294.
Siang itu menjadi siang yang cukup unik bagi Irene. Sudah cukup lama ia tidak menghabiskan waktunya untuk ‘bermain’ dengan sepupunya yang satu ini. Terakhir kali Irene bertemu Ojé secara frekuen adalah saat Ojé memilih untuk menetap di kanada secara permanen ketika ia memasuki bangku SMA.
Dulu keluarga mereka sering melakukan outing atau hanya sekedar makan bersama, tidak hanya sepupu-sepupu yang perempuan saja bahkan yang laki-laki juga ikut berkumpul.
Hal ini juga didukung dengan kondisi bahwa mereka sekolah di satu tempat yang sama mulai dari SD hingga SMA. Hubungan mereka mulai mengendur saat satu per satu beranjak memasuki dunia dewasa awal, well mulai sejak Taeyeon terjun ke dunia entertainment dan Irene, Jennie, Chanyeol, serta Kibum memilih jalan mereka masing-masing di bangku kuliah.
Suara dentingan garpu dan pisau yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya pemecah keheningan di ruangan persegi tempat dimana Irene dan Ojé menghabiskan waktu makan siang mereka.
Awalnya Ojé kira saat Irene bilang mereka akan makan buffet, hanya buffet biasa, paling maksimal di hotel. Tapi ia lupa kalau kakak sepupunya yang satu ini memang suka berlebihan kalau sudah berhubungan dengan ‘menyenangkan’ hati orang-orang terdekatnya.
Tadi Ojé harus terkejut ketika ia dan Irene berjalan ke area restoran hotel kemudian berbelok ke lorong yang lebih sunyi. Yang sesungguhnya terjadi adalah Irene menyewa satu VIP room di salah satu hotel terbaik di kota ini sekaligus hotel tempat dimana chef part time keluarga Bae juga bekerja.
Ojé pun tahu kalau Irene sengaja melakukan hal ini karena dirinya yang alergi terhadap beberapa jenis makanan khususnya makanan laut. Semua makanan yang masuk ke ruang VIP itu adalah makanan-makanan yang bisa Ojé santap tanpa harus khawatir akan alerginya.
Yep, bukan buffet. Akhirnya yang terjadi adalah private lunch in a hotel.
Tentu saja Ojé sempat mengomel kepada Irene ketika ia tahu bahwa makan siangnya itu lebih dari sekedar makan siang, maklum sejak ia memilih untuk tinggal bersama neneknya di Kanada, Ojé sebisa mungkin menanggalkan semua kekayaan keluarganya itu.
Someone told her this at one summer in her teenage years “Kindness what makes you more attractive” dan kalimat ini terngiang di kepala Ojé hingga saat ini.
Sedangkan Irene yang kena omelan Ojé hanya bisa tertawa.
“Nggak papa Jé, udah lama gue nggak traktir lo makan atau pergi bareng sama lo. Itung-itung ini buat ngelunasin setiap tahun kita nggak ketemu.” Begitu ujar Irene.
Menurut Irene ini hal yang wajar, semua kakak akan melakukan hal yang sama untuk adik-adiknya. Sejak dulu pun Ojé dan Yerim selalu punya soft spot mereka di hati Irene, terutama Yerim walaupun menurut orang-orang hubungannya dengan Yerim itu sudah seperti tom and jerry.
Ojé mencuri pandang ke arah Irene yang duduk tepat di depannya. “Kak, gesture tubuh lo udah beda banget dari yang dulu terakhir gue inget.”
“Hmm?” tanya Irene, alis matanya ikut naik. Tangan kirinya meletakkan garpu dengan pelan kemudian meraih gelas kaca berisi air mineral dan meneguknya perlahan.
“Iya, gue tau dari dulu diantara kita semua yang mannerismnya paling anggun paling bagus tuh emang lo, tapi sekarang beda gitu. Everything you did is precisely calculated and accurate. Sadar nggak?”
“Nggak. Udah kebiasaan kayaknya, jé.”
“Ucapan bokap nyokapnya kak Tae bener ya berarti. Inget nggak lo?”
“Yang mana?”
“Itu lo dulu kan selalu dipanggil princess. Gimana ya kalo orang-orang tau lo dulu punya nickname itu? Bayangin the Irene Bae yang terkenal expressionless terus nicknamenya princess.” tawa Ojé
“Don’t remind me of that nickname.”
“Yes princess.”
“Sialan lo!”
Jawaban Ojé membuat mereka tertawa.
“Kayaknya sebelum lo balik, gue mau ngadain kumpul keluarga deh. Mumpung lagi full team. Kangen nggak sih lo?”
“Kangen sih kak tapi lo gak apa-apa sama kakak gue?” tanya Ojé dengan santai.
Yes, Ojé dan Yerim adalah tipe orang yang selalu true to themselves. Kalau orang-orang biasanya bilang mereka nggak punya filter, tapi menurut Irene justru this is their charm, also why she loves them more.
“Emang gue kenapa sama kakak lo?”
“Yang sama kak Na?”
“Gue nggak pernah marah sama dia karena dia yang sama Nana, I’m happy for them, well was. Gue marah for what he did after Nana left, he changed to the worst version of him, jé. Which I know, Nana will be mad too if she still here. Kenapa semua orang ngira gue marah karena dia sama Nana sih?”
Ojé mengangkat bahunya, “Everyone thought so sih kak, even our parents. My personal opinion it’s because of your gesture. Makanya kurang-kurangin tuh kayak robot, ngomong kek.”
Kini giliran Irene yang mengangkat bahunya, “You know how bad I am with words.”
“Iya, pas lo jadi Joohyun. Tapi kalo lo jadi Irene, lancar jaya aja tuh. Gue liat ya your speech for your 30 under 30 segment. Kenapa sih? I never knew you have this insecurity.”
Irene hanya tersenyum, ia kemudian melanjutkan memotong daging yang ada di depannya kecil-kecil. Ojé tahu ini tandanya Irene tidak ingin melanjutkan percakapan mereka.
Keduanya kembali fokus pada santapan mereka masing-masing. Namun Ojé masih belum puas karena ia belum sempat berbicara dengan Irene tentang dirinya dan Wendy. Ia mengangkat tangan kirinya setara dengan dadanya untuk memeriksa pukul berapa saat ini.
13:39.
Tidak banyak waktu yang tersisa baginya.
“Kak-...”
“Jé-...”
Baik Irene maupun Ojé sama-sama berhenti berbicara.
“Lo dulu aja Jé.”
“Iya, emang harus gue dulu kalo pun nggak lo tawarin.”
Irene terkekeh, “Sure, go ahead.”
“Gue mau pake kartu truf gue dulu boleh nggak, kartu gue sebagai adik lo? Jadi lo nggak boleh marah ke gue?”
Ucapan Ojé sukses mengambil-alih seluruh perhatian Irene. Ia ingat betul bahwa Yerim dan Ojé selalu menggunakan this kind of chance setiap kali mereka berbuat kesalahan dan mereka tidak mau ‘kakak-kakak’ mereka untuk memarahi mereka.
Of course, two of the youngest of the family, most of the time, get what they want.
One of their old habits.
“Jé lo sekarang udah gede, Yerim juga, kenapa sih kalian berdua masih sering make kesempatan kayak beginian?”
“Ya abis lo pada sadar nggak sih, kalo lagi marah tuh serem-serem. Lo sama Kak Tae terutama.”
“Well, let me hear how big your mistake is, then I will decide later gue bakal marah atau nggak ke lo.” ujar Irene yang menyilangkan kedua tangannya di depan dada, ia sudah menaruh alat makannya dengan rapi.
Ojé menarik napasnya dalam-dalam. “Gue bohong ke lo kak, gue udah kenal Seungwan jauh sebelum lo kenalin dia ke gue kemaren.”
Irene mengerjapkan matanya. “M-maksud lo? This is not like what I thought it is kan, Jé?
Ojé yang sudah memperhatikan gerak-gerik Irene sejak awal lunch mereka langsung menangkap adanya sinyal-sinyal kekhawatiran yang mendalam. The person in front of her is Joohyun, her cousin Joohyun who has a soft and vulnerable side too. Who has her insecurity too and turned out her relationship with Seungwan is one of her insecurity.
Mungkin hari ini bukan hari yang tepat. Salahnya juga kenapa ia tidak mengukur dulu seberapa dalam dan kuat hubungan Joohyun dan Seungwan.
Ojé menggeleng dan memberikan senyumannya. “Nggak kak, you know that I'm a psychiatrist right? Seungwan is one of my patients. Ada alasan kenapa dia menetap disana dan sejak dia jadi solois dia bolak balik sini-kanada.”
Tanpa sadar Irene mengeluarkan napas yang tadi sempat ia tahan.
“T-that's okay. New info for me.”
“Honestly, gue kenal dia pertama kali pas gue masih kuliah. Lo tau kan dulu gue suka ngeluh kalo gue dapet tugas harus praktik ke rumah sakit? Gue pertama kali tau Seungwan sakit ya pas gue harus praktik kak. Awalnya gue dapet rumah sakit random, terus beberapa kali dapet RS itu terus. Lama-lama gue selalu minta buat disana, ya soalnya deket juga sih dari apart gue. Terus gue sadar kalo Seungwan itu selalu kesana, so we are friends first before she becomes my patient.”
Irene mengerjapkan matanya. Hanya ada satu yang terlintas di kepalanya saat ini.
Apakah dunia se-sempit itu? Atau semesta yang sedang bercanda?
“Lo….nggak tau Seungwan has a special condition?” tanya Ojé perlahan ketika melihat Irene terdiam.
“Gue tau, tapi gue cuma tau dia punya philophobia dan apa yang terjadi sama Seungwan pas dia masih kecil. That’s it Jé.”
Ojé mengangguk, giliran ia yang mencerna informasi yang baru saja ia dengar.
“Kak gue boleh nanya nggak? Jawaban lo bakal mempengaruhi apakah percakapan kita bakal lanjut atau berhenti disini.”
“Lo mau nanya gue serius sama dia atau nggak?”
“Iya, itu yang mau gue tanya.”
“Jé lo tau gue dari dulu kan? Lo juga pasti tau that this is my first ever relationship. I’m hoping this will be my only one, my first and last.”
“Kak cringe banget asli! Lo kayak gini nggak kena goda sama Yerim?” goda Ojé berusaha memecah situasi yang terlampau serius baginya.
“Tiap hari sampe kenyang gue Jé.”
“Okay, so berdasarkan jawaban lo, gue rasa lo butuh tau lebih jauh lagi kak. But please bear in mind jangan sampe Seungwan tau ya kalo gue yang ngasih tau. Also gue udah melanggar selusin kode etik yang bisa bikin license gue dicabut.”
“Promise.”
“Yang Seungwan idap nggak cuma philophobia kak, she has PTSD too. There was a time when it’s really getting worse. I need to put her on meds, lots of it. Pernah suatu waktu bahkan dia harus dirawat di rumah sakit karena it drained her a lot. In her worst day, dia bahkan gak bisa tidur karena setiap kali tidur dia bakal mimpi buruk. Gue harus put her on meds again. Kadang bahkan pas dia udah bisa tidur, dia bisa tiba-tiba mimpi buruk then gets trouble breathing, ini yang bahaya.”
Ojé memberi jeda sejenak untuk mempelajari ekspresi Irene. Ia tahu informasi seperti ini akan selalu mengejutkan keluarga dari pasien but when you have to say it to your own family and it’s about someone that you know too, surely it hits Ojé differently.
“H-hah? Lo serius Jé?”
Ojé mengangguk. “She’s a lot better now. Jauh banget kak. Dulu dia sampe punya medbox yang ada timernya. Sekarang dia cuma butuh obat kalo emang lagi ke trigger parah aja kak, but then the sign was back beberapa minggu yang lalu. Dia cerita ke gue, well lebih tepatnya konsul, pas kejadian di acara anniv kantor lo itu.”
“S-she…..never….tell me all of these Jé….” ujar Irene lirih.
“Wajar kak, she’s afraid. Nggak cuma lo kok, buat dia ini semua juga baru. Dia selalu dihantui sama rasa takut dia sendiri kak, bahkan gak jarang rasa takut itu bisa nguasain dirinya dia sendiri. She is like standing on two different poles. Yang satu dia tau dia butuh afeksi, dia tau dia juga pengen menjalin sesuatu yang serius sama seseorang. Tapi disisi lain trauma dari rasa sakit dia di masa lalu bikin Seungwan selalu nahan kak, dia juga nggak jarang mikir buat mundur. Dia takut apa yang terjadi dulu keulang lagi di dia.”
“Terus gue sekarang harus apa Ojé?”
“Lo mau nanya gue sebagai her psychiatrist or gue sebagai adik lo kak?”
“Her psychiatrist.” jawab Irene singkat dan cepat.
Seperti yang Ojé duga, sudah pasti Irene akan memilih jawaban ini. That’s just how selfless she is.
“Showers her with love kak. Jangan cuma tindakan aja atau omongan aja but both. She needs to know it from you directly. Jadi lo juga harus lebih sabar dan lebih bisa baca situasi kak. Lo harus tau kapan lo ngasih ruang ke dia dan kapan lo harus ada buat dia. Lukanya Seungwan masih ada dan akan terus ada di alam bawah sadar dia kak.”
“I know, ini gak bakal semudah apa yang gue saranin. Menjalin hubungan sama orang yang nggak punya trauma aja melelahkan, apalagi sama yang punya trauma sedalam Seungwan. Tapi kalo lo emang serius sama dia, ya lo harus siap sama ini kak. Bahkan mungkin seumur hidup lo.” sambung Ojé.
Irene mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia cukup shock dengan ucapan-ucapan Ojé barusan.
“Jé demi Tuhan gue cuma tau Seungwan has philophobia and the reason is because she witnessing her father’s infidelity. Gue nggak tau dia segininya, gue nggak tau dia pernah ngalamin yang seberat apa yang lo ceritain.”
“Kak, please jangan dianggep ini karena Seungwan yang gak percaya sama lo kak. For some people, mental problems are a weakness.”
“So what? I never see her like that. Apa bedanya sama orang sakit lemah jantung atau kanker? It just the other one is physical and hers is mental.”
“I know kak, I know. Gue gak bilang lo kayak gitu, gue tau lo nggak gitu. Tapi bagi Seungwan mungkin beda atau bagi orang lain mungkin beda, pernah nggak lo mikir kalau Seungwan cuma nggak pengen pasangannya ikutan menderita karena dia?”
Irene mengusap wajahnya sekali lagi. “No, never. Thanks Jé, a lot. Kalo lo nggak kasih tau gue, maybe gue gak akan pernah tau atau mungkin gue tau tapi telat. Or whatever.”
“I love you both kak. Gue juga peduli sama lo berdua dan gue tau gimana lo berdua, that’s why I thought gue harus one step ahead of Seungwan. Oh iya, gue juga lupa bilang. Kalo Seungwan impulsif, gampang berubah emosinya, it's probably one of the side effect habis dia minum obatnya. Especially at times like this, when she has a packed schedule.”
Irene mengangguk. Ia menambahkan catatan baru dalam kepalanya itu.
“Jé, Taeyeon tau?”
“Kak Tae sama Kak Kibs tau, well di manajemen yang tau cuma mereka berdua, plus her manager. Makanya gue kesel banget sama kak Tae pas dia sok-sokan ngerahasiain ke gue who is your fianceé but then gue inget kak Tae kan orangnya nggak suka ikut campur masalah orang lain. She absolutely did what she did out of her respect to you and Seungwan.”
“It’s okay, I understand. Lo juga kemaren play along sama Seungwan out of your respect to mine and Seungwan’s relationship kan?”
Ojé hanya bisa tersenyum.
“Jé sekarang boleh gue yang minta tolong ke lo?” tanya Irene.
Ojé bisa melihat dengan jelas bahwa sorot mata Irene berubah. Sosok yang di depannya ini sudah bukan Joohyun but Irene. The Irene who knows what she wants, the Irene who has all her pion to execute her plan.
Masalahnya, Ojé sama sekali tidak tahu apa yang Irene rencanakan.
“Apa kak? Kalo gue bisa, pasti gue bantu.”
“I need to meet someone, so I need your help. Not really your help sih, more like your parent’s.”
“O...kay??”
“Do Jin Ae, she's a tycoon in media company. I want to meet her to talk about one of her business, tapi masalahnya sekarang dia lagi tertarik buat merambah ke healthcare business.”
Ojé mengangguk paham, “Jadi lo mau pake one of our hospitals buat jadi umpan?”
“Yes. Gue nggak enak aja kalo harus ngumpan dia tapi minta tolong langsung ke bokap lo.”
“You are lucky sih kak, Chanyeol udah sama sekali gak mau terjun kesana jadi gue udah feeling banget ini gue disuruh balik ya salah satunya buat ngomongin our hospital chain. Lo kasih tau aja ke gue, gue harus nyari apa. Nanti kalo gue dapet info gue kabarin lo.”
“Thanks Jé.”
“No problem kak, itung-itung aja ini sebagai permintaan maaf gue karena gue gak langsung jujur ke lo.” Ojé tersenyum ke arah Irene. Tangannya meraih gelas miliknya kemudian meneguk air mineral yang tersisa disana.
“Also because gue belum seutuhnya jujur ke lo kak. Gue sendiri gatau gue boleh nggak ngomong ini ke lo atau Seungwan mau lo tau atau nggak dan gue juga gatau which one is better for us apalagi setelah gue liat respon lo tadi.” batin Ojé.
Entah kenapa walau saat ini ia meneguk air mineral namun rasanya sangat pahit baginya.
Her guilt just ate her up, never in her life did she lie to Joohyun. She promised this will be the first and last.