youngkimbaeson

“We are all someone's.....” (part 5)

Sepasang kekasih itu kini berada di supermarket langganan Wendy. Mereka berdua ‘terpaksa’ mampir ke supermarket untuk membeli titipan Nyonya Bae. Sebenarnya Wendy sudah memprediksi hal itu, mengingat setiap mereka pulang ke kediaman keluarga Bae, pasti Nyonya Bae akan mengajaknya masak atau baking.

Lokasi supermarket itu cukup jauh dari apartemen mereka namun searah menuju jalan ke rumah keluarga Bae. Menurut sang solois, kompleks di sekitar supermarket itu hanya dihuni oleh orang-orang yang sudah berumur lanjut ataupun yang sudah berpenghasilan mapan, jadi risiko untuk bertemu orang yang tidak diinginkan relatif lebih rendah.

Rumit memang bagi mereka jika ingin pergi berdua di tempat-tempat umum, banyak yang harus mereka pertimbangkan. Terutama karena pekerjaan Wendy dan hubungan mereka berdua yang belum diketahui oleh banyak orang.

Pernah suatu saat ketika mereka sedang membeli kebutuhan bulanan di supermarket ini, tiba-tiba Irene tertawa sendiri dan saat ditanyai oleh Wendy, jawabannya simpel ’Nggak apa-apa, saya cuma bangga aja sama diri saya sendiri. Bayangin orang-orang ngira kamu masih single tapi sebenernya kamu aja udah mau nikah sama saya.’

Sejak mereka memilih untuk memulai hubungan mereka dari awal, keduanya memang sering sekali pergi kencan berdua. Dulu mereka tidak terlalu sering menunjukkan afeksi di tempat umum, namun sejak that wonderful night keduanya berubah seratus delapan puluh derajat menjadi lebih clingy and touchy.

Hal ini yang seringkali membuat Minjeong maupun Sam sakit kepala. Baik Irene maupun Wendy harus sering-sering diingatkan untuk mengurangi interaksi mereka di muka publik. Kalaupun mereka ingin pergi kencan, mereka harus acting layaknya seorang teman.

Sebenarnya sudah beberapa kali hubungan Irene dan Wendy tercium oleh media ataupun terlihat oleh fans, namun keduanya tetap diam. Tidak memberikan tanggapan apapun. Tentu saja Irene dan Nyonya Do yang lebih banyak bekerja di belakang layar untuk mengurus media-media itu, tanpa sepengetahuan Wendy. Namun sejak pesta Halloween dan stunt that she pulled, Wendy menjadi lebih sadar bahwa ia pun harus mengurangi interaksinya dengan Irene.

Wendy harus berterima kasih sekali lagi pada Sam dan Minjeong yang bisa menangani tingkahnya itu dengan sangat rapi. Bahkan sang asisten pribadi Irene itu menggagas suatu ide karena ia tahu bahwa baik Irene maupun Wendy tetap saja akan sering pergi bersama di depan publik. Baik untuk kencan atau hanya sekedar pergi untuk membeli kebutuhan sehari-hari mereka.

Keesokan hari setelah pesta Halloween, Minjeong berinisiatif untuk ‘menggunakan’ Taeyeon dan Yerim sebagai kamuflase. Ia menyuruh keempatnya untuk ‘jalan-jalan’ dan meminta Taeyeon serta Wendy untuk memposting foto saat keempatnya pergi bersama.

”Semua juga tau kalau Kak Taeyeon itu deket sama Kak Wendy, secara kan satu agensi. Plus Kak Taeyeon juga yang punya agensinya. Terus semua orang juga tau kalo Kak Yerim itu social butterfly and happened to be one of Kak Wendy’s close best friend. Cuma Kak Irene aja yang nggak pernah keliatan sama Kak Wendy. Jadi kalau tiba-tiba ada foto Kak Irene sama Kak Wendy berduaan, orang-orang pasti langsung curiga. So, we need to slowly introduce Kak Irene as your circle Kak.”

Begitu kira-kira ucapan Minjeong yang disetujui oleh Sam dan Taeyeon. Sehingga sejak saat itu seringkali Taeyeon, Wendy, ataupun Yerim memposting kebersamaan Irene dan Wendy dengan alih-alih pertemanan.

“Tinggal kurang cumi sama crab stick.” ujar Wendy saat melihat daftar belanjaan yang dikirimkan oleh Nyonya Bae kepadanya.

Sang solois menoleh ke arah Irene saat ia tidak mendapatkan respon. Ia tahu Irene memang tidak banyak berbicara saat berada di tempat umum, namun rasanya hari ini Irene terlihat berbeda, jauh lebih diam.

“Babe…” bisik Seungwan setelah ia memastikan bahwa tidak ada siapapun di dekat mereka. “Kamu sakit?”

Irene terkejut saat tangan Wendy menyentuh punggung tangannya yang saat ini sedang mendorong troli belanjaan. Badannya terasa sangat pegal dan kepalanya mulai pusing, ditambah ia merasa sedikit nyeri di perut bagian bawah. Namun Irene tidak ingin membuat Wendy khawatir karena tunangannya itu bisa berubah menjadi super cerewet kalau sudah masalah kesehatan. Apalagi akhir-akhir ini kondisi tubuh Irene memang sering drop.

Sang CEO menggelengkan kepalanya dan menepuk pelan tangan Wendy untuk meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Ia tersenyum kemudian menoleh ke kanan dan kiri, memeriksa apakah di sekitar lorong tempat mereka berada sekarang ada orang lain, lalu Irene berbisik pelan di telinga Wendy, “All good. Just tired, I wanna cuddle with you.”

Wajah Wendy memerah saat ia merasakan hembusan napas Irene mengenai telinganya. Sontak Irene yang melihat perubahan ekspresi di wajah Wendy tertawa lepas.

“Kepala kamu mikirin apa sih? Saya kan cuma bilang pengen meluk kamu sambil tiduran aja.” goda Irene.

Secara refleks tangan Wendy mencubit pinggang Irene. “Nggak usah mulai deh. Aku tuh tau ya maksud kamu kemana.”

Irene tidak menggubris peringatan Wendy, ia justru memilih untuk membalas perbuatan Wendy dengan menggelitiki pinggang Wendy. Tiba-tiba ia mendapat energi untuk menjahili Wendy.

“Hyuuun! Ih geli tau! Jangan gini ah, nanti ada yang liat!” bisik Wendy disela-sela Irene yang menggelitiki pinggangnya.

Nampaknya ucapan Wendy cukup mujarab karena Irene langsung berhenti. Ia menarik tangannya dari pinggang Wendy. Namun tak lama setelahnya Wendy mencium singkat pipi Irene.

“Jangan marah yaa… Aku bukan nggak mau kamu sentuh, cuma kan kasian Minjeong sama Sam kalo amit-amit ada yang liat.”

“Iya, nggak marah kok saya. Kamu nggemesin aja tadi. Kurang beli apa lagi kita?”

“Cumi sama crab stick. Kamu nih nggak dengerin aku ya tadi?”

“Hehe maaf ya? You distract me. More like your fashion distracts me.”

Wendy memutar bola matanya. Bukan kali pertama Irene menyuarakan hal tersebut. Shoulderless dan Backless dress adalah dua jenis pakaian yang sering membuat Irene salah fokus, malam itu Wendy mengenakan shoulderless dress berwarna hitam yang dipadukan dengan celana jeans yang cukup ketat. Another distraction as per Irene’s words.

“Hey, I see you rolling your eyes at me. Ini saya serius ya, please stop being seductive, especially pas lagi pergi ke tempat umum kayak gini.” ujar Irene sembari mendorong troli belanjaan mereka.

“This style is totally normal tau. Kamu aja tuh yang otaknya ngeres.”

Irene tertawa, “Says the one who banned me from wearing sleeveless outfit or crop top.”

“Beda tau! Aku tuh tau kamu mau pamer lengan sama abs kamu kan.” cibir Wendy yang memicingkan matanya ke arah Irene.

“Yaudah kan kita impas.” tawa Irene lagi.

Wendy hendak membalas ucapan Irene namun seseorang tak dikenal mendekati mereka berdua dengan tatapan yang sangat Wendy kenali.

“Wendy?! Oh my god!! Ini beneran kita ketemu Wendy Son?!”

Wendy’s fans.

Sang penggemar yang masih terlalu gembira karena bertemu dengan idolanya tidak menyadari kehadiran Irene disebelah Wendy. Kesempatan ini Irene gunakan untuk berjalan ke arah deretan lemari pendingin tempat ia harus membeli cumi dan crab stick titipan bundanya. Ia tahu setidaknya Wendy akan menghabiskan waktu sepuluh menit untuk berbincang dengan penggemarnya.

Bukan kali pertama ia dan Wendy bertemu dengan penggemar saat mereka sedang pergi bersama. Awalnya mereka sempat canggung, namun semenjak rencana yang dijalankan oleh Minjeong, keduanya menjadi lebih rileks.

Tepat seperti tebakan Irene, saat ia kembali mendatangi Wendy, sang tunangan masih asik berbincang dengan 2 orang penggemarnya. Mereka terlihat sangat bersemangat dengan Wendy yang juga tidak kalah bersemangat menanggapi pembicaraan. Irene bisa merasakan bahwa pembicaraan yang terjadi adalah dua arah dan disaat seperti inilah Irene selalu menyadari bahwa Wendy benar-benar mencintai pekerjaannya di bidang entertain.

Sang penggemar yang tadi pertama kali menyadari kehadiran Wendy kini juga menyadari kehadiran Irene. Tadinya ia sudah lebih tenang namun saat menyadari bahwa ia juga berhadapan dengan Irene, tiba-tiba mode fangirl-nya menjadi on kembali.

“OH MY GOD!”

Irene tertawa. Sebenarnya bingung juga harus bereaksi seperti apa.

“Halo?”

“Oh my god, ini beneran?”

Irene dan Wendy saling melempar pandang, berusaha menebak arah percakapan.

“Aku kira Wendy Son sama Irene Bae cuma main bareng kalo ada Taeyeon aja!”

Irene tersenyum, “Oh, nggak kok. Kami juga sering main bareng, sama Yerim juga.” ujar Irene santai.

“Kak Wendy, jangan ketawa ya? Jadi tuh ada orang-orang yang bilang kalian kelihatan serasi gitu! Nah aku termasuk yang setuju!” celetuk penggemar lainnya.

“Kalian lucu banget ya. Kelas berapa? Atau udah kuliah?” tanya Irene.

“Kuliah kak!! Skripsian nih.” jawab sang penggemar yang kemudian berakting seolah-olah menangis.

“Semangat ya kuliahnya.”

Wendy dalam hati tertawa, ia paham betul Irene tiba-tiba menjadi banyak bicara karena tadi penggemarnya itu memuji bahwa dirinya dan Irene terlihat serasi. ”Dasar!”

“Kak, aku harus balik lagi ke dorm aku. Soalnya kita berdua lagi ngerjain tugas juga. Boleh minta foto nggak?”

Wendy mengangguk lalu Irene menawarkan diri untuk menjadi fotografer namun langsung ditolak oleh sang penggemar.

“Boleh nggak kita berdua gantian foto bareng Kak Wendy sama Kak Irene?” pinta sang penggemar.

Wendy sempat terkejut karena ini kali pertama seorang penggemar meminta untuk berfoto bersama dirinya dan Irene. Ia pun tidak tahu apakah Irene merasa nyaman dengan permintaan seperti itu karena Irene sendiri bukan tipe yang suka berfoto walau bersama dirinya.

Namun di luar dugaan. Irene menyanggupi permintaan tersebut.

“Tapi syaratnya kalian nggak boleh upload dimana pun ya fotonya. Disimpan buat kalian aja. Ini jadi rahasia kita berempat ya?”

Kedua fangirl itupun bersorak kegirangan dan berjanji tidak akan mengunggah foto mereka kemanapun.

Setelah sesi foto selesai, Wendy memberikan sedikit hadiah tanda tangan bagi kedua penggemarnya itu.

“Kalian tadi bilang masih kuliah ya?” tanya Irene sembari menunggu Wendy yang sedang menanda-tangani kertas putih bergaris.

“Iya kak.”

“Nih, saya kasih hadiah ya. Anggap aja penyemangat.” ujar Irene yang kemudian memberikan beberapa lembar uang kertas pada kedua gadis tersebut. “Jangan dilihat nominalnya, tapi niat saya aja ya? Saya mau ngajak kalian makan malam bareng tapi ini udah kemaleman. Jadi nanti kalian order makan malam sendiri aja ya? Saya juga pas masih kuliah kalau ditraktir makan pasti seneng banget.”

Lagi-lagi kedua gadis itu melompat kegirangan, kemudian menyampaikan pesan terima kasih pada Irene.

“Kamu tuh ya, gampang banget dijilat.” bisik Wendy saat mereka berdua berjalan menuju kasir setelah berpisah dengan kedua penggemar tadi.

“Huh?”

“Itu tadi kamu jadi cerewet banget, terus mau difoto, pake segala traktir fans aku, itu karena mereka bilang kalo kita serasi kan?”

Irene tertawa, “Well, itu salah satu alasannya. Tapi bukan itu sih alasan utama saya.”

“Apa coba? Aku mau denger.”

“The relationship between you and your fans, it’s something mutual. They like you and support you, then you feel so happy and want to repay their kindness. It’s like a cycle. Saya liat betapa senang kamu tadi waktu ngobrol sama fans kamu, jadi saya mau nunjukin rasa terima kasih saya ke fans kamu. Ya terus kayak yang tadi saya bilang, niat saya cuma mau bikin mereka seneng karena ditraktir makan.”

“We are all someone’s... Like you are their idols, their role models and they’re your motivation. Like I’m your significant other and so do you. It’s only natural for me to appreciate someone who motivates you to keep going and making music.” tambah Irene yang menjawab dengan santai.

Irene terus mendorong troli mereka dengan santai sementara itu ucapannya justru sangat membekas bagi Wendy.

OPPOSITE ATTRACTS (part 2)

Irene tiba di ‘rumah kecil’ mereka lebih cepat dari yang dijanjikan. Dari jauh sudah nampak tower apartemen yang sudah hampir satu tahun ini ia huni bersama Wendy.

Ia kembali memeriksa chat room antara dirinya dan Wendy, masih sama. Chat terakhir darinya masih belum mendapatkan balasan.

“Pak, hari ini Seungwan pergi nggak?” tanya Irene pada driver pribadinya yang selalu standby menunggu arahan darinya yang juga sesekali ia minta standby untuk mengantar jemput Wendy kalau-kalau sang pujaan hati butuh kendaraan pribadi.

“Hari ini pergi sama Ibu, non. Tadi nggak ketemu di kantor?”

“Hah? Emang tadi ke kantor?”

“Iya non. Tadi Non Seungwan sama Ibu ke kantor.”

Irene mengerutkan alisnya, ia tidak mempermasalahkan Wendy pergi tanpa mengabarinya, walaupun memang ia agak gemas juga. Wendy sudah janji akan selalu mengabarinya kemanapun ia pergi namun karena kali ini Wendy pergi bersama Bundanya, setidaknya hati Irene lebih tenang.

Masalahnya, ia sama sekali tidak tahu kalau Wendy mampir ke kantor. Mereka bahkan tidak membicarakan hal itu sama sekali.

“Lama tadi pak? Di kantornya?”

“Nggak sih non. Tadi ketemu Bapak, terus abis itu pergi makan siang sama bapak.”

“Kemana pak?”

“Itu non di tempat langganan bapak sama ibu.”

Tak bisa dipungkiri, Irene merasa bingung. Ia berusaha berpikir keras, kira-kira apa yang membuat suasana hati Wendy seburuk ini. Apakah Wendy melihat sesuatu di kantornya? Seingatnya ia tidak melakukan sesuatu di luar kebiasaannya. Atau terjadi sesuatu saat makan siang? Namun rasanya tidak mungkin, mengingat Wendy hanya makan bersama Ayah dan Bundanya.

Setibanya Irene di apartemen mereka, ia masih berpikir keras apa penyebab suasana hati Wendy yang tampaknya sedang buruk.

”Mampus gue, ini kenapa anak orang. Apa gue tanya Seulgi aja ya biasanya Sooyoung kalo ngambek kenapa?” batin Irene.

Mata Irene bergerak kesana kemari saat menemukan apartemennya itu sunyi senyap. Hanya ada suara sayup-sayup dari ruang tengah.

“Seungwan?” panggil Irene sembari berjalan ke arah suara.

Ia tertawa saat menemukan Wendy terlelap di sofa ruang tengah dengan posisi miring, bertumpu pada lengan kanannya sedangkan tangan kirinya meringkuk tepat di depan dada dengan posisi yg mengepal dan wajah yang cemberut.

Ah, kesayangannya sedang badmood.

”So cute.” ujar Irene pada dirinya sendiri.

Sang CEO duduk di lantai dan mensejajarkan dirinya dengan wajah Wendy. Ia mengelus kepala Wendy kemudian mencium pipinya pelan. Tadinya ia ingin mencolek-colek pipi Wendy, namun Irene yakin kalau ia melakukan itu yang ada Wendy bisa tambah marah.

“Bangun dong, saya udah di rumah nih.” bisik Irene.

Ia tersenyum saat melihat Wendy mengusap matanya beberapa kali sebelum ia menyadari bahwa saat ini Irene sudah ada di hadapannya.

“Halo” sapa Irene yang kemudian diikuti dengan kecupan singkat di bibir Wendy.

“Kamu ketiduran?” sambung Irene.

Wendy menganggukan kepalanya.

“Nungguin saya?”

“Nggak, nungguin tetangga.” jawab Wendy setengah mendengus.

Irene terbahak saat mendengar jawaban ketus dari Wendy. Apalagi saat ia melihat bahwa Wendy benar-benar kesal karena Irene menertawakan dirinya.

“Kamu nih kenapa?” tanya Irene yang masih penasaran.

Dahi Wendy mengkerut, alisnya hampir menyatu di tengah. “Aku kesel.”

Kalau boleh jujur, sebenarnya saat ini ia lelah sekali dan ingin segera beristirahat. Namun melihat Wendy yang uring-uringan seperti ini membuat Irene sangat penasaran. Jarang sekali Wendy menunjukkan sifat rewelnya, apalagi sampai merajuk. Biasanya, justru Irene yang terlihat ‘rewel’, sedangkan Wendy selalu terlihat cool.

“Mau peluk nggak?” tanya Irene dengan posisi lengan yang terbuka lebar, mempersilakan Wendy untuk memeluk dirinya.

Melihat tidak adanya pergerakan dari Wendy, akhirnya Irene mengambil inisiatif untuk memeluk Wendy dan menggoyangkan badan mereka ke kanan dan ke kiri.

“Kamu aneh banget, mau saya peluk padahal saya baru pulang kantor. Biasanya langsung nyuruh saya mandi.” goda Irene.

“Kalo cerewet aku lepas nih!”

“Yaudah, mau di lepas aja?”

“Bentar duluu iiiih!!”

Wendy langsung mengeratkan pelukan mereka saat ia merasakan Irene hendak menarik tubuhnya. Ia mendekap tubuh Irene dengan erat, menyandarkan wajahnya di lekukan leher dan bahu Irene. Dihirupnya aroma tubuh Irene yang memiliki efek menenangkan bagi dirinya.

Hari ini entah kenapa emosi Wendy bisa sangat mudah tersulut. Jujur ia sangat marah tadi siang dan hampir saja membatalkan acara makan siang dengan orang tua Irene saking badmood-nya. Bahkan ia berbohong pada Tuan dan Nyonya Bae saat ditanya mengenai Irene.

Tuan dan Nyonya Bae sudah meminta Wendy untuk menghubungi Irene agar anak sulung mereka ikut acara lunch hari itu. Yang ada Wendy justru berbohong dan mengatakan bahwa Irene tidak bisa ikut karena ada urusan penting yang harus diselesaikan. Padahal ia saja tidak menghubungi Irene sama sekali.

“Saya beneran gak tau ini kamu kenapa sih?” bisik Irene.

Hati Wendy luluh saat mendengar suara Irene yang benar-benar kebingungan. Dalam hatinya pun ia tahu bahwa Irene sama sekali tidak salah, hanya saja hari ini ia benar-benar kesal.

“Sayang?”

Wendy menghela napasnya panjang. Setiap kali Irene memanggilnya dengan ‘sayang’, hatinya selalu luluh. Call her exaggerating but Wendy can feel the sincerity and the honesty. It feels like Irene really mean it whenever she called her that.

Irene perlahan melepaskan pelukan mereka untuk melihat wajah Wendy dengan lebih jelas. Sementara itu Wendy bangkit dari posisi tidurnya dan menyandarkan dirinya pada sandaran sofa.

“Duduk sini.” ujar Wendy pelan sambil menepuk sisi yang kosong di sebelah kirinya.

“Kamu tuh marah kok dibawa tidur sih? Nanti ketemu monster di mimpi baru tau rasa.” goda Irene.

“Ih! Emangnya aku anak bayi?!”

“Lah kan emang? My baby?”

Wendy secara spontan tersedak. Bisa-bisanya Irene disaat seperti ini masih menggombali dirinya.

“Mau cerita nggak?” tanya Irene sambil mengelus kepala Wendy, kemudian menggenggam tangannya erat.

“Cerita apa emang?”

“Ya coba cerita kamu kenapa badmood gini? Terus coba cerita kok kamu ke kantor tapi nggak mampir ke ruangan saya?” tanya Irene langsung to the point.

Bukannya menjawab, Wendy justru menyandarkan badannya pada tubuh Irene.

“Lagi manja banget nih ceritanya? Sayang, kamu kenapa sih?”

Irene benar-benar bingung, hari ini kayak mereka lagi bertukar jiwa. Biasanya yang lebih banyak berbicara itu Wendy sedangkan ia lebih banyak berkomunikasi menggunakan gestur tubuh.

“Nggak papa.”

“Kalau nggak kenapa-kenapa, kamu nggak bakal minta saya cepet-cepet pulang. Terus ini sekarang lagi clingy banget gini kenapa hayo? Ini kita lagi tukeran jiwa ya jangan-jangan?”

Wendy akhirnya tertawa saat mendengar ucapan Irene dan menyadari bahwa saat ini sesungguhnya Irene sedang berusaha keras untuk memahami dirinya. Pasti Irene juga sedang kebingungan dengan sikapnya ini. Bisa saja Irene marah pada dirinya namun sikapnya yang sangat pengertian dan penuh kasih sayang justru membuat Wendy luluh.

Kalau dipikir-pikir, kekesalannya itu cukup konyol.

“Kalaupun menurut kamu nggak penting, tapi kamu sampe kesel loh. Artinya itu penting. Ayo cerita sini, biar kamu lega ya? Saya dengerin kok, sekonyol apapun itu menurut kamu.”

Wendy menatap Irene kaget. Apa Irene bisa baca pikirannya?

Irene tersenyum, “Your pretty eyes can’t lie Seungwan. Your expression can’t lie.”

Sang solois menghela napasnya. Kemudian ia memainkan jari jemari Irene yang sedari tadi ia genggam.

“I met some bitches today.”

“Oh? Di kantor?”

Wendy mengangguk. “Iya, tuh karyawan kamu tukang gosip.”

“Who? Ngomong apa sih?” tanya Irene masih bingung.

“Nggak tau siapa, just accidentally heard it pas aku beli minuman di ground floor. They talk trash about us.”

“Emang ngomong apa sampe bikin kamu kesel?”

“Awalnya mereka ngomongin kamu, muji-muji kamu, how fashionable you are. Nggak tau aja mereka kalo aku yang milihin baju.” gerutu Wendy.

“Terus mulai menjalar deh ke gosip lain, like how hot you were at an internal meeting. Terus ya mulai tuh mimpi mimpi gak jelas. Bilang mau lah jadi simpenan kamu, dasar karyawan genit pengen ku jait tau mulutnya” ujar Wendy masih marah-marah.

Sedangkan di lain sisi Irene berusaha menahan tawanya. Bukan ia tidak menghargai perasaan Wendy, namun Wendy tidak begitu sering menunjukan rasa jealousnya ditambah ekspresi wajah Wendy yang sangat comical membuat Irene rasanya ingin mencubit pipi Wendy.

“I see. Tapi kamu tau kan itu semua cuma gosip? I won’t choose any of them to be my partner for the rest of my life, I only want you.”

“I know… but that’s not what pissed me of Hyun.”

Ah… masih ada lagi rupanya.

Irene mengangguk, memberikan sinyal agar Wendy melanjutkan ceritanya.

“Terus mereka mulai ngulik-ngulik nggak jelas tau nggak. They keep talking about the day of your company’s anniversary. Mereka bilang I am just your trophy wife and that you are just using me for my fame while I use you for an infinite amount of money. They say I’m not worthy enough for you.”

“Okay… first you do get an infinite amount of money. That’s not totally wrong, Yerim juga sering bilang saya sugar mommy kamu….aww!”

Wendy menonjok perut Irene saat mendengar candaan yang keluar dari mulut Irene.

“Okay, bad jokes, sorry. Honey, we can’t control what people say about us. What matters is only you and me, right?”

“I know. Aku kayaknya mau dapet sih ini. Biasanya aku nggak segampang ini buat kepancing. Tapi nggak tau kenapa aku hari ini badmood banget. I truly feel offended. Mana mereka bilang kamu sama Kak Seul serasi lagi!”

“Hah?” kali ini Irene tak kuasa menahan tawanya.

“Kok ketawa sih?!”

“Lagi??”

“Ya iyalah! Emangnya tadi siang aku nggak liat kamu ngapain sama Kak Seul?!”

“Emang saya ngapain?”

“Sok lupa lagi tadi siang lendot-lendotan sambil pegangan tangan.” ujar Wendy pelan.

Mendengar ucapan Wendy, Irene berubah menjadi lebih serius. Tak jarang Wendy merasa jealous terhadap Seulgi dan ia tahu masih butuh waktu agar Wendy bisa sepenuhnya menghilangkan rasa jealousnya itu. Namun menurutnya wajar, karena hubungannya dengan Seulgi pun memang sangat dekat.

Irene menangkupkan tangannya di wajah Wendy namun yang lebih muda justru melakukan protes ringan dengan mengalihkan wajahnya dan menahan tangan Irene.

“Lihat saya ya? Okay love?” ujar Irene yang berusaha membuat ekspresi memelas.

Wendy tetap dalam diamnya. Namun perlahan gerak tubuhnya tidak sekeras yang sebelumnya.

“Jadi tadi siang kamu udah ke ruangan saya ya?” Ujar Irene membuka percakapan. Ia mengusap pipi Wendy lembut sambil merapikan poni yang menutupi wajah Wendy.

“Jangan ketawa ya, Seulgi itu jago mijet. Terus siang tadi anemia saya kambuh. Makanya saya minta dia mijetin tangan saya. Itu saya senderan ke Seulgi karena kepala saya pusing.” lanjut Irene

Tanpa diduga Wendy langsung memutar tubuhnya dan memperhatikan wajah Irene dengan saksama, “Kamu sakit??”

Irene menggeleng, “Cuma kurang istirahat aja.”

“Tuh kan! Kamu tuh kalo kerja makanya itung-itung dong!”

Ia sudah hampir membuka mulut namun dengan segera Irene mengurungkan niatnya. Wendy kini sudah menempelkan punggung tangannya di kening Irene, memeriksa suhu tubuhnya dan kini justru tangan Wendy lah yang memegang wajah Irene dengan halus.

“Kamu kalo sakit tuh bilang dong! Tadi siang makan nggak?”

“Makan kok. Tapi sayangnya nggak makan sama kamu sih, coba sama kamu pasti saya langsung sembuh.”

“Gombal!”

“Beneran, kan saya bisa dapet vitamin c?” ujar Irene yang langsung mencuri satu kecupan singkat di bibir Wendy.

“Ih! Kamu tuh sekarang kok jadi suka usil! Ketularan Yerim apa gimana sih?”

Irene hanya bisa senyam-senyum. Ia tidak mau membocorkan rahasia bahwa alasan utama ia pusing bukan karena kerjaan. Tapi pusing merancang the dream wedding yang Wendy inginkan.

“Kok kamu malah senyam-senyum sih?!”

“I love you.”

“IH! Ditanyain serius juga!”

“I’m smiling because I'm just thinking of how lucky I am to have you in my life.”

“Sana deh ah kamu! Lagi diajak ngomong serius malah ngegombal.” dengus Wendy kesal yang berdiri dan berjalan meninggalkan Irene menuju kamar mereka.

”alright….period it is.” batin Irene

“Wifey! Wait for me!” ujar Irene yang buru-buru mengejar Wendy

“Nggak mau. Aku mau mandi.”

“Gimana kalo kamu temenin saya mandi? Atau sekalian kita mandi bareng?” goda Irene.

Wendy tidak langsung menjawab. Namun Irene melihat bahwa Wendy menyembunyikan wajahnya, pertanda bahwa ia cukup malu. Baru saja sang CEO hendak membuka mulutnya lagi, namun sang pujaan hati sudah mengeluarkan kalimat yang cukup mengagetkannya.

“Cepetan. Lima menit gak masuk kamar mandi aku kunci.”

“W-what?”

“You heard me.” ujar Wendy sok cool padahal dalam hatinya ia juga malu dan grogi.


Mandi yang biasanya bisa Wendy selesaikan dalam kurun waktu 15 sampai 30 menit, hari itu berujung hampir satu jam lebih. Irene paham betul hari itu Wendy sedang butuh untuk diperhatikan lebih, apalagi setelah ia terang-terangan mengatakan bahwa hari ini dirinya mudah sekali badmood.

Irene sengaja memperlakukan Wendy bak tuan putri walaupun saat itu ia sudah cukup lelah. Semakin lama ia menduduki posisi CEO, semakin banyak hal yang menyita perhatian Irene. Bisa pulang sebelum matahari terbenam adalah suatu privilege yang semakin jarang ia dapatkan, bahkan tak jarang ia tiba di apartemen saat Wendy sudah terlelap dan keesokan harinya Wendy sudah berangkat sebelum Irene bangun.

Jadwal mereka berdua sangat tidak klop terutama saat Wendy juga sedang sibuk-sibuknya dengan pekerjaan mereka. Sehingga Wendy membuat satu rule yang harus Irene tepati.

No work on weekends, unless it’s really urgent.

Irene berjalan ke ruang tengah saat ia mendapati Wendy tidak ada di dalam kamar tidur mereka. Ia masih sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk saat ia melihat Wendy sedang sibuk di dapur.

”Beneran badmood anaknya.” tawa Irene dalam hati.

“Baking?” tanya Irene yang duduk di kursi meja makan, Wendy membelakangi dirinya.

“Nggak, ini aku masak buat kamu.”

Irene cuma bisa senyum senang. Ini salah satu sifat Wendy yang sangat ia suka. Wendy sangat perhatian terhadap dirinya, walau ia sendiri juga mungkin sedang lelah.

“Belom makan kan kamu?” tambah Wendy

“Belum hehe.”

“Aku bikin sop bening sama fish fillet.”

Irene menaruh handuk yang ia pegang di kursi dan beranjak dari kursi yang ia tempati. Kemudian ia memeluk Wendy dari belakang walaupun ia tahu konsekuensinya pasti Wendy akan ngomel karena per Wendy’s words, “It’s dangerous!”.

“Masih badmood nggak?”

“Menurut kamu gimana?”

Irene tertawa pelan, ia mencium leher Wendy singkat, “Masih sih ini. My baby hamster badmood kenapa lagi? Ini masih ada yang belum diceritain pasti.”

“Just… my bad habits of overthinking things.”

“I see, emang lagi mikirin apa?”

“Tadi siang ketemu Lucas.”

“Terus?”

“Sebenernya kita nggak sengaja ketemu, dia juga lagi makan di tempat aku makan sama orang tua kamu. Terus dia liat aku lagi sama orang tua kamu, pertamanya dia gak tau sih itu orang tua kamu tapi terus karena kita ngobrol jadinya dia tau deh. So he teased me about you then he told me that he never imagined I would end up with someone like you.”

“Someone like me?”

“Ya gitu, liat aja sendiri kita tuh beda banget tau. You like silence, I like crowds. You are a family type of woman, I was a single fighter. You like to stay at home, I like to go to parties, and so on.”

Irene hanya diam, memberikan ruang pada Wendy untuk berbicara. Ia juga membiarkan Wendy untuk sibuk memasak, a distraction that she needs whenever she talks about something serious.

“Lucas juga bilang jangan dengerin orang-orang yang masih suka ngomongin aku di agensi. He said that even though he never imagined I would end up with you, but he do think that you’re the one that I need. Well, terus dia bercanda sih bilang suruh aku bilang ke kamu buat tetep ngijinin aku minum-minum, supaya Lucas nggak kehilangan aku sebagai temen minum.

“Terus yang bikin kepikiran dimananya?”

“Aku jadi kepikiran sama ucapan orang-orang sih, apa emang aku segitu nggak cocok ya sama kamu? Mostly said that I’m not worthy enough of you. Nggak cuma Lucas, aku juga nggak nyangka bakalan bisa di tahap ini, sama kamu.”

Belum sempat Wendy memulai ucapannya lagi, Irene sudah memegang tangan Wendy dan mematikan kompor yang menyala. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Wendy lalu menautkan bibir mereka.

Sebuah ciuman lembut khas Irene.

Ia sedang menyalukan perasaannya lewat ciuman tersebut, menyatakan bahwa ia pun membutuhkan Wendy, menyatakan kalau ia pun beruntung bisa bersama Wendy seperti ini setelah apa yang mereka sempat lalui.

Setelah Irene mengakhiri tautan bibir mereka, ia sekilas mencium dahi, kemudian turun ke mata, pipi, dan berakhir di bibir Wendy lagi.

“Just because we are different, bukan berarti kamu nggak pantas sama saya. Emang saya pantas sama kamu? Saya juga punya sifat buruk kok. Coba you named it.”

“Suka ngatur.”

“O...kay. But in my defense itu buat kamu juga.” protes Irene.

“Nyebelin, suka ngegombal.”

“But you like it.”

“Tck, apa lagi ya. Oh kamu kaku banget. Suka susah diajak ngomong. Udah gitu suka jealous sama kerjaan aku.”

Irene tertawa, “Iya, iya saya akuin yang ini. See? Saya juga punya sikap-sikap yang bikin kamu kesel. I’m not a saint, Seungwan.”

Wendy tidak membalas ucapan Irene namun yang ada ia justru langsung memeluk Irene dengan erat, menyembunyikan wajahnya di dada Irene.

“Manja banget hari ini. Saya suka deh.” goda Irene

“Nyebelin kan.”

“Tapi kamu sayang.” timpal Irene. Ia hendak melepaskan pelukan mereka karena ingin melihat wajah Wendy.

“Diem dulu kayak gini.” pinta Wendy yang dikabulkan oleh Irene.

“I love you, you know? More than what you could Imagine. Bahkan saya nggak bisa jelasin seberapa besar saya sayang sama kamu. I wish you can see yourself the way I do. I admire you a lot. Jadi kalau ada orang yang ngomong aneh-aneh, kamu gak usah dengerin ya? Kamu kalau nggak percaya, bisa tanya Bunda atau Yerim deh betapa saya sayang sama kamu.”

Wendy tertawa pelan. Sebenarnya tanpa harus bertanya pada orang lain pun, ia tahu betapa Irene sangat menyayangi dirinya. Setelah dipikir-pikir, kenapa juga dia bisa sampai uring-uringan segininya? Pasti tadi sore Irene benar-benar bingung.

Well, on her defense, hari ini moodnya memang sangat jelek.

“Walaupun orang-orang bilang kita beda banget, but that’s the point. We can fill each other's weaknesses. Opposite attracts Wan and you keep pulling me into you.”

PERFECT 10

Friday, Oct 29th 2021

Irene menarik tuas rem tangan mobil sedan yang ia kendarai saat mobilnya sudah terparkir rapi di pintu belakang gedung agensi yang menaungi Wendy. Menurut sang solois, pintu belakang selalu sepi di jam-jam tanggung seperti sekarang ini.

Wajar saja, saat itu baru pukul 3 sore. Orang-orang belum ada yang pulang kantor, of course kecuali Irene. Hari ini Irene tiba-tiba mendapatkan pesan singkat dari Wendy yang merengek untuk minta dijemput selepas kerja, jarang-jarang juga sebenarnya Wendy mengeluarkan permintaan seperti itu. Lalu permintaan ‘aneh’ lainnya, Wendy ingin Irene untuk menyetir sendiri tanpa supir kantor.

‘Ayo hari ini cosplay jadi orang biasa’

Kurang lebih begitu ujar Wendy.

Baru saja ia hendak mengirimkan pesan singkat pada Wendy namun pintu kursi penumpang sudah terbuka dan Irene melihat Wendy tersenyum sumringah ke arahnya.

“Let’s go!” ujar Wendy kegirangan sembari memasang seatbelt.

“Nih, saya bawain boba kesukaan kamu.” Irene memberikan sebuah paperbag. Ia sengaja mampir dulu ke gerai boba kesukaan Wendy dalam perjalanannya kemari.

“OMG! Thank you!”

Wendy bertepuk tangan, matanya berbinar-binar saat ia memeriksa isi paperbag yang diberikan oleh Irene. Sontak sang CEO menggelengkan kepalanya dan tangannya otomatis mencubit pipi Wendy, sebuah kebiasaan yang selalu Irene lakukan saat Wendy menunjukkan sifat kekanak-kanakan seperti ini.

“Sakiit!” protes Wendy saat Irene tak kunjung melepaskan cubitan di pipinya.

“Kamu kenapa tiba-tiba minta dijemput?” tanya Irene sembari menurunkan tuas rem tangan dan melajukan mobil miliknya keluar dari area gedung agensi tersebut.

“I wanna show you this, tada!” ujar Wendy menunjukkan employee’s ID card miliknya.

Irene tertawa pelan, ia melirik sejenak dan mengenali foto yang digunakan di ID card tersebut. Ia ingat bahwa beberapa minggu yang lalu Wendy sempat menunjukkan beberapa foto dirinya pada Irene dan meminta fiancée-nya itu untuk memilih satu foto yang benar-benar Irene sukai.

’Ternyata….why so cute?’ batin Irene.

“You look pretty there, as always. Tapi seriusan, kamu kenapa tiba-tiba pengen jadi ‘orang biasa’ sih? Something happened?”

“Well, I overheard my team’s conversation just this afternoon, after we did the photoshoot. So, long story short mereka seneng banget karena ini weekend terus pada ada dates sama pasangan mereka masing-masing.” ujar Wendy sambil menyeruput boba yang ada ditangannya.

Mendengar jawaban Wendy, Irene langsung tertawa lagi. Benar-benar clingy mode on.

“You wanna go on dates with me? Right now?”

“Mmm” sebuah jawaban afirmatif dari Wendy yang masih asik menyeruput bobanya.

“I’m sorry I was so busy this month. It’s not that I don’t want to go on dates with you.”

“Not only this month ya.” sindir Wendy

Irene hanya bisa tersenyum pahit. Memang benar sih, tidak hanya bulan ini. Bulan-bulan yang lalu juga.

“I know, maaf ya? Kalau sore ini kita pergi berdua dulu kamu mau? Mumpung ada waktu.”

“Ya mau lah! Makanya tadi aku minta dijemput! Kamu inget kan weekend ini kita udah janji buat pulang ke rumah Ayah-Bunda? Also not to remind you again, malam nanti kan kita juga udah ada rencana makan malam keluarga and then tomorrow we have that halloween party too.”

Irene mengangguk mengiyakan.

“Okay as my lady wishes, kita mau kemana?” tanya Irene yang melirik lagi ke arah Wendy.

“Grocery store.”

“Pardon? Kamu mau kita nge-date di grocery store??”

“Emang kenapa? That’s kinda a popular date juga tau! Aku udah tanya-tanya sama stylist aku!” ujar Wendy sembari mengerucutkan bibirnya, sebuah bentuk protes atas ucapan Irene.

“Kamu nggak mau yang lainnya aja? We can even go to that village's yang jual street food kesukaan kamu. It's just so funny you suddenly ask me this. Inget nggak dulu siapa yang paling nggak mau belanja ke supermarket sama saya, karena katanya ‘too domestic’?” goda Irene

“Ih emang kenapa sih? Kamu gak mau ya nemenin aku belanja bahan makanan? Iya sih itu nggak kayak nge-date yang umum tapi aku tiba-tiba pengen masak. Lagian kan sekalian aja kita beli bahan makanan buat nanti malem. Kamu mau aku masakin apa nanti pas di rumah? Oh apa aku tanya Yerim sekalian ya kira-kira rumah kamu lagi butuh bahan makanan apa?” cerocos Wendy panjang lebar, ia sudah fokus pada ponsel pribadinya dan Irene tebak saat ini sudah mengontak Yerim atau bahkan Bundanya.

“Grocery store it is.” ujar Irene pada dirinya sendiri.


“Do you need any help?” bisik Irene.

Saat ini Wendy sedang menyiapkan hidangan makan malam di dapur rumah keluarga Irene. Seperti ucapannya sore tadi, ia benar-benar belanja bahan makanan dan menjadi chef untuk hidangan makan malam di rumah keluarga Bae malam itu. Bahkan tak tanggung-tanggung, Wendy menyuruh dua chef pribadi keluarga Bae untuk pulang because in her own words, Weekend ini dapur adalah miliknya. It’s off-limits for everyone except Mrs. Bae.

“Nggak Hyun, mending kamu bantuin Yerim nata meja makan di halaman belakang deh.” ujar Wendy yang masih fokus memasak hidangan yang bahkan Irene tidak tahu apa namanya.

“Udah ada bibi yang bantuin Yerim.”

“Yaudah kamu jangan disini dulu deh, kamu ngikutin aku gini malah ngeganggu. Aku takut kamu nyenggol apa gitu.”

“Just give me some tasks please. Don’t send me to the war zone.” rengek Irene.

“Kamu kenapa sih?”

“Your uncle is so...what should I say...Look, dari tadi Om kamu ngeliatin saya kayak sinis gitu and your mom, whoa I don’t know but today she looks different.”

Wendy tertawa, “Hyun, we know that my mom’s family is trying to make up for what they did to me when I was a child. Maybe this is their way to show their protectiveness towards me.”

“EXACTLY!”

Wendy mengecilkan api kompor sejenak, kemudian ia menoleh ke arah Irene dan tersenyum saat melihat bahwa Irene memang benar-benar grogi, parah. Bahkan melebihi groginya Irene saat ia diangkat menjadi CEO, lebih parah daripada saat ia proposing.

“It’s okay Hyun, they know I’m happy with you and they know that you’re the best partner I could ever ask.” ujar Wendy yang lalu mendaratkan satu ciuman tepat di bibir Irene.

A soft peck.

“Ehem..”

Irene hampir saja lompat kalau bukan karena tangan Wendy yang memegang lengannya.

“Joohyun, Om mau nyari tangga lipat. Kata adik kamu, kamu yang tau tempat tangga lipatnya.” ujar pamannya Wendy.

“Ooh… itu…”

“Udah sana kamu bantuin yang di halaman aja. I can handle this by myself.” ujar Wendy pada Irene yang meminta sinyal pertolongan padanya.

“Oh, it’s settled then. Tangganya ada dimana?” tanya Paman Do.

“Fuck..” bisik Irene pelan pada dirinya sendiri namun di dengar sangat jelas oleh Wendy.

“Good luck darling!” goda Wendy.


Acara makan malam casual yang awalnya direncanakan oleh Keluarga Bae berubah menjadi outdoor barbeque party, untungnya Wendy dan Irene sudah berbelanja beberapa bahan makanan yang cocok untuk disajikan malam itu.

Selama Wendy sibuk membantu Nyonya Bae dan Nyonya Do untuk menyiapkan hidangan, Irene selalu rungsing mengikuti Wendy kesana kemari. Padahal dirinya tidak terlalu banyak membantu sebenarnya.

Kumpul keluarga malam itu terasa sangat hangat bagi Wendy yang belum pernah merasakan momen seperti ini. Sementara itu Irene lebih banyak memberikan perhatiannya pada Wendy, ia memotong kecil-kecil steak yang ada di hadapannya kemudian menaruhnya di piring Wendy.

“Kak, potongin steak gue juga dong.” pinta Yerim

“Nanti abis Wendy ya.”

Kali ini setelah Irene memotong kecil steak tersebut, ia menusuknya dengan garpu dan mengangkatnya tepat di depan mulut Wendy, membuat sang solois menjadi salah tingkah karena gesture Irene tersebut menarik perhatian semua orang.

“Ayo ini dimakan.” ujar Irene, tidak mempedulikan orang sekitar mereka.

“Hyun…” rengek Wendy yang masih malu dengan tingkah Irene.

Sementara itu Nyonya Do dan Nyonya Bae langsung berbisik satu sama lain. Memperbincangkan tingkah laku kedua sejoli yang lucu-lucu romantis ini.

Melihat bahwa Irene tetap keras kepala ingin menyuapi dirinya, akhirnya Wendy menggigit daging sapi tersebut yang langsung membuat Irene tersenyum. Lalu ia kembali memotong daging kecil-kecil namun kali ini daging tersebut ia berikan pada Yerim.

“Ehem…” Tuan Bae berdeham, memicu perhatian seluruh orang yang duduk di meja panjang tersebut.

“Can I get your attention please?” tanya tuan Bae yang dijawab dengan anggukan oleh orang-orang yang ada disana, Irene dan Wendy tak terkecuali.

Kepala keluarga Bae itu kemudian melirik ke arah Nyonya Do dan adiknya sejenak sebelum ia menganggukkan kepalanya.

“Joohyun, Seungwan, ini udah beberapa bulan sejak kalian kasih berita ke kami kalau Joohyun proposed to you and you said yes. Have you girls settled the date?” tanya Nyonya Do.

Irene dan Wendy saling melirik satu sama lain. Sejujurnya mereka sama sekali belum pernah membicarakan tentang wedding date mereka. Dari sisi Wendy, ia benar-benar tidak memikirkan hal itu karena toh sebenarnya setelah Irene melamarnya, hubungan mereka basically and technically already like a married couple, just minus the official wedding ceremony and any formal documents they need to file.

Selain itu Wendy dan Irene juga sama-sama sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Jadi Wendy juga tidak terlalu ambil pusing, menurutnya yang penting they both commit to each others, till the death do they apart.

Sementara itu Irene sebenarnya sudah sempat beberapa kali memikirkan hal ini, namun karena Wendy tidak kunjung membahasnya jadilah Irene diam saja. Ia masih tetap pada prinsipnya bahwa ia tidak akan melakukan apa yang Wendy tidak ingin lakukan.

“Well?” tanya pamannya Wendy. Kini matanya tertuju lurus hanya pada Irene.

Di bawah meja, tangan Irene tiba-tiba menggenggam tangan Wendy dengan erat. Ia menarik napasnya dalam. Hanya ada satu tanggal yang terbesit di kepalanya. Sementara itu, Wendy mengira bahwa Irene kelewat grogi dan saat ini ia sedang meminta bantuannya untuk menjawab pertanyaan tersebut.

“9 Mei.”

“May 9th”

Irene dan Wendy sama-sama menoleh saat mendengar jawaban satu sama lain, tak lama kemudian mereka tertawa terbahak-bahak. Irene menyodorkan tangan kanannya kepada Wendy, she’s asking for a hi-five yang langsung dibalas oleh Wendy.

Namun tanpa Irene duga, setelahnya Wendy menarik tangan Irene dan mencium kecil bibir Irene beberapa kali.

“Great” peck “minds” peck “think” peck “alike.”

“Oh my god, in front of my salad? Literally?!” erang Yerim yang duduk tepat di seberang Irene dan Wendy.

Yang disindir lantas tertawa melihat tingkah hiperbola dari Yerim.

“Girls?” ujar Tuan Bae meminta penjelasan.

“Well, aku sama Joohyun baru aja nentuin tanggalnya. Barusan.” tawa Wendy.

“Maksudnya?”

“Iya, jadi kita telepati barusan. We choose that specific date.” jawab Irene.

“Kenapa tanggal 9 Mei sih? Gue kira lo mau milih valentine, knowing how yucky you two.” timpal Yerim.

“Nahh, that’s the day when I realized that I want to try this lifetime with Joohyun.” jawab Wendy yang menolehkan kepalanya dan menatap Irene lekat. Ia telah memfilter pandangan serta pendengarannya, saat ini perhatiannya hanya untuk Irene.

“It’s the most special day for us.” senyum Irene.

“Someone just please take this salad away from me.” erang Yerim lagi.


Setelah dibombardir dengan puluhan pertanyaan lainnya, Irene dan Wendy akhirnya bisa ‘kabur’ dan kembali ke kamar Irene. Kamar yang sudah cukup sering mereka tempati bersama, terutama kalau keduanya ‘dipaksa’ untuk menginap di rumah tersebut.

Bahkan kini di lemari pakaian Irene sudah tersedia slot tersendiri bagi Wendy, mereka memang sengaja meninggalkan baju disana kalau-kalau mereka mendadak menginap dan tidak sempat membawa pakaian ganti.

Irene yang sudah selesai bersih-bersih lebih dulu dibandingkan Wendy kini mengekor di belakang Wendy kemana pun ia bergerak.

“Babe, stop following me.” tawa Wendy yang sedang mengambil kapas di tasnya untuk membersihkan wajahnya.

“Nope.” jawab Irene singkat. Ia berjalan mengikuti Wendy yang kini masuk ke kamar mandi dan mulai membersihkan wajahnya.

“Yah!” pekik Wendy saat Irene tiba-tiba melingkarkan lengannya di perut Wendy dan memeluknya dari belakang.

“So, 9 Mei huh?” ujar Irene diiringi dengan ciuman di leher Wendy.

Setelah ia selesai mencuci mukanya, ia mengangguk dan menatap mata Irene melalui pantulan cermin. Ia pun masih tidak percaya rasanya bisa sampai di tahap ini.

“Are you sure it’s okay?” tanya Irene.

“Are you sure? Harusnya aku yang nanya. It’s not easy to deal with someone like me.”

“Seungwan…” nada bicara Irene berubah, tanda bahwa ia tidak suka dengan apa yang Wendy lontarkan.

“I’m just saying Hyun. You know what happened to me, to my family. If....” Wendy menghela napasnya panjang. “If something happened to our marriage and...I need to go through what my mom’s went through, I might as well die.”

Mendengar ucapan Wendy, Irene langsung memutar tubuh Wendy dan membuat her soon to be wife menghadap ke arahnya. Ia menangkupkan wajah Wendy dengan kedua tangannya dan menyibak poni yang sedikit menutupi mata Wendy.

“Seungwan, I will never do what your father did. I swear on my life.”

Mata Wendy mulai berair ketika ia melihat bahwa Irene sungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia tahu bahwa Irene tidak mungkin melakukan apa yang papanya lakukan, but still her trauma haunts her everyday. What if her marriage also failed? After all the apple never falls far from the tree.

“Seungwan, hear me out okay? I never want anyone else. We will have our ups and downs as a couple but we will go through all of that and at the end of the day we will always seek each other.” ujar Irene yang menekankan setiap kata.

“I love you Hyun, so much. Please don’t break my heart.”

Air mata Wendy menetes saat ia mengedipkan matanya.

“I love you too, all of me loves all of you.”

Irene dan Wendy saling menatap mata mereka masing-masing. Irene cukup sedih saat ia melihat adanya ketakutan dan keraguan di mata Wendy, she hates it when Wendy doubt herself. She wants Wendy to know that Wendy is much more than what she thought she is.

Sang CEO mengelus pipi Wendy kemudian berjinjit untuk mencium kening Wendy beberapa saat. Sontak Wendy memejamkan matanya, hatinya sangat senang setiap kali Irene menunjukkan rasa sayangnya melalui tindakan seperti ini.

Setelah Irene mencium kening Wendy, ia kemudian menatap mata Wendy lagi. It’s not enough, she thought.

“May I love you tonight?” tanya Irene meminta izin pada Wendy, to do that tonight.

“Hyun…” jantung Wendy entah kenapa berdebar kencang, padahal ini bukan kali pertama mereka melakukan itu. Bahkan bisa dibilang they’re pretty active doing that awesome physical activity.

“May I?”

“But, Yerim’s room is only…”

“I don’t care, it’s only you who I care the most tonight.”

Wendy tidak menyangka Irene akan melakukan hal ini dengannya, disini. Di rumah keluarganya, di kamar yang ia pakai sejak kecil hingga saat ini, belum lagi fakta bahwa kamar Yerim ada tepat di seberang kamar Irene.

But she, too, only cares about Irene tonight.

Anggukan pelan dari Wendy membuat Irene memutus jarak mereka. Ia menempelkan bibirnya dengan bibir Wendy dan melumatnya dalam secara perlahan.

It’s warm, gentle, and tender.

Irene was exploring every curve and savoring the kiss.

Tangan Irene perlahan turun ke pinggang Wendy dan menariknya agar mereka berdua bisa lebih dekat lagi, if that even possible.

Detik selanjutnya Irene menuntun mereka berdua keluar dari kamar mandi dan berpindah ke kasur mereka. Irene yang berjalan mundur kemudian dengan hati-hati duduk di kasurnya yang kemudian diikuti oleh Wendy yang duduk di pangkuan Irene.

They did all of these without stopping kissing each other. They would never feel enough of each other anyway.

Kali ini Wendy hanya menurut dan mengimbangi ciuman yang Irene berikan padanya.

Setelah ia cukup puas dengan bibir Wendy, perlahan ia mengalihkan ciumannya ke leher Wendy dengan sesekali mencuri ciuman di bibir Wendy. Saat napas Wendy mulai memendek, Irene justru turun ke bagian lain yang ia tahu akan membuat Wendy flying to that heaven.

“Hyun...just….hmm”

“Just what?”

Wendy menarik baju Irene dan langsung melepas kancing demi kancing yang menutupi tubuh Irene.

“Just love me. Take all of me tonight and let me take you too.”


08.01 AM

The bunny and hamster on heat pagi ini masih meringkuk di bawah selimut dengan posisi berpelukan. Irene yang sudah lebih dulu terbangun kini memperhatikan Wendy yang masih terlelap di pelukannya.

The heat from each others’ body feels so comfortable for her.

Irene serasa terhipnotis pagi ini. Ia tidak bisa berhenti melihat setiap lekuk wajah Wendy sampai pada akhirnya ia berinisiatif untuk mencuri satu ciuman singkat. Irene mendekati wajah Wendy lalu mengecup pelan bibir Wendy.

Namun tindakannya itu justru membuatnya tidak bisa berhenti. Pada akhirnya ia mengecup bibir Wendy beberapa kali dan membuat Wendy akhirnya menggeliat terbangun dari tidurnya.

She feels something or someone on her lips.

“Hyun…”

“Hmm?”

Another kiss.

“What’s this?” tanya Wendy dengan suaranya yang serak.

“Morning kiss.”

Another kiss stolen.

“What?” tawa Wendy pelan. Matanya masih terpejam, beberapa kali mengerjap untuk menatap Irene singkat walau pada akhirnya kembali terpejam.

“Our morning kiss.”

“I know but you stole it, technically.” Wendy tersenyum ke arah Irene. Kali ini ia memaksa dirinya untuk membuka kedua matanya.

“I’ve been thinking. Maybe I need to show you more how much I love you, be it through words or action, can I?”

“You did it though? Apa bedanya? I always feel loved.”

“But sometimes, saya masih lihat keraguan di mata kamu. Like last night. So whenever you feel like that, I’ll remind you that you’re loved.”

“Thank you.” ujar Wendy yang kemudian balik mencuri ciuman di bibir Irene.

Tangan Irene kemudian membelai kepala Wendy lalu turun mengelus pipi Wendy. “I’m happy you no longer flinch when I touch you.”

“Mmm, they love your touch now.”

Sedetik kemudian mereka berdua kembali berciuman. Kecupan-kecupan ringan tersebut berubah menjadi ciuman lembut dan dalam yang kemudian meningkat menjadi ciuman yang jauh lebih intens dan cepat.

Keduanya mulai terbawa suasana. Perlahan Irene berganti posisi, tubuhnya berada di atas Wendy dengan kedua tangannya mengurung tubuh Wendy sembari sesekali tangan kanannya mengelus pipi Wendy. Sementara itu tangan Wendy mengalung di tengkuk Irene.

Ciuman mereka berubah menjadi lumatan-lumatan intens, tanpa sadar tangan Irene sudah turun dan mengelus perut Wendy sementara Wendy pun sudah menjalar di punggung Irene.

Mata mereka masih tertutup rapat dengan napas yang mulai berderu dan tak beraturan.

What should be their morning ritual, an innocent morning kiss, turned into something lustful.

Irene mengerang marah saat ia mendengar ponselnya berdering. Seharusnya ia matikan saja ponselnya semalam.

“Hyun, yourh...phone…”

“Later.”

Ponsel Irene berhenti berdering namun detik berikutnya kembali berbunyi.

“Maybe...you….Hyun...the call…”

“I said later.”

Tok! Tok! Tok! Tok! Tok! Tok! Tok!

Irene terpaksa menghentikan ciuman mereka berdua ketika ia mendengar ketukan kencang di pintu kamarnya. Napasnya masih berderu dengan matanya yang terpejam.

Wendy tertawa pelan saat ia mendengar Irene menggeram kesal. Tangannya mengelus kepala Irene pelan, sedikit usaha untuk meredakan emosi Irene.

“What?!” teriak Irene ke arah pintu.

Tak lama kemudian mereka mendengar suara pintu terbuka, membuat mata Wendy terbelalak. Ia baru ingat kalau semalam mereka sama-sama lupa mengunci pintu.

“Are you decent?” tanya Yerim, kepalanya menyembul di celah pintu. Namun tak lama kemudian mata Yerim melihat baju yang berserakan di sekitaran kasur Irene dan detik berikutnya terdengar lengkingan protes dari mulut Yerim.

Well of course not. They’re both naked and Wendy is sure at least Yerim can see her sister’s back, naked, hovering over her body.

“I thought last night was enough for you two?!” teriak Yerim.

“Yerim I swear you're gonna be dead.” ujar Irene

“Hey! Gue cuma mau ngasih tau ya Kak Seulgi sama Kak Jen daritadi nelponin lo! Kata mereka itu urgent dan lo disuruh angkat telpon!” gerutu Yerim yang kemudian menutup pintu dengan cukup keras.

Wendy langsung menoleh ke arah night stand tempat Irene menaruh ponselnya. Sedangkan Irene justru terlihat tidak peduli. Ia masih kesal karena paginya diganggu seperti ini.

Melihat mood Irene yang buruk, Wendy menggapai ponsel tersebut dan membuka kunci layar. Dengan segera ia menelpon balik Seulgi yang rupanya merupakan orang terakhir yang menelpon Irene tadi.

“Halo?”

”God, Ren! Susah banget sih lo ditelpon?!”

Wendy terkejut mendengar suara Seulgi yang terdengar kesal. Ini baru pertama kali ia mendengar Seulgi berbicara dengan nada seperti itu.

“Uhm, it’s me. Joohyun is still in a bad mood but she’s listening to this call.”

”Ren get your ass from there and just come to the office. Kantor cabang kita bermasalah, now they’re doing demonstration.”

Ekspresi wajah Irene sontak berubah drastis. Ia mengambil ponselnya yang ada di tangan Wendy dan mengubah mode loudspeaker menjadi mode speaker biasa kemudian ia mencium pelipis Wendy sejenak sebelum bangkit dari kasur lalu berjalan ke arah kamar mandi.

Wendy merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit kamar tersebut.

’what a Saturday morning?’

Ia kemudian ikut bangkit dari kasur untuk mengunci pintu kamar lalu mengambil pakaian mereka yang berceceran. Wendy kemudian mengenakan bathrobe lalu berjalan masuk ke kamar mandi, sedikit menguping isi pembicaraan Irene dan Seulgi.

’It seems something bad happened.’ batin Wendy

Mengetahui bahwa Irene akan pergi ke kantor as soon as possible, Wendy kemudian berinisiatif untuk menyiapkan baju kerja bagi Irene. Ia berdiri di depan lemari Irene lalu memilih-milih pakaian yang kiranya akan cukup nyaman Irene gunakan namun tetap terlihat formal.

“I’m sorry, I think I need to…” ujar Irene yang baru saja selesai menerima telpon. Ia memeluk Wendy dari belakang dan menaruh dagunya di pundak Wendy.

“It’s okay Hyun, I swear.”

“Saya akan pulang sebelum jam 4. Acara halloweennya jam 7 kan?”

“Hyun, itu nggak penting kok. It's just a party. Kalau kamu nggak bisa, jangan dipaksa ya?” jawab Wendy yang masih sibuk memilih pakaian.

“No, no. This is the first time you invite me to your agency’s party. I know it means something for you.”

“Kalau kamu nggak bisa, aku juga nggak dateng kok. Seriusan nggak ada masalah, it just a halloween party.”

“I’ll try my best okay?”

Wajah Irene masih terlihat sangat bersalah. Wendy tersenyum untuk meyakinkan Irene bahwa ia sama sekali tidak marah. Ia mencium bibir Irene singkat untuk kembali meyakinkan Irene.

“Sure, udah sekarang kamu mandi terus siap-siap ya? Aku udah pilihin baju, terus ini mau siapin sarapan buat kamu.”


Irene menyandarkan tubuhnya ketika layar LCD yang digunakan untuk meeting dengan perwakilan pekerja menunjukkan tanda bahwa meeting tersebut telah selesai. Ia menghela napas panjang namun bersyukur bahwa masalah hari itu terselesaikan dengan ‘cepat’.

Rupanya terdapat rumor yang beredar di kalangan pekerja bahwa Perusahaan akan melakukan PHK besar-besaran setelah adanya pengumuman bahwa Bae Corp akan melakukan akuisisi atas salah satu perusahaan IT yang cukup besar di negara itu. Rumor tersebut kemudian menyebar dengan sangat cepat dan membuat keresahan yang berlebih.

Irene butuh melakukan pendekatan dan meyakinkan pekerja-pekerjanya bahwa hal tersebut tidak berdasar dan tidak benar. Perundingan antara Perusahaan dan Pekerja cukup memakan waktu karena mereka masih resah dan takut bahwa ucapan Irene hanya untuk menenangkan mereka hari itu saja.

Untungnya setelah Irene mengirim Jennie dan Johnny ke kantor cabang mereka sebagai perwakilan Perusahaan pusat dan melakukan meeting dengan perwakilan Pekerja, akhirnya demonstrasi Pekerja dapat dibubarkan.

“Good job again boss! As always!” ujar Minjeong menunjukkan dua ibu jarinya.

Ia dari tadi duduk di sebelah Irene dan membantu menyuplai info-info yang Irene butuhkan serta menulis hal-hal penting yang harus diperhatikan Irene.

“You too. Thank you for today. Maaf ya hari libur kamu keganggu.” ujar Irene.

“Part of the job. It’s okay kak. Anyway, bukannya sore ini ada halloween party?”

“Damn! You’re right!” Irene buru-buru melihat jam di layar ponselnya.

18.01

She has time but not enough to prepare her costume.

16.32 Mine: Hey, kalo kamu nggak bisa dateng jangan dipaksa ya 💙 Mine: I wish nothing bad happened to the Company. There isn’t any bad news right? :( Mine: Anyway, aku tetep dateng ke acaranya. It’s okay, kan? I already prepared the costume so it’s such a waste kalo aku nggak dateng. Mine: Aku janji nggak minum! 😜 Mine: Eh minum deh, tapi dikit. Pokoknya nggak sampe mabok, I swear! See you at home ya! 😘

Irene tertawa saat membaca pesan terakhir dari Wendy. Sebenarnya ia tidak ada masalah kalau Wendy datang ke pesta halloween tersebut, namun tetap saja ia ingin datang juga.

“Minjeong”

“Yes boss?”

“Kalau dateng ke acara halloween kayak gini gimana?” tanya Irene menunjuk ke arah dirinya.

“Party pooper.” jawab Minjeong cepat saat melihat dress putih yang Irene kenakan.

“But I have an Idea.”

“You do?”

“Percaya aja deh sama aku! Gimme your car key, we need to be fast.”


“Minjeong, ini saya keliatan aneh apa gimana sih?” Irene berbisik ke arah minjeong.

Saat ini keduanya sedang berjalan di basement gedung tempat halloween party diselenggarakan. Irene sesekali melirik ke arah mobil-mobil yang terparkir dan melihat pantulan dirinya dari kaca.

“Nggak kok kak! Serius deh pas Kak Wendy liat pasti langsung berbunga-bunga itu matanya.” kekeh Minjeong, setengah menggoda Irene.

“Well if you say so…”

Minjeong lagi lagi menunjukkan kedua ibu jarinya, meyakinkan bosnya kalau idenya kali ini brilian.

Keduanya berjalan berdampingan memasuki lift menuju hall tempat pesta tersebut berlangsung. Irene sengaja membawa Minjeong kesini sebagai kamuflase bahwa ia hadir di acara tersebut sebagai tamu undangan, as the shareholders of the agency.

“Minjeong, seriously do I look good? Tell me honestly.” tanya Irene yang melihat pantulan dirinya saat pintu lift tertutup. Tangannya lagi-lagi memegang bando telinga kucing yang terpasang di kepalanya.

“Oh my god boss! I told you, you look like a hot mama cat!” ujar Minjeong yang buru-buru menutup mulutnya saat melihat Irene memelototi dirinya. “You asked me to be honest okay?”

Irene menarik napasnya dalam, ia melihat ke lampu indikator yang ada di lift tersebut. Sebentar lagi mereka akan sampai di venue.

Sang CEO berjalan keluar dari lift dengan tegap, matanya langsung mengedar ke seluruh ruangan mencari keberadaan Wendy. Sementara itu Minjeong segera mengeluarkan undangan halloween party dari tasnya dan menunjukkan kepada resepsionis yang berjaga di pintu masuk hall. Ia segera menuliskan nama Irene sebagai shareholders kemudian ia berlari kecil mengejar Irene yang sudah menyelonong jauh ke dalam.

“Kamu jangan jauh-jauh dari saya okay? Tapi kalau mau makan atau apa gitu terserah kamu aja. Handphone jangan disilent.” ujar Irene yang dibalas dengan anggukan oleh Minjeong.

“Awesome, now I can see lots of celebrities here.” bisik Minjeong pada dirinya sendiri

Beberapa orang menyapa Irene saat melihat kehadirannya disana. Mereka cukup terkejut melihat Irene hadir di acara party ini, mengingat Irene sangat jarang datang ke pesta-pesta seperti ini.

Party is never her thing. Chit-chatting just for the sake of keeping the conversation flow is so hard for her.

“Oh my…..pretty cousin!”

Irene menoleh saat ia mendengar suara Taeyeon. Sepupunya itu hari ini memilih untuk menjadi harley quinn.

’Fits her so well’ batin Irene

“Ohoo what a hot cat you are today, eh?” goda Taeyeon.

“Mana Wendy?”

“The last time I saw her, dia lagi battle di karaoke machine.” Taeyeon menunjuk ke arah timur dari tempat mereka berdiri saat ini.

“Okay thanks. You look great by the way.”

“I’m aiming for the best costume today. Yaudah sana enjoy the party ya!”

Irene bergegas berjalan ke arah yang ditunjuk oleh Taeyeon, namun belum sampai di tempat yang di maksud, seseorang menepuk pundak Irene.

“Aww so cute!!” pekik Wendy saat Irene berbalik badan.

Mendengar ucapan Wendy, Irene menjadi malu. Apalagi saat Wendy petting her head and poking her tails.

“Cat Rene” goda Wendy.

“Ini ide Minjeong. Tadi waktunya mepet banget terus Minjeong punya ide buat nyari ini sama ini.” ujar Irene menunjuk bando telinga kucing dan buntut kucing yang ia kenakan.

“So, what’s the score for my costume?” lanjut Irene sembari tersenyum, ia menyengir cukup lebar, sebenarnya lebih ke arah malu karena bisa-bisanya Wendy yang all-out seperti ini namun pasangannya justru datang ‘seadanya’.

Wendy melihat Irene dari ujung kaki ke ujung kepala, lalu ia sengaja akting seakan-akan sedang ‘menilai’ penampilan Irene. Tangannya ia taruh di dagu.

“You look....like a total milf so...” bisik Wendy sengaja membuat efek dramatis.

“Seungwan...”

“Hmm…Perfect 10.” tawa Wendy yang malam itu memakai kostum ala black widow.

Irene menghela napas lega.

Wendy menggandeng tangan Irene untuk menuju tempat yang lebih lengang, ia tahu kalau Irene tidak terlalu suka keramaian. Sepanjang mereka berjalan mencari bar stool yang kosong, Wendy menyapa orang-orang yang ia kenal.

Niatnya adalah agar orang-orang melihat bahwa malam ini ia tidak datang sendirian. Lowkey memperkenalkan Irene sebagai pasangannya. Mau tidak mau Irene harus ikut beramah tamah apabila teman-teman Wendy tersebut mengikutkan dirinya dalam percakapan.

She isn’t a chit chat person but for Wendy’s sake she’s willing to do it.

Terutama saat Irene melihat betapa senangnya Wendy ketika di goda oleh MUA-nya bahwa mereka berdua terlihat serasi.

Wendy menepuk bahu Irene sekilas dan berbisik bahwa ia akan pergi sejenak untuk mencarikan makanan ringan dan minuman yang bisa Irene minum, she doesn’t drink alcohol after all.

Irene hanya mengangguk. Toh ia cukup nyaman duduk di antara tim-nya Wendy dan seorang aktris yang baru Irene ketahui ternyata juga cukup akrab dengan Wendy.

Setelah mendapatkan lampu hijau dari Irene, Wendy segera bergerak kesana kemari, melihat jenis-jenis santapan yang dihidangkan malam itu beserta minuman yang kira-kira bisa Irene nikmati.

“Damn girls, have you seen Irene Bae just now?”

Gossip beberapa orang yang tidak begitu jelas dilihat oleh Wendy. Posisi orang-orang tersebut ada di belakang Wendy dan ia tidak ingin memutar tubuhnya saat ini, ia hanya ingin tahu mereka berbincang-bincang apa tentang Irene.

“Ohh! She’s getting hotter, I swear! Also tadi gue liat dia kayaknya kesini cosplaying as a cat? So cute and hot at the same time! I wanna pet her head!”

“Terakhir gue liat dia tuh di acara charity gitu. Damn she’s still mysterious as always. Masih single nggak sih dia?” balas suara perempuan lainnya.

“Biasanya sih kalo keluarga pengusaha gitu pasti udah ada pasangannya lah. Kalopun belum, paling juga dijodohin.”

“Girls, rumornya she already has someone. You know what the biggest surprise is?”

“Hah apa emangnya?”

“So I heard that Wendy is now taking her chance on her!!”

“Are you fucking real? Dia lagi??”

“Mending juga Irene sama gue daripada sama Wendy. Kenapa sih si Irene mau sama Wendy? Apa benefitnya coba? Apa dia cuma mau nyari pengalaman aja ya?”

Ketiga wanita yang dari tadi bergosip ria tertawa saat mendengar kalimat terakhir tersebut.

Wendy berhenti mengambil makanan yang tadinya hendak ia bawa untuk Irene. Rahangnya mengeras saat ia mendengar percakapan yang makin lama makin membuatnya emosi. Tangannya sudah siap untuk paling tidak menyiram ketiga perempuan yang ada di belakangnya itu.

“They’re not worth it, love.” bisik Irene yang tiba-tiba ada disebelahnya.

“I don’t care what they said about me, but they talked about you like that!” desis Wendy.

“Udah kita balik aja ya ke meja kita tadi? Temen-temen kamu kan ada disana juga.” bujuk Irene. She didn’t want Wendy to do anything that would harm her own reputation. To be honest Irene doesn’t care about what they said too.

Keduanya berjalan kembali menuju meja mereka dan menemukan Minjeong sudah berbincang-bincang dengan Sam dan MUA Wendy. Saat Wendy melihat Minjeong, tiba-tiba ia mendapatkan suatu ide.

“Minjeong, lepasin choker kamu cepetan.” ujar Wendy dengan sedikit menuntut.

“Hah?” tanya Minjeong kaget.

“Udah cepetan. Nanti aku ganti. Sam foto dulu ini barangnya, nanti tolong cariin yang sama persis.”

Baik Minjeong maupun Sam hanya bisa melihat ke arah Wendy dengan penuh tanya namun keduanya tetap mengikuti instruksi Wendy. Setelah Sam selesai memfoto leather choker milik Minjeong, Wendy segera mengambil choker tersebut. Kemudian ia lepas bandul yang menggantung di choker tersebut.

Irene terkejut saat ia melihat kalung yang dulu pernah ia berikan pada Wendy sewaktu mereka masih kecil dipakai oleh Wendy saat itu. Kalung dengan liontin lingkaran yang ditengahnya terukir inisial SW.

Wendy melepaskan liontin tersebut dan memasangkannya pada choker milik Minjeong. Ia tersenyum puas saat melihat bahwa it’s still somehow match. Lalu ia memasangkan choker tersebut di leher Irene.

“Aww, my cute cat. Don’t take away this one okay?” ujar Wendy sambil menepuk puncak kepala Irene as if she's petting her cat.

Sontak Minjeong tersedak saat melihat pemandangan di depannya.

’What the? Is this a pet and master relationship?’ batin Minjeong yang langsung menggelengkan kepalanya.

Wendy kemudian menggandeng Irene dan setengah menyeretnya untuk berjalan kembali ke arah tempat dimana ia mendengar orang-orang yang tadi bergosip tentang dirinya dan Irene.

“Let’s go.” ujar Wendy.

Keduanya berhenti di dekat chocolate fountain saat Wendy melihat sosok yang tadi tengah membicarakan mereka berdua. Rupanya sosok tersebut merupakan salah seorang solois yang juga merupakan rival satu agensinya.

“Seungwan… no.” bisik Irene

“Trust me, I won’t humiliate us.” balas Wendy yang kemudian berjalan menuju arah ketiga wanita tadi.

“Well look who’s here?” ujar sang rival.

“Hey, we just wanna say hi. Denger-denger tadi kalian ngomongin kami berdua.” ujar Wendy sembari menunjukkan senyumannya.

“Huh, no way. Kalian pasti salah denger.”

“Ahh I see… tadi gue denger katanya kalian penasaran ya sama Irene. So I wanna introduce her. Irene, this is my fellow colleague…” ujar Wendy memperkenalkan beberapa orang yang ada dihadapan mereka.

Irene membungkuk singkat dan memberikan senyuman profesionalnya yang selalu ia tunjukkan dalam acara formal. Seperti yang Wendy duga, saat Irene membungkuk, rambutnya yang tergerai ikut bergerak mengikuti gerakan tubuh Irene.

Seperti sudah sangat mengenal kebiasaan Irene, Wendy juga sudah memprediksi bahwa Irene akan menyibakkan rambutnya ke belakang. Gerakan tangan Irene tadi cukup menyita perhatian yang membuat lawan bicaranya menyadari leather choker yang Irene kenakan dan mereka bisa melihat jelas inisial SW yang menjadi bandul choker tersebut.

and that’s when Wendy drop her bomb.

“...and girls, this is Irene, my fiancée. We would like to invite you three on our wedding day. So yeah, she’s off-limits.” ujar Wendy yang kemudian mengalungkan lengannya dengan lengan Irene dan mencium sekilas pipi Irene.

Minjeong dan Sam yang melihat interaksi tersebut dari jauh hanya bisa mengedipkan mata mereka berdua.

“God, I swear Wendy always makes me working extra on weekend.” ujar Sam yang langsung melihat kesekeliling mereka, mengira-ngira siapa saja yang melihat kejadian barusan.

“Yeah, we gotta deal with the press too. Perfect 10.” timpal Minjeong.

THE HOT ROCKSTAR (part 3)

Seperti janjinya, Wendy tiba kurang lebih 10 menit sejak chat terakhir yang ia kirimkan untuk Irene. She almost squealing when she saw how Irene was covering herself under the duffet in their living room.

Mendengar suara alarm pintu yang tertutup, Irene berhenti menatap layar televisi yang sedari tadi menayangkan siaran wisata di kawasan eropa. Senyuman melengkung sempurna di bibirnya saat matanya bertemu dengan manik milik Wendy.

Tubuh Irene secara otomatis bereaksi terhadap kehadiran Wendy. Pertama ia taruh remot yang ia genggam lalu ia keluar dari balutan selimut yang memberikannya kehangatan selama menunggu kepulangan tunangannya itu.

“Welcome home.” sapa Irene yang berjalan ke arah koridor pintu masuk.

Wendy membalas sapaan tersebut sembari melepaskan high heels yang ia kenakan dan langsung menaruhnya di rak sepatu. This is what she called as Joohyun effect.

Semenjak mereka tinggal satu atap, sifat pembersih yang dimiliki oleh Irene menular pada Wendy or more like Wendy wants to avoid any argument with Irene karena Irene bisa sangat cerewet kalau masalah kebersihan dan kerapihan.

Setelah ia menaruh high heelsnya, Wendy langsung berjalan ke arah Irene. Lucunya ia berdiri dengan agak canggung dan justru membuat Irene bingung. Sang CEO menatap Wendy penuh tanya, alis matanya ikut naik menunjukkan kebingungannya.

“Can I get a hug?”

Tanpa menunda-nunda, Irene dengan senang hati langsung melingkarkan lengannya di tubuh Wendy, memeluknya dengan erat. Wajah tunangannya itu terbenam di ceruk lehernya.

“Capek ya?” bisik Irene.

“Hmm. I can’t feel my leg anymore. Also I miss you so much, nggak tau kenapa.”

“Nggak butuh alasan buat kangen seseorang. You can miss me anytime you want because I always miss you too whenever you’re not around.”

Wendy melonggarkan pelukannya, ia menatap wajah Irene dengan jarak yang sangat dekat. Ia mencermati raut wajah Irene, rasa lelahnya mulai hilang sedikit demi sedikit.

“I love you.” ujar Wendy yang diikuti dengan kecupan singkat di bibir Irene.

“Love you too.”

Irene kemudian mendorong tubuh Wendy pelan, tangannya bertengger di bahu Wendy dan mendorongnya untuk berjalan ke arah kamar mereka.

“Ayo kamu bersih-bersih ya, mandi dulu. Semua udah saya siapin di kamar mandi, including a nice warm bath. The bathtub is ready.” ujar Irene yang menuntun keduanya ke kamar mereka.

Wendy tertawa kecil saat ia melihat pantulan mereka berdua di kaca yang terdapat di kamar mereka. She never imagined something so domestic like this can gives her an enormous happiness.

Irene tak tanggung-tanggung langsung mengarahkan Wendy ke kamar mandi, ia kemudian mengambil tas yang semula diselampirkan di bahu Wendy.

“Mandi aja ya, jangan kelamaan apalagi berendam. Nanti kamu sakit, ini udah kemaleman soalnya. Saya di dapur mau ngangetin makanan kamu dulu. Inget pintunya jangan dikun-..”

Ucapan panjang lebar Irene langsung dipotong oleh Wendy dengan satu ciuman hangat.

“I know, aku nggak akan kunci pintunya kok. If anything, you’re always welcome to come inside.” goda Wendy.

Wajah Irene memerah. Ia berdeham untuk mencairkan suasana dan menghilangkan pikiran aneh di kepalanya.

“Yaudah pokoknya gitu.” ujar Irene singkat yang langsung meninggalkan kamar mereka.

Wendy tertawa saat melihat Irene menjadi kikuk seperti itu. Her fiancée needs to grow up and knows that it's okay to think about her in such way. She is hers anyway.


“Jangan kaget ya aku mau peluk kamu.” ujar Wendy yang berjalan ke arah dapur. Ia baru selesai mandi dan sengaja langsung mendatangi Irene, malam ini ia merasa sangat clingy and needs to be close with Irene.

Wendy sengaja memberikan peringatan pada Irene yang saat ini sedang berdiri di dekat kompor dan tak lama kemudian Irene merasakan tubuh Wendy yang menempel di punggungnya.

Wendy just back hugged her.

Wendy benar-benar berdiri tepat di belakang Irene tanpa ada jarak sama sekali. Ia benar-benar memeluk Irene dan menyandarkan kepalanya di punggung Irene. Yang dipeluk hanya menggeleng pelan. Lucu menurutnya. Biasanya yang suka clingy itu ya dirinya tapi malam ini Wendy lagi manja.

Not complaining at all though.

“Masak apa?” tanya Wendy sembari mengintip dari balik pundak Irene.

“Sop ayam. Nggak masak sih, lebih tepatnya tadi saya beli terus ini saya angetin lagi. Barusan saya cicip kok kayaknya ada yang kurang gitu, makanya saya tambahin sedikit bumbunya.”

“Oh gitu… Let’s see chef Bae's works then.” goda Wendy

“Gak usah ngehina gitu dong, saya tau kok kalo masak saya emang kalah sama kamu. Tapi nggak parah-parah amat ya skill masak saya.”

Wendy mengecup pipi Irene saking ia gemasnya.

“Anyway, aku liat ya tweet-tweet kamu.” tawa Wendy yang kemudian mencium leher Irene singkat.

“Ha, now you talked about it. Curang banget kamu bisa liat tweet saya tapi saya nggak bisa liat punya kamu.” protes Irene.

“Biarin aja yeee. Anyway lagi, makasih ya. I feel so appreciated abis liat tweet-tweet kamu.”

“Eh? Why so? Saya liat reaksi orang-orang juga pada bagus kok. You rock it, literally and figuratively.”

“Gatau Hyun, beda aja gitu. Aku udah biasa dipuji stranger and I don’t really put my thoughts on it. Tapi ini kamu dan ini pertama kalinya kan kamu bener-bener liat kerjaan aku. I mean…”

Irene langsung mematikan kompor dan berbalik menghadap ke arah Wendy.

“You’re good at what you did, excellent even. Never doubt yourself. Kamu bisa jadi apaaaa aja yang kamu mau.” ujar Irene meyakinkan Wendy. Ia tahu pasti ada saat-saat dimana seseorang meragukan kemampuan diri mereka dan mungkin saat ini Wendy sedang merasa demikian.

“If anything ya, apa sih itu yang kata-kata fans kamu. Tadi saya sempet baca komen-komen mereka, bentar saya inget dulu…” Irene mengerutkan dahinya, ia mencoba menggali ingatannya.

“Ah! Queen Wendy please step on me!” ujar Irene yang disambut tawa oleh Wendy.

“You sound like a veteran fans, a die hard one.” geleng Wendy.

“Oh, that I’m sure I am. Tapi serius, you rock it. It suits you, really. Saya kaget banget pas liat trailernya.”

“Teaser Joohyun!” tawa Wendy lagi

“Ya ya teaser, but you did tease us way too much.” protes Irene, kini bibirnya mengerucut.

“If I could, saya mau bilang ke seluruh dunia that you’re mine and I’m yours. Tangan saya udah gatel mau switch akun twitter terus drop the bomb.” lanjut Irene.

“Joohyun… I’m so sorry… bukannya aku nggak mau tapi-...”

“I know, saya nggak nyalahin siapapun kok. We do agree kalau saat ini bukan saat yang tepat untuk announce hubungan kita, both for yours and my wellbeing. Ini cuma my jealousy speaking.” ujar Irene yang kemudian mencium bibir Wendy sekilas.

“I want to tell the world too that I love you, Hyun.”

“You will, in time. Tapi saya penasaran nanti respon fans kamu gimana ya? Saya kayaknya pengen pamer ke mereka deh that in the end of the day, I am the winner.”

Wendy tertawa lagi, Irene benar-benar lucu. Sangat berbeda dengan sosok Irene yang pertama kali ia temui waktu mendarat kembali di negara ini.

“Hmm, I don’t know. Sure mereka bakal kaget, truth to be told mereka sering sih ngepairing aku sama co-workers aku. It’s so funny pasti pas mereka tau none of them get it right because my type is this CEO yang ekspresinya datar, workaholic, suka ngegombal, and the family kind of woman.”

Irene tersenyum malu, namun Wendy tau sebenarnya ia juga bangga. Kelihatan dari senyumannya yang sumringah.

“Tapi kayaknya aku tau deh how to tell the whole world that I love you.” lanjut Wendy.

“How?”

“Like this, I love you.” bisik Wendy

“Why are you suddenly whispering? How the world could hear it?”

“Oh it’s because you’re my world, my universe even.”

Irene cuma bisa tercengang dengan pipinya yang memerah. Ia merasakan euforia yang berlebih dan secara otomatis senyumannya semakin merekah.

’Emangnya kamu doang yang bisa ngegombal?’ batin Wendy sambil menahan tawanya.

Wendy mencium pipi Irene kemudian beralih ke bibirnya secara singkat. Lalu ia mengambil mangkuk yang sedari tadi sudah disiapkan oleh Irene dan mulai mengambil makanan yang tadi sudah dihangatkan oleh fiancée-nya itu.

Sementara itu Irene justru masih mematung dengan senyuman konyol di wajahnya.

THE RABBIT AND HER HAMSTER

Autumn, 2000

“Kang Seulgi!!” panggil Joohyun sembari berlari ke arah Seulgi yang sedang berjongkok di taman kompleks perumahan mereka.

Sedangkan yang dipanggil masih fokus membelai kepala anak kucing yang ia temui di taman tersebut. Terlihat rambutnya tersibak dan sedikit berantakan akibat angin musim gugur yang berhembus kencang.

“Kang Seulgi!!” teriak Joohyun lagi.

“Sst!! Diem Joohyun, jangan berisik.” ujar Seulgi, jari telunjuknya menempel di depan bibirnya memberikan kode pada Joohyun untuk berhenti memanggilnya.

Wajah Joohyun sudah mulai memerah, tubuhnya mulai menggigil akibat cuaca yang berangin saat itu, ia tidak pernah bersahabat dengan suhu rendah ataupun angin kencang.

“Kamu ngapain sih?! Dicariin mama kamu tau!” bisik Joohyun yang sudah ikut berjongkok di sebelah Seulgi

“Ini tadi aku cuma kesini niatnya ngecek harta karun kita, tapi terus aku denger dia ngeong-ngeong gitu….”

Joohyun menghela napasnya, tentu saja temannya yang sangat baik hati ini akan tersentuh hatinya saat melihat buntalan bulu yang merintih di tengah dinginnya hari seperti ini.

Well, don’t get her wrong Joohyun bukannya tidak tergugah hatinya untuk membantu hewan liar seperti ini, tetapi ia terlalu geli untuk menyentuh mereka. Bahkan anjing peliharaan Yerim pun tidak pernah ia sentuh.

“Terus gimana? Mau kamu bawa pulang?”

Seulgi diam sejenak, kerutan di dahinya mulai terlihat.

Baru saja Seulgi hendak membuka suaranya, tiba-tiba ia merasakan cengkraman di bahunya. “Ugi…”

“Hmm?”

“Denger nggak?” bisik Joohyun.

“Denger apa?” balas Seulgi yang ikut berbisik pelan.

Lucunya volume suara mereka semakin mengecil seiring dengan berlalunya waktu, seakan-akan keduanya takut suara mereka terdengar oleh orang lain.

“Ada suara orang deh, tadi aku denger.”

“Ngaco ah, dari tadi aku nggak denger ada orang disini.”

“Seriusan aku ugi!!”

Keduanya saling melempar pandang, mulai merasa was-was.

“Hyun, kamu cek deh. Aku mau nungguin Amanda dulu.”

“A-amanda??”

Seulgi menunjuk ke arah kucing yang masih meringkuk di dekat kakinya.

“Sejak kapan nama dia jadi Amanda?” tunjuk Joohyun, matanya membelalak tidak percaya bahwa Seulgi baru saja seenaknya memberikan nama pada kucing liar yang baru hari itu ia temui.

“Sejak aku bilang barusan. Udah cepetan Hyun! Muka kamu udah tambah merah itu, kita harus cepetan pulang kalo nggak nanti alergimu kumat lagi”

Joohyun menggerutu kesal namun ia tetap bangkit dari posisinya. “Udah tau gitu, bukannya pulang dari tadi….. temenin gi…”

Seulgi menggeleng pelan, ia tetap teguh untuk berada disana bersama dengan kucing abu-abu putih yang baru ia temui hari itu. Joohyun yang melihat tidak adanya respon dari Seulgi akhirnya memilih untuk melangkah meninggalkan posisinya dan mengikuti insting serta pendengarannya.

Ia yakin bahwa tadi ia mendengar suara seseorang di taman tersebut.

“Halo?” panggil Joohyun pelan, entah pada siapa.

Joohyun mencoba untuk melangkah lebih jauh, menjelajah taman bermain yang sudah ia hafal dengan sangat baik. Ia memeriksa perosotan dan ‘rumah-rumahan’ yang terletak di bawahnya, namun tidak menemui siapapun.

’Apa aku tadi salah denger ya?’ batin Joohyun.

Namun Joohyun tetap melanjutkan ‘petualangan’ singkatnya, ia masih sangat yakin tadi ia mendengar suara seseorang.

Beberapa langkah memasuki area yang sering ia gunakan untuk bermain rumah-rumahan bersama dengan teman-teman sebayanya, Joohyun melihat seseorang yang duduk meringkuk di ujung sisi terowongan penghubung antara perosotan dengan rumah-rumahan tersebut.

“H-halo?” sapa Joohyun pelan.

Semakin ia mendekati sosok itu, Joohyun sadar bahwa sosok yang ia lihat adalah seorang gadis yang kemungkinan seumuran dengan Yerim. Gadis itu berjongkok, bahunya bergetar naik-turun, dan saat itulah Joohyun sadar kalau sosok di depannya sedang menangis.

“Kamu kenapa disini sendirian?”

Sosok yang diajak bicara akhirnya menengadahkan kepalanya sejenak. Ia menatap Joohyun dengan matanya yang berlinang air mata namun kembali menyembunyikan wajahnya saat mata Joohyun menatapnya langsung.

Joohyun terkejut saat melihat gadis tersebut hanya menggunakan baju lengan pendek, yang ia yakin tidak akan cukup untuk memberikan kehangatan kala itu. Perlahan Joohyun kembali mendekat dan ikut berjongkok di depan gadis tadi.

“Nggak kedinginan?”

Lagi-lagi Joohyun tidak mendapat jawaban. Ia mulai bingung.

“A-aku Joohyun. Nama kamu siapa?” tanya Joohyun lagi, kali ini ia bertanya sembari berdiri dan melepaskan jaket hitam yang sedari tadi membuatnya terlihat seperti kepompong.

Ia sampirkan jaket hitam miliknya di pundak gadis tadi agar ia merasa sedikit lebih hangat. Sontak gadis itu terkejut dan refleks menjauhkan dirinya dari Joohyun.

“Pake aja jaketku, biasanya aku juga minjemin jaketku ke Myemim kalo dia kedinginan. Jadi nama kamu siapa?” ujar Joohyun santai.

Melihat bahwa orang asing yang ada di dekatnya bukanlah suatu ancaman, gadis itu membuka mulutnya pelan, “.....ngwan”

“Kyungwan?”

Gadis itu menggeleng, tanda bahwa Joohyun salah. “...ungwan”

“Byungwan?”

“Seungwan!!” teriak gadis itu kesal. Ia mengerucutkan bibirnya.

Sementara itu Joohyun tertawa, sebenarnya ia sudah dengar dengan jelas siapa nama gadis ini, hanya saja ia ingin menggodanya sedikit. Ia tidak suka melihat seseorang menangis di taman bermain, tempat dimana seharusnya mereka justru merasakan suka cita.

“Hoho, ya ya Seungwan. Kenapa kamu disini sendirian Seungwan?” tanya Joohyun sembari mengacak-acak rambut Seungwan. Ia gemas sekali pada sosok teman di depannya.

Mata Seungwan masih berlinang air mata namun bibirnya mengerucut kesal dan pipinya justru terlihat semakin tembem saat ia melihat Joohyun masih menertawakan dirinya.

“Bae Joohyun!!”

Joohyun menoleh ke arah datangnya suara, “Disini ugii!!!”

Tak lama setelahnya, Seulgi ikut masuk ke rumah-rumahan dengan Amanda yang sudah ia gendong di depan dadanya.

“Oh?” ujar Seulgi saat melihat sosok yang tidak ia kenal bersama dengan Joohyun.

Joohyun menggelengkan kepalanya. Memberikan isyarat pada Seulgi untuk tidak banyak bertanya dulu.

“Seungwan, rumah kamu dimana? Pulang yuk? Ini udah mau malem.”

“Oh? Dia tetangga kita?” tanya Seulgi

“Kang Seulgi, yang bisa masuk kompleks ini cuma yang tinggal disini. Ya pasti Seungwan tinggal disini juga dong?”

“Hehe bener juga. Oh iya, aku Seulgi.”

Joohyun berdiri, ia menepuk-nepuk pelan celana bagian belakang miliknya. Ia melirik ke arah Seungwan dan tertawa pelan, “Ayo kita pulang gi, katanya disini kalau malam ada hantu yang suka makan anak kecil! Hiii”

“Hah? H-hantu?” ujar Seungwan takut.

Seulgi mengangkat bahunya, ia baru pertama kali dengar ada cerita seperti ini. Sementara itu Joohyun menarik tangan Seulgi, mengajaknya untuk keluar dari rumah-rumahan itu.

“Iya Seungwan, ada hantu yang suka makan anak-anak. Apalagi anak-anak yang suka pakai baju warna biru.”

Wajah Seungwan berubah panik saat ia menyadari pakaian yang ia gunakan berwarna biru. Buru-buru ia raih tangan Joohyun dan digenggamnya dengan erat.

“Kak aku ikut pulang! T-tapi aku nggak tau jalan.” mata Seungwan perlahan mulai berlinang air mata lagi.

Joohyun hanya tersenyum namun tangannya kini berada di puncak kepala Seungwan, lagi-lagi ia mengacak rambut Seungwan. Kemudian secara otomatis tangannya turun dari puncak kepala Seungwan untuk menyentuh lesung pipi yang nampak saat gadis di depannya tersenyum masam atas tindakan Joohyun.

“Kamu lucu.”

Seulgi memandang Joohyun dan Seungwan secara bergantian, lalu menyentuh pipi kucing yang ia gendong dengan jari telunjuknya. “Amanda, ayo kita pulang.”


Butuh waktu hampir sebulan sebelum Joohyun kembali melihat wajah Seungwan. Kali ini Seulgi lah yang pertama kali melihat sosok Seungwan yang duduk di pintu lobby sekolah mereka.

“Hyun! Itu Junghwan kan?” tunjuk Seulgi.

“Junghwan?”

“Iya itu yang kita ketemu di taman! Inget nggak? Yang sama Amanda?”

“Seungwan. Namanya Seungwan bukan Junghwan.” jawab Joohyun sembari memutar bola matanya. She swears her friend can be so forgetful at times.

Joohyun berjalan mengikuti Seulgi yang sudah berlari kecil ke arah Seungwan, ia tertawa pelan saat melihat Seungwan masih terlihat lucu dengan pipi tembemnya itu. Tampak Seungwan sedang meminum jus kemasan, mata bulatnya melihat kesana kemari.

“Wannie!! Inget kita kan?” sapa Seulgi yang sudah duduk disebelah Seungwan tanpa memperhatikan bahwa Seungwan terlihat tidak nyaman dengan kehadiran ‘orang asing’ di dekatnya.

Melihat hal ini, Joohyun menarik ujung kerah baju seragam yang Seulgi kenakan.

“Maaf ya, Seulgi suka terlalu bersemangat.”

Seungwan mengangguk.

“Eh tapi inget kita kan?” tanya Seulgi lagi, kali ini ia menyenggol lengan Seungwan dengan sikunya.

Seungwan meringis pelan sebagai reaksi atas tindakan Seulgi membuat Joohyun hampir saja menarik Seulgi sekali lagi

“I-inget….K-kak S-Seulgi….” jawab Seungwan pelan.

Wajah Joohyun berubah masam saat ia tidak mendengar namanya disebut oleh Seungwan but then again mereka hanya bertemu sekali dan sudah cukup lama, wajar kalau Seungwan lupa namanya.

’Tapi kenapa dia inget Seulgi?!’

Akhirnya Joohyun hanya memperhatikan Seulgi dan Seungwan yang sudah bercengkrama seakan-akan mereka saling mengenal satu sama lain. Dari percakapan keduanya, Joohyun mengetahui bahwa Seungwan merupakan murid pindahan di sekolahnya dan seperti dugaannya, Seungwan memang lebih muda darinya dan Seulgi.

Seungwan saat ini terdaftar sebagai murid kelas satu, sedangkan Joohyun dan Seulgi siswa kelas empat.

Tin! Tin!

Seulgi, Joohyun, dan Seungwan menoleh saat mereka mendengar suara klakson mobil sedan putih. Tak lama kemudian jendela mobil tersebut terbuka dan menampakkan Tuan Kang dengan senyumannya yang sangat mirip senyuman Seulgi.

“Seulgi! Ayo pulang!”

“Oh, papaku udah dateng! Aku duluan ya! Hyun, maaf ya aku gak bisa ngasih tumpangan, hari ini jadwal aku ke dokter gigi.” ujar Seulgi sembari terburu-buru mengambil tasnya dan berlari ke arah mobilnya.

Joohyun melambaikan tangannya ke arah Seulgi dan Tuan Kang, lalu membungkukkan badannya sedikit saat ia melihat Tuan Kang menyapanya melalui lambaian tangan.

Setelah mobil sedan tersebut meninggalkan area sekolah, Joohyun melirik ke arah Seungwan dan mendapati gadis itu sudah sibuk dengan isi tasnya. Omong-omong isi tas, Joohyun penasaran untuk apa Seungwan membawa tas ransel sebesar itu? Ia baru kelas satu bukan? Seingatnya saat ia kelas satu, ia hanya bawa bekal makanan saja.

Joohyun yang tadinya sudah tidak memperhatikan gerak gerik Seungwan, kembali terfokus saat secara tidak sengaja ia melihat ada bekas kemerahan di lengan kiri tangan Seungwan. Tepat di sisi yang tadi Seulgi sikut.

’Tangan dia luka? Tadi Seulgi cuma nyikut pelan padahal, atau udah luka duluan?’

Namun Joohyun tidak punya waktu banyak untuk berpikir, ia melihat supir keluarganya sudah berjalan ke arahnya artinya ia harus meninggalkan Seungwan sendirian sebentar lagi.

’Think Joohyun, think! Tapi buat apa?’

Mengingat bekas kemerahan di lengan Seungwan, Joohyun dengan sengaja memegang lengan tersebut dan benar seperti dugaannya, tangan Seungwan memang terluka.

“Arghh….”

Joohyun buru-buru melonggarkan genggamannya saat melihat reaksi Seungwan yang kesakitan.

“M-maaf… Tangan kamu luka?” tanya Joohyun, tangannya menyibakkan baju seragam yang Seungwan gunakan namun Seungwan buru-buru mengelak.

“N-nggak kak…”

“Tapi kamu kesakitan.”

Seungwan tetap gigih menggelengkan kepalanya. Joohyun baru saja hendak membuka mulutnya lagi, namun ia sudah dipotong oleh supir keluarganya yang kini sudah berdiri di hadapannya.

“Nona, Ayah sudah menunggu di rumah sakit.”

Joohyun menghela napasnya panjang, right her yearly medical check-up

“Pak, bawa handphone kan?” tanya Joohyun.

Supir keluarganya itu mengangguk, cukup heran mengapa kalimat pertama yang Joohyun ucapkan padanya justru pertanyaan tentang ponselnya.

“Tolong telpon ayah.”

Laki-laki tersebut menganggukkan kepalanya lagi dan dengan cepat menelepon bosnya. Kemudian ia menyerahkan ponsel miliknya pada Joohyun. Tidak butuh waktu yang lama sampai Tuan Bae mengangkat sambungan telepon tersebut.

”Ha-...”

“Ayah, ini Joohyun. Aku bawa temenku ke rumah sakit ya? Tolong telponin ayahnya dia dong.”

”Hah? Joohyun? Teman kamu kenapa nak?”

“Aku kayaknya tadi kekencengan megang dia, terus sekarang tangannya merah. Tolong minta tante Jinhee periksa temenku ya yah?”

”Ayah rasa temen kamu nggak harus sampai dibawa ke rumah sakit?”

“Ayah!!” rengek Joohyun,.

Tuan Bae tertawa, ”Okay, okay. Kamu bawa temen kamu ke rumah sakit ya? Siapa namanya? Nanti biar ayah daftarin ke tante kamu.”

“Seungwan.”

Baru saja Seungwan hendak protes saat ia mendengar namanya disebut, namun Joohyun sudah memelototi dirinya dan membuat nyali Seungwan langsung menciut.

”Okay, Seungwan. Terus kamu tau orang tuanya dia? Kan nggak mungkin kamu ajak Seungwan ke rumah sakit tapi orang tua Seungwan nggak tau.”

“Uhmm, ayah yang telponin! Itu Seungwan tetangga kita, rumah nomor 21.”

”Oh...Okay… Sampai ketemu di rumah sakit ya sayang?”

“Makasih ayah!”

Joohyun mengembalikan ponsel tersebut pada pemiliknya tepat setelah sambungan telepon terputus. Ia kemudian mengambil tas ransel milik Seungwan dan memberikannya pada supirnya.

“Ayo, kamu ikut aku.”

“Nggak mau! Kakak mau nyulik aku ya?!”

Joohyun memutar bola matanya, “Seungwan, kalo kamu gak ikut aku yang ada kamu yang diculik orang gak dikenal. Liat tuh sekolah udah sepi. Udah ayo cepetan.”

*******************************************************************

Seungwan dan Joohyun kini berhenti tepat di depan rumah keluarga Son. Ia kukuh untuk mengantarkan Seungwan pulang walaupun sudah ditolak mentah-mentah. Alasan Seungwan, ia tidak ingin menyulitkan Joohyun lebih jauh lagi dan lagi ia bisa saja pulang sendiri, apalagi rumahnya itu terletak tepat di seberang rumah Joohyun. Ibaratnya ia hanya perlu menyebrang jalan.

Namun Joohyun tidak pernah mau menerima penolakan.

“Udah sampe ya, aku nggak nyulik kamu kan?” ledek Joohyun

“Kalau ada apa-apa disekolah jangan diem aja. Kalau kamu dinakalin orang, lapor ke guru kelas kamu! Atau kamu bilang ke aku atau Seulgi! Pokoknya jangan diem aja. Terus jangan luka nabrak meja lagi. Itu salepnya dipake, dulu Yerim juga pernah luka kayak kamu terus sembuh cepet kok.” sambung Joohyun yang sudah berbicara panjang lebar.

Seungwan hanya mengangguk. “Kak…”

“Hm?”

Joohyun terkejut saat merasakan sentuhan bibir Seungwan di pipinya. Ia terpaku di tempat, bahkan tidak sempat mengucapkan apa-apa lagi karena Seungwan sudah berlari meninggalkan dirinya.

Suara pagar yang tertutup dengan keras lah yang membangunkan Joohyun dari kondisi freeze sesaatnya.

’What is this?’


Semenjak hari dimana ia membawa Seungwan ke rumah sakit, ia sadar bahwa Seungwan menjadi lebih ekspresif dan menempel pada dirinya dan Seulgi seperti permen karet yang tidak bisa lepas.

Joohyun merasa sangat awkward tiap kali Seungwan menunjukkan afeksinya dan kadang hal itu ditunjukkan dengan sangat terang-terangan oleh Seungwan.

Exhibit A

“Kak Joohyun! Kak Seulgi!” teriak Seungwan yang sudah berlari ke arahnya.

Teman-teman Joohyun memandangi Seungwan dengan aneh, bagaimana tidak? Anak kelas satu dengan berani memanggil anak kelas empat dan si anak kelas satu ini hanya memperdulikan Joohyun serta Seulgi dan menganggap yang lainnya tidak ada.

“Kak! Kemarin aku coba bikin cookies! Ini buat kakak ya!” ujar Seungwan yang langsung memberikan Joohyun sekotak cookies kemudian lari meninggalkan gerombolan anak kelas empat.

“Oooh, Bae Joohyun punya fans.” goda salah satu teman sekelasnya.

“N-nggak! Ini kan juga buat Seulgi.” Joohyun hanya mendengus malu.

Exhibit B

“Ugiiiii, kenapa sih tugas sekolah kita harus kayak gini!!” gerutu Joohyun.

Saat ini baik Joohyun dan Seulgi sedang berjongkok di halaman rumah Joohyun. Mereka mendapat tugas biologi untuk melihat perkembangan hidup hewan dan keduanya setuju untuk menjadikan Amanda sebagai eksperimen mereka. Namun permasalahannya adalah Joohyun terlalu geli untuk berinteraksi langsung dengan Amanda.

Akhirnya Seulgi dan Joohyun berbagi tugas, Seulgi yang akan melakukan semua kontak langsung dengan Amanda dan Joohyun yang bertugas untuk membersihkan kandang atau hal lain yang berkaitan dengan Amanda.

“Hyun, sabar aja. Tugas kita kan cuma buat satu bulan ini aja.” ujar Seulgi yang tertawa melihat Joohyun kesulitan membersihkan sisa-sisa kotoran Amanda yang menempel di kandang portable.

“Kak Seulgi! Kak Joohyun!”

“Oi! Wannie!!” Seulgi melambaikan tangannya histeris. “Wannie, tolongin kita mau nggak?”

“Oh? Ngapain kak?”

“Bantuin Joohyun cuci kandangnya Amanda.”

Joohyun hanya diam, ia menghindari interaksi dengan Seungwan takut-takut suasana akan berubah menjadi awkward lagi baginya. Menurutnya lebih baik ia kembali fokus membersihkan kandang daripada harus membuang waktu dengan berbincang-bincang.

“Nggak mau! Ewwh.” jawab Seungwan yang menunjukkan raut wajah jijik.

“Ih Seungwan!! Terus kamu ngapain kesini?”

“Oh, ini aku mau kasih buat Kak Seulgi.” ujar Seungwan yang memberikan sebuah beanie bergambar beruang dan memberikan Joohyun sebuah syal berwarna biru muda “Terus ini buat Kak Joohyun! Mamaku baru pulang dari tugas. Dah Kakak!! Kak Joohyun bau!!”

Mendengar ucapan Seungwan, Joohyun segera berdiri. Ia hendak melayangkan protes atas ucapan Seungwan. Namun sayangnya orang yang ingin diajak bicara sudah meninggalkan mereka berdua tanpa menunggu tanggapan keduanya.

“Gi, tukeran.” ujar Joohyun, tangannya sudah hampir mengambil beanie milik Seulgi.

“Gamau! Lagian kan syal lebih kepake sama kamu. Apalagi kalo di musim dingin?”

“Tapi ini biru!”

”Blue looks good on you Joohyun. Lagian ini kan dari Seungwan, masa dituker? Bukannya dia suka biru ya?”

The skies are blue, the lavender is violet. What Seulgi said is true and Joohyun’s cheek went red.


Waktu istirahat selalu menjadi favorit siapapun, tak terkecuali Joohyun dan Seulgi. Kepala mereka berdua serasa mengepul setelah mengerjakan soal ulangan matematika.

Seulgi menyandarkan kepalanya di atas meja sementara Joohyun bersandar di kursinya dengan kaki berselonjor lemas.

“Joohyun kalo nilaiku jelek, please jangan kasih tau papaku.” ujar Seulgi lemah.

Yang diajak bicara hanya tertawa, ia tahu kalau Seulgi hanya melebih-lebihkan saja.

“Gi, siang ini ada les gitar nggak?” tanya Joohyun mengalihkan pembicaraan.

“Nggak ada. Kenapa?”

“Temenin aku ya, mau nyari kado.”

Seulgi mengernyitkan dahinya, “.....buat?”

Ekor mata Joohyun melihat seseorang berlari di koridor dan masuk ke kelasnya, saat Joohyun menyadari bahwa itu adalah Seungwan, ia langsung bersembunyi di balik meja guru dan memberikan aba-aba bagi Seulgi untuk tidak membocorkan tempat persembunyiannya.

“Kak Seulgi! Kak Joohyun mana?” tanya Seungwan to the point.

Seulgi yang tidak punya cukup waktu untuk memikirkan jawaban harus sedikit gelagapan saat mendengar pertanyaan simpel dari Seungwan.

“Uh itu…. Joohyun….” Seulgi melirik ke arah meja guru dan menemukan bahwa Joohyun sudah tidak ada disana melainkan sudah berlari keluar kelas menyusuri koridor.

“P-pergi…. Gak tau kemana….”

Ekspresi wajah Seungwan menunjukkan kekecewaan setelah mendengar jawaban dari Seulgi.

“O-oh…”

“Kenapa Wannie?”

“Aku mau bilang makasih, kemarin kak Joohyun bantuin aku lagi pas aku diejek karena logatku aneh.”

“Joohyun?”

Seungwan mengangguk. “Kemarin Kak Joohyun sampe dipanggil pak guru.”

Ah, that explained why Joohyun was absent from their English class.

*******************************************************************

Joohyun harus menahan rasa kesalnya pada Seulgi namun tetap saja Seungwan bisa merasakan kalau mood Joohyun saat itu tidak baik. Alhasil Seungwan memilih untuk mengambil sedikit jarak dan berjalan di belakang Joohyun, sementara itu Seulgi yang tahu kalau Joohyun sedang marah padanya memilih untuk berjalan bersama dengan Seungwan.

“Kak Seul…”

“Yep Wannie?”

“Kak Joohyun gak suka ya aku ikut?” tanya Seungwan lirih. Matanya mengikuti kemanapun Joohyun melangkah.

Saat ini Seulgi memilih untuk menunggu Joohyun di luar toko pernak pernik bersama dengan Seungwan. Dari awal Seulgi tidak pernah tertarik membuat hiasan-hiasan handmade berbeda dengan Joohyun yang cukup sering membuat gelang dan kalung.

Seulgi tidak menjawab pertanyaan Seungwan, ia memilih untuk tersenyum dan mengalihkan pembicaraan. Sejujurnya ia sendiri bingung kenapa Joohyun bertingkah seperti ini.

“Kamu suka es krim nggak?”

“Suka!”

“Nanti kita beli ya, Joohyun kalo lagi ngambek sukanya makan es krim.”

“Tapi aku nggak punya uang….”

“Nanti pake uangku aja, tapi kamu yang kasih ke Joohyun ya? Sekalian kan kamu mau bilang makasih ke Joohyun?”

Ekspresi wajah Seungwan langsung berubah 180 derajat, seakan-akan ucapan Seulgi adalah penemuan paling unik dan tercerdas.

“Beneran ya kak?”

Seulgi tersenyum lebar dan mengacungkan jempolnya.

Keduanya berhenti berbicara saat mendengar Joohyun berdeham di belakang mereka dengan tangan yang menyilang di depan dada.

“Aku nggak ngambek. Nih buat kalian.”

Joohyun memberikan gelang berwarna kuning dengan manik-manik berbentuk beruang pada Seulgi kemudian menjulurkan tangannya pada Seungwan, “Sini tangan kamu, ini harus diiket soalnya.”

The oldest of the three berusaha untuk tetap tenang saat ia mengangkat tangan Seungwan tanpa menunggu izin dari Seungwan. Ia langsung memakaikan gelang berwarna biru dengan manik-manik hamster pada Seungwan.

“Jangan nangis lagi, sekarang udah punya barang kembaran sama aku dan Seulgi kan? Biarin aja kalau temen-temen kelas kamu gak mau ngajak kamu main, ada aku sama Seulgi.”

Seulgi tanpa banyak bicara langsung memakai gelang tersebut walau sebenarnya ia tidak terlalu suka memakai pernak-pernik seperti ini. Ia tertawa pelan saat melihat gelang berwarna pink dengan manik berbentuk kelinci yang Joohyun kenakan.

’Siapa sangka Joohyun bisa seperhatian ini?’


25 September 2021

Air mata Seungwan menetes pelan saat ia melihat barang-barang yang ada di dalam kotak bertuliskan ”Seungwan’s” yang ada di pangkuannya.

Semenjak hubungan Seungwan dengan Ibunya, Nyonya Do, kembali hangat Seungwan sering mengunjungi rumah keluarga Do yang terletak di kompleks perumahan petinggi pemerintahan, sekitar satu setengah jam dari apartemennya.

Walaupun Seungwan hanya beberapa kali mengunjungi rumah keluarga besar Ibunya ini sewaktu ia masih kecil, namun Nyonya Do tetap menjaga kamar tersebut sebagai kamar pribadi Seungwan. Bahkan barang-barang yang ada disana pun masih sama, baju-baju Seungwan semasa kecil pun masih tak tersentuh.

Awalnya Seungwan hanya ke kamar ini untuk mencari barang kali ada kaos yang bisa digunakan oleh Joohyun setelah fiancée-nya dengan ceroboh menumpahkan saus teriyaki di kemeja yang ia kenakan.

Seungwan yang tahu bahwa Joohyun tidak suka menggunakan pakaian yang bernoda, lantas berinisiatif mencarikan baju ganti. Namun saat ia membuka lemarinya, Seungwan justru menemukan kotak persegi panjang bertuliskan namanya yang berisikan banyak barang-barang kenangan masa kecilnya sebelum ia pindah ke Kanada.

’Tok! Tok!’

Seungwan buru-buru menyeka air matanya saat mendengar suara ketukan di pintu kamarnya.

“Seungwan, saya masuk ya? Saya sudah dapat baju ganti kok. Mama kamu minjemin kemeja, untung ada yang ukurannya pas.” ujar Joohyun yang sudah berjalan memasuki kamar Seungwan.

“Oh, okay. Aku juga nggak nemuin baju yang bisa kamu pake.” jawab Seungwan yang masih memunggungi Joohyun. Ia berdiri, melangkah ke arah pintu lemari pakaiannya, masih berusaha agar bisa menghilangkan sisa-sisa air matanya.

Sementara itu Joohyun sudah melepas kancing bajunya satu per satu dan berganti pakaian. Agak memalukan untuk diakui namun since their first night Joohyun sudah tidak merasa canggung lagi untuk berganti pakaian di dekat Seungwan, if anything malah Joohyun merasa percaya diri setelah ia mendengar pujian yang terlontar dari mulut Seungwan.

“Well, it’s blue. Not my favorite color, it's yours but still better than wearing my previous shirt.” ujar Joohyun pada dirinya sendiri.

Saat menyadari bahwa ia tidak mendapat tanggapan dari Seungwan, Joohyun merasa ada yang tidak beres pada Seungwan. Ia mengernyitkan dahinya.

Matanya kemudian melihat kotak persegi yang berisikan memory lane milik Seungwan. Joohyun menghela napasnya, ia ingat pesan dari Ojé bahwa hal-hal yang mengingatkan pada masa lalu Seungwan juga merupakan trigger bagi Seungwan.

Ada alasan mengapa Seungwan tidak bisa mengingat banyak memori masa kecilnya, traumanya memaksa Seungwan untuk menekan semua memori-memorinya dan perlahan ia menaruh semua memori itu di sisi terdalam dari dirinya yang ia tidak pernah sentuh lagi.

“Hey, are you okay?” tanya Joohyun, kedua tangannya menyentuh bahu Seungwan.

“Yeah…Just….feeling nostalgic.”

Joohyun memutar tubuh Seungwan pelan, kemudian ia memeluk Seungwan dengan hangat. “I know you Seungwan. You just cried, something happened?”

“Serius aku nggak kenapa-kenapa. You know that time when I’m in my weird mode?”

Ah, Seungwan’s mood swing.

Joohyun mengangguk, ia membiarkan Seungwan untuk berbicara sementara ia tetap memeluk dan membelai kepala Seungwan.

“I’m in my weird mode. Aku nggak tau mama masih nyimpen kotak itu, terus aku nemu beberapa barang.”

“I see, so are these happy tears or sad tears?”

“Happy.”

“I’m glad then. Kalau masih mau nangis, lepasin aja. You already live with those heavy feelings for years, Seungwan. It's time to let go.”

Ucapan Joohyun justru membuat air mata Seungwan mengalir lebih deras. Entah mengapa ucapan tadi seakan-akan membuka gerbang perasaannya.

She’s wailing in Joohyun’s embrace.

“Shush, let it all go.”

“I’m so sorry Hyun….” ucap Seungwan disela-sela tangisnya.

“Hmm? You’ve nothing to be sorry about.”

Seungwan menggeleng, kalimatnya terputus-putus, ia terceguk. “I’ve hurt you... in the past months...while in fact you’re already there... since the beginning. You’re always there... for me. I’m so sorry…”

“It’s okay… You don’t mean it right? Yang penting sekarang kita berdua melangkah maju okay? Emang kamu habis liat apa sih sampe nangis gini?”

“Gelang yang kamu kasih ke aku. Gelang hamster.”

Joohyun tertawa, “Ah, gelang itu ya. Awalnya saya mau kasih kamu kalung, tapi karena Seulgi bawa kamu hari itu, rencana saya buyar semua. Jadinya saya impromptu beli gelang itu.”

“Kalung? That friendship necklace you and Kak Seul talked about?” tanya Seungwan penasaran. Ia mengambil jarak agar bisa melihat ekspresi wajah Joohyun.

Joohyun mengangguk malu, Seungwan bisa melihat kuping Joohyun perlahan memerah.

“That necklace I gave you on valentine days… is not really a friendship necklace. Actually, it’s a present because you gave me a scarf. Gaaaah, how can I be that lame? I’m only a fifth grader at that time. What the?” ujar Joohyun pada dirinya sendiri, ia sangat malu.

“Seungwan? Joohyun?” terdengar suara Nyonya Do dari balik pintu.

“Ya ma?”

“Ayo keluar, makanannya udah siap semua.”

“Oke, oke. Sebentar Joohyun masih ganti baju, nanti nyusul.” jawab Seungwan cepat.

Tak lama kemudian terdengar langkah kaki menjauhi pintu kamar Seungwan. Setelah ia yakin bahwa mamanya sudah cukup jauh dari kamarnya, Seungwan mencium bibir Joohyun singkat.

“I wanna kiss you so bad.”

“But you just did?!”

“It’s a peck, not a proper kiss.”

“Then just kiss me?”

“No, because if I do, then we will only get out of this room in two hours. In fact, kita pulang aja gimana?”

Joohyun tertawa, “Seungwan, mama kamu udah kangen banget sama kamu.”

“But I miss you too?! And I want you for myself only.”

Kini giliran Joohyun mencium Seungwan sekilas.

“I’m yours eternally. I’m already yours since our first meeting.” ujar Joohyun setelah ia menyudahi ciuman mereka, jari telunjuknya menyentuh lesung pipi Seungwan yang muncul saat ia tersenyum.

Ucapan Joohyun justru membuat Seungwan mendengus, ia mendorong badan Joohyun “Ya, ya then what about Kak Nana?”

“Are we really going to talk about her?” tanya Joohyun yang mengekor dibelakang Seungwan yang sudah berjalan meninggalkan kamarnya.

“Why not? I’ve time.”

“Alright, you’re jealous.” goda Joohyun.

“I’ve the right to be jealous. On second thought, I don’t wanna kiss you anymore. I want to interrogate you.” ujar Seungwan yang menjauhi Joohyun.

Joohyun hanya bisa menelan ludahnya. Seungwan terdengar serius dengan ucapannya.

Nice, moody Seungwan it is.

'Oh my God, it's gonna be a long day.' protes Joohyun.

THE ONLY EXCEPTION

Sepasang mata terbuka lebar di tengah kegelapan, memandangi sosok yang terlelap di hadapannya. Wendy memperhatikan betapa terlelapnya Irene saat itu, ia terlihat sangat kelelahan. Hal yang wajar dan tidak membutuhkan penjelasan panjang lebar karena workload Irene akhir-akhir ini memang sedang meningkat pesat.

Terlebih Irene baru saja mengambil keputusan yang cukup riskan dengan mengganti hampir setengah dari susunan Direktur di Perusahaannya setelah menemukan bukti-bukti bahwa penggelapan pajak yang terjadi merupakan suatu permufakatan yang dilakukan oleh beberapa Direktur tersebut.

Wendy memperhatikan gerakan dada Irene yang naik turun berirama dan ia sempat tertawa pelan saat melihat bibir Irene yang melengkung seakan-akan ia sedang cemberut.

Semenjak keduanya memutuskan untuk tidur di kamar tidur utama, kamar tidur yang dulunya ditempati oleh sang solois, Wendy seringkali menemukan dirinya terbangun tengah malam hanya untuk memperhatikan Irene yang sedang terlelap.

Terdengar creepy but it’s a new habit of hers that she likes. Tak jarang pula Wendy mengubah posisi tidurnya agar bisa lebih dekat dengan Irene atau agar ia bisa tertidur dalam pelukan Irene ketika ia sedang lelah-lelahnya karena pekerjaan. As weird as it sounds but sleeping inside Irene’s embrace does makes her sleeps better at night.

Namun kali ini Wendy tidak ingin mengganggu tidur Irene yang sangat pulas karena ia tahu Irene saat ini sangat kelelahan. Irene notabenenya merupakan light sleeper jadi suara sekecil apapun atau gerakan sepelan apapun bisa membangunkannya dan Wendy tidak ingin mengganggu tidur Irene.

Wendy menempelkan sidik jarinya pada layar ponselnya dan seketika matanya harus mengernyit kesilauan. Ia melihat saat itu sudah tiga dini hari, hanya tiga puluh menit sebelum ia harus mulai bersiap untuk schedule-nya. Jadwal dadakan yang belum sempat ia bincangkan dengan Irene, saking sibuknya mereka.

Truth to be told, saking sibuknya Irene.

Sudah sebulan lebih Irene selalu pulang lembur, banyak janji-janji dates mereka yang harus dibatalkan, bahkan janji makan bersama kedua orangtuanya pun tidak luput menjadi korban dan tiap kali Irene harus membatalkan janjinya, Wendy tahu bahwa Irene akan semakin stress.

One of Irene’s traits yang seperti pisau bermata dua adalah sikapnya yang sangat menepati janji dan selalu merasa bersalah ketika ia tidak bisa menepati janji. Of course, ini sifat yang baik tapi Wendy tahu bahwa Irene pun membatalkan janjinya bukan karena kemauannya namun karena terpaksa keadaan. Jadi Wendy pun tidak banyak ambil pusing, walau kadang ya Wendy juga merasa kesal because she already planning how she wants to spend her time with her Joohyun.

So, awalnya Wendy sudah menjadwalkan bulan ini untuk tidak mengambil kerjaan apapun karena tadinya ia ingin mengajak Irene untuk berlibur. Namun rencananya itu sudah pasti tidak bisa dilakukan, akhirnya Wendy mulai menerima tawaran-tawaran yang diberikan padanya.

Bisa dibilang seperti mengisi waktu selama ia tidak bisa bertemu dengan Irene. A bit cringe for Wendy to admit that saat ini ia jauh lebih manja dan clingy jika dibandingkan dengan awal-awal mereka menjalin hubungan. Apalagi setiap ia harus sendirian di apartemennya itu, tangan Wendy selalu gatal untuk mengirimkan pesan pada Irene dan menanyakan kapan ia akan pulang.

Biasanya Wendy selalu memberitahu Irene tentang schedule-schedulenya dan tidak jarang Irene tiba-tiba mengirim sesuatu ke lokasi tempat ia melangsungkan pekerjaannya itu bahkan pernah pula Irene mampir walau hanya sebentar.

Such an Irene way to show her affection.

Namun kali ini Wendy benar-benar lupa memberitahu Irene dikarenakan jadwal ini merupakan jadwal yang cukup mendadak but well she will just tell Irene later through text.

Perlahan Wendy keluar dari balutan selimut sembari melihat ke arah Irene, takut-takut ia membangunkannya tanpa sadar. Kemudian ia berjingkat pelan mengarah ke pintu keluar, lebih baik ia menggunakan kamar mandi yang ada di dekat kamar tamu daripada ia menggunakan kamar mandi yang ada di dalam kamarnya dengan resiko membangunkan Irene.

Baru saja tangan Wendy menyetuh kenop pintu, ia mendengar suara parau Irene.

“Seungwan? Love is that you?”

Wendy merutuki dirinya sembari berjalan ke arah sisi kasur yang ditempati Irene.

“Hey, sorry I woke you up. Tidur lagi hm?” ujar Wendy yang disambung dengan kecupan singkat di pipi Irene dan belaian halus di kepalanya.

Irene mengerang pelan namun Wendy bisa melihat jelas bagaimana ia tersenyum setelah merasakan kecupan singkat di pipinya.

“Ini jam berapa? Kok udah bangun?” tanya Irene yang memicingkan matanya, berusaha untuk tidak menyerap terlalu banyak cahaya.

Wendy tidak langsung menjawab pertanyaan Irene. Otaknya berpikir dengan cepat, kira-kira jawaban seperti apa yang harus ia sampaikan di pagi buta seperti itu, namun tanpa sadar Wendy mengigit bibirnya pelan dan hal ini justru membuat Irene sadar bahwa saat itu Wendy sedang kelimpungan.

“Hey, don’t bite your lips.” ujar Irene. Tangannya dengan cepat mengusap bibir Wendy kemudian bertengger, menangkupkannya di pipi Wendy.

“Kamu mau ngapain?” tanya Irene lagi.

“So...I forgot to tell you that today I’ve a schedule.”

Seketika ekspresi Irene berubah menjadi serius setelah ia mendengar jawaban Wendy.

“Jadwal apa hari ini? Gak bisa di cancel aja?”

Wendy menggeleng pelan, “Nggak bisa, soalnya kalau aku cancel nanti jadi efek domino kebelakang and I couldn’t risk it. More like the company couldn’t.”

“Jadwal apa sih emangnya?”

“So, I’ve become a permanent member di salah satu acara variety show gitu. Konsepnya busking dari kota ke kota gitu.”

“Come again? Jadi nanti kamu pergi-pergi gitu? Terus rekaman beberapa hari?”

Wendy mengangguk, “Yes, tapi aku udah pastiin kok jadwal aku gak bakal pergi kejauhan atau kelamaan. In fact, cuma ada satu busking doang yang aku harus rekaman selama weekend. Sisanya aku gak nginep. No worries Hyun.”

Irene mendengus kesal, “Cancel aja ya?”

“Joohyuuuun, kamu tau kan aku suka banget nyanyi dan main alat musik? This variety show is like particularly made for me, masa aku cancel? Lagipula, gak profesional banget dong aku?” rengek Wendy.

“Cancel aja please, just today’s recording. Aku yang bilang deh ke Taeyeon. Bahkan kalau ada kerugian aku yang nanggung”

O…kay…..

A new trait that Wendy found about Irene is kalau dia marah sama Wendy pasti ada tingkatannya dan itu semua bisa kelihatan dari cara Irene berbicara dengan Wendy. When her emotions are not in her control, sosok Irene yang sangat formal terhadap dirinya akan tiba-tiba hilang. Tingkatan paling rendah, Irene akan kelepasan menggunakan kata ‘aku’ saat ia merujuk pada dirinya sendiri. Tingkatan kedua, Irene akan berbicara dengannya menggunakan nada bicara yang perlahan akan naik. Tingkatan terakhir, Irene akan memanggil dirinya dengan sebutan ‘Wendy’ bukan ‘Seungwan or Love’ like she always did.

Bukan Wendy namanya jika ia tidak mempunyai seribu cara untuk menurunkan emosinya Irene. Ini masih terlalu pagi, males juga kalau harus berantem. Also, she has to prepare for her schedule.

Wendy yang awalnya hanya duduk di tepi kasur, kini langsung merebahkan separuh tubuhnya menimpa Irene dan melesakkan wajahnya di leher Irene, membenamkan wajahnya disana. Ia mencium leher Irene beberapa kali dengan manja.

“Gak aku cancel ya? Let’s say kamu bisa ganti kerugiannya, tapi untuk nyari jadwal yang cocok dari semua castsnya kan susah. Lagipula, awal aku terima tawaran ini karena aku kesepian di apart sendirian, kamu lagi sibuk-sibuknya dan tiap aku sendirian tuh selalu rungsing gitu. Kamu sendiri tau kan?” bujuk Wendy.

“Okay, so it’s my fault I know. I’m sorry, saya janji saya nggak sibuk lagi. So please, kamu cancel ya jadwal kamu.”

“Noooo bukan itu maksudnya. It’s not your fault at all, itu bagian dari tugas kamu. Aku gak mau liat kamu stress sendiri mikirin tanggung jawab di pundak kamu disandingin sama aku. I know it Hyun, kamu sering banget kan stress sendiri karena ngeduain kerjaan kantor buat aku. Aku gak mau kamu gitu. Sedangkan aku tau banget kalo kamu tau aku kesepian, kamu pasti bakal ngeduain kerjaan kantor.”

“But it’s true, you’re Seungwan so you’re my number Wan.”

Ya Tuhan, pagi gini masih bisa gombal juga ternyata.

“I know it. Makanya aku gak mau liat kamu stress gara-gara aku, jadinya aku ambil aja tawaran job ini. Itung-itung biar aku ada kesibukan dan gak terlalu sering di rumah sendirian.”

“Then how about me?”

“Ih kamu kan juga sibuk. Coba deh diitung pake jari, bulan ini kita berapa kali dinner bareng?”

Oops

Pernyataan Wendy barusan telak banget. Irene langsung ngerasa bersalah karena apa yang Wendy ucapkan memang benar. Bisa dihitung pakai jari berapa banyak mereka dinner bersama di bulan ini.

Wendy berhenti bertingkah manja dan memundurkan tubuhnya untuk melihat mata Irene setelah ia tidak mendengarkan respon dari Irene dengan jeda yang cukup lama.

“Are you okay? Itu maksudku bukan buat kamu ngerasa bersalah. I’m just stating a fact okay? Aku nggak marah atau apa gitu kok.”

“I don’t know, it's just.....ucapan kamu bikin saya mikir, Am I neglecting you?”

“Hyun….”

“Hm?” tiba-tiba Irene justru tidak berani melihat Wendy tepat di matanya.

“Liat aku dong.”

Irene sedikit-sedikit melirik ke arah Wendy.

“Kamu nggak pernah ya bikin aku ngerasa kayak gitu kok. Itu semua cuma ada disini nih.” ujar Wendy sambil menunjuk pelipis Irene. “You’re the best partner of my life I could ever ask for.”

“I love you Seungwan, I really do. Saya cuma gak mau kamu ngerasa sebaliknya.”

“I knoooow. Gak usah kamu ucap juga aku tau kok. Your eyes says it A LOT, don’t let me start with your gesture and other affection.”

Irene hanya tersenyum, setidaknya ia sedikit lega.

“Are you happy with the variety? You want to do it that much?” tanya Irene.

Wendy menganggukkan kepalanya mantap dan tersenyum ke arah Irene yang langsung disambung dengan ciuman di bibirnya.

“So, aku berangkat ya?” ujar Wendy setelah menyudahi ciuman mereka.

“Sure, hati-hati ya. You want me to drop you off?”

“Gak usah, Sam jemput aku kok jam 4 ini. OMG! RIGHT?! JAM 4!! Damn Hyun, I only have twenty minutes now!!” jerit Wendy.

Sosok yang sedang panik itu langsung lompat dari kasur dan berjalan ke arah wardrobe miliknya untuk mengambil baju.

“Gak usah mandi, kamu nggak mandi juga cantik kok.”

“Ih malah!! Dah bye! Aku mau siap-siap! Love you!”

“Where’s my kiss??”

“Udah tadi!”

Irene menggeleng sambil tertawa. Ada-ada aja, dini hari seperti ini dan dia sudah tertawa bahagia. What a way to start her day. Namun ekspresinya berubah saat ia mengingat rencana apa yang sudah ia susun malam ini.

Ia sudah membayangkan bagaimana ia akan merayakan hari ini dengan Wendy namun rasa sayangnya pada Wendy jauh lebih besar. Ia tidak akan berlaku egois dan membuat Wendy kelelahan.

”Well, I should cancel the dinner then.” batin Irene agak kecewa.


“Muka ditekuk amat kayak origami.”

Irene memutar bola matanya saat mendengar suara Jennie memasuki ruang kerjanya.

“Not now Jen.”

“Dih, PMS lo? Apa nggak dapet jatah semalem?”

Irene melempar pulpen yang ada di tangannya ke arah Jennie saat ia mendengar ucapan jenaka dari Jennie barusan. Namun Jennie yang sigap langsung menghindar dari lemparan tersebut dan Minjeong yang berjalan di belakang Jennie lah yang harus kena akibatnya.

“Aaak! Aduh duh duh!” rintih Minjeong kesakitan.

“Anjir! Kok lo bisa di belakang gue?! Kayak tuyul lo gila!” celoteh Jennie yang terkejut dengan kehadiran Minjeong.

“Duh ya kan aku mau ngasih ini ke Kak Irene! Malah kena lempar pulpen.” ujar Minjeong yang cemberut.

“Jen, tanggung jawab lo anak orang.”

“Lah kok gue? Yang ngelempar pulpen siapa?”

Irene mengacungkan kepalan tangannya ke arah Jennie. Namun ia buru-buru menarik napasnya. Moodnya hari ini sangat buruk.

“Sini mana laporan yang tadi diminta?” ujar Irene pada Minjeong. “Itu kepala kamu di cek ya, harusnya sih gak kenapa-kenapa. Nggak kenceng kan tadi?”

“Kenceng kak, udah kayak anak SD dilempar penghapus sama gurunya. Kalo dulu bisa ke UKS, kalo ngantor aku kemana coba?”

Jennie terbahak mendengar jawaban Minjeong.

“Suka gue sama Minjeong. Lo probation habis bulan ini kan? Kalo Irene gak ngangkat lo jadi permanen, lo sama gue aja deh.”

“Ancur kantor ini kalo kalian kerja bareng. Nggak nggak, you take Johnny. Minjeong tetep dibawah gue.” jawab Irene sembari meneliti laporan yang tadi ia minta.

“Anyway, dinner malem ini cancel ya.” sambung Irene pada Minjeong.

“Hah?! Kak seriusan?!?! Kak itu sumpah ya aku udah mikirin konsep dekornya mateng-mateng! Kenapa di cancel?!” protes Minjeong.

“Eh apaan nih?” Jennie yang awalnya duduk manis di deretan sofa tempat menerima tamu kini langsung duduk dengan tegak.

“Itu! Kak Irene tuh mau perayaan 100 hari sama Mrs. Boss. Terus kemaren udah sampe heboh karena majuin semua schedule biar hari ini lowong, sampe mendadak suruh aku booking Lake House segedung. Terus sekarang masa di cancel?”

Lagi-lagi Jennie terbahak-bahak.

“Gila gokil, gue gak nyangka ya lo sebucin ini anjir! 100 hari dihitung dari apa coba?”

100 hari sejak the first time Wendy said I love you to Irene tapi Irene nggak mungkin akan menjawab itu.

“Rahasia.”

“Kak, beneran di cancel masa? Emang ada meeting? Batalin aja sih, itu Kak Wendy juga pasti seneng deh kalo akhirnya jadi dinner malem ini.”

Irene menggeleng, “Wendy yang justru ada schedule malem ini. Udah kamu cancel aja or else, ajak tuh batch probation kamu buat dinner disana malem ini. Kan udah di booking juga segedung.”

Minjeong melongo mendengar jawaban Irene. “What?! Seriusan?”

“Iya, bilang aja itu hadiah dari saya buat kalian. Sana kalian hari ini saya bolehin pulang cepet.”

Jawaban Irene membuat Minjeong bertepuk tangan kegirangan. “Roger that commander! The best boss I ever had!!”

“Emang lo udah punya berapa bos?” celetuk Jennie

Minjeong mengangkat jari telunjuknya.

“Dasar gila!”

“Ya dua deh kak, kalo Kak Jennie masuk itungan.” ujar Minjeong menjulurkan lidahnya.

“Terus kerenan gue atau Irene?”

“Kak Irene lah!” jawab Minjeong mantap.

Jawaban Minjeong sontak membuat Irene bertepuk tangan dengan puas dan tertawa kencang saat melihat ekspresi Jennie.

“Jeong, sini.” panggil Irene. Ia kemudian mengeluarkan satu kartu berwarna hitam dan menyerahkannya pada Minjeong. “Nih, nanti malem bawa ya kartu ini. Kalian makan malem puasin.”

Lagi-lagi Minjeong melongo namun kali ini Irene justru mendorong kening Minjeong. “Gak boleh dipake aneh-aneh, itu semua pengeluaran tetep dimonitor ya.”

Irene menyelipkan black card miliknya di saku blazer Minjeong kemudian ia berjalan ke arah meja kerjanya dan mematikan komputer yang tadi ia gunakan.

“Sana pulang, I wanna go home too. Prepare my car, okay?”

Minjeong mengangguk cepat. “Okay okay, on it! Kak kebaikan lo akan gue balas malem ini juga.”

“Somehow, feeling gue gak enak pas denger lo ngomong gini.”


Walau hari ini Irene memutuskan untuk pulang lebih cepat, pada akhirnya ia tetap saja bekerja dari rumah. Toh Wendy juga belum pulang, jadi Irene menggunakan alasan ini untuk mewajarkan sikap workaholicnya.

Irene yang sudah berjam-jam sibuk dengan laptopnya tidak mendengar suara pintu apartemen yang terbuka. Ia bahkan tidak mendengar langkah kaki Wendy yang berjalan menyusuri koridor dan kini berdiri tepat di belakang Irene yang duduk selonjoran di sofa dengan laptop yang dipangku di pahanya.

“A bird told me that today you planned something for us.” bisik Wendy tepat di telinga Irene.

Sontak Irene terkejut saat mendengar suara Wendy. Ia sama sekali tidak mengira Wendy akan pulang secepat ini, terlebih saat mereka bertukar pesan tadi siang Wendy menjelaskan bahwa hari ini ia recording untuk dua episode langsung.

Wendy menggelengkan kepalanya takjub saat melihat ekspresi terkejut di wajah Irene. Ia berjalan memutari sofa kemudian duduk di sebelah Irene dengan posisi tubuhnya menghadap ke arah Irene.

“Nggak denger aku masuk?”

“Saya gak denger alarmnya.”

“So, care to tell me?”

“Huh?” Irene kini justru menjadi bingung.

“Someone told me kamu hari ini udah ngerencanain sesuatu buat kita sampe kamu booking Lake House. Kenapa tadi pagi nggak bilang?”

“Wait first of all, ini kamu beneran udah pulang?”

Wendy langsung mengecup bibir Irene singkat, “I’m home. You’re not the only one who can set aside your work for your lover.”

“Huh???”

“Explain your side first.”

Tanpa aba-aba Irene langsung memindahkan laptop yang ada di pangkuannya dan memeluk Wendy dengan erat, tangannya ia lingkarkan di bahu Wendy. Sementara itu walau Wendy cukup terkejut, ia pun menyambut dan membalas pelukan hangat dari Irene. Ia mendekap tubuh Irene tak kalah erat lalu menenggelamkan wajahnya di celah leher Irene.

It feels good to be home.

“I miss you soooooo much.” bisik Irene. “By the way, siapa yang ngasih tau kamu? The monkey or the Dora?”

Decak tawa Wendy sedikit teredam oleh bahu Irene, namun Irene tahu dengan jelas bahwa saat ini Wendy sedang tertawa. Alasan Wendy tertawa sangat simpel sebenarnya, ia terkejut dengan ucapan Irene yang menyamakan Minjeong dengan Dora karena potongan rambut barunya yang mirip Dora dan bagaimana Irene mengatai Jennie mirip dengan boots.

“The Dora.”

“The Dora? Really? Saya kira it should be boots.”

Wendy melihat wajah Irene dari jarak yang dekat dengan posisi tangannya yang masih bertengger dengan nyaman di pinggang Irene.

“The Dora called me, dia awalnya ragu-ragu gitu suaranya. Malah karena dia ragu-ragu, aku pikir kamu kenapa-kenapa. Terus aku interogasi dia deh.” jawab Wendy yang kemudian menjelaskan bahwa pada akhirnya Minjeong membocorkan informasi kalau Irene sudah merencanakan dinner untuk mereka berdua.

Irene amazed dengan penjelasan Wendy. Ia benar-benar tidak menyangka Minjeong menepati omongannya.

“Okay so, explain Hyun. Kamu ngerencanain apa? Terus kenapa se-specta itu? It’s not an ordinary dinner right?”

Perlahan Irene mengumpulkan keberaniannya untuk menatap Wendy dengan serius. Kalau dipikir-pikir lagi, nggak heran juga orang-orang disekelilingnya selalu bilang bahwa dirinya itu bucin akut karena memang begitu kenyataannya.

Setelah dipikir-pikir, Irene juga merasa cringe sendiri.

“Jangan ketawa ya? Janji dulu.”

Wendy mengangguk.

“So I know saya udah berkali-kali batalin our dates, yes plural dan berkali-kali juga minta maaf. I feel bad. Then last week I remember something, hari ini tepat 100 hari sejak….”

Wendy hanya melihat Irene dalam diam, ia berusaha mengingat hari ini 100 hari sejak apa?

“Joohyun, I'm lost. Aku bener-bener gak bisa inget hari ini tanggal istimewa apa?”

“Since the day you say you love me too.”

Wendy hanya bisa mematung, ia benar-benar tidak tahu harus merespon seperti apa. Bahkan ia sama sekali tidak mengingat tanggal hari itu, the sudden attack from Irene left her disarmed.

This is exactly what Irene would do to her but still, she’s not prepared. But she loves it, a lot.

Detak jantung Wendy berdetak tak karuan, Irene never fails to make her feels loved.

“I know I know, we agreed that our monthversary always happened on the ninth but I feel the need to count the day since the first time you say those three words.”

Wendy memutus jarak yang terbentang diantara mereka berdua dan mendaratkan satu ciuman hangat di bibir Irene. Ciuman tersebut bukan hanya a soft peck, namun lebih kepada ekspresi Wendy untuk menyalurkan betapa senang dan bersyukurnya ia memiliki seorang Irene di kehidupannya.

Perlahan tangan Wendy bertengger di tengkuk dan bahu Irene, sengaja mengalungkan tangannya untuk menarik Irene agar lebih dekat. Sementara itu Irene pun perlahan menarik pinggang Wendy. Ciuman mereka pun berubah menjadi lebih dalam.

Irene melepaskan ciuman mereka untuk sejenak untuk memberikan jeda bagi mereka yang mulai kehabisan napas, “I love you.”

“Shut up, just kiss me.”

Wendy kembali mengecup bibir Irene dengan lebih dalam dan lebih menuntut.

She can’t get enough of Irene.

Tanpa Wendy sadari, ia beranjak dari posisinya dan kini ia duduk di pangkuan Irene. Itu semua mereka lakukan tanpa menghentikan ciuman mereka dan Irene yang terlarut dalam suasana pun sempat menurunkan ciumannya dari bibir ke leher jenjang Wendy.

She left a mark there. A mark that Wendy obviously needs to cover because she left it on the spot where everyone could easily found it.

Napas Wendy pun menjadi tidak beraturan saat Irene meninggalkan jejak-jejak yang esok hari akan berubah warna menjadi lebih gelap dari warna kulitnya itu. Perlahan jejak tersebut turun dari leher menuju bagian atas dadanya.

Like a song said, Wendy needs no butterflies when Irene gives her the whole damn zoo.

Mereka berdua selama ini selalu mengontrol their wants and always stops at second base namun sore ini keduanya tidak bisa berbohong bahwa mereka sama-sama menginginkan satu sama lain.

Just Joohyun being Joohyun ia berhenti saat menyadari her natural desire for Seungwan, ia berhenti dan menatap wajah Wendy dengan napasnya yang masih berderu.

“We should stop.”

Namun Wendy dengan napas yang tidak beraturan justru melontarkan kalimat yang mengejutkan bagi Irene.

“Why did you stop?”

Irene kehabisan kata-kata. Kenapa Wendy justru memintanya untuk berbuat lebih jauh lagi?

“Honey, we agree that we should do it-...”

“On our wedding day, I know. But God, I want you so much right now.” ujar Wendy yang kembali menarik tengkuk Irene.

Apa yang Wendy lakukan merupakan jawaban yang mutlak bagi Irene and she knows that she wants it too.

Sedetik kemudian Irene kembali bermain dengan bibir Wendy, lalu berpindah ke leher dan tubuh bagian atas milik Wendy. In another hand, Wendy loves each and every touches on her body. This is how she wants to be loved and of course she only wants it with Irene.

“Wan, let’s move to our room. I don’t wanna do our first here.”

Keduanya berlari kecil dengan tawa dan senyuman di wajah masing-masing.

Tepat saat mereka sampai di kamar, Irene langsung menarik Wendy dan melanjutkan kecupan-kecupannya di bibir Wendy. Irene dengan hati-hati mendorong tubuh Wendy untuk berjalan mundur hingga ia ada di posisi terlentang di kasur mereka.

Lagi-lagi Irene mengalihkan ciumannya dari bibir ke leher Wendy dan membuat Wendy meremas kaus yang Irene pakai.

Irene is not a pro but somehow she knows Wendy’s weak spot.

Irene knows how to make Wendy wants her more.

Irene knows how to make Wendy saying her name.

“H-hyun…” erang Wendy pelan saat tangan Irene masuk ke dalam pakaiannya, menyentuh setiap inci dari tubuhnya.

Tangan Irene mulai bergerak liar, mengusap tiap titik yang bisa membuat Wendy mengerang dan menyebutkan namanya. The spot that will give Wendy the whole zoo.

Namun tangan Irene berhenti saat ia bergerak ke arah payudara milik Wendy.

“Seungwan, are you sure?” tanya Irene.

Wendy tidak menjawab, ia justru bangkit ke posisi duduk dan kembali mencium Irene. Kali ini tangan Irene melepaskan satu persatu kancing kemeja yang Wendy kenakan, ia lepas semua pakaian yang Wendy kenakan satu per satu.

Mereka berdua kemudian menanggalkan kain yang mereka kenakan and get amazed by their partner’s features. Terutama Wendy yang benar-benar baru sekali ini melihat Irene tanpa busana.

“Seungwan, if we proceed, I can't stop. Are you sure?” bisik Irene pelan. Ia benar-benar nervous.

Tanpa menunggu lama, Wendy kembali mendekatkan wajahnya untuk memberikan Irene satu kecupan di bibirnya while her hands takes Irene’s hands and let her hands roaming her body. Then Wendy guides Irene’s hands into her most private area.

Today is theirs.

Today she wants to be one with Irene, entirely.

Later at dawn, Wendy terbangun lagi, persis di jam yang sama dengan hari sebelumnya. Ia pun lagi-lagi menatap ke arah Irene namun kali ini ia tidak bisa menghapus senyuman dari wajahnya.

Masih teringat jelas bagaimana Irene mencintainya semalam. Ia pun tidak menyangka bahwa mereka berdua finally did it and they broke their own promise.

Wendy masih bisa ingat dengan jelas bagaimana bahagianya ia, she can feels the tingling on her body when Irene touches her, it is the best night of her life.

One thing for sure, she is afraid if she will be addicted to Irene’s touch.

”Well who wouldn’t if Joohyun just do me so good with all those kisses and touch and attention?” batin Wendy.

Ia tertawa pelan, ”I got it bad.”

Wendy menggelengkan kepalanya kemudian ia melesakkan tubuhnya dalam pelukan Irene.

For now, she will be contented with this skin to skin warmth.

324.

“Lo kenapa sih dari tadi kayak orang bisulan?”

Suara Yerim menghentikan tingkah Wendy yang sedari tadi resah dan gelisah karena chatnya yang tak kunjung dibalas oleh Irene.

Sementara itu, Yerim yang tadinya duduk di sofa panjang, tempat Irene selama ini tidur saat menjaga Wendy, kini beranjak dari sofanya dan berjalan ke arah Wendy.

Ia pun penasaran dengan tingkah Wendy yang sedikit-sedikit menatap layar ponselnya lalu melempar ponsel tersebut ke kasur, which Wendy already did on repeat for several times.

Yerim menaikan alisnya, memberikan sinyal bahwa ia bertanya akan keanehan yang ditunjukkan oleh Wendy.

“Kakak lo kalo bales chat lama nggak sih?” tanya Wendy ragu-ragu.

“Ya Tuhan, gue kira apaan. Ga jadi nanya deh gue.”

“Yeriiim!! Kasih tau gueee!”

Yang dipanggil hanya senyum-senyum meledek, namun tidak menggubris lebih jauh lagi.

Wendy melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 21.03. Sudah dua jam lebih sejak ia bertukar pesan dengan Irene namun yang ditunggu pun tak kunjung datang.

Detik berikutnya, Wendy memutuskan untuk menelpon Irene. Biar saja, ia sudah tidak tahan menunggu tunangannya itu.

”Halo? Ada apa Seungwan?”

Untuk beberapa saat Wendy tidak berbicara, ia bingung harus berbicara apa dan juga ia merasa sedikit kecewa karena Irene nampaknya tidak membaca pesan terakhir darinya. Buktinya Irene terdengar tenang seperti biasanya.

“Dimana?” tanya Wendy pelan. Ia memutuskan untuk tidak menggubris rasa kecewanya.

”Masih di jalan. Kenapa? Kamu butuh sesuatu?”

“Masih lama?”

”Hmm, not really. Ini saya udah bisa lihat logo rumah sakit. Kenapa telpon?”

“Gapapa, just…..wanna check on you.”

”I see. Kangen saya ya?”

Suara Irene sangat tenang seperti biasanya. Tidak ada nada godaan dari sana, hanya murni pertanyaan.

“Iya. I’m afraid you won’t come back.” bisik Wendy.

”Hey, what was that negativity?”

“Nothing. Just please cepet kesini.”

”Yes, love. Tunggu ya, saya cari parkiran dulu. I’ll get back to you in no time.”

“Sure. Can’t wait.”

”See you soon! Bye, Love you Seungwan!”

Belum sempat Wendy membalas ucapan Irene, sambungan telepon mereka sudah terputus.

“Tunggu aja Wen, kakak gue pasti langsung kesini kok.” ujar Yerim yang sedikit banyak mendengar percakapan barusan.

“But why does it take her so long?”

“Kalo kakak gue udah janji, pasti ditepatin. Paling nih ya gue tebak, dia balik sini telat gara-gara dititipin sesuatu sama nyokap gue.”

Wendy menghela napas. Sesungguhnya kalau ia boleh jujur, saat Irene berkata bahwa ia akan pulang sejenak ke rumah keluarganya untuk mengambil beberapa barang dan beristirahat, Wendy hampir saja berkata tidak.

Ia benar-benar takut untuk melepas Irene hilang dari pandangannya. Teringat bagaimana perasaan yang sangat menyiksa baginya saat ia ’kehilangan’ Irene dalam mimpi buruknya itu, jelas ia tidak mau hal tersebut terulang kembali.

Wendy pun ingat bahwa terakhir kali mereka ada dalam keadaan normal, baik dirinya maupun Irene justru saling meneriaki satu sama lain. Ia pun sadar bahwa ia belum sempat meminta maaf pada Irene yang sering ia buat sakit hati hanya dengan ucapan-ucapannya saja.

Sang pasien terdiam beberapa saat, ia membuat list di kepalanya hal apa saja yang harus ia sampaikan pada Irene.

“What’s with the long face?”

Mungkin Wendy terlalu lama melamun hingga ia tidak sadar bahwa saat ini Irene sudah ada disampingnya dan mendaratkan ciuman singkat di keningnya.

“That’s the sign for me to leave, I guess.” ujar Yerim dibarengi dengan tawa Irene.

Suara Yerim-lah yang akhirnya membawa Wendy balik dari lamunannya itu.

“You’re here?”

“Yup, with your favorite tea. Well saya baru tau kalo kamu suka teh ini, tadi bunda yang bawain.”

Perlahan tangan kiri Irene meraih telapak tangan Wendy dan menggenggam tangan Wendy dengan lembut. Buku-buku jari mereka saling bertautan. Sedangkan tangan kanannya membelai kepala Wendy dengan lembut.

“Istirahat, jangan nungguin saya.”

“How can I?” kata Wendy pelan tanpa benar-benar menatap Irene. Suddenly she feels anxious.

Tiba-tiba Wendy mengangkat tangan Irene yang semula membelai rambutnya dan mengarahkannya ke pipinya. She missed Irene’s touch on her.

“Kak, don’t do what you wanna do with Wendy when I’M STILL HERE.” potong Yerim padahal Irene belum berbuat apa-apa, hanya menggenggam tangan Wendy.

“I do nothing.” jawab Irene singkat. Punggungnya membelakangi Yerim.

“Yaudah deh ah gue balik aja.”

“Be careful on your way home. Thanks for today mim.”

Yerim hanya menggumam. Well, she’s glad to see her sister and her fiancée doing great.

’especially after that night’

Selepas keduanya mendengar suara pintu tertutup, tanpa menunggu lama Irene langsung duduk di ranjang yang Wendy tempati. Kedua tangannya menangkup wajah Wendy.

Hening.

Manik coklat gelap milik Irene bertemu dengan milik Wendy. No one is talking, just them drowning in each others’ eyes.

Wendy pun ikut memegang tangan Irene dan mengelusnya.

“Maaf ya saya terlalu lama perginya, maaf ya bikin kamu khawatir. Tadi saya pulang ke apart sebentar nyari sesuatu.”

“It’s okay, aku aja yang terlalu uring-uringan hari ini.”

“I know that. Gak biasanya kamu semanja ini, well it’s the first to be honest. Ada apa sih?”

Wendy menggeleng. Gengsi juga rasanya untuk mengakui bahwa ia cukup kecewa saat tidak mendapat respon dari Irene setelah ia mengatakan kalimat penting seperti itu.

“Ini lagi ngambek ya sama saya?” tanya Irene yang tertawa pelan.

“Nggak.”

“Okay fix, ngambek. Saya salah apa? Atau apa yang saya lakuin yang bikin kamu sebel?”

“Gapapa, kayaknya kamu juga nggak sadar. Beneran deh ini aku aja yang lagi sensitif.”

Irene diam sejenak.

Tangannya kini turun, menggenggam tangan Wendy.

“I thought I should wait further, especially when you’re still recovering but I don’t think I can wait Seungwan, moreover after I heard what you said before. Please allow me to be selfish this time.” ujar Irene.

Wendy bingung bukan kepalang dengan ucapan Irene.

“Look, I’m not someone poetic. Kamu juga tau kan saya suka canggung, apalagi sama kamu. If you can feel it, bahkan sekarang saya jauh lebih deg-degan ketimbang waktu saya gantiin ayah saya kemarin.” kata Irene sambil memegang tangan Wendy.

“Remember that I said I only tell you the truth?” lanjut Irene yang kemudian menyambung ucapannya setelah melihat anggukan dari Wendy.

“Well, I lied to you once.”

Detak jantung Wendy meningkat drastis saat mendengar ucapan Irene.

“M-maksud kamu?”

Tangan Irene merogoh saku celana bagian belakang yang ia kenakan dan Wendy sadar ia melihat ada sesuatu di tangan Irene yang ia tutupi.

“Damn, this is so lame I know but please bear in mind that this is my first and last time I will do this.” ujar Irene sembari menarik napas panjang.

Melihat tingkah Irene, Wendy menjadi semakin bingung. Apalagi setelah melihat adanya rona merah di wajah dan telinga Irene.

“Hyun?”

“I went home, to our apartment I mean, to take something that I need the most. Please hear me out first okay?”

Wendy mengangguk.

“Remember when I gave you something before my company’s anniversary? I lied to you, I said that I gave you the ring just for the sake of building a sincere relationship. I didn’t tell you that I actually already fell for you.”

Irene merasa jantungnya sudah hampir copot. Ia benar-benar deg-degan bukan main.

“Son Seungwan, bolehkah saya jadi pendamping hidup kamu?”

Tipikal Bae Joohyun. Bahkan disaat seperti ini pun, ia tidak menggunakan kalimat 'will you marry me'.

No.

Bahkan disaat seperti ini pun, Irene masih seperti Irene yang biasanya. Irene yang sangat menghargai Wendy.

“Saya masih akan tetap pada pendirian saya, saya nggak akan maksa kamu, saya nggak mau bikin kamu-...”

Belum sempat Irene menyelesaikan kalimatnya, Wendy sudah mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Irene dengan lembut. Ciuman kali ini terasa sangat berbeda bagi keduanya, it’s not just a kiss.

Perlahan Wendy mulai melumat bibir Irene, masih dengan tempo yang lembut. Ia menyalurkan seluruh perasaannya disana. Wendy benar-benar berusaha untuk menyalurkan apa yang tidak bisa ia sampaikan lewat kata-kata.

Karena Irene memang spesial, tidak ada kalimat yang bisa menyampaikan betapa berterima kasihnya Son Seungwan yang bisa memiliki seorang Bae Joohyun.

Her Martabak Spesial

Tempo tautan keduanya sedikit demi sedikit berubah menjadi lebih cepat dan lebih dalam. Tangan Irene perlahan menarik Wendy agar lebih mendekat ke tubuhnya, ia pun mengimbangi lumatan-lumatan yang Wendy lakukan terhadapnya.

Setelah lama bertautan, napas mereka mulai terengah tak beraturan. Irene yang mengingat kondisi Wendy saat ini akhirnya berinisiatif memberi jeda dan melepas ciuman mereka lalu melihat Wendy tepat di matanya.

Tangannya mengusap pipi Wendy lembut. “So, does that mean?”

“Masih harus dikonfirmasi?” tanya Wendy. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca, airmata bahagia.

“Yes please?”

“Of course it's a yes, I want that forever with you. I love you Bae Joohyun. I do love you, please remember that. ”

Irene mengerjapkan matanya masih tidak percaya namun kemudian ia segera memasang cincin yang dulu sempat ia berikan pada Wendy ke jari manis tangan kiri Wendy. Setelah cincin tersebut bertengger dengan manis di jari Wendy, Irene tidak bisa berhenti tersenyum.

“So pretty.” bisik Irene.

“Kamu lucu ya? Kenapa masih harus ngelamar aku kayak gini? I thought we both know that we will pushing through?”

Irene menggeleng, “Saya nggak pernah secara official dan personal ngelamar kamu. First of all, kita dijodohin and then well emang sih abis itu we were doing what couples did. All the ups and down. Tapi saya mau kayak pasangan-pasangan lainnya, I don’t want any regrets in the future. Saya yakin kalau saya harus ngelakuin ini, sorry for the late proposal though.” ujar Irene sambil menggenggam tangan Wendy.

Wendy mengangguk, semakin tersipu malu mendengarkan penjabaran Irene.

“I know you are still healing Seungwan. I will let you decide our wedding date. It can be next month, next year, even tomorrow. Kapan pun saya siap.”

Wendy tertawa lepas.

“You are really my martabak special.” ujar Wendy yang langsung memeluk Irene dengan erat. “Also, aku bener-bener heran kalau mulut kamu semanis ini, masa iya sih kamu belum pernah pacaran?”

“You’re my first.”

“Relationship?”

“No, love.”

Wendy semakin mengeratkan pelukannya. Ia menenggelamkan wajahnya di lekukan leher Irene.

“How about Kak Nana?”

“I fell for you even before I met Nana, Seungwan. This is a secret by the way.” tawa Irene.

“Hah???”

Irene hanya membalas dengan tawa.

“Thank you for staying with me. I love you Joohyun, please remember that. I will tell you this everyday.”

“I love you too. Maaf ya tadi saya sengaja nggak balas chat kamu, itu saya shock soalnya.”

Suara Irene menggema tepat di telinga Wendy. Entah kenapa rasanya suara Irene sangat berbeda baginya.

“Kamu tau nggak sih? Itu aku kira kamu gak baca chatnya!!” protes Wendy dengan manja.

“Maaf ya. Tapi setelah saya lihat chat itu, saya langsung mutusin untuk balik ke apart dan cari cincin kamu. I can’t wait for another day.”

Irene hendak melonggarkan pelukannya namun Wendy justru mengeratkan pelukan mereka.

“No, diem dulu kayak gini. I miss you so much….. fiancée.” bisik Wendy, terutama saat ia melafalkan fiancée.

Irene tertawa, ternyata bukan cuma dirinya saja yang saat ini malu. Well it’s okay, she loves this.

Well lebih tepatnya she loves Seungwan.

“I miss you too, fiancée.”

320.

Nothing made sense. She was totally confused.

Well nothing made sense for her either when she lost her so Wendy didn’t know which one is the reality.

Her head was hurting, her throat felt dry.

Wendy hanya bisa mengikuti instruksi dokter residen yang saat ini memeriksa keadaannya. Tangannya masih menggenggam tangan Irene dengan erat. Sementara itu Irene berbicara dengan kepala tim dokter yang selama beberapa hari ini memantau status kesehatan Wendy.

Sesekali Irene menatap Wendy dengan lekat dan mengelus punggung tangan Wendy, memberikan sinyal pada Wendy bahwa ia tidak perlu takut.

Kepala tim dokter memperhatikan dengan seksama pertanyaan yang diajukan oleh dokter residen kepada Wendy. Ia terlihat mengangguk beberapa kali saat mendengar jawaban Wendy.

Dokter Im tersenyum ramah pada Wendy dan Irene kemudian mengambil-alih posisi dokter residen. Wanita itu menjelaskan dengan singkat apa yang terjadi pada Wendy, namun baik Irene dan Wendy nampaknya sama-sama belum bisa mencerna kalimatnya saat itu yang terlihat dari raut wajah mereka.

Too much alcohol in the system

Slow heart rate

Internal organ function is slowing down

It takes a few seconds before Irene can process everything. Dunianya serasa berputar dan terbalik setiap kali ia mendengarkan penjelasan yang keluar dari mulut dokter spesialis yang menangani Wendy.

Kepala tim dokter tersebut kemudian menyampaikan beberapa pesan lagi untuk Irene sebagai panduan apa saja yang harus Irene perhatikan hingga besok pagi sebelum Wendy akan menjalani serangkaian tes lainnya.

Irene mengangguk dan mendengarkan setiap detil serta mengingatnya dengan terperinci. Ia sudah membuat rencana di dalam kepalanya itu.

First of all she will take a whole week off from work.

“Ms. Son, right?” Dokter Im tersenyum ke arah Wendy.

Wendy yang dipanggil namanya menoleh dan mengangguk pelan.

“We’re glad you’re here with us. You are well loved.” ujar Dokter Im sambil melirik ke arah Irene. “Sampai bertemu besok pagi.”

Wendy nampaknya masih terlalu bingung untuk merespon sehingga Irene-lah yang akhirnya berinisiatif untuk menjawab dan mengucapkan terima kasih pada tim dokter yang satu per satu pamit dan meninggalkan ruangan tersebut.

Seusai ia mengantarkan tim dokter keluar dari kamar rawat yang ditempati oleh Wendy, Irene langsung kembali duduk di sisi Wendy. Sedangkan sang pasien hanya bisa mengikuti setiap gerak-gerik Irene melalui pandangannya.

“Hey love, how are you feeling?” tanya Irene pada Wendy. Ia mengusap punggung tangan Wendy dengan ibu jarinya lalu merapikan poni yang menutupi manik mata hitam kecoklatan milik Wendy.

“Tell me this is real, because I can’t believe you are here.” bisik Wendy, perlahan air matanya mengalir.

“Seungwan, kamu bikin saya takut. Kamu kenapa dari tadi nanya kayak gitu?” tanya Joohyun pelan. Ia mengusap air mata yang mengalir di pipi Wendy kemudian membelai kepalanya lagi.

Wendy sama sekali tidak menjawab, ia hanya menghabiskan waktunya detik demi detik untuk memandangi wajah yang sangat ia rindukan, bahkan kantung mata dan garis-garis kerutan di dahi Irene yang saat ini mengernyitkan alisnya tidak luput dari perhatian Wendy.

Keheningan perlahan menyelimuti mereka, keduanya sama-sama hanya saling melempar pandang, memandangi paras yang saling mereka rindukan.

Akhirnya setelah hampir lima menit saling menunggu dalam diam, menikmati suasana yang masing-masing ciptakan dalam pikiran mereka, Irene kembali membuka suaranya.

“I miss you.” ujar Irene singkat.

“Me too, you can’t imagine.”

“You do?” ucap Irene dengan terkejut, nada bicaranya menipis dan meninggi. Seakan-akan ia tidak percaya bahwa Wendy akan mengatakan hal tersebut padanya.

Reaksi Irene membuat Wendy merasa bersalah, apalagi saat ia melihat raut wajah Irene yang terkejut mendengar pernyataannya barusan. Apakah Irene sebegitu tidak percaya bahwa ia pun merindukan Irene? Atau justru karena sikapnya selama ini membuat Irene sebegitu tidak percaya diri?

Ucapan Irene barusan malah membuat keduanya kembali terdiam. Irene masih dengan keterkejutannya dan Wendy dengan rasa bersalah serta penyesalannya.

“Tegang banget deh kita haha. Kenapa ya?” tanya Irene mencoba untuk mencairkan suasana.

Irene yang tak kunjung mendapatkan jawaban dari Wendy menjadi kikuk, ia tidak tahu harus berbuat apa, ia pun bertanya-tanya tentang apa yang ada dalam pikiran Wendy. Terakhir kali mereka bertemu dalam keadaan wajar adalah saat dimana mereka bertengkar dan kini saat Irene menatap Wendy, ia sendiri bertanya-tanya mengapa mereka kemarin harus bertengkar seperti itu.

Tiba-tiba sekelebatan pemikiran dan penyesalan lewat di kepala Irene.

’Kalau saja kemarin ia bisa lebih bersabar, Wendy pasti tidak akan berada di atas ranjang rumah sakit dengan infus yang terpasang di tangannya dan selang oksigen yang terhubung untuk membantunya bernapas lebih lancar. Kalau saja Irene kemarin tidak mengatakan hal yang membuat Wendy meragukan dirinya, kalau saja Irene bisa menahan emosinya, mungkin sekarang mereka tidak akan berada di rumah sakit ini.’

Sebut itu telepati, insting, apapun, tak hanya Irene, Wendy pun memikirkan hal yang sama.

’Kalau saja kalau saja Wendy memilih jalan yang lebih dewasa dan mengkonfrontir Irene secara langsung saat itu. Kalau saja Wendy tidak kabur dari permasalahannya, kalau saja ia lebih memilih untuk mendengarkan Irene, kalau saja Wendy tidak mendengarkan ketakutannya dan menyalurkan rasa frustrasinya dengan alkohol, pasti semuanya berbeda.’

Sayangnya semua hanya, perandaian.

Nyatanya saat ini mereka berdua harus berada dalam situasi awkward di dalam ruang rumah sakit dengan Wendy yang terbaring lemah di hadapannya.

Wendy berusaha untuk bangkit dari kasurnya, ia ingin sekali memeluk tubuh Irene dengan erat. Sayangnya ia sendiri masih merasa pusing dan melayang, seakan-akan jiwanya bisa lepas dari tubuhnya.

Erangan keluar dari mulut Wendy saat ia berusaha menopang tubuhnya untuk sedikit bangkit dari posisi tidurnya. Sontak Irene bangkit dari kursinya dan memegang bahu Wendy.

“Hey, hey easy. Kamu mau apa? Saya aja yang bantu kamu Seungwan.” Irene lagi-lagi bergerak, berusaha membantu Wendy.

Wendy menggelengkan kepalanya, menolak bantuan Irene. Ia masih berusaha untuk menopang tubuhnya dengan usahanya sendiri sampai akhirnya berhasil berada dalam posisi yang ia inginkan. Wendy mendongak dan sekali lagi memperhatikan setiap lekuk wajah Irene. Kini gantian Wendy yang menangkupkan tangannya pada wajah Irene dan mengelus pipi Irene.

Dalam jarak yang sedekat ini, Wendy baru menyadari betapa dalamnya kantung mata Irene dan rahangnya yang terlihat sangat tajam. Irene benar-benar terlihat lelah walaupun ia saat ini tersenyum padanya.

“I can’t believe it’s real. Tell me this is real Hyun.”

Lagi-lagi Wendy merasakan air matanya mulai memenuhi pelupuk matanya. Entah apa yang ia pikirkan, Wendy kemudian memutus jarak mereka dan mencium bibir Irene singkat.

“I missed you so much Hyun, you don’t know how I feel.” ujar Wendy pelan setelah ia menyudahi ciumannya dengan air mata yang mengalir pelan.

Irene tersenyum, “I know. Me too.”

They both missed each other, they both could see tears in each other's eyes. Irene pun tak kalah rindu pada sosok Wendy. Ia sudah menghabiskan beberapa malam di ruangan ini bersama dengan Wendy yang unresponsive. Sehingga bisa dibayangkan betapa overwhelmingnya perasaan ia saat ini.

Perasaan bahagianya membuat Irene ganti mencium bibir Wendy untuk waktu yang lebih lama.

A soft but meaningful peck.

Usai Irene menyudahi ciuman mereka, Wendy kembali berbaring di kasurnya dan Irene juga kembali duduk di kursinya. Mereka seperti menemukan kebahagiaan mereka masing-masing.

Irene hanya bisa senyum-senyum, ia sangat bahagia saat ini. Tangan kanannya mengelus rambut Wendy sedangkan tangan kirinya mengusap punggung tangan Wendy dengan lembut. Sesekali Irene mencium punggung tangan Wendy.

Touchy Irene is back.

”I miss you so bad Hyun. The past eight years have been the worst ever.” batin Wendy.

Wait, eight years?

“Berapa lama aku….” Wendy menggantung kalimatnya.

Wendy’s eyes met with Irene’s sad gaze. She could see the guilt, sadness, and fear in Irene’s eyes.

“This is your fourth day. So three day you were unconscious, you were having trouble breathing. You were almost…..” Irene berhenti berbicara. Ia menggigit bibirnya sejenak.

“Well it doesn’t matter now. You’re here and recovering. I’m here and not gonna leave you. That's what's important right?” lanjut Irene sembari memberikan senyuman pada Wendy.

“Four day??”

“Iya, ini hari keempat kamu di rumah sakit. Saya udah disini empat hari juga. Beberapa hari yang lalu saya harusnya ke Jepang, but then on the day I should take my flight you were collapsing. Jadi saya langsung mutusin untuk cancel flight saya dan nyuruh Minjeong dan Jennie yang gantiin saya.”

Mata Wendy membelalak. Ia tiba-tiba merasa panik saat mendengar ucapan Irene.

Baru saja ia akan menanyakan keberadaan Jennie dan Minjeong, keduanya mendengar pintu kamar yang terbuka beserta dengan langkah kaki yang sedikit dihentakkan.

“Rene, gila ya sumpah itu shareholder lo kayak-...” Jennie mengomel kesal, kalimatnya terhenti saat ia melihat Wendy menatap ke arahnya.

“WENDY!! OMG PRETTY YOU’RE AWAKE!!” teriak Jennie yang langsung berlari kecil ke arah Irene dan Wendy.

Irene langsung mengernyit dan menggerutu saat mendengar ucapan Jennie. “Oy, what’s with that ’pretty’?!”

Jennie hanya menjulurkan lidahnya. Ia berdiri tepat di ujung kasur Wendy, di sebelah Irene.

’Tok Tok’

“Aku boleh masuk gak kak? Atau aku tunggu di depan aja?” tanya Minjeong dengan agak takut-takut. Ia masih berada di pintu masuk setelah membukakan pintu untuk Jennie.

Wendy yang melihat Minjeong cukup canggung, kemudian tersenyum dan memberikan aba-aba agar Minjeong masuk.

“Minjeong ya?”

Minjeong mengangguk cepat.

“Makasih ya udah bantuin Joohyun selama ini.”

Minjeong terkejut dengan ucapan Wendy.

Pertama, saat itu adalah kali pertama ia berada dalam jarak sedekat ini dengan Wendy dan Irene.

Kedua, bagaimana bisa Wendy mengenal dirinya? Ia belum pernah sekalipun memperkenalkan dirinya pada Wendy.

Ketiga, holy shit. Ia baru sadar saat ini semua ‘boss’-nya ada di dalam ruangan tersebut, well kurang Seulgi but still.

“Eh, oh iya kak Wen… Eh! Bukan bukan maksudnya Miss Son? Or Mrs. Boss? Mrs. Bae?” Minjeong langsung menutup mulutnya, ia panik.

Wendy tertawa namun setelahnya ia terbatuk sebentar. “It’s okay, just call me anything you want, but for that Mrs. Bae has to wait, okay?”

Jawaban Wendy membuat Irene menoleh ke arah Wendy dengan cepat. Jennie pun menatap Wendy dengan terkejut.

“What? I’m your fianceé, that’s only normal right?” ujar Wendy dengan santai pada Irene.

“Hoho! The wedding is on the way, I see.” ledek Jennie. “I’m gonna be the bridesmaid who steals the brides.”

“Jen, mulut lo ya.”

Lagi-lagi Jennie hanya menjulurkan lidahnya.

“Kak Jennie, itu kak Irene serem banget ngeliatinnya.” bisik Minjeong.

“Minjeong, daripada kamu ngegosip sama Jennie mendingan kamu jelasin hasil dari Jepang.” potong Irene.

“Oh my god, the scary boss is back.” bisik Minjeong sembari membuka tas yang ia bawa. Mencari map yang hendak ia serahkan pada Irene.

“Heh, saya denger ya yang kamu bilang barusan.”

“Well you’re indeed scary.” ujar Wendy.

Irene cemberut mendengar jawaban Wendy, ia menyilangkan tangannya di depan dada. “So now you all taking one side against me huh?”

“Aku nggak! Aku nggak!” ujar Minjeong cepat sambil mengibas-ngibaskan tangannya. “Aku cuma mau nyampein ini boss. That’s the summary of the shareholders meeting.”

Irene menerima map yang diberikan Minjeong dan membaca dengan cepat isi summary yang dibuat oleh Minjeong. Sementara itu Wendy dan Jennie berbincang singkat, dengan Minjeong yang juga sesekali diikutkan dalam pembicaraan oleh Wendy.

“Okay, kamu kirim file lengkapnya ke email saya ya by tonight. Terus semua meeting saya kamu delegasiin ke Seulgi atau Jennie, depends on the meeting. Arrange semua kerjaan saya untuk bisa saya kerjain dari sini.”

Minjeong mengangguk, ia menuliskan ucapan Irene dalam notepad di ponselnya.

“Okay, so remote working ya. Berapa lama kak?”

“Sebulan.”

“HAH?!” teriak Jennie.

Wendy dan Minjeong pun tidak kalah kaget dengan ucapan Irene.

“Kenapa? Mau protes kalian?”

Minjeong menggeleng. “O-okay sebulan.”

“Wah gila lo?! Gue lagi?!”

“Iya, lo lagi. Kenapa? Gue mau ngurus Seungwan. She needs to recover well.”

“Hyun, kamu gak usah sampe segitunya. I can do it by myself too, no offense ya Hyun. I mean kamu udah korbanin banyak banget buat aku, I can’t take another one.”

“No, it’s final. Kalau kalian mau protes silakan, but I won’t listen to any of you.”

“Ren, kalo gini terus gue kapan dapet pasangan ren. Sadis banget lo sama gue.” rengek Jennie.

Irene hanya mengangkat bahunya, mengabaikan rengekan Jennie, dan kembali membaca summary yang dibuat oleh Minjeong.

“Eh kak, itu bulan depan kan harus terbang kita ke Paris. Dapet disana kali kak.” bisik Minjeong.

“Reeeen! Ini bocah kenapa gilanya kayak Yerim sih buset!” protes Jennie yang mengundang tawa dari Wendy dan Irene.

Wendy melirik ke arah Irene yang tertawa lepas kemudian melirik ke arah Jennie yang masih mengajukan protesnya dan Minjeong yang berusaha menahan tawanya. Ia merasa akar kepahitan yang selama ini ada dalam dirinya hilang begitu saja.

If this is the reality and what she’s been going through previously was just a dream, then it was her worst dream ever.

Wendy masih belum bisa mencerna segalanya seratus persen, namun ia yakin ia masih punya waktu untuk memahami ini semua. Yang jelas, baginya saat ini dengan adanya Joohyun di sisinya sudah lebih dari cukup.

”Thank God you give me back my Joohyun and everyone else here with me. I’ll start to count on my blessing.”

319.

Finale.

“Kak Seungwaaaaaan!!”

Wendy tertawa melihat Juni yang melompat kegirangan saat menyadari kehadirannya hari ini.

“Halo Juni!” teriak Wendy tidak kalah heboh.

Sejak Wendy mengenal Juni di pantai itu, keduanya sering bertemu disana. Sebetulnya Wendy setiap hari pergi ke pantai, hanya saja selama ini waktu mereka ternyata tidak klop.

Wendy lebih suka ke pantai di pagi hari, untuk menikmati sunrise. Sedangkan Juni lebih suka menikmati sunset. Namun sejak Wendy mengenal Juni, ia akhirnya mengubah jadwalnya ke pantai menjadi sore hari.

Terdengar aneh namun as weird as it sounds, Wendy bisa merasakan kehadiran Joohyun dalam diri Juni. Sometimes she resembles Joohyun way too much, hanya saja bedanya Juni jauh lebih ekspresif dan lebih berisik daripada Joohyun.

“Hari ini kak Seungwan bawa apa?” tanya Juni yang tidak bisa menutupi rasa ingin tahunya.

“Tadaa! Ini namanya flute, ini ditiup dari sebelah sini terus tangan kamu pencet tombol-tombol ini. Uhm, tapi ini ada nadanya, ada cara mainnya.” ujar Wendy menjelaskan secara singkat.

“Oooooh….. Coba kak mainin!”

Wendy mengangguk kemudian duduk di sebelah Juni yang sudah menatapnya dengan penasaran. Ia berpikir sejenak sebelum akhirnya memilih memainkan lagu anak-anak yang ia tahu.

Saat lagu yang dimainkan oleh Wendy selesai, Juni memberikannya tepuk tangan yang sangat meriah hingga membuat Wendy malu. Agak aneh sebenarnya, apalagi ia yang sudah sangat sering mendapatkan pujian from strangers.

“Kak Seungwan keren banget!!” puji Juni

“Coba aku bisa main banyak alat musik kayak kakak, pasti besok temen aku seneng banget.” lanjutnya.

“Juni mau kakak ajarin?”

“Kalo diajarin sekarang, besok langsung bisa main nggak kak?”

“Mungkin aja kamu bisa, tapi belum lancar. Emang kenapa harus besok?”

“Temen aku ada yang ulang tahun kak. Tapi Juni bingung mau kasih apa.” curhat Juni.

Wendy menunduk, melihat kalung yang ia gunakan. Kalung yang Joohyun berikan padanya sewaktu mereka masih kecil.

The so-called friendship necklace that Joohyun gave to her on valentine days.

Kalung yang sama dengan yang diceritakan oleh Seulgi waktu itu. Semesta seakan mencemooh Wendy saat ia menemukan kalung itu di rumah mamanya saat Wendy mengunjungi rumah Nyonya Do, in a box that has ’Seungwan’s’ on it.

“Gimana kalo Juni bikin sesuatu buat temen Juni? Gelang, kalung, atau apa deh yang Juni bisa buat sendiri. Yang penting Juni ngasih sesuatu yang emang bermakna dan dari hati ngasihnya.”

“Tapi Juni gak tau mau bikin apa.”

“Juni suka apa?”

“Juni suka semangka. Jadi aku kasih semangka buat temen aku?”

“Bukan gitu Juni!”

Wendy tertawa, anak satu ini memang ada-ada saja. Padahal sebelumnya dia menanyakan barang apa yang mau diberikan untuk hadiah ulang tahun temannya.

Sementara itu mulut Juni membentuk huruf ‘o’ menunjukkan bahwa ia baru memahami bahwa ia salah paham dengan maksud Wendy.

“Eh tapi bisa sih, kamu bikin sesuatu yang ada simbol semangkanya gitu.”

“Simbol?”

“Uhm, iya misal kayak kalung ini. Nah kita cari manik-manik atau hiasan yang bentuknya semangka gitu, supaya nunjukkin ciri khasnya Juni.” ujar Wendy menunjukkan kalung miliknya yang memiliki bandul berbentuk bulat dengan huruf ‘SW’ di dalamnya.

“Punya kakak yang ini juga dikasih temen kakak?” tanya Juni yang dibalas dengan anggukan kepala oleh Wendy.

“Kak Joohyun?”

“Iya, kak Joohyun kasih ini ke kakak pas dulu kakak masih kecil.”

“Kak Seungwan kangen sama Kak Joohyun setiap hari ya? Abis kakak kesini tiap hari.” tanya Juni tiba-tiba

Wendy menoleh ke arah Juni lalu menarik napasnya dalam, sebelum akhirnya ia menjawab pertanyaan tersebut.

“Iya, banget. Kalau Juni kenapa sekarang jadi kesini tiap hari? Kangen mama juga?”

Juni menggeleng, “Nggak, aku mau nemenin kakak biar nggak sendirian.”

Wendy terkejut, ia sama sekali tidak menyangka bahwa Juni akan memberikannya jawaban seperti ini.

“Makasih Juni.”

“Kak tau nggak? Aku biasanya kalo kesini terus kangen mama, aku bakalan nutup mata kayak gini terus ngomong dalem hati gitu. Terus malemnya nanti mama pasti dateng ke mimpi aku.” ujar Juni tangannya memperagakan ucapannya barusan.

“Oh ya?”

Juni mengangguk dengan yakin, “coba deh kak!”

Perlahan Wendy menutup matanya dan membayangkan wajah Joohyun yang sedang fokus duduk di ruang tengah apartemen mereka dengan laptop di pangkuannya.

Kemudian berganti menjadi Joohyun yang duduk di beranda apartemen dengan baju tidurnya, menatap langit malam. Lalu Joohyun yang duduk dengan manis di sofa ruang tengah mendengarkan cerita tentang hari-harinya yang melelahkan.

”Halo Joohyun, apa kabar? Aku nggak tau ini beneran berhasil kayak yang Juni bilang atau nggak, well you never come to my dream anyway. Tapi nggak ada salahnya aku coba. Kamu kemana aja selama ini? Aku masih nunggu kamu untuk pulang. Sekarang setiap aku nonton tv udah nggak ada lagi yang protes karena volume yang terlalu kenceng. Sekarang setiap aku masak, aku cuma butuh masak satu porsi. Sekarang kalau aku liat langit malam hari, udah gak ada lagi yang cerewet ngasih penjelasan tentang rasi-rasi bintang. Sekarang kalau aku pulang malem, kalau aku ada schedule yang padet, udah nggak ada lagi yang bawel dan nungguin aku pulang. I miss you so much Joohyun. There isn’t a day I’m not missing you. If you have time, can you come to my dream too? Like what Juni’s mom did. I’ve lots of things I wanna say to you.”

Wendy perlahan membuka kedua matanya setelah ia selesai menyampaikan hal yang ingin ia utarakan, namun kini ia tidak melihat Juni ada disisinya.

Anak yang satu itu memang suka sekali main petak umpet dan tidak jarang Juni tiba-tiba menghilang seperti ini.

Juni bahkan pernah membuatnya hampir copot jantung saat ia mengejutkan Wendy dengan kostum yang kata Juni mirip dengan monster laut. Wendy sendiri sebenarnya tidak paham monster laut yang mana yang Juni maksud.

Wendy berdiri dari tempatnya duduk lalu berjalan di sekitar pantai untuk mencari Juni, hanya memastikan saja bahwa anak tersebut tidak berada dalam bahaya.

Setelah menghabiskan waktu sekitar setengah jam, akhirnya Wendy memutuskan untuk kembali ke beach house milik Joohyun. Ia akan menceramahi Juni esok hari.

Perjalanan dari pantai menuju beach house membutuhkan waktu sekitar 15 menit dengan berjalan kaki. Selama itu pula Wendy bersenandung pelan mengiringi langkah kakinya.

Langkah kakinya semakin ringan setiap hari, walau memang terkadang ada saat dimana ia sangat merindukan Joohyun dan kerinduannya seakan menjadi rantai yang menghambat dirinya. Tidak mudah bagi Wendy untuk membiasakan ketidak-hadiran Joohyun dalam hari-harinya.

Lucu.

Padahal mereka pun hanya saling ada di kehidupan masing-masing tidak lebih dari tiga bulan. Namun rasanya bagi Wendy seakan-akan Joohyun sudah ada bersamanya lebih dari itu.

Ketika ia sampai di pagar rumah, Wendy menyapa security yang membukakan pagar untuknya, masih orang yang sama.

Sejujurnya isi beach house pun masih sama. Tidak ada yang berubah sama sekali, kecuali studio musik Wendy yang semakin advance dan kamar utama yang kini sudah dipenuhi oleh barang-barang milik Wendy.

“Hari ini pulang lebih cepet non?”

“Iya pak, Juni ninggalin saya di pantai.”

“Saya penasaran deh sama dek Juni yang selalu non ceritain. Kapan-kapan ajak kesini aja non, saya juga pengen liat orangnya. Kayaknya deket banget ya sama dek Juni.”

“Iya deh pak, lain kali saya ajak. Oh iya, hari ini ada tamu nggak pak?”

“Gak ada non, cuma itu ada kiriman dari Ibu. Katanya lilin aroma terapi gitu non, coba tanya bibi di dalem aja.”

Wendy mengangguk. Ia lalu pamit undur diri dan segera masuk ke rumah. Ia menemukan paket yang dikatakan tadi di taruh di ruang tengah. Sebuah kotak berisikan lilin aroma terapi dan sebuah memo kecil.

Wendy mengambil kotak tersebut dan berjalan memasuki kamar tidurnya yang mulai gelap karena tidak mendapatkan cahaya dari luar.

’Yerim bilang stok aroma terapi di rumah sudah mau habis, ini Bunda kirimkan lagi ya. Kamu kapan kesini?’

Setelah selesai membaca memo tersebut, Wendy membuka grup chat keluarga Bae dan menuliskan pesan singkat bahwa ia telah menerima lilin aroma terapi beserta janji akan mampir kesana jika ia ada schedule yang harus dipenuhi.

”Badan gue kenapa capek banget ya hari ini?” pikir Wendy. Padahal hari ini ia tidak terlalu banyak beraktivitas.

Akhirnya Wendy memutuskan untuk beristirahat sejenak serta menyalakan lilin aroma terapi tersebut.

”If you are here, you’re gonna laugh karena gue sekarang suka banget sama wangi-wangian kayak gini. See? Even when you’re not here, you’re still affecting my life Joohyun.”

Setelah memastikan bahwa posisi lilin aroma terapi tersebut sudah tepat, sang penghuni rumah langsung menuju kasur king sized yang biasa ia tempati dan tidur dengan posisi terlentang.

“Juni this is your fault, now I’m hoping Joohyun will visit me in my dream too. God, I must be getting crazy.” ujar Wendy pada dirinya sendiri.

“Well, God, if you somehow hear me right now, can I ask you just for one wish? Give me back my Joohyun, I miss her so much. I won’t let her down again.” bisik Wendy, matanya benar-benar terasa berat.

Wendy mencoba untuk membayangkan lagi memori-memori indahnya bersama Joohyun dengan harapan, Joohyun akan benar-benar mendatanginya lewat mimpi.


“Seungwan”

“Seungwan”

“Seungwan, love.”

Ia mendengar namanya dipanggil beberapa kali namun Wendy tidak begitu yakin dengan apa yang ia dengar.

Lambat-laun pendengaran Wendy perlahan menjadi lebih terfokus dan sekali lagi ia mendengar suara yang sangat ia rindukan.

“Sleepy head, please wake up. Kamu nggak capek tidur terus, hm?”

Ingin rasanya untuk membalas ucapan tersebut, namun gerak motoriknya seakan-akan tidak bisa bekerja secara normal. Seakan-akan sesuatu menahannya untuk menggerakan anggota tubuhnya.

“Seungwan. Son Seungwan.”

’Who are you? Why do you keep calling my name?’

“Seungwan, udahan ya tidurnya. Udah cukup ya istirahatnya? Kalau kamu gini terus, saya jadi tambah kangen. Saya pengen ngobrol lagi sama kamu.”

’That voice…..Joohyun?’

Wendy masih limbung. Ia masih tidak dapat mengenali siluet yang berada di dekatnya namun ia yakin pemilik suara ini adalah Irene.

Tiba-tiba Wendy merasakan sesuatu yang hangat menyentuh keningnya, diikuti dengan adanya tetesan air yang jatuh mengenai wajahnya.

“Seungwan, I miss you. Don’t you miss me too?”

“J-joohyun….”

Yang dipanggil namanya kemudian menyadari bahwa sosok yang sedari tadi ia ajak bicara kini mulai mendapatkan kembali kesadarannya.

Dengan cepat Irene mengambil jarak agar ia dapat melihat wajah Wendy dengan sempurna.

“Seungwan? Oh my god, are you finally awake?!” Irene buru-buru menekan tombol darurat dan setelahnya Irene kembali berfokus pada Wendy.

Ia melihat terdapat ekspresi senang dan lega yang terpancarkan dari wajah Irene. Senyuman yang juga sudah lama tidak ia saksikan.

’I must be hallucinating or maybe the depression is finally hitting me hard. I must be crazy didn’t I? You feel so real. It feels like you’re here with me Joohyun. Please never wake me up if this is only a dream.’

“Seungwan? Jangan tidur lagi ya, please?” ujar Irene sembari memperhatikan raut wajah Wendy dan sesekali menengok ke arah pintu masuk.

Namun Wendy masih tidak bergerak sedikitpun. Ia masih takut apabila ia menyentuh Irene, bisa saja ia segera terbangun dari mimpinya atau bisa saja jika ia menyentuh Irene, sosok itu akan segera menghilang.

“Seungwan? Kamu ngerasa sakit?” tanya Irene lagi saat ia tidak mendapatkan respon dari Wendy.

Tangan Irene menyentuh pipi Wendy dan menangkupkannya ke wajah Wendy. Then it’s like a wake-up call for Wendy, how come this feels so real? She can feel the warmth from Irene’s hands.

“J-joohyun?”

Irene tersenyum sangat lebar saat ia mendengar ucapan Wendy. “God, thank you Seungwan. Thank you for coming back to us.” ujar Irene sembari mengusap wajah Wendy dengan pelan.

“J-joohyun?”

“Yes?”

“Am I dreaming? It’s you right?”

“No, love. You’re not. You’re here with us.”

“Y-you are b-back?”

Irene menatap Wendy kebingungan.

“Seungwan, if anything, that sentence should come from my mouth. YOU are the one who is just getting back to us. Please jangan pernah lakuin apa yang kamu lakukan kemarin-kemarin itu ya? Saya bener-bener hampir kena serangan jantung pas saya nemuin kamu.”

Wendy menatap Irene dengan heran. Namun baru saja ia ingin bertanya lebih jauh, kepalanya berdenyut dan ia merasakan nyeri yang cukup menyesakkan baginya.

“I’m sorry for what I said. I will never leave you Seungwan, I’m here to stay okay?” tambah Irene.

Sang CEO mengambil beberapa langkah mundur saat ia melihat tim dokter memasuki ruang rawat tersebut untuk memberikan ruang bagi mereka melakukan tugasnya. Namun baru saja ia mengambil satu langkah menjauh, tangannya langsung digenggam erat oleh Wendy.

“No, don’t ever leave my sight again. Don’t ever leave me again. I won’t let you go, Joohyun.”

Irene mengerjapkan matanya beberapa kali, ia lagi-lagi bingung dengan tingkah Wendy.

“Just a moment okay? They have to check your condition.”

Wendy menggeleng lemah namun ia kembali mengeratkan genggamannya.

“I won’t let you go ever again. I let you go once and it torture me a lot. I won’t repeat my mistake.”

318.

Juni, 2029.

Delapan tahun berlalu dan Wendy masih berada di tempat yang sama.

Delapan tahun berlalu dan ia masih mendatangi pantai ini setiap harinya.

Delapan tahun yang lalu, ia ada di sini bersama Joohyun. Pertama kalinya ia dikenalkan pada tempat yang membuatnya jatuh cinta……...pada Joohyun.

Terlambat memang.

Wendy menghela napasnya, ia mengukir pasir yang ada di dekat kakinya yang duduk bersila.

Do you know that I’m still the same? Even after time passes, I still love you

Langit jingga hari itu menemani dirinya mengakhiri penantiannya yang masih sia-sia dan akan selalu menjadi sia-sia.

Baru saja ia hendak bangkit dari posisinya, seorang anak kecil menabrak Wendy hingga ia terjatuh.

“Aduh!”

Wendy yang kaget ditabrak dari arah belakang, sontak langsung memutar tubuhnya.

“Eh, kamu nggak kenapa-kenapa kan?”

“Aduh duh, pantatku sakit.”

Wendy tertawa, bisa-bisanya anak kecil ini yang nabrak tapi dia juga yang jatuh.

“Sini aku liat, luka nggak?” tanya Wendy, ia berjongkok di depan anak perempuan itu. Kini mata mereka sejajar.

Wendy segera menghela napas lega saat melihat anak kecil itu tidak terluka.

“Lain kali kalau lari hati-hati ya, untung kamu gak kenapa-kenapa.”

“Maaf ya kak aku gak liat ada orang disini.”

Wendy mengangguk, “Kamu kesini sendirian?”

“Juni kesini soalnya Juni kangen mama.”

Wendy terdiam sejenak.

Mungkin nasib mereka sama, sama-sama merindukan seseorang dan tempat ini merupakan salah satu tempat yang menyisakan kenangan indah bagi mereka.

“Sama dong. Aku juga kesini karena kangen seseorang.”

“Kalo Juni kangen mama, Juni ke pantai ini. Kakak kesini kalo kangen siapa?”

“Joohyun. Namanya Kak Joohyun.”

Tanpa Wendy sadari air matanya mengalir saat ia mengucapkan nama itu. Nama yang sudah lama tidak ia ucapkan.

Joohyun.

Nama yang orang-orang hindari, karena lebih banyak membuat hati mereka bersedih dan merindukan sosok yang saat ini sudah tidak bersama mereka lagi.

Joohyun.

Nama yang tereduksi menjadi ‘dia’ atau bahkan kadang dalam suatu percakapan dibiarkan mengambang tanpa subjek.

“Kak jangan nangis dong!”

Wendy tertawa pelan, tangannya mengusap air matanya yang masih terus mengalir. Ia sendiri heran kenapa tiba-tiba ia menangis tidak berhenti seperti ini?

You don’t know I try to hold it, but sometimes I think of little things and it reminds me of you

“Hehe maaf ya?”

“Gapapa kak, Juni juga kadang nangis sih pas keinget mama.”

“Udah sore gini kamu nggak dicariin?”

“Juni gak bilang sih kalau Juni kesini. Kak, nama kakak siapa?”

“Seungwan tapi kadang ada yang manggil Wendy juga.”

“Kalau aku panggil kakak pake Seungwan aja boleh nggak? Eh atau kakak lebih suka aku panggil siapa?”

Wendy melihat ke arah Juni dengan tatapan sendu. Hanya sedikit orang yang benar-benar menanyakan kepadanya apakah ia lebih suka dipanggil Seungwan atau Wendy.

Dan Joohyun juga salah satunya.

“It’s okay. Seungwan boleh kok.”

Juni mengangguk mantap, “Oke kak Seungwan!”

“Yes Juni. Kamu umur berapa?”

“Delapan kak! Kemaren aku baru ulang tahun hehe.”

“Oh ya? Selamat ulang tahun Juni!” ujar Wendy. Tangannya membelai rambut Juni dan merapikan poni yang menutupi kening gadis kecil itu.

“Kak, langitnya bagus ya?” Juni menatap jauh ke belakang Wendy, ke arah langit sore itu.

Ucapan Juni membuat Wendy ikut menengadahkan kepalanya menatap langit jingga itu. Juni benar, langit hari itu memang indah.

“Aku paling suka liat langit pas sore gini atau malem-malem, tapi kalau malem aku pasti gak dibolehin kesini.” gerutu Juni

Wendy diam lagi.

Just how many things that come from Juni and will remind her of Joohyun?

My entire world is filled with you.

Wendy memalingkan pandangannya dan kali ini menatap Juni yang masih asik menikmati langit sore.

“Rumah kamu dimana? Lain kali ayo liat langit malam sama kakak.”

Juni menunjuk ke arah perumahan yang tidak jauh dari pantai tersebut.

“Disana.”

“O...kay? Yang mana?”

“Rumah Pelangi kak. Tau nggak?”

Lagi-lagi Wendy terdiam.

Rumah Pelangi.

Itu adalah panti asuhan.

”Jadi Juni?”

“Kok kakak ngeliatin aku kayak gitu? Gak tau Rumah Pelangi ya?”

Wendy menggeleng, “Aku tau kok. Kapan-kapan kakak kesana ya, terus kita liat langit malem bareng-bareng.”

Juni mengangguk cepat, “Mau kak! Eh kak, Juni harus pulang. Kalau nggak nanti aku dicariin, terus ketauan kalo aku kesini.”

“Mau aku temenin pulang?”

“Nggak usah, kakak disini aja. Aku bisa sendiri kok.”

“Beneran?”

“Iya! Ih Juni udah gede!”

Wendy tertawa kencang lalu tangannya mengacak-acak rambut Juni.

“Alright-alright.”

Juni bangkit dari posisi duduk, kemudian tangannya mengibas-ibas celana jeans yang ia kenakan untuk membersihkan pasir-pasir yang menyangkut disana.

“Dah kak Seungwan!! Oiya, omong-omong pipi kakak lucu! Kayak hamster!” ujar Juni yang berlari ke arah jalan menuju Rumah Pelangi.

Untuk kesekian kalinya Wendy harus terkejut dengan ucapan yang sangat simple yang keluar dari mulut Juni. Namun Wendy tidak bisa terlalu lama terlarut dalam pikirannya karena Juni sekali lagi berteriak padanya

“Dah kak Seungwan! You're so pretty!”

Ia melambaikan tangannya ke arah Wendy dan tentu saja dibalas dengan lambaian dari Wendy pula. Mata Wendy mengikuti tubuh mungil Juni hingga ia hilang dari pandangan.

“Lo ngapain buset?”

Mendengar langkah kaki dan suara yang sangat familiar baginya, Wendy menoleh dan perlahan senyumannya merekah.

Bae Yerim. The Next successor of Bae Corp menyempatkan untuk mampir kesini disela-sela kesibukannya.

“Congratulations on your appointment Miss Bae.” ujar Wendy menggoda Yerim.

“Congratulations apanya! Lo aja nggak dateng tadi.” gerutu Yerim. “Lo masih nggak mau kesana ya?”

Memang sejak hari itu, Wendy benar-benar meninggalkan kota yang selalu mengingatkannya pada penyesalan terbesarnya itu dan menetap di beach house milik Joohyun.

Setiap minggu Yerim, Seulgi, Sooyoung, dan Ojé bergantian mengunjunginya di beach house itu dan minggu ini rupanya ‘giliran’ Yerim.

“The company is moving on, I’m trying to, my family too. Everyone is moving on but you Wen.” lanjut Yerim.

Wendy hanya mengangkat bahunya.

“So gimana rasanya jadi part of the board?” tanya Wendy mengalihkan pembicaraan.

“Megap-megap gue. Lo tau nggak lele yang diambil dari baskom terus ditaruh di lantai sebelum akhirnya di goreng? Nah itu gue, the saddest I've ever been.”

Wendy tertawa lepas. Yerim selalu bisa menghibur dirinya disaat seperti ini.

“Anyway, yesterday you didn’t come either. Well like always sih, nggak heran. Masih nggak mau dateng juga lo?”

Wendy paham betul apa yang dimaksud oleh Yerim. Peringatan hari yang sama sekali ia tidak mau ingat, even just to acknowledge that day she won’t.

Pada akhirnya Wendy memilih untuk diam. Matanya kembali melihat ke arah laut lepas dan matahari yang terbenam.

“Lo masih mikir dia bakal pulang Wen?” sambung Yerim, ia tahu Wendy tidak akan menjawab pertanyaan yang sebelumnya.

“She is there, somewhere.”

“I see, kadang gue juga ngerasa like she is there somewhere. Ready to be back and scold me or even tease me.” Yerim tertawa pelan. “But Wen, I know it's just my wishful thinking. So, I hope you will find it in you to slowly let her go ya? It’s been eight years, Wen. You need to be happy too. Kakak gue nggak bakal seneng liat lo kayak gini terus.”

“Lo hari ini sendirian?” tanya Wendy, lagi-lagi mengalihkan pembicaraan.

Yerim hanya bisa menghela napasnya. Sudah delapan tahun ia mencoba untuk mengingatkan Wendy agar ia bisa membuka lembaran baru, namun hingga saat ini pun Wendy masih bersikeras untuk tinggal di halaman terakhir cerita mereka.

Mungkin ia akan mencoba lagi esok hari, pikir Yerim.

“Hari ini gue sama Kak Taeyeon, dia mau denger lagu yang baru lo kasih snippetnya ke dia semalem. Gue juga penasaran jadinya, she said she’s crying listening to that song.”

“Lebay aja dia.” ujar Wendy.

Ia melangkah menuju jalan setapak ke arah beach house, meninggalkan Yerim yang tidak menyangka bahwa Wendy akan bangkit dari tempatnya duduk.

“Well?! Listen to YOUR OWN SONG okay??? Also the public gives you the title Queen of Ballad not for nothing?? Please Wen gue capek nangis mulu denger lagu lo.” protes Yerim yang mengekor di belakang Wendy, menyesuaikan dengan langkah kaki Wendy.

“Lebay lo berdua.”

“Yee! Serius tau! Eh Wen judulnya apa Wen? Kalo lo belum punya judul, gue ada stock ide nih!”

“Ancur adanya kalo lagu gue lo otak-atik.” goda Wendy.

“Sialan! Serius nih gue! Kemaren baru nonton drama sedih banget Wen!!”

Wendy menggelengkan kepalanya, walaupun kini Yerim sudah menyandang tanggung jawab yang besar, namun tetap saja sifat jenakanya itu tidak pernah hilang.

“Gue bikin lagu baru aja deh buat lo kalo lo emang segitu pengennya nulis lirik lagu.”

“Beneran ya??”

“Iya, tapi yang ini lo jauh-jauh ya. This one is special.”

“Emang lo udah punya judulnya?”

“The song is ready to be honest. It’s called Angel.”


’You’re my angel’ ’Today, let me fall asleep’ ’Don’t run away tonight’ ’I won’t let you go, even in my dreams’