youngkimbaeson

Time Spent Walking Through Memories part. 4-7

December 20th, 2021

Helaan napas panjang terdengar dari dalam mobil SUV Lexus berwarna putih yang tengah membawa Seungwan melintasi kota. Suara yang keluar dari mulut Seungwan menyita perhatian sang manajer yang tengah mengemudi, ia melirik ke arah spion untuk melihat keadaan artisnya itu dan mendapati sang artis tengah memperbaiki posisi duduknya dengan mata yang terpejam.

“Kalau ngantuk tidur dulu aja Wen, nanti gue bangunin.”

“Yeah….thanks.”

Sam mengangguk kemudian pria itu kembali fokus dengan tugasnya saat itu, mengantarkan Seungwan menuju tempat perhelatan acara penghargaan hari itu. Seungwan dinominasikan dalam satu kategori dan digadang-gadang oleh publik sebagai pemenang. Tentu saja, menang ataupun tidak, Seungwan tetap akan menghadiri acara tersebut.

Siang hari itu Jalanan ibu kota sangat padat, entah karena hari senin atau memang karena banyak orang-orang lain yang juga menuju ke satu tempat yang sama dengan mereka. Mendapati jalanan yang cukup padat, Sam langsung melakukan kalkulasi singkat untuk memperkirakan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk tiba di lokasi acara.

Tanpa sadar, tangan laki-laki itu menekan tombol audio mobil yang ia kendarai dan memutarkan lagu-lagu yang sekiranya akan membantu Seungwan untuk bisa tidur lebih nyaman. Sebuah kebiasaan yang akhirnya terjadi secara otomatis.

Sementara itu di lain sisi, Seungwan masih belum menemukan posisi yang nyaman bagi dirinya. Ia kembali mengubah posisi duduknya kesana dan kemari, namun tetap nihil. Walaupun Sam berusaha untuk membantunya beristirahat, tetap saja ia tidak bisa.

Jauh di dalam lubuk hatinya, Seungwan sangat tahu alasan mengapa dirinya saat ini risau. Bukan karena ia kelelahan atau kurang tidur -ia pernah mengalami jadwal yang jauh lebih padat- namun alasan sesungguhnya adalah karena interview yang baru saja ia lakukan.

Ada beberapa jawaban yang menurutnya tidak memenuhi standar dirinya dan selama beberapa bulan ini biasanya Seungwan akan menghubungi Joohyun ketika ia merasa demikian. Tidak peduli kapan pun itu, biasanya Joohyun akan mengangkat teleponnya atau jika memang tidak bisa, maka paling tidak Joohyun akan mengirimkannya pesan.

Bae Joohyun.

Sosok yang sangat dewasa dan berwibawa. Sosok yang entah mengapa selalu bisa memberikan kata-kata yang tepat baginya dan membuat hati Seungwan merasa lebih nyaman.

Terkadang Seungwan sering bercanda pada Joohyun dan menanyakan apakah Joohyun tidak berbohong tentang umurnya, karena seringkali kalimat-kalimat mutiara yang keluar dari mulut Joohyun terasa seperti hal-hal yang biasanya diucapkan oleh orang yang jauh lebih berumur.

Kembali ke permasalahan semula, tentu saja dengan ‘keadaan’ mereka yang sekarang, Seungwan tidak mungkin menghubungi Joohyun.

Tidak boleh.

Ia baru saja ‘memutuskan’ hubungan mereka agar keduanya bisa berpikir lebih jernih untuk sementara waktu. Akan sangat egois jika ia tiba-tiba menghubungi Joohyun hanya karena saat ini ia membutuhkan kalimat-kalimat penyemangat.

Walau begitu tetap saja ingin rasanya Seungwan menekan tombol speed dial nomor satu-nya itu dan berkeluh kesah tentang hari ini. Jujur, jadwal pertamanya hari itu sudah membuat mood-nya cukup buruk dan kini ia harus terperangkap di acara selanjutnya yang Seungwan tahu dengan sangat pasti akan memakan waktunya berjam-jam.

Lagi-lagi Seungwan menghembuskan napasnya dengan kencang dan kembali menyita perhatian manajernya.

“Lo kenapa sih?”

Seungwan menghela napas sekali lagi sebelum ia perlahan membuka kedua matanya dan menatap Sam melalui kaca spion. Keduanya sempat bertatapan mata untuk sejenak walau kemudian harus terputus karena Sam yang harus fokus mengemudi.

“Interview gue tadi gimana? Jawab jujur.” tanya Seungwan pada Sam, merujuk pada wawancara yang tadi dilakukan di gedung agensinya.

Sam melirik ke kaca spion samping dan memutar kemudi mobil, membawa mereka menuju jalan tol menuju venue tempat perhelatan hari itu. Setelah ia membayar biaya tol dan menutup kaca jendela, barulah Sam melirik ke arah Seungwan melalui spion.

“Jujur ya? Lo aneh sih.”

“Tuh kan!” keluh Seungwan dengan kencang.

“Dengerin dulu Wen…”

Sam melirik lagi ke arah kaca spion dan mendapati Seungwan memberikannya waktu untuk berbicara lebih lanjut.

“Biasanya lo tuh carefree gitu loh. Yaudah jawab ya jawab aja, professionally. Biasanya you talk in elaborate way, tapi tadi lo nggak kayak lo gitu. Ini maksud gue buat pertanyaan-pertanyaan yang berbau…..personal ya. Gimana ya, gue sebagai manajer lo bertahun-tahun pasti tau lo kayak apa. Tadi itu bukan Wendy Son yang diwawancara tapi Son Seungwan, again ini buat yang bagian personal ya. Sisanya, you did well as always.”

Seungwan terdiam sejenak, berusaha mencerna kalimat manajernya barusan. Apa yang Sam katakan padanya memang benar, laki-laki yang tengah mengemudi itu memang memahami cukup banyak tentang dirinya. Tentu saja ada hal-hal yang Seungwan sembunyikan dari Sam tapi jika dibandingkan dengan hal-hal yang Sam ketahui, maka porsinya jauh lebih sedikit.

Mendapati keheningan menyapa keduanya, Sam lagi-lagi mencuri-curi pandang ke arah Seungwan. Ia tahu terdapat sesuatu yang mengganjal di hati Seungwan.

“Wen? Are you good?”

Seungwan menggeleng pelan. Ia menatap layar ponselnya yang menampilkan paras dirinya dan Joohyun yang diambil beberapa bulan yang lalu ketika mereka tengah berkencan di salah satu restaurant kenamaan favorite Joohyun.

“Kenapa sih? Irene? Lo kangen? Atau lo berantem lagi?”

’berantem lagi’

Sesering itukah mereka berdua bertengkar sehingga orang-orang yang berbicara dengannya selalu menanyakan hal yang sama?

“Lo uring-uringan gara-gara nggak ketemu dia ya? Kebiasaan banget deh lo.” lanjut Sam diselingi tawa.

“Apaan sih, diem deh.” sergah Seungwan.

“Bener kan tapi? Soalnya biasanya lo kayak gini kalo lagi bete sama perusahaan atau lagi bete sama pasangan lo, yaitu Irene.”

“Bacot, diem.”

“Lah malah jadi sensi? Tapi serius deh gue, lo mau denger sesuatu dari gue nggak? As your friend.”

Seungwan mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya untuk menatap Sam sejenak.

“Gue seneng banget lo bisa ketemu Irene. I can see you’re moving forward to the better path. Gue nggak cuma ngomong masalah skandal-skandal pribadi lo ya…”

Sam tertawa kencang saat melihat Seungwan menatapnya tajam.

“Serius nih. Gue ngerasa lo sedikit demi sedikit mulai berdamai sama diri lo, Seungwan. Gue emang nggak punya hak buat bicara karena gue nggak pernah ada di posisi lo, tapi gue cuma pengen lo tau kalau kegagalan bokap dan nyokap lo nggak akan pernah mendefinisikan gimana masa depan lo. Kalian semua pribadi yang berbeda dengan garis nasib yang beda juga.” ujar Sam kali ini ditutup dengan sebuah senyuman tulus yang ia berikan pada Seungwan.

“Satu lagi, kelupaan dikit!” potong Sam cepat.

“Mau sama siapapun nanti lo akhirnya menjalin hubungan, baik itu sama Joohyun atau siapapun, lo harus tau kalau you deserve to be loved. Jadi nggak usah ya balik ke habits buruk lo itu, banyak yang sayang sama lo, Seungwan. Tapi pertama-tama lo harus sayang sama diri lo sendiri buat sadar berapa banyak orang yang sayang sama lo.”

Seungwan menggigit bibir bawahnya pelan. “Sam, gue mau tanya… Menurut lo gue sama Joohyun gimana?”

“Apanya?”

“Ya gitu… Lo tadi sempet nanya gue berantem lagi sama Joohyun atau nggak? Emangnya segitu sering ya?”

Sam mengumpat saat melihat kendaraan di depannya berjalan sangat lambat. Lalu lintas siang itu benar-benar padat.

“Lumayan, tapi wajar sih. Gue rasa karena kalian masih belum nemu aja gaya yang pas gimana. Bukan gaya kayak gitu ya maksud gue!” canda Sam.

“What the fuck you pervert!” tawa Seungwan.

“Kalian berdua tuh, gimana ya gue bilangnya. Kayak anak baru pacaran. Giliran lagi bucin, astaga bikin mau muntah. Tapi giliran lagi berantem, ya ampun kayak bocah. You love each other but sometimes, love is not enough. Butuh usaha, pengertian, dan komunikasi juga. Gue nggak tau ya, tapi kalo kata orang sih gitu. Gue aja jomblo!”

Seungwan melempar satu pack tissue ke arah Sam ketika mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut laki-laki itu. Memang beginilah hubungan mereka berdua, lebih cocok dibilang teman atau kakak-beradik ketimbang manajer-artis.

Tidak banyak yang tahu tentang masa lalu Seungwan, Sam adalah salah satunya. Laki-laki itu menjaga dengan rapat amanah yang diberikan oleh Taeyeon dan Kibum kepadanya dan Seungwan sangat menghargai dan bersyukur atas sikap Sam tersebut.

Seungwan sendiri pun sebenarnya tahu bahwa sikap Sam yang selalu cerewet kepada dirinya adalah salah satu bentuk kepedulian Sam kepada Seungwan.

“Thank you, ya. I feel better.” ujar Seungwan.

“Ya sama-sama. Eh tapi serius sih ini gue, lo sama Joohyun diseriusin ya. Maksud gue adalah give your best effort. You two love each other hard, equally. Jarang banget loh bisa nemu pasangan yang kayak gitu.”

“Iya baweeeel!” jawab Seungwan sembari memutar kedua bola matanya.

Perlahan mobil mereka kembali menuju kecepatan penuh setelah kepadatan mulai terurai. Sam kembali fokus dengan tugasnya dan Seungwan kini kembali menatap layar ponselnya.

Baris demi baris percakapannya dengan Joohyun terpampang disana.

“Yeah, I need to love myself and deal with my past before I will move forward with Joohyun. I don’t want to let her go….. I want to make this work, Sam…. God knows I do.”

SWITCH

20. Just you is already enough

Baru saja ia selesai memposting di instagram storynya, Wendy mendengar desahan napas panjang dari Karina yang otomatis menarik perhatiannya.

Wajah Karina terlihat sedang kesal dan tanpa perlu ia tebak pun, Wendy tahu apa masalahnya. Namun kali ini Wendy hanya diam, ia tidak merasa perlu untuk berkata-kata lebih jauh lagi karena apa yang ingin ia sampaikan sudah didengar oleh Karina di restoran tadi.

Tujuan selanjutnya yang ia pilih adalah bioskop.

Wendy tahu bahwa Karina adalah tipe hopeless romantic, so a movie date is the best option. Tentu saja film yang Wendy pilih adalah film romance.

Yang lebih tua akhirnya memilih untuk menepuk lengan Karina pelan untuk meminta perhatiannya.

“Filmnya masih satu setengah jam lagi, mau muter dulu?”

“Boleh deh kak.”

“Mau makan eskrim? Seingetku disini ada toko eskrim yang jual mint choco yang enak deh, it’s your favorite right? Mint choco.”

“Nggak mau, soalnya kalo ngedate sama Winter pasti kita beli eskrim.”

“Ohh, yaudah maunya apa kalo gitu?”

“Mau nyari bone…..”

“Win! Masa boneka segitu gede mau diajak nonton?”

“Ya gimana dong kak? Kan nggak mungkin dititipin? Ntar aku beli satu tiket lagi deh buat dia duduk.”

Baik Wendy maupun Karina menoleh saat mereka mendengar suara yang sangat familiar di telinga mereka. Keduanya cukup terkejut saat melihat Winter dan Irene yang berjalan memasuki bioskop sedangkan Wendy dan Karina sedang berjalan keluar.

Nampaknya baik Winter maupun Irene tidak ada yang menyadari kehadiran Wendy dan Karina karena nyatanya keduanya masih sibuk berargumen apakah boneka teddy bear berwarna cokelat tua yang digendong oleh Winter akan mereka ajak nonton juga atau justru akan dititipkan entah pada siapa.

Karina yang sudah terlampau kesal terhadap Winter sudah bersiap untuk memutar tubuhnya pergi meninggalkan bioskop tersebut namun gerakannya terhenti saat ia melihat kemeja flanel berwarna hitam kotak-kotak putih yang merupakan flannel kesayangan milik Winter bertengger manis di pinggang kakaknya.

Tak sampai disitu saja, rasa cemburunya semakin menjadi-jadi saat ia melihat Winter berakting lucu dengan membuat ekspresi wajah memelas, yang sepertinya ia lakukan untuk membujuk Irene.

“Er… mau kita samperin atau….”

Belum sempat Wendy menyelesaikan kalimatnya, Karina sudah berjalan mendatangi ‘sejoli’ yang masih asik berargumen.

“Kok lo pake flannelnya Winter sih kak?! Itu kan flannel kesayangan dia?”

Baik Irene maupun Winter terkejut dengan kehadiran Karina yang dirasa sangat tiba-tiba, bahkan Winter tidak menyadari bahwa tangan kirinya sudah digenggam oleh Karina dengan cukup erat.

“Ayiin, gak usah nyolot gitu ngomongnya.” bisik Winter.

“Win diem dulu deh. Kamu juga ngapain sih sok cute gitu?!”

Wendy yang cukup tertinggal di belakang Karina langsung berlari mendekati sang kakak beradik dan berdiri tepat di sebelah Irene. Ia hendak menenangkan Karina yang sedang terbakar api cemburu yang ia ciptakan sendiri namun Wendy justru merasakan tangan Irene yang menahan dirinya.

“Sayang, adek kamu lagi emo-...”

“Lah itu jaket yg lo pake emang bukan punya Wendy?? FYI itu jacket gue yg beliin.” potong Irene cepat. Kedua tangannya terlipat di depan dada seolah-olah menantang adiknya sendiri.

Wendy dan Winter hanya bisa saling pandang, menunggu satu sama lain untuk mengambil tindakan.

“Lagian ya yin-...”

“Kak, udah ya kak. Ayin lagi emosi doang kok. Aku ngomong sama Ayin dulu ya.” potong Winter.

Ia berjalan menarik Karina menjauh dari Wendy dan Irene yang juga sama-sama terlihat sedang berbicara, lebih tepatnya Wendy yang sedang membujuk Irene.

“Yin, udah ya, please. Aku nggak tau kamu lagi kenapa, okay awalnya salah aku karena aku ngegame dan decline telepon kamu tapi nggak harus sampe sejauh ini kan? Hmm? Udah ya sayang? Lagian aku minjemin flanel soalnya celana kak Irene tadi tu ketumpahan minuman orang, kamu liat sendiri kan celana kakakmu putih?”

“Kok kamu belain kakakku sih Win?”

“Ayiin, nggak ada yang belain kakak kamu disini. Aku kan cuma jelasin aja tadi kenapa flanel kesayangan aku bisa sampe ada di kakak kamu. Please udahan ya ngambeknya? Kasian nih teddy bearnya jadi nggak bisa kenalan.” ujar Winter yang sengaja mengubah suaranya menjadi seperti suara anak kecil.

Winter meraih tangan Karina dengan tangan kanannya, kemudian diusapnya punggung tangan Karina dengan ibu jarinya.

“Udahan ngambeknya, Karina. Aku juga nggak bakal pergi sama kakak kamu kalau bukan karena permintaan kamu kan?”

Lagi-lagi jemari Winter terus mengusap tangan Karina, mulai dari telapak tangan hingga punggung tangan dan berakhir dengan Winter yang menautkan jari-jari mereka.

Sementara itu Karina berusaha untuk tidak menatap wajah Winter, namun tindakannya ini justru membuat Winter semakin tertantang untuk bisa menatap mata Karina dengan lekat.

“Apaan sih Win?”

“Usaha aku dikit lagi berbuah hasil nih, kamu udah mau ketawa.” goda Winter yang kali ini sukses mendapatkan respon dari Karina.

Sang kekasih memukul bahunya dengan cukup keras.

“Aduh, sakit dong yiiin!”

“Biarin, you deserve it! Lagian ngapain sih sama kakak aku sampe segitunya banget!”

“Cemburu nih?”

“Ya iya lah! Apalagi kalo masalah flanel ya, kamu tuh cerewet banget. Makanya aku kan kaget kok kakakku bisa kamu pinjemin! Aku kalo mau pinjem aja susahnya kayak apaan tau! Udah gitu pasti kamu bawelin aku.”

“Udah belom ngomelnya?”

Lagi-lagi Karina memukul bahu Winter, kali ini ditambah dengan satu cubitan kencang di lengannya.

“Jangan tanganku dong! Ini kan aset!”

“Aset apaan! Paling juga buat ngegame!”

“Lah kalo nggak ada tanganku, nanti kamu kalo mau peluk gimana? Kalo mau lendotan kemana?”

“Tuh kan mulai nyebelinnya!”

“Tapi sayang kan?”

“Nggak!”

“Yaudah kalo gitu teddy bearnya aku bawa balik aja deh, eh apa aku kasih kak Irene aja ya?”

“Wiiin! Udah dong godain akunya!”

Sementara Winter dan Karina yang masih saling sahut-menyahut, Irene dan Wendy tertawa geli melihat tingkah kedua gadis tersebut. Terutama Irene, mengingat adiknya tadi sudah hampir mengamuk tepat di depan mukanya. Keduanya memilih untuk duduk di salah satu bangku panjang yang tidak digunakan oleh siapapun sembari tetap memperhatikan Karina dan Winter dari jauh.

“Adek kamu tuh lagi pms deh kayaknya.”

“Maybe, tapi udah tau kayak gitu si Winter nih malah usil banget. Heran aku sama mereka berdua.”

Wendy menggenggam tangan Irene dengan erat, ia tersenyum saat melihat gelang buatannya tersemat di pergelangan tangan Irene.

“I miss you, by the way. Harusnya weekend ini aku mau ngajak kamu staycation di pantai.” ujar Wendy

“Miss you too, babe. Seharian ini pergi sama Winter bikin badanku mau rontok.”

“Enakan pergi sama Winter apa sama aku?”

“To be honest, sama-sama enak. Kalian berdua tipe yang beda banget cara ngedatenya, masing-masing ada plus dan minusnya…..bentar Wen, aku belum selesai ngomong.” Irene memukul pelan tangan Wendy saat ia melihat bahwa ucapannya akan dipotong.

“Tapi setelah hari ini aku makin sadar, yang paling penting bukan kemana, kapan atau dimana kencannya tapi sama siapa aku waktu itu. Jadi jawabannya bukan lebih enak sama siapa, tapi aku mau milih sama siapa.”

“That’s deep, but I do agree. Aku sempet liat postingan-postingan kamu sama Winter and I am kind of jealous to know you had so much fun sama Winter. Apa ya? Kayak kamu bisa nemuin kebahagiaan di hal-hal kecil yang ada dimana aja gitu. Paham kan maksudku?”

“Maksud kamu, Winter bisa ngajak aku seneng-seneng tanpa harus ke tempat yang spektakuler?”

Wendy mengangguk, “Reminds me of waktu kita awal-awal pacaran nggak sih?”

“True. Jujur aku juga kangen masa-masa kayak gitu. Kenapa sih kita berubah? Nyadar nggak?”

“I just want to offer you my best effort. Kayak aku pengen lebih gitu. Misal hari ini udah segini, besoknya aku pengen lebih lagi.”

Irene menatap wajah Wendy dan memperhatikan setiap lekuk wajah wanita yang ia cintai. Kedua mata mereka bertemu untuk sesaat, namun segera terputus ketika Irene mencium pipi Wendy sekilas. Ia kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Wendy.

“Just you is already enough Wen.”

SWITCH

15. Precious.

“Hey, sorry ya kelamaan.”

Suara Wendy memecah lamunan Karina yang tengah memikirkan ucapan kakaknya melalui chat barusan. Kekasih dari kakaknya itu baru kembali setelah menerima telepon singkat dari salah satu teman kampusnya sekaligus partner Wendy sebagai DJ radio di Universitas tempat Wendy kuliah.

Seperti yang Irene sempat katakan padanya, ‘kencan’ dengan Wendy siang itu sempat terusik oleh telepon-telepon yang masuk ke ponsel Wendy. Lalu ada juga orang-orang yang mengenali Wendy dan meminta untuk foto sejenak dengan Wendy.

Agak lucu karena orang-orang tersebut memandang Karina dengan tatapan penuh tanda tanya. Pasalnya, semua orang yang mengenal Wendy pun tahu bahwa saat ini Wendy masih menjalin hubungan dengan Irene namun sosok yang sedang kencan dengan Wendy malam itu bukanlah Irene.

Walau demikian, baik Wendy maupun Karina tidak ambil pusing. Karina pun tidak ingin dikenal oleh orang-orang asing disana.

“Eeh, iya nggak lama kok kak.”

“So, how was it? The date, I mean.” tanya Wendy dengan santai.

Sedikit banyak Wendy sudah berbincang dengan Winter perihal pertengkarannya dengan Karina dan Wendy memahami apa yang diinginkan oleh Karina.

She wants to be treated like a queen.

“Jujur aku gak ngira bakal segininya sih kak. So, thank you for that. It’s too much, to be honest.” tawa Karina

“Anything for the princess today.” Wendy mengulas senyumannya pada Karina, lalu mengaduk minumannya sejenak. “Habis ini, masih mau lanjut?”

“Masih ada lagi?”

“Well, ada. Kalau kamu mau tentunya.”

Karina mengangguk antusias persis seperti anak anjing yang kegirangan. Hal ini membuat Wendy tertawa gemas. Berbeda dengan Irene yang sangat anggun, Karina merupakan sosok dengan emosi yang meletup-letup. Karina juga jauh lebih ekspresif dan manja dibandingkan dengan Irene.

Wendy sedari tadi harus menahan dirinya untuk tidak mengacak-acak rambut Karina atau mencubit pipinya saking gemasnya ia terhadap tingkah Karina.

Jangan salah sangka, bukannya Wendy memiliki rasa pada Karina namun lebih kepada rasa gemas terhadap adik sendiri. Wendy sudah mengenal Karina sejak lama, sejak ia mengenal Irene. Sedikit banyak Wendy sudah melihat bagaimana Karina tumbuh.

“Ayin…” panggil Wendy pelan, sengaja menggunakan nama kecil Karina.

“Yeah?”

“Do you find what you’re looking for?”

Tangan Karina berhenti memelintir spaghetti yang ada tepat di hadapannya. Wendy melihat bagaimana alis Karina hampir menyatu di tengah-tengah keningnya, pertanda bahwa gadis di depannya itu sedang berpikir.

“Aku denger katanya kamu bandingin aku sama Winter ya? Why?”

Karina menghela napasnya, ia meletakkan sendok dan garpu secara perlahan.

“Bukan gitu sih kak. Kakak tau kan Winter kayak gimana orangnya, dia tuh terlalu santai orangnya. Kadang aku mikir, bedanya dulu pas aku temenan sama sekarang pacaran apa coba? Hampir nggak berasa.”

“Hampir kan? Berarti masih ada bedanya?” tanya Wendy, berusaha untuk mengulik lebih jauh.

“Masih sih. Well, aku jadi bisa lebih posesif hehe.”

Tawa ringan terdengar dari mulut Wendy, ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Okay, selain itu deh. Kalau dari Winter?”

“Uhm, well sekarang jadi…apa ya? Maybe Winter jadi lebih vokal aja sih ke aku, kalau dulu kan dia nggak segitunya amat kalo nunjukin afeksi. Selebihnya gaada yang beda, dari dulu juga Winter emang udah ada di deket aku mulu.”

Karina nampak bingung ketika melihat ekspresi di wajah Wendy. Senyuman penuh arti yang ditujukan padanya membuat Karina harus menerka-nerka maksud dari kekasih kakaknya itu.

“That’s the key Ayin. She’s always there. Kamu tau nggak apa yang lebih berharga dari ini semua?” tanya Wendy, tangannya membuat gerakan menunjuk ke seisi ruangan bahkan kepada dirinya sendiri.

“Huh?”

“Waktu, yin. Time is the most priceless gift you could ever get from someone. Aku juga nggak luput dari kekurangan kok, yin. Tanya deh ke kakakmu. Berapa kali kami berdua berantem, nggak keitung kayaknya. But in the end, we always try to make time for each other.”

“Tapi kak… Winter tuh….Gimana ya? Aku suka kesel gitu loh. Misal lagi ngedate, dia nggak ada romantis-romantisnya sama sekali. Terus nih ya kak, kalo udah aku ditandingin sama game, pasti aku kalah.” keluh Karina.

“Ayin, kayaknya kamu missed some parts deh. Coba kamu inget-inget juga good traitsnya Winter. Dia pernah kasar nggak ke kamu? Atau dia pernah maksa kamu nggak? Pernah bentak kamu?”

Karina menggeleng.

“You need to count on your blessing, Ayin. Okay, let’s say kamu nggak suka sifat Winter yang tadi kamu sebutin, coba diomongin dulu sama Winter. Nanti kakak bantu juga deh.”

“Thank you kak.”

Wendy yang sudah tidak bisa menahan rasa gemasnya ketika melihat ekspresi wajah Karina, akhirnya sedikit memajukan badannya dan menjulurkan tangannya untuk meraih kepala Karina.

“Nunduk dikit sini, kamu sekarang tinggi banget.” canda Wendy yang kemudian mengacak-acak pelan kepala Karina.

“Kaaak, rambut aku ih!” gerutu Karina namun ia tidak melakukan usaha apapun untuk menghentikan tingkah Wendy.

Keduanya sama-sama tertawa lepas saat menyadari betapa konyolnya tingkah mereka saat itu.

“Kak, ayo ke tempat selanjutnya aja deh. Aku kenyang.”

“Okay, as my princess wishes.”

Wendy berdiri lebih dahulu kemudian menjulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Karina. Keduanya berjalan keluar dari restoran tersebut dengan Karina yang merangkul lengan Wendy. Ia memberikan tatapan-tatapan tidak bersahabat pada orang-orang yang melirik ke arah Wendy dengan genit.

“Kak, kenapa pendek banget sih? Aku mau lendotan kan jadi susah! Biasanya kalo sama Winter tuh udah pas.” bisik Karina tepat di telinga Wendy.

“Heh! Kartu merah! Dilarang bahas tinggi badan!!”

SWITCH

12. Small things matters

“Yaaaay!!” pekik Winter kencang

Tulisan player 1 win terpampang sangat nyata dengan warna yang mencolok dan efek suara yang tidak kalah heboh. Orang-orang yang berada disekeliling Irene dan Winter bertepuk tangan tak lama setelah Winter menyelesaikan duel dengan Irene, sebagai informasi keduanya tengah bermain Pump it Up.

“Huehe aku menang lagi kak!” sombong Winter sembari menyerahkan beberapa lembar tisu untuk Irene

“Tck, itu karena aku yang udah lama nggak main.” elak Irene yang menyeka keringat di wajahnya.

“Minum nih kak.”

Irene terkejut ketika ia melihat sebuah botol air mineral berada tepat di depan wajahnya. Rupanya Winter baru saja mengeluarkan botol tersebut dari tas ransel yang ia bawa. Tak butuh waktu lama bagi Irene untuk menerima botol tersebut dan meneguk air mineral itu hingga sepertiga botol.

“Abis ini kita duel tembak-tembakan.” tantang Winter.

Irene tertawa pelan. Ia menggelengkan kepalanya, kencannya hari ini sungguh berbeda seratus delapan puluh derajat dengan kencan yang biasanya ia lakukan dengan Wendy dan jika ia boleh berkata jujur, Irene merasa sangat senang hari ini.

Impromptu. Go show.

Bukan merupakan kebiasaannya dengan Wendy. Biasanya mereka sudah merencanakan kencan mereka, bahkan membuat list tujuan atau kegiatan yang akan mereka lakukan. Biasanya, lagi, Wendy akan mengajaknya pergi ke tempat-tempat high class atau tempat-tempat private yang biasa didatangi oleh pasangan kekasih.

Namun kini Winter dengan segala kesederhanaannya justru memberikan angin baru bagi Irene. Mungkin di lain waktu ia akan mengajak Wendy untuk kencan seperti ini.

Baru separuh hari ia bersama dengan Winter, Irene sudah menemukan perbedaan yang sangat mencolok antara kekasihnya dan kekasih adiknya itu.

Wendy merupakan tipe kekasih yang sangat royal, dimana ia akan berusaha untuk selalu mengedepankan kenyamanan pasangannya. Wendy juga merupakan tipe kekasih yang sangat sering skinship dan menunjukkan afeksinya melalui kata-kata.

Sedangkan Winter merupakan tipe kekasih yang sangat terbuka dengan keadaan finansialnya dan mengedepankan kebersamaan dibandingkan materi atau tempat mereka berada. Winter tidak akan ragu mengatakan tidak pada pasangannya kemudian menjelaskan alasan dari penolakannya.

Perbedaan lainnya, Winter lebih menunjukkan afeksinya melalui tindakan-tindakan kecil seperti memperhatikan keadaan Irene barusan ketika ia haus atau ketika di starbucks tadi Winter lebih mendahulukan Irene untuk meminum kopi yang mereka pesan karena ternyata sang barista salah membuat pesanan milik Irene.

“Capek ya kak? Sorry banget ya date sama aku emang kayak gini. Mungkin karena gini ya Karina sering kesel hehe”

“It’s okay kok. Ini asik banget, serius deh. Emang Karina sering ngomel?”

“Hmm, kalau aku ngajak dia date itu ya biasanya kayak gini. Kalau kata Karina nggak kayak lagi ngedate.”

Irene menepuk pundak Winter pelan, “Just be you, Winter. Kamu tau kan Karina emang manja anaknya? Saran kakak sih, kamu kurangin dikit deh bercandaan kamu itu.”

“Well, aku bercandain Karina soalnya dia gemes banget kalo udah kesel but okay, thanks for the advice kak.”

Irene mengangguk. Ia kemudian berdiri dari posisi duduknya dan mengambil tasnya yang tadi ia taruh di loker yang berada tepat di sebelah mesin pump.

“Masih kuat nggak kak?” goda Winter.

“Heh, stamina ku nggak sejelek itu ya!”

Winter mengangkat kedua tangannya seolah-olah ia menyerah dan menerima ucapan Irene. Yang lebih muda memperhatikan Irene sejenak dan tak lama kemudian ia mendekati Irene. Disentuhnya pundak Irene dengan tangan kanannya.

“Baju kakak agak kebuka. Aku nggak mau kakak diliatin.” jelas Winter sambil tersenyum.

Kemudian ia memperhatikan penampilan Irene dari atas ke bawah. Tanpa ia duga, lagi-lagi Winter merapikan penampilannya. Kali ini poni-poninya yang cukup berantakan dirapikan oleh Winter menggunakan jari-jarinya.

“Okay sip! Udah cantik lagi! Next kita mau duel apa nih kak?”

“Eh?”

“Iya, kak Irene mau main apa lagi?” tanya Winter yang menyadari bahwa Irene tidak mendengar pertanyaannya barusan.

“Ooh, tadi kata kamu mau main tembak-tembakan itu?”

“Aku bercanda doang kak. Pokoknya hari ini kita harus ngelakuin hal-hal yang kita berdua sama-sama mau, okay?”

Irene mengangguk. Matanya mengedar ke sekeliling tempat bermain itu dan menemukan satu permainan yang sedari dulu selalu menantang baginya.

“Kesana Win!”

Mata Winter mengikuti jari telunjuk Irene dan menemukan mesin yang dimaksud. Secara otomatis ia menggaruk kepalanya karena ia tahu mesin itu adalah mesin yang paling menipu. Sangat jarang ada orang yang bisa mendapatkan boneka yang ada di dalam mesin tersebut dalam sekali percobaan.

Oh, mungkin kali ini berbeda. Apalagi lawan tandingnya hari ini adalah Irene.

“Yang duluan dapet boneka, nentuin tempat date selanjutnya!” tantang Winter.

“Game in bocil!”

Ah, dua hal lagi yang Irene temukan dari kencannya hari ini.

Jika Wendy adalah sosok yang selalu menuntunnya, sosok yang mengetahui segalanya dan memberikan opsi-opsi yang paling aman untuk Irene. Maka Winter adalah sosok yang selalu berada di sebelah pasangannya, sosok yang akan menerjang apapun yang ada di depan mereka bersama-sama.

Yang terakhir, Wendy tidak akan ragu untuk mengalah untuk Irene. Karena Wendy sangat mengetahui seberapa kompetitif Irene ketika ia sudah sangat fokus dengan hal yang ia lakukan. Kesenangan Irene adalah kesenangan Wendy pula. Namun tidak dengan Winter. Gadis itu tidak mau mengalah sama sekali, tetapi hal ini justru membuat Irene merasa tertantang dan sangat dihargai sebagai lawan yang sepadan. Sehingga ketika ia mendapatkan kemenangannya, kepuasan yang ia rasakan menjadi berlipat-lipat ganda.

Well, pelajaran hari ini. Small things matters.

Baik Wendy maupun Winter menunjukkan rasa kasih sayang dan perhatian mereka melalui hal-hal kecil. Mungkin setelah hari ini selesai, Irene harus berterima kasih pada Karina karena dari ide gila Karina-lah ia menyadari afeksi-afeksi yang selama ini ditunjukkan oleh Wendy padanya namun belum pernah ia sadari.

Renungan Irene terhenti saat ia sudah berdiri tepat di sebelah Winter, ia tertawa saat melihat Winter sudah menginspeksi mesin yang akan menjadi ajang duel mereka selanjutnya. Belum sempat ia membuka suaranya, ponselnya mengeluarkan notifikasi.

Tangannya merogoh ponselnya dari dalam tas, kemudian ia membalas pesan singkat dari Wendy. Setelahnya, ia melihat logo instagram di pojok kiri atas layar ponselnya yang cukup membuat tertarik. Dibukanya notifikasi tersebut dan jujur saja, baru kali ini ia merasa cemburu karena tingkah adiknya sendiri.

Photograph

52. The eyes see what they want to see

Winan memeriksa penampilan dirinya melalui pantulan kaca satu kali lagi. Ia mengangguk, memberikan approval pada dirinya.

Celana jeans, crop top, kemeja flanel dan rambut yang ia biarkan terurai merupakan pilihan gayanya hari ini. Sebenarnya bukan pilihan yang istimewa, bisa dibilang begitulah style yang biasanya ia pilih.

Ting!

Notifikasi ponsel Winan berbunyi, menandakan sebuah pesan yang baru saja masuk dari Karin yang meminta Winan untuk segera bersiap-siap karena sekitar sepuluh menit lagi ia akan tiba di apartemen milik Irene.

Sang putri semata wayang menarik napasnya, ia tahu Irene ada di ruang tengah atau setidaknya ada di sekitar sana. Sedari tadi ia mendengar suara-suara dari luar kamarnya, menandakan Maminya sudah beraktivitas hari itu.

Jujur saja Winan cukup terkejut, ia pikir Irene sudah pergi ke kantor. Awalnya ia berencana untuk pergi sepagi mungkin agar ia tidak perlu bertemu dengan Irene namun sepertinya semesta berencana lain karena ia bangun cukup kesiangan.

Maka dengan hati yang cukup berat, Winan melangkah keluar dari kamarnya. Toh cepat atau lambat ia memang harus segera bertemu dengan Maminya.

Winan membuka pintu kamarnya dengan sangat berhati-hati, ia tidak ingin membuat suara yang bisa mengalihkan perhatian Irene.

“Mau pergi nggak pamit?” tanya Irene yang membelakangi Winan.

Sang ibu satu anak itu sedang mencuci alat makan kotor yang sedikit menumpuk.

“Nggak kok.” elak Winan.

Irene berhenti mencuci piring untuk sejenak.

Winan tahu Irene pun sedang berusaha membuang waktu, mencari titik awal untuk memulai percakapan. Dilihatnya segala gerak-gerik Irene, mulai dari mengusap tangannya dengan sabun cuci tangan lalu ketika ia mengeringkan tangannya dengan handuk kecil hingga saat Irene menatapnya dengan tatapan yang sulit Winan artikan.

Otak Winan berusaha berpikir dengan cepat, kira-kira topik seperti apa yang harus ia lontarkan.

“Kamu mau ke-...”

“Sarapan aku mana? Karin bilang Mama tadi masak.”

Winan dapat melihat dengan jelas tatapan Irene yang berubah untuk sejenak serta gerakan mata Irene yang melirik ke arah tong sampah dan tempat cuci piring.

Ia mengerti, sangat mengerti.

“Serius Mi? Bahkan untuk hal sesimpel ini? Bahkan untuk hal yang niatnya baik, Mami buang? Mama made it for me too, it’s not only about you. Did you realize how selfish you are, Mi?

Time Spent Walking Through Memories part. 2-4

(notes: di akhir cerita akan ada author notes, please dibaca ya. Makasihh)

Seperti yang sudah ia janjikan dengan Minjeong, hari itu Joohyun mengajak asisten pribadinya untuk jalan-jalan. Joohyun benar-benar menepati janjinya, mereka bertukar peran selama satu hari penuh.

Awalnya Minjeong sempat ragu-ragu untuk sekadar ‘memerintah’ atau ‘menyuruh’ Joohyun untuk membantu dirinya namun ketika Joohyun memberikan tatapan tajam pada Minjeong, asisten pribadinya itu mau tidak mau mengikuti permainan Joohyun.

Yang pertama mereka lakukan adalah mengunjungi tempat-tempat wisata yang terkenal di kota itu. Joohyun disibukkan dengan tugas sebagai fotografer pribadi Minjeong dan harus ia akui, asisten pribadinya itu memang fotogenik.

“Minjeong, apa kamu pernah kepikiran untuk kerja di dunia entertain?” tanya Joohyun setelah selesai mengambil foto Minjeong yang duduk di pinggir sebuah air mancur dengan berlatar belakang menara Eiffel.

Minjeong mengangguk, “Sebenernya nggak pernah kepikiran, awalnya. Tapi waktu SMA pernah tiba-tiba dapet tawaran masuk agensi, setelah aku nyanyi di salah satu kafe gitu.”

Jawaban yang menarik bagi Joohyun, tiba-tiba ia membayangkan akan bagaimana jadinya jika Minjeong menjadi seorang penyanyi, seperti Seungwan.

“Terus? Kamu nggak lolos audisi?” tanya Joohyun lagi, mencoba menggali lebih jauh.

“Lolos kok, sampe tahap akhir, bahkan udah di offer kontrak buat jadi trainee.”

Lagi-lagi jawaban Minjeong menarik perhatian Joohyun, ia penasaran bagaimana akhirnya sampai Minjeong tidak mengambil kesempatan emas tersebut.

Joohyun memang tidak mengajukan pertanyaan pada Minjeong, namun sang gadis berambut pendek itu memahami tatapan Joohyun yang meminta dirinya untuk melanjutkan kisahnya itu.

“Waktu itu Ayahku udah mau pensiun kak. It’s either hit or miss dan aku gak bisa miss, sedangkan keluargaku gak bisa gambling. Aku harus kuliah dan cari pekerjaan dengan penghasilan tetap. Sedangkan kalau aku training untuk jadi artis, aku harus tunda kuliah aku. Iya kalau aku debut, bagus, mungkin malah bisa balik modal. Tapi kalau aku gagal? Ada waktu yang udah kebuang dan gak bisa diambil balik.”

Sang CEO mengangguk paham. Menurutnya ada tiga hal penting yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin bekerja di dunia entertain, bakat, kerja keras dan luck. Maka jika salah satu saja tidak dimiliki, kemungkinan besar orang itu akan gagal. Bagi Minjeong, ia tidak memiliki faktor keberuntungan itu.

“Kalau misal saya buang faktor hit or miss tadi, kamu sendiri ingin kerja di dunia entertain nggak?”

Minjeong mengernyitkan dahinya, jari telunjuknya ia ketukan pada dagunya beberapa kali seperti sebuah ritme.

“Hmm, pengen dan nggak pengen. Aku cuma pengen di bagian nyanyinya aja, tapi kalau udah masalah ketenaran kayaknya nggak deh. Ribet kak. Ditambah tau sendiri kan aku orangnya kayak gini, pasti mau nggak mau aku harus acting untuk nutupin hal-hal yang dirasa nggak pantes.”

Joohyun mengangguk lagi, “Kamu pernah merasa menyesal? Karena kamu lepas kesempatan emas itu?”

Minjeong menggeleng mantap, “Nggak. Karena apa yang aku pengen nggak harus selalu terlaksana, aku gak boleh maksain keinginanku dan mengorbankan orang lain. Kalau waktu itu aku maksa untuk terima tawarannya dan ternyata aku gak bisa debut, aku udah ngorbanin satu keluarga aku.

But, no one knows. Kalau misal kamu jadi sukses gimana?”

“Ya aku balik lagi kak, kayak yang aku bilang tadi kalau aku gagal gimana? Lagian aku percaya, semua yang udah kejadian di hidup aku, emang gitu adanya. Aku gak pernah kepikiran buat ubah apa yang udah terjadi. Kalau kata orang tua aku, kata-kata yang paling berbahaya itu what if.”

Ucapan Minjeong membuat Joohyun tertegun. Percakapan barusan mungkin terdengar ringan bagi sebagian orang, namun tidak bagi Joohyun. Secara tidak disadari, Minjeong telah mengajarkannya dua hal penting.

Bahwa ia tidak boleh memaksakan keinginannya pada orang lain yang justru bisa berdampak mengorbankan mereka, entah dalam hal apapun itu, dan bahwa kata-kata yang paling berbahaya adalah what if.


Joohyun tidak pernah menyangka bahwa hal selanjutnya yang ingin Minjeong lakukan adalah melakukan reka adegan film ‘Home Alone’. Pertama kali Joohyun mendengar ucapan Minjeong, ia menatap asisten pribadinya itu lekat-lekat, karena bagaimana bisa? Karena latar belakang tempatnya saja sudah jauh berbeda.

”Aku pengen ibadah bentar terus habis itu foto di depan pohon natal yang gede banget gitu. Pokoknya kayak yang di film ‘Home Alone’”

Jika sebelumnya Joohyun menganggap Minjeong adalah asisten pribadinya, kini ia justru merasa Minjeong lebih layak ia perlakukan seperti adiknya sendiri. Joohyun baru menyadari bahwa Minjeong sebenarnya masih sangat muda, jauh dibandingkan dirinya.

Lalu ia teringat akan percakapan mereka sebelumnya, tentang bagaimana Minjeong harus lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan tetap. Joohyun selalu percaya bahwa cara paling ampuh untuk mendewasakan seseorang adalah dengan dipaksa oleh keadaan dan hal itu juga terjadi pada Minjeong.

Terlepas dari bagaimana Minjeong sering membuatnya sakit kepala, Joohyun sadar bahwa Minjeong sebenarnya sudah jauh melewati kemampuan teman-teman sebayanya, apalagi dengan fakta bahwa Minjeong bekerja dengan seorang bos yang seperti dirinya itu.

Pada akhirnya Joohyun mengabulkan permintaan Minjeong setelah mencari tahu letak gereja terbesar di kota itu. Mereka cukup beruntung karena jadwal ibadah gereja yang akan mereka datangi cukup sesuai dengan jadwal mereka hari itu.

Minjeong memilih untuk duduk di barisan bangku agak tengah, alasannya sangat simple dan benar-benar membuat Joohyun memutar kedua bola matanya.

”Kalau terlalu depan, aku deg-degan kak kalau ketahuan jarang ibadah hehe. Tapi kalau terlalu belakang, takutnya aku malah ngantuk atau gak fokus.”

Sejujurnya, Joohyun bukan tipe yang sangat agamis bukan pula tipe yang tidak percaya akan Tuhan. Namun ia tidak menyangkal bahwa ada kalanya ia melupakan Tuhannya dan kewajiban-kewajiban yang harus ia tunaikan.

Joohyun berusaha untuk mengikuti jalannya peribadatan dengan khidmat bahkan ia mengakui bahwa saat itu ia sangat menikmati kesempatan yang diberikan padanya, lewat tangan Minjeong.

Ditengah-tengah ibadah, tak jarang sesekali Minjeong mengaburkan fokusnya dengan memberikan komentar-komentar ringan. Joohyun bahkan sempat memelototi Minjeong, saking cerewetnya gadis itu.

Namun entah apa yang terjadi pada Minjeong dan dirinya hari itu, tetapi lagi-lagi Minjeong membuat Joohyun tertegun dengan celotehannya itu.

“Aku bukan orang paling agamis kak, tapi aku selalu nyempetin untuk denger khotbah kayak gini. Menurutku hal paling dasar ketika aku mau menuju ke arah yang paling baik itu waktu aku coba untuk mendengar hal-hal baik terus berusaha merefleksikan itu ke diri aku. Mau tau nggak kak biasanya aku semedi gitu kapan?”

“Kapan?” tanya Joohyun.

Awalnya hanya sekadar menanggapi ucapan Minjeong secara asal namun ketika ia melihat bahwa Minjeong sedang berbicara serius dengannya, Joohyun mengingat ucapan Minjeong sebelumnya, hal paling dasar ketika ia ingin berubah adalah ketika ia mendengarkan orang lain.

“Pas naik motor. Kayaknya kak Irene gak bakal bisa relate sih, mana pernah naik motor kan. Tapi intinya, coba deh Kak cari tau kapan atau dimana bisa fokus, bener-bener fokus terus dengerin isi kepala sendiri. Coba ngobrol sama diri kakak sendiri. Aku pernah baca, tapi lupa judul bukunya, cara untuk mencintai diri sendiri atau orang lain adalah dengan mengenal sosok itu. So, ngobrol sama diri sendiri itu bagian dari self love, menurut aku.”

Joohyun mengerjapkan matanya berkali-kali. Ucapan Minjeong mengingatkannya pada perkataan Seungwan padanya, seminggu yang lalu.

Terkadang ada hal yang semakin ia genggam, justru semakin ia kehilangan hal itu.

Joohyun terlalu memaksakan keinginannya pada Seungwan yang justru pada akhirnya mengorbankan hubungan mereka seperti saat ini. Ia terlalu larut pada semua what if yang ada di dalam benak kepalanya itu sampai-sampai Joohyun tidak mendengarkan isi hati dan keinginan Seungwan.

Ia menyadari bahwa dirinya terlalu egois kemarin.

Joohyun kembali mengerjapkan matanya, kali ini untuk menghindari air matanya jatuh membasahi pipinya. Namun usaha itu gagal karena pada akhirnya tetesan demi tetesan buliran kristal itu turun dan mengalir bebas.

Sekarang ia paham alasan Seungwan meminta ruang pada dirinya.

They’re lost and now have to find their way back home.

Hubungan antara Joohyun dan Seungwan dimulai secara tiba-tiba dan langsung melompati tahapan-tahapan pasangan pada umumnya. Bahkan bisa dibilang mereka tidak memiliki fondasi yang kokoh, hanya berbekal rasa kasih dan sayang, setidaknya bagi Joohyun.

Mereka belum benar-benar mengenal satu sama lain secara mendalam. Tetapi jauh lebih penting daripada itu, apakah Joohyun dan Seungwan mengenal diri mereka sendiri dengan baik? Mungkin itu yang ingin Seungwan temukan saat ini, how to love yourself first before you love someone else.

“Minjeong, terima kasih.” bisik Joohyun pelan namun masih bisa didengar dengan jelas oleh Minjeong.

Asisten pribadinya itu sama sekali tidak menyadari bahwa saat ini Joohyun sedang menangis, setidaknya sampai ia memalingkan wajahnya untuk menanyakan maksud dari perkataan Joohyun barusan.

“Kak? Loh kok nangis? Aduh, Kak Irene kenapa?”

Joohyun menggeleng pelan dengan senyuman tipis yang ia berikan pada Minjeong. Setelahnya ia tertawa pelan, menyadari bagaimana paniknya Minjeong saat ini karena dirinya yang tiba-tiba berlinang air mata.

“Joohyun. Panggil saya Joohyun. Also, terima kasih Minjeong karena hari ini kamu mengajarkan banyak hal kepada saya.”


Selepas Joohyun menuntaskan keinginan Minjeong untuk melakukan reka adegan dari film ‘Home Alone’, ia meminta maaf pada Minjeong karena hari itu Joohyun tidak dapat menepati janjinya untuk menjadi ‘pelayan’ bagi Minjeong selama sehari penuh.

Tentu saja Minjeong mengiyakan permintaan Joohyun, tidak mungkin tidak.

Minjeong justru cukup terkejut ketika Joohyun ternyata berkendara kembali ke hotel dan buru-buru menghidupkan laptop serta mencari-cari earphone miliknya.

“Ngapain sih kak?” tanya Minjeong yang hampir pusing melihat Joohyun berjalan kesana kemari bak orang kesetanan.

“Saya buru-buru, takut kelewatan.”

“Iya, tapi kelewatan apa sih kak?”

“Acara radio.” jawab Joohyun singkat.

“Radionya….Kak Wendy?” tanya Minjeong dengan hati-hati, ia tahu ini adalah topik yang sensitif bagi Joohyun.

“Iya, Seungwan waktu itu ngetweet. Dia bilang and I quote, “Still miss me? Then you can tune in to my radio show everyday at 6 pm. Eh tunggu, sekarang disana jam enam sore, kan?”

Minjeong mengambil ponselnya kemudian menunjukkan aplikasi jam dunia yang terinstall disana. “Bener kok, udah lewat dikit sih kak.”

Joohyun menarik satu buah kursi yang kemudian ia letakkan tepat di sebelahnya.

“Kamu duduk sini, bantuin saya. Kamu tau sendiri kan kalau masalah kayak gini saya agak lamban?”

“Oh, maksudnya gaptek?” celetuk Minjeong.

“Saya nggak gaptek, cuma butuh waktu lebih lama aja untuk belajar masalah sosial media.”

Minjeong menahan tawanya, hari ini bosnya itu sangat-sangat unik. Apalagi ketika ia melihat ekspresi wajah Joohyun yang berubah menjadi sumringah saat ia mendengar suara Sang Ibu Negara tepat setelah iklan yang diputar selesai.

Minjeong bersumpah, tidak ada satupun orang di kantor mereka yang akan menyangka bahwa bos mereka yang terkenal galak dan perfeksionis ternyata bisa sebucin ini.

”Merry Christmas everyone!! Ho ho ho! Sore ini tim kita sengaja nggak mendatangkan tamu karena hari ini kita bakal fokus untuk ngobrol sama pendengar setia radio ini aja! So, buat yang mau kirim pesan atau request lagu, bisa langsung aja ke kolom komentar ya!”

Joohyun menoleh ke arah Minjeong saat ia merasa disikut oleh asisten pribadinya.

“Apa?”

“Kirim pesan kak! Anonim aja!”

Tawaran yang menggiurkan.

“Tapi saya nggak tau caranya. Kamu bisa bantu?”

“Gampang!”

Dengan cepat Minjeong menanyakan informasi-informasi pribadi milik Joohyun dan memasukkannya di kolom-kolom yang dibutuhkan. Namun ia berhenti saat harus memasukkan nama ID yang akan terpampang di kolom komentar.

“Ada nama yang khas gitu nggak? Buat ngode kalau ini Kak Joohyun.”

Joohyun berpikir keras, terdapat banyak nama-nama yang muncul di kepalanya. Tetapi ketika ia melihat wajah Minjeong, ada satu nama yang akhirnya ia pilih.

“Dora’s Boss.”

“HAH?!”

“Dora’s Boss. Udah cepetan ketik aja itu, kamu gak usah banyak tanya.”

Masih dengan rasa penasarannya, Minjeong mengetik huruf demi huruf kemudian menekan tombol submit. Kini Joohyun sudah memiliki satu akun untuk meninggalkan pesan di kolom komentar.

“Nih kak, mau nulis apa?”

“Aduh, bingung juga ya. Menurut kamu saya tulis apa?”

“Apa ya? Aduh ini acara radionya kak Wendy tuh di prime time slot banget jadi pendengarnya banyak, kemungkinan komen kakak bakal dibaca jadinya kecil. Menurutku mending sesuatu yang gak usah terlalu panjang tapi ngena gitu deh.”

Entah apa yang ada dipikirannya, Joohyun kemudian mengambil alih keyboard lalu menuliskan baris demi baris komentar sembari berharap bahwa Seungwan akan membacanya dan sadar bahwa itu adalah Joohyun.

”Wow, ternyata banyak juga ya yang tune-in sore hari ini? Okay, let’s read it one by one. Hmm….”

“Kalau komentar saya dibaca Seungwan, gaji kamu saya naikin.” ujar Joohyun tiba-tiba.

“AMIN! Tapi ya kak, aku gak yakin sih.” tawa Minjeong.

”From Dora’s Boss?? Ini beneran nama akunnya Dora’s Boss?? Sejak kapan Dora punya atasan? Hey ini kartun mana!”

Tawa Seungwan memenuhi indera pendengaran Joohyun, ia sangat senang bisa mendengarkan suara tawa itu lagi sampai-sampai dirinya tidak menyadari bahwa Seungwan saat ini sedang membaca komentar dari akun yang baru saja ia buat.

”Oh my god! Pendengar aku pada jago-jago ngegombal ya? Okay here we go, kenapa phi (yes, phi as in that phi in mathematics), itu 22/7? Karena kalau 24/7 itu saya yang selalu mikirin kamu. Daaang! That’s a good one! Dora’s Boss, I’ll give you 8 out of 10.”

“OH MY GOD KAK JOOHYUN?! KOMENTAR KITA DIBACA?!” pekik Minjeong.

“H-hah?”

“ITU BARUSAN KOMEN KITA DIBACA! OH MY GOD AKU NAIK GAJI!!!”

Minjeong melompat kegirangan seakan-akan ia baru saja menemukan harta karun, well, in a way she did.

“Kak! Coba tulis komen lagi kak! Mumpung akun kita tadi udah dibaca!”

“Akun kita? Itu akun saya!”

“Iya, iya akunnya kak Joohyun. Udah cepetan kak! Momentum kayak gini tuh gak boleh kelewat!”

Jemari Joohyun kembali mengetik baris demi baris komentar dengan cepat dan terdengar bunyi ‘klik!’ cukup kencang ketika Joohyun menekan tombol enter.

”Malam ini kenapa banyak yang kirim gombalan sih? But that’s okay! It’s fun! Okay next dari WanDJFans, WanD aku mau curhat. Aku udah putus sama cowok aku satu bulan yang lalu, terus dia tiba-tiba chat aku lagi dan bilang kalau dia masih sayang sama aku. Sejujurnya aku belum move on, tapi kata teman-teman aku lebih baik nggak sama dia lagi karena hubungan kami dulu toxic. Lebih baik aku gimana?”

”Oh girl, you are worth more than anything else. Jadi kamu harus selalu mengutamakan diri kamu ya termasuk kebahagiaan dan kesehatan kamu. Kalau emang orang-orang sekitar kamu bilang hubungan kalian dulu itu toxic, lebih baik kamu jangan terlalu cepat ambil keputusan. Coba renungin lagi lebih lama. Also! Who knows you’ll find a more beautiful and unforgettable love in someone else? Makasih ya kamu udah percaya buat cerita ini ke kita semua, we will always cheering on you!”

“Huh, Kak Wendy keren banget.” ujar Minjeong yang juga ikut fokus mendengarkan siaran radio.

“Memang.”

“Astaga kak, serius ya kalau orang kantor sampe tau kak Joohyun segini hopeless romantic...”

“Kalau orang kantor sampai tahu, berarti kamu yang nyebarin. Besoknya kamu udah gak kerja lagi sama saya.”

“Ini namanya penyelewengan kewenangan.” cibir Minjeong.

“Suka-suka saya? Itu kan kantor saya.”

“Iya, iya. Suka-suka Irene Bae Joohyun deh pokoknya.”

Joohyun menyentil dahi Minjeong dengan cukup kencang setelah ia mendengarkan ucapan Minjeong. Suara Seungwan masih terdengar dengan jelas di ruangan tersebut.

“Jangan ganggu saya yang lagi dengerin suara Seungwan sekarang.”

”Okay, aku bakal bacain satu komen lagi sebelum kita break iklan dulu. Hmm, let’s see…Dora’s Boss…again. Serius ini nama akunnya bikin ketawa. Ini konsepnya Dora pas udah gede berarti ya? Masih main sama boots…..nggak?”

Terdapat jeda sebelum Seungwan melanjutkan ucapannya dan Joohyun berharap jeda tersebut karena Seungwan menyadari kode yang disampaikan melalui nama akun tadi bahwa akun itu adalah Joohyun.

”Saya baru saja mengecewakan orang yang paling saya sayangi sampai-sampai ia merasa sesak saat berada di dekat saya. Dia meminta waktu dan ruang sejenak dalam hubungan kami. Awalnya saya marah, tapi kini saya mengerti. Kira-kira kalau saya meminta maaf sekarang, apakah dia mau mendengarkan saya? Saya merindukannya setiap hari dan saya harap ia tahu. I’ll wait for you, love.”

Minjeong melirik bergantian ke arah Joohyun dan ke arah layar laptop milik Joohyun. Hari itu siaran radio dilangsungkan secara video live streaming, sehingga baik Joohyun maupun Minjeong dapat melihat Seungwan dengan jelas.

Seungwan terpaku untuk sejenak kemudian jemarinya memainkan pensil yang sedari tadi ia genggam, memutarnya di sela-sela buku jarinya.

”It’s good that you realized it. Tapi dia masih butuh waktu, coba kamu inget lagi apa kata-kata terakhirnya ke kamu? She meant it. Kalau kamu masih kangen sama orang itu, kamu bisa kesini setiap hari siapa tahu dia dengerin radio ini juga. Aah, kayaknya waktu kita udah habis. Setelah ini bakal ada iklan yang lewat sebentar dan habis itu kita akan pindah ke segmen selanjutnya ya! Next kalian bisa request lagu apapun dan kita akan ngobrol tentang tempat wisata favorit akhir tahun! So stay tuned, It’s still DJ Wendy!”

“Itu kak Wendy baru aja ngode supaya kita dengerin radionya tiap hari?” tanya Minjeong, memecah keheningan.

Joohyun tidak langsung menjawab pertanyaan Minjeong, ia masih terlalu terpaku dan tidak percaya bahwa hari ini dewi fortuna sedang berada di pihaknya.

Minjeong harus menepuk lengan Joohyun beberapa kali untuk membawa Joohyun kembali tersadar dari lamunannya.

“Minjeong, mulai sekarang kosongkan jadwal saya setiap jadwal Seungwan siaran radio.”

Tidak semua orang pantas mendapatkan kesempatan kedua, maka ketika Joohyun mendapatkan kesempatan itu, ia bersumpah bahwa ia tidak akan menyia-nyiakannya. Kali ini Joohyun berjanji bahwa ia akan menjadi pendengar setia dari Seungwan.

Joohyun berjanji bahwa ia akan mencari cara agar mereka berdua bisa mengenal satu sama lain lebih jauh, agar mereka bisa membangun fondasi yang kokoh, agar mereka bisa mencintai diri mereka masing-masing sebelum mereka bisa mencintai satu sama lain untuk selamanya.


author notes: Untuk kepentingan alur cerita ini, aku sengaja memasukkan sedikit unsur agama. Tapi perlu digaris bawahi, apa yang ada di cerita ini sama sekali tidak menggambarkan kenyataan atau berkaitan dengan karakternya. Jadi mohon bijak ya.

Photograph

39. Jalan

“Win…”

“Hmm?”

“Gimana perasaan lo sekarang?” tanya Karin sembari menatap wajah Winan.

Malam itu Karin dan Winan memutuskan untuk jalan-jalan keliling kota saja karena dari awal memang semuanya serba mendadak dan mereka pun tidak punya ide harus pergi kemana.

Setelah satu jam lebih mereka berkendara, Karin memilih untuk mampir ke salah satu drive thru masakan cepat saji favorit Winan dan memesan beberapa menu untuk sekadar mengisi perut mereka. Kemudian Karin kembali melajukan mobil milik kakaknya itu.

Awalnya Winan kira Karin hendak memulangkannya ke rumah Mama Wennys, namun ternyata Karin berkendara menuju pantai yang terdapat di kompleks perumahan Karin dan dirinya.

Sepanjang perjalanan menuju pantai, Karin hanya sesekali menanyakan pada Winan apakah sahabatnya itu kedinginan atau tidak dan membebaskan Winan untuk memutar lagu-lagu kesukaannya.

Di pantai pun mereka berdua hanya bercakap-cakap ringan sembari menghabiskan makanan yang tadi sudah dibeli. Karin sama sekali tidak menanyakan perihal masalah antara dirinya dan Maminya. Sahabatnya itu hanya menimpali ucapan-ucapan Winan dan membiarkan Winan yang menentukan topik pembicaraan mereka.

Merasakan dirinya ditatap oleh Karin, Winan menoleh sejenak untuk membalas tatapan tersebut. Namun tatapan Karin justru membuatnya salah tingkah. Yang lebih muda akhirnya mengalihkan pandangannya kembali, memilih untuk menatap bintang-bintang di langit sebelum ia mengangkat kedua bahunya, menanggapi pertanyaan Karin tadi.

“Campur aduk sih Rin. Jujur gue sekarang bingung mendefinisikan perasaan gue. Marah? Iya. Bingung? Juga iya. Sedih? Udah makanan sehari-hari.”

“Wajar Win, yang penting lo selalu cerita ya? Jangan dipendem sendirian.”

Winan mengangguk, “Jujur Rin, gue masih pengen ngomong sama Mami. Yang tadi masih belum tuntas. Tapi disisi lain bawaanya tiap liat Mami tuh gue pasti pengen marah.”

“Tadi lo berantem sama tante Irene?”

“Iya.. Aduh setelah gue pikir-pikir lagi, kok tadi gue emosi banget ya? Mana gue sampe naikin nada gue lagi.”

Tangan Karin perlahan naik ke pundak Wina, kemudian ia merangkul sahabatnya itu dari samping. “Yaudah nanti pas lo udah ngerasa lebih enak, lo minta maaf sama nyokap lo ya?”

Winan mengerucutkan bibirnya, “Ih yang ada tuh nyokap gue yang harusnya minta maaf ke gue. I mean, selama ini Mami tuh diem-diem menghanyutkan. Sumpah lo gatau betapa shock gue pas Mami drop the news to me.”

Karin mengangguk paham, membiarkan Winan meluapkan emosinya. Tangannya kembali mengusap pelan lengan Winan.

“Sini kalo mau nangis lagi, pundak gue dan baju gue siap buat nampung kesedihan lo.”

“Dih, sok tau banget sih. Siapa yang nangis?” ujar Winan menyangkal perkataan Karin namun perlahan ia sandarkan kepalanya di bahu Karin.

“Winan bawel, mata lo tuh tadi berkaca-kaca pas lo masuk mobil gue. Nggak usah bohong, nggak mempan kalo sama gue.”

“Pantesan ya lo tadi di mobil diem banget gitu. Sengaja nih maksudnya?”

“Nah itu tau.”

Winan meninju pinggang Karin pelan, “Sialan lo. Tapi makasih ya Rin. Seriusan ini gue.”

“Nggak gratis ya Win. Kayak biasa, temenin gue hunting foto.” tawa Karin. “By the way Win, mau denger saran gue nggak?”

“Apa?”

“Inget kata-kata Om Mario kan?”

“Mario Bros?”

“Serah lo ah, serius bentar sih. Itu loh, lo inget pepatah when there is a will, there is a way kan?”

“Iya tau.”

“Selama nyokap lo belom resmi cerai, menurut gue pasti ada jalan sih Win buat rujuk. Intinya kalo lo mau usaha, gue rasa sih pasti ada jalan.”

“Jalan apaan?”

“Ya jalan keluar dong, masa jalan buntu. Ih lo cakep-cakep suka henghong ya otaknya.”

Karin memejamkan matanya saat ia menyadari bahwa ia baru kelepasan memuji Winan cantik. Ia melirik sejenak ke arah Winan dan bernapas lega ketika ia tahu bahwa Winan tidak terlalu memperhatikan kalimatnya barusan.

“Kalo cuma jalan-jalan gimana Rin? Muter aja masalahnya disitu-situ doang.” tanya Winan. Air matanya mulai memenuhi pelupuk mata.

“Mungkin nyokap lo, tante Irene, lagi lost aja kali Win? Jadi lo sama tante Wennys yang harus usaha lebih. Terus nih no offense ya Win, lo emang beneran liat nyokap lo s word sama si buluk?”

“S word? Maksud lo selingkuh?”

“Iya itu, duh gak enak kan gue ngomongnya.”

“Nggak sih, amit-amit kalo sampe gue liat. Kalopun emang iya mereka s word itu, gue gak mau sampe liat sih Rin.”

“Nah kan Win, selama lo cerita ke gue juga gue kayak cuma tau cerita dari sisi Mama lo doang. Gue nggak pernah denger lo cerita dari sudut Mami lo, ngerti maksud gue kan?”

Winan mengangguk. Desahan napas panjang keluar dari mulutnya.

“Lo harus jadi penengah antara Mami lo sama Mama lo ya Win. Coba deh lo duduk tenang sama Mami lo, terus ngomong baik-baik. Kalo dari cerita lo kan Tante Irene tipe yang suka susah diajak ngomong karena canggung gitu kan?”

“Iya persis kayak lo.”

“Nah, tapi gue bisa cerewet tuh kalo sama lo. Tandanya apa?”

“Tandanya lo nyaman sama gue?” tanya Winan, kali ini ia mengangkat kepalanya dari bahu Karin untuk menatap wajah Karin.

“Nggak usah mulai dangdut.” ujar Karin cepat. Tangan kirinya ia gunakan untuk mendorong kepala Winan menjauh.

Baru saja Winan hendak membalas Karin, ponselnya berdering dengan cukup kencang. Winan menatap layar ponselnya namun ia memilih untuk tidak mengangkat telepon tersebut.

“Win, angkat dong.” ujar Karin saat ia mengintip nama yang tertera di layar ponsel milik Winan.

“Nggak deh Rin, gue takut hehe. Takut gue masih emosi dan takut dimarahin nyokap.”

“Kalo lo gini, malah makin dimarahin dong pas ntar balik?”

“Kan ada lo Rin. Nyokap gue mah kalo udah denger nama lo pasti langsung diem.”

“Idih, udah kayak freepass ya nama gue?”

“Lebih kayak anjing penjaga gitu nggak sih Rin? Jadi orang-orang takut?”

“Sialan!”


Ting! Tong! Ting! Tong!

Irene berjalan dengan terburu-buru menuju pintu masuk. Ia berharap bahwa yang menekan tombol bel adalah Winan. Irene sudah siap untuk berbicara panjang lebar namun ekspresi wajahnya seketika berubah saat ia mendapati Wennys berdiri tepat di depan pintu apartemennya.

“Win… Oh, Wen. Aku kira Winan.”

“Kalau Winan, dia nggak bakal mencet bel dong, Irene.” ujar Wennys kesal.

Irene mengangguk kikuk. Ia lupa kalau Wennys akan datang ke apartemennya. Selama ini Wennys tidak pernah benar-benar berkunjung ke apartemennya dengan alasan ingin menghargai privasi Irene. Malam ini adalah kali pertama.

Dengan sedikit canggung Irene mempersilakan Wennys untuk masuk dan menuntun mereka berdua untuk duduk di ruang tengah. Sesampainya mereka disana, mata Wennys secara otomatis mengedar ke seluruh ruangan.

Wennys yang notabenenya sangat memperhatikan tata letak dan isi perabot ruangan cukup terkejut dengan isi apartemen yang sangat simple, berbeda jauh dengan rumah mereka yang terkesan lebih ‘hangat’.

“Winan masih belum balas chat kamu?” tanya Wennys.

“Belum, Wen.”

“Astaga Tuhan, kalian kenapa? Tadi kenapa Winan bisa sampe pergi nggak izin?”

“Tadi kita berantem Wen. Sebenarnya lebih tepat untuk dibilang kalau Winan marah ke aku.”

“Terus kamu diem aja? Nggak usaha buat ngejar Winan? Nggak usaha buat ngajak dia ngomong lagi?”

Irene hanya terdiam.

“Irene, please. Ngomong Ren! Sesusah itu kah kamu buat buka diri kamu ke kami? Keluarga kamu sendiri?”

“Itu nggak penting sekarang Wen. Yang penting itu kita cari Winan.” elak Irene.

Sudah cukup baginya untuk membahas masalah yang sama, tadi dengan Winan dan kini dengan Wennys.

Wenny menghela napasnya panjang, “Itu penting, Irene. Kita berakhir kayak gini juga karena lack of communication kan?”

“Aku coba telepon Karin dulu, Winan biasanya kalau pergi-pergi pasti sama Karin. Kamu kesini naik mobil sendiri atau naik taksi?” potong Irene yang sengaja tidak menggubris ucapan Wennys barusan.

“Aku naik taksi. Mobilku lagi di bengkel.”

“Okay, nanti kita cari bareng-bareng. Kalau bisa kamu tolong telepon teman Winan yang lain? Aku cuma kenal Karin.”

Irene berdiri dari sofa yang ia tempati, berjalan ke arah kamarnya meninggalkan Wennys sendirian di ruang tengah untuk beberapa saat dan kembali dengan sebuah syal berwarna merah marun yang ia serahkan kepada Wennys.

“Aku tau kamu tahan dingin, tapi kalau lagi panik gini badan kamu suka drop. Make yourself warm, aku nggak mau asma kamu sampai kambuh. Also, nggak usah panik ya, Winan pasti baik-baik aja.” ujar Irene.

Selama kurang lebih tiga puluh menit Irene dan Wennys saling berbagi tugas untuk menghubungi beberapa teman-teman Winan yang sering kali Winan sebut namanya. Namun mereka tak kunjung mendapatkan jawaban dimana keberadaan Winan malam itu.

Irene dapat melihat dengan jelas keadaan Wennys yang semakin mengkhawatirkan Winan apalagi setelah Wennys menyadari bahwa saat itu sudah hampir tengah malam.

“Tenang, Wen. Aku yakin Winan baik-baik aja.”

“Mana bisa aku tenang, Irene. Kamu tau sendiri dia anaknya gampang sakit dan sekarang dia pergi sampai malam tanpa persiapan yang cukup.” ujar Wennys dengan suara yang sedikit bergetar.

“Kamu berhenti dulu, sekarang handphone kamu kasih ke aku atau kamu kasih nomor telepon yang belum kita hubungin dan biarin aku yang coba hubungin. Kamu istirahat dulu, tenangin diri kamu.”

No, Irene. Biar lebih cepet.” tolak Wennys.

Irene menggelengkan kepalanya. Tangannya dengan cepat menyambar ponsel yang berada dalam genggaman Wennys.

“Aku nggak mau kamu drop. Sekarang denger aku, okay? Kalau kamu nggak mau aku pakai ponsel kamu, that’s fine. Just give me the numbers, I’ll call them using mine. Tapi aku mau kamu istirahat. Kamu boleh duduk di sebelah aku dan denger teleponnya. Setuju?”

Fine. Pake aja handphone aku, temen-temen Winan ada yang udah simpen nomor aku. Takutnya kalau pakai nomor kamu, malah nggak diangkat karena dikira nomor asing. Kuncinya handphone aku tanggal pernikahan kita.”

Irene cukup terkejut dengan jawaban Wennys. Namun keterkejutannya tidak berhenti disana. Ia mendapati lockscreen dari ponsel Wennys adalah foto mereka berdua dan homescreen-nya adalah foto saat perayaan hari ibu di sekolah Winan beberapa hari yang lalu.

S-sorry, kalau kamu nggak nyaman nanti fotonya aku ganti.” ujar Wennys saat menyadari alasan Irene yang memandangi layar ponselnya untuk beberapa saat.

That’s fine. Ini handphone kamu, aku nggak punya hak untuk larang kamu.”

Jemari Irene segera menekan logo kontak dan mencari nama Gisella sesuai dengan intruksi Wennys. Sambungan telepon itu tidak langsung diangkat oleh pemilik nomor, namun keduanya tetap berusaha menunggu dengan sabar.

Irene hampir menekan tombol berwarna merah ketika suara seorang gadis menyapa pendengarannya. Dengan sigap ia memperkenalkan diri dan menjelaskan maksudnya saat itu.

Sementara itu Wennys yang duduk di sebelah Irene memperhatikan dengan saksama semua perubahan ekspresi serta nada dari Irene. Ekspresi yang sedikit lega terpampang jelas setelah Irene selesai menghubungi Gisella yang merupakan teman satu kelas Winan sekaligus teman satu grup paduan suara.

“Gisella bilang terakhir dia lihat Winan ngetweet dan memang ada indikasi kalau Winan mau pergi. Gisella bilang dia nggak tahu kemana atau sama siapa tapi kemungkinan besar sama Karin karena semua temen deketnya Winan lagi kumpul di rumah Gisella, cuma Karin dan Winan yang nggak ada. Dia bilang kalau udah bisa hubungin Winan, nanti bakal ngabarin kita lagi.” ujar Irene setelah menutup sambungan telepon dengan Gisella.

“Ren, coba kamu hubungin nomor Karin la-...”

“Mama?”

Wennys menoleh dengan cepat tatkala suara Winan memenuhi pendengarannya, Irene pun memberikan reaksi yang serupa. Keduanya mendapati Winan berjalan memasuki apartemen diikuti dengan Karin yang terlihat canggung.

Secepat kilat Wennys berdiri dan merengkuh Winan dalam pelukannya, lalu ia membolak-balikkan badan Winan seakan-akan mencari apakah ada suatu hal yang kurang dari putrinya itu.

“Kamu baik-baik aja?” tanya Wennys.

“Iya Ma. Winan baik-baik aja. Mama ngapain kesini? Kok nggak bilang Winan?”

Berbeda dengan Wennys, Irene justru menjadi marah saat ia melihat tidak ada satupun sikap merasa bersalah yang ditunjukkan oleh Winan. Putrinya itu justru bertingkah seakan-akan pergi tanpa izin adalah hal yang lumrah.

“Kemana aja kamu? Kabur kemana kamu?” tanya Irene datar, memotong pembicaraan antara Wennys dan Winan.

Emosi Winan yang awalnya sudah cukup mereda, kini justru kembali membara dengan pertanyaan yang diajukan oleh Irene.

“Apa sih Mi? Siapa yang kabur? Aku cuma pergi sebentar. Yang kabur kan Mami? Kabur dari pertanyaan yang sore tadi aku tanyain?”

“Kamu nggak merasa butuh minta maaf? Seenggaknya sama Mama kamu?” tanya Irene lagi.

“Bukannya Mami ya yang harusnya minta maaf ke Mama? Karena udah bikin Mama sakit hati dan nangisin Mami yang belom tentu masih sayang sama Mama?” balas Winan.

“Winandira! Mami nggak bahas itu sekarang! Mami bahas tentang sikap kamu yang kekanak-kanakan! Sebentar lagi kamu ulang tahun, harusnya kamu makin dewasa! Kamu tau nggak, Mama kamu jauh-jauh kesini karena khawatir sama kamu! Sekarang kamu nggak ada minta maaf sama sekali?! Mami nggak pernah ngajarin kamu kayak gitu, Winandira!” bentak Irene.

Semua orang yang berada di ruangan itu terkejut dengan volume suara Irene yang menggelegar, tak terkecuali dengan Winan yang menjadi subjek utama dalam percakapan tersebut. Saat itu memang bukan pertengkaran pertama antara dirinya dengan Irene, namun baru kali ini Irene membentak dirinya sekencang itu dan hal ini membuat Winan cukup terkejut.

“Bagus, Mami masih inget sebentar lagi aku ulang tahun. Tapi kado yang Mami kasih ke aku apa? Mami hancurin keluarga kita. Aku benci Mami.”

Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Winan. Setelahnya sang putri semata wayang pergi ke kamarnya dan membanting pintu dengan cukup kencang.

Karin yang terjebak dalam keributan keluarga Winan cuma bisa menatap Wennys dan Irene secara bergantian. Ia ragu apakah mengejar Winan dan berusaha menenangkan sahabatnya saat ini adalah pilihan yang tepat, mengingat kedua orang tua Winan ada di apartemen ini.

“Uh, t-tante.. Karin minta maaf karena tadi pergi sama Winan tanpa izin. Karin kira tadi Winan udah bilang, seenggaknya ke t-tante Wennys.” ujar Karin yang mencoba buka suara.

“Kalian tadi kemana?”

“T-tadi cuma muter aja, terus ke pantai yang deket rumah. W-winan kan suka ke pantai, jadi aku mikir kalau dia bisa lebih tenang setelah ke pantai.”

“Irene, udah cukup interogasinya, kasihan Karin. Yang penting mereka berdua pulang dalam keadaan baik.”

“Wen, kamu harus berhenti pampering Winan. Aku setuju, kita harus bersyukur Winan baik-baik aja tapi sikap Winan barusan gak bisa aku tolerir. Besok aku yang selesaikan masalahnya sama Winan, kamu nggak usah ikut campur dulu.” ujar Irene dengan nada yang jauh lebih melunak.

“Oh ya, malam ini kamu nginep aja disini, aku nggak menerima penolakan. Ini udah terlalu larut. Kamu bisa pakai kamar aku.” lanjut Irene pada Wennys, lalu lanjut menatap Karin. “Kamu juga nginep disini malam ini. Sudah terlalu malam, bahaya buat nyetir pulang. Nanti tante yang izin ke mama kamu.”

Photograph

31. Lost

“Winan?” panggil Irene dari pintu apartemen sembari melepas heels yang ia kenakan.

Beberapa detik berselang, Irene tidak mendapatkan jawaban apapun. Seingatnya, tadi Winan tidak izin pergi kemana-mana. Irene sudah hampir mengambil ponselnya untuk menelepon Winan saat matanya melihat sepatu putih milik Winan bertengger dengan rapi di rak sepatu.

“Winan? Kamu dimana?” panggil Irene sekali lagi, berharap kali ini Winan mendengar panggilannya.

Namun masih nihil.

Akhirnya Irene memutuskan untuk berjalan menuju ruang tengah, mencari kehadiran anak semata wayangnya. Sesampainya di ruang tengah, Ia masih tidak melihat kehadiran Winan disana. Bahkan posisi barang-barang yang ada di sofa panjang berwarna hitam itu masih sama seperti saat ia tinggalkan pagi tadi.

Kini hanya ada satu tempat dimana putrinya berada. Irene menoleh ke arah pintu kamar yang berada tepat di seberang pintu kamarnya. Kamar yang kini menjadi kamar milik Winan.

Tiba-tiba Irene merasa gugup. Ia tidak begitu yakin untuk memulai percakapan dengan Winan.

Nyalinya yang tadi sudah mantap untuk menemui Winan kini menciut. Apalagi tadi Wennys sudah memberikan peringatan padanya bahwa Winan kemungkinan besar masih marah padanya.

Irene mengurungkan niatnya untuk langsung bertemu dengan putrinya, kini kakinya justru berbelok berjalan ke arah ruang makan. Ia butuh menenangkan dirinya sejenak, mungkin dengan meneguk segelas wine bisa cukup memberikan ketenangan baginya.

Belum sempat ia membuka wine cellar, ekor matanya melihat dua buah kotak makan yang tersusun rapi di atas meja makan. Rasa penasarannya membawa Irene untuk membuka kotak tersebut dan mendapati ikan gurami bakar serta sayur bening tersaji di dalamnya.

Senyumannya merekah. Mungkin masih ada jalan baginya untuk memperbaiki hubungannya dengan Winan.

Irene melirik jam dinding yang terdapat di ruang makan tersebut.

Masih pukul 18.30.

Ia baru menyadari betapa ‘cepat’ ia pulang hari itu. Percakapannya dengan Wennys serta isi chat dari Winan-lah yang ‘memaksa’ Irene untuk pulang cepat. Sebenarnya chat Winan yang memiliki andil paling besar.

Mungkin Winan memang tidak secara gamblang memintanya untuk segera pulang, tapi Irene merasa bahwa dibalik chat yang terkesan dingin, tersirat keinginan Winan agar Irene cepat pulang dan menemani Winan di tempat yang cukup ‘asing’ bagi putrinya itu.

Irene menutup kembali kotak makan tadi dan menyusunnya seperti sedia kala. Perlahan ia melangkah ke kamar Winan dan berhenti saat ia sampai tepat di depan pintu yang terdapat tempelan glow in the dark bergambarkan bintang.

Ia tertawa sejenak mengingat sejarah dari hiasan tersebut.

Sejak ia pindah kesini, Winan sebenarnya hanya berkunjung ketika ia dipaksa oleh Wennys. Bahkan aturan untuk tinggal satu minggu bersama Wennys dan satu minggu bersama Irene pun adalah aturan yang dibuat oleh Wennys.

Winan harus dibujuk mati-matian oleh Wennys sebelum ia akhirnya luluh. Tetapi ia tetap saja tidak mau memindahkan sebagian barang-barangnya ke apartemen milik Irene. Hampir tidak ada jejak Winan di apartemen Irene.

Namun pada suatu waktu yang lebih tepat ia katakan sebagai kebetulan, Sena, sang terapis sekaligus temannya, berkunjung ke apartemen Irene saat Winan sedang menginap disana. Sebenarnya laki-laki itu hanya ingin mengembalikan payung milik Irene yang waktu itu ia pinjam.

Setelah kunjungan Sena malam itu sikap Winan langsung berubah menjadi dingin, ia melakukan mogok bicara pada Irene. Entah apa yang ada dipikiran Winan, keesokan harinya Winan meminta izin untuk kembali ke rumah mereka, rumah Wennys, untuk mengambil beberapa barangnya. Ia mengklaim bahwa kamar yang ia huni adalah miliknya dan menempelkan hiasan bergambar bintang di pintu kamarnya.

tok! tok!

Irene mengetuk pintu kamar Winan dua kali sebelum ia membuka pintu tersebut. Kekehan pelan keluar dari mulut Irene saat ia melihat Winan yang merebahkan tubuhnya di kasur.

Ia melihat earphone berwarna biru tersemat rapat di kedua telinga Winan. Pantas saja Winan tidak mendengar kedatangannya.

“Kalau Wennys lihat ini, kamu pasti kena omel.” ujar Irene yang tentu saja tidak didengar oleh Winan.

Saat ini Winan masih dengan seragam sekolahnya dan tas ransel yang dibiarkan tergeletak di lantai. Irene pun dapat melihat anak semata wayangnya sibuk bersama gawainya dengan wajah cemberut dan alis yang mengkerut, nyaris bertemu di tengah-tengah.

”Kamu kalau kayak gini mirip Wennys banget, Win.” batin Irene.

Sementara itu, Winan masih sibuk dengan gawai dan chatroom-nya dengan Karin. Ia sama sekali tidak menyadari kehadiran Maminya yang berdiri diambang pintu kamarnya

“Winan, kamu kalau lagi main handphone jangan terlalu serius gitu. Masa Mami pulang kamu nggak dengar? Bahaya, sayang.” ujar Irene. Kali ini ia menepuk kaki Winan.

Winan yang terkejut dengan kehadiran Irene, tanpa sengaja menjatuhkan ponselnya tepat di wajahnya. Ia merintih kesakitan sembari mengusap-usap batang hidungnya yang tertimpa ponsel.

“Mami! Jangan ngagetin dong!”

“Loh, Mami tadi udah panggil nama kamu. Tapi kamu yang nggak dengar Mami. Udah berapa kali diingetin kalau pakai earphone, volume lagunya jangan terlalu kencang. Kamu aja sampai nggak dengar kalau Mami masuk kamar.”

“Ya kan tadi aku kira Mami bakal lembur.”

Irene terdiam.

“Mami kenapa nyari aku?”

“Cuma mau lihat kamu aja.”

“Sekarang udah liat. Terus mau ngapain lagi?” tanya Winan masih dengan nadanya yang jutek.

“Kamu sibuk nggak?”

Winan menggeleng.

“Temenin Mami makan, mau?”

“Itu Winan udah beli makanan buat Mami, tinggal diangetin aja.”

“Iya, Mami tau. Tapi malam ini Mami mau makan bareng Winan, boleh?”

Mata Winan mengerjap beberapa kali.

Aneh.

Irene tidak pernah mengajukan permintaan yang demikian. Pun terakhir kali mereka menyantap hidangan bersama terjadi saat ulang tahun dirinya tahun ini, yang artinya sudah hampir satu tahun yang lalu.

Tawaran Irene hampir ditolak karena ia masih kesal saat mengingat Irene yang meninggalkan Wennys siang tadi di pengadilan. Namun saat manik matanya bertemu dengan iris cokelat tua milik Irene, ia melihat sosok Irene yang dirindukannya.

Winan bangkit dari posisi tiduran ke posisi duduk. Kemudian ia mengangguk ke arah Irene.

“Oke.”

Senyuman mengembang dengan otomatis di bibir Irene. Ternyata memulai percakapan dengan Winan tidak semustahil yang ia bayangkan.

“Mami tunggu di ruang makan ya? Kamu ganti baju dulu, Mami juga ganti baju dulu.”

“Kalau misal aku mau mandi dulu gimana, Mi? Kelamaan nggak?”

It’s fine. Kamu mandi dulu aja, Mami juga mandi kalau gitu.”

“Deal.” jawab Winan dengan senyuman canggung yang ia berikan pada Irene.


Winan dan Irene menghabiskan waktu hampir satu jam untuk mandi dan membereskan barang-barang mereka sebelum keduanya duduk di meja makan. Irene-lah yang lebih dulu duduk disana, ia terlalu bersemangat.

Winan datang dengan hoodie berwarna abu dan sweat pants berwarna senada. Sama seperti Irene, Winan pun bukan tipe yang tahan udara dingin dan akhir-akhir ini kota mereka sering diguyur hujan, sama seperti malam itu.

“Kamu kedinginan?”

“Nggak sih Mi, belum.”

Irene mengangguk.

“Tunggu disitu aja, Winan yang ambil nasinya.” ujar Winan saat Irene hendak bangkit dari tempat duduknya.

Setelah itu tidak ada percakapan yang terjalin diantara keduanya. Winan terlalu fokus dengan ikan bakarnya dan Irene yang terlalu kikuk untuk memulai perbincangan. Satu hal yang menyita perhatian Irene, Winan berulang kali memeriksa ponselnya lalu menghela napas setelah ia melihat layar gawainya itu.

“Kamu nunggu dihubungin Mama kamu?”

Winan menggeleng.

“Karin. Dia nggak jawab chat terakhir aku, padahal dia sendiri gak suka kalau chatnya nggak dibales cepet.” dengus Winan.

Irene mengangguk pelan, sedikit canggung. Ia tidak tahu kira-kira harus bagaimana melanjutkan percakapan dengan Winan.

Apakah ia harus melanjutkan pembicaraan dengan menanyakan alasan kenapa Winan ingin chatnya segera dibalas atau justru ia harus menanyakan hubungan antara Winan dan Karin?

Dari dulu baik Winan dan Irene memang tidak terlalu banyak berbincang-bincang santai. Biasanya Wennys-lah yang lebih vokal dengan Winan sedangkan Irene lebih banyak menjadi pengamat.

Bukan Irene tidak menyayangi Winan, hanya saja ia selalu canggung jika harus mengekspresikan perasaannya dengan lisan. Irene lebih banyak mengekspresikan dirinya melalui perbuatan.

Wennys dan Winan paham betul akan sifat Irene ini. Tetapi hari ini Irene ingin berusaha lebih. Wennys tidak ada disisinya sekarang.

“Memang Karin chat apa? Kenapa kamu kesal gitu mukanya?”

Bibir Winan yang tadi sudah mengerucut, kini semakin mengerucut tajam. Alisnya pun semakin mengkerut. “Karin kayaknya suka orang Mi, tapi nggak mau cerita ke Winan.”

“Oh ya? Kok kamu tahu kalau Karin lagi suka sama seseorang? Dia cerita?”

“Nggak sih Mi, not directly. Karin bilang dia tau rasanya cemburu. Terus pas aku nanya sama siapa, dia nggak mau jawab. Biasanya kalau Karin ngehindar gini, artinya pertanyaanku tepat sasaran.”

Irene terkekeh, “I see, mungkin Karin belum siap cerita aja ke kamu. Jangan dipaksain, lagi pula Mami yakin nanti Karin pasti cerita ke kamu.”

“Gak bisa Mi, Karin tuh persis banget kayak Mami. Kalau nggak dipaksa gak bakal mau cerita.” potong Winan cepat.

“Kamu persis Wennys ya, Win. Kalau udah keras kepala kayak gini susah banget dikasih tau. Ada kalanya kamu harus mengambil satu langkah diam atau bahkan sedikit mundur supaya kamu bisa lihat keadaan orang lain, Win. Nggak semua masalah harus diselesaikan saat itu juga, kasih Karin ruang, okay Winan?”

Jawaban Irene membuat Winan terdiam sejenak, kepalanya mencerna ucapan Maminya barusan.

“Itu salah satu alasannya Mi?”

“Hm? Maksudnya?”

“Alasan Mami ninggalin Mama. Itu alasannya? Menurut Mami, Mama terlalu keras kepala dan Mami butuh ruang? Gitu? Tapi kenapa sampai harus cerai?”

Irene hanya tersenyum simpul. Ia membelai kepala Winan namun sang putri juga mengelak tak kalah cepat. Winan tidak ingin Irene menghindari percakapan ini.

It’s much more complicated than that, Winan

Then makes me understand, Mi. Mami dan Mama selalu mikir Winan masih kecil. No, Mi. Winan udah gede.”

“Winan, malam ini Mami mau habisin waktu sama kamu tapi bukan untuk bahas ini.”

“Kalau Mami mau ngomong sama aku, aku cuma mau bahas masalah ini. Mami itu egois banget tau nggak?”

Irene menaruh sendok dan garpu yang sedari tadi ia genggam. Ia memilih untuk menatap Winan dengan lekat. Irene tahu bahwa Winan akan meledak kapan pun dalam waktu dekat namun ia tidak menyangka bahwa saat itu adalah sekarang.

“Tiap hari aku mikir, dimana yang salah? Tiap hari juga aku selalu berusaha meredam emosiku, Mi. Aku pengen marah tapi nggak tau sama siapa. Mama selalu belain Mami tapi Mami sendiri nggak pernah nunjukin usaha buat bela diri Mami. Yang ada di kepala aku jadinya ya semua ini salah Mami.” lanjut Winan saat ia melihat Irene yang terdiam.

“Marah aja ke Mami, it’s all my fault, Winan.”

“Bukan itu poinnya Mami!” bentak Winan. Perlahan air matanya jatuh membasahi pipinya.

“Mami nggak bisa jelasin ke kamu Winan.”

“Kenapa? Apa karena Mami selingkuh sama si Sena pebinor itu?!” serang Winan

“Winan! Stop! Mami nggak mau kamu lanjut ngomong kalau pakai emosi kayak gini. Mami dan Mama kamu nggak pernah didik kamu buat jadi kasar kayak gini.”

See? Mami selalu ngambil pihak yang nggak seharusnya Mami bela.”

“Winan, Mami nggak memihak sama siapapun. Permintaan Mami sangat simpel, Mami cuma mau kamu nggak emosi dulu.”

“Okay, kalau aku udah nggak emosi, apa Mami mau bahas ini semua? Apa Mami mau jelasin ke aku? Nggak kan? Satu-satunya cara supaya aku dapet perhatian Mami ya dengan kayak gini Mi!”

Decitan suara kursi akibat Winan berdiri secara tiba-tiba menambah efek pertengkaran malam itu. Winan mengambil piringnya dengan kasar kemudian ia letakkan dengan separuh dibanting ke tempat cuci piring.

“Aku cuma pengen kita utuh kayak dulu, Mi.”

Photograph

9. Terakhir kalinya

Winandira menolehkan kepalanya kesana dan kemari, berusaha mencari keberadaan orang tuanya. Dirinya penasaran apakah hari ini kedua orang tuanya benar-benar akan datang?

Winan yang duduk di barisan kursi paling depan merasakan sebuah tepukan di pundaknya. Matanya bertemu dengan mata Karin, sahabatnya sejak kecil yang entah bagaimana bisa, selalu berakhir satu sekolah dan satu kelas dengannya. Karin duduk di barisan kedua, sedikit serong kiri dari posisi Winan duduk.

“Tenang Win, nyokap gue juga belum dateng.” ujar Karin mencoba menenangkan Winan.

“Gak bisa Rin, gue beneran deg-degan ini. Nyokap gue tadi pagi gak bilang apa-apa, cuma nanya ada dresscode khusus apa nggak, udah gitu doang.” jawab Winan yang mengingat-ingat ucapan Irene pagi tadi.

“Kaki lo diem kek, gue ngeliatnya risih banget. Lama-lama gue bilangin tante Wennys ya supaya lo disuruh les drum.” tambah Karin yang melihat kebiasaan Winan kala sahabatnya itu gugup. Kakinya akan bergerak tak karuan, seperti seorang drummer yang menginjak pedal bass drum berulang kali.

Karin memilih untuk duduk dibangku yang berada tepat di belakang Winan, ia akan duduk disana sampai orang tua Winan datang atau paling tidak sampai penghuni bangku yang ia tempati datang.

“Nyokap lo jadi dateng dua-duanya Win?”

Hope so. Lo sendiri yang dateng siapa?”

“Nyokap gue. Bokap sibuk, kayak biasa.” jawab Karin santai, tangannya merogoh saku seragam sekolah yang ia kenakan kemudian mengambil ponsel miliknya.

Karin secara diam-diam mengambil foto Winan. Biasanya ia lebih suka mengambil foto dengan kamera profesional miliknya, tapi untuk urusan foto candid Karin akan mengandalkan ponsel miliknya.

“Liat deh Win, jelek banget.”

Winan melirik ke arah layar ponsel milik Karin yang disodorkan kepadanya. Matanya membulat kala ia menyadari bahwa foto yang tersaji adalah foto dirinya, barusan, dengan wajah yang ditekuk.

“Mirip daisy duck gak sih?” goda Karin lagi.

“Karin! Apus gak?!”

“Nggak mau.”

“Kariiiin!”

“Nggak ya Win. Ini harta karun gue, yang sewaktu-waktu bisa gue pake buat black mail lo.” jawab Karin sambil tertawa.

Winan berusaha mengambil ponsel milik Karin namun usahanya sia-sia karena Karin mengangkat ponselnya setinggi mungkin, yang tentu saja tidak bisa digapai oleh Winan.

“Karin Ayu! Apus!”

“Nggak mau Winandira.” jawab Karin masih sambil tertawa-tawa.

Tawa karin langsung terhenti tatkala ia melihat sosok Irene berjalan ke arah Winan dan dirinya berada. Jujur saja, diantara kedua orang tua Winan, Karin paling segan dengan Irene. Bisa dibilang ia terintimidasi oleh kehadiran Irene.

“P-pagi tante.”

Mendengar sapaan tersebut, Winan dengan segera memutar tubuhnya, menghadap ke arah Irene. Ia sempat menahan napasnya untuk beberapa saat, berharap hari itu Irene datang bersama Wennys. Namun harapannya hanyalah angan karena saat itu Irene datang seorang diri.

“Oh, pagi Karin.” Irene mengangguk pelan.

“Mami sendirian aja?”

“Kamu maunya mami sama siapa?”

Winan terdiam.

Akhirnya Winan hanya menggeleng pelan, kemudian menarik tangan Irene untuk duduk disamping kursi yang tadi ia tempati.

“Makasih mi udah dateng.”

“Emm, Win gue balik ke kursi gue deh. Nyokap gue juga bentar lagi sampe.” Karin kemudian mengangguk pelan ke arah Irene, “Saya duduk situ ya tante.”


Senyuman Winan mengembang dengan indah ketika matanya melihat sosok wanita yang sangat ia kenali. Seharusnya Winan kesal karena mama-nya tidak bisa hadir tepat waktu, tapi yang paling penting saat itu adalah kehadiran kedua orang tuanya. Wennys dengan balutan dress berwarna biru bermotif floral melambaikan tangannya ke arah Winan yang melangkah keluar dari aula sekolah tersebut.

“Congratulations baby!”

Biasanya Winan akan melayangkan protes pada Mamanya jika ia dipanggil baby secara terang-terangan di depan umum. Hey saat ini ia sudah menginjak kelas 1 SMA, siapa yang masih dipanggil baby oleh orang tuanya di umurnya saat ini? Hampir tidak ada.

“Mama dateng?!”

“Kan Mama udah janji.” tangan Wennys menepuk-nepuk pelan pipi Winan.

Entah mengapa saat itu Winan rasanya ingin menangis. Setelah sekian lama, akhirnya di hari ini ia bisa melihat kedua orang tuanya hadir disaat yang bersamaan hanya untuk dirinya. Mungkin Winan dua tahun yang lalu tidak akan menganggap hal ini sebagai sebuah kado yang sangat berharga, namun Winan yang sekarang benar-benar bersyukur dari lubuk hatinya yang terdalam.

Winan memberikan buket bunga yang ia dapatkan di podium tadi kepada Irene, kemudian piala hasil olimpiadenya ia serahkan pada Wennys. Kini dengan kedua tangannya yang tidak memegang benda apapun, Winan mengalungkan tangannya pada lengan Irene dan Wennys.

“Aku mau foto. Sekarang kita cari Karin.”

Mendengar ucapan Winan, kedua wanita yang akan berstatus mantan istri tersebut hanya bisa terdiam. Wennys sempat melemparkan pandangannya pada Irene, meminta persetujuan istrinya tersebut yang hanya dibalas anggukan kaku.

Ya, keduanya sudah berjanji.

Untuk Winandira, terakhir kalinya.

Queendom Restaurant

93. No Fun!

“Minjeong!”

Suara khas milik Mami Joohyun menggema dengan jelas dari dalam kamar mandi dan Minjeong paham betul arti dari panggilan barusan.

waktunya untuk mandi pagi

“But mommy I’m still watching this!” protes Minjeong yang masih duduk dengan nyaman di atas kasur milik Joohyun, masih dengan piyama couple yang juga dikenakan oleh Joohyun saat ini.

Mendengar jawaban Minjeong, Joohyun mengintip dari celah pintu kamar mandi dan menatap anak semata wayangnya dengan tatapan datar, “Kamu bilang apa barusan?”

Minjeong menggeleng cepat dan menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya. Kemudian ia beringsut masuk ke dalam selimut, berharap dirinya dapat bersembunyi dari sang Ibu.

Joohyun bersumpah ia harus mati-matian menahan tawanya karena saat itu ia sedang berada dalam mode strict mommy, atau kalau kata Minjeong adalah mode ‘No Fun Mami’.

Sang Ibu menghela napasnya singkat, ia buru-buru menyambar ikat rambut yang ada di wastafel kemudian mengikat rambutnya dengan cepat sembari berjalan ke arah kasur yang ditempati oleh Minjeong.

Sesampainya di sebelah kasur, Joohyun mendapati sebuah gumpalan di bawah selimut yang meliuk ke kanan dan ke kiri. Ia menggigit bibir bawahnya dan mencoba untuk menutup matanya sejenak, ia benar-benar kesulitan untuk menahan tawanya saat ini.

“Minjeong, Mami hitung sampai tiga kalau Minjeong nggak keluar dari balik selimut nanti Mami sendiri yang bakal ngeluarin Minjeong.”

“Mami!!”

“Satu…” ujar Joohyun yang tidak menghiraukan protes dari Minjeong.

“Noooo Mami!!”

“Dua…” Joohyun tetap menghitung mundur, sembari ia naik ke kasur.

“Ti…..”

Tepat sebelum Joohyun selesai berhitung, Minjeong dengan cepat membuka balutan selimut yang menutupi dirinya dengan wajah cemberut.

“Mami no fun.”

Melihat Minjeong yang pasrah, ditambah wajah cemberut yang membuat pipinya semakin terlihat chubby, mau tidak mau membuat hati Joohyun tersentuh. Memang sebenarnya peraturan di rumah ini khusus untuk hari Minggu adalah hari dimana Joohyun dan Minjeong bebas untuk bermalas-malasan, kecuali jika ada kasus khusus.

Mommy no fun?” tantang Joohyun yang hanya dibalas dengan anggukan kepala.

“Minjeong bakalan nyesel udah bilang Mami nggak asik.” ujar Joohyun lagi.

“Lebih asik Aunty Soo!”

Joohyun memutar kedua bola matanya.

Sooyoung sedikit banyak memang mempengaruhi hidup Minjeong, jangan salah sangka Joohyun bersyukur atas kehadiran sahabatnya di kehidupan Minjeong. Namun ia seringkali kesal ketika Minjeong meniru sifat-sifat buruk yang melekat pada diri Sooyoung dan kali ini yang Minjeong maksud adalah mandi pagi.

Sahabatnya itu pernah berkata pada Minjeong bahwa ia tidak perlu terlalu sering mandi untuk menghemat air dan tagihannya untuk membantu Mami Joohyun. Walaupun Minjeong tidak paham tapi ia tahu bahwa kata-kata ‘hemat’ dan ‘membantu Mami Joohyun’ sudah cukup menarik perhatian Minjeong.

“Oh ya lebih asik Aunty Soo?” tantang Joohyun lagi.

“Iya!”

Joohyun langsung mendekap tubuh mungil Minjeong dan menggelitiki pinggang anak perempuannya itu. Kaki Joohyun mengunci kaki Minjeong sehingga gadis cilik itu benar-benar mati langkah.

“hahahaha Mami udaah!”

“Nggak. Ini hukuman karena tadi bilang lebih asik Aunty Soo.” jawab Joohyun dengan tangannya yang masih menggelitiki tubuh Minjeong.

“Mami!! Mami!!”

“Mami apa?”

“A-.... hahahahaha Mami!!”

Joohyun berhenti sejenak.

“Mami asik! Mami asik!!” tangan mungil Minjeong buru-buru menggenggam erat tangan Joohyun yang sudah pasti jauh lebih besar daripada tangannya.

Tepat setelah Minjeong menyelesaikan kalimatnya, Joohyun menghujani wajah Minjeong dengan kecupan-kecupan kecil di pipi, hidung, kening, dan bibirnya. Bahkan Joohyun sempat menggigit pelan pipi anak kesayangannya itu.

“Mami!! Geli!!” protes Minjeong lagi.

“Biarin aja, Mami gemes banget sama Minjeong.” ujar Joohyun yang kini masih menciumi wajah Minjeong.

Perlahan ia berhenti, namun kini beralih mendekap tubuh mungil itu dengan hangat. Kamar yang tadinya gegap gempita karena suara teriakan Minjeong dan Joohyun, kini berubah menjadi sunyi senyap. Hanya terdengar suara sayup-sayup dari kartun yang tadi ditonton oleh Minjeong.

“Mami?”

“Hm?”

“Kenapa tiba-tiba diem?”

“Nggak apa-apa. Mami kangen banget sama Minjeong. Minjeong tau kan kalau Mami sayang Minjeong banget-banget?” tanya Joohyun.

Gadis cilik itu mengangguk mantap. Ia menyembunyikan wajahnya di celah leher Joohyun yang merupakan tempat favorit Minjeong karena disanalah ia bisa menghirup aroma tubuh Joohyun yang sangat Minjeong gemari.

”Jangan pernah tinggalin Mami ya sayang. Mami sayang banget sama Minjeong. God please let me take care of her as long as I can.” batin Joohyun.

Ting! Tong! Ting! Tong!

“Mami pesen makanan?” tanya Minjeong saat mendengar suara bel apartemen mereka.

“Nggak, itu Seungwan. Okay, let’s go Minjeong, it’s time to get up.”

Joohyun bangkit dari posisinya kemudian mengangkat Minjeong dalam pelukannya. Ia berjalan ke arah pintu masuk sembari menggendong anak semata wayangnya.

“Wannie kesini?” tanya Minjeong yang melingkarkan lengannya di leher Joohyun.

“Iya sayang.”

“Hari ini kita bikin kim lagi??”

“Nanti kalau Minjeong mau bikin es krim lagi, coba bilang ke Wannie langsung ya.”

“Mami?”

“Hm?” Joohyun menatap Minjeong, bertanya kepada anaknya melalui netra mereka berdua.

“Mami ikut kan bikin kim?”

“Nggak bisa sayang, hari ini Minjeong bikin es krim berdua sama Wannie aja ya?”

Mendengar jawaban dari Maminya, Minjeong langsung mendengus kesal. Ia menyembunyikan wajahnya dari pandangan Joohyun sebagai aksi ‘mogok’-nya.

Joohyun hanya bisa memeluk Minjeong dengan erat karena ia pun tahu, kali ini kesalahan ada pada dirinya yang tidak bisa menepati janjinya pada Minjeong. Hari minggu adalah harinya Mami Joohyun dan Minjeong.

Tangan kanan Joohyun mengelus puncak kepala Minjeong dan membelai rambut hitam legam dengan wangi stroberi yang masih bisa Joohyun hirup walau agak samar.

“I love you so much Minjeong, maaf ya Mami hari ini harus pergi. Please janji sama Mami kamu harus nurut sama Wannie ya?” bisik Joohyun diakhiri dengan kecupan lembut di kening Minjeong.

Ting! Tong! Ting! Tong!

Bel apartemen berbunyi sekali lagi, memecah kesunyian dan menghentikan interaksi antara ibu dan anak tersebut.

Joohyun dan Minjeong yang sedari tadi sudah berdiri tidak jauh dari pintu masuk, kini melangkah ke sumber suara dan membukakan pintu bagi Seungwan.

“Hei!” sapa Seungwan dengan penuh semangat ketika ia melihat Joohyun yang membukakan pintu baginya, masih dengan setelan piyama berwarna pink motif kelinci.

“Oh Minjeongieee!! Morning princess!” lanjut Seungwan namun tak mendapatkan balasan apapun dari Minjeong. Gadis cilik itu justru semakin melesakkan wajahnya di celah leher Joohyun.

Seungwan menatap Joohyun keheranan.

“Lagi ngambek?” tanya Seungwan yang berbisik, takut jika Minjeong mendengar pertanyaannya.

Joohyun mengangguk sembari mempersilakan Seungwan memasuki istana kecil yang disinggahinya dan Minjeong.

Kala itu merupakan kesekian kalinya Seungwan bertamu, namun atmosfir yang ia rasakan masih sama.

It feels like home.

Seungwan mengekor di belakang Joohyun, ia melihat Minjeong yang sesekali berusaha mengintip ke arahnya namun dengan sengaja tidak ia hiraukan. Ia tahu Minjeong butuh ruang pribadinya pagi ini. Apalagi saat ini suasana hatinya memburuk, setelah mengetahui bahwa Mami-nya harus meninggalkan dirinya di rumah dengan orang asing.

“Maaf ya masih berantakan. Aku belum sempat beres-beres.” Joohyun tertawa renyah, sedikit malu karena rumahnya masih berantakan pagi itu.

Sebenarnya menurut Seungwan, apa yang ia lihat jauh dari kata berantakan. Memang di ruang tengah sekaligus ruang bermain Minjeong masih terlihat mainan yang berserakan, namun selebihnya keadaan rumah itu sangat rapi.

“No, you did a good job to keep your house clean.”

“Nggak juga. Nih, lihat.” tawa Joohyun saat menunjukkan sepasang kaos kaki yang tergeletak di dekat sofa hitam di ruang tengah.

“Oke, minus itu.” balas Seungwan yang ikut tertawa.

Joohyun mengambil kaos kaki tersebut dan mempersilakan Seungwan untuk duduk.

“Kamu tunggu sini gapapa ya? Aku belum sempet mandi, Minjeong juga.”

“Okay, aku tunggu sini.”

Tangan Joohyun menyerahkan remot televisi kepada Seungwan, “Great, nih make yourself at home. Terserah mau nonton apa.”

Seungwan mengangguk.

Selepasnya Joohyun bergegas masuk ke kamar tidurnya bersama dengan Minjeong yang masih melekat seperti anak koala.

Mata Seungwan mengedar ke seisi apartemen.

Tiba-tiba ia mengingat ucapan Joohyun di mobil saat mengantar pulang Joohyun dan Minjeong dari rumah sakit. Tidak peduli apapun bangunannya, yang paling penting tempat itu nyaman untuk dihuni bersama keluarga.

“Keluarga ya?” batin Seungwan.

Lagi-lagi ia dibuat takjub oleh Joohyun, orang tua tunggal dan wanita karir yang masih bisa mengatur dan membagi waktunya sebisa mungkin bagi pekerjaan dan Minjeong.

Kini mata Seungwan jatuh pada meja makan dan dapur yang masih bersih, tanda Joohyun belum memasak apapun hari itu.

“Let's make yourself useful, Seungwan.”