youngkimbaeson

317.

Satu minggu.

Akhirnya orang-orang menyerah setelah tujuh hari mereka tidak mendapatkan hasil apapun.

Berat bagi semua orang, namun nalar mereka pun tau kalau sosok yang dinanti tidak akan kembali.

Langkah kaki yang berat perlahan berjalan memasuki rumah yang sudah kehilangan pemiliknya itu.

Seulgi langsung berkendara kesini setelah upacara selesai, cukup melelahkan apalagi ia tidak hanya disibukkan dengan upacara tadi namun ia juga masih harus mengurus perusahaan.

Namun bagaimana pun juga pesan terakhirnya adalah ”Gue titip Seungwan ya Gi”

So Seulgi just wants to fulfill her promise.

Wendy adalah satu-satunya sosok yang tidak menghadiri upacara tadi. Awalnya keluarga Bae sempat khawatir, bahkan Taeyeon sampai menyuruh managernya Wendy untuk mencari Wendy karena ia tidak bisa ditemukan dimanapun juga.

Namun tak lama setelah upacara tersebut selesai, ia mendapatkan pesan singkat dari Wendy yang mengabarkan bahwa dirinya ada di beach house.

“Wen?”

“Studio!”

Seulgi berjalan ke arah datangnya suara dan mendapati Wendy sedang sibuk dengan music sheet yang bertebaran.

“Dapet ide?” tanya Seulgi.

Jika Wendy memang ingin bertindak normal seolah-olah tidak ada yang terjadi, maka Seulgi akan mengikutinya. Ia tahu setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk menghadapi ini semua.

“Not really. Kepala gue kayak kosong kak and I hate it.”

“I see…. Gue boleh masuk nggak??” tanya Seulgi dari ambang pintu.

“I don’t see why not? Pintu udah kebuka dan lo juga udah sampe situ.”

“Well Irene bilang lo nggak suka kalo ada yang masuk studio lo tanpa izin.”

Keduanya terdiam tepat setelah Seulgi selesai berbicara.

Disatu sisi Seulgi menyumpahi dirinya sendiri yang kelepasan.

Disisi lain, Wendy merasa lebih nyaman saat Seulgi bertindak normal seperti ini.

“Yeah, she’s right tapi gue kan ngasih izin ke lo sekarang?”

“I see, gue masuk ya? Anyway, gue cuma mau liat lo aja. Habis ini gue harus balik lagi.”

“It’s okay. Lo harus kerja kan besok? Salam buat Kak Jennie, I’ll visit you two at the office with my lunch box soon.”

“Sure, anyway Wen.”

“Hm?”

“Gue nemu ini tadi, belum gue buka, tapi itu tulisannya ada nama lo so I’m sure it’s belong to you.” ujar Seulgi menyerahkan secarik kertas yang ia temukan kemarin, lebih tepatnya.

Surat itu ia temukan di laci meja kerja milik Irene yang ada di kantor.

Perlahan tangan Wendy mengambil surat tersebut. Surat yang lebih terasa seperti kotak pandora namun ia tetap ingin membacanya, apalagi kalau surat itu memang ditujukan untuknya.

Matanya membaca baris demi baris kalimat yang ada disana. Tulisan tangan Irene yang sangat ia kenal.

Sementara itu Seulgi mengambil beberapa langkah ke belakang, ia ingin memberi ruang bagi Wendy untuk membaca surat tersebut.

Namun tak lama setelah Wendy mulai membaca surat tersebut, ia melihat tubuh Wendy bergetar hebat.

Tangis yang sudah ia tahan selama berhari-hari akhirnya pecah juga.

another words left unsaid.

but the resonance is louder than anything.


”Hi Seungwan.

Saya nulis ini karena saya jujur udah bingung mau gimana caranya ngomong sama kamu. Tapi Minjeong kasih saya ide, katanya suruh pakai surat. Kata Minjeong mungkin kamu lagi bosen liat muka saya. Make sense.

Anyway, saya nggak mau lama-lama di rumah. Saya masih keinget yang kemarin and I still remember how afraid I was. Jangan pernah kayak gitu lagi ya Seungwan, I beg you.

Anyway (lagi), boleh ya saya sebut apartemen kamu sebagai rumah? Because it is, for the time being i live there with you. It's my home too.

Saya tadi pagi ngobrol sama Ojé dan obrolan itu buat saya mikir, kayaknya kita butuh waktu untuk cooling down. Then Seulgi told me, saya harus ke Jepang, wow what an opportunity. So I take it, also because I have to.

The talk also makes me realized, Ojé knows you better than I am. Yeah, I'm jealous. I want to know you as better as Ojé does. Tapi saya tiba-tiba juga sadar, kamu nggak pernah izinin saya untuk masuk ke dunia kamu meanwhile Ojé already on it or maybe she was your world, I don't know.

Even when I made you one, you still never let me in. You know what I mean right? hehe yes your studio. There is a reason why saya suka banget lihat kamu masak, it's one of the time saya bisa liat kamu in your element other than when you are in your studio.

Saya nggak pernah ada di dunia kamu Seungwan but that's okay. I'll try harder. Saya juga udah janji kan kalau saya nggak akan pernah maksa kamu? I still stand by my words. So yes, I will try harder.

Saya boleh jujur nggak? When I heard Ojé's story about you and her, it hurts me a lot. Bukan karena kamu dan Ojé pernah ada cerita, tapi karena kamu nggak bisa jujur sama saya. Then I realized again, maybe you haven't trust me, so I need to gain your trust. Tell me how Seungwan, because I want to try.

Wait, Minjeong ngintip ke dalam ruangan saya. Oh dia ngingetin flight saya tinggal tiga jam lagi.

Oh ya, saya mau minta maaf. Ada satu janji yang nggak bisa saya tepatin ke kamu. I fell for you Seungwan, head first.

Yes, I'm head over heels for you Seungwan but I guess everyone knows it, except you.

Maaf ya, janji saya yang waktu itu, di ruangan ini, gak bisa saya tepatin ke kamu. By the way, kamu belum kirim review perjanjiannya ke saya dan saya harap kamu nggak akan pernah kirim perjanjian itu ke saya.hehe.

Anyway, this letter will end here. Minjeong udah cerewet ke saya supaya cepet-cepet ke bandara.

Sore ini flight saya ke Jepang. Semoga pas saya pulang, kamu udah mau ketemu saya ya? Kalau belum, nanti saya suruh Minjeong kirim surat ini ke kamu.”

I love you Seungwan, always.

-Joohyun-

313.

tw: airplane crash, death

“Don’t be awkward Wan, kayak sama siapa aja.”

Saat itu memang hanya ada Ojé dan Wendy di dalam ruang VIP tersebut. Yerim sudah pulang ke rumah sejak siang tadi untuk beristirahat sebelum ia harus menjemput Irene di bandara.

Sooyoung juga pulang sore tadi karena ia pun besok ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan dan Seulgi memilih untuk mengantar Sooyoung pulang terlebih dahulu.

Jennie dan Taeyeon masing-masing sibuk dengan pekerjaan mereka, sehingga hanya menyisakan Ojé untuk menjaga Wendy sore ini.

Sebenarnya Ojé pun hanya diam karena Wendy yang tidak memulai percakapan, ia kira Wendy masih belum benar-benar pulih, sedangkan Wendy justru menunggu Ojé untuk membuka pembicaraan.

Namun Ojé tak kunjung berbicara, ia justru melihat ponselnya beberapa kali.

“Uhm, I’m sorry.” ujar Wendy membuka pembicaraan.

“Eh? Kenapa?”

“For everything. Gue udah sering ngerepotin lo dari dulu dan gue belum sempet bilang maaf dan makasih.”

“It’s okay Wan, I do care about you okay? Oh iya, gue tadi udah cerita ke kak Joohyun but I think she still wants to hear it from you too.”

“I will.”

“Good. Anyway, your first gift from Kak Joohyun will arrive soon. So, lo sekarang gue tinggal dulu gapapa ya? Kalo gue nggak pergi sekarang nanti keburu macet jalanan.”

“Iya, sana pergi. Gue gak bakal aneh-aneh kok.”


Wendy tidak menyangka kalau yang dimaksud dengan ’hadiah’ oleh Ojé adalah kehadiran Ibunya di ruang VIP tersebut.

Nyonya Do datang tepat saat Wendy keluar dari kamar mandi.

Ia cukup terkejut melihat sosok yang sudah belasan tahun tidak ia lihat karena bahkan saat Nyonya Do menyambangi kantor Irene, Wendy sama sekali tidak berani untuk melihat sosok Nyonya Do.

“Ma...ma?”

Nyonya Do langsung memeluk Wendy dengan erat. Ia sama sekali tidak menyangka hari itu akhirnya tiba juga, hari dimana ia bisa memeluk Wendy lagi setelah sekian lama.

“Maaf mama baru bisa ketemu kamu sekarang.”

Wendy mengangguk pelan. Ia memeluk Nyonya Do tidak kalah erat.

“Jimin, kamu bisa tinggalkan saya dan Seungwan sekarang. Jangan ada yang boleh masuk ruangan ini selain orang yang dikenal oleh Seungwan.” ujar Nyonya Do.

Wendy baru menyadari ada sosok perempuan lain yang berdiri di dekat pintu masuk kamarnya. Wanita yang dipanggil jimin itu hanya mengangguk kemudian segera keluar setelah mendengar perintah Nyonya Do.

“Dia asisten mama. Asisten baru beberapa tahun belakangan ini.”

“Oh…”

Nyonya Do kembali memandangi Wendy mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala, ia memegang wajah Wendy dengan kedua tangannya. Kemudian ia mengusap pipi Wendy dengan ibu jarinya.

“Mama hampir jantungan pas Joohyun telpon tadi pagi.”

Wendy tersenyum, “Dia bilang apa?”

“Kamu masuk rumah sakit. Tapi Joohyun nggak bilang kamu sakit apa.”

“It's just my stupidity kicking in ma. Aku udah gak kenapa-kenapa sekarang.”

Wendy memegang tangan Nyonya Do kemudian mengajaknya untuk duduk di ranjang yang ia tempati sejak kemarin.

“I drunk too much and did stupid things. Well I’m lucky Joohyun was there. I’ve learnt my lesson.”

“Mama nyesel narik orang-orang mama dari sekitaran apart kamu. Mama kira sejak ada Joohyun kamu jadi lebih aman.”

“Ma, it’s totally my fault. Also, ’orang mama’?”

“It’s another story for another day. Sekarang mending kamu cerita apa yang pengen kamu ceritain ke mama atau hal yang pengen kamu tanyain ke mama.”

Wendy mengangguk. Ia kemudian mulai bercerita tentang pekerjaannya, tentang rencana-rencana yang akan ia ambil. Wendy juga bercerita tentang betapa sempitnya dunia ini karena she ends up in an engagement with Irene, her childhood friend whom also Chaeyoung’s cousin.

Wendy juga menceritakan kekhawatirannya pada Nyonya Do.

Basically, Wendy did what she couldn’t do all these while. Just a normal conversation between daughter and her mother.

“Kamu khawatir apa yang Mama rasain sama Papa kamu akan keulang di kamu?” tanya Nyonya Do. Tangannya membelai rambut Wendy, menyeka poni Wendy yang mulai menutupi matanya.

Anak semata wayangnya itu mengangguk pelan.

“Seungwan, maafin mama dan papa kamu ya. Kami dulu nggak dewasa dan kamu yang harus nanggung akibatnya. Mama dulu ngerasa semua ini nggak adil, mama udah usaha tapi semua itu berat karena mama sendirian. Bahkan mama dulu juga sempet mau marah sama kamu, tapi mama sadar kamu nggak pernah punya salah ke mama. Kamu hanya lahir dari orang tua seperti kami disaat yang salah, mama dulu pernah mau bawa kamu. Tapi papa kamu ngelarang itu semua, dengan alasan kita nggak ada hubungan darah.” Nyonya Do tersenyum kecil namun air matanya mulai memenuhi pelupuk matanya.

“Seungwan, mama bisa jamin Joohyun itu beda sama papa kamu. Walaupun kalian berdua juga sama-sama dijodohin, kayak mama dan papa, tapi Joohyun selalu peduli sama kamu. Kamu nggak akan usaha sendirian kayak mama dulu karena Joohyun selalu ada buat kamu. Bahkan saat dia nggak bisa ada di dekat kamu seperti sekarang ini, dia selalu memastikan kalau kamu baik-baik aja. Contohnya aja, Joohyun sengaja minta mama dateng kesini sekarang karena ini rumah sakit punya keluarga dia, Joohyun udah ngitung semua langkah dia. Terus hal kecil lainnya deh, sadar nggak kalau di kamar ini ada air purifier? Itu permintaan Joohyun, dia bilang kamu lebih nyaman tidurnya kalau pakai air purifier yang disana itu.”

“Lebay banget sih ma, sebenernya aku bisa aja nggak pake air purifier itu. Cuma Joohyun aja emang suka berlebihan kayak gitu.” jawab Wendy.

Nyonya Do tertawa, tangannya kembali membelai kepala Wendy. “Tapi kamu suka kan diperhatiin sampe segitunya?”

“Maa, stop it.”

“Tapi mama serius. Joohyun dan papa kamu itu dua sosok yang bagaikan bumi langit, jadi kenapa juga kamu bandingin? Emang kamu pernah ngerasa Joohyun mirip sama papa kamu?”

“Mereka sama-sama suka ngatur aku.”

“Oh ya? Coba Joohyun ngatur apa? Coba pikirin lagi kenapa dia kayak gitu?”

Wendy berusaha berpikir keras.

“Seungwan, jangan jadiin kegagalan mama dan papa kamu sebagai tembok yang menghalangi kebahagiaan kamu. Jangan sampai kamu harus kehilangan dulu baru kamu tau betapa berharganya orang itu, jangan kayak mama. Mama harus kehilangan kamu dulu baru mama sadar kalau kamu itu karunia untuk mama, despite pernikahan mama yang hancur berantakan.”

“Ma, udah dong jangan ngomong yang sedih gini, kan jarang-jarang mama bisa sama aku kayak gini.”

“Okay, okay. Kamu mau ngapain sekarang?”

Tok! tok!

Kepala Ojé menyembul dari balik pintu.

“Oh tante udah disini.” ujar Ojé sembari menganggukkan kepalanya.

“Sore Dokter Park.” sapa Nyonya Do ramah.

Yang disapa buru-buru menggerakkan kedua tangannya menyangkal untuk dipanggil seperti itu, “Aduh, tante aku kalau disini nggak praktik. Jangan dipanggil dokter, nggak enak kalo ada yang denger.”

“Nggak usah merendah, ini juga rumah sakit punya lo.” potong Wendy.

“Hehe tetep aja Wan. Oh anyway, gue kesini cuma mau nyampein my last promise to kak Joohyun. Yang pertama gue janji jagain lo selama dia nggak disini, I think I already fulfill it, ya nggak tan?” goda Ojé sambil menyengir ke arah Nyonya Do yang menganggukkan kepalanya.

“Nah yang terakhir, kak Joohyun nitip supaya gue ambilin hp lo dari apart. Disclaimer, gue cuma masuk buat ambil hp sama charger doang okay?” Tangan kanan Ojé memberikan paper bag kecil berwarna cokelat kepada Wendy.

“Sore ini dia pulang dari business tripnya and Yerim is on the way to the airport to be honest.”

Ojé kemudian memilih untuk menyetel televisi yang ada di dalam ruang tersebut. Ia agak canggung juga harus berada disana saat itu.

“Kamu suka nonton acara kayak gini?” tanya Nyonya Do.

Yang ditanya justru terkejut, karena sesungguhnya ia tidak memperhatikan apa yang ia tonton. Rupanya tangannya secara tidak sengaja justru memilih channel masak. Ia menggeleng

“Aku nggak bisa masak tante. Seungwan tuh yang jago.”

Seungwan hanya mengangkat bahunya, kemudian ia mengambil remot yang ada di tangan Ojé dan mengganti ke saluran berita. Ia ingin tahu barang kali ada berita tentang dirinya.

Ponsel Ojé berdering dengan kencang membuat ketiga orang yang ada disana terkejut, sang pemilik ponsel pun buru-buru mengangkat telepon yang masuk.

Sementara itu Wendy memilih untuk kembali berfokus pada saluran berita dan Nyonya Do memilih untuk mengambil paper bag yang tadi ia bawa.

’Pesawat Korean Air dengan nomor penerbangan KE-221 dinyatakan hilang kontak dengan tower bandara Incheon. Menurut informasi yang didapatkan, pesawat yang tersebut terakhir kali terlacak berada di dekat kepulauan Ulleung…'

Wendy yang menyimak berita tersebut tiba-tiba bergidik ngeri, kecelakaan pesawat seperti itu selalu saja membuat hatinya berdebar. Terutama karena ia sendiri pernah membaca bahwa kemungkinan suatu kecelakaan pesawat menyisakan korban selamat sangatlah tipis.

“Damn, I hope they’re okay.” ujar Wendy. “Maybe it's just bad weather right?”

Wendy memalingkan wajahnya dan menatap Ojé yang tiba-tiba diam seribu kata. Raut wajahnya tiba-tiba kehilangan warna menjadi pucat pasi.

“Yer, lo….serius?” bisik Ojé

Tiba-tiba hati Wendy menjadi tidak nyaman setelah ia melihat ekspresi Ojé, ia pun memberanikan diri untuk mengangkat suaranya namun Ojé sudah lebih dahulu memutuskan sambungan teleponnya.

Ojé memegang railing kasur Wendy dengan erat seakan-akan ia akan segera jatuh apabila ia tidak mendapat bantuan sanggaan dari besi tersebut.

Sikap Ojé saat ini benar-benar membuat Wendy takut, apalagi saat Wendy melihat bahu Ojé perlahan bergetar.

“Lo kenapa?” tanya Wendy.

Tak lama kemudian mata Wendy dan Ojé bertemu.

“Wan…..Kak Joohyun Wan…..”

311.

“Heh gila, itu makanan orang sakit malah lo cicip? Asli kalo ada kak Irene mampus lo setan.”

“Lah gue nyicip kan biar tau ini makanan ada racunnya apa nggak, ini Wendy loh, Wendy Son, siapa yang gatau dia coba? Orang itu perawat aja udah beberapa gue denger gosipin Wendy.”

“Masalahnya lo bukan nyicip, bangkeeee! Lo tuh udah makan berapa sendok bangsaaat!”

Yerim mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membuat huruf ‘v’ lalu hanya menyengir ke arah Sooyoung.

“Ntar gue tinggal minta Ojé buat kirimin makanan lagi deh. Laper tau gue jagain semaleman! Kak Seul balik buat ngantor, Ojé juga balik rumah bentar, mereka pada bisa makan, lah gue?!”

“Ya kan makanya gue kesini babi! Biar lo bisa makan! Tapi masa gue baru juga buka pintu udah liat tikus maling makanan?!”

“Rese’ lo! Gini doang elah, gue jamin Wendy juga gak masalah.”

Wendy tertawa pelan namun kemudian terbatuk pelan saat tawanya semakin keras. Ia terbangun sejak Yerim dan Sooyoung saling berdebat masalah sarapannya pagi itu.

It’s the first time in a week Wendy bisa tertawa dan bangun dengan perasaan yang lebih nyaman, seakan tanpa beban.

Yerim dan Sooyoung yang mendengar Wendy terbatuk sontak menoleh ke arah kasur pasien.

“WENDY!” teriak Sooyoung kegirangan.

“Woy jangan teriak anjir kasian anak orang!” celetuk Yerim sembari memukul lengan Sooyoung.

Yerim kemudian mengambil posisi di sebelah kanan Wendy dan duduk di kasur tersebut. Wendy melihat adanya kerutan-kerutan di dahi Yerim, suatu pemandangan yang jarang ia lihat.

“Ini berapa?” tanya Yerim, ia mengangkat jari telunjuknya

“Satu.”

“Kalo ini?” kali ini Yerim menunjukkan jari telunjuk dan jari jempol.

“Dua?”

Tak disangka-sangka, Yerim kemudian mencubit pipi Wendy dengan cukup keras hingga Wendy meringis kesakitan.

“Awas ya lo bikin gue jantungan lagi! Mumpung cewek lo nggak ada, sini lo gue siksa dulu.” protes Yerim

“Buset gila ya lo???” ujar Sooyoung kaget.

Sooyoung buru-buru melepas cubitan pada pipi Wendy walaupun yang dicubit juga hanya tertawa.

“I miss you girls.”

“Dih kayak udah nggak ketemu setaun aja lo.” ujar Sooyoung.

“No, seriously, I miss you girls.”

Wendy berusaha untuk mengubah posisinya dari tiduran menjadi duduk, melihat hal ini Yerim turun dari kasur dan menekan tombol untuk menaikkan posisi kasur.

“Segini cukup nggak?”

Wendy mengangguk.

“Gue minta minum dong.” ujar Wendy serak.

“Masih mau minum lo?” tanya Yerim yang memang dengan sengaja menyindir Wendy.

“Nggak lagi. Gue minta air mineral.”

“Bagus deh sadar, tunggu sini lo.”

Sementara itu Sooyoung hanya diam dan memperhatikan Yerim. Memang diantara mereka berdua, Sooyoung dan Yerim, sosok yang lebih muda darinya itu lebih frontal dan blak-blakan.

Yerim selalu jujur dengan isi hatinya.

Sooyoung menatap Wendy kemudian tersenyum, kali ini ia akan menjadi penyeimbang. Jika Yerim sudah mengambil peran untuk menasihati Wendy maka Sooyoung akan memilih untuk menjadi pihak yang netral.

“Lo ngerasa ada yang nggak enak? Bisa napas lancar gak lo? Pusing?” tanya Sooyoung yang dibalas dengan gelengan kepala oleh Wendy.

“Nih minum lo tuan putri.” ujar Yerim yang menyodorkan gelas kaca tepat di depan mulut Wendy. “Buruan minum, ini gue pegangin daripada ntar tumpah.”

Wendy meneguk air mineral tersebut dengan perlahan.

“Thanks.”

Suasana tiba-tiba menjadi canggung ketika Yerim melihat Wendy menatap dirinya seakan-akan menunggu Yerim untuk mengatakan sesuatu.

“Apaan?”

“Uhm, kakak lo kemana?”

“Pergi jauh. Ini lo basa basi apa beneran nanya karena care sama kakak gue?” tanya Yerim.

Wendy bisa merasakan adanya respon agresif dari Yerim, bahwa Yerim yang ada di depannya ini adalah Yerim adik dari Joohyun, bukan Yerim sebagai sahabatnya.

Sangat bisa dipahami walau sejujurnya Wendy juga merasa cukup takut dengan Yerim yang tidak terduga.

Wendy juga paham, setelah apa yang Irene korbankan untuknya juga setelah keluarga Bae menerimanya dengan hangat, Wendy justru melakukan hal-hal seperti ini yang pasti mengecewakan Yerim, Nyonya dan Tuan Bae.

Ah, benar Nyonya Bae terutama. Sosok yang sudah sangat hangat padanya.

Tanpa Wendy sadari air matanya jatuh, ia merasa benar-benar bersalah. Irene benar, ia terlalu kekanak-kanakan. Kalau saja ia bisa melihat segalanya lebih dekat, kalau saja ia tidak selalu egois.

“Sorry….” ujar Wendy disela tangisnya.

“Kata maaf lo salah sasaran Wen, lo mending ngomong ke kakak gue langsung ya nanti pas dia udah balik. Malem nanti gue jemput dia ke bandara abis itu gue yakin dia langsung minta anter ke sini.”

Wendy mengangguk.

“Hari ini dia ada rapat pemegang saham di Jepang, tadinya mau balik langsung abis selesai meeting tapi nggak dapet tiket jadi yaudah baru balik sore dari sana.”

Wendy mengangguk lagi.

“Udah lo jangan nangis, ntar kalo ada yang liat dikira gue yang ngapa-ngapain.”

“DIH KAN EMANG LO YANG NGAPA-NGAPAIN!” celetuk Sooyoung sambil tertawa.

“Gue kan cuma ngomong, salah siapa Wendy lembek? Tapi bagus sih dia masih kesindir, berarti masih normal.” kata Yerim sambil mengangkat bahunya. Kemudian ia menyodorkan ponselnya ke arah Wendy.

“Nih, hp gue. Kalo lo mau pake buat hubungin kakak gue. Soalnya gue gak tau hp lo dimana.”

“Thanks Yer.”

Yerim hanya memutar bola matanya, “Awas ya gausah ada drama-drama lagi. Pusing tau jadi gue.”

“Berpelukan dong lo berdua!!” goda Sooyoung yang kemudian berjalan ke arah Yerim dan memaksa untuk memeluk Yerim serta Wendy. “Udah-udah gue gak suka yang sedih-sedih gini.”

Wendy tertawa melilhat Yerim yang protes atas tingkah Sooyoung.

”I need to count on my blessings.”

Sooyoung kemudian berjalan keluar, ia beralasan ingin memanggil dokter. Sedangkan Yerim kembali duduk di meja dan menyantap sarapan yang seharusnya Wendy makan.

Wendy tau bahwa keduanya sengaja memberikannya ruang dan kesempatan ini Wendy gunakan untuk menghubungi Irene.

Namun baru saja Wendy membuka isi chat Yerim dan Irene, lagi-lagi Wendy merasa matanya memanas dan air mata memenuhi pelupuk matanya.

Ia membaca chat-chat Irene dan Yerim, terutama chat saat Irene sedang panik karena tingkahnya kemarin. Ia benar-benar merasa menjadi orang yang jahat.

Baru saja ia hendak scrolling lebih jauh, tangan Yerim sudah mengambil ponsel miliknya dan Wendy melihat Yerim menekan sesuatu sebelum ia mengembalikan ponsel miliknya ke tangan Wendy.

“Gak usah lo baca yang kemaren-kemaren. Gak ada gunanya juga crying over the spilled milk okay? Yang penting sekarang moving forward.” ujar Yerim.

Wendy kembali menatap layar ponsel tersebut dan menemukan isi chat tersebut sudah kembali bersih putih, seakan-akan Yerim dan Irene tidak pernah bertukar pesan.

Yerim just cleared her chat with her own sister. Just so Wendy will not feel too guilty.

Sedangkan sang oknum hanya diam saja dan berpura-pura fokus menyantap sarapan hasil curiannya.

”Thank you Yerim.”

309.

Ojé mengayunkan dirinya bersama dengan kursi ayunan sekali lagi.

Ia sampai terlebih dahulu di taman yang dimaksud oleh Irene karena posisinya tadi memang jauh lebih dekat dibandingkan Irene yang berada di VIP ward.

Ojé ingat betul dulu di taman ini ia sering bermain bersama dengan sepupu-sepupunya saat jadwal medical check-up bulanan mereka.

No wonder Irene meminta untuk bertemu disini karena taman ini adalah tempat yang familiar bagi mereka.

“Jé…” panggil Irene yang berjalan ke arahnya.

Sontak Ojé berhenti bermain dengan ayunan tersebut dan berjalan mendekat ke arah Irene.

Tanpa Irene duga, Ojé menyambutnya dengan pelukan. Irene tidak menolak pelukan tersebut mapun menerima gesture Ojé. She feels numb.

“Kak, we are here for you and Seungwan okay?” bisik Ojé.

Irene hanya mengangguk pelan kemudian melepaskan pelukan Ojé dan menarik adik sepupunya itu untuk duduk di ayunan yang tadi ia tempati.

The silence is defeaning but Ojé waits for Irene to start the conversation. Ojé knows that Irene lagi menata isi hati dan kepalanya.

“Alcohol poisoning Jé. I’m lucky she didn’t lock the door. The doctor said if I’m late even just for a minute, she would…” Irene berhenti berbicara.

Lagi-lagi air mata membasahi pelupuk matanya. Ia tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena hal itu hanya akan membuatnya membayangkan kemungkinan-kemungkinan terburuk.

Ojé menepuk pundak Irene pelan, “But she’s not right? Let’s focus on that kak. She will be back to you.”

“The doctor also said that she is perhaps in deep stress and I know it’s true. We were fighting Jé. I only wanted to talk but she didn’t and I pressure her to. I didn’t mean to pressure her, Jé.”

Ojé bangkit dari kursi ayunan dan berdiri di depan Irene kemudian sekali lagi memeluk Irene. “It’s okay kak. You just want the answer, nothing is wrong with that. It’s mine and Seungwan’s fault for lying to you.”

“Is it? Is it not my fault Jé?” tanya Irene pelan.

Ojé mengangguk dan berdeham sebagai jawaban.

“Btw lo mau ngomong apa kak ke gue?” lanjut Ojé.

“Gue gak tau harus mulai dari mana Jé, tapi gue rasa lo udah bisa tebak apa yang mau gue omongin. I can’t think straight Jé, it feels like my head is burning and ready to explode.”

Ojé hanya terdiam, ia menjeda beberapa detik sebelum melepaskan pelukannya. Kemudian sang psikiater berjongkok di depan Irene dan menatap mata Irene lekat.

“I met Seungwan the first day she moved out to Canada, it was Christmas eve. Lo tau kan keluarga gue lebih sering natalan di sana?”

Irene mengangguk.

“She was alone in a park, sitting in a swing like what you always did when you visit a park. Just like this.”

Irene tertawa pelan, “Yeah she likes sitting on a swing like this, always. I remember back then when we were kids, she always asks me to give her my place so she can use the swing instead of me.”

“I know, and she reminds me of you and Yerim too. So I approached her, I thought oh maybe we can be friends. So it just started like that. We became friends, more like my summer and winter friends. Then I moved to Canada and it was the beginning of how I knew about her mental condition.”

Ojé kemudian berhenti berbicara sejenak. Ia ragu untuk melanjutkan kalimatnya, namun ia ingat keraguannya tempo hari juga turut andil atas pertengkaran Irene dan Wendy yang kini membuat situasi serumit ini.

She needs to tell Irene all the story of hers and Seungwan.

“She was the reason I took psychology as my major. I want to help her.”

“Do you like her? In that way?”

“I thought I do like her, especially in our college days.”

Irene menarik napasnya. “Maybe you still are. If you didn’t like her, you won’t take a path that literally paved your whole life.”

Ojé menggeleng. “Gue pikir dulu juga gitu, but then when we were an item it got me thinking. I didn’t like her like that. I love her like how I love you, Yerim, Kak Jen, Kak Taeyeon. It’s more like a sisterly love. I never want to do things that couples do. I respect her like how I respect you. Also, call it cheesy but as weird as it sounds, just how like you are so good in your field, I'm amazing in mine too. I want to be like my parents, without me realized. ”

Ojé berdiri kemudian kembali duduk di sebelah Irene.

“But Seungwan thought that she like me like that. She feels indebted to me, she mistaken what she feels towards me as love and then you come and confuse her. At least that's what I’m sure of. She told me about you, about your relationship with her. At first I didn't know that the Joohyun she talked about was you but when I came to your house and saw how Seungwan was so nervous, I knew she’s panicking. So I play along with her, also I want you to know it directly from her.”

Ekspresi Irene berubah menjadi lebih serius.

“You are her first love?”

Ojé mengangkat bahunya, “Nggak tahu. Bisa iya, bisa nggak. Pertanyaan ini cuma Seungwan yang bisa jawab.”

“Kak, you’re engaged with her. It's just one step behind marriage, that’s what matters right? You have to…..percaya sama diri lo sendiri, percaya sama Seungwan juga. Gue gak akan jadi villain di kehidupan lo sama Seungwan because I never see her in that way.” lanjut Ojé,

“Thank you Jé for telling me this.” ujar Irene.

“But why does she always run from me? Why does she always avoid me? Sometimes gue ngerasa dia nggak percaya sama gue, nggak percaya sama omongan gue. What should I do to convince her that I’m sincere?” tambah Irene.

“Kak, lo coba ya sekarang bayangin. I need you to imagine, kalau orang tua lo, the person that should show you love and affection, tiap hari berantem. Tiap hari main tangan, tiap hari ada barang pecah di rumah lo. Seungwan harus melalui itu semua kak setiap hari selama bertahun-tahun, sebelum akhirnya bokap nyokap mereka pisah. Then when she’s growing up, people give her attention and want to know her just because she has the visual. Call it a teenager hormon, she uses it and experimenting with it, she wants to prove that love is bullshit. Ini juga alasan sebenernya kenapa waktu itu I try it with her. I just want her to stop. Well she did stop, but then she chose to become a singer and that’s how it started again and then we broke up, the rest you know from the media. Bottom line is, she just wants to prove to her father that he is the one to blame.”

“But I told her that I’m sincere, I told her she’s more than what she thought she was. I am even being honest to her that this is my first relationship and we will be slow. I also told her that I love her.”

“That’s the key kak. Seungwan doesn’t think she’s worthy enough to feel loved and being in love sincerely. It is like a luxury she can’t afford. She’s just scared to open her heart, she wants to protect her heart. She is afraid that if she gave you her heart then you can just suddenly leave her. Remember that her parents are married but then in the end they choose to leave each other.”

Irene mengangguk pelan.

“Jé, gue mau minta tolong ke lo. I think it's better for me to take a step back. Mungkin sekarang kehadiran gue justru overwhelmed her. So I need you to look after her from a close range, Jé. You have the advantage because she trusts you even more than she trusts me, and you are her doctor too. Gue gak mau apa yang terjadi semalam keulang lagi Jé. I can’t lose her Jé.

Ojé mengangguk, “I will look after her but only as her best friend. Gue udah minta bokap gue untuk nunjuk psikolog buat dampingin Seungwan. Gue udah ngelanggar kode etik by telling you her condition also gue nggak bisa parsial lagi sama dia, i do care about her too. So it’s better if Seungwan has a new psychologist and or psychiatrist. I will pick them by myself.”

Irene diam beberapa detik. “Sure. Thank you Jé, I owe you and the rest.”

Baru saja Ojé hendak membuka mulutnya, Irene dan Ojé dikejutkan dengan Yerim yang berlari ke arah mereka dengan napas yang tersengal-sengal.

“She’s awake. I think you want to see her now.”


Untuk beberapa saat Wendy merasa terdisorientasi. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali.

Ia merasakan kepalanya sangat berat dan sakit, matanya kembali mengerjap cepat. Wendy berusaha untuk bernapas but she feels a discomfort in her nasal passage and her chest.

Wendy mengerang pelan.

“Wen, lo bisa liat gue?” panggil Seulgi pelan. “Lo napas pelan-pelan ya, gue udah panggil dokter. Yerim juga lagi manggil Irene.”

Wendy yang masih merasa terdisorientasi hanya bisa mengangguk walau sebenarnya ia sama sekali tidak memahami apa yang terjadi.

Pikiran Wendy masih entah ada dimana, antara badan dan pikirannya tidak sinkron. Namun Wendy mengenali suara orang yang berbicara barusan.

“I’m s-sorry.” bisik Wendy pelan sebelum ia kembali kehilangan kesadarannya.


Dokter Kim tadi menjelaskan bahwa efek obat penenang masih bekerja dan kadar alkohol dalam tubuh Wendy belum sepenuhnya turun ke batas normal. Maka wajar bagi Wendy yang akan in and out of her consciousness but overall, she’s going to a better condition. She’s recovering.

Irene merasa lega mendengar penjelasan tersebut.

Namun setelahnya Seulgi terpaksa harus menyampaikan kabar buruk padanya, Irene dibutuhkan untuk terbang langsung ke Jepang. Baik Jennie maupun Seulgi tidak menolak apabila Irene menunjuk salah satu diantara mereka untuk menghadiri rapat pemegang saham luar biasa, namun atas permintaan pemegang saham, mereka menginginkan Irene untuk hadir langsung dan menjelaskan terkait kasus penggelapan pajak yang saat ini sedang diselidiki.

The shareholders want to know if the parent company is still credible and going strong even with this ’scandal’ and how far Irene will take care of this matter.

“Please wake up Seungwan?” Irene memohon, tangannya membelai kepala Wendy. “Kamu masih nggak ingin lihat saya ya?”

Ucapan Joohyun perlahan membangunkan Wendy walaupun ia masih tidak sadarkan diri untuk sepenuhnya.

But then, Joohyun’s shaken voice totally broke her heart.

Selama ini Joohyun hanya menunjukkan sikap dingin yang lambat laun menjadi sosok yang sangat manja pada dirinya, keras kepala, pekerja keras, family type of woman, then there is her romantic and caring side but never this one. She's just too evil to Joohyun, she will never deserve her.

But she never meant to hurt her, although in the end she still does.

“Am I pressuring you Seungwan? Am I making you uncomfortable?” Tanya Joohyun. Namun ia tidak mendapatkan jawaban apapun.

“I thought we agreed to communicate our problem. I thought I meant something to you. Saya nggak nyangka kamu ngambil jalan se-ekstrim yang semalam. I was so afraid Seungwan. I thought I lost you, I almost did.” Tiba-tiba Joohyun mengusap pipinya. Air matanya mengalir begitu saja.

“Seungwan, look. I…..” Joohyun menghela napasnya. Ia merasa bahwa saat ini adalah saat yang tepat untuk mengutarakan semua isi kepalanya walau saat ini Wendy masih tidak sadarkan diri, Irene kira.

“Wan, saya selalu dan masih berpegangan pada janji saya ke kamu. Saya nggak akan berbuat hal-hal yang bikin kamu nggak nyaman, saya nggak mau maksa kamu untuk melanjutkan…..ini semua. Saya juga nggak akan maksa kamu untuk deal with your past right now, as soon as possible. Like what I said in that caravan, Saya mau bantu kamu to deal with your past even though I don’t know all your problems, even though I don’t know all your story, Wan. I won’t push you to tell me as well as I won’t push you to accept my presence in your life.”

Suara Joohyun mulai sedikit bergetar.

“Seungwan, I will stay with you unless you ask me otherwise. Tapi kalau kehadiran saya justru membahayakan kamu kayak gini, kayak yang semalem, Saya lebih baik mundur dan perlahan hilang dari kehidupan kamu Wan. I will stay with you without you knowing. Although it’s hard for me, I will do it. I just want what's best for you.”

Tiba-tiba Wendy merasa panik saat ia memahami ucapan Joohyun. Ia juga bisa merasakan tubuh Joohyun bergetar. Namun entah mengapa Wendy masih belum bisa menggerakkan tubuhnya. Like she’s in sleep paralysis.

Irene menyeka airmatanya dengan punggung tangannya dan mengusap kepala Wendy sekali lagi.

“Wendy, Seungwan, it’s been the happiest moment in my life when I get to know you and spend my time with you. I’m so sorry that my own happiness blinds me that in exchange I’m suffocating you, I’m pressuring you until you do what you did last night.”

Joohyun mendekati Wendy dan mencium puncak kepalanya. “I need to prepare for the shareholders meeting tomorrow. Tonight I will fly to Japan and tomorrow after the meeting I will be back here. I hope by that time we can talk, please tell me everything you want to tell me and I will listen to you. Please keep yourself safe and healthy? Don’t do anything to harm you? Please?”

Lagi-lagi Irene tidak mendapatkan jawaban dari Wendy.

“I love you so much Seungwan, you can't imagine. I love you, please know that. I don't know if you can hear me or not but please believe me when I say I love you so much even more than I love myself.” bisik Joohyun yang sekali lagi mencium kening Wendy.

“See you when I see you okay love?”

Irene berjalan meninggalkan kasur dan Wendy mendengar Irene berbicara pada seseorang yang ia tidak tahu siapa. Kemudian tidak lama kemudian Wendy mendengar suara pintu kamar yang ditutup.

Saat itulah Ia baru benar-benar menyadari bahwa Irene sudah tidak ada disana bersamanya.

And she feels empty, she is hurting too, and slowly she’s panicked. Joohyun is leaving?

Sekuat tenaga Wendy berusaha untuk bangkit dari dari posisinya, walau itu membuat kepalanya pusing, but once again she feels her world spinning.

She can’t lose her like this.

But suddenly her world turn into black once again.

306

(part 2)

Wendy menutup pintu kamarnya dengan pelan dan menjatuhkan tas serta botol wine yang ia pegang sebelum akhirnya ia pun ikut terjatuh dan duduk dalam posisi bersandar pada pintu kamar.

Ia mengusap airmatanya yang tadi sudah jatuh terlebih dahulu saat ia berbicara dengan Irene.

“See? When I talk, I only hurt you Joohyun.” bisik Wendy. Ia memeluk kakinya yang terlipat di depan dadanya.

Namun saat Wendy memeluk kakinya, ia justru mencium bau alkohol dan rokok yang menempel pada dirinya yang sontak membuat dirinya jijik. Wendy pun memilih untuk berdiri, tangannya meraih botol wine yang tadi ia taruh kemudian ia berjalan ke arah kamar mandi. She wants to get rid of this smell.

Dengan kasar Wendy membuka botol wine tersebut and then she takes a swig right from the bottle sembari tangan satunya membuka kancing-kancing bajunya dengan tidak kalah kasar.

Ia melepaskan kemeja yang ia kenakan dan membuangnya entah kemana, yang jelas saat itu hanya ada satu tujuan di kepalanya yaitu segera menghilangkan bau tidak sedap dari badannya.

Wendy mengisi bath-tub dengan air hangat sebelum matanya tertuju pada kaca yang menyajikan pantulan dirinya malam itu. Ia melihat kantung mata yang semakin dalam, rambutnya yang cukup berantakan.

Pemandangan di depannya itu membuat ia menertawakan dirinya sendiri.

“No wonder no one stays with you.”

“No wonder Joohyun is tired of you.”

“You’re pathetic Son Seungwan.”


Irene menarik napasnya dalam-dalam sekali lagi. Ia masih berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar Wendy. She’s nervous.

Setelah Irene membersihkan dirinya dan menghabiskan waktu hampir satu jam di dalam kamar mandi, ia merasa lebih fresh, figuratively and literally.

Ia juga sadar bahwa ucapannya sempat kelewatan apalagi sampai ia membentak Wendy seperti beberapa jam yang lalu. Terlebih ia sangat menyayangkan kalimat yang ia lontarkan pada Wendy.

“I shouldn’t ask her if she wants me to leave her or not.” rutuk Irene.

Dirinya ingat betul ucapan Ojé that Wendy needs support more than anything, tapi ia justru melakukan yang sebaliknya. Tidak seharusnya ia mempressure Wendy seperti tadi, pikir Irene.

Understandable, they’re both tired but Irene knows she should’ve reacted better.

Irene memeriksa kembali waktu saat itu, pukul tiga lebih tiga puluh dini hari. Bukan waktu yang wajar untuk berbincang namun ia benar-benar ingin meluruskan kesalahpahaman antara dirinya dan Wendy.

Jika untuk kesekian kalinya ia yang harus menurunkan egonya, maka Irene tidak akan keberatan asalkan ia bisa segera menyudahi keributan yang sudah berlangsung dua hari itu.

Irene menggigit bibirnya, ia berniat untuk mengetuk pintu kamar Wendy.

“What if she’s already sleeping?” pikir Irene.

Namun ia segera menggelengkan kepalanya, “It’s okay, mending gue coba dulu sekarang. What if she’s still awake, right? The sooner the better.”

Tentu saja, Irene Bae Joohyun, tidak akan mengingkari janjinya untuk tidak memasuki kamar tidur serta studio milik Wendy tanpa seizin pemiliknya. Perlahan Irene mengepalkan tangannya dan mengetuk pintu kamar Wendy beberapa kali.

”Here we go Joohyun” batin Irene

Lima, sepuluh menit berselang, Irene masih tak kunjung mendapatkan balasan.

”Well maybe she’s already fallen asleep.” ujar Irene dalam hatinya

Irene memejamkan matanya, ia cukup kecewa juga karena lagi-lagi pembicaraan serius mereka harus tertunda. Namun ditengah ia memejamkan matanya, indra pendengarannya justru menjadi lebih tajam.

Ia dapat mendengar suara air yang mengalir dengan samar-samar.

Sang CEO kemudian berpikir sejenak, apakah ada saluran air baik di dapur atau di kamar mandinya yang belum tertutup rapat. Namun Irene yakin bahwa ia sudah mematikan semua saluran air, kecuali yang ada di dalam kamar Wendy.

Entah kenapa tiba-tiba Irene menjadi was-was. Ia mengetuk pintu kamar Wendy sekali lagi.

“Seungwan, saya masuk ya. Sudah berkali-kali saya ketuk tapi nggak ada jawaban, saya bakal langsung keluar kalau kamu memang sudah tidur.” teriak Irene dengan harapan Wendy mendengarkannya dari balik pintu.

Secara hati-hati Irene memutar kenop pintu kemudian mengintip ke dalam kamar. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan dengan cahaya yang sangat minim di dalam kamar tidur tersebut.

Irene berekspektasi menemukan tubuh Wendy yang tertidur pulas namun nyatanya saat ia mulai beradaptasi dalam kegelapan, Irene tidak menemukan sosok Wendy di kasurnya.

Justru kasur tersebut masih sangat rapi seakan belum tersentuh.

Irene kemudian melihat tas Wendy yang tergeletak tak jauh dari pintu kamar kemudian kemeja dan pakaian-pakaian yang tadi Wendy kenakan berserakan di lantai, mengarah ke kamar mandi.

Ia juga baru menyadari bahwa ia mendengar suara musik dari arah kamar mandi. Lagu jazz, yang Irene kenali sebagai salah satu lagu yang paling sering Wendy putar ketika mereka berkendara.

“Seungwan? Kamu masih di kamar mandi? Saya masuk ya?” teriak Irene lagi sembari melangkah masuk dan tangannya menekan tombol untuk menghidupkan lampu kamar.

Baru saja kakinya melangkah masuk, Irene sudah dengan tidak sengaja menendang botol kaca hingga botol tersebut menggelinding dan berbenturan dengan botol kaca lainnya. Irene yang pada dasarnya mudah terkejut, secara tidak sengaja menjerit.

Kemudian ia menyadari bahwa botol yang ia tendang barusan adalah botol wine. Matanya menghitung ada sekitar tiga botol yang berserakan.

Irene mengambil botol-botol tersebut dengan kesal. Ia masih sangat tidak bisa menerima sifat Wendy yang suka mabuk-mabukan seperti itu, hal ini juga akan ia luruskan nanti.

”You can release your stress all you want but not by getting drunk. Mending kamu saya kenalin sama temen saya yang suka boxing.” gerutu Irene sembari membersihkan kamar tersebut.

Seusai Irene merapikan pakaian serta botol yang berserakan, Irene baru menyadari mengapa kamar mandi Wendy terlampau sunyi? Ia hanya bisa mendengar air yang mengalir dan suara musik. Namun ia sama sekali tidak mendengar suara Wendy atau bahkan suara lainnya.

Hanya air mengalir secara konstan.

Hati Irene tiba-tiba berdebar dengan kencang. Dengan cepat ia mengetuk pintu kamar mandi tersebut, “Seungwan, kamu bisa dengar saya? Kalau kamu baik-baik aja, jawab saya oke? Kalau nggak saya akan maksa masuk.”

Masih tidak ada jawaban.

“Alright Seungwan, it’s not funny. Saya masuk sekarang.”

Untungnya pintu kamar mandi tersebut tidak terkunci. Irene langsung menunduk, takut apabila ia melihat hal-hal yang tidak boleh ia lihat.

Namun jantungnya semakin berdebar tidak karuan saat ia tidak mendapatkan respon apapun dari Wendy.

Irene langsung mendangakan kepalanya dan terkejut saat mendapati beberapa botol wine kosong lainnya yang tergeletak di lantai kamar mandi dan di pinggiran jacuzzi yang ada di dalam kamar mandi tersebut.

Ia bersumpah jantungnya berhenti berdetak saat ia melihat Wendy tidak sadarkan diri dalam posisi yang setengah tenggelam di dalam air.

“OH MY GOD SEUNGWAN!!!” teriak Irene.

Ia langsung melompat masuk ke dalam jacuzzi tersebut dan mengalungkan kedua lengannya di bawah lengan Wendy, melingkarkannya di depan dada Wendy dan menarik tubuh Wendy keluar dari jacuzzi tersebut.

“Fuck Seungwan this is not funny!!!” teriak Irene yang kepanikan.

Ia menarik tubuh Wendy dan berusaha untuk mengeluarkannya dari jacuzzi. Walau ia agak kesusahan, namun Irene berhasil mengeluarkan Wendy dan menyandarkan tubuh Wendy pada tubuhnya. Kemudian Irene merogoh sakunya untuk mengambil ponsel miliknya.

Ia berterima kasih pada Tuhan karena saat itu ia membawa ponselnya, Irene tidak tahu lagi apa jadinya jika tadi ia meninggalkan ponsel tersebut di kamarnya.

“SON SEUNGWAN!!”

Irene menepuk pipi Wendy dengan cepat, berharap Wendy segera sadarkan diri, menggunakan tangan kirinya sementara tangan kanannya berusaha untuk menekan nomor darurat.

“Halo, Rumah Sakit Premiere”

“H-halo, S-saya Joohyun. J-joohyun Bae, keponakan T-tuan Park Kyungwan dan Nyonya B-bae Jinhee. T-tolong datang ke kompleks a-apartemen The Hills Forest. L-lantai 39. God Help, please come here fast!!” teriak Irene, airmatanya mengalir.

Ia benar-benar panik saat itu. Pikiran-pikiran buruk sudah berlalu lalang di dalam kepalanya.

“Nona Bae? Bisa bantu saya untuk memberikan detail pasien yang berada dalam keadaan darurat?”

“S-seungwan. Seungwan Son, she’s….I DON’T KNOW WHAT HAPPENED WITH HER. JUST PLEASE COME HERE ASAP!”

“Satu unit ambulans sudah dikirim ke alamat yang Nona sebutkan barusan. Sementara waktu tolong tenang dan jelaskan kembali keadaan pasien agar bisa kami pandu dari sini.”

“She’s unconscious. Too much alcohol. I don’t know what happened. Just please come here, I beg you.” isak Irene.

“Nona Bae saat ini posisi anda dimana?”

“Kamar mandi di kamar utama. S-saya duduk di lantai. She’s still unconscious.”

“Dari penuturan anda, tadi menyebutkan ada banyak botol alkohol. Bisa anda sebutkan ada berapa?”

“5? I don’t know I can’t count. Stop asking me useless question!”

“Nona Bae, saat ini posisikan pasien dalam keadaan duduk dan tetap berusaha untuk menyadarkan pasien ya. Jangan sampai pasien ada dalam posisi berbaring. Apakah ada air mineral disekitar anda?”

“W-wait lemme sit down properly.” ucap Irene.

Ia berusaha untuk mendekap Wendy. Kemudian menarik tubuh mereka berdua untuk duduk dengan bersandar pada dinding jacuzzi.

“Should I keep her warm? Please I can’t think.”

“Usahakan pasien dalam keadaan hangat Nona Bae.”

“Can I leave for awhile? I need to take the towel. I’m alone, no one can lend me help. I’ll put you on speaker.”

“Silakan nona Bae, saya sarankan untuk segera menghangatkan pasien.”

Mendengar ucapan tersebut, Irene dengan segera berusaha memindahkan tubuh Wendy untuk bersandar pada dinding jacuzzi. Kemudian ia berlari mengambil handuk yang menggantung di pintu kamar mandi namun ia menyadari bahwa handuk tersebut tidak proper untuk menutupi tubuh Wendy ketika petugas rumah sakit datang.

Dengan segera Irene berlari keluar kamar mandi, ia membuka semua pintu lemari pakaian Wendy dan mencari bathrobe milik Wendy. Setelah ia menemukan barang yang ia cari, Irene langsung berlari lagi ke dalam kamar mandi.

Tangannya dengan cepat mengeringkan badan Wendy menggunakan handuk yang semula menggantung di pintu kamar mandi. Setelahnya, ia melempar handuk itu kesembarang arah dan berusaha untuk mengenakan bathrobe yang tadi ia ambil ke tubuh Wendy.

“Seungwan please no, stay with me honey. Please. I’m sorry.”

“Nona Bae? Anda masih disana?”

“Yes! Berapa lama lagi ambulans sampai?”

“Lima menit lagi nona bae. Apakah pasien masih tidak sadarkan diri?”

“She’s still breathing. It’s a good sign right?”

“Tim kami sudah sampai di depan pintu bersama dengan security.”

Mendengar hal tersebut, Irene langsung berteriak untuk mempermudah tim medis menemukan lokasinya dan Wendy.

“HELP!! I’M HERE!! HELP!!”

“Seungwan, please stay with me. They’re here. Please be okay. We’ll be okay right? I love you okay? I’m sorry I didn’t mean what I say, I will stay Seungwan. I will stay with you.” bisik Irene yang masih mendekap tubuh Wendy, berharap ia bisa menyalurkan kehangatan dari tubuhnya ke tubuh Wendy.

Suara Irene bergetar, the reality suddenly hits her. She feels nothing but fear, guilt, deep sadness and frustration. If only she didn’t provoke Wendy earlier, maybe this is all not gonna happen.

Irene mendengar langkah-langkah kaki di luar kamar mandi, ia kembali berteriak.

“HELP!!”

“Help, please help her.” teriakan Irene makin melemah. She keeps hugging Seungwan and trying not to sob.

“Wake up please? Don’t leave me, you can’t leave me Seungwan. I’ve promised you I’ll be with you right? Then you have to be there with me too. Please Seungwan, I love you so much. Don’t do this to me.”

306.

(part 1)

Irene menyandarkan tubuhnya pada dinding lift yang sedang membawanya naik menuju lantai apartemennya. Ia memejamkan matanya sembari sesekali menarik napasnya dalam-dalam.

Tangan kanannya masih menggenggam ponsel miliknya dengan layar yang masih menyala terang. Chat terakhirnya dengan Wendy masih menyesakkan hatinya.

“Tell me what should I do Seungwan.” ujar Irene entah pada siapa.

Lift yang digunakan Irene berbunyi dan lampu indikator menandakan bahwa ia telah sampai di tujuan. Irene berbelok ke arah kanan setelah ia keluar dari lift, menuju apartemen milik Wendy.

Ia membuka pintu apartemen dan terkejut saat mendapati keadaan apartemen tersebut gelap gulita. Semua lampu tidak menyala, kecuali lampu yang ada tepat di depan pintu masuk. Itu pun menyala karena Irene baru saja membuka pintu tersebut.

Aneh.

Biasanya kalaupun Wendy sudah tertidur terlebih dahulu, apartemen mereka tidak sesunyi dan segelap ini.

Kecuali kalau Wendy memang sejak awal tidak ada di apartemen.

Baru saja Irene hendak menelepon nomor Wendy, pintu apartemen tersebut kembali terbuka, kali ini dengan cukup kencang dan mengenai tubuh Irene.

“What the f-....” ucapan Wendy terhenti setelah ia sadar bahwa pintu tersebut mengenai Irene.

“W-welcome home…” sapa Irene pelan.

Situasinya menjadi benar-benar awkward. Irene sama sekali tidak mengira bahwa Wendy pergi tanpa mengabarinya dan baru pulang selarut ini.

Sedangkan Wendy tidak mengira bahwa Irene pulang lebih cepat dari dugaannya karena biasanya saat Irene mengatakan ia akan pulang larut malam, artinya ia akan pulang sekitar dini hari, paling cepat jam 2 pagi. Namun saat itu ‘baru’ pukul satu.

Wendy hanya berdeham pelan, tidak menggubris sapaan Irene. Ia berjalan lurus dan menaruh tas miliknya di sofa ruang tengah.

“Kamu habis dari mana Seungwan? Kenapa nggak ngabarin saya? Kita sudah janji kan untuk saling kirim kabar?” tanya Irene walau sebenarnya ia bisa menebak tempat apa yang baru saja Wendy kunjungi dari bau alkohol dan asap rokok yang masih menempel di tubuh Wendy.

Lagi-lagi Wendy hanya mendiamkan ucapan Irene. Kini ia berjalan ke arah dapur, sebisa mungkin ia tidak ingin menatap Irene. Sementara itu sang CEO justru berjalan mengikuti Wendy.

“Kamu udah makan belum?” tanya Irene yang tahu kebiasaan Wendy yang suka lupa makan malam.

“Gatau lupa.”

“Kamu minum lagi ya? Stop ngebahayain diri kamu Seungwan.” ujar Irene lagi, nada bicaranya mulai mengeras.

“Of course? Can’t you see this?”

Wendy menunjukkan gelas yang ia pegang yang berisikan air mineral. Lagi-lagi hanya ada nada dingin yang keluar dari Wendy.

“Bukan itu maksud saya and you know that Seungwan.”

Irene hanya bisa menghela napas panjang. Ia menyadari dengan jelas bahwa Wendy masih tidak ingin berbicara dengannya, bahkan untuk sekedar menatap dirinya pun Wendy enggan.

“Where do you wanna go? Why do you avoid me?” tanya Irene saat melihat gelagat Wendy yang hendak kabur begitu saja dan masuk ke kamar tidurnya.

“Tidur lah, emang kemana lagi. Gak ada yang ngehindar ya, gak usah terlalu pe-de.”

Irene diam untuk beberapa detik, berusaha untuk meredam emosinya.

“We need to talk, Seungwan.”

“No, we’re done talking. I’m tired.”

“We had a lot to talk about, Seungwan! Stop treating me like this!”

Irene yang pada dasarnya sudah lelah dengan pekerjaannya ditambah dengan sikap Wendy yang seperti ini, kali ini kehilangan kesabarannya.

Sementara itu, alih-alih merespon Irene, Wendy justru bersikap seakan-akan tidak ada masalah apapun.

Sebenarnya Wendy hanya takut pada dirinya sendiri, ia takut apabila mereka berbicara lagi seperti kemarin, ia justru akan mengeluarkan kata-kata yang lebih menyakiti Irene.

Kalau saja saat ini keadaannya lebih tenang, kalau saja Wendy bisa berbicara jujur pada Irene, keadaannya akan jauh lebih baik dari pada ini. Komunikasi keduanya memang sedang ada di ambang paling buruk sejauh mereka mengenal satu sama lain.

“Later Ren, I’m tired.”

“Now I’m Irene to you huh? If you are tired, then saya apa Seungwan? Kamu kira saya juga nggak capek kayak gini terus? Stop being childish for ONCE! JUST ONCE!”

Ucapan Irene justru menyulut emosi Wendy.

“Childish?? Great now I’m childish? Siapa yang dari kemarin suka khawatir gak jelas, jealous gak jelas?! Also I’m not the one who stabbed the person you said you care the most behind her back.”

“Kamu mau berapa kali pakai alasan itu? Lagi pula kalau kamu memang mau bawa pembicaraan ini kesana, kamu juga bohong sama saya, kamu nggak pernah cerita ke saya tentang Chaeyoung. Tapi apa saya mempermasalahkan itu sekarang? Nggak kan?”

Irene diam sejenak.

“Kamu mau apa sih dari saya? What’s the point kamu memperlakukan saya kayak gini?” sambung Irene.

“We’re done talking. I’m tired.” ulang Wendy.

“TIRED? OF WHAT? OF ME? OF THE SITUATION? OF WHAT SEUNGWAN?” Irene kali ini benar-benar berteriak.

Wendy pun terkejut karena ini adalah nada tertinggi yang pernah Irene gunakan padanya. Ia membalikkan badannya menatap Irene dan disana ia melihat tatapan yang tidak pernah ia temukan dalam diri Irene.

Sedih, kecewa, marah.

“TELL ME WHAT SHOULD I DO SEUNGWAN, PLEASE TELL ME.”

“Nggak cuma kamu yang capek, saya juga capek Seungwan! Saya capek diperlakukan seperti ini! Saya capek sama kamu yang kayak gini, selalu kabur. We need to talk Seungwan! Kalau nggak ya kita cuma disini-sini aja. Saya nggak tau apa yang bikin kamu semarah ini sama saya and vice versa. It’s not healthy for us Seungwan!”

“or….do you want me to leave?” ujar Irene lirih.

“Is that what you want?”

“I’m asking you Seungwan. Do you want me to? Are we broken beyond repair?”

Wendy balik menatap Irene tepat di kedua bola matanya.

“It’s okay if you want to leave me, that’s what everyone else does anyway. Maybe this is really our end.” ucap Wendy.

Tangannya mengambil botol wine yang ada di wine cellar kemudian ia berjalan masuk ke kamarnya tanpa menggubris Irene lebih jauh.

Satu kalimat dari Wendy cukup menghancurkan isi hati Irene. Ia tidak mengira akan begini jadinya. Ia masih ingin bersama Wendy, ia masih ingin membantu Wendy dan berjuang bersama dengan sosok yang paling ia kasihi saat ini.

Namun tampaknya Wendy sudah benar-benar merelakan hubungan mereka.

303

(part 2)

Lima puluh menit yang lalu Irene masih berada di kantornya, dalam keadaan hati yang tidak karuan.

Kepalanya serasa ingin pecah saat mengingat penuturan demi penuturan yang diutarakan oleh Nyonya Do. Tentang Seungwan dan masa lalunya yang jauh lebih rumit dari apa yang ia bayangkan. Tentang Seungwan dan Ojé yang sukses membuat dirinya bertanya-tanya dan lagi-lagi merasa kecil.

Lima belas menit yang lalu Irene baru saja mengakhiri sambungan teleponnya dengan Seulgi, sekali lagi ia berhutang budi pada sahabatnya itu.

Irene sangat beruntung karena pada saat ia menelepon Seulgi, sang direktur keuangan sedang mengantri di kafe yang ada di lobby gedung perusahaan mereka. Seulgi baru saja hendak menikmati waktu istirahat makan siangnya. Mendengar suara Irene yang tersengal-sengal membuat Seulgi menjadi paham bahwa saat itu sahabatnya sedang dalam posisi yang genting.

Ia dengan segera berlari ke pintu lobby walaupun pada awalnya ia sendiri tidak tahu apa yang harus ia lakukan setelah sampai di sana. Barulah setelah Irene mengulang kalimatnya lagi, dengan setengah berteriak, Seulgi tahu apa yang harus ia lakukan.

Hari itu entah hari keberuntungan Irene atau justru hari penuh kesialan baginya, Seulgi yang kesulitan menemukan Wendy, di tengah lautan pekerja yang berhamburan keluar kantor untuk menikmati waktu istirahat makan siang mereka, menemukan sosok Wendy setengah berlari ke arah pintu keluar, tentu saja Seulgi langsung mengikuti Wendy.

Kalau saja Seulgi telat beberapa detik, mungkin ia akan tertinggal oleh Wendy yang sudah melompat masuk ke dalam taksi yang bersiaga di pintu masuk gedung perusahaan. Seulgi tanpa berpikir panjang langsung berputar membuka pintu penumpang yang terletak di belakang kursi pengemudi.

Wendy sempat memaksa Seulgi untuk keluar namun Seulgi pun tidak kalah keras kepala hari itu.

“Wen, please semua orang sayang sama lo. Gue cuma mau mastiin lo baik-baik aja, gue akan diem kayak patung kecuali lo minta gue bersuara, dimulai dari sekarang.”

Kira-kira begitu ucapan Seulgi yang sukses membuat Wendy menyerah. Seulgi pun menepati ucapannya, ia benar-benar diam tidak bersuara. Hanya sesekali lewat ekor matanya, Wendy melihat bahwa Seulgi mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan, yang Wendy yakin ditujukan untuk Irene.

Ia sudah tidak peduli. Ada hal lain yang memenuhi pikirannya yang saat ini masih membuat dirinya hancur tak karuan.

Lima menit, waktu tempuh yang dibutuhkan oleh Irene dari basement apartemen hingga sampai di lantai apartemen milik Wendy.

Irene memasukkan password untuk membuka pintu apartment tersebut dan ia cukup terkejut melihat Seulgi yang sedang berjongkok membersihkan apartemen yang hancur berantakan.

“Oh, lo udah sampe?” tanya Seulgi sebagai basa-basi. Ia berdiri dari posisinya dan menaruh trofi penghargaan milik Wendy yang sudah terbelah menjadi dua.

“W-what happened Gi?”

“Sorry Ren, gue udah usaha buat nyegah dia nggak kayak gini but she’s threatening to kick me out dan gue juga udah janji buat diem aja, so yeah…”

Seulgi memberikan kode pada Irene ke arah pintu kamar Wendy.

“She’s there. Tadi abis dia pecahin ini semua, she’s getting inside and locked the door. Gue gatau dia ngapain but I’m sure she’s still breathing.”

“O-okay. I’ll talk to her. Thanks a lot Gi, lo bisa balik kantor aja. Sorry gue ngerepotin lo lagi.”

“Lo nggak mau gue temenin? Ini juga masih harus diberesin loh Ren?” tanya Seulgi. Tangannya menunjuk seisi ruang tengah apartemen yang sudah berantakan tidak karuan.

“Gak usah Gi, I can do it. Also ini masalah gue sama Seungwan, lo udah bantu terlalu banyak. Thanks a lot Gi, I really appreciate it.”

Seulgi mengangguk. Ia menepuk pundak Irene kemudian membelai kepala Irene yang diakhiri dengan mengacak-acak rambut Irene. Seulgi sengaja bertindak demikian untuk menyalurkan afeksinya pada Irene, she wants Irene to know that Irene has her.

“I’m one phone call away okay? Anytime, anywhere. Kalau lo butuh gue, gak usah pake mikir.”

Irene mengangguk lalu berusaha memberikan senyuman pada Seulgi sebagai rasa terima kasihnya.

Setelah ia mengantarkan Seulgi ke pintu masuk apartemen, Irene berbalik dan menyandarkan tubuhnya di pintu. Ia sama sekali tidak mengira akan pulang ke apartemen dalam keadaan apartemen yang berantakan seperti ini.

Ini juga kali pertama Irene melihat sisi destruktif dari Wendy dan ia seperti melihat sisi Wendy yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan ada dalam diri Wendy.

Irene mengusap wajahnya dengan sedikit kasar dan menarik napasnya dalam-dalam. Tangannya perlahan bergerak untuk melepaskan blazer yang ia kenakan. Kemudian Irene berjalan ke arah kamar mandi dan memasukkannya ke dalam keranjang pakaian kotor yang terletak di dekat pintu kamar mandi.

Ia tahu mau dicoba sampai berjam-jam pun Wendy tidak akan mau membuka pintu kamarnya, seperti yang sudah terjadi di beach housenya itu. Akhirnya Irene memutuskan untuk membersihkan ruang tengah. Ia berjalan ke dapur dan mencari kantong plastik besar yang biasa digunakan untuk menampung sampah.

Satu per satu trofi Wendy yang sudah hancur tak berbentuk ia masukkan ke dalam kantong plastik tersebut. Kemudian Irene juga menyisihkan barang-barang lainnya yang sudah pecah ke dalam plastik yang sama.

Kira-kira satu jam Irene membersihkan ruangan tersebut dan hasilnya sudah jauh lebih baik.

Sekitar pukul tiga sore, Irene mendengar kunci pintu kamar Wendy terbuka. Secara refleks Irene menatap ke arah pintu tersebut dan melihat oknum yang sudah ia tunggu-tunggu berjalan sempoyongan.

Dari dalam kamar Wendy, Irene mencium bau alkohol yang kuat dan hal itu ia konfirmasi saat melihat botol-botol alkohol berserakan di lantai. Irene sama sekali tidak tahu bahwa Wendy mabuk-mabukan selama Seulgi ada disana bahkan hingga ia membersihkan seisi apartemen yang Wendy obrak-abrik, ia bahkan tidak menyangka Wendy menyimpan alkohol di kamarnya.

Irene dengan sigap langsung menghampiri Wendy karena ia melihat bahwa tunangannya itu sudah kehilangan keseimbangan dan juga Irene belum yakin bahwa ia telah membersihkan kepingan-kepingan trofi maupun barang pecah belah lainnya. Ia khawatir Wendy akan terluka dengan kondisinya yang seperti sekarang.

“Watch your step Seungwan. Saya belum bersihin semua serpihan-serpihannya.”

“Get off!”

Wendy menepis tangan Irene yang sudah menyentuh pergelangan tangannya untuk membantu dirinya berdiri dengan lebih stabil.

“What do you wanna do Seungwan? Terus kenapa kamu mabuk kayak gini?” tanya Irene. Ia menarik tangannya namun tetap bersiaga kalau-kalau Wendy lagi-lagi kehilangan keseimbangannya.

“I’m not drunk! Also do not touch me!”

Lagi-lagi Wendy menepis tangan Irene dan kali ini ia mendorong bahu Irene untuk menjauh. Akhirnya Irene hanya bisa mengawasi Wendy dari belakang, ia berjalan mengekor di belakang Wendy yang berjalan dengan gontai ke arah dapur.

Sesampainya di dapur, Wendy berjalan menuju wine cellar miliknya namun Irene langsung menghentikan Wendy dengan berdiri tepat di depan pintu wine cellar tersebut.

“Kamu mau ngapain? Nggak cukup udah sampai kayak gini?”

“Minggiiiiiir Ireneeeee.”

Irene menggelengkan kepalanya, ia langsung berpikir “Why do you always have to resort to alcohol, Seungwan?”

Wendy kembali berusaha untuk mendorong Irene agar ia bisa membuka wine cellar miliknya namun kali ini Irene pun tidak kalah keras kepala. Ia tidak akan membiarkan Wendy untuk minum lebih banyak lagi.

“Can you just get theeee fuck off? Stop ikut campuuuur!” tiba-tiba Wendy berteriak. “I thought you wereee different Ireneeee! When I’m sooooo sooo fucking ready to trust you then you just throoow it awaaaay! Puas nggaaak looo?! Udaah ngetawain my fucking pathetic family??!?!”

Irene hanya bisa terkejut dengan ucapan Wendy. Ia sama sekali tidak paham kenapa sekarang ia yang disalahkan dan seolah-olah ia adalah villain yang menyebabkan ini semua. True, ia memang mencari Nyonya Do tanpa sepengetahuan Wendy, tetapi itu semua ia lakukan karena ia hanya ingin Wendy bisa bertemu dengan ibunya lagi.

“Are you joking now? Saya nggak pernah sedetik pun kepikiran untuk melakukan yang kamu tuduhkan ke saya.” ujar Irene dengan nada yang mulai serius.

“Why?! Isn’t it fun for you?!”

“What???”

“Kalo tadi gue nggak denger itu semua, lo bakal tetep diem aja dan ketawa di belakang gue kan?!”

Lagi-lagi Irene hanya bisa terkejut mendengar semua tuduhan yang keluar dari mulut Seungwan. Irene memejamkan matanya dan menarik napasnya dalam-dalam. Ia sangat amat kecewa dengan semua ucapan yang diutarakan Wendy.

“Gak usah diem aja Irene! Say something! Nggak usah sok sabar di depan gue!!” teriak Wendy kini tangannya menonjok bahu Irene seolah-olah ingin memprovokasi sosok yang ada di depannya.

“You know that I will never do that Seungwan. Saya pun sama terkejutnya sama kamu tadi.” ujar Irene yang mengasumsikan Wendy memang mendengar hampir seluruh isi percakapannya dengan Nyonya Do. Nada bicaranya yang lebih rendah dari biasanya, penuh penekanan seakan-akan ia menahan amarahnya.

“Then kenapa lo do something that I don’t know BEHIND MY BACK?! Atau jangan-jangan selama ini lo emang cuma pura-pura baik sama gue so when I’m ready to trust you, you will just leave and throw me away like I'm a trash?!?!?!”

Irene sudah tidak habis pikir. Wendy benar-benar memutar balikkan ini semua padanya. Ia sama sekali tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari mulut Wendy.

“Seungwan, you can be mad at me but don’t you think you just went too far? You know I’m not like that, why you do this? Kamu cuma nyakitin saya dengan ucapan kamu.”

“Because I want to hurt you Irene. I hate you!”

“Tell me Seungwan, what do I do that I deserve all your hate words? I told you I love you. I admit it’s my fault to look for your mom without you knowing but I swear! I swear saya cuma pengen kamu bisa ketemu lagi sama mama kamu! You said you miss her!”

“Bullshit!” sergah Wendy

Irene mengepalkan tangannya dengan kencang. Ia sudah benar-benar kehabisan kesabaran.

“I’M NOT! WHAT DO YOU WANT TO HEAR FROM ME SON SEUNGWAN?! I CARE FOR YOU FOR GOD SAKE! DO YOU THINK YOU ARE THE ONLY ONE HURTING? I DO TOO! ESPECIALLY WHEN I SEE YOU HURTING!”

“Do you think I’m gonna believe it?! Gak ada orang yang do something like you did without asking for a return! Do you think I’m stupid?!”

“You don’t know how it feels to be born in a fucked up family! You don't know how it feels to know your own father two timing your mother! You don't know how it feels to see your own father do the deed with another woman! You don’t know how it feels tiap hari lo harus liat orang tua lo berantem dan bahkan isi rumah lo akan terus berubah setiap seminggu sekali karena nggak ada barang yang bertahan lama sebelum harus hancur berantakan! You don’t know it Ren!!” teriak Wendy.

“And now as if the universe is joking, my whole life is a lie?!?! The woman whom I thought is my mother is not my biological mother and the woman I despise the most is my mother?? You don't know how it feels Irene!!”

“You also don’t know how scary it was for me! You don’t know how my head feels like exploding setiap malam karena itu semua menghantui gue! Lo nggak tau betapa muaknya gue minum semua obat-obatan to just surpress my stress and just to let me have my sleep at night! You don’t know how it feels when you have to go through thousands of medications going back and forth to the hospital! You don’t know how it feels!” lanjut Wendy.

“Oh right, you weren’t there. You weren’t there when I had to be admitted to the hospital. You weren’t there when I almost ended my life right? You have to thank Chaeyoung, if she wasn’t there, you would never meet me again. You have to thank Chaeyoung, she’s the one who pushed me to let you into my life and now when I thought I could trust you, you betrayed me!!”ujar Wendy setengah tertawa.

“So all this time you think of me that low?? Kamu mikir saya just do this all for fun? After all the things we’ve been through? After all of that Seungwan? You never tell me just a simple story about yourself! Selalu saya yang harus approach kamu duluan dan saya pikir, It’s okay one step at a time. Kalau kamu masih bisa mikir dengan jernih, tolong, tolong sebut satu kali aja kapan saya do something to hurt you Seungwan. Tell me when, kapan saya pernah do something just out of pity to you or do something and ask for a return from you?” tanya Irene.

Airmatanya mulai menetes, out of her anger, out of her desperate attempt.

“Do you think it’s all rainbow for me? No Seungwan! I feel like I’m in hell too. You never tell me anything! Saya harus meraba-raba itu semua, saya juga mau gila kalo kamu mau tau. Saya selalu mikir, what if I was there for you, can I help you? What if I can be there for you at your worst but then again you never let me in. I was wondering if I’m not enough? And I keep blaming myself too! I know how bad I am with communication. So please stop Seungwan, stop hurting us further.”

Irene mengusap air matanya dengan punggung tangan. Ia pun lelah.

Sementara itu, Wendy sempat terkejut melihat Irene yang menitikan air mata di depannya. Terakhir kali ia melihat Irene menangis adalah saat ia bercerita tentang Nana. Tangisan Irene seperti membangunkan Wendy dari amukannya.

Wendy kehilangan kata-katanya. Ia tahu semua yang ia ucapkan, semua yang ia salahkan pada Irene hanya ia lakukan out of her anger. Ia tidak tahu ia harus marah pada siapa dan saat itu yang ada dihadapannya hanyalah Irene. Satu-satunya objek yang bisa ia lampiaskan kemarahannya hanyalah Irene.

Wendy pun tahu, apa yang Irene ucapkan padanya adalah kebenaran.

“See? Now even I’m hurting you Hyun…..” batin Wendy.

Ia dengan segera berbalik badan dan berjalan meninggalkan Irene. Ia tidak sanggup harus melihat Irene seperti ini.

“Am I not enough Seungwan?” tanya Irene tiba-tiba, menghentikan langkah Wendy. “Do you want me to leave? Because if my presence is just hurting you, then I will.”

“Even though it’s hurting me, I will Seungwan. That’s how much I love you. I hope you know that and can feel it.”

“I don’t want to see you now.” ucap Wendy sembari berjalan kembali ke arah kamarnya.

303.

(part 1)

Irene menguap cukup lama saat ia membaca dokumen demi dokumen melalui layar komputer miliknya. Matanya mulai lelah. Sejujurnya ia pun semalam tidak sempat tidur karena ia ikut begadang bersama dengan Wendy, hanya saja bedanya Irene begadang di ruang tengah apartemen untuk menyelesaikan beberapa pending job laporan kantor sedangkan Wendy menyelesaikan sample lagu yang ia unggah ke media sosialnya.

Irene memang sengaja mengerjakan itu semua di ruang tengah dengan harapan akan bertemu Wendy saat sang pemilik apartemen keluar dari studio musiknya, entah untuk minum atau ke kamar mandi. Namun rupanya hingga ia tertidur untuk beberapa jam bahkan hingga ia berangkat kantor, ia sama sekali tidak melihat sosok Wendy.

Sebenarnya Irene sempat berpikiran untuk mengintip sedikit ke dalam kamar Wendy, hanya untuk mengetahui keadaan Wendy serta melihat wajahnya. Namun ia mengurungkan niatnya dan masih menepati janjinya untuk tidak menyentuh kamar Wendy dan studio musiknya.

Alhasil, Irene sama sekali tidak bertemu Wendy sejak kepulangan mereka dari rumah keluarganya.

Irene hendak menguap kembali tetapi ketukan di pintu ruangannya membuat Irene terpaksa untuk mengurungkan niatnya.

“Ya?”

Mata Irene menatap lurus ke arah pintu masuk dan menemukan sosok Minjeong yang ragu-ragu untuk masuk ke ruang kerja tersebut.

“Uh...I-itu…”

“Minjeong, saya tadi udah siap-siap mau menguap tapi kamu ketuk pintu saya. Ini saya ngantuk banget, kamu tau sendiri kalau saya ngantuk suka jadi nggak sabar, ada apa?” tanya Irene pada Minjeong.

“A-ada tamu... Tapi aku nggak inget pernah setting meeting hari ini bahkan aku nggak pernah liat ada nama mereka minta ketemu.” ujar Minjeong terbata, bibirnya mengerucut kesal.

Irene memejamkan matanya, Minjeong merupakan adik tingkat cukup jauh di kampusnya sekaligus sekretaris magang yang baru bekerja dengannya selama beberapa bulan. Irene tahu betul kalau Minjeong merupakan orang yang sangat terorganisir dan rapi jadi Irene yakin kalau Minjeong tidak berbohong atas ucapannya itu.

Gadis yang baru saja lulus kuliah itu berdiri dengan resah di depan Irene, tangannya meremas ujung blazer yang ia kenakan.

“Johnny kemana?” ujar Irene menanyakan keberadaan private assistantnya sekaligus atasan Minjeong.

“Itu, kak Johnny tadi kan disuruh ikut sama kak Jennie?”

Irene menghela napasnya, ia lupa kalau dirinya sendiri yang menugaskan Jennie dan Johnny untuk menghadiri panggilan kejaksaan.

“Minjeong, kayaknya Johnny lupa ngajarin kamu ya. Nggak apa-apa, tapi ini dijadiin pelajaran ya. Lain kali kalau ada tamu yang maksa ketemu saya tapi belum bikin janji, bilang aja saya nggak ada di kantor, okay?”

Minjeong mengangguk cepat. “O-okay, maaf ya kak?”

Irene tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. “Kamu keceplosan lagi manggil saya, Jennie, dan Johnny pakai kak. Ini kantor ya Minjeong.”

“Astaga! Iya maaf! Aduh aku tuh kebiasaan gara-gara di kampus!” ujar Minjeong menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Namun ia kembali menyadari bahwa dirinya lagi-lagi berbicara informal dengan Irene, ia buru-buru menutup mulutnya dengan kedua tangan.

Irene tertawa, ia menggelengkan kepalanya. “Yaudah tamunya sekarang dimana?”

“Ada di ruang tunggu. Aku, eh saya minta pulang saja atau gimana ya ka-... eh Nona Bae?”

“Suruh masuk aja, siapa ya tamunya?”

“Tadi beliau bilang namanya Do Jin Ae dari News Today.”

Irene tidak menyangka akan mendengar nama tersebut keluar dari mulut Minjeong. Sorot matanya berubah drastis, ia kini menatap Minjeong dengan serius yang membuat Minjeong terkejut. Ia tadi tidak salah dengar bukan?

“Tadi siapa namanya?”

“Do Jin Ae.”

“Kamu yakin?”

Minjeong mengangguk cepat. “Aku gak salah denger kok! Ingatanku juga kuat, aku yakin!”

“Minta beliau masuk ruangan saya sekarang. Jangan ada yang boleh masuk ruangan saya sampai saya izinin, jelas?”

Minjeong kembali mengangguk, “O-okay.”


Setelah Nyonya Do memasuki ruang kerja pribadi Irene, keduanya belum bertukar pembicaraan selain basa-basi saat Irene menanyakan preferensi Nyonya Do terhadap makanan atau minuman yang akan disajikan.

Bola mata Irene hanya bisa mengikuti gerak-gerik Ibu dari Wendy yang sedari tadi mengamati seisi ruang kerja Irene. Ia kemudian berdiri memandang ke arah jendela kaca yang menghadap ke arah jalan raya. Dari ruangan tersebut, orang-orang yang berlalu lalang di jalan raya terlihat seperti semut bahkan mobil yang berlalu lalang pun hanya terlihat seperti balok lego.

“Joohyun? Atau saya panggil Irene?” ujar Nyonya Do memecah keheningan.

“Keluarga saya selalu panggil saya Joohyun, tapi untuk urusan bisnis saya dipanggil Irene. Tergantung saat ini anda kesini sebagai Ibu dari Seungwan atau calon rekan bisnis saya.”

Nyonya Do tersenyum mendengar jawaban Irene. Ia berhenti memandangi pemandangan Ibu kota dan beranjak ke deretan sofa yang terletak tepat di depan meja kerja Irene.

Ia kemudian duduk di sofa yang terletak di sisi kanan dari tempat Irene duduk.

“Saya tau kamu menyuruh orang untuk mencari saya. Pertanyaannya untuk apa?” tanya Nyonya Do.

“Seungwan.” jawab Irene singkat.

Irene menangkap adanya perubahan ekspresi saat ia menyebutkan nama Seungwan, namun Nyonya Do dengan cepat mengembalikan ekspresinya seperti semula.

“Why?”

“Alasan yang sama seperti alasan kenapa selama ini Anda selalu ada untuk Seungwan tanpa sepengetahuan Seungwan.”

Nyonya Do tersenyum ke arah Irene saat ia mendengar jawaban Irene barusan.

“Fair enough. Lalu sekarang saat kamu sudah bisa ketemu saya, kamu mau apa, Joohyun?”

Irene melunak saat ia mendengar Nyonya Do memanggilnya dengan sebutan Joohyun.

“Saya punya banyak sekali pertanyaan tapi yang paling ingin saya sampaikan untuk saat ini, saya ingin meminta anda untuk kembali bersama dengan Seungwan. Saya tidak paham kenapa anda harus bersembunyi-sembunyi seperti ini hanya untuk memperhatikan anak anda sendiri?”

“Nggak semudah itu Joohyun. Keluarga saya terlalu complicated.”

“Kalau begitu, setidaknya buat Seungwan paham. Anda tau keadaan Seungwan kan? Ia yang harus menanggung akibat dari apa yang anda dan Tuan Son lakukan di masa lalu.”

“Joohyun, apa kamu yakin kalau Seungwan tahu semuanya justru ia akan jauh lebih baik?”

“Maksud anda?”

Nyonya Do tersenyum getir. Ia membuka tas yang sedari tadi ia bawa dan menyerahkan sebuah map kepada Irene.

Di dalam map itu Irene temukan beberapa surat-surat penting.

Akta kelahiran Seungwan, 21 Februari 1994.

Akta pernikahan Nyonya Do dengan Tuan Son, 1 Agustus 1993.

Medical Record Nyonya Do, uterine cancer, histerektomi. 25 Desember 1993.

Yang terakhir adalah foto-foto Tuan Son saat muda dengan seseorang perempuan yang dapat Irene kenali dengan baik.

“I-Ini….”

“Saya dan mantan suami saya juga berawal dari perjodohan seperti kamu dan Seungwan. Sejak awal saya tahu kalau mantan suami saya sudah memiliki pasangan jauh sebelum bertunangan dengan saya, tentu saja hal ini membuat saya berniat untuk menolak perjodohan kami. Namun ia waktu itu mengatakan bahwa ia ingin melanjutkan perjodohan kami dan telah memutuskan hubungannya yang terdahulu. Saya percaya dengan ucapannya. Kemudian kami melanjutkan pertunangan kami ke jenjang yang lebih serius, pernikahan. Baru beberapa bulan kami menikah, saya divonis mengidap kanker rahim dan akhirnya rahim saya harus diangkat.”

“T-tapi ini?” Irene mengerjapkan matanya.

Otak Joohyun dengan cepat melakukan kalkulasi-kalkulasi sedangkan matanya berulang kali mengecek surat-surat yang ada di tangannya.

“Seungwan bukan anak saya, Joohyun. Darah saya sama sekali tidak ada yang mengalir di Seungwan. Saya ingat betul, waktu itu di bulan februari tahun itu masih bersalju. Ditengah hujan salju itu mantan suami saya pulang dengan membawa seorang anak bayi, Seungwan. Ia berlutut di hadapan saya, mengakui bahwa ia telah menghamili orang lain dan memohon pada saya untuk menerima Seungwan. Ia mengaku bahwa ia sama sekali tidak tahu bahwa saat kami menikah, ada seorang perempuan yang tengah mengandung anaknya. Saya sangat kalut saat itu, tapi saat saya melihat mata Seungwan, hati saya luluh. Akhirnya saya memilih untuk menerima Seungwan. Kemudian kami sekeluarga pindah ke Kanada untuk sementara waktu, agar orang-orang tidak ada yang curiga dengan kehadiran Seungwan di keluarga kami secara tiba-tiba.”

“O-orang itu? Mrs. Kathrine? Ibu kandung Seungwan Mrs. Kathrine?” tanya Irene tidak percaya.

Nyonya Do mengangguk.

“7 tahun saya menikah dengan mantan suami saya dan selama 7 tahun itu pula saya diselingkuhi. Ada alasan kenapa Seungwan sangat menyukai musik, dulu setiap kami bertengkar Seungwan selalu mengurung dirinya di kamar dan memainkan lagu-lagu kesukaan saya.” Nyonya Do menatap jauh seakan ia sedang menyesali perbuatannya dulu.

“Saya yang mengajarkan Seungwan beberapa alat musik. Ingin rasanya saya pamer pada dunia bahwa Wendy Son yang selalu di elu-elukan adalah anak saya, saya yang mengenalkannya pada musik. Tapi saya tau, saya sudah hilang dari kehidupannya sejak lama dan saya menyesali hal itu. Kalau saja dulu saya berjuang lebih keras untuk Seungwan, mungkin saat ini tidak begini jadinya. Maybe she’s her father’s daughter but she is mine too.” Nyonya Do menyeka air mata yang turun membasahi pipinya.

Irene berpindah tempat duduk ke sebelah Nyonya Do dan menawarkan tisu bagi Ibu dari Wendy tersebut.

“Tapi selama ini Seungwan justru berpikir bahwa anda yang tidak mau menemuinya. Bahkan alasan kenapa ia memilih untuk menjadi penyanyi seperti sekarang ini karena Seungwan ingin anda bisa lihat dirinya di televisi atau media lainnya. She just wants you to know that she’s still alive and well.” ujar Irene.

“Saya selalu ingin bertemu Seungwan, tetapi ada batasan batasan yang harus saya ikuti. Dulu saya sempat mengajukan hak asuh untuk Seungwan tapi pengadilan mengalahkan saya.”

Irene hanya bisa terkejut dengan penuturan Nyonya Do. Kepalanya serasa ingin pecah. Bagaimana mungkin ia harus menyampaikan ini semua pada Seungwan? Bahkan Seungwan pun tidak tahu kalau selama ini tanpa sepengetahuannya Irene sudah melakukan investigasi-investigasi untuk mencari sosok ibunya itu.

Kini Irene paham mengapa nyonya Do selama ini selalu melindungi Seungwan dari jauh, karena hanya itu yang bisa ia lakukan untuk Seungwan.

“Tidak pernah satu waktu pun saya tidak memperhatikan Seungwan. Bahkan saat ia pindah ke Kanada pun, saya tetap mengikuti perkembangannya. Bahkan saat Seungwan harus bolak-balik masuk rumah sakit, saya juga ada disana.” ujar Nyonya Do.

“Saya tau segalanya tentang Seungwan, Joohyun. Saya tahu tentang hubungan kalian, saat kalian berdua pergi dari acara anniversary kantor kamu saya juga ada disana. Bahkan orang-orang saya yang waktu itu mengawasi kalian di beach house kamu. Saya hanya takut Seungwan kenapa-kenapa seperti dulu lagi. Saya juga tau hubungan Seungwan dengan adik sepupu kamu.”

“A-adik se-sepupu?”

“Dokter Park? Dokter Park Chaeyoung, dia adik sepupu kamu kan?”

Irene mengangguk, namun entah mengapa hatinya merasa tidak enak.

“Lagi-lagi saya harus berhutang budi sama keluarga kamu. Dulu belasan tahun Seungwan bertumpu pada Dokter Park, sejak mereka kecil mereka sudah berteman lalu mereka juga sempat menjalin hubungan seperti kamu dan Seungwan walaupun-....”

Pendengaran Irene seakan-akan menghilang begitu saja.

Tiba-tiba potongan demi potongan percakapannya dengan Seungwan selama ini memenuhi kepalanya.

Seungwan yang bercerita tentang cinta pertamanya.

Seungwan yang bercerita bahwa ia memiliki seseorang yang sangat spesial baginya.

Seungwan yang secara tidak langsung mengakui bahwa selama ini Joohyun masih berada di peringkat kedua dan ada sosok lain yang sudah menempati posisi pertama di hati Seungwan.

Lock-screen handphone Seungwan.

“Itu semua…...Ojé?” batin Irene.

Lamunan Irene buyar saat ia mendengar suara Jennie diikuti dengan suara barang terjatuh tepat di depan pintu ruang kerjanya.

“Wendy!! Lo ngapain sih nunggu di depan pintu gini? Masuk langsung aja kali?”

Kepala Irene menoleh dengan cepat dan menyadari bahwa sedari tadi pintu ruang kerjanya itu terbuka sedikit. Kemungkinan besar Wendy sudah berdiri di balik pintu ruang kerjanya dan mendengarkan percakapannya dengan Nyonya Do untuk waktu yang cukup lama.

“Loh? Wen? Kok lo lari? Woy ini rantang lo jatoh??”

Insting Irene menyuruhnya untuk segera berdiri dan mengejar Wendy yang sudah meninggalkan lantai itu dengan lift.

Irene dengan sigap mengambil ponselnya yang saat itu untung saja berada di saku blazernya. Ia menekan nomor Seulgi yang hanya dengan hitungan detik sudah diangkat oleh sang pemilik.

“Yes Ren?”

“Gi, turun ke lobby sekarang. Cegat Seungwan buat gue, please. Nyonya Do ada disini dan tadi Seungwan denger percakapan gue sama Nyonya Do.”

“W-what?”

“Kang Seulgi! Sekarang turun ke lobby, cegat Seungwan!”

294.

Siang itu menjadi siang yang cukup unik bagi Irene. Sudah cukup lama ia tidak menghabiskan waktunya untuk ‘bermain’ dengan sepupunya yang satu ini. Terakhir kali Irene bertemu Ojé secara frekuen adalah saat Ojé memilih untuk menetap di kanada secara permanen ketika ia memasuki bangku SMA.

Dulu keluarga mereka sering melakukan outing atau hanya sekedar makan bersama, tidak hanya sepupu-sepupu yang perempuan saja bahkan yang laki-laki juga ikut berkumpul.

Hal ini juga didukung dengan kondisi bahwa mereka sekolah di satu tempat yang sama mulai dari SD hingga SMA. Hubungan mereka mulai mengendur saat satu per satu beranjak memasuki dunia dewasa awal, well mulai sejak Taeyeon terjun ke dunia entertainment dan Irene, Jennie, Chanyeol, serta Kibum memilih jalan mereka masing-masing di bangku kuliah.

Suara dentingan garpu dan pisau yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya pemecah keheningan di ruangan persegi tempat dimana Irene dan Ojé menghabiskan waktu makan siang mereka.

Awalnya Ojé kira saat Irene bilang mereka akan makan buffet, hanya buffet biasa, paling maksimal di hotel. Tapi ia lupa kalau kakak sepupunya yang satu ini memang suka berlebihan kalau sudah berhubungan dengan ‘menyenangkan’ hati orang-orang terdekatnya.

Tadi Ojé harus terkejut ketika ia dan Irene berjalan ke area restoran hotel kemudian berbelok ke lorong yang lebih sunyi. Yang sesungguhnya terjadi adalah Irene menyewa satu VIP room di salah satu hotel terbaik di kota ini sekaligus hotel tempat dimana chef part time keluarga Bae juga bekerja.

Ojé pun tahu kalau Irene sengaja melakukan hal ini karena dirinya yang alergi terhadap beberapa jenis makanan khususnya makanan laut. Semua makanan yang masuk ke ruang VIP itu adalah makanan-makanan yang bisa Ojé santap tanpa harus khawatir akan alerginya.

Yep, bukan buffet. Akhirnya yang terjadi adalah private lunch in a hotel.

Tentu saja Ojé sempat mengomel kepada Irene ketika ia tahu bahwa makan siangnya itu lebih dari sekedar makan siang, maklum sejak ia memilih untuk tinggal bersama neneknya di Kanada, Ojé sebisa mungkin menanggalkan semua kekayaan keluarganya itu.

Someone told her this at one summer in her teenage years “Kindness what makes you more attractive” dan kalimat ini terngiang di kepala Ojé hingga saat ini.

Sedangkan Irene yang kena omelan Ojé hanya bisa tertawa.

“Nggak papa Jé, udah lama gue nggak traktir lo makan atau pergi bareng sama lo. Itung-itung ini buat ngelunasin setiap tahun kita nggak ketemu.” Begitu ujar Irene.

Menurut Irene ini hal yang wajar, semua kakak akan melakukan hal yang sama untuk adik-adiknya. Sejak dulu pun Ojé dan Yerim selalu punya soft spot mereka di hati Irene, terutama Yerim walaupun menurut orang-orang hubungannya dengan Yerim itu sudah seperti tom and jerry.

Ojé mencuri pandang ke arah Irene yang duduk tepat di depannya. “Kak, gesture tubuh lo udah beda banget dari yang dulu terakhir gue inget.”

“Hmm?” tanya Irene, alis matanya ikut naik. Tangan kirinya meletakkan garpu dengan pelan kemudian meraih gelas kaca berisi air mineral dan meneguknya perlahan.

“Iya, gue tau dari dulu diantara kita semua yang mannerismnya paling anggun paling bagus tuh emang lo, tapi sekarang beda gitu. Everything you did is precisely calculated and accurate. Sadar nggak?”

“Nggak. Udah kebiasaan kayaknya, jé.”

“Ucapan bokap nyokapnya kak Tae bener ya berarti. Inget nggak lo?”

“Yang mana?”

“Itu lo dulu kan selalu dipanggil princess. Gimana ya kalo orang-orang tau lo dulu punya nickname itu? Bayangin the Irene Bae yang terkenal expressionless terus nicknamenya princess.” tawa Ojé

“Don’t remind me of that nickname.”

“Yes princess.”

“Sialan lo!”

Jawaban Ojé membuat mereka tertawa.

“Kayaknya sebelum lo balik, gue mau ngadain kumpul keluarga deh. Mumpung lagi full team. Kangen nggak sih lo?”

“Kangen sih kak tapi lo gak apa-apa sama kakak gue?” tanya Ojé dengan santai.

Yes, Ojé dan Yerim adalah tipe orang yang selalu true to themselves. Kalau orang-orang biasanya bilang mereka nggak punya filter, tapi menurut Irene justru this is their charm, also why she loves them more.

“Emang gue kenapa sama kakak lo?”

“Yang sama kak Na?”

“Gue nggak pernah marah sama dia karena dia yang sama Nana, I’m happy for them, well was. Gue marah for what he did after Nana left, he changed to the worst version of him, jé. Which I know, Nana will be mad too if she still here. Kenapa semua orang ngira gue marah karena dia sama Nana sih?”

Ojé mengangkat bahunya, “Everyone thought so sih kak, even our parents. My personal opinion it’s because of your gesture. Makanya kurang-kurangin tuh kayak robot, ngomong kek.”

Kini giliran Irene yang mengangkat bahunya, “You know how bad I am with words.”

“Iya, pas lo jadi Joohyun. Tapi kalo lo jadi Irene, lancar jaya aja tuh. Gue liat ya your speech for your 30 under 30 segment. Kenapa sih? I never knew you have this insecurity.”

Irene hanya tersenyum, ia kemudian melanjutkan memotong daging yang ada di depannya kecil-kecil. Ojé tahu ini tandanya Irene tidak ingin melanjutkan percakapan mereka.

Keduanya kembali fokus pada santapan mereka masing-masing. Namun Ojé masih belum puas karena ia belum sempat berbicara dengan Irene tentang dirinya dan Wendy. Ia mengangkat tangan kirinya setara dengan dadanya untuk memeriksa pukul berapa saat ini.

13:39.

Tidak banyak waktu yang tersisa baginya.

“Kak-...”

“Jé-...”

Baik Irene maupun Ojé sama-sama berhenti berbicara.

“Lo dulu aja Jé.”

“Iya, emang harus gue dulu kalo pun nggak lo tawarin.”

Irene terkekeh, “Sure, go ahead.”

“Gue mau pake kartu truf gue dulu boleh nggak, kartu gue sebagai adik lo? Jadi lo nggak boleh marah ke gue?”

Ucapan Ojé sukses mengambil-alih seluruh perhatian Irene. Ia ingat betul bahwa Yerim dan Ojé selalu menggunakan this kind of chance setiap kali mereka berbuat kesalahan dan mereka tidak mau ‘kakak-kakak’ mereka untuk memarahi mereka.

Of course, two of the youngest of the family, most of the time, get what they want.

One of their old habits.

“Jé lo sekarang udah gede, Yerim juga, kenapa sih kalian berdua masih sering make kesempatan kayak beginian?”

“Ya abis lo pada sadar nggak sih, kalo lagi marah tuh serem-serem. Lo sama Kak Tae terutama.”

“Well, let me hear how big your mistake is, then I will decide later gue bakal marah atau nggak ke lo.” ujar Irene yang menyilangkan kedua tangannya di depan dada, ia sudah menaruh alat makannya dengan rapi.

Ojé menarik napasnya dalam-dalam. “Gue bohong ke lo kak, gue udah kenal Seungwan jauh sebelum lo kenalin dia ke gue kemaren.”

Irene mengerjapkan matanya. “M-maksud lo? This is not like what I thought it is kan, Jé?

Ojé yang sudah memperhatikan gerak-gerik Irene sejak awal lunch mereka langsung menangkap adanya sinyal-sinyal kekhawatiran yang mendalam. The person in front of her is Joohyun, her cousin Joohyun who has a soft and vulnerable side too. Who has her insecurity too and turned out her relationship with Seungwan is one of her insecurity.

Mungkin hari ini bukan hari yang tepat. Salahnya juga kenapa ia tidak mengukur dulu seberapa dalam dan kuat hubungan Joohyun dan Seungwan.

Ojé menggeleng dan memberikan senyumannya. “Nggak kak, you know that I'm a psychiatrist right? Seungwan is one of my patients. Ada alasan kenapa dia menetap disana dan sejak dia jadi solois dia bolak balik sini-kanada.”

Tanpa sadar Irene mengeluarkan napas yang tadi sempat ia tahan.

“T-that's okay. New info for me.”

“Honestly, gue kenal dia pertama kali pas gue masih kuliah. Lo tau kan dulu gue suka ngeluh kalo gue dapet tugas harus praktik ke rumah sakit? Gue pertama kali tau Seungwan sakit ya pas gue harus praktik kak. Awalnya gue dapet rumah sakit random, terus beberapa kali dapet RS itu terus. Lama-lama gue selalu minta buat disana, ya soalnya deket juga sih dari apart gue. Terus gue sadar kalo Seungwan itu selalu kesana, so we are friends first before she becomes my patient.”

Irene mengerjapkan matanya. Hanya ada satu yang terlintas di kepalanya saat ini.

Apakah dunia se-sempit itu? Atau semesta yang sedang bercanda?

“Lo….nggak tau Seungwan has a special condition?” tanya Ojé perlahan ketika melihat Irene terdiam.

“Gue tau, tapi gue cuma tau dia punya philophobia dan apa yang terjadi sama Seungwan pas dia masih kecil. That’s it Jé.”

Ojé mengangguk, giliran ia yang mencerna informasi yang baru saja ia dengar.

“Kak gue boleh nanya nggak? Jawaban lo bakal mempengaruhi apakah percakapan kita bakal lanjut atau berhenti disini.”

“Lo mau nanya gue serius sama dia atau nggak?”

“Iya, itu yang mau gue tanya.”

“Jé lo tau gue dari dulu kan? Lo juga pasti tau that this is my first ever relationship. I’m hoping this will be my only one, my first and last.”

“Kak cringe banget asli! Lo kayak gini nggak kena goda sama Yerim?” goda Ojé berusaha memecah situasi yang terlampau serius baginya.

“Tiap hari sampe kenyang gue Jé.”

“Okay, so berdasarkan jawaban lo, gue rasa lo butuh tau lebih jauh lagi kak. But please bear in mind jangan sampe Seungwan tau ya kalo gue yang ngasih tau. Also gue udah melanggar selusin kode etik yang bisa bikin license gue dicabut.”

“Promise.”

“Yang Seungwan idap nggak cuma philophobia kak, she has PTSD too. There was a time when it’s really getting worse. I need to put her on meds, lots of it. Pernah suatu waktu bahkan dia harus dirawat di rumah sakit karena it drained her a lot. In her worst day, dia bahkan gak bisa tidur karena setiap kali tidur dia bakal mimpi buruk. Gue harus put her on meds again. Kadang bahkan pas dia udah bisa tidur, dia bisa tiba-tiba mimpi buruk then gets trouble breathing, ini yang bahaya.”

Ojé memberi jeda sejenak untuk mempelajari ekspresi Irene. Ia tahu informasi seperti ini akan selalu mengejutkan keluarga dari pasien but when you have to say it to your own family and it’s about someone that you know too, surely it hits Ojé differently.

“H-hah? Lo serius Jé?”

Ojé mengangguk. “She’s a lot better now. Jauh banget kak. Dulu dia sampe punya medbox yang ada timernya. Sekarang dia cuma butuh obat kalo emang lagi ke trigger parah aja kak, but then the sign was back beberapa minggu yang lalu. Dia cerita ke gue, well lebih tepatnya konsul, pas kejadian di acara anniv kantor lo itu.”

“S-she…..never….tell me all of these Jé….” ujar Irene lirih.

“Wajar kak, she’s afraid. Nggak cuma lo kok, buat dia ini semua juga baru. Dia selalu dihantui sama rasa takut dia sendiri kak, bahkan gak jarang rasa takut itu bisa nguasain dirinya dia sendiri. She is like standing on two different poles. Yang satu dia tau dia butuh afeksi, dia tau dia juga pengen menjalin sesuatu yang serius sama seseorang. Tapi disisi lain trauma dari rasa sakit dia di masa lalu bikin Seungwan selalu nahan kak, dia juga nggak jarang mikir buat mundur. Dia takut apa yang terjadi dulu keulang lagi di dia.”

“Terus gue sekarang harus apa Ojé?”

“Lo mau nanya gue sebagai her psychiatrist or gue sebagai adik lo kak?”

“Her psychiatrist.” jawab Irene singkat dan cepat.

Seperti yang Ojé duga, sudah pasti Irene akan memilih jawaban ini. That’s just how selfless she is.

“Showers her with love kak. Jangan cuma tindakan aja atau omongan aja but both. She needs to know it from you directly. Jadi lo juga harus lebih sabar dan lebih bisa baca situasi kak. Lo harus tau kapan lo ngasih ruang ke dia dan kapan lo harus ada buat dia. Lukanya Seungwan masih ada dan akan terus ada di alam bawah sadar dia kak.”

“I know, ini gak bakal semudah apa yang gue saranin. Menjalin hubungan sama orang yang nggak punya trauma aja melelahkan, apalagi sama yang punya trauma sedalam Seungwan. Tapi kalo lo emang serius sama dia, ya lo harus siap sama ini kak. Bahkan mungkin seumur hidup lo.” sambung Ojé.

Irene mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia cukup shock dengan ucapan-ucapan Ojé barusan.

“Jé demi Tuhan gue cuma tau Seungwan has philophobia and the reason is because she witnessing her father’s infidelity. Gue nggak tau dia segininya, gue nggak tau dia pernah ngalamin yang seberat apa yang lo ceritain.”

“Kak, please jangan dianggep ini karena Seungwan yang gak percaya sama lo kak. For some people, mental problems are a weakness.”

“So what? I never see her like that. Apa bedanya sama orang sakit lemah jantung atau kanker? It just the other one is physical and hers is mental.”

“I know kak, I know. Gue gak bilang lo kayak gitu, gue tau lo nggak gitu. Tapi bagi Seungwan mungkin beda atau bagi orang lain mungkin beda, pernah nggak lo mikir kalau Seungwan cuma nggak pengen pasangannya ikutan menderita karena dia?”

Irene mengusap wajahnya sekali lagi. “No, never. Thanks Jé, a lot. Kalo lo nggak kasih tau gue, maybe gue gak akan pernah tau atau mungkin gue tau tapi telat. Or whatever.”

“I love you both kak. Gue juga peduli sama lo berdua dan gue tau gimana lo berdua, that’s why I thought gue harus one step ahead of Seungwan. Oh iya, gue juga lupa bilang. Kalo Seungwan impulsif, gampang berubah emosinya, it's probably one of the side effect habis dia minum obatnya. Especially at times like this, when she has a packed schedule.”

Irene mengangguk. Ia menambahkan catatan baru dalam kepalanya itu.

“Jé, Taeyeon tau?”

“Kak Tae sama Kak Kibs tau, well di manajemen yang tau cuma mereka berdua, plus her manager. Makanya gue kesel banget sama kak Tae pas dia sok-sokan ngerahasiain ke gue who is your fianceé but then gue inget kak Tae kan orangnya nggak suka ikut campur masalah orang lain. She absolutely did what she did out of her respect to you and Seungwan.”

“It’s okay, I understand. Lo juga kemaren play along sama Seungwan out of your respect to mine and Seungwan’s relationship kan?”

Ojé hanya bisa tersenyum.

“Jé sekarang boleh gue yang minta tolong ke lo?” tanya Irene.

Ojé bisa melihat dengan jelas bahwa sorot mata Irene berubah. Sosok yang di depannya ini sudah bukan Joohyun but Irene. The Irene who knows what she wants, the Irene who has all her pion to execute her plan.

Masalahnya, Ojé sama sekali tidak tahu apa yang Irene rencanakan.

“Apa kak? Kalo gue bisa, pasti gue bantu.”

“I need to meet someone, so I need your help. Not really your help sih, more like your parent’s.”

“O...kay??”

“Do Jin Ae, she's a tycoon in media company. I want to meet her to talk about one of her business, tapi masalahnya sekarang dia lagi tertarik buat merambah ke healthcare business.”

Ojé mengangguk paham, “Jadi lo mau pake one of our hospitals buat jadi umpan?”

“Yes. Gue nggak enak aja kalo harus ngumpan dia tapi minta tolong langsung ke bokap lo.”

“You are lucky sih kak, Chanyeol udah sama sekali gak mau terjun kesana jadi gue udah feeling banget ini gue disuruh balik ya salah satunya buat ngomongin our hospital chain. Lo kasih tau aja ke gue, gue harus nyari apa. Nanti kalo gue dapet info gue kabarin lo.”

“Thanks Jé.”

“No problem kak, itung-itung aja ini sebagai permintaan maaf gue karena gue gak langsung jujur ke lo.” Ojé tersenyum ke arah Irene. Tangannya meraih gelas miliknya kemudian meneguk air mineral yang tersisa disana.

“Also because gue belum seutuhnya jujur ke lo kak. Gue sendiri gatau gue boleh nggak ngomong ini ke lo atau Seungwan mau lo tau atau nggak dan gue juga gatau which one is better for us apalagi setelah gue liat respon lo tadi.” batin Ojé.

Entah kenapa walau saat ini ia meneguk air mineral namun rasanya sangat pahit baginya.

Her guilt just ate her up, never in her life did she lie to Joohyun. She promised this will be the first and last.

287.

Wendy berjalan bolak-balik di teras rumah keluarga Bae sembari menunggu kehadiran mobil SUV yang hari itu digunakan oleh Irene dan Yerim untuk menjemput sepupu mereka.

Ia ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa sepupu yang dimaksud oleh Irene dan Yerim adalah Chaeyoung yang ia kenal selama ini karena ia masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat dari media sosial milik Yerim.

Bagaimana mungkin dunia se-sempit ini?

Lagi-lagi Wendy memeriksa ponselnya dan harus kecewa karena Irene masih belum membalas pesan terakhir darinya.

Hanya chat simple sebenarnya.

‘Kamu sampai mana? Masih lama nggak?’

Wendy hanya ingin mempersiapkan dirinya. Dari apa? Ia pun menanyakan hal yang sama.

Ia yang masih berfokus pada ponselnya tidak menyadari bahwa mobil yang ditunggu-tunggu kini berjalan masuk dan terparkir rapi di halaman rumah keluarga Bae tersebut.

“Oh my god!” teriak Wendy saat dirinya terkejut mendengar suara klakson mobil.

Sosok yang paling pertama turun dari mobil adalah Yerim, ia menertawakan Wendy yang terkejut atas suara klakson barusan.

“Cocok lo Wen jadi komedian!” goda Yerim

“Myemim, make yourself useful. Stop teasing Seungwan!”

“Yah Singanya mulai mengaum, gue kabur aja lah!” celetuk Yerim yang mendengar omelan kakaknya barusan.

Irene hanya bisa menggelengkan kepalanya saat melihat adik satu-satunya itu sudah benar-benar berlari masuk ke rumah mereka.

“When will she grow up?” gerutu Irene.

“Anyway, kamu kangen banget sama saya sampe nunggu di depan sini?” sambung Irene setengah menggoda Wendy.

Sejujurnya ia cukup terkejut melihat chat Wendy yang ia baru lihat saat mobil mereka sudah masuk area kompleks. Ditambah kini ia melihat fiancée-nya itu ada di teras rumahnya. Ini kali pertama Wendy terlihat menunggu kepulangannya.

“Uhm...I-itu…”

Napas Wendy tercekat saat ia melihat sosok yang berjalan di belakang Irene, ekspresi wajahnya berubah drastis. Irene yang menyadari hal ini langsung memalingkan kepalanya mengikuti arah pandangan Wendy.

“Ah true, saya belum ngenalin kalian. Seungwan, ini Rosé or Chaeyoung. Well saya dan Yerim biasanya manggil dia Ojé or Jéjé.” ujar Irene mengenalkan Ojé pada Seungwan.

Ojé menatap ke arah Wendy dan menemukan temannya masih mematung. Sejujurnya, ia pun tidak menduga bahwa ‘Joohyun’ yang selama ini Wendy ceritakan padanya ternyata justru sosok kakak sepupunya yang sangat ia kenal.

Memang ia sempat beberapa kali melihat cuitan Wendy di sosial media dan ia pun sempat beberapa kali menyempatkan waktu untuk menanyakan hubungan Wendy dan ‘Joohyun’ disela-sela jadwalnya yang sibuk, namun ia sama sekali tidak menyadari bahwa selama ini Wendy menceritakan sosok kakak sepupunya itu.

Melihat gelagat Wendy, sepertinya temannya itu pun tidak siap dengan pertemuan mereka saat ini. Untungnya Ojé dapat mengendalikan ekspresinya dengan lebih baik. Anak bungsu keluarga Park itu mengangguk pelan dan menyapa Wendy dengan ramah melalui gesture tubuhnya.

“Jé, ini Seungwan. She’s my f-....”

Tangan Wendy dengan cepat menggenggam tangan Irene seolah-olah ia ingin Irene untuk berhenti berbicara. Hal ini mendatangkan respon dari Irene yang menolehkan kepalanya ke arah Wendy, asking her in silence.

“You okay Wan? Kamu kenapa?” tanya Irene yang kebingungan setelah ia tidak mendapatkan jawaban dari Wendy. Ia hanya khawatir kalau-kalau kondisi Wendy sedang tidak fit.

Sedangkan Wendy hanya menggeleng lemah. Ia sendiri tidak tahu mengapa tangannya dengan refleks berbuat seperti itu.

“Ahaa! I know, she’s the one that Yerim, Kak Jen and Kak Tae talked about, right?” potong Ojé dengan cepat saat melihat adanya kecanggungan diantara Irene dan Wendy.

Irene mengangguk.

“Halo, gue Chaeyoung, kak Joohyun's favorite cousin. Terserah sih mau ikut manggil Ojé or Jéjé kayak kak Joohyun sama Yerim juga boleh.”

“H-hi, a-aku S-seungwan…”

Mendengar jawaban Wendy yang terbata, Irene kini menempelkan punggung tangannya di dahi Wendy untuk memeriksa suhu tubuhnya.

“You okay Wan?”

Wendy lagi-lagi hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menarik tangan Irene pelan, tiba-tiba merasa tidak nyaman dengan skinship yang dilakukan oleh Irene di depan Chaeyoung a.k.a Ojé, her Chipmunk, her first love.

Chaeyoung who knows her better than anyone in this world, even herself.

“Kak, gue duluan ke dalem ya?? Laper banget.” rengek Ojé yang langsung pergi meninggalkan Irene dan Wendy tanpa menunggu lebih lama lagi. Ia tidak ingin terlibat dalam kecanggungan yang terjadi diantara pasangan tersebut.

“We definitely need to talk.” batin Ojé saat ia menoleh ke arah Irene dan Wendy yang masih berada di teras rumah.

Manik matanya bertemu dengan mata Wendy dan ia melihat bagaimana Wendy lagi-lagi menghindari afeksi yang diberikan oleh Irene.

Sementara itu ia juga melihat raut kebingungan dan kekecewaan dari wajah kakak sepupunya saat ia menyadari bahwa Wendy menghindar darinya.

“I'm so sorry Kak...” bisiknya pelan walau sejujurnya ini bukan kesalahannya sama sekali.