarin luput dari pengamatan saya. Proyek ini penting sekali buat Perusahaan, bahkan bisa jadi terobosan di negara kita. Jadi saya mau semuanya sempurna. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Untungnya rekan bisnis saya disini punya visi yang sama dengan saya, mereka sangat serius membicarakan proyek ini.”

“Proyek apa sih?”

“Saya mau buat ekosistem untuk kendaraan listrik. Sebenarnya fokus saya adalah buat ekosistem untuk energi baru dan terbarukan.”

Sounds so complicated to me. Emang kamu ngerti yang kayak gitu?”

“Ya kan saya cuma urus masalah bisnisnya, kalau teknologinya ya bukan saya lah. Untuk proyek ini saya optimis banget sih, terus untungnya rekan bisnis saya, she’s so smart. Michelle can get what I want so quick and we always try to find the common ground. Kalau gini beban saya jadi sedikit terangkat karena sering kali saya ketemu rekan bisnis yang ya kurang bisa nangkep maksud saya.”

“Aku perlu cemburu gak nih? Ini pertama kali kamu ngomongin tentang orang lain selain keluarga atau sahabat kamu dengan menggebu-gebu gini.”

“hahaha buat apa Seungwan? Saya cuma lihat dia sebagai rekan bisnis dan saya suka sama jalan pemikiran dia. Selebihnya? Nothing. Lagian saya lebih suka your sexy brain

“Mulai gombalnyaaa.” tepis Seungwan sembari menguap menahan kantuknya.

“Ngantuk ya? Disana jam berapa sih?”

“Jam…” Seungwan mengintip sejenak ke pojok kanan layar ponselnya. “Wow disini udah ganti hari Hyun…”

“Yaudah tidur sana.”

“Aku diusir nih?”

“Saya nggak ngusir kamu sayaaang.”

“Hehe tau kok, tadi cuma bercanda.” jawab Seungwan cepat sembari menjulurkan lidahnya. “Yaudah aku tidur ya? Tiba-tiba ngantuk banget.”

Okay, have a nice sleep honey. Dream of me okay?

“Lebih suka kalo kamu kesini langsung sih.”

Joohyun hanya bisa menggelengkan kepalanya, ia tahu Seungwan lagi-lagi menggoda dirinya. “Kamu kalau ngomong gitu terus, nanti Saya culik kesini loh.”

“Coba sini kalo bisa.”

“Ini kamu nantangin saya? Tau kan kalau saya udah ditantangin, saya nggak bakalan mundur?”

“hehe jangan deh jangan. Nanti ribet lagi aku sama agensi. Yaudah bye, aku tidur ya?”

Joohyun mengangguk, kemudian ia memberikan flying kiss bagi Seungwan dan disambut oleh Seungwan dengan akting seolah-olah ia muntah.

“Kamu yang kayak gini bikin saya makin kangen tau? Udah deh sana nanti saya beneran pengen culik kamu kalau gini terus.”

Seungwan hanya menjulurkan lidahnya, ia kemudian melambaikan tangannya pada Joohyun dan tak lama kemudian sambungan video call mereka berakhir. Layar hitam terpampang di depan matanya, menampilkan bayangan wajahnya yang sudah mengantuk.

Buru-buru Seungwan buka chat room-nya dengan Joohyun dan mengirimkan pesan selamat malam, lengkap dengan emoji berbentuk hati dan kissing. Tak perlu menunggu lama sebelum ia mendapatkan balasan dari Joohyun yang membuatnya tertawa.

Sang solois memposisikan tubuhnya tidur terlentang, menatap langit-langit. Kini ia bingung sendiri, kenapa juga kemarin ia harus bertengkar dengan Joohyun kalau ternyata masalah mereka bisa diselesaikan semudah ini.

”Gue harus belajar lebih sabar dan mau dengerin orang deh ini.” batin Seungwan.

Amoureux de…(Joohyun) part. 4

Irene berjalan bolak-balik mengitari ruangan VIP tempat ia, Minjeong, dan Jennie saat ini sedang menunggu hidangan makan malam mereka. Tanpa ia sadari, Irene menggigit bibir bagian bawahnya saat sambungan teleponnya itu tak kunjung diangkat oleh Wendy.

Jennie yang melihat sepupunya itu cukup gelisah akhirnya melempar pandang pada Minjeong yang dibalas dengan gelengan kepala oleh Minjeong.

“Ren, duduk aja kali? Kenapa sih gelisah banget?” ujar Jennie.

Irene mengangkat tangan kirinya dan memberi isyarat pada Jennie untuk berhenti berbicara.

“Hey, love. Kamu lagi apa?” tanya Irene sembari berjalan ke arah balkon dan menutup pintu balkon saat ia mendapati sambungan teleponnya telah diangkat oleh Wendy.

“Oalah bucin.” ujar Jennie memutar kedua bola matanya. “Jeong, tolong bilangin deh ke waitressnya makanan si Irene minta dikeluarin nanti aja. Paling bakalan lama tuh telponannya.”

Minjeong mengangguk paham dan langsung berjalan keluar dari ruangan VIP tersebut.

Sementara itu Irene langsung mencari posisi yang nyaman baginya untuk berbicara dengan Wendy. Ia tahu bahwa perbincangannya dengan Wendy akan memakan waktu cukup lama.

”Lagi di kamar kamu. So, apa yang harus kamu ceritain ke aku?”

“Kamu udah makan kan? Hari ini jadwal radio kamu banyak ya?”

”Udah kok. Hari ini aku recording lumayan banyak. Ada tiga tamu.”

“Tiga? Itu udah sama yang live hari ini?”

”Nggak. Itu cuma stock aja buat 3 hari ke depan. Aku mau ambil day-off soalnya. I was planning to do something with you but well...”

Irene mendengar suara desahan napas Wendy yang membuat dirinya semakin merasa bersalah.

“I’m so sorry Seungwan… saya bener-bener lupa tentang business trip ini. Saya janji nggak bakal terulang lagi okay? Minjeong udah saya minta buat update jadwal saya di google calendar kita kok.”

”Hmm yeah, aku udah cek tadi. So, yang mau kamu ceritain apa?”

Irene lagi-lagi menggigit bibirnya sebelum ia ikut menghela napas.

“Kamu janji ya sama saya untuk dengar cerita saya sampai selesai? Janji juga kalau kamu nggak boleh marah-marah dulu, cerna dulu cerita saya. Okay love?”

”Hhh ya...tapi tergantung sama cerita kamu.”

“Okay, fair enough. Tapi janji, semarah apapun kamu sama saya nanti, please tetap stay di rumah saya ya? At least sampai besok pagi.”

”Jadi kamu udah yakin aku bakal marah? Apa sih yang kamu tutupin dari aku?”

Nada bicara Wendy perlahan mulai meninggi, hatinya pun ikut berdebar ketika mendengar permintaan Irene. Hal apa yang Irene sembunyikan darinya? Seberapa serius hal itu hingga Irene memberinya peringatan seperti tadi?

Wendy hendak menghentikan Irene untuk berbicara lebih lanjut namun lawan bicaranya itu sudah terlebih dahulu membuka percakapan mereka.

“Selang satu minggu setelah acara charity hari anak, Papa kamu datang ke kantor saya….with Kathrine too.

Flashback

Tok! Tok!

Perlahan pintu ruangan Irene terbuka diiringi dengan wajah Minjeong yang cukup resah. Irene paham betul bahwa kemungkinan besar ia akan mendengar berita yang tidak mengenakkan dari Minjeong. Namun kali ini ia tidak bisa memprediksi berita buruk apa yang dibawa oleh asistennya itu.

“Ada masalah apa?”

Satu kalimat dari Irene namun cukup membuat Minjeong semakin gelisah.

“Kak, ada papanya Kak Wendy di lobby. Katanya mau ngomong sama kakak.”

Ucapan Minjeong sontak membuat Irene melirik ke arah jam dinding. Ia hanya punya waktu sekitar satu jam sebelum Wendy tiba.

“Siapin meeting room 2, saya ketemu sama Papanya Wendy disana aja. Nanti kalau Wendy sudah sampai sini, kamu harus temenin Wendy disini ya, bilang aja saya ada meeting. Jangan sampai Wendy ketemu papanya dulu, saya takut terjadi hal-hal yang nggak diinginkan.”

Minjeong mengangguk dan segera keluar dari ruangan Irene. Sementara itu sang CEO menghela napasnya panjang.

Terakhir kali ia bertemu dengan Tuan Son bukanlah suatu pertemuan yang ideal dan Wendy sudah secara terang-terangan tidak mau bertemu dengan orang tua kandungnya itu. Namun Irene yakin bahwa bertemu dengan Tuan Son hari ini adalah hal yang harus ia lakukan. Apalagi ia dan Wendy akan menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius.

Irene beranjak dari kursinya dan melangkah ke depan cermin full body yang terletak tak jauh dari meja kerjanya. Ia merapikan setelan blazer yang ia kenakan kemudian menyisir rambutnya agar lebih rapi.

First impression matters.

Tepat saat Irene merasa penampilannya sudah cukup rapi, ia merasakan getaran dari ponsel pribadinya yang ia simpan di saku celananya. Dengan segera Irene merogoh kantung celananya dan mendapati tiga notifikasi pesan dari Wendy.

13.08 Mine: Joohyuuunnnnieeeee 💙 Mine: Rekaman hari ini udah selesai!! Aku otw ke kantor kamu yaa! Mine: Kita jadi makan siang bareng kan?

Tanpa sadar senyuman tersungging di bibirnya saat ia membaca pesan dari Wendy.

Hey, be careful on your way here. I can’t wait to see you, love.

Kira-kira begitu balasan yang Irene kirimkan kepada Wendy. Ia langsung mengalkulasi waktu yang tersisa baginya untuk berbincang dengan Tuan Son, maksimal 50 menit.

Segera setelah ia memeriksa penampilannya sekali lagi, Irene melangkah meninggalkan ruang kerja pribadinya.

Perjalanannya menuju ruang meeting terasa cukup lama dan otaknya tidak bisa berhenti memikirkan kemungkinan-kemungkinan serta alasan kehadiran Tuan Son saat itu. Namun tak kalah penting, ia sedang memutar otak dan berdoa agar Wendy tidak bertemu dengan Tuan Son.

Irene tahu betul bahwa Wendy masih enggan untuk menemui orang tua kandungnya, apalagi setelah ia mendapati fakta bahwa selama ini Tuan Son sudah menyimpan kebohongan yang sangat fatal.

Saat Irene tiba di meeting room 2, kejutan untuk dirinya bertambah dua kali lipat ketika ia melihat Tuan Son tidak datang sendirian melainkan bersama dengan Kathrine.

”Shit, apa makan siang sama Seungwan dibatalin aja? Tapi Seungwan udah kesini.” batin Irene.

Irene tidak sempat berpikir lebih lama lagi karena Tuan Son sudah berdiri dan menyapa Joohyun ketika laki-laki itu melihat sosok Joohyun memasuki ruang meeting tersebut.

“Tuan Son, Nyonya Kathrine, silakan duduk kembali.”

Irene mengambil posisi duduk tepat di seberang Tuan Son dan Kathrine dengan puluhan pertanyaan yang memenuhi kepalanya.

“Joohyun…gi-gimana kabar kamu dan S-seungwan?” tanya Nyonya Kathrine yang berusaha membuka percakapan dengan hati-hati.

“Kabar kami baik, sama-sama sibuk karena pekerjaan but we will manage it. Seungwan dapat beberapa proyek baru.”

Seusai Irene menyelesaikan kalimatnya, suasana di ruangan tersebut berubah menjadi sangat canggung karena seakan-akan topik pembicaraan mereka habis begitu saja. Menyadari bahwa waktunya terus bergulir, Irene memberanikan dirinya untuk melakukan hal yang sudah seharusnya ia lakukan sejak lama.

“Saya dan Seungwan akan menikah. Kami sudah menentukan tanggalnya dan pembicaraan serius antara keluarga saya dan Ibunya Seungwan juga sudah kami lakukan.”

Irene berhenti berbicara saat ia menyadari kalimatnya barusan dan mendapati raut wajah Nyonya Kathrine berubah sejenak. Namun ia pun tidak tahu bagaimana harus memanggil Nyonya Do dan Kathrine.

Secara biologis memang Kathrine adalah Ibu kandung Wendy namun secara resmi di atas kertas, Nyonya Do lah Ibu dari Wendy. Ditambah fakta bahwa selama ini Nyonya Do bertindak sebagai Ibu dari Wendy, lebih dari apa yang pernah Kathrine lakukan.

“Kami akan menikah di tanggal 9 Mei tahun depan. Saya harap Tuan dan Nyonya bisa memberikan restu bagi kami berdua karena bagaimanapun juga Tuan dan Nyonya adalah orang tua Seungwan.” lanjut Irene.

Tak lama setelah Irene mengakhiri kalimatnya, Kathrine menjulurkan tangannya dan berusaha untuk menggenggam tangan Irene.

“T-tolong izinkan ka-kami untuk bantu persiapan p-pernikahan kalian a-atau kalau permintaan ini terlalu berlebihan, se-setidaknya izinkan kami untuk hadir di pernikahan kalian.” pinta Kathrine.

Kedua bola mata Kathrine menatap manik mata Irene dengan lekat, berusaha untuk menyalurkan pesannya pada Irene. Mendapati dirinya berada dalam posisi canggung, Irene hanya bisa mengerjapkan matanya beberapa kali dan mengulas senyuman. Ia tidak bisa memberikan jawabannya saat itu juga.

“Kalau saya secara pribadi, tentu akan mengabulkan permintaan ini. Tapi saya harus bicarakan permintaan ini dengan Seungwan. Saya tidak mau hari bahagia kami harus ternodai dengan memori buruk bagi Seungwan, karena bagaimanapun juga anda berdua adalah salah satu trigger trauma Seungwan. Jadi tolong pahami kondisi Seungwan.”

Kathrine hanya bisa mengangguk lemah. Sementara itu Irene dapat melihat rahang Tuan Son mengeras.

“Bagaimana kalau saya tidak memberikan restu? Seungwan tidak bisa menikah tanpa wali.”

“Pernikahan kami akan tetap berlangsung, dengan atau tanpa restu anda. Lagi pula, adik dari Nyonya Do sudah bersedia untuk menjadi wali bagi Seungwan.”

Tuan Son menengadahkan kepalanya lalu tertawa.

“Jadi Seungwan sudah benar-benar tidak menganggap saya sebagai orang tuanya?”

Awalnya Irene hampir membalas perkataan Tuan Son dengan ucapan yang tak kalah sinis. Namun saat ia melihat air mata memenuhi pelupuk mata Tuan Son, Irene menyadari bahwa sesungguhnya Tuan Son sedang merasa terpukul.

Sang CEO akhirnya memilih untuk diam, memberikan waktu bagi kedua orang tua kandung Wendy untuk mencerna informasi yang mereka terima hari ini.

“Joohyun, saya titip Seungwan ya. Tolong jaga Seungwan dan buat dia bahagia. Tolong lakukan apa yang tidak pernah bisa saya lakukan.” ujar Kathrine.

“Anda masih bisa melakukan itu semua. Masih ada waktu untuk memperbaiki hubungan anda dengan Seungwan.”

Tuan Son mengangkat suaranya dan menggeleng lemah, “Kami sudah kehabisan kesempatan Joohyun. Kamu pikir kenapa saya sampai harus datang ke kantor kamu?”

“Kami berdua sudah mencoba segala cara untuk berkomunikasi dengan Seungwan, tetapi semuanya gagal. Seungwan sudah benar-benar memutus kontak dengan kami berdua.” ujar Kathrine.

“Jin Ae sudah memblokir semua kontak kami berdua dan menempatkan bodyguard suruhannya di sekitar Seungwan. Orang tua kamu juga sudah menarik diri, terakhir kami berkomunikasi adalah saat Seungwan masuk rumah sakit. Itu pun Ayah kamu hanya memberikan informasi bahwa Seungwan dirawat dan secara halus melarang kami untuk datang menemui Seungwan ketika ia siuman. Cuma kamu satu-satunya jalan yang masih bisa kami usahakan.”

Irene terdiam. Ia tidak mengira bahwa orang tuanya akan ikut campur dalam masalah ini. Saking terhanyutnya ia dalam pikirannya, Irene tidak menyadari bahwa Kathrine mengeluarkan sebuah map dan menaruhnya tepat di hadapan Irene.

“Kami butuh bantuan kamu satu kali lagi Joohyun. Bantu kami untuk memberikan ini pada Seungwan. Setidaknya bantu kami untuk memberikan hadiah terakhir bagi Seungwan dan setelahnya kami akan menghilang dari kehidupannya.”

Irene menarik napasnya. Entah mengapa ia cukup ragu-ragu untuk mengambil map yang ada di depannya. Benar saja, saat ia membaca baris demi baris dari dokumen yang ada disana, Irene terkejut.

“I-ini?”

Tuan Son dan Kathrine mengangguk, “Hadiah terakhir dari kami.”

“T-tapi kalau Seungwan menolak bagaimana?”

“Kami rasa tidak mungkin, apalagi tempat itu adalah tempat yang memiliki memori indah bagi kalian berdua. Tapi kalau memang ia menolak, maka kami serahkan semuanya sama kamu. Terserah mau kamu apakan, di jual lagi atau dibiarkan terbengkalai.”

“Kamu punya waktu sampai ulang tahun Seungwan tahun depan untuk meyakinkan dia. Kalau memang pada akhirnya Seungwan memilih untuk menolak hadiah tersebut, kamu bisa lakukan apapun terhadap tempat itu.”

Kepala Irene tiba-tiba pusing bukan main. Bagaimana bisa dunia sesempit ini? Siapa sangka bahwa glamping site tempat Irene dan Wendy mengukir kenangan indah ternyata milik Tuan Son dan Kathrine? Bagaimana pula Irene harus menyampaikan pada Wendy kalau Tuan Son dan Kathrine ingin menghadiahkan tempat tersebut untuk Wendy?

“Selama kamu berusaha untuk membujuk Seungwan, kami percayakan tempat itu sama kamu. Tolong urus tempat itu buat Seungwan.”

“Kenapa anda menarik diri seperti ini? Bagaimana Seungwan bisa merasakan niat baik anda berdua kalau begini?”

“Bagaimana Seungwan bisa menerima hadiah dari kami kalau tempat itu masih ada hubungannya dengan kami? Sedangkan Seungwan saja sudah membenci kami.” jawab Tuan Son.

“Joohyun, maafkan permintaan kami yang terlalu berat ini. Tapi kamu satu-satunya harapan kami.” tambah Kathrine.

End of Flashback

“Seungwan? Love? Are you still there?”

Irene menjauhkan ponselnya dari telinganya untuk memeriksa apakah sambungan telepon mereka sudah terputus atau belum.

“Seungwan?” panggil Irene sekali lagi setelah ia memastikan bahwa teleponnya masih tersambung dengan Wendy.

“A-aku gak tau harus ngomong apa sama kamu.” jawab Wendy dengan desahan napas yang sangat kentara.

“Look I-...”

“Aku gak tau aku lebih marah karena fakta bahwa kamu gak cerita ke aku kalau kamu ketemu mereka tanpa sepengetahuan aku atau aku marah karena kamu nerima permintaan mereka gitu aja atau aku marah sama diri aku sendiri karena kamu segitu nggak percayanya sama aku buat sekedar cerita?”

“Seungwan... bukan gitu maksud saya.”

“Terus apa Hyun? Dari cerita kamu, kamu tau kalau aku nggak suka kamu ketemu mereka but you still did. Kamu tau kalau aku nggak bakal mau terima apapun dari mereka and you still did. Aku nggak ngerti sama kamu Hyun.”

“Seungwan hear me out okay? Saya selalu percaya sesuatu yang dimulai dengan baik akan berakhir dengan baik pula, saya cuma nggak mau kamu melanjutkan hidup kamu ke jenjang yang lebih serius tanpa restu orang tua kamu. Saya nggak mau kamu menyesal, Seungwan.”

“Bae Joohyun, no offense but it's not your place to tell me. Also they missed out their chance, years ago, when they chose to fed me with lies. Aku marah banget sama kamu, aku nggak tau lagi harus ngomong apa atau ngelakuin apa. It seems kamu lupa kalau nggak semuanya bisa kamu atur, Bae Joohyun.”

“Seung-...”

Irene tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Wendy sudah memutus sambungan telepon mereka. Ia mencoba untuk menelpon Wendy lagi, namun berkali-kali pula Wendy mereject teleponnya.

Irene hanya bisa menyandarkan tubuhnya pada railing balkon dan memandangi layar ponselnya.

Queendom Restaurant

57. Neighbor

Setibanya Joohyun di ruang rawat putri semata wayangnya, ia cukup takjub dan ada sedikit rasa iri saat melihat Minjeong dan Seungwan sedang tertidur di ranjang rumah sakit.

Anak gadisnya terlelap dengan posisi lengan kiri Seungwan ia jadikan bantalan. Sedangkan sang chef tertidur menghadap ke arah Minjeong dengan tangan kanannya memeluk Minjeong agar gadis cilik itu tidak terjatuh dari posisinya.

Tangan Joohyun secara otomatis meraih ponsel yang ia taruh di dalam tas jinjingnya. Dibukanya aplikasi kamera dan untuk beberapa saat Joohyun memusatkan perhatiannya untuk mengambil gambar Minjeong dan Seungwan.

Setelah cukup puas, Joohyun berjalan ke sisi tempat Minjeong terlelap dan membelai pelan rambut Minjeong yang menutupi keningnya. Ia menghela napasnya saat mendapati tubuh Minjeong cukup berkeringat, bahkan rambutnya lumayan basah.

Berbeda dengan dirinya yang tidak terlalu kuat dengan suhu yang dingin, Minjeong justru tidak terlalu tahan dengan suhu yang panas. Minjeong lebih menyukai suhu rendah, namun sang gadis cilik tidak pernah mengutarakan hal tersebut kepada orang-orang yang baru ditemuinya.

”Pasti kamu nggak enak ya ngomong ke Seungwan kalau kamu gampang kepanasan? Anak mami harus belajar mikirin diri sendiri juga dong sayang.” batin Joohyun.

Belaian yang ia rasakan di kepalanya membuat Minjeong perlahan membuka kedua matanya dan hal ini juga disadari oleh Joohyun.

“Halo anak cantik mami.”

“Hng..”

“Minjeong sayang, bangun yuk?”

Minjeong menggeleng. Ia justru melesakkan tubuhnya untuk memeluk Seungwan lebih erat dan membuat Seungwan terbangun dari tidurnya. Ia mengerjapkan matanya dan cukup terkejut saat mendapati Joohyun tengah berdiri di samping ranjang yang ia tempati.

Seungwan yang mengingat posisinya saat ini langsung merasa canggung dan tidak enak hati. Ia hampir bangkit dari tidurnya namun dengan cepat dicegah oleh Joohyun. Wanita berambut panjang itu menggelengkan kepalanya lalu menepuk tangan Seungwan pelan.

“Jangan gerak. Biarin aja Minjeong mau tidur.” bisik Joohyun dan dibalas dengan anggukan kepala oleh Seungwan.

“Udah lama sampenya?” balas Seungwan.

“Belum.”

“Minjeong udah bisa pulang.” ujar Seungwan lagi.

“Iya tadi susternya kasih tau aku. Kalau kamu aku tinggal sebentar bisa? Aku mau urus administrasi rumah sakit dulu.”

Seungwan kembali mengangguk.

“Kalau butuh apa-apa, chat aku aja. Titip Minjeong dulu ya.”

“Okay. Kalau kamu butuh sesuatu juga bisa chat aku.”


Proses penyelesaian administrasi rumah sakit tidak memakan waktu yang cukup lama mengingat Minjeong memang sudah beberapa kali dirawat di rumah sakit ini untuk alasan yang sama.

Sebaliknya, yang cukup memakan waktu bagi Joohyun dan Minjeong untuk meninggalkan area rumah sakit adalah proses tawar menawar antara Joohyun dan Seungwan.

Sang chef memaksa untuk mengantarkan Joohyun dan Minjeong kembali ke rumah mereka, sementara Joohyun justru menolak mati-matian.

Alasannya cukup sederhana.

Seungwan ingin memudahkan Joohyun dan Minjeong. Ia tahu bahwa saat ini Joohyun tidak membawa kendaraan pribadi. Tentu akan jauh lebih nyaman bagi Minjeong dan Joohyun apabila mereka ikut dengan Seungwan dibandingkan harus naik kendaraan umum.

Sedangkan Joohyun merasa tidak enak pada Seungwan. Ia sudah cukup merepotkan sang chef yang bahkan harus meluangkan waktunya hari ini untuk tidak bekerja hanya untuk menjaga Minjeong.

Joohyun tidak ingin menyulitkan Seungwan lebih banyak lagi. Apalagi menurut Joohyun, Minjeong adalah tanggung jawabnya. Bukan tanggung jawab Seungwan.

Namun akhirnya Joohyun harus mengalah saat Minjeong dengan terang-terangan memilih untuk pulang dengan kendaraan pribadi Seungwan daripada harus menggunakan taksi.

Alasan Minjeong pun tak kalah sederhana.

“Mi aku nggak mau naik taksi. Biasanya mobil pak supir taksi pake stella jeruk mi. Minjeong kan nggak suka mi sama baunya.”

Ucapan Minjeong sontak membawa tawa bagi Seungwan dan disambung dengan acungan jempol oleh Seungwan.

“Tenang aja, mobilnya wannie nggak pake stella jeruk kok.” ujar Seungwan masih dengan tawanya.

Mendapati dirinya sudah kalah suara, akhirnya Joohyun mengalah. Namun dalam batinnya, Joohyun sudah berjanji akan membalas kebaikan Seungwan. Entah dengan cara apa, akan ia pikirkan nanti.

Sesampainya mereka di parkiran mobil, Seungwan membukakan pintu belakang untuk Minjeong. Gadis kecil itu memekik takjub saat ia melihat terdapat satu boneka berwarna pink bertengger manis di kursi penumpang.

“Minjeong suka sama bonekanya?” tanya Seungwan sembari membantu Joohyun untuk memasukkan duffel bag ke bagasi mobil.

“Suka.”

“Minjeong mau bawa bonekanya?”

Yang ditanya sempat melirik sejenak ke arah Maminya. Ia cukup kecewa saat melihat Joohyun menatapnya dengan serius lalu menggelengkan kepalanya pelan.

“Nggak usah Wannie….makasih….” jawab Minjeong cukup lesu.

Seungwan tahu bahwa Minjeong menginginkan boneka tersebut. Ia kemudian mengambil boneka pink itu dan memberikannya pada Minjeong. Sontak Joohyun langsung melakukan penolakan namun Seungwan tak kalah keras kepala.

“Biarin aja Hyun.”

“Ambil aja, itu hadiah dari Wannie untuk Minjeong, okay? Tapi Minjeong harus janji supaya nurut terus sama Mami Joohyun ya?” lanjut Seungwan.

Minjeong lagi-lagi melirik ke arah Joohyun, namun kali ini Joohyun menganggukkan kepalanya. Lantas Minjeong langsung terburu-buru untuk mengambil boneka itu dari tangan Seungwan.

“Minjeong bilang apa ke Wannie?” ujar Joohyun mengingatkan Minjeong.

“Makasih Wannie!”

“Sure princess. Ayo sekarang kamu duduk sini, terus pasang seat-beltnya ya. Bisa nggak?”

“Bisa! Wannie tolong pasangin seat-belt buat wanwan aja.”

“Wanwan?”

“Ini namanya wanwan.” tunjuk Minjeong pada boneka pink tadi.

Seungwan mengangguk sambil menahan tawanya. Sementara itu, senyuman lebar tersungging di bibir Joohyun. Ia tidak menyangka Minjeong akan secepat ini menerima Seungwan.

Di sepanjang perjalanan, baik Seungwan maupun Joohyun tidak terlalu banyak membuka percakapan, apalagi setelah Minjeong terlelap di kursi belakang. Joohyun hanya sesekali berbicara untuk memberikan petunjuk arah menuju rumahnya.

“By the way, Hyun rumah kamu dimana sih?” tanya Seungwan saat mobilnya menunggu giliran lampu hijau.

“Di Apartemen Oakwood. Sorry ya lupa bilang dari tadi.”

“Hah?”

“Iya, apartemen Oakwood. Kamu udah expect aku tinggal di rumahan gitu ya? Aku selalu ngajarin Minjeong kalau rumah itu nggak peduli bangunannya kayak apa, yang penting nyaman buat ditinggalin bareng keluarga. Tapi kayaknya aku malah jadi lupa ngasih tau kamu kalau yang aku dan Minjeong maksud dengan rumah tuh ya sebenernya apartemen.”

“Setuju sih. Tapi kamu mau tau sesuatu nggak?”

“Hm?” Joohyun menolehkan kepalanya ke arah Seungwan.

“Kita ternyata tetangga.”

Seungwan tertawa saat melihat ekspresi terkejut di wajah Joohyun. Namun ia tidak bisa berlama-lama menikmati suasana tersebut ketika ia mendengar suara klakson dari mobil yang ada di belakangnya.

“Iya, kita tetangga Hyun. Paling beda tower aja. Aku di tower 4, kamu tower berapa?”

“D-dua.”

“Ahh, masuk akal. Disana ukurannya lebih gede. Lebih nyaman buat kamu dan Minjeong juga pasti. Lucu ya? Mana ada yang nyangka ternyata kita tetanggaan.”

“Ini kamu serius?”

Seungwan mengangguk.

“Kalau dipikir-pikir, make sense sih Hyun. Day carenya Kak Yoona sama resto aku kan juga itungannya masih satu blok dan nggak jauh dari area apartemen. Aku biasanya jalan kaki atau naik scooter kalau berangkat ke resto.”

Joohyun mengangguk. Entah mengapa terdapat suatu perasaan senang saat mengetahui bahwa Seungwan adalah ‘tetangga’-nya. Berarti kesempatan ia untuk bertemu Seungwan lagi masih terbuka lebar.

“Lain kali mampir-mampir ya ke resto aku, sekalian sama Minjeong juga. Nanti aku kasih diskon.”

“Jangan dikasih diskon, nggak enak ah. Kamu udah baik banget sama aku dan Minjeong.”

“Nope. Kamu dan Minjeong udah masuk priority list di Queendom.”

Joohyun cukup terkejut saat ia mendengar ‘priority list’. Otaknya mendadak mengirimkan sinyal waspada karena hal serupa tak jarang ia alami. Orang-orang yang ingin mendekati dirinya selalu memperlakukannya bak seorang ratu, namun saat mereka mengetahui bahwa Joohyun memiliki Minjeong, mereka akan mundur perlahan.

Dalam hatinya Joohyun berharap bahwa Seungwan bukan salah satu dari sekian banyak orang yang telah mengecewakannya. Tapi Joohyun kemudian tersadar, Seungwan justru lebih dulu mengenal Minjeong ketimbang dirinya. Bahkan Seungwan sudah repot-repot mengulurkan bantuan untuk ‘mengasuh’ Minjeong hari ini.

“Mikir apaan sih? Serius banget hyun?”

“Seungwan…”

“Yes?”

“Kenapa kamu baik banget sama aku dan Minjeong? Kita bahkan baru kenal dua hari.”

Seungwan menyeringai kemudian tawanya terdengar semakin keras. Namun sikap Seungwan justru membuat Joohyun kebingungan.

“Sorry, aku ketawa bukan ngejek. Tapi pertanyaan kamu udah ditanyain sama Minjeong ke aku tadi siang. Persis banget.”

“So? Jadi alasannya apa?” tanya Joohyun lagi. Kali ini nadanya lebih serius dan Seungwan pun memilih untuk menjawabnya dengan serius.

“Jawaban aku sama, kamu boleh cek nanti ke Minjeong. Intinya aku kagum sama kamu dan Minjeong. Menurut aku kalian berdua itu saling mengerti satu sama lain. It is such a heartwarming chemistry. Minjeong yang bisa dewasa lebih cepat dari temen seumurannya karena dia nggak mau bikin Mami Joohyun kesusahan and then you, who shouldering the responsibility to be her mom and dad at the same time. The fact that you did it so great amazes me. Tanggung jawab sama diri sendiri aja udah susah, apalagi harus bertanggungjawab sebagai ayah dan ibu buat Minjeong.”

Seungwan langsung berhenti bicara saat ia sadar bahwa ia sudah terlampau jauh berbicara. Sang chef merutuki dirinya yang terlalu fokus menyetir hingga akhirnya ia melontarkan kalimat yang seharusnya hanya ada sebatas di kepalanya saja.

“Joohyun, sorry. Aku nggak maksud-...”

“It’s okay Wan. I’m all okay. Lagian kan emang fakta kalau aku harus urus Minjeong sendirian. Makasih juga ya kamu bilang kalo aku udah didik Minjeong dengan baik. Itu salah satu pujian yang paling bikin hati aku seneng.”

Seungwan mengangguk pelan. Ia masih merasa bersalah, sampai-sampai ia lupa untuk berbelok ke kanan di perempatan yang baru saja ia lewati.

“Uhm, kamu lupa belok atau sengaja nggak belok?” tanya Joohyun.

“Eh! Astaga! Sorry sorry!” ujar Seungwan panik. Matanya membelalak dan berkali-kali melihat kaca spion untuk memastikan apakah ia bisa putar balik saat itu juga.

Joohyun tertawa. “Jangan lama-lama nggak enaknya, aku seriusan udah nggak apa-apa kok kalau ada yang bahas tentang statusku sebagai single mother. I’m happy and proud of that. Karena kalau aku malu, tandanya aku malu punya Minjeong. Padahal dia salah satu karunia terbesar dari Tuhan buat aku.”

Mendengar jawaban Joohyun membuat Seungwan semakin kagum. Dalam hatinya ia semakin teguh untuk bisa hadir di kehidupan Joohyun dan Minjeong, membantu sang ibu dan anak semaksimal yang ia bisa. Selain itu, Ia tahu bahwa Joohyun dan Minjeong akan banyak mengajarinya tentang nilai kehidupan.

Seperti yang ia bilang, Minjeong belajar menjadi dewasa lebih cepat dari teman sebayanya. Sedangkan Joohyun nampak jelas merupakan sosok yang tegar, kuat, berpendirian, bertanggungjawab dan ikhlas dalam menjalani kehidupannya sebagai seorang single mother.

“Aku boleh minta sesuatu nggak?” tanya Joohyun tiba-tiba setelah Seungwan dengan sukses memutar kendaraan mereka menuju arah yang benar.

“Apa?”

“Can we be friends?”

“Tiba-tiba banget? Lagian kan tadi aku juga udah bilang kalau kamu emang udah aku anggap teman juga.”

“Just to make sure sih. Aku cuma punya satu teman yang bisa aku percaya banget, Sooyoung. Tapi kadang aku suka nggak enak kalau harus curhat terus-terusan sama Sooyoung. Gimanapun juga dia punya kehidupan pribadi. Walaupun aku punya Minjeong tapi ada hal-hal yang aku gak bisa ceritain juga ke Minjeong.”

“Oh jadi maksudnya aku dijadiin ban serep nih?” goda Seungwan

“Eh bukan gitu!” satu pukulan ringan mendarat di lengan Seungwan sebagai bentuk protes dari Joohyun.

“Bercanda Joohyuuuun. Aku paham kok maksud kamu. Sure, let's be friend. Kalau kamu butuh apapun jangan sungkan ya? Apalagi kita kan tetangga.” canda Seungwan lagi.

“Now we arrive!” sambung Seungwan.

Joohyun terkejut saat mendapati bahwa ia sudah sampai di lobby apartemennya. 45 menitnya bersama Seungwan terasa sangat cepat. Ia melepaskan seat-beltnya dan mengucapkan terima kasih pada Seungwan. Namun tak ia sangka Sang pemilik mobil memegang pergelangan tangannya, menghentikan Joohyun yang hendak turun dari mobil.

“Sorry.” ujar Seungwan saat mendapati Joohyun melihat pergelangan tangannya yang ia genggam.

“Uhm, Can I hug you?” sambung Seungwan

Untuk beberapa saat Joohyun sempat terdiam, namun kemudian ia mengangguk. Tangannya ia rentangkan dan disambut dengan pelukan hangat dari Seungwan.

“You’re not alone. You and Minjeong are not alone. Kalau ada apa-apa, I’m one call away okay?” bisik Seungwan di tengah pelukannya.

Joohyun hanya mengangguk. Entah mengapa ia takut jika ia membuka suara justru ia akan menangis. Lagi-lagi ia mencium aroma tubuh Seungwan yang kembali memicu ingatannya akan hari itu. Namun kali ini Joohyun lebih memilih untuk menikmati momen ini.

“Thank you Seungwan. Kabarin ya kalau kamu udah sampe rumah.” ujar Joohyun setelah melepaskan pelukan mereka.

“Of course, uhm ini mau aku bantuin aja? Kamu masih ada duffle bag loh? Minjeong juga pasti kamu gendong kan?”

Joohyun menggeleng, “Nggak usah. Kali ini biarin aja aku handle sendiri ya? You already helped me way too much. Aku nggak mau ngambil waktumu lebih banyak lagi.”

Seungwan mengalah. Ia tahu saat ini adalah batas baginya. Mungkin Joohyun belum mau untuk menunjukkan istana kecilnya saat ini dan Seungwan ingin menghargai privasi Joohyun serta Minjeong.

Joohyun kemudian turun dari mobil dan berjalan ke arah pintu belakang sementara Seungwan membantu mengambil duffle bag yang tersimpan di bagasi mobil.

Ketika ia sudah memastikan tidak ada barang Joohyun yang tertinggal di bagasi mobilnya, Seungwan mendapati Joohyun sudah menggendong Minjeong.

“Ini tasnya mau gimana?” tanya Seungwan yang kemudian melihat Joohyun menggendong Minjeong hanya dengan satu tangannya.

“I can handle it. Believe me, udah tiga tahun lebih aku kayak gini. Sekarang udah pro.” tawa Joohyun yang juga mengundang tawa bagi Seungwan.

“So, see you soon, neighbor?” ujar Joohyun.

“See you, neighbor.”

Seungwan menunggu hingga Joohyun dan Minjeong hilang dari pandangan matanya. Memastikan sang ibu dan anak tersebut memasuki tower apartemen mereka dengan selamat, sebelum ia kembali masuk ke mobilnya dan melaju menuju tower apartemen tempat tinggalnya.

Queendom Restaurant

43. Promise

Suara-suara tawa Minjeong terdengar dengan jelas, menyelimuti kamar rawat VIP yang dihuni oleh Minjeong dan Seungwan. Sang gadis cilik itu berkali-kali memberikan reaksi yang membuat Seungwan ikut tertawa, saking lucunya reaksi yang ditampilkan oleh Minjeong.

Minjeong kembali memeluk Seungwan dan menyembunyikan separuh wajahnya di lengan Seungwan ketika ia melihat adegan yang menyentuh hatinya. Entah sejak kapan, namun keduanya berbaring dengan nyaman di ranjang rumah sakit tersebut. Minjeong menyandarkan badan mungilnya pada tubuh Seungwan dan sang Chef memeluk tubuh mungil teman barunya itu.

Sudah satu jam lebih mereka menonton film animasi tersebut. Satu hal yang menarik perhatian Seungwan adalah sikap Minjeong yang sangat ekspresif, bukan dalam kata-kata namun dalam perbuatan. Ia sempat beberapa kali sengaja memperhatikan ekspresi wajah Minjeong dan gerak tubuhnya, gadis mungil ini selalu memberikan reaksi terhadap adegan demi adegan yang mereka tonton.

“Wannie?”

Seungwan cukup terkejut ketika mendengar Minjeong memanggil dirinya, ia sendiri tidak menyadari bahwa kini Minjeong tengah menatapnya dengan lekat.

“Yes?”

“Filmnya udah selesai.”

“O-oh… iya bener. Kamu mau ngapain lagi sekarang?”

Minjeong tidak menjawab pertanyaan Seungwan. Ia justru tetap memandang Seungwan tepat di matanya, membuat keduanya saling beradu pandang.

Seungwan bertanya-tanya dalam benaknya, mencoba untuk memprediksi hal apa yang akan keluar dari mulut Minjeong saat ini. Namun prediksinya sama sekali tidak ada yang tepat karena sang gadis cilik itu justru melontarkan hal yang cukup mengejutkan.

“Wannie suka sama Mami Joohyun ya?”

“Hah?”

“Kalau Wannie baik sama aku cuma buat deketin Mami, Minjeong bakal marah banget.”

Seungwan terdiam. Memang benar, tidak dipungkiri bahwa paras Joohyun menarik perhatiannya dan membuatnya jatuh hati. Namun ia sama sekali tidak ada niatan untuk menggunakan Minjeong sebagai batu loncatan demi mengambil hati Joohyun.

Kalau pun ia berniat untuk mengambil tindakan atas perasaannya ini, Seungwan akan berusaha untuk mengenal Joohyun dan Minjeong terlebih dahulu. Seungwan paham betul bahwa Joohyun dan Minjeong adalah satu paket yang tidak bisa dan tidak akan ia lepaskan.

Sang Chef tersenyum pada Minjeong. Ia menepuk pipi Minjeong dengan lembut.

“Kenapa Minjeong ngomongnya kayak gitu?”

“Karena biasanya orang-orang kayak gitu.”

Oh…

Lagi-lagi jawaban yang sama sekali tidak diperkirakan oleh Seungwan, dirinya terdiam. Ia terkejut, namun ketika ia pikir-pikir kembali, Ia justru menjadi marah. Tidak seharusnya Minjeong yang masih berusia semuda ini harus memiliki pengalaman tidak mengenakkan seperti itu.

Ucapan Minjeong tadi membuat Seungwan menjadi lebih serius untuk memberikan jawabannya. Ia berusaha untuk memformulasikan jawaban yang sejujur-jujurnya yang mudah ditangkap oleh Minjeong.

“Kenapa Wannie baik sama aku dan Mami?” tanya Minjeong lagi saat Seungwan terlalu lama berpikir.

“Wannie kagum sama Minjeong dan Mami Joohyun.” jawab Seungwan. Ia mencubit pipi Minjeong dengan gemas saat mendapati gadis di hadapannya ini mengerutkan dahinya.

“Menurut Wannie, Minjeong dan Mami Joohyun itu dua orang yang keren. Bahkan salah satu yang paling keren yang pernah Wannie temuin. Mau tau alasannya?”

Minjeong mengangguk mantap.

“Hmm gini, menurut Wannie, Minjeong keren banget karena Minjeong dewasa banget. Minjeong bisa hidup mandiri dan gak egois. Contohnya tadi sengaja kan nyuruh Mami Joohyun untuk pergi sama Aunty Sooyoung karena Minjeong tau kalau Mami Joohyun harus kerja?” ujar Seungwan yang dibalas dengan anggukan oleh Minjeong.

“Nah makanya Wannie bangga banget sama Minjeong. Wannie pengen jadi temen Minjeong juga. Supaya kalau Minjeong kesepian pas nggak ada Mami Joohyun, Minjeong bisa main sama Wannie.”

“Sama Kak Yoong juga?” tanya Minjeong polos.

“Iya sama Kak Yoong juga. Wannie juga punya dua teman lagi, nanti Wannie kenalin ke Minjeong. Namanya Yerim dan Seulgi.”

“Oh… kapan mau dikenalin ke aku?”

“Kalau Minjeong udah pulih seratus persen, nanti Minjeong boleh mampir ke restoran Wannie. Terus aku kenalin disana.”

“Janji ya?” Minjeong menjulurkan jari kelingkingnya pada Seungwan dan disambut oleh Seungwan dengan senang hati.

Sang Chef menghela napas lega saat melihat Minjeong sudah teralihkan fokusnya saat ia melihat iklan kartun lainnya di saluran tv kabel yang sedari tadi masih menyala.

Setidaknya kini ia tidak harus menjelaskan tentang perasaannya atas Joohyun yang juga cukup membingungkan bagi dirinya. Satu hal yang pasti, saat ini yang jelas ia kagum terhadap Minjeong dan Joohyun.

“Minjeong, Wannie mau tanya boleh nggak?” kini ganti Seungwan yang melontarkan pertanyaan pada Minjeong.

“Yup?”

“Minjeong kalau di rumah cuma berdua Mami Joohyun aja?”

“Iya, tapi kadang ada nanny juga. Kadang Aunty Soo juga nginep. Kalau Wannie tinggal sama siapa?”

“Wannie tinggal sendirian di apartemen. Papa-mamanya Wannie tinggal di kota lain.”

Minjeong mengalihkan fokusnya pada Seungwan saat mendengar jawaban tadi. “Wannie sedih nggak?”

“Sedih kenapa?”

“Karena tinggal sendirian. Nggak sama papa-mama.”

“Hmm, Wannie nggak sedih. Cuma kadang-kadang Wannie kangen aja sama papa-mamanya Wannie.”

“Terus kalau kangen, Wannie ngapain?”

“Biasanya Wannie telpon atau kalau Wannie lagi libur, biasanya Wannie pulang ke rumah papa-mamanya Wannie.”

Minjeong mengerucutkan bibirnya, “Wannie enak ya masih bisa ketemu papa-mama Wannie.”

Sang Chef memeluk tubuh mungil Minjeong kala ia mendengar jawaban singkat tersebut. Ia paham betul maksud tersirat dari ucapan Minjeong.

“Minjeong kan masih ada Mami Joohyun. Bisa tiap hari malah ketemu Mami Joohyun kan?”

“Iya, tapi Minjeong juga penasaran sama Papanya Minjeong. Tapi Minjeong tau kalau Minjeong tanya itu ke Mami, pasti Mami bakal sedih. Jadi Minjeong gak pernah tanya lagi.”

”Kamu dewasa banget Minjeong…”batin Seungwan.

“Minjeong pernah tanya ya ke Mami Joohyun?”

“Pernah. Mami nggak jawab pertanyaan Minjeong tapi Mami bilang nanti Mami bakal cerita ke Minjeong kalau udah waktunya. Terus pas malem-malem Mami nangis, tapi Mami gak tau kalo Minjeong liat Mami nangis.”

Sekali lagi Seungwan memeluk tubuh Minjeong dengan erat. Ia tidak sampai hati mendengar cerita Minjeong.

Tak lama mereka berpelukan, Minjeong tiba-tiba mendorong tubuh Seungwan dan buru-buru turun dari kasur yang ia tempati.

“Aduh duh duh, Minjeong kebelet pipis!”

Seungwan tertawa keras mendengar ucapan Minjeong, ia ikut turun dari kasur dan membantu Minjeong melepaskan kaos kaki yang dikenakan oleh Minjeong.

“Mau Wannie temenin ke kamar mandi?”

“NGGAK! Minjeong udah gede! Minjeong bisa sendiri.”

“Sure…” lagi-lagi tawa Seungwan pecah.

Seungwan memperhatikan tubuh mungil Minjeong yang berlari ke arah kamar mandi dan mendengarkan dengan saksama apakah kira-kira Minjeong membutuhkan bantuannya. Namun nampaknya gadis mungil itu memang tidak membutuhkan bantuannya, ia tidak mendengar adanya hal-hal aneh dari dalam kamar mandi.

Sementara ia menunggu Minjeong untuk keluar dari kamar mandi, Seungwan mengecek ponselnya dan membalas beberapa chat dari Yerim dan Seulgi di grup chat mereka. Matanya tertuju pada chatroom miliknya dan Joohyun tepat setelah ia menutup grup chat ‘queendom team’.

Manik mata Seungwan kembali menatap ke arah pintu kamar mandi ketika Minjeong baru saja menyelesaikan urusannya dan membuka pintu kamar mandi tersebut.

Ia tersenyum saat melihat Minjeong agak kesulitan untuk menutup pintu kamar mandi.

”Minjeong, Wannie belum bener-bener tau perasaan Wannie sekarang. Tapi kalau pun ternyata Wannie memang cuma berakhir sebatas teman sama Mami kamu, Wannie janji bakal tetap ada buat kamu dan Mami kamu. You two deserve all the best things in this world. I'll try to make your life and Joohyun easier.” batin Seungwan.

Queendom Restaurant

31. Wannie dan Wina

Sudah lebih dari 5 menit Joohyun memandangi layar ponselnya. Ia masih menatap chat terakhir dari Sooyoung dengan bimbang.

Disatu sisi ia tahu ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh dilepaskan. Professionally speaking, Joohyun tahu ia harus datang dan bertemu dengan head editor tersebut hari ini juga. Namun disisi lain, her inner mother instinct, tidak mau meninggalkan Minjeong sendirian, walau dengan Seungwan sekalipun.

Tanpa Joohyun sadari, ia menggigit bibir bawahnya serta menghentak-hentakkan kakinya pelan. Suatu kebiasaan yang muncul ketika ia sedang resah. Ia sedang berpikir keras mencari jalan tengah yang bisa memberikan solusi terbaik bagi keadaannya saat ini.

Saking terlarut dalam pikirannya, Joohyun tidak menyadari bahwa putri semata wayangnya itu sudah terbangun dan sedang menatapnya dengan saksama. Minjeong memang masih kecil, namun ia dapat merasakan bahwa saat ini Mami-nya sedang kesulitan dan ia tidak suka melihat guratan kesedihan di wajah Mami-nya itu.

“Mami...”

Suara pelan yang keluar dari mulut Minjeong membuyarkan pikiran Joohyun. Dengan sigap sang ibu meletakkan ponselnya dan menanggapi panggilan anaknya tadi.

“Hey, kesayangan Mami udah bangun?”

Minjeong mengangguk, “Maaf ya Mi, Minjeong telat bangun.”

Joohyun tertawa, matanya terpejam membentuk setengah lingkaran -some people called it eye smile-. Ia menggeleng tak habis pikir, bagaimana bisa putrinya ini justru meminta maaf karena telat bangun daripada mengkhawatirkan kondisi tubuhnya sendiri.

“Sayang gimana rasanya pagi ini?”

Mata Minjeong berkedip beberapa kali seraya mengerutkan dahinya. Joohyun melihat putrinya itu menarik napas berulang kali kemudian menyentuh dada serta pipinya.

“Aku udah bisa napas lagi Mi. Tapi yang disini masih agak gatel.” jawab Minjeong sambil menunjuk daerah sepanjang lekukan lehernya.

Joohyun mengangguk kemudian ia menyeka rambut putrinya yang menyentuh area leher Minjeong. “Jangan digaruk ya sayang? Kalau tambah gatel, bilang Mami aja ya.”

“Oke...” ujar Minjeong pasrah. Sebetulnya ia sudah gatal sekali dan ingin menggaruk lehernya.

Mendengar jawaban putrinya, Joohyun kembali tertawa, ia mencubit pelan pipi Minjeong. “Hayo, Mami tau pasti Minjeong tadi udah mau garuk lehernya ya?”

“Gatel mi...”

Joohyun beranjak dari posisinya kemudian duduk di tepi kasur, Minjeong secara otomatis menyandarkan kepalanya di pinggang Joohyun.

clingy mode on

“Mi, mau pulang...”

“Sabar ya sayang. Nanti jam 10 ada dokter yang periksa kamu, kalau dokter nanti bilang Minjeong boleh pulang, nanti kita langsung pulang.”

“Masih lama mi...”

“Masih berapa lama emang?” tanya Joohyun yang sengaja menguji Minjeong.

“Masih... Dua jam lagi Mi...”

“Coba tunjukin ke Mami, kalau berhitung pakai Jari, dua kayak gimana?”

“Gini mi...” Minjeong mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya.

“Pinter banget anak Mami.” ujar Joohyun sembari membelai kepala Minjeong kemudian melanjutkan kalimatnya.

“Kalau Minjeong mau, kita nonton film Monsters Inc kesukaan Minjeong. Nanti tau-tau udah lewat satu jam.” ujar Joohyun diikuti dengan jarinya menekuk jari tengah Minjeong.

“Tapi nanti masih ada satu jam Mi...”

“Iya ya? Terus Minjeong mau ngapain kira-kira? Gimana kalau Minjeong cerita ke Mami, kemarin ngapain aja sama Bu Yoona?”

“Minjeong kemarin-...”

Percakapan ibu dan anak tersebut terhenti sejenak saat Seungwan membuka pintu ruang VIP. Baik Joohyun maupun Minjeong secara refleks menoleh ke arah pintu masuk, membuat Seungwan merasa salah tingkah. Sang Chef entah mengapa justru mengangkat kantong plastik yang ia genggam dengan kedua tangannya.

“Bagels, anyone?” ujar Seungwan secara refleks ditengah ke-awkward-an yang ia timbulkan.

“Mi, dia siapa?” bisik Minjeong. Ia tidak mengenali sosok Seungwan yang sudah ia temui di Queendom Restaurant, saking paniknya Minjeong kala itu.

“Hi, little munchkin!” sapa Seungwan yang berjalan mendekati kasur pasien. Ia meletakkan bungkusan berisikan roti dan donat yang ia beli dalam perjalanan kembali ke ruang rawat setelah ia berolahraga singkat di taman rumah sakit tersebut.

“Aku nggak kecil!” protes Minjeong.

Mata Seungwan membelalak saat mendengar ucapan Minjeong, ia melirik ke arah Joohyun yang secara diam-diam menggelengkan kepalanya pada Seungwan. Memberikan kode bahwa Minjeong tidak suka dipanggil dengan sebutan ‘little’.

“Oopss!! Sorry my bad! Aku biasanya pake kacamata, jadi tadi nggak terlalu keliatan. Wait…” ujar Seungwan cepat sembari merogoh saku kemeja yang ia kenakan untuk mengambil kacamatanya.

“Oh my God!! Yang tadi aku panggil little munchkin ternyata udah gede dan cantik banget! Minjeong kamu nggak kalah cantik deh sama mama kamu!” ujar Seungwan yang sengaja berakting di depan Minjeong.

Sang gadis cilik tersenyum puas saat mendengar pujian dari Seungwan. Sementara itu, tanpa mereka sadari, wajah Joohyun memerah saat mendengar pujian yang diutarakan oleh Seungwan. Ia tidak menyangka ucapan se-simple itu bisa membuatnya merona malu seperti ini. Sedangkan, Seungwan justru tidak menyadari ucapannya barusan. Sang Chef fokus berkenalan dengan Minjeong, gadis cilik yang merupakan pengunjung restorannya tempo hari.

“Halo, nama kamu Minjeong ya? Aku Seungwan.” ujar Seungwan memperkenalkan dirinya. Ia menyodorkan tangannya pada Minjeong untuk berjabat tangan.

“Kok tau nama aku Minjeong?”

“Tau dong! Aku kenal sama Bu Yoona dan Bu Yoona sering cerita tentang Minjeong. Katanya Minjeong itu salah satu murid yang bikin Bu Yoona bangga, makanya kemarin Bu Yoona dateng ke restoran ngajak Minjeong juga kan.”

Seungwan sengaja tidak menyentuh topik tentang kesehatan Minjeong, walaupun sebenarnya yang membuat Seungwan mengetahui nama Minjeong adalah saat teman Minjeong berteriak histeris melihat keadaan Minjeong yang sedang sesak napas karena alerginya.

“Oh? Kamu temennya Kakak Yoong?” tanya Minjeong, kepalanya sedikit miring ke arah kiri, pertanda bahwa ia tertarik dengan ucapan Seungwan.

“Kakak Yoong?” tanya Seungwan.

“Minjeong, udah berapa kali Mami ingetin? Nggak boleh manggil Bu Yoona pakai sebutan kakak, nggak sopan. Minjeong jarak umurnya sama Bu Yoona itu jauh, kalau panggil kakak itu untuk orang yang kira-kira seumuran atau lebih tua sedikit dari Minjeong. Mami selalu ingetin kamu kan kalau mau bicara sama orang yang lebih tua nggak boleh pakai kamu, ayo minta maaf.” ujar Joohyun menasihati Minjeong setelah mendengar Minjeong memanggil Seungwan dengan kata ganti ‘kamu’.

“Tapi terus Minjeong panggil dia apa dong Mi? Kalo tante itu kan buat temen-temen Mami, kalau Bu… nggak mau ah Mi, kakaknya masih keliatan muda kok Mi! Iya kan kak?” tanya Minjeong pada Seungwan.

Minjeong sangat keras kepala persis seperti ibunya dan Joohyun hanya bisa menghela napasnya. Sudah berkali-kali Joohyun mengajari Minjeong terutama tentang tata krama, hanya satu hal yang sulit sekali untuk Minjeong lakukan, seperti sekarang ini.

Dari dulu Minjeong selalu seenaknya saat memanggil nama orang lain. Seperti ia bersikukuh untuk memanggil Yoona dengan sebutan Kakak Yoong, sedangkan ia memanggil Sooyoung dengan sebutan Aunty Soo.

“Terserah Minjeong aja mau manggil aku apa.” tawa Seungwan.

“Tadi namanya siapa?”

“Seungwan.”

“Sini sebentar boleh nggak?” tanya Minjeong sembari menepuk sisi yang kosong di sebelah kanannya.

Seungwan menyanggupi permintaan Minjeong, lalu menyejajarkan wajahnya dengan wajah Minjeong.

“Yes captain?”

“Copot kacamatanya dong kak.”

Minjeong meraih kacamata yang diberikan oleh Seungwan dan menitipkannya pada Joohyun, “Pegangin dulu Mi.”

Gadis cilik itu mengamati wajah Seungwan sejenak. Sementara itu baik Joohyun maupun Seungwan hanya bisa saling lirik, sama-sama penasaran dengan tindakan Minjeong.

“Wannie!” ujar Minjeong lantang. Ia menepuk kedua tangannya.

“Pardon?” tanya Seungwan terkejut.

“Iya, mulai sekarang aku panggilnya Wannie aja!”

“Minjeong…” nada suara Joohyun berubah menjadi serius, namun Seungwan buru-buru menghentikan Joohyun. Ia sama sekali tidak ada masalah dengan nama panggilan tersebut.

“Okay, kan kamu udah ngasih nama panggilan buat aku. Sekarang gantian aku yang kasih nama panggilan buat kamu ya….hmm…. Gimana kalau Wina?”

“Wina?”

“Yep! Wannie and Wina, how?”

“Wina itu apa?”

“Oh, jadi gini kan aku Chef. Tau chef kan?” tanya Seungwan yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Minjeong.

“Jadi, salah satu bahan yang jadi andalanku waktu masak itu Wine. Wina aku ambil dari Wine, paham nggak?”

“Nggak…”

“Aduh hmm…” Seungwan tertawa pada dirinya sendiri, mungkin bahasanya terlalu rumit.

“Gini deh, intinya kenapa Wina, soalnya Minjeong udah Wannie anggep sebagai teman andalan. Terus kan lucu, Wannie dan Wina, kita punya nama pasangan.” ujar Seungwan menunjuk pada dirinya dan Minjeong.

Sepanjang percakapan, Joohyun hanya mengamati reaksi Minjeong dan Seungwan. Ia tersentuh dengan sikap Seungwan yang mau berinteraksi dengan Minjeong dan menganggap Minjeong sebagai her equal.

Pengalamannya sebagai orang tua, tak begitu banyak orang dewasa yang mau menanggapi ucapan anak-anak dengan serius, begitu pula dengan orang-orang yang berinteraksi dengan Minjeong. Kebanyakan orang dewasa hanya berbicara dengan Minjeong jika mereka ingin mendekati Joohyun atau membutuhkan sesuatu dari Joohyun. Minjeong pun lambat laun menyadari hal ini. Hanya ada segelintir orang dewasa yang benar-benar berinteraksi dengannya secara tulus.

Joohyun tersenyum saat melihat Minjeong dan Seungwan sudah bercakap-cakap dengan akrab. Bahkan Minjeong menawari Seungwan untuk menonton film Monsters Inc bersama-sama. Pemandangan di depannya itu tergolong langka, biasanya orang-orang akan melabeli Minjeong dengan kata-kata ‘bandel’ karena sikap Minjeong yang acuh tak acuh terhadap orang asing.

Namun melihat Minjeong yang sedikit demi sedikit menerima kehadiran orang baru, Joohyun yakin bahwa kedepannya, Minjeong akan lebih mempercayai Seungwan dan mungkin Seungwan akan menjadi salah satu orang dewasa yang bisa diandalkan oleh Minjeong.

“Okay Wina, sebentar-sebentar, filmnya boleh di pause nggak? Wannie pengen ke toilet sebentar.”

“Oke. Tapi 2 menit aja.”

“Haaaaah? Mana cukup 2 menit?” protes Seungwan dengan ekspresi wajah yang dilebih-lebihkan. “5 menit ya?”

“Oke 5 menit. Dimulai dari sekarang!”

“Okay captain!”

Sang Ibu lagi-lagi tertawa melihat tindak tanduk Seungwan dan putrinya itu.

“Mami liat udah akrab nih sama Wannie? Daritadi Mami didiemin?”

“Ih Mami! Nggak gitu!!” ujar Minjeong dengan wajah yang ditekuk

“Mami cuma bercanda sayaaang.”

Joohyun mengecup singkat pipi Minjeong.

“Mi, mami kenal Wannie sejak kapan Mi? Kok Mami nggak pernah cerita sama Minjeong?”

“Hmm, kenapa emangnya?”

“Gapapa Mi, Minjeong suka aja sama Wannie soalnya baik kayak Kak Yoong.”

“Oh gitu…”

Keheningan di ruangan tersebut terpecah ketika pintu ruang VIP terbuka dengan cepat diiringi dengan teriakan keceriaan khas Park Sooyoung yang membuat Joohyun terperanjat kaget.

“Halo semua!!”

“Aunty Soo!!”

“Ih Minjeong, udah dibilang jangan panggil pake aunty!! Aku belum tua!”

“Nggak mau, maunya Aunty Soo!”

“Ini bocah, beneran deh ya. Nanti kamu aku kelitikin ya!” ancam Sooyoung

“Biarin aja.” jawab Minjeong sembari menjulurkan lidahnya.

Sooyoung hanya tertawa lalu mencubit gemas pipi Minjeong.

“Gimana jadinya Soo?” tanya Joohyun merujuk pada meeting dengan head editor W Magz.

“Dia bilang harus sama lo juga.”

Joohyun menghela napasnya pelan. Gesture ini ditangkap oleh Minjeong, membuat gadis kecil itu memperhatikan ekspresi Mami-nya dengan serius.

“Mi, mami harus pergi ya?”

“Nggak kok sayang, kan Mami udah janji nemenin Minjeong sampai Minjeong sembuh.”

“Aku udah nggak apa-apa kok Mi, mami pergi aja. Cuma sebentar kan Mi?”

Sooyoung hanya terdiam, 3 jam bukan waktu yang sebentar dan ia juga tidak tega untuk meninggalkan Minjeong sendirian di rumah sakit.

“Nggak kok sayang, kerjaan bisa Mami cari lagi. Tapi kalau Minjeong, buat Mami nggak tergantikan.”

Seungwan yang baru keluar dari kamar mandi cukup kebingungan saat mendapati suasana ruang rawat tersebut berubah menjadi lebih diam dan serius. Ia juga baru menyadari kehadiran seorang Wanita bertubuh tinggi langsing dengan paras cantik yang berdiri di dekat Joohyun dan Minjeong.

“Uhm, sorry ini kalau pembicaraannya serius dan rahasia kayaknya mending aku keluar aja ya?” potong Seungwan.

“Wannie! Minjeong sama Wannie aja Mi disini! Mami pergi aja sama Aunty Soo! Ya kan Wannie?”

“Ah..Uhm... Sure! Kalau My Wina mau main sama Wannie, let’s go!”

”My Wina? Wannie?” batin Sooyoung

“Tuh Mi, aku sama Wannie aja. Mami pergi sama Aunty Soo dulu aja!” ujar Minjeong lagi, berusaha meyakinkan Joohyun.

“Seungwan, kamu beneran nggak apa-apa aku titipin Minjeong dulu?”

Sang Chef mengangguk mantap, “Tenang aja, aku nggak bakal berbuat yang aneh-aneh kok. Kamu punya kontakku kan? Kak Yoona juga tau dimana rumahku, jadi kalau ada apa-apa kamu pasti bisa cari aku.”

Sooyoung menatap Seungwan dan Joohyun silih berganti, lagi-lagi ia menemukan kejanggalan. Beberapa saat yang lalu, ia menyadari bahwa Minjeong sudah terlihat akrab dengan orang asing yang bernama Seungwan ini. Lalu ia baru saja mendengar Joohyun dan Seungwan memanggil satu sama lain dengan sebutan ‘aku-kamu’.

”Suspicious.” batin Sooyoung.

“Hyun, kalau lo emang gak mau ninggalin Minjeong, gue batalin aja meetingnya. Nggak apa-apa kok gue. Tapi kalo lo emang jadi meeting, kita harus berangkat sekarang.”

Joohyun menatap Minjeong dan Seungwan silih berganti.

“Minjeong beneran nggak apa-apa kalau Mami pergi?”

“Bener Mi…”

“Alright… tapi janji ya Minjeong nggak boleh nakal? Minjeong harus nurut ya sama Wannie?”

“Janji!”

“Seungwan, aku…”

“It’s okay, nggak ngerepotin kok. Itung-itung ini aku nebus kesalahan aku yang itu. Tenang aja, Minjeong aman kok sama aku.”

Joohyun mengangguk, “Makasih banyak ya.”

“No problem.”

Sang Ibu kemudian berjalan menuju nakas tempat ia menaruh tasnya, kemudian melepaskan kabel charger dari stop kontak dan memasukkannya ke dalam tas. Ia kemudian berjalan kembali ke arah putri semata wayangnya.

“Minjeong, peluk mami dulu sini. Jaga diri ya, kalau ada apa-apa pinjem handphone Wannie aja terus telpon Mami ya?”

“Iya Mi… Mami hati-hati ya sama Aunty Soo.”

“Mami bakal pulang cepet, okay? Nanti kita ngobrol lagi. Mami sayang Minjeong banget.” bisik Joohyun di telinga Minjeong

“Minjeong sayang Mami banget banget.” balas Minjeong.

Joohyun melepaskan pelukannya dengan Minjeong lalu secara refleks ia memeluk Seungwan sebagai bentuk terima kasih.

“Titip Minjeong ya Seungwan, she’s my world.” bisik Joohyun pada Seungwan saat ia memeluk tubuh sang Chef.

“O-of course…”

Queendom Restaurant

21. The Fragrant Flashback

Ruangan VIP berukuran 21 meter persegi tersebut sangatlah sunyi senyap. Hanya terdengar suara desis pelan dari air purifier dan suara sayup-sayup pembawa berita dari televisi yang dibiarkan menyala.

Joohyun masih dalam posisi duduk menghadap kasur pasien, tempat Minjeong saat ini berbaring. Ia sesekali menyeka poni yang menutupi wajah anak perempuannya itu dan memandangi wajah mungil yang sedang beristirahat setelah sebelumnya harus merasakan pahitnya akibat dari memakan ayam yang memicu alerginya itu.

Sementara itu, Seungwan yang duduk di sofa dapat melihat dengan jelas saat Joohyun menghela napasnya beberapa kali. Mungkin sang Ibu tidak menyadarinya, namun Seungwan melihat dengan jelas kekhawatiran di raut wajah Joohyun. Hal ini membuat hatinya semakin tidak enak, walaupun Joohyun sudah berkali-kali mengatakan bahwa yang sudah terjadi adalah pure kecelakaan tanpa ada kesengajaan.

Setelah satu jam duduk di satu ruangan yang sama dengan Joohyun, terdapat beberapa pertanyaan yang mulai muncul di benak Seungwan. Pertama, ia menyadari bahwa nama Minjeong adalah Kim Minjeong, sedangkan ia ingat betul tadi Joohyun memperkenalkan dirinya sebagai Bae Joohyun. Kedua, Seungwan sama sekali tidak melihat adanya cincin di jari tangan Joohyun dan hingga saat ini pun ia belum melihat sosok dari Ayah Minjeong.

Apabila dugaannya memang benar, besar kemungkinan Joohyun adalah single parent dan nama marga Minjeong diambil mengikuti marga Ayahnya, yang entah ada dimana. Namun Seungwan buru-buru menggelengkan kepalanya, hal ini bukan urusannya. Ini merupakan ranah privasi Joohyun dan Minjeong.

“Kamu ngantuk?” suara Joohyun memecah keheningan.

Ia melihat Seungwan beberapa kali menggelengkan kepalanya dan mengira bahwa stranger di depannya ini sudah kelelahan.

Seungwan buru-buru menggerakkan tangannya dan menggeleng, suatu reaksi refleks karena ia tidak sempat mempersiapkan dirinya untuk menjawab pertanyaan Joohyun dengan kata-kata. Bahkan kalau boleh jujur, ia sama sekali tidak menyangka bahwa Joohyun akan mengajaknya berbicara.

“Kalau ngantuk bisa tiduran aja di sofa itu, aku gak akan pindah dari kursi ini.” ujar Joohyun sembari tersenyum ke arah Seungwan.

“E-eh nggak ngantuk kok Mbak...Eh Joohyun maksudnya.”

Joohyun terkekeh mendengar Seungwan yang masih tergagap saat memanggil namanya. Ia mengangguk pelan namun tetap menatap Seungwan dengan serius.

Saat pertama kali bertemu dengan Seungwan di pintu masuk IGD, Joohyun tidak begitu memperhatikan wajah dari sosok chef yang membawa putrinya ke IGD namun setelah keduanya bertemu kembali di ruangan VIP ini, Joohyun menyadari beberapa hal yang cukup mengusik dirinya.

Pertama, ia tidak bisa melupakan senyuman yang diberikan oleh Seungwan saat mereka bertemu kembali setelah pertemuan pertamanya di IGD. Seungwan awalnya terlihat kikuk dan masih merasa bersalah atas kejadian yang menimpa Minjeong, sehingga Joohyun harus berkali-kali mengatakan bahwa ia sama sekali tidak marah terhadap Seungwan.

Kedua dan yang paling penting, rasa penasarannya akan Seungwan meningkat drastis saat Joohyun mencium aroma parfum ketika ia berjabat tangan dengan Seungwan. Aroma yang sudah selama 3 tahun ini menghantuinya dan aroma yang sama sekali tidak bisa ia lupakan hingga saat ini.

Flashback

Februari 2018 Joohyun sama sekali tidak mengingat apa yang terjadi, ia hanya tahu bahwa saat ini kendaraan yang ia tumpangi sudah terbalik 180 derajat dan ia terhimpit antara kursi penumpang dengan dashboard mobil.

Ditengah keadaan dirinya yang sadar dan tidak sadar, Joohyun dapat melihat bahwa penumpang lain yang ada di dalam mobil tersebut sudah tak sadarkan diri atau bahkan sudah meninggal, mengingat ia melihat adanya darah segar yang mengalir dari pelipis mereka.

Seketika Joohyun panik saat ia menyadari bahwa ia tidak bisa menemukan Minjeong. Napasnya tercekat dan Joohyun perlahan merasakan nyeri di dada kirinya serta ia baru saja menyadari bahwa tangannya kemungkinan besar patah karena ia sama sekali tidak bisa menggerakkan lengan kirinya.

”Min...jeong…” bisik Joohyun pelan, kepalanya mulai terasa nyeri.

Joohyun berusaha sekali lagi mencari sosok bayi mungil tersebut namun ia tidak bisa menemukannya dengan kondisinya saat ini.

Namun perlahan ia mendengar suara tangisan anak bayi dan suara seseorang yang cukup panik, kemungkinan sedang menelpon ambulans.

”Astaga! Masih ada yang selamat! Tolong cepet kesini! Masih ada satu penumpang yang selamat!”

Menyadari kemungkinan ini, Joohyun merasa sedikit lega walaupun jujur saja saat itu ia benar-benar takut untuk mati, ia tidak ingin meninggalkan Minjeong sendirian di dunia yang kejam ini.

Perlahan kesadaran Joohyun mulai menghilang, yang terakhir kali bisa ia ingat sebelum ia pingsan adalah wangi campuran yang cukup khas wood, musk, amber, dan vanilla serta suara seseorang yang menyanyikan lagu bintang kecil untuk menenangkan Minjeong yang masih menangis histeris.

End of Flashback

“Joohyun?”

Suara Seungwan menyadarkan Joohyun dari lamunannya. Aroma parfum Seungwan telah membawanya ke ingatan akan tragedi hari itu. Entah mengapa, rasa penasaran yang selama setahun belakangan sudah berhasil ia pendam sedikit demi sedikit, kini justru kembali menyeruak saat lagi-lagi ia mencium aroma parfum itu dari tubuh Seungwan.

“2 Februari 2018, kamu ada dimana?” tanya Joohyun pada Seungwan.

“Hah? Sorry?”

Joohyun menggeleng, tidak mereka tidak sedekat itu untuk dirinya menanyakan hal yang terlampau pribadi pada Seungwan. Mungkin lebih baik ia menanyakan hal yang terdengar lebih general.

“No, nevermind. Uhm, sorry kalau terdengar aneh, tapi parfum kamu apa? Wangi badan kamu unik banget soalnya.”

Queendom Restaurant

10. Blessing in disguise

Hari itu, seperti ucapan Yoona pada Joohyun sebelumnya, ia dan anak-anak yang ada di day care melakukan mini field trip dengan berjalan-jalan di sekeliling kompleks.

Sebagai tour guide sekaligus pengasuh, Yoona sesekali mengajari anak-anak asuhnya tentang alam sekitar. Ia memberikan definisi serta menjawab beberapa pertanyaan-pertanyaan jenaka yang muncul dari enam anak kecil yang bersamanya saat itu.

“Siapa yang capek?” tanya Yoona yang dijawab dengan acungan tangan oleh dua anak.

“Siapa yang haus?” kali ini tiga anak yang angkat tangan.

Yoona tersenyum melihat tingkah anak-anak ini, namun ia sedikit memperhatikan salah seorang anak asuhnya yang sedari tadi masih dalam diam.

Dirinya tahu bahwa Minjeong sedari tadi memperhatikan penjelasannya dan ia pun melihat bahwa Minjeong sempat berbicara dengan dirinya sendiri, mengulang ucapan ataupun info-info yang keluar dari mulut Yoona. Namun, Minjeong sama sekali tidak banyak berinteraksi dengan teman sebayanya.

Sepertinya nanti sore ia harus berbicara dengan Joohyun. Mungkin ada hal-hal yang luput dari perhatian Joohyun dan harus dibicarakan dengan Minjeong.

“Okay, kalau gitu kita mampir cari tempat makan ya. Sekarang semua baris, pegang pundak temennya.” ucap Yoona memberikan aba-aba.

Sesuai dugaannya, Minjeong memilih untuk berdiri di paling belakang dan mengekor teman-temannya. Kali ini Yoona memilih untuk berjalan berdampingan dengan Minjeong dan mengelus pelan kepalanya.

“Minjeong, kamu seneng nggak jalan-jalan gini?”

“Seneng.”

“Seneng kok jawabannya kayak kesel gitu?”

“Iya Minjeong sebel. Soalnya Mami udah janji mau pergi sama Minjeong tapi malah kesini.”

Yoona tertawa, “Jadi Minjeong gak suka ketemu sama aku?”

“Bukan gitu!”

“Terus?”

“Minjeong maunya sama Mami.”

“Iyaa, nanti Ibu bilangin ke Mami ya. Siang nanti pas jam istirahat, Minjeong mau telpon Mami lagi?”

Minjeong mengangguk mantap.

“Kalau gitu janji ya, Minjeong harus main sama temen-temen yang lain. Minjeong harus seneng-seneng. Nanti di restoran, Minjeong juga harus makan ya? Pasti nanti siang kalo Minjeong cerita ke Mami tentang pengalaman hari ini, Mami bakal seneng banget kalo Minjeong bisa cerita banyak.”

Minjeong terlihat menimbang-nimbang syarat yang diberikan oleh Yoona dan tak lama setelahnya ia mengangguk mantap.

“Kakak janji ya?” tanya Minjeong.

Yoona mengangguk dan menyodorkan jari kelingkingnya pada Minjeong. “Janji.”

Sang anak perempuan mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Yoona yang terlihat sangat besar dibandingkan dengan jari mungil Minjeong.

“Oke, nanti Minjeong makan dan main sama temen-temen.”

Yoona tersenyum kemudian tertawa pelan, ia mengelus kembali kepala Minjeong. Membuka day care pribadi miliknya itu adalah salah satu karunia yang sangat ia syukuri. Bekerja -sembari bermain- dengan anak-anak kecil itu merupakan sarana healing yang paling mujarab ditengah kerasnya kehidupan orang dewasa.

“Okay semuanya, sekarang coba siapa yang berani nyanyi sampai kita tiba di restoran, nanti boleh pesen es krim!”


cling! cling!

Yerim menoleh ke arah pintu masuk restoran saat ia mendengar bunyi bel ketika pintu restoran dibuka.

“Selamat datang di Queen—... Oh! Halo Kak!” sapa Yerim saat menyadari bahwa tamunya adalah salah seorang yang ia kenal dengan baik.

“Halo! Hari ini aku bawa banyak pelanggan.” ujar Yoona sembari tertawa

“Hah?” tanya Yerim.

“Oh!! Halo kak!!”

Yoona melambaikan tangannya pada Seulgi dan Sakura yang sibuk membantu Seungwan selaku head chef restoran.

“Hari ini aku bawa banyak pelanggan, aku duduk di ujung aja ya? Biar mereka gak ngerecokin tamu lainnya.” ujar Yoona pada Yerim yang langsung membantu Yoona mengarahkan enam anak kecil itu ke meja paling ujung.

Enam anak kecil tersebut langsung duduk di sofa dan menghela napas mereka panjang.

“Capek bu!!” protes mereka

“Iya, iya, yang capek istirahat yaa! Ibu pilihin minuman sama makanan dulu ya!”

“Cepetan bu! Aku haus!”

“Heh kalian tuh sabar satu-satu!” protes Yerim yang melihat tamu-tamu kecilnya berebut untuk melihat buku menu.

“Kok lo bisa sabar banget sih kak?” bisik Yerim.

Yoona hanya menggelengkan kepalanya dan tertawa. “Kamu aja yang gak biasa. Eh? Ini ada menu baru?”

“Oh iya, itu biasa si Seungwan eksplor menu-menu yang belum ada disini. Itu baru aja hari ini sih dia coba bikin. Pas banget deh, dia lagi pengen bikin menu buat anak-anak.”

“I see..” Yoona mengangguk sembari memperhatikan ingredients dari menu tersebut.

“Aku pesen yang ini 4, yang ini 2. Yang fettuccine itu nggak pedes kan?”

“Bisa dibuat less spicy sih kak.”

“Oke kalo gitu less spicy ya.”

Yerim mengangguk kemudian berjalan meninggalkan meja yang ditempati oleh Yoona. Ia segera memberitahukan orderan tersebut kepada Sakura yang langsung membantu Seungwan menyiapkan pesanan.

Tak lama berselang setelah Yerim meninggalkan meja tersebut, kini ganti Seulgi yang menyambangi mereka dengan nampan berisikan jus pesanan Yoona.

“Halo adik-adik!! Ini diminum ya satu-satu! Eh! Jangan rebutan!!” ujar Seulgi sembari tertawa saat melihat tamu-tamu kecilnya itu berebut minuman.

“Seungwan sibuk banget ya?” tanya Yoona setelah ia dan Seulgi selesai membagikan minuman.

“Hari ini relatif santai sih kak. Paling abis selesai bikin pesenan meja ini, nanti dia kesini juga.”

Yoona mengangguk. “Gimana resto kalian?”

“Smooth and sailing. Ya paling ada kendala kecil dikit-dikit lah.”

“I see… Kapan-kapan aku kayaknya mau minta collab sama kalian bisa gak? Aku mikir mau bikin cooking class gitu buat anak-anak. Ya masak yang gampang-gampang aja, atau mungkin baking class juga bisa.”

“Oh, boleh sih kak. Coba ntar tanya ke Seungwan langsung. Tapi aku yakin dia sih mau-mau aja.”

Seulgi dan Yoona berbincang-bincang untuk beberapa saat sebelum akhirnya Seulgi meninggalkan meja bernomor 11 itu. Disela-sela menunggu pesanan datang, Yoona mengirimkan pesan singkat satu per satu kepada orangtua anak-anak yang dititipkan padanya. Ia memberikan update kegiatan dan beberapa foto yang tadi sempat ia ambil.

Salah satu yang memberikan balasan paling cepat adalah Joohyun. Ia menyampaikan rasa terima kasihnya dan menginformasikan bahwa hari ini ia akan menjemput Minjeong lebih cepat.

“Halo semua!!” sapa Seungwan yang dibalas dengan teriakan ramai oleh anak-anak asuh Yoona tersebut

“Ayo duduk yang rapi ya, nanti ibu bagi satu-satu makanannya. Yang pintar nanti dapat hadiah!” ujar Yoona yang mengatur letak duduk anak-anak tersebut dan membagikan satu per satu santapan yang sudah ia pesan.

“Lucu banget sih kak mereka.” tawa Seungwan setelah membantu Yoona.

Keduanya memilih untuk duduk di meja yang terletak di seberang meja yang ditempati oleh 6 anak kecil tersebut. Mereka memilih untuk memberikan space bagi anak-anak untuk makan dan bersenda gurau dengan teman mereka.

Sesekali Yoona memeriksa keadaan anak asuhnya untuk memastikan bahwa mereka tidak mengalami masalah. Sembari mengawasi 6 anak tersebut, Yoona dan Seungwan berbincang-bincang tentang kehidupan mereka serta ide Yoona untuk mengadakan cooking class dengan meminta bantuan Seungwan dan teman-teman di Queendom Restaurant.

“IBU!!” teriak salah satu anak.

“Kenapa Giselle?”

“Bu!! Minjeong katanya gak bisa napas!!!”

Ucapan tersebut seketika membuat Yoona dan Seungwan menjadi alert. Mereka berdua langsung melihat keadaan Minjeong yang memang sedang kesulitan bernapas.

“Minggir dulu yang lainnya ya.” ujar Seungwan yang langsung merebahkan tubuh Minjeong di sofa sementara Yoona meminta anak-anak lain untuk menjauh dan memberikan ruang bagi Seungwan dan Minjeong.

“Kak, napasnya makin pendek-pendek.” ujar Seungwan

“Halo, Minjeong ya? Aku Seungwan. Aku buka kancing baju Minjeong sedikit ya, kakak mau mastiin sesuatu.” tambah Seungwan.

Ia membuka kancing baju Minjeong dan terkejut karena dugaannya tepat. Ia menemukan bercak-bercak kemerahan yang mulai timbul di leher dan dada Minjeong.

“Ga-gatel!!” keluh Minjeong yang menggenggam lengan baju Seungwan.

“Kak alergi kak. Dia alergi apa?” tanya Seungwan

“Minjeong gak bisa makan ayam. Tapi aku pesenin buat dia pasta fettucine kamu itu, disana kan ingredientsnya gak ada ayamnya?”

“Shit! Tadi saus pasta yang aku kasih ada ayamnya kak.”

Seungwan dengan cepat menggendong tubuh Minjeong dan berlari ke arah pintu keluar.

“Seulgi! Yerim! Cepet tutup restonya sementara! Kalian bantu kak Yoona buat balik ke day care! Gue ke RS dulu, ini Minjeong alerginya kumat.”

We are all someone's..... (part. 9)

Sang ratu kecil di kediaman keluarga Bae hari ini tampak sumringah. Sejak mendapatkan berita bahwa kakaknya hari itu akan menginap, Yerim sudah merencanakan beberapa hal. Salah satunya their movie night tradition yang menjadi ajang kakak beradik itu untuk bonding, menceritakan keluh kesah satu sama lain.

The movie is just an excuse, truth to be told. Tujuan utamanya tidak lain dan tidak bukan adalah sesi curhat di tengah-tengah menonton film. Semenjak kakaknya pindah, ia telah kehilangan lawan mainnya. Satu-satunya subjek yang bisa ia jahili sekaligus sebagai tempat ia berkeluh kesah.

Yerim melangkah dengan ringan menuju dapur. Sesampainya disana, ia bertemu dengan Wendy yang sepertinya juga baru sampai tak lama sebelum Yerim tiba. Untuk beberapa saat mereka hanya diam, Wendy sibuk membuat jus sedangkan Yerim sibuk menjarah sebanyak-banyaknya makanan sebagai stok untuk nonton film nantinya.

“Mau jus?” tanya Wendy, memberikan tawaran pada calon adik iparnya itu.

“Kalo nggak greenplum, nggak mau.” jawab Yerim santai. Ia masih sibuk mengkalkulasi makanan apa saja yang mau ia bawa.

“On it.”

“Emang ada? Seinget gue kemarin belum nyetok lagi deh.”

“Ada. Kakak lo yang tadi beliin pas di supermarket.”

Mulut Yerim membentuk lingkaran saat mendengar jawaban Wendy, kemudian ia menaruh semua camilan yang ada di tangannya. Kedua manik mata Yerim memandangi Wendy yang sibuk memotong buah-buahan dan memasukkannya ke dalam blender, ia seperti sedang terlarut dalam pikirannya sendiri.

Sementara itu, Wendy yang merasakan bahwa Yerim tiba-tiba berubah menjadi diam, mau tidak mau juga menjadi penasaran. Ia menoleh ke arah Yerim dan mendapati sahabat sekaligus calon adik iparnya itu menatapnya dengan pandangan penuh arti.

“Lo...beneran mau married sama kakak gue?” tanya Yerim tiba-tiba.

Wendy mengangguk mengiyakan.

“It’s still 6 months from now on, more or less, but yes I will marry your sister.”

“Siap siap ya, Seungwan” kata Yerim sambil tersenyum usil, ia sengaja menekankan nadanya saat mengucapkan nama lahir Wendy, nada yang sama dengan yang selalu Irene gunakan.

“Hah?”

“Gue satu paket sama kakak gue. So, lo siap-siap aja. Lagian ya, lo tuh curang tau. Udah ngeskip part dimana lo harusnya minta restu gue dulu! I haven’t give you my blessing, yet.” canda Yerim.

Wendy tertawa, ia paham bahwa Yerim serius dengan ucapannya walau terdengar seperti candaan. Khasnya Bae Yerim, ancaman dibalik sebuah candaan.

“I know, I know. Also Squirtle, gue married sama kakak lo bukan berarti gue ngambil Joohyun dari lo. You’re her precious little sister, she will always love you.”

“Yaudah, bagus deh kalo udah paham. Lo mau ikut nggak?”

“Kemana?”

“Nonton film. Tadinya gue rencananya mau nonton berdua kakak gue doang, tapi setelah gue pikir-pikir boleh juga deh lo ikut.”

Lagi-lagi Wendy tertawa. Irene pernah berkata padanya bahwa Yerim dan sifat kekanak-kanakannya is her own charm and now Wendy agree.

“Beneran nih gue boleh ikut? Tadi kata dia lo mau nonton di kamar lo kan? Joohyun bilang ini kayak bonding lo berdua gitu?”

“Emang. Tapi karena lo juga bakal jadi bagian dari keluarga, gue rasa lo juga boleh ikut. Also, gue mau nonton di kamar kakak gue aja ah. Kasurnya lebih gede, tv-nya juga.” jawab Yerim, tangannya memungut satu per satu camilan yang tadi ia letakkan di meja.

“Dah ah, gue duluan ya. Jus gue tolong bawain ya Wen.” sambung Yerim.

Yang diajak bicara memberikan tanda ‘ok’ pada Yerim, ia tahu mood clingy-nya Yerim sedang muncul. Dulu mungkin Yerim adalah satu-satunya orang yang mendapatkan perhatian dari Irene, namun kini ia harus berbagi dengan Wendy, and vice versa. Sang solois tertawa pelan pada dirinya sendiri.

Funny thing is Wendy tidak pernah menyangka bahwa ia akan berada di posisi ini. Lagi-lagi ia tersadar, sejak bertemu dengan Irene, ia tidak hanya mendapatkan seorang kekasih namun juga mendapatkan sosok orang tua yang hangat dan seorang adik perempuan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

A blessing and a challenge.


Tok! Tok! Tok!

Irene menoleh ke arah Yerim yang tak bergeming dari posisinya. Ia yakin kalau adiknya itu mendengar suara ketukan pintu. Namun sang bungsu yang tahu bahwa kakaknya sedang menatapnya, justru berpura-pura tidak peduli.

“Tck, manjanya kumat.” gumam Irene, ia menggelengkan kepalanya.

Si pemilik kamar bangkit dari kasurnya dan membukakan pintu kamar untuk Wendy. Ia mendengus kesal saat melihat Wendy yang cukup kesulitan membawa tiga gelas serta satu kotak makan.

“Kok kamu mau sih dikerjain Yerim?” protes Irene yang secara otomatis membantu membawakan dua gelas, masing-masing berisikan jus greenplum dan semangka.

Wendy menggelengkan kepalanya, lalu setengah berbisik pada Irene, “Adik kamu lagi jealous.”

“Sama?”

“Aku.”

“Hah?”

“Yuhuuu, ngapain tuh bisik-bisik depan pintu? Cepetan masuk kek, ini filmnya kepaksa gue pause.” celetuk Yerim.

“Nanti aku ceritain. Udah sekarang kamu nurut dulu aja sama Yerim.” potong Wendy singkat, tepat sebelum Irene membuka mulutnya.

Dengan sigap Wendy mencium singkat bibir Irene lalu tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

Irene yang paham betul saat ini Wendy sedang berusaha membujuknya agar tidak keras kepala, akhirnya ia mengikuti instruksi Wendy walau ia tidak bisa menahan untuk tidak memutar bola matanya sekilas.

Ditaruhnya gelas berisikan jus greenplum di nakas yang terletak di sisi sebelah kiri kasur. Lalu ia memutari kasur dan menaruh jus semangka miliknya di nakas sisi kasur yang biasa ditempati oleh Wendy.

“Oh Harry Potter?” tanya Wendy saat menyadari film yang sedang diputar saat ini merupakan film bertemakan penyihir itu.

“Iya, nggak boleh protes.” ucap Yerim.

“Dek-..”

Wendy buru-buru meremas pergelangan tangan Irene untuk menghentikan ucapan Irene dan menggelengkan kepalanya, tanda bahwa kali ini Irene harus lebih banyak mengalah.

“Kak buruan sini, lo ditengah.” perintah Yerim sembari menepuk-nepuk sisi tengah kasur yang masih kosong.

Sang solois tertawa pelan saat melihat perbedaan ekspresi di wajah Yerim dan Irene. Malam ini akan menjadi sangat menarik baginya.


Yerim melirik jam dinding yang ada di kamar milik kakaknya itu, sudah hampir pukul setengah satu dini hari. Malam itu mereka bertiga, Irene, Wendy, dan Yerim maraton menonton film Harry Potter dan saat ini mereka sudah memasuki film ketiga.

Disela-sela menonton film tersebut, tak jarang Irene mengajaknya berbincang-bincang. Menanyakan perkembangan kehidupan pribadinya, menanyakan perkembangan clothing line milik Yerim serta pekerjaan sampingannya sebagai model.

Berbeda dengan Irene yang lebih aktif berbincang dengan dirinya, Wendy justru lebih banyak diam dan mendengarkan. Ia hanya berbicara ketika namanya dipanggil oleh Irene. Walau sekilas Irene dan Wendy terlihat tidak banyak berinteraksi, but actually Yerim knows that her sister is cuddling with Wendy, although it’s not that visible.

Yerim memutar bola matanya untuk kesekian kalinya saat kakaknya tersentak kaget ketika mendengar efek suara yang mengejutkan dari film tersebut.

Alasan ia memutar kedua bola matanya bukan karena kakaknya yang terkejut melainkan karena ia melihat dengan jelas tangan Wendy menepuk-nepuk pelan lengan kakaknya.

“Lebay lo berdua.” decak Yerim.

Irene tidak membalas perkataan Yerim namun tangannya dengan sigap melempar guling ke arah wajah adiknya.

“Cerewet.”

Setelahnya, sang kakak kemudian menarik tangan Wendy dan menaruhnya tepat di perutnya. Ia mencari kehangatan, perutnya mulai terasa nyeri lagi.

“Hyun..” bisik Wendy, ia memberikan peringatan pada Irene. Wendy hanya tidak ingin Yerim salah paham.

Namun saat ia melihat ekspresi tunangannya itu, Wendy menyadari bahwa sang kekasih memiliki alasan mengapa Irene menempelkan telapak tangannya di perut Irene.

“Aku ambilin air anget aja ya? Aku masukin botol terus nanti botolnya ditempel ke perut kamu.” ujar Wendy yang tanpa menunggu respon Irene, langsung menyibak selimut putih yang sedari tadi mereka gunakan dan berjalan keluar dari kamar.

“Dek udah dong lo kayak gininya. Lo ngapain sih?” gerutu Irene saat melihat Wendy sudah keluar dari kamarnya.

“Ngetes cewek lo.”

“Buat apa sih?” tanya Irene dengan kesal.

“Kak, gue cuma liat lo sama Wendy acting lovey dovey. Gue entah kenapa selalu apes liat lo skinshipan mulu sama Wendy. I wanna know if what you have cuma sejauh skinship doang atau Wendy bisa menerima lo jauh lebih dalam dari itu.”

Yerim menekan tombol remot kontrol dan mematikan film yang sedang diputar. Ia mengubah posisi sandarannya menjadi duduk dengan lebih serius.

“Lo berkeluarga itu nggak cuma sebatas lo sama Wendy aja. Wendy harus bisa terima gue, ayah, bunda. Lo juga harus terima orang tua Wendy, dua-duanya. Even when Wendy couldn’t, you should. Back to the topic, gue ngaku malem ini gue sengaja banget ngerjain Wendy but then again, kalo Wendy nggak bisa nanganin gue then she shouldn’t be the part of family. Lo married, itu artinya gue ketambahan anggota keluarga bukan justru gue kehilangan anggota keluarga. Kalau Wendy nggak bisa berbagi lo sama gue atau sama ayah atau bunda, then she’s not good for you.” celoteh Yerim panjang lebar.

Irene tersenyum, tangannya meraih puncak kepala adiknya lalu ia mengacak-acak pelan rambut Yerim, “I like the way you think. Lo udah mulai dewasa, gue jadi tenang deh.”

“Woy gue emang jahil, iseng, tapi bukan berarti gue akan terus kekanak-kanakan ya.” jawab sang adik sembari memutar kedua bola matanya.

“Alright, alright. So, hasil lo malem ini ngetes Wendy apa?”

“I give you my blessings. She’s good for you kak. Gue cuma mau final test aja kok malem ini, gue udah tau sebenernya kalau she’s good for you. Cuma gue kan belom pernah maksa Wendy buat ngalah dan bikin lo cuma merhatiin gue aja.” jawab Yerim. Ia menaikkan jari telunjuk dan jari tengahnya, sembari menjulurkan lidahnya.

“Jadi maksudnya lo cuma mau tau Wendy bakal ngalah sama lo atau nggak?”

Yerim mengangguk, “Ya iyalah. Masa gue yang ngalah? No way! Dah ah, gue mau balik kamar gue. Ngantuk. Besok harus berangkat pagi kan?”

“Lo besok mau bareng ayah bunda atau sama gue?”

“Sama lo lah gila.”

Irene tertawa, “Okay okay. Tapi besok lo janji ya, nggak ada lagi ngerjain Wendy.”

“Iya iya. Anyway kak, kayak yang gue bilang ya, pokoknya lo nikah itu artinya gue nambah anggota keluarga bukan justru kehilangan anggota keluarga. Gue mau lo tetep sering-sering pulang kesini.”

“Iya, gue janji. Selama gue bisa, gue pasti akan sering balik sini.”

“Good. Besok awas ya lo sampe ninggalin gue.”

Irene tidak membalas ucapan Yerim, ia justru hanya tertawa. Sedangkan Yerim yang melihat kakaknya tertawa, memilih untuk melempar bantal ke wajah Irene. Kemudian berjalan ke arah pintu kamar, namun ia berhenti tepat sebelum membuka pintu kamarnya.

“Please banget malem ini lo berdua nggak usah do some adult activity karena gue mau tidur. I’m still your sister dan kamar gue cuma di seberang kamar lo! Imagine lo liat gue french kiss sama Seojun, pasti lo trauma. Sedangkan gue udah liat lo kayak gitu berkali-kali! You don't have to add more traumatic experience for me okay?!” protes Yerim

“Okay, no adult activity.” tawa Irene.

Tak lama berselang setelah Yerim meninggalkan kamarnya, Wendy datang dengan membawa satu botol minum berisikan air hangat seperti yang ia janjikan. Mata Wendy membulat heran saat ia tidak menemukan sosok Yerim di dalam kamar tersebut serta televisi yang sudah dimatikan.

“Udah balik ke kamarnya. Dia bilang mau tidur.” ujar Irene yang memahami isi kepala Wendy.

“Oh...okay... Ngomong-ngomong, perut kamu masih nyeri?”

Irene mengangguk, “My period is coming, I guess.”

“I see, yaudah kamu tiduran aja ya. Nih udah aku bawain air angetnya.”

“Nggak mempan, maunya dipeluk aja.”

Wendy meletakkan botol minum tersebut di atas nakas kemudian ia menghampiri Irene yang sudah di posisi siap untuk tidur. Ia naik ke atas kasur lalu merebahkan tubuhnya dan menyelimuti tubuh mereka berdua.

Suatu kebiasaan yang muncul sejak mereka tidur satu ranjang, Wendy akan memastikan bahwa tubuh Irene benar-benar terselimuti dengan rapat. Ia tahu bahwa Irene begitu mudah menggigil kedinginan.

Wendy kemudian menarik tubuh Irene dan memeluknya namun Irene justru memutar tubuhnya sehingga kini ia memeluk Irene dari belakang.

“Gini aja ya? Saya ngerasa lebih hangat kalau kayak gini.”

Wendy hanya menggumam pelan. Ia sedang menikmati wangi rambut Irene yang sejujurnya sudah menarik perhatiannya sejak awal mereka movie maraton.

“Kamu ganti sampo ya?”

“Iya, lagi ada promo.”

Jawaban Irene membuat Wendy terkekeh. Salah satu hal yang cukup mengejutkan Wendy di awal mereka menjalin hubungan adalah fakta bahwa ternyata Irene merupakan sosok yang sangat perhitungan atas pengeluaran pribadinya.

Mungkin ia terlihat sangat royal apabila menyangkut orang-orang disekitarnya, namun Irene adalah sosok yang sangat pelit terhadap dirinya sendiri.

“Ini udah enakan?” tanya Wendy mengalihkan pembicaraan. Tangannya mengelus perut Irene naik-turun secara perlahan.

“Hmm, lumayan. Anyway, maaf ya Yerim tadi usil banget sama kamu.” Irene melirik sejenak.

“It’s okay. I know she means well. Dia cuma jealous aja Hyun, wajar banget sih. Sejak ada aku, pasti waktu kamu yang dulunya buat dia sekarang jadi kebagi kan sama aku juga?”

“Yeah..”

Irene menguap cukup panjang dan menghela napasnya. Rasa lelah yang menumpuk seharian ini tiba-tiba datang, matanya terasa sangat berat.

“Tidur Hyun, badan kamu capek banget tuh. Apalagi kalo emang kamu mau dapet, pasti capeknya jadi dobel.”

“Hmm, true. Good night love.”

Wendy mencium kepala Irene dengan lembut. “Good night Joohyun.”

“Like what you said to me, we are all someone’s. In Yerim's case, you are her only older sister. It’s only natural Hyun, for her to worry about you.” batin Wendy sebelum ia juga memejamkan matanya.